Runa’s Side
29 Januari 2019
Gelap…
aku benci gelap. Aku sangat membencinya, tapi aku tidak bisa meneriakkan
ketakutan dan kebencianku pada kegelapan karena mulutku dibekap dan kedua
mataku ditutup dengan sebuah kain.
Aku bahkan tidak bisa bergerak. Kedua tanganku
diikat di kedua sisi tempat tidur dengan borgol serta rantai yang terasa sangat
dingin di kulitku.
Di mana tempatku berada sekarang, aku tidak
tahu. Yang kutahu, aku sudah diikat seperti ini setiap kali aku kembali dari
‘bertugas’. Orang-orang yang mengikatku (dan mungkin mengurungku juga)
mengatakan kalau ini adalah tindakan pencegahan mereka terhadapku. Mereka
memperlakukanku seperti binatang, memakiku, mencambukku jika aku melakukan
sedikit kesalahan, dan… aku tidak mau menyebutkan semua siksaan mereka
satu-persatu. Kalau tidak, aku akan menggigil ketakutan mengingatnya.
Aku tidak ingat apa yang terjadi padaku. Aku bahkan
tidak bisa mengingat namaku. Hanya satu kata yang kuingat, ‘Rei’. Dan aku tidak
yakin apakah itu namaku atau tidak. Selebihnya, aku tidak ingat, seolah-olah
ada sesuatu yang menghalangiku untuk mengingat segalanya.
“Hmpft…” hanya suara itu yang bisa kukeluarkan
dari mulutku yang dibekap dengan kain.
Aku haus. Aku ingat aku tidak minum setelah
bertugas dan langsung diikat. Aku bahkan tidak diberi makan. Mereka,
orang-orang di tempat ini, bahkan tidak memberikanku makan selayaknya manusia.
Kudengar suara pintu yang berderit terbuka
disertai langkah-langkah kaki yang menghampiri tempatku diikat. Suara
gemerincing rantai dan borgol yang dibuka membuatku tersadar sepenuhnya. Kain
yang menutup kedua mataku dilepas, dan aku mengernyit membiasakan mataku pada
cahaya senter yang dibiaskan pada mataku. Sebuah tangan membuka kain yang
menutupi mulutku.
“Dia sadar. Bawa dia ke ruangan Profesor Diva.”
Salah seorang diantara mereka menjambak
rambutku dan memaksaku berdiri. Aku menahan rasa sakit yang diakibatkan oleh
tangan kasarnya dan mencoba berjalan sebisaku.
Sebisa yang bisa dilakukan kedua kakiku yang
gemetar.
Mereka membawaku ke sebuah ruangan yang gelap,
sama seperti ruangan tempatku tadi dikurung. Dengan kasar, orang yang
menjambakku menyentakku hingga jatuh tersungkur di hadapan seorang wanita yang
tengah sibuk di mejanya. Wanita itu menoleh kearahku dan aku membenci
senyumannya yang seolah merendahkanku.
“Ah… boneka kesayanganku, Fuyuki.” Dia berlutut
di depanku dan, seperti mereka yang membawaku kemari, ia juga menjambak
rambutku hingga aku mendongak menatapnya.
“A, apa… yang ingin Anda lakukan padaku,
Profesor… Diva.” Kataku serak, karena belum minum dan kelelahan.
“Hmm? Kenapa suaramu seperti ini? Suaramu tidak
seindah biasanya.”
Ia lalu menoleh kearah seorang diantara yang
tadi membawaku, “Ambilkan air dan minumkan padanya. Cepat!”
Salah seorang diantara mereka berlutut di
dekatku dan menyorongkan sebuah botol air ke mulutku. Aku meminum air itu
dengan rakus dan merasakan cairan dingin itu meresap ke dalam tenggorokanku
yang kering.
Setelah dirasa cukup, botol itu dijauhkan
dariku, dan Profesor Diva mengelus wajahku.
