Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Re - Prologue & Chapter 1



PROLOGUE

Sepuluh tahun yang lalu…
Malam itu adalah malam paling mengerikan yang pernah ia lihat. Semua yang dia lihat dilahap oleh warna merah yang sangat dia benci. Pembantaian yang disebut sebagai ‘pembersihan’ oleh orang-orang yang menyerang kota kecil itu sangat tidak manusiawi. Setiap ia melangkah, ia mendapati banyak mayat yang tergeletak tak bernyawa di tanah yang mulai memerah terkena warna dari darah merah.
Kaki kecilnya melangkah melewati setiap teriakan minta tolong dan jeritan kesakitan yang didengar oleh telinganya. Tubuhnya penuh luka, terutama kepalanya. Nafasnya tampak terputus-putus seolah akan mati. Rambutnya tampak berkilau karena darah yang menempel di sana. Namun ia berjuang menahan rasa sakitnya untuk menemukan orang itu. Orang yang sangat dikasihinya.
“Runa!!!” ia berteriak memanggil sebuah nama.
Namun, yang dia dengar di telinganya adalah suara serak yang seperti kehabisan nafas.
“RUNA!!!”
Tiba-tiba kakinya tersandung batu dan ia jatuh terjerembab ke tanah. Mulutnya melontarkan suara kesakitan karena kali ini lututnya yang terluka.
“Runa… Runa…” dia terus menyebut nama itu hingga sebuah isakan melompat dari tenggorokannya.
Ia berusaha untuk duduk dan menatap tanah yang berwarna merah darah. Matanya menatap nyalang warna merah di bawahnya. Sinar matanya yang tadi penuh kesedihan kini dipenuhi oleh kemarahan yang sangat membara.
Sebuah teriakan pilu keluar dari mulutnya sebelum kesadarannya hilang.




