Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Re - Chapter 2



Runa’s Side
29 Januari 2019
Gelap… aku benci gelap. Aku sangat membencinya, tapi aku tidak bisa meneriakkan ketakutan dan kebencianku pada kegelapan karena mulutku dibekap dan kedua mataku ditutup dengan sebuah kain.
Aku bahkan tidak bisa bergerak. Kedua tanganku diikat di kedua sisi tempat tidur dengan borgol serta rantai yang terasa sangat dingin di kulitku.

Di mana tempatku berada sekarang, aku tidak tahu. Yang kutahu, aku sudah diikat seperti ini setiap kali aku kembali dari ‘bertugas’. Orang-orang yang mengikatku (dan mungkin mengurungku juga) mengatakan kalau ini adalah tindakan pencegahan mereka terhadapku. Mereka memperlakukanku seperti binatang, memakiku, mencambukku jika aku melakukan sedikit kesalahan, dan… aku tidak mau menyebutkan semua siksaan mereka satu-persatu. Kalau tidak, aku akan menggigil ketakutan mengingatnya.
Aku tidak ingat apa yang terjadi padaku. Aku bahkan tidak bisa mengingat namaku. Hanya satu kata yang kuingat, ‘Rei’. Dan aku tidak yakin apakah itu namaku atau tidak. Selebihnya, aku tidak ingat, seolah-olah ada sesuatu yang menghalangiku untuk mengingat segalanya.
“Hmpft…” hanya suara itu yang bisa kukeluarkan dari mulutku yang dibekap dengan kain.
Aku haus. Aku ingat aku tidak minum setelah bertugas dan langsung diikat. Aku bahkan tidak diberi makan. Mereka, orang-orang di tempat ini, bahkan tidak memberikanku makan selayaknya manusia.
Kudengar suara pintu yang berderit terbuka disertai langkah-langkah kaki yang menghampiri tempatku diikat. Suara gemerincing rantai dan borgol yang dibuka membuatku tersadar sepenuhnya. Kain yang menutup kedua mataku dilepas, dan aku mengernyit membiasakan mataku pada cahaya senter yang dibiaskan pada mataku. Sebuah tangan membuka kain yang menutupi mulutku.
“Dia sadar. Bawa dia ke ruangan Profesor Diva.”
Salah seorang diantara mereka menjambak rambutku dan memaksaku berdiri. Aku menahan rasa sakit yang diakibatkan oleh tangan kasarnya dan mencoba berjalan sebisaku.
Sebisa yang bisa dilakukan kedua kakiku yang gemetar.
Mereka membawaku ke sebuah ruangan yang gelap, sama seperti ruangan tempatku tadi dikurung. Dengan kasar, orang yang menjambakku menyentakku hingga jatuh tersungkur di hadapan seorang wanita yang tengah sibuk di mejanya. Wanita itu menoleh kearahku dan aku membenci senyumannya yang seolah merendahkanku.
“Ah… boneka kesayanganku, Fuyuki.” Dia berlutut di depanku dan, seperti mereka yang membawaku kemari, ia juga menjambak rambutku hingga aku mendongak menatapnya.
“A, apa… yang ingin Anda lakukan padaku, Profesor… Diva.” Kataku serak, karena belum minum dan kelelahan.
“Hmm? Kenapa suaramu seperti ini? Suaramu tidak seindah biasanya.”
Ia lalu menoleh kearah seorang diantara yang tadi membawaku, “Ambilkan air dan minumkan padanya. Cepat!”
Salah seorang diantara mereka berlutut di dekatku dan menyorongkan sebuah botol air ke mulutku. Aku meminum air itu dengan rakus dan merasakan cairan dingin itu meresap ke dalam tenggorokanku yang kering.
Setelah dirasa cukup, botol itu dijauhkan dariku, dan Profesor Diva mengelus wajahku.
“Aku kecewa padamu, Fuyuki sayang.” Katanya dengan nada manis yang membuatku ingin muntah, “Kenapa kau membiarkan satu mangsa kita kabur begitu saja?”
“A, aku tidak—”
Ucapanku terhenti ketika tangannya mencekik leherku. Aku mencoba untuk tidak berteriak kesakitan dan sebaliknya menatap matanya.
“Aku benar-benar kecewa padamu, tapi aku masih punya hati memberikanmu kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahanmu.” Ujarnya, “Malam ini juga, kau pergi ke Distrik Tiga, ke sebuah mansion besar milik keluarga Handerson. Bunuh semua orang yang ada di sana, dan lenyapkan siapapun yang menghalangimu.”
“Kau mengerti?”
Aku mengangguk lemah, karena paru-paruku tidak menerima oksigen dengan baik.
Ia menyentakku dan aku langsung terbatuk-batuk, menarik oksigen sebanyak yang bisa dilakukan oleh paru-paruku. Namun, belum sempat aku menarik nafas lega, kedua tanganku dipegangi oleh dua orang pria berbadan besar yang entah datang dari mana. Aku mendongak dan menatap ngeri alat kejut listrik yang ada di tangan Profesor Diva.
“Aku memang tidak berniat memberimu hukuman, tapi kali ini, kesalahanmu cukup fatal hingga aku harus menghukummu dengan benda ini.” katanya sambil tersenyum, “Oh, jangan menatapku seperti itu, sayang. Ini tidak akan sakit, hanya akan terasa seperti digigit serangga.”
“T, tidak… jangan…”
Aku mencoba meronta, tapi tubuhku lemah karena aku belum diberi makan dan aku masih kesakitan karena jambakan di rambutku.
Beliau berlutut di hadapanku, mengarahkan alat kejut listrik itu ke leherku. Dan selanjutnya yang kudengar adalah teriakan dari mulutku karena rasa sakit yang diakibatkan oleh alat itu di sekujur tubuhku.

