Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Angel's Lullaby - Prologue & Chapter 1



PROLOGUE

Kalau dia tidak datang… mungkin hidupku masih suram
Ketika dia datang, aku sempat mencurigainya. Namun dari sinar matanya, aku tahu dia tulus ingin menolongku keluar dari jeratan duri yang membelengguku selama ini.
Namun, ketika dia mengulurkan tangannya padaku, memintaku percaya padanya, saat itulah aku mulai meragu. Apakah aku bisa mempercayainya?
Orang asing yang dengan mudah masuk ke dalam kehidupanku, juga ke dalam hatiku?


CHAPTER 1

Hujan deras pagi itu membuat seorang gadis berusia 13 tahun merengut dari balik jendela kamarnya. Hujan di pagi hari seperti ini membuatnya jengkel. Dia memang menyukai hujan, tapi tidak saat dia akan berangkat ke sekolah. Padahal hari ini dia sudah berjanji dengan teman-temannya untuk berangkat bersama dengan bus. Namun, sepertinya rencana itu terpaksa dibatalkan.
“Ya. Kalau hujan seperti ini, kurasa aku akan diantar oleh Papa.” kata gadis itu sambil mengepit telepon di telinga kanannya dengan bahu sementara sebelah tangannya menyematkan jepit rambut berbentuk bunga lili di rambutnya.
Ya, sayang sekali hari ini hujan. Mungkin lain kali saja kita berangkat bersama.” Ujar temannya di seberang telepon. “Tami dan Debby pasti mengerti. Aku sudah menghubungi mereka kalau hari ini rencana itu batal.
“Aku minta maaf, Mina. Aku jadi merasa tidak enak, hanya karena hujan seperti ini…”
Tidak masalah, Arisa. Semua ini, kan, secara alami terjadi. Kehendak alam.” ujar Mina, “Lagipula, hujan seperti ini juga berkah. Kapan lagi selama musim panas ada hujan seperti ini?
Arisa hanya tersenyum mendengar ucapan Mina. Mereka lalu mengobrol sebentar lagi, kemudian menutup telepon. Arisa kembali melihat hujan deras yang membasahi pekarangan rumahnya yang ditanami bunga mawar putih yang dia tanam bersama ibunya. Bunga-bunga cantik itu sudah mekar, dan terlihat berkilau terkena air hujan. Dari balik jendela kamarnya, Arisa bisa melihat seberapa deras hujan yang turun di luar.
Matanya kemudian beralih pada cermin, menatap pantulan dirinya di sana. Matanya menatap rambutnya yang berwarna hitam kecokelatan yang membingkai wajahnya yang mungil berbentuk hati. Bola matanya berwarna hitam kebiruan, diteduhi oleh sepasang bulu mata lentik dan alis yang melengkung sempurna. Bibirnya yang berwarna pink tipis serta hidung kecil yang mancung menambah cantik penampilanya. Untuk ukuran gadis berusia 13 tahun yang beberapa tahun lagi akan mencapai masa remaja yang sebenarnya, tubuh Arisa bisa dikatakan lebih berkembang dari anak-anak gadis kebanyakan.
Tubuhnya cukup berisi, dan dengan tinggi sekitar 156 senti yang kemungkinan besar akan terus bertambah seiring bertambah usianya, Arisa sering dikira siswa SMA daripada siswa SMP kelas 3 yang akan menghadapi ujian tahun depan.
Namun, jangan dikira pemikiran Arisa seperti anak-anak seusianya. Sebaliknya, cara berpikir Arisa nyaris menyamai siswa SMA, bahkan lebih. Kakaknya sendiri bahkan mengatakan, Arisa lebih mirip siswa SMA daripada siswa SMP karena pemikirannya yang nyaris matang seperti anak-anak remaja SMA pada umumnya.
Pintu kamarnya tiba-tiba diketuk dari luar. Dengan sedikit berlari, Arisa membuka pintu kamarnya. Kakaknya, Yuya, berdiri di depan pintu dengan setelan jas lengkap.
“Kamu sudah siap? Kita sarapan bersama sebelum berangkat.” Kata Yuya, “Biar aku yang mengantarmu. Papa mendapat panggilan ke kantor dan sangat mendadak.”
“Apa Kakak tidak terganggu?” tanya Arisa sambil menyambar tas sekolahnya dan kembali mendekati kakaknya, “Bukankah hari ini Kakak ada rapat membahas produk game terbaru?”
Yuya memang bekerja sebagai seorang game programmer. Game buatan perusahaan tempat kakaknya bekerja tergolong cukup sukses, terutama program game buatan kakaknya sangat cocok untuk semua kalangan usia, dengan jalan cerita yang menarik dan tidak membosankan. Arisa sering menjadi beta tester atau orang yang diberi hak khusus untuk mencoba sebuah permainan terbaru yang akan dirilis. Seringkali juga Arisa membantu kakaknya membuat scenario cerita dari game yang sedang dikembangkannya.
“Tidak. Aku adalah bosnya dalam proyek terbaru ini, jadi tidak apa aku sedikit terlambat untuk mengantarmu dan Ken ke sekolah.” Ujar Yuya sambil tersenyum.
Arisa memang memiliki seorang adik, bernama Kenta. Selain kakak laki-laki dan juga adik laki-laki, tidak ada anak perempuan lain. Jadi, hanya Arisa satu-satunya anak perempuan dalam keluarganya.
Ia dan Yuya berjalan ke ruang makan. Di sana, tampak adiknya, Kenta, sedang menyantap roti bakar dengan selai coklat, dan seorang wanita paruh baya yang memakai celemek berwarna hijau. Rambut beliau yang panjang diikat dan digelung di belakang kepalanya. Raut wajah beliau sangat keibuan dan lembut. Ketika melihat Arisa dan Yuya, beliau tersenyum.
“Selamat pagi, Ma.” Kata Arisa sambil menghampiri ibunya.
“Selamat pagi juga, Arisa.” Ibunya memeluk Arisa, “Bagaimana tidurmu kemarin? Tidak bermimpi buruk lagi, kan?”
“Tidak, kok. Hanya saja, aku masih merasa mengantuk. Mungkin karena hujan deras ini…”
Ibunya tersenyum kecil, kemudian menyuruhnya duduk di meja makan. Beliau menyiapkan roti bakar kesukaannya.
“Hujan memang membuat orang ingin terus bersembunyi di balik selimut mereka.” kata ibunya tersenyum.
Arisa memakan roti bakar bagiannya dan menatap hujan deras di luar. Ia merenungi pertanyaan ibunya tadi, mengenai mimpi buruk. Yah… dia sering mimpi buruk, dan mimpi itu selalu sama, tidak pernah berubah. Dan untungnya, kemarin malam, dia tidak bermimpi buruk sama sekali. Mungkin karena hujan yang turun deras, suhu yang berubah dingin membuatnya tidur seperti orang mati.
Ternyata ada untungnya juga hujan di pagi hari seperti ini.katanya dalam hati, sambil melahap lagi roti bakarnya.

***

Sampai di sekolah, Arisa menuju ruang loker. Sekolahnya adalah komplek sekolah yang terdiri dari SD, SMP, dan SMA bernama Komplek Hoshiko Gakuen. Sekolahnya juga cukup terkenal di kota, bahkan nasional, sebagai sekolah di mana anak-anak yang berbakat seni bersekolah. Mulai dari anak artis papan atas, hingga anak biasa yang memiliki bakat seni yang terkadang sangat luar biasa.
Dan, sialnya, atau malah untungnya, Arisa termasuk anak-anak biasa yang memiliki bakat seni luar biasa, kalau tidak mau dibilang multi-talenta (kata Miss Janette, guru kelas pianonya). Semua orang tahu namanya, terutama karena dia sering memenangi lomba-lomba seni saat masih kecil…
“Pagi, Arisa!”
Arisa terkejut dengan sapaan tepat di telinganya itu dan nyaris melompat kalau tidak segera menoleh dan melihat Mina berdiri did dekatnya sambil tersenyum lebar.
“Ya ampun… Mina! Kamu mengagetkanku saja.” kata Arisa.
“Tidak biasanya kamu merenung di depan pintu lokermu. Apa itu ritual barumu sebelum menghadapi hari ini?” tanya Mina santai sambil membuka pintu lokernya.
“Aku hanya merasa terlalu beruntung masuk ke sekolah ini.” ujar Arisa, “Biasanya kamu tidak terlambat. Kenapa hari ini kamu terlambat?”
“Hujan deras seperti ini membuatku ingin kembali tidur di balik selimut,” kata Mina sambil terkekeh, “Tidak, itu hanya bercanda. Aku sedikit kesulitan menemukan bus untuk berangkat ke sekolah, dan terpaksa berjalan kaki karena selama lebih dari 15 menit aku berdiri di halte, tidak ada bus yang lewat. Untungnya aku membawa payung.”
Arisa menatap payung berwarna pink di tangan Mina, hadiah darinya ketika Mina berulang tahun yang ke-14 tahun lalu.
“Kasihan sekali kamu…”
“Memang,” Mina mengangguk.
Mereka berdua memakai sepatu khusus dan menyimpan sepatu mereka ke dalam loker. Mina sempat tertawa melihat banyaknya amplop warna-warni yang menyembur keluar dari lokernya beserta hadiah-hadiah lain seperti sekotak coklat dan boneka kecil ketika Arisa membuka pintu lokernya.
“Aku heran, kita masih SMP dan belum mempunyai uang sendiri untuk membeli barang-barang seperti ini. Tapi, mereka yang membeli barang-barang ini benar-benar memaksakan diri.” Gerutu Arisa sambil mengambil kotak yang disodorkan Mina padanya dan memungut semua amplop dan hadiah-hadiah di kakinya.
“Dan aku sudah berusaha agar bangun lebih pagi daripada mereka hanya untuk menghindari hadiah-hadiah seperti ini.” sambungnya lagi. “Apa mereka menjadi penunggu sekolah, ya?”
Well, mungkin karena beberapa diantara mereka adalah anak artis? Tahu Jhonny, kan? Dia anak kedua dari Monica Phillip, artis yang sudah lama melanglang-buana dalam dunia entertainment. Dan tentu saja… beliau pasti memiliki banyak uang.”
Arisa tidak berkomentar. Dia mengumpulkan semua amplop-amplop itu dan menentengnya ke kelas bersama Mina.
Ruang kelas yang dicat berwarna putih itu masih tampak sepi. Hanya ada beberapa orang saja yang baru datang dan tampak sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing.
Arisa menghampiri kursinya dan duduk. Menghela nafas dan memijat pelipisnya.
“Kalau kamu melakukan itu, kamu terlihat seperti orangtua.” Kata Mina sambil duduk di kursi di sebelahya.
“Biar saja.” jawab Arisa pendek, “Ngomong-ngomong, Tami dan Debby belum datang?”