CHAPTER 1
Rei’s Side

29 Januari 2109
Keadilan… sebenarnya apa keadilan itu?
Tidak ada yang bisa menjawabnya. Bahkan jika seseorang atau anak kecil ditanya apa itu keadilan, jawaban mereka akan berbeda-beda. Tapi, hanya satu yang kutahu tentang keadilan. Yaitu sebuah kesetaraan yang sejak lama sudah dilupakan dan mulai dijadikan sebagai kedok untuk menyerang yang tidak bersalah.
Dan aku membenci keadilan yang seperti itu.
Hm? Kau tidak mengenalku? Oh, kau anggota baru rupanya…
Namaku Kujo Rei. Kalian bisa memanggilku Rei atau R, inisial namaku di dalam organisasi. Aku adalah anggota dari organisasi Raven. Sebuah organisasi yang dibentuk untuk memerangi orang-orang yang bersalah dan memiliki dosa besar. Sebut saja seperti teroris, pembunuh, dan sebagainya. Organisasi Raven sudah berdiri sejak Perang Dunia Ketiga berlangsung di akhir abad ke-20. Dan kalau kalian lupa waktu, sekarang sudah tahun 2109, tepatnya tanggal 29 Januari 2109. Itu artinya, sudah lebih dari seratus tahun organisasi Raven berdiri. Organisasi Raven tentu adalah organisasi yang didirikan oleh pemerintah gabungan di seluruh dunia untuk mencegah tindakan terorisme dan pembunuhan terus terjadi selama Perang Dunia. Dan tugas kami tidak pernah berubah.
Aku mengucapkan selamat datang padamu, karena kau anggota baru—
Kau bertanya apa posisiku di organisasi ini?
Aku anggota termuda, dan cukup disegani. Usiaku mungkin baru 18 tahun, tapi aku sudah memerintah lebih dari 3000 pasukan angkatan darat, 2100 pasukan angkatan udara, dan 1390 pasukan angkatan air. Jadi, bisa dibilang aku adalah anggota yang cukup berpengaruh. Aku tidak memiliki pangkat apapun karena di dalam organisasi, tidak ada sebutan pangkat atau apapun yang menunjukkan status yang tinggi. Well… itu cukup konyol kalau kita menyebut seseorang dengan pangkat ‘Letnan’, ‘Jenderal’, atau segala tetek-bengek militer itu. Walau Raven didirikan atas perintah dari pemerintah di seluruh dunia, kami tidak benar-benar terikat dengan peraturan militer.
Hmm… kurasa cukup basa-basinya. Sekarang, aku harus menyiapkan diri untuk rapat yang diadakan oleh para petinggi Raven.
Aku membetulkan letak dasi yang kukenakan di balik jas hitam dengan kancing double breasted yang kukenakan dan bersandar pada dinding lift yang sedang membawaku menuju ruang rapat.
Markas utama Raven berada di bawah tanah, karena di permukaan sudah tidak lagi aman untuk mendirikan sebuah markas penting sebuah organisasi, terutama setelah Perang Dunia Ketiga berakhir, semua yang ada di permukaan terasa seperti di neraka.
Sambil menunggu pintu lift membuka, aku menatap bayanganku di cermin yang terpasang di seluruh dinding lift. Bayangan yang menatap balik kearahku adalah sosok seorang pemuda yang tinggi tegap, dengan rambut berwarna keperakan dan juga mata berwarna biru cemerlang yang dingin. Jas hitam yang dikenakannya cukup panjang hingga hampir menyentuh mata kaki. Sebuah pedang bersarung coklat tersampir di pinggang kirinya, lengkap dengan sebuah sabuk senjata yang memuat sebuah pistol otomatis yang berperedam. Sepasang sepatu bot kulit berwarna senada dengan jas hitam yang dikenakannya terpasang di kedua kakinya.
Secara keseluruhan, penampilanku cukup… sempurna. Dan, aku tidak mau menyebutnya lagi. Kata sempurna terlalu jauh dari rasa kemanusiaan yang sudah mulai hilang dari benak semua orang.
Entahlah apa aku masih punya rasa kemanusiaan atau tidak.
Bunyi denting halus membuyarkan lamunanku bersamaan dengan terbukanya pintu lift.
Aku melangkah keluar dan disambut oleh sederet orang-orang yang lebih tua dariku yang berjejer di kedua sisi pintu lift. Mereka semua memberi hormat padaku dan aku hanya mengangguk pada mereka. Kulangkahkan kakiku menuju pintu ganda dari besi yang ada di depanku dan membukanya. Di balik pintu itu ada sebuah meja besar berbentuk lonjong yang terbuat dari besi lengkap dengan kursi-kursi yang melingkarinya. Beberapa orang sudah menduduki kursi yang tersedia, dan aku melihat Alex Hopkins, Hirano Leia, dan juga Sam Leon, senior sekaligus orang yang sering melatihku sejak aku bergabung dengan Raven.
“Ah, Rei, kau datang.” sapa Leia sambil tersenyum dan memperlihatkan sederet giginya yang rapi, mungil, dan putih.
“Hai,” balasku, “Kau cantik seperti biasanya. Ngomong-ngomong, apa kau mengecat rambutmu lagi?”
Leia menyisiri rambutnya yang kali ini berwarna kemerahan (minggu lalu dia mengecatnya dengan warna hijau cerah. Warna yang sangat… unik?).
“Aku sedang menyukai warna merah, dan aku ingin memperlihatkannya padamu, Alex, dan juga Sam sebagai yang pertama.”
Oke. Kalian jangan tertipu dengan penampilannya. Hirano Leia mungkin memiliki fisik seperti wanita berusia dua puluh tahun, tapi percayalah, usianya dua kali lipat dari yang kalian bayangkan. Leia memang memiliki wajah awet muda, dan termasuk wanita yang paling diincar oleh semua pria yang tergabung dalam Raven. Sayang bagi mereka, Leia tidak tertarik menjalin hubungan dengan siapa pun.
Tapi, bukan berarti dia memiliki kelainan orientasi seksual. Dia masih normal, hanya saja kalau ditanya kenapa dia tidak menjalin hubungan khusus dengan laki-laki, dia selalu menjawab ‘Tidak ada waktu untuk memikirkan hubungan seperti itu’.
Aku duduk di samping Leon yang tengah membaca sebuah berkas dari folder yang ada di hadapannya. Aku melirik berkas yang dibacanya dan sedikit terkejut ketika melihat berkas yang dibacanya adalah… umm… majalah playboy.
“Umm… Leon,” aku berkata padanya, “Apa yang sedang kau baca itu?”
“Rahasia,” katanya tanpa mengalihkan tatapannya dari berkas—majalah yang dibacanya. “Memangnya kamu mau baca juga?”
“Dengan resiko otakku terkena racun darimu? Tidak, terima kasih.” Aku bergidik sementara dia terkekeh.
Pintu lagi-lagi terbuka dan seorang wanita berambut pirang panjang masuk ke dalam diiringi beberapa orang berpakaian hitam yang kemudian menempati kursi yang tersisa. Si wanita pirang itu sendiri berjalan hingga berdiri di hadapan kami dan menyalakan proyektor yang menampilkan lambang organisasi Raven.
“Semua sudah berkumpul?” wanita pirang itu menatap kami satu-persatu. Tatapannya sempat lama tertuju padaku.
Aku hanya mengangguk pelan dan memalingkan wajah. Tidak tahan dengan tatapan tajamnya yang sampai sekarang masih bisa membuatku merinding.
“Baiklah, kita mulai rapat sekarang!”

***

Aku menghembuskan nafas dan meminum softdrink yang kubeli dari mesin penjual minuman di dekatku. Mataku menatap orang-orang yang berlalu lalang di depanku dengan tatapan menerawang. Pakaianku sekarang sudah berganti dengan kaus putih yang kututupi dengan jaket jins. Semua perlengkapanku sebagai anggota Raven sudah kutinggalkan di apartemen, dan sekarang aku memiliki waktu bebas untuk ‘bersantai’.
Rapat di markas besar berakhir dengan sangat… kacau. Pembahasan yang kami bahas saat itu adalah menghancurkan organisasi yang sudah lama menjadi musuh kami, Organisasi Clematis.
Organisasi itu adalah organisasi yang selama ini menjadi musuh bebuyutan kami. Organisasi yang bergerak di bidang teroris dan melakukan percobaan ilegal pada manusia. Organisasi Clematis berdiri tepat sebelum Perang Dunia Ketiga dimulai. Clematis bisa dibilang adalah organisasi yang paling kuat diantara organisasi teroris yang lain. Kenapa? Karena mereka memiliki ilmuwan-ilmuwan jenius yang sanggup mengubah perasaan yang dimiliki manusia menjadi tidak manusiawi. Mereka bahkan juga menguji coba percobaan mereka secara langsung…
… dan yang kumaksud ‘menguji coba secara langsung’ adalah dengan mengirim si kelinci percobaan ke tengah-tengah kota dan membantai semua orang di sana hingga tidak tersisa.
Dan kalau kalian ingin tahu, saat itu adalah ‘neraka’.
“Yo, Rei!”
Aku mendongak dan melihat Leon berjalan kearahku dari arah berlawanan.
“Hei,”
“Sedang apa kamu di sini? Tidak kembali ke apartemen?” tanyanya saat sampai di hadapanku, “Kukira setelah rapat tadi kamu langsung pulang.”
“Aku sedang melakukan pekerjaan sampingan.” Jawabku sambil membuang kaleng softdrink ke tempat sampah dan pergi dari tempat itu.
“Hmm… pekerjaan seperti apa?” tanyanya sambil berjalan di sebelahku.
“Kau tahu sendiri apa yang kukerjakan.” Balasku, “Kau sendiri, kenapa tidak pulang?”
“Aku sedang ‘berburu’.” Dia tersenyum lebar, “Seperti biasanya.”
Aku menatapnya sebentar, lalu menghela nafas. Berburu. Yah… maksudnya dia berburu wanita. Ingat, kan kalau dia membaca majalah playboy saat rapat tadi? Mungkin dia adalah seniorku yang lebih tua sembilan tahun dariku, tapi sikap playboy-nya ini benar-benar parah, kalau tidak mau kubilang akut.
“Kau mau ikut aku, Rei?” tanyanya lagi, “Ini menyenangkan, lho! Bisa membuatmu melupakan masalah dalam sekejap. Lagipula… kurasa kau sudah cukup umur untuk berburu sepertiku.”
“Aku tidak punya waktu untuk itu.”
Dia tertawa dan aku sempat melirik beberapa wanita melihat kearah kami. Memang setiap kali Leon keluar, dia selalu menarik perhatian. Karena selain tampan dan memiliki rambut hitam yang terlihat berkilau dan lembut, suaranya juga… bisa dibilang seksi? Kira-kira begitulah. Aku tidak mengerti selera wanita terhadap Leon, yang notabene sering aku ejek dengan sebutan ‘Mr. Feminin’.
“Ayolah, Rei…” dia merangkul bahuku, “Ini akan menyenangkan! Kau pasti akan suka!”
“Aku tidak tertarik.” Kataku lagi.
“Hah… rupanya masih tidak mudah mengajakmu melupakan pekerjaan sampinganmu.” Katanya. “Sebenarnya, kenapa kamu harus melakukannya, sih? Kau, kan bisa minta tolong pada Alex atau Leia yang bekerja di bagian informasi?”
“Aku tidak mempercayai siapapun untuk hal yang satu ini. Lagipula, ini adalah masalahku sendiri.” ujarku.
Leon manggut-manggut mendengar jawabanku.
“Pekerjaan sampinganmu ini… berhubungan dengan segala hal mengenai Clematis, kan?” katanya, “Karena itulah selama rapat tadi kau hanya diam dan tidak bersuara sedikitpun padahal biasanya kau bicara walau hanya satu atau dua kata.”
Aku hanya diam mendengarnya dan tidak mengiyakan, tidak juga mengelak.
Yang jelas, memang perkiraan Leon tepat.
Sebenarnya, berakhirnya rapat dengan kekacauan juga karena kesalahanku. Aku tidak akan memberitahumu, itu terlalu pribadi.
“Jadi… sebenarnya apa, atau siapa yang kau cari, Rei?” tanya Leon.
Lama aku terdiam sebelum menjawab. Sebelah tanganku tanpa sadar menyentuh anting yang menempel di telinga kiriku sebelum akhirnya aku menjawab pertanyaan Leon.
“Orang yang berharga bagiku,” kataku, “Orang yang menjadi alasanku hidup sampai sekarang dan berjanji untuk menyelamatkannya, apapun yang terjadi.”
“Lalu, siapa namanya? Orang yang kau cari?”
Lagi-lagi aku terdiam.
“Runa.” Kataku lagi, “Hanae… Runa.”

0 komentar:

Posting Komentar