PROLOGUE
Kalau
dia tidak datang… mungkin hidupku masih suram
Ketika
dia datang, aku sempat mencurigainya. Namun dari sinar matanya, aku tahu dia
tulus ingin menolongku keluar dari jeratan duri yang membelengguku selama ini.
Namun,
ketika dia mengulurkan tangannya padaku, memintaku percaya padanya, saat itulah
aku mulai meragu. Apakah aku bisa mempercayainya?
CHAPTER 1
Hujan
deras pagi itu membuat seorang gadis berusia 13 tahun merengut dari balik
jendela kamarnya. Hujan di pagi hari seperti ini membuatnya jengkel. Dia memang
menyukai hujan, tapi tidak saat dia akan berangkat ke sekolah. Padahal hari ini
dia sudah berjanji dengan teman-temannya untuk berangkat bersama dengan bus.
Namun, sepertinya rencana itu terpaksa dibatalkan.
“Ya.
Kalau hujan seperti ini, kurasa aku akan diantar oleh Papa.” kata gadis itu
sambil mengepit telepon di telinga kanannya dengan bahu sementara sebelah
tangannya menyematkan jepit rambut berbentuk bunga lili di rambutnya.
“Ya, sayang sekali hari ini hujan. Mungkin
lain kali saja kita berangkat bersama.” Ujar temannya di seberang telepon.
“Tami dan Debby pasti mengerti. Aku sudah
menghubungi mereka kalau hari ini rencana itu batal.”
“Aku
minta maaf, Mina. Aku jadi merasa tidak enak, hanya karena hujan seperti ini…”
“Tidak masalah, Arisa. Semua ini, kan, secara
alami terjadi. Kehendak alam.” ujar Mina, “Lagipula, hujan seperti ini juga berkah. Kapan lagi selama musim panas
ada hujan seperti ini?”
Arisa
hanya tersenyum mendengar ucapan Mina. Mereka lalu mengobrol sebentar lagi,
kemudian menutup telepon. Arisa kembali melihat hujan deras yang membasahi
pekarangan rumahnya yang ditanami bunga mawar putih yang dia tanam bersama
ibunya. Bunga-bunga cantik itu sudah mekar, dan terlihat berkilau terkena air
hujan. Dari balik jendela kamarnya, Arisa bisa melihat seberapa deras hujan
yang turun di luar.
Matanya
kemudian beralih pada cermin, menatap pantulan dirinya di sana. Matanya menatap
rambutnya yang berwarna hitam kecokelatan yang membingkai wajahnya yang mungil
berbentuk hati. Bola matanya berwarna hitam kebiruan, diteduhi oleh sepasang
bulu mata lentik dan alis yang melengkung sempurna. Bibirnya yang berwarna pink
tipis serta hidung kecil yang mancung menambah cantik penampilanya. Untuk
ukuran gadis berusia 13 tahun yang beberapa tahun lagi akan mencapai masa
remaja yang sebenarnya, tubuh Arisa bisa dikatakan lebih berkembang dari
anak-anak gadis kebanyakan.
Tubuhnya
cukup berisi, dan dengan tinggi sekitar 156 senti yang kemungkinan besar akan
terus bertambah seiring bertambah usianya, Arisa sering dikira siswa SMA
daripada siswa SMP kelas 3 yang akan menghadapi ujian tahun depan.
Namun,
jangan dikira pemikiran Arisa seperti anak-anak seusianya. Sebaliknya, cara
berpikir Arisa nyaris menyamai siswa SMA, bahkan lebih. Kakaknya sendiri bahkan
mengatakan, Arisa lebih mirip siswa SMA daripada siswa SMP karena pemikirannya
yang nyaris matang seperti anak-anak remaja SMA pada umumnya.
Pintu
kamarnya tiba-tiba diketuk dari luar. Dengan sedikit berlari, Arisa membuka pintu
kamarnya. Kakaknya, Yuya, berdiri di depan pintu dengan setelan jas lengkap.