“Mereka berangkat bareng. Debby menumpang mobil ayah Tami.” Kata Mina, “Memangnya kenapa?”
“Aku ingin memberikan semua ini pada mereka… dan tentu saja, semua amplop ini akan kubakar begitu aku tiba di rumah.”
Mina sedikit membelalak mendengar jawaban Arisa, sebelum akhirnya mendecak, “Kurasa julukan ‘Putri Es’ yang mereka berikan padamu sangat cocok dengan karaktermu.”
Arisa hanya diam sambil memilah-milah hadiah di kotak yang dibawanya. Dia memberikan dua kotak coklat dan satu gantungan kunci dari perak berbentuk boneka beruang pada Mina, yang menerima dengan senang hati. Berkali-kali Arisa harus menahan diri untuk menghela nafas dan memijat pelipisnya setiap kali menemukan sebuah amplop terselip diantara hadiah yang dipisahkannya.
“Arisa, Mina!”
Mereka berdua mendongak dan melihat dua teman mereka datang sambil tersenyum lebar. Tami berambut pendek dan dicat dengan warna coklat, sementara Debby memiliki rambut panjang berwarna hitam alami. Terkadang ketika melihat warna rambut Debby, Arisa merasa iri. Rambutnya yang berwarna hitam kecokelatan sering dijadikan bahan olokan siswa-siswa yang tidak menyukainya karena warnanya yang mirip kayu yang salah dipelitur.
“Hai, Tami, Debby.” Sapa Arisa sambil tersenyum kecil, lalu menyodorkan dua kotak coklat dan hadiah lainnya pada mereka.
“Ini. Untuk kalian berdua.”
“Hadiah lagi?” tanya Tami sambil tersenyum lebar, “Rupanya kamu benar-benar terkenal, Arisa, sampai dapat banyak hadiah seperti ini.”
“Aku tidak mungkin memakan semua ini sendirian, kan?” kata Arisa, “Dan mengenai boneka… aku lebih baik mendapatkan boneka yang bisa kupeluk di malam hari daripada boneka kecil seukuran genggaman tanganku yang bisa kubuang ke tempat sampah.”
“Dan seperti biasa, kata-katamu sangat pedas.” Kata Debby, kemudian duduk di kursi di depan Arisa bersama Tami.
“Apa kalian sudah mengerjakan PR? Ngomong-ngomong, hari ini ada event apa?” tanya Arias.
Sekolahnya memang sering mengadakan event yang bernuansa seni. Entah itu pentas seni, atau pertunjukan kecil-kecilan dari satu kelas untuk mendapatkan poin bahwa kelas mereka adalah yang terbaik.
“Kurasa tidak ada,” kata Tami sambil membuka kotak coklatnya dan memakan satu, “Tapi, kudengar, seorang alumni dari sekolah ini, yang katanya adalah seorang direktur manajemen artis yang terkenal… aku lupa siapa namanya…”
“Maksudmu Liam Kirishima, pendiri Mirai Entertainment?” tanya Arisa.
“Ah, ya! Benar! Liam Kirishima.” Ujar Tami, “Beliau adalah alumni sekolah ini, tepatnya SMA-nya. Keponakannya juga bersekolah di sini, kan? Haruto, kalau tidak salah.”
“Ya… aku tahu. Haruto Kirishima. Dia cukup terkenal di komplek SMA, kan? Terutama komplek SMP.” Kata Mina, “Kudengar dia cakep, dan beberapa teman kita pernah menjadi pacarnya.”
“Aku yakin itu hanya isu belaka.” Sahut Debby. “Nina pernah mengatakan padaku kalau Haruto tidak pernah pacaran. Kakak Nina adalah teman sekelas Haruto, jadi dia tahu gossip apa saja yang terjadi di komplek SMA.”
“Heee… lalu, apa saja gossip-gosip di komplek SMA?” tanya Mina tertarik.
Sementara ketiga temannya mengobrol, Arisa kembali menatap hujan dari balik jendela di dekatnya. Dia menghela nafas untuk ke sekian kalinya dan menggosok tengkuknya yang tiba-tiba terasa dingin.
“Mimpi burukku benar-benar akan menjadi nyata.” Gumamnya lirih.

***

“Kenapa aku harus ikut ke komplek SMP? Hari ini aku ada ujian yang tidak mungkin kutinggalkan.”
Haruto menatap paman yang menjadi ayah angkatnya dengan kening berkerut.
Liam Kirishima hanya tersenyum mendengar keluhan putra angkatnya dan memberikan jawaban yang cukup logis bagi Haruto.
“Karena aku ingin kamu membantuku mencari batu berlian yang belum diasah, dengan kata lain, calon artis baru untuk manajemen artis yang kudirikan. Lagipula, aku sangat menghargai pendapatmu lebih dari apapun, nak, terutama masalah calon-calon artis baru. Bukankah setiap ada calon artis yang hendak masuk manajemen kita, selalu kamu yang menyeleksi?”
“Itu karena kau yang meminta, Ayah.” Kata Haruto, lalu menguap, “Dan, astaga… apa perlu kita datang sepagi ini? Ini baru jam 6 pagi.”
“Lebih cepat dari jadwal, lebih bagus. Bukankah itu yang selalu kamu katakan?”
“Tapi, tidak di pagi dengan hujan deras begini.” Ujar Haruto mulai menguap.
Liam terkekeh melihat tindakan kekanakan Haruto. Dia tahu Haruto sangat antusias dengan segala yang dilakukannya, terutama menyeleksi bakat baru untuk manajemen artis yang dipimpinnya. Sejak kecil, Haruto sudah ikut bersamanya dan menjadi putra angkatnya, menggantikan kedua orangtua kandung Haruto yang tidak lain adalah adiknya, karena meninggal dalam kecelakaan.
Haruto lahir dengan bakat yang luar biasa, Liam sangat menyadarinya. Putranya itu bisa menulis lirik lagu yang mampu menggugah hati seseorang. Ia juga seorang pemain gitar yang handal, bahkan tidak hanya itu, Haruto juga pandai berakting dan punya segudang bakat lain yang tidak bisa disebutkan. Anak itu juga masuk dalam manejemen artisnya sebagai penulis lagu dan membantunya sebagai asisten direktur utama. Bakat yang luar biasa seeprti Haruto, diakui oleh Liam, amat jarang terjadi, dan dia bersyukur bakat seperti yang dimiliki Haruto tidak terbuang sia-sia.
“Ayah, apa kita tidak bisa membatalkan saja event itu? Aku benar-benar mempunyai ujian yang harus kutempuh dan tidak bisa kutinggalkan.” Bujuk Haruto lagi.
“Aku akan memastikan kamu bisa mengikuti ujian itu.” kata Liam, “Memangnya kamu akan ujian apa sampai kamu tidak bisa meninggalkannya?”
“Fisika, Kimia, dan Matematika. Sudah kukatakan, aku tidak mungkin meninggalkan ujian itu kalau tidak mau mendapat nilai rendah.” Gerutu Haruto.
Liam terkekeh. Dia tahu betul Haruto membenci pelajaran eksakta dan yang berhubungan dengan ilmu pasti. Otak anak itu selalu dipenuhi dengan lirik-lirik lagu yang berseliweran di kepalanya.
Yah… memang di dunia ini tidak ada yang sempurna dan tidak semuanya sejalan. Seperti otak kiri dan otak kanan yang memuat informasi berbeda untuk setiap bakat yang dimiliki setiap orang.
“Aku akan memastikan bahwa kamu bisa mengikuti ujian susulan.” Kata Liam, “Aku berharap, sangat berharap padamu untuk menemukan satu saja batu berlian itu untukku, dan setelah itu, kamu boleh mengikuti ujiannya.”
“Rasanya itu terdengar seperti paksaan.” Kata Haruto.
“Bukan paksaan, tapi permintaan dari seorang ayah tua pada anaknya.”
“Kau tidak terlalu tua, Ayah. Usiamu baru 38 tahun.” Kata Haruto, tertawa mendengar lelucon ayahnya. “Tapi, ya sudahlah… mungkin ini bisa menjadi sedikit hiburan untukku. Lagipula, sudah lama sekali aku tidak mendengar ada batu berlian baru, bahkan di komplek sekolahku, yang juga almametermu.”
Liam tersenyum simpul. Ini salah satu hal yang disukainya dari Haruto. Anak itu tidak akan mau berdebat panjang dengannya.
“Dan kuharap, kamu bisa mencari batu berlian itu tanpa harus membuat masalah apa pun di komplek SMP nanti.” Kata Liam.

0 komentar:

Posting Komentar