***

Tubuhku rasanya kebas, mati rasa. Tapi aku harus terus berjalan menuju ruangan tempatku tadi disekap dan mempersiapkan diri. Tubuhku sakit, tentu saja. Setelah Profesor Diva menyetrumku dengan alat kejut listrik berkali-kali, akhirnya aku digiring kembali ke ruanganku. Aku berusaha untuk tidak jatuh pingsan, karena aku harus tetap sadar, setidaknya sampai mereka menyuntikkan obat untuk mematikan rasa sakit di sekujur tubuhku.
Orang-orang yang tadi membawaku membuka pintu dan memasukkan ke dalam ruangan tadi dan menutup pintu dengan suara yang begitu keras hingga membuat telingaku berdenging.
Aku meraba-raba dinding di dekatku dan menekan tombol lampu. Aku mengerjapkan mata membiasakan mataku dengan cahaya remang-remang di tengah ruangan yang diciptakan oleh bola lampu yang bahkan cahayanya tidak sampai menuju tempat tidur kecil di sudut ruangan.
Aku menahan perasaan menggigil di tubuhku dan menghampiri lemari kecil di sudut lain ruangan. Kulepas pakaian yang kukenakan dan melemparnya ke keranjang kotor di dekat lemari kecil. Aku membuka pintu yang langsung terhubung ke kamar mandi dan menyalakan shower. Ketika merasakan air dingin yang terpancar dari shower, aku tersentak kaget dan lagi-lagi ingin menggigil.
Tidak. Aku tidak boleh menggigil… aku tidak boleh menggigil…
Dengan susah payah aku membersihkan diri. Menyabuni sekujur tubuhku yang berbau darah, juga mencuci rambutku. Sekilas, aku menatap bayangan buram yang terpantul dari cermin yang ada di dekatku. Tanganku meraba cermin itu dan menghapus embun yang menutupi cermin tersebut.
Sepasang mata berwarna ungu yang menatap balik menatapku dari cermin itu. Rambut sewarna kayu mahoni yang basah terkena pancaran air shower, serta tubuh yang mungkin bisa dibilang langsing oleh kebanyakan pria. Di telinga kanannya menempel sebuah anting bulat berwarna biru yang tampak tidak menonjol.
Sayangnya sekujur tubuh si pemilik mata ungu itu penuh bekas luka yang tampak… mengerikan. Hampir di sekujur tubuhnya penuh bekas luka memanjang dan tampak terparut mengerikan di kulitnya.
Dan pemilik mata ungu itu adalah aku sendiri.
Aku meraba cermin dan merasakan rasa dingin di tanganku. Menatap bayanganku sendiri yang terpantul di sana.
“Rei…”
Aku selalu mengucapkan nama itu ketika aku merasa seperti ini. Tidak berdaya dan ingin semua ini berakhir. Nama itu selalu memiliki arti bagiku. Well… mungkin otakku tidak mengingatnya, tapi hatiku selalu merasakan nama itu memiliki sebuah peranan penting dalam hidupku.
Apakah nama itu yang membuatku seperti ini? Tidak… aku yakin bukan nama itulah yang membuat kehidupanku seperti sekarang.
Selama ini, aku sudah menjadi Claydoll di tempat ini selama hampir sepanjang hidupku. Menurut para ilmuwan yang ditugaskan untuk mengawasi dan merawatku, usiaku sekarnag sudah 18 tahun. Usia yang menurut sebagian orang di luar sana sebagai usia yang menunjukkan kedewasaan.
Aku tidak mengerti apa artinya menjadi dewasa. Aku bahkan tidak mengerti apakah usia 18 tahun itu masih kanak-kanak atau dewasa.
Aku bahkan tidak ingin tahu lagi tentang hal itu.
“Rei…” aku mengucapkan nama itu lagi, sembari menyandarkan dahiku pada cermin.
“Rei… Rei…”
Dan aku membiarkan sebuah isakan melompat dari mulutku.