“Aku kecewa padamu, Fuyuki sayang.” Katanya dengan
nada manis yang membuatku ingin muntah, “Kenapa kau membiarkan satu mangsa kita
kabur begitu saja?”
“A, aku tidak—”
Ucapanku terhenti ketika tangannya mencekik
leherku. Aku mencoba untuk tidak berteriak kesakitan dan sebaliknya menatap
matanya.
“Aku benar-benar kecewa padamu, tapi aku masih
punya hati memberikanmu kesempatan kedua untuk memperbaiki kesalahanmu.”
Ujarnya, “Malam ini juga, kau pergi ke Distrik Tiga, ke sebuah mansion besar
milik keluarga Handerson. Bunuh semua orang yang ada di sana, dan lenyapkan
siapapun yang menghalangimu.”
“Kau mengerti?”
Aku mengangguk lemah, karena paru-paruku tidak
menerima oksigen dengan baik.
Ia menyentakku dan aku langsung terbatuk-batuk,
menarik oksigen sebanyak yang bisa dilakukan oleh paru-paruku. Namun, belum
sempat aku menarik nafas lega, kedua tanganku dipegangi oleh dua orang pria
berbadan besar yang entah datang dari mana. Aku mendongak dan menatap ngeri
alat kejut listrik yang ada di tangan Profesor Diva.
“Aku memang tidak berniat memberimu hukuman,
tapi kali ini, kesalahanmu cukup fatal hingga aku harus menghukummu dengan
benda ini.” katanya sambil tersenyum, “Oh, jangan menatapku seperti itu,
sayang. Ini tidak akan sakit, hanya akan terasa seperti digigit serangga.”
“T, tidak… jangan…”
Aku mencoba meronta, tapi tubuhku lemah karena
aku belum diberi makan dan aku masih kesakitan karena jambakan di rambutku.
Beliau berlutut di hadapanku, mengarahkan alat
kejut listrik itu ke leherku. Dan selanjutnya yang kudengar adalah teriakan
dari mulutku karena rasa sakit yang diakibatkan oleh alat itu di sekujur
tubuhku.
***
Tubuhku
rasanya kebas, mati rasa. Tapi aku harus terus berjalan menuju ruangan tempatku
tadi disekap dan mempersiapkan diri. Tubuhku sakit, tentu saja. Setelah
Profesor Diva menyetrumku dengan alat kejut listrik berkali-kali, akhirnya aku
digiring kembali ke ruanganku. Aku berusaha untuk tidak jatuh pingsan, karena
aku harus tetap sadar, setidaknya sampai mereka menyuntikkan obat untuk
mematikan rasa sakit di sekujur tubuhku.
Orang-orang yang tadi membawaku membuka pintu
dan memasukkan ke dalam ruangan tadi dan menutup pintu dengan suara yang begitu
keras hingga membuat telingaku berdenging.
Aku meraba-raba dinding di dekatku dan menekan
tombol lampu. Aku mengerjapkan mata membiasakan mataku dengan cahaya
remang-remang di tengah ruangan yang diciptakan oleh bola lampu yang bahkan
cahayanya tidak sampai menuju tempat tidur kecil di sudut ruangan.
Aku menahan perasaan menggigil di tubuhku dan
menghampiri lemari kecil di sudut lain ruangan. Kulepas pakaian yang kukenakan
dan melemparnya ke keranjang kotor di dekat lemari kecil. Aku membuka pintu
yang langsung terhubung ke kamar mandi dan menyalakan shower. Ketika merasakan
air dingin yang terpancar dari shower, aku tersentak kaget dan lagi-lagi ingin
menggigil.
Tidak. Aku
tidak boleh menggigil… aku tidak boleh menggigil…
Dengan susah payah aku membersihkan diri.
Menyabuni sekujur tubuhku yang berbau darah, juga mencuci rambutku. Sekilas,
aku menatap bayangan buram yang terpantul dari cermin yang ada di dekatku.
