PROLOGUE
Sepuluh tahun yang lalu…
Malam
itu adalah malam paling mengerikan yang pernah ia lihat. Semua yang dia lihat
dilahap oleh warna merah yang sangat dia benci. Pembantaian yang disebut
sebagai ‘pembersihan’ oleh orang-orang yang menyerang kota kecil itu sangat
tidak manusiawi. Setiap ia melangkah, ia mendapati banyak mayat yang tergeletak
tak bernyawa di tanah yang mulai memerah terkena warna dari darah merah.
Kaki kecilnya melangkah melewati setiap
teriakan minta tolong dan jeritan kesakitan yang didengar oleh telinganya.
Tubuhnya penuh luka, terutama kepalanya. Nafasnya tampak terputus-putus seolah
akan mati. Rambutnya tampak berkilau karena darah yang menempel di sana. Namun
ia berjuang menahan rasa sakitnya untuk menemukan orang itu. Orang yang sangat
dikasihinya.
“Runa!!!” ia berteriak memanggil sebuah nama.
Namun, yang dia dengar di telinganya adalah
suara serak yang seperti kehabisan nafas.
“RUNA!!!”
Tiba-tiba kakinya tersandung batu dan ia jatuh
terjerembab ke tanah. Mulutnya melontarkan suara kesakitan karena kali ini
lututnya yang terluka.
“Runa… Runa…” dia terus menyebut nama itu
hingga sebuah isakan melompat dari tenggorokannya.
Ia berusaha untuk duduk dan menatap tanah yang
berwarna merah darah. Matanya menatap nyalang warna merah di bawahnya. Sinar
matanya yang tadi penuh kesedihan kini dipenuhi oleh kemarahan yang sangat
membara.
Sebuah teriakan pilu keluar dari mulutnya
sebelum kesadarannya hilang.
CHAPTER 1
Rei’s Side
29 Januari 2109
Keadilan…
sebenarnya apa keadilan itu?
Tidak ada yang bisa menjawabnya. Bahkan jika
seseorang atau anak kecil ditanya apa itu keadilan, jawaban mereka akan
berbeda-beda. Tapi, hanya satu yang kutahu tentang keadilan. Yaitu sebuah
kesetaraan yang sejak lama sudah dilupakan dan mulai dijadikan sebagai kedok
untuk menyerang yang tidak bersalah.
Dan aku membenci keadilan yang seperti itu.
Hm? Kau tidak mengenalku? Oh, kau anggota baru
rupanya…
Namaku Kujo Rei. Kalian bisa memanggilku Rei
atau R, inisial namaku di dalam organisasi. Aku adalah anggota dari organisasi
Raven. Sebuah organisasi yang dibentuk untuk memerangi orang-orang yang
bersalah dan memiliki dosa besar. Sebut saja seperti teroris, pembunuh, dan
sebagainya. Organisasi Raven sudah berdiri sejak Perang Dunia Ketiga
berlangsung di akhir abad ke-20. Dan kalau kalian lupa waktu, sekarang sudah
tahun 2109, tepatnya tanggal 29 Januari 2109. Itu artinya, sudah lebih dari
seratus tahun organisasi Raven berdiri. Organisasi Raven tentu adalah
organisasi yang didirikan oleh pemerintah gabungan di seluruh dunia untuk
mencegah tindakan terorisme dan pembunuhan terus terjadi selama Perang Dunia.
Dan tugas kami tidak pernah berubah.
Aku mengucapkan selamat datang padamu, karena
kau anggota baru—
Kau bertanya apa posisiku di organisasi ini?
Aku anggota termuda, dan cukup disegani. Usiaku
mungkin baru 18 tahun, tapi aku sudah memerintah lebih dari 3000 pasukan
angkatan darat, 2100 pasukan angkatan udara, dan 1390 pasukan angkatan air.
Jadi, bisa dibilang aku adalah anggota yang cukup berpengaruh. Aku tidak
memiliki pangkat apapun karena di dalam organisasi, tidak ada sebutan pangkat
atau apapun yang menunjukkan status yang tinggi. Well… itu cukup konyol kalau kita menyebut seseorang dengan pangkat
‘Letnan’, ‘Jenderal’, atau segala tetek-bengek militer itu. Walau Raven
didirikan atas perintah dari pemerintah di seluruh dunia, kami tidak
benar-benar terikat dengan peraturan militer.
Hmm… kurasa cukup basa-basinya. Sekarang, aku
harus menyiapkan diri untuk rapat yang diadakan oleh para petinggi Raven.
Aku membetulkan letak dasi yang kukenakan di
balik jas hitam dengan kancing double
breasted yang kukenakan dan bersandar pada dinding lift yang sedang
membawaku menuju ruang rapat.
Markas utama Raven berada di bawah tanah,
karena di permukaan sudah tidak lagi aman untuk mendirikan sebuah markas
penting sebuah organisasi, terutama setelah Perang Dunia Ketiga berakhir, semua
yang ada di permukaan terasa seperti di neraka.
Sambil menunggu pintu lift membuka, aku menatap
bayanganku di cermin yang terpasang di seluruh dinding lift. Bayangan yang
menatap balik kearahku adalah sosok seorang pemuda yang tinggi tegap, dengan
rambut berwarna keperakan dan juga mata berwarna biru cemerlang yang dingin.
Jas hitam yang dikenakannya cukup panjang hingga hampir menyentuh mata kaki.
Sebuah pedang bersarung coklat tersampir di pinggang kirinya, lengkap dengan
sebuah sabuk senjata yang memuat sebuah pistol otomatis yang berperedam. Sepasang
sepatu bot kulit berwarna senada dengan jas hitam yang dikenakannya terpasang
di kedua kakinya.
Secara keseluruhan, penampilanku cukup… sempurna.
Dan, aku tidak mau menyebutnya lagi. Kata sempurna terlalu jauh dari rasa
kemanusiaan yang sudah mulai hilang dari benak semua orang.
Entahlah apa aku masih punya rasa kemanusiaan
atau tidak.
Bunyi denting halus membuyarkan lamunanku
bersamaan dengan terbukanya pintu lift.
Aku melangkah keluar dan disambut oleh sederet
orang-orang yang lebih tua dariku yang berjejer di kedua sisi pintu lift.
Mereka semua memberi hormat padaku dan aku hanya mengangguk pada mereka.
Kulangkahkan kakiku menuju pintu ganda dari besi yang ada di depanku dan
membukanya. Di balik pintu itu ada sebuah meja besar berbentuk lonjong yang
terbuat dari besi lengkap dengan kursi-kursi yang melingkarinya. Beberapa orang
sudah menduduki kursi yang tersedia, dan aku melihat Alex Hopkins, Hirano Leia,
dan juga Sam Leon, senior sekaligus orang yang sering melatihku sejak aku
bergabung dengan Raven.
“Ah, Rei, kau datang.” sapa Leia sambil
tersenyum dan memperlihatkan sederet giginya yang rapi, mungil, dan putih.
“Hai,” balasku, “Kau cantik seperti biasanya.
Ngomong-ngomong, apa kau mengecat rambutmu lagi?”
Leia menyisiri rambutnya yang kali ini berwarna
kemerahan (minggu lalu dia mengecatnya dengan warna hijau cerah. Warna yang
sangat… unik?).
“Aku sedang menyukai warna merah, dan aku ingin
memperlihatkannya padamu, Alex, dan juga Sam sebagai yang pertama.”
Oke. Kalian jangan tertipu dengan
penampilannya. Hirano Leia mungkin memiliki fisik seperti wanita berusia dua
puluh tahun, tapi percayalah, usianya dua kali lipat dari yang kalian bayangkan.
Leia memang memiliki wajah awet muda, dan termasuk wanita yang paling diincar
oleh semua pria yang tergabung dalam Raven. Sayang bagi mereka, Leia tidak
tertarik menjalin hubungan dengan siapa pun.
Tapi, bukan berarti dia memiliki kelainan
orientasi seksual. Dia masih normal, hanya saja kalau ditanya kenapa dia tidak
menjalin hubungan khusus dengan laki-laki, dia selalu menjawab ‘Tidak ada waktu
untuk memikirkan hubungan seperti itu’.
Aku duduk di samping Leon yang tengah membaca
sebuah berkas dari folder yang ada di hadapannya. Aku melirik berkas yang
dibacanya dan sedikit terkejut ketika melihat berkas yang dibacanya adalah…
umm… majalah playboy.
“Umm… Leon,” aku berkata padanya, “Apa yang
sedang kau baca itu?”
“Rahasia,” katanya tanpa mengalihkan tatapannya
dari berkas—majalah yang dibacanya. “Memangnya kamu mau baca juga?”
“Dengan resiko otakku terkena racun darimu?
Tidak, terima kasih.” Aku bergidik sementara dia terkekeh.
Pintu lagi-lagi terbuka dan seorang wanita
berambut pirang panjang masuk ke dalam diiringi beberapa orang berpakaian hitam
yang kemudian menempati kursi yang tersisa. Si wanita pirang itu sendiri
berjalan hingga berdiri di hadapan kami dan menyalakan proyektor yang menampilkan lambang organisasi Raven.
“Semua sudah berkumpul?” wanita pirang itu
menatap kami satu-persatu. Tatapannya sempat lama tertuju padaku.
Aku hanya mengangguk pelan dan memalingkan
wajah. Tidak tahan dengan tatapan tajamnya yang sampai sekarang masih bisa
membuatku merinding.
“Baiklah, kita mulai rapat sekarang!”
***
Aku
menghembuskan nafas dan meminum softdrink
yang kubeli dari mesin penjual minuman di dekatku. Mataku menatap orang-orang
yang berlalu lalang di depanku dengan tatapan menerawang. Pakaianku sekarang
sudah berganti dengan kaus putih yang kututupi dengan jaket jins. Semua
perlengkapanku sebagai anggota Raven sudah kutinggalkan di apartemen, dan
sekarang aku memiliki waktu bebas untuk ‘bersantai’.
Rapat di markas besar berakhir dengan sangat… kacau.
Pembahasan yang kami bahas saat itu adalah menghancurkan organisasi yang sudah
lama menjadi musuh kami, Organisasi Clematis.
Organisasi itu adalah organisasi yang selama
ini menjadi musuh bebuyutan kami. Organisasi yang bergerak di bidang teroris
dan melakukan percobaan ilegal pada manusia. Organisasi Clematis berdiri tepat
sebelum Perang Dunia Ketiga dimulai. Clematis bisa dibilang adalah organisasi
yang paling kuat diantara organisasi teroris yang lain. Kenapa? Karena mereka
memiliki ilmuwan-ilmuwan jenius yang sanggup mengubah perasaan yang dimiliki
manusia menjadi tidak manusiawi. Mereka bahkan juga menguji coba percobaan
mereka secara langsung…
… dan yang kumaksud ‘menguji coba secara
langsung’ adalah dengan mengirim si kelinci percobaan ke tengah-tengah kota dan
membantai semua orang di sana hingga tidak tersisa.
Dan kalau kalian ingin tahu, saat itu adalah
‘neraka’.
“Yo, Rei!”
Aku mendongak dan melihat Leon berjalan
kearahku dari arah berlawanan.
“Hei,”
“Sedang apa kamu di sini? Tidak kembali ke
apartemen?” tanyanya saat sampai di hadapanku, “Kukira setelah rapat tadi kamu
langsung pulang.”
“Aku sedang melakukan pekerjaan sampingan.”
Jawabku sambil membuang kaleng softdrink
ke tempat sampah dan pergi dari tempat itu.
“Hmm… pekerjaan seperti apa?” tanyanya sambil
berjalan di sebelahku.
“Kau tahu sendiri apa yang kukerjakan.”
Balasku, “Kau sendiri, kenapa tidak pulang?”
“Aku sedang ‘berburu’.” Dia tersenyum lebar,
“Seperti biasanya.”
Aku menatapnya sebentar, lalu menghela nafas.
Berburu. Yah… maksudnya dia berburu wanita. Ingat, kan kalau dia membaca
majalah playboy saat rapat tadi?
Mungkin dia adalah seniorku yang lebih tua sembilan tahun dariku, tapi sikap playboy-nya ini benar-benar parah, kalau
tidak mau kubilang akut.
“Kau mau ikut aku, Rei?” tanyanya lagi, “Ini
menyenangkan, lho! Bisa membuatmu melupakan masalah dalam sekejap. Lagipula…
kurasa kau sudah cukup umur untuk berburu sepertiku.”
“Aku tidak punya waktu untuk itu.”
Dia tertawa dan aku sempat melirik beberapa
wanita melihat kearah kami. Memang setiap kali Leon keluar, dia selalu menarik
perhatian. Karena selain tampan dan memiliki rambut hitam yang terlihat
berkilau dan lembut, suaranya juga… bisa dibilang seksi? Kira-kira begitulah.
Aku tidak mengerti selera wanita terhadap Leon, yang notabene sering aku ejek
dengan sebutan ‘Mr. Feminin’.
“Ayolah, Rei…” dia merangkul bahuku, “Ini akan
menyenangkan! Kau pasti akan suka!”
“Aku tidak tertarik.” Kataku lagi.
“Hah… rupanya masih tidak mudah mengajakmu
melupakan pekerjaan sampinganmu.” Katanya. “Sebenarnya, kenapa kamu harus
melakukannya, sih? Kau, kan bisa minta tolong pada Alex atau Leia yang bekerja
di bagian informasi?”
“Aku tidak mempercayai siapapun untuk hal yang
satu ini. Lagipula, ini adalah masalahku sendiri.” ujarku.
Leon manggut-manggut mendengar jawabanku.
“Pekerjaan sampinganmu ini… berhubungan dengan
segala hal mengenai Clematis, kan?” katanya, “Karena itulah selama rapat tadi
kau hanya diam dan tidak bersuara sedikitpun padahal biasanya kau bicara walau
hanya satu atau dua kata.”
Aku hanya diam mendengarnya dan tidak
mengiyakan, tidak juga mengelak.
Yang jelas, memang perkiraan Leon tepat.
Sebenarnya, berakhirnya rapat dengan kekacauan
juga karena kesalahanku. Aku tidak akan memberitahumu, itu terlalu pribadi.
“Jadi… sebenarnya apa, atau siapa yang kau cari, Rei?” tanya Leon.
Lama aku terdiam sebelum menjawab. Sebelah
tanganku tanpa sadar menyentuh anting yang menempel di telinga kiriku sebelum
akhirnya aku menjawab pertanyaan Leon.
“Orang yang berharga bagiku,” kataku, “Orang
yang menjadi alasanku hidup sampai sekarang dan berjanji untuk
menyelamatkannya, apapun yang terjadi.”
“Lalu, siapa namanya? Orang yang kau cari?”
Lagi-lagi aku terdiam.
“Runa.” Kataku lagi, “Hanae… Runa.”
0 komentar:
Posting Komentar