***

Setelah membersihkan diri, aku melihat pakaian ganti baru yang entah sejak kapan berada diatas tempat tidur. Lengkap dengan senjata yang selalu kugunakan. Sebuah katana, dan juga pistol.
Aku menghampiri tempat tidurku dan mengenakan pakaianku. Sebuah gaun biru gelap yang menempel ketat di tubuhku, sebuah jas panjang berwarna sama, juga sepasang sepatu bot hitam. Kupasang sebuah ikat pinggang di luar jasku dan memasukkan pistol serta pedangku di tempat yang sudah ada di ikat pinggang itu.
Aku menyisiri rambutku dan mengikat sebagian rambutku membentuk cepol di belakang kepalaku. Kusematkan sebuah pin berbentuk bunga mawar putih di rambutku dan mengambil sepasang sarung tangan hitam yang disertakan bersama pakaianku.
Pintu tiba-tiba terbuka dan seorang ilmuwan laki-laki berjas putih masuk ke dalam. Di tangannya, dia memegang sebuah kotak kecil, yang aku tahu berisi suntikan obat Claydoll.
Ya. Aku adalah Claydoll terbaik mereka, orang-orang berjas putih ini. Dan mereka menganggapku sebagai asset yang tak ternilai harganya.
“Kemarikan lehermu.” Katanya sambil mengambil sebuah suntikan dari dalam kotak yang dibawanya.
Aku berdiri di depannya sementara menyibakkan rambutku ke belakang. Laki-laki itu lalu menyuntikkan obat di suntikan itu ke tubuhku. Rasa sakit akibat jarum suntik tidak pernah lagi membuatku kesakitan karena aku sudah… terbiasa.
“Selesai,” katanya lagi, “Hei, Fuyuki, bagaimana setelah kau bertugas, kau mampir ke ruanganku? Kita bisa bersenang-senang.”
Aku menatapnya dengan tatapan datar. Laki-laki ini menatapku penuh minat, dan matanya bolak-balik menatapku dari atas sampai bawah. Tangannya menyentuh sebelah pahaku yang tersingkap dari jas yang kukenakan.
Hhh… sudah sering aku mendapatkan rayuan seperti ini dari para pria yang setiap kali memberikanku suntikan, memeriksa keadaanku, atau memastikan aku makan, tapi aku muak dengan rayuan mereka. Rasanya ingin sekali aku menghajar mereka, tapi setiap kali aku mencoba melakukannya, mereka pasti akan memberikanku sengatan listrik dari stungun yang selalu mereka bawa.
Oh, tapi ada beberapa orang yang berhasil memaksaku. Dan aku katakan ini, ketika mereka berhasil memaksaku, itu juga adalah ‘neraka’ bagiku.
“Maaf saja. Aku tidak tertarik dengan rayuanmu.” Aku menepis tangannya yang masih meraba pahaku dan keluar dari ruangan itu.

0 komentar:

Posting Komentar