“Kamu
sudah siap? Kita sarapan bersama sebelum berangkat.” Kata Yuya, “Biar aku yang
mengantarmu. Papa mendapat panggilan ke kantor dan sangat mendadak.”
“Apa
Kakak tidak terganggu?” tanya Arisa sambil menyambar tas sekolahnya dan kembali
mendekati kakaknya, “Bukankah hari ini Kakak ada rapat membahas produk game terbaru?”
Yuya
memang bekerja sebagai seorang game
programmer. Game buatan
perusahaan tempat kakaknya bekerja tergolong cukup sukses, terutama program game buatan kakaknya sangat cocok untuk
semua kalangan usia, dengan jalan cerita yang menarik dan tidak membosankan.
Arisa sering menjadi beta tester atau
orang yang diberi hak khusus untuk mencoba sebuah permainan terbaru yang akan
dirilis. Seringkali juga Arisa membantu kakaknya membuat scenario cerita dari game yang sedang dikembangkannya.
“Tidak.
Aku adalah bosnya dalam proyek terbaru ini, jadi tidak apa aku sedikit
terlambat untuk mengantarmu dan Ken ke sekolah.” Ujar Yuya sambil tersenyum.
Arisa
memang memiliki seorang adik, bernama Kenta. Selain kakak laki-laki dan juga
adik laki-laki, tidak ada anak perempuan lain. Jadi, hanya Arisa satu-satunya
anak perempuan dalam keluarganya.
Ia
dan Yuya berjalan ke ruang makan. Di sana, tampak adiknya, Kenta, sedang
menyantap roti bakar dengan selai coklat, dan seorang wanita paruh baya yang
memakai celemek berwarna hijau. Rambut beliau yang panjang diikat dan digelung
di belakang kepalanya. Raut wajah beliau sangat keibuan dan lembut. Ketika
melihat Arisa dan Yuya, beliau tersenyum.
“Selamat
pagi, Ma.” Kata Arisa sambil menghampiri ibunya.
“Selamat
pagi juga, Arisa.” Ibunya memeluk Arisa, “Bagaimana tidurmu kemarin? Tidak
bermimpi buruk lagi, kan?”
“Tidak,
kok. Hanya saja, aku masih merasa mengantuk. Mungkin karena hujan deras ini…”
Ibunya
tersenyum kecil, kemudian menyuruhnya duduk di meja makan. Beliau menyiapkan
roti bakar kesukaannya.
“Hujan
memang membuat orang ingin terus bersembunyi di balik selimut mereka.” kata
ibunya tersenyum.
Arisa
memakan roti bakar bagiannya dan menatap hujan deras di luar. Ia merenungi
pertanyaan ibunya tadi, mengenai mimpi buruk. Yah… dia sering mimpi buruk, dan
mimpi itu selalu sama, tidak pernah berubah. Dan untungnya, kemarin malam, dia
tidak bermimpi buruk sama sekali. Mungkin karena hujan yang turun deras, suhu
yang berubah dingin membuatnya tidur seperti orang mati.
Ternyata ada
untungnya juga hujan di pagi hari seperti ini.katanya
dalam hati, sambil melahap lagi roti bakarnya.
***
Sampai
di sekolah, Arisa menuju ruang loker. Sekolahnya adalah komplek sekolah yang
terdiri dari SD, SMP, dan SMA bernama Komplek Hoshiko Gakuen. Sekolahnya juga
cukup terkenal di kota, bahkan nasional, sebagai sekolah di mana anak-anak yang
berbakat seni bersekolah. Mulai dari anak artis papan atas, hingga anak biasa
yang memiliki bakat seni yang terkadang sangat luar biasa.
Dan,
sialnya, atau malah untungnya, Arisa termasuk anak-anak biasa yang memiliki
bakat seni luar biasa, kalau tidak mau dibilang multi-talenta (kata Miss
Janette, guru kelas pianonya). Semua orang tahu namanya, terutama karena dia
sering memenangi lomba-lomba seni saat masih kecil…
“Pagi,
Arisa!”
Arisa
terkejut dengan sapaan tepat di telinganya itu dan nyaris melompat kalau tidak
segera menoleh dan melihat Mina berdiri did dekatnya sambil tersenyum lebar.
“Ya
ampun… Mina! Kamu mengagetkanku saja.” kata Arisa.
“Tidak
biasanya kamu merenung di depan pintu lokermu. Apa itu ritual barumu sebelum
menghadapi hari ini?” tanya Mina santai sambil membuka pintu lokernya.
“Aku
hanya merasa terlalu beruntung masuk ke sekolah ini.” ujar Arisa, “Biasanya
kamu tidak terlambat. Kenapa hari ini kamu terlambat?”
“Hujan
deras seperti ini membuatku ingin kembali tidur di balik selimut,” kata Mina
sambil terkekeh, “Tidak, itu hanya bercanda. Aku sedikit kesulitan menemukan
bus untuk berangkat ke sekolah, dan terpaksa berjalan kaki karena selama lebih
dari 15 menit aku berdiri di halte, tidak ada bus yang lewat. Untungnya aku
membawa payung.”
Arisa
menatap payung berwarna pink di tangan Mina, hadiah darinya ketika Mina
berulang tahun yang ke-14 tahun lalu.
“Kasihan
sekali kamu…”
“Memang,”
Mina mengangguk.
Mereka
berdua memakai sepatu khusus dan menyimpan sepatu mereka ke dalam loker. Mina
sempat tertawa melihat banyaknya amplop warna-warni yang menyembur keluar dari
lokernya beserta hadiah-hadiah lain seperti sekotak coklat dan boneka kecil
ketika Arisa membuka pintu lokernya.
“Aku
heran, kita masih SMP dan belum mempunyai uang sendiri untuk membeli
barang-barang seperti ini. Tapi, mereka yang membeli barang-barang ini
benar-benar memaksakan diri.” Gerutu Arisa sambil mengambil kotak yang
disodorkan Mina padanya dan memungut semua amplop dan hadiah-hadiah di kakinya.
“Dan
aku sudah berusaha agar bangun lebih pagi daripada mereka hanya untuk
menghindari hadiah-hadiah seperti ini.” sambungnya lagi. “Apa mereka menjadi
penunggu sekolah, ya?”
“Well, mungkin karena beberapa diantara
mereka adalah anak artis? Tahu Jhonny, kan? Dia anak kedua dari Monica Phillip,
artis yang sudah lama melanglang-buana dalam dunia entertainment. Dan tentu saja… beliau pasti memiliki banyak uang.”
Arisa
tidak berkomentar. Dia mengumpulkan semua amplop-amplop itu dan menentengnya ke
kelas bersama Mina.
Ruang
kelas yang dicat berwarna putih itu masih tampak sepi. Hanya ada beberapa orang
saja yang baru datang dan tampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
Arisa
menghampiri kursinya dan duduk. Menghela nafas dan memijat pelipisnya.
“Kalau
kamu melakukan itu, kamu terlihat seperti orangtua.” Kata Mina sambil duduk di
kursi di sebelahya.
“Biar
saja.” jawab Arisa pendek, “Ngomong-ngomong, Tami dan Debby belum datang?”
“Mereka
berangkat bareng. Debby menumpang mobil ayah Tami.” Kata Mina, “Memangnya
kenapa?”
“Aku
ingin memberikan semua ini pada mereka… dan tentu saja, semua amplop ini akan
kubakar begitu aku tiba di rumah.”
Mina
sedikit membelalak mendengar jawaban Arisa, sebelum akhirnya mendecak, “Kurasa
julukan ‘Putri Es’ yang mereka berikan padamu sangat cocok dengan karaktermu.”
Arisa
hanya diam sambil memilah-milah hadiah di kotak yang dibawanya. Dia memberikan
dua kotak coklat dan satu gantungan kunci dari perak berbentuk boneka beruang
pada Mina, yang menerima dengan senang hati. Berkali-kali Arisa harus menahan
diri untuk menghela nafas dan memijat pelipisnya setiap kali menemukan sebuah
amplop terselip diantara hadiah yang dipisahkannya.
“Arisa,
Mina!”
Mereka
berdua mendongak dan melihat dua teman mereka datang sambil tersenyum lebar. Tami
berambut pendek dan dicat dengan warna coklat, sementara Debby memiliki rambut
panjang berwarna hitam alami. Terkadang ketika melihat warna rambut Debby,
Arisa merasa iri. Rambutnya yang berwarna hitam kecokelatan sering dijadikan
bahan olokan siswa-siswa yang tidak menyukainya karena warnanya yang mirip kayu
yang salah dipelitur.
“Hai,
Tami, Debby.” Sapa Arisa sambil tersenyum kecil, lalu menyodorkan dua kotak
coklat dan hadiah lainnya pada mereka.
“Ini.
Untuk kalian berdua.”
“Hadiah
lagi?” tanya Tami sambil tersenyum lebar, “Rupanya kamu benar-benar terkenal,
Arisa, sampai dapat banyak hadiah seperti ini.”
“Aku
tidak mungkin memakan semua ini sendirian, kan?” kata Arisa, “Dan mengenai
boneka… aku lebih baik mendapatkan boneka yang bisa kupeluk di malam hari
daripada boneka kecil seukuran genggaman tanganku yang bisa kubuang ke tempat
sampah.”
“Dan
seperti biasa, kata-katamu sangat pedas.” Kata Debby, kemudian duduk di kursi
di depan Arisa bersama Tami.
“Apa
kalian sudah mengerjakan PR? Ngomong-ngomong, hari ini ada event apa?” tanya Arias.
Sekolahnya
memang sering mengadakan event yang
bernuansa seni. Entah itu pentas seni, atau pertunjukan kecil-kecilan dari satu
kelas untuk mendapatkan poin bahwa kelas mereka adalah yang terbaik.
“Kurasa
tidak ada,” kata Tami sambil membuka kotak coklatnya dan memakan satu, “Tapi,
kudengar, seorang alumni dari sekolah ini, yang katanya adalah seorang direktur
manajemen artis yang terkenal… aku lupa siapa namanya…”
“Maksudmu
Liam Kirishima, pendiri Mirai Entertainment?” tanya Arisa.
“Ah,
ya! Benar! Liam Kirishima.” Ujar Tami, “Beliau adalah alumni sekolah ini,
tepatnya SMA-nya. Keponakannya juga bersekolah di sini, kan? Haruto, kalau
tidak salah.”
“Ya…
aku tahu. Haruto Kirishima. Dia cukup terkenal di komplek SMA, kan? Terutama
komplek SMP.” Kata Mina, “Kudengar dia cakep, dan beberapa teman kita pernah
menjadi pacarnya.”
“Aku
yakin itu hanya isu belaka.” Sahut Debby. “Nina pernah mengatakan padaku kalau
Haruto tidak pernah pacaran. Kakak Nina adalah teman sekelas Haruto, jadi dia
tahu gossip apa saja yang terjadi di komplek SMA.”
“Heee…
lalu, apa saja gossip-gosip di komplek SMA?” tanya Mina tertarik.
Sementara
ketiga temannya mengobrol, Arisa kembali menatap hujan dari balik jendela di
dekatnya. Dia menghela nafas untuk ke sekian kalinya dan menggosok tengkuknya
yang tiba-tiba terasa dingin.
“Mimpi
burukku benar-benar akan menjadi nyata.” Gumamnya lirih.
***
“Kenapa
aku harus ikut ke komplek SMP? Hari ini aku ada ujian yang tidak mungkin
kutinggalkan.”
Haruto
menatap paman yang menjadi ayah angkatnya dengan kening berkerut.
Liam
Kirishima hanya tersenyum mendengar keluhan putra angkatnya dan memberikan
jawaban yang cukup logis bagi Haruto.
“Karena
aku ingin kamu membantuku mencari batu berlian yang belum diasah, dengan kata
lain, calon artis baru untuk manajemen artis yang kudirikan. Lagipula, aku
sangat menghargai pendapatmu lebih dari apapun, nak, terutama masalah
calon-calon artis baru. Bukankah setiap ada calon artis yang hendak masuk
manajemen kita, selalu kamu yang menyeleksi?”
“Itu
karena kau yang meminta, Ayah.” Kata Haruto, lalu menguap, “Dan, astaga… apa
perlu kita datang sepagi ini? Ini baru jam 6 pagi.”
“Lebih
cepat dari jadwal, lebih bagus. Bukankah itu yang selalu kamu katakan?”
“Tapi,
tidak di pagi dengan hujan deras begini.” Ujar Haruto mulai menguap.
Liam
terkekeh melihat tindakan kekanakan Haruto. Dia tahu Haruto sangat antusias
dengan segala yang dilakukannya, terutama menyeleksi bakat baru untuk manajemen
artis yang dipimpinnya. Sejak kecil, Haruto sudah ikut bersamanya dan menjadi
putra angkatnya, menggantikan kedua orangtua kandung Haruto yang tidak lain
adalah adiknya, karena meninggal dalam kecelakaan.
Haruto
lahir dengan bakat yang luar biasa, Liam sangat menyadarinya. Putranya itu bisa
menulis lirik lagu yang mampu menggugah hati seseorang. Ia juga seorang pemain
gitar yang handal, bahkan tidak hanya itu, Haruto juga pandai berakting dan
punya segudang bakat lain yang tidak bisa disebutkan. Anak itu juga masuk dalam
manejemen artisnya sebagai penulis lagu dan membantunya sebagai asisten direktur
utama. Bakat yang luar biasa seeprti Haruto, diakui oleh Liam, amat jarang
terjadi, dan dia bersyukur bakat seperti yang dimiliki Haruto tidak terbuang
sia-sia.
“Ayah,
apa kita tidak bisa membatalkan saja event
itu? Aku benar-benar mempunyai ujian yang harus kutempuh dan tidak bisa
kutinggalkan.” Bujuk Haruto lagi.
“Aku
akan memastikan kamu bisa mengikuti ujian itu.” kata Liam, “Memangnya kamu akan
ujian apa sampai kamu tidak bisa meninggalkannya?”
“Fisika,
Kimia, dan Matematika. Sudah kukatakan, aku tidak mungkin meninggalkan ujian
itu kalau tidak mau mendapat nilai rendah.” Gerutu Haruto.
Liam
terkekeh. Dia tahu betul Haruto membenci pelajaran eksakta dan yang berhubungan
dengan ilmu pasti. Otak anak itu selalu dipenuhi dengan lirik-lirik lagu yang
berseliweran di kepalanya.
Yah…
memang di dunia ini tidak ada yang sempurna dan tidak semuanya sejalan. Seperti
otak kiri dan otak kanan yang memuat informasi berbeda untuk setiap bakat yang
dimiliki setiap orang.
“Aku
akan memastikan bahwa kamu bisa mengikuti ujian susulan.” Kata Liam, “Aku
berharap, sangat berharap padamu untuk menemukan satu saja batu berlian itu
untukku, dan setelah itu, kamu boleh mengikuti ujiannya.”
“Rasanya
itu terdengar seperti paksaan.” Kata Haruto.
“Bukan
paksaan, tapi permintaan dari seorang ayah tua pada anaknya.”
“Kau
tidak terlalu tua, Ayah. Usiamu baru 38 tahun.” Kata Haruto, tertawa mendengar
lelucon ayahnya. “Tapi, ya sudahlah… mungkin ini bisa menjadi sedikit hiburan
untukku. Lagipula, sudah lama sekali aku tidak mendengar ada batu berlian baru,
bahkan di komplek sekolahku, yang juga almametermu.”
Liam
tersenyum simpul. Ini salah satu hal yang disukainya dari Haruto. Anak itu
tidak akan mau berdebat panjang dengannya.
“Dan
kuharap, kamu bisa mencari batu berlian itu tanpa harus membuat masalah apa pun
di komplek SMP nanti.” Kata Liam.
0 komentar:
Posting Komentar