Tanganku meraba cermin itu dan menghapus embun yang menutupi cermin tersebut.
Sepasang mata berwarna ungu yang menatap balik
menatapku dari cermin itu. Rambut sewarna kayu mahoni yang basah terkena
pancaran air shower, serta tubuh yang mungkin bisa dibilang langsing oleh
kebanyakan pria. Di telinga kanannya menempel sebuah anting bulat berwarna biru
yang tampak tidak menonjol.
Sayangnya sekujur tubuh si pemilik mata ungu
itu penuh bekas luka yang tampak… mengerikan. Hampir di sekujur tubuhnya penuh
bekas luka memanjang dan tampak terparut mengerikan di kulitnya.
Dan pemilik mata ungu itu adalah aku sendiri.
Aku meraba cermin dan merasakan rasa dingin di
tanganku. Menatap bayanganku sendiri yang terpantul di sana.
“Rei…”
Aku selalu mengucapkan nama itu ketika aku
merasa seperti ini. Tidak berdaya dan ingin semua ini berakhir. Nama itu selalu
memiliki arti bagiku. Well… mungkin
otakku tidak mengingatnya, tapi hatiku selalu merasakan nama itu memiliki
sebuah peranan penting dalam hidupku.
Apakah nama itu yang membuatku seperti ini?
Tidak… aku yakin bukan nama itulah yang membuat kehidupanku seperti sekarang.
Selama ini, aku sudah menjadi Claydoll di tempat ini selama hampir
sepanjang hidupku. Menurut para ilmuwan yang ditugaskan untuk mengawasi dan
merawatku, usiaku sekarnag sudah 18 tahun. Usia yang menurut sebagian orang di
luar sana sebagai usia yang menunjukkan kedewasaan.
Aku tidak mengerti apa artinya menjadi dewasa.
Aku bahkan tidak mengerti apakah usia 18 tahun itu masih kanak-kanak atau
dewasa.
Aku bahkan tidak ingin tahu lagi tentang hal
itu.
“Rei…” aku mengucapkan nama itu lagi, sembari
menyandarkan dahiku pada cermin.
“Rei… Rei…”
Dan aku membiarkan sebuah isakan melompat dari
mulutku.
***
Setelah
membersihkan diri, aku melihat pakaian ganti baru yang entah sejak kapan berada
diatas tempat tidur. Lengkap dengan senjata yang selalu kugunakan. Sebuah
katana, dan juga pistol.
Aku menghampiri tempat tidurku dan mengenakan
pakaianku. Sebuah gaun biru gelap yang menempel ketat di tubuhku, sebuah jas
panjang berwarna sama, juga sepasang sepatu bot hitam. Kupasang sebuah ikat
pinggang di luar jasku dan memasukkan pistol serta pedangku di tempat yang
sudah ada di ikat pinggang itu.
Aku menyisiri rambutku dan mengikat sebagian
rambutku membentuk cepol di belakang kepalaku. Kusematkan sebuah pin berbentuk
bunga mawar putih di rambutku dan mengambil sepasang sarung tangan hitam yang
disertakan bersama pakaianku.
Pintu tiba-tiba terbuka dan seorang ilmuwan
laki-laki berjas putih masuk ke dalam. Di tangannya, dia memegang sebuah kotak
kecil, yang aku tahu berisi suntikan obat Claydoll.
Ya. Aku adalah Claydoll terbaik mereka, orang-orang berjas putih ini. Dan mereka
menganggapku sebagai asset yang tak ternilai harganya.
“Kemarikan lehermu.” Katanya sambil mengambil
sebuah suntikan dari dalam kotak yang dibawanya.
Aku berdiri di depannya sementara menyibakkan
rambutku ke belakang. Laki-laki itu lalu menyuntikkan obat di suntikan itu ke
tubuhku. Rasa sakit akibat jarum suntik tidak pernah lagi membuatku kesakitan
karena aku sudah… terbiasa.
“Selesai,” katanya lagi, “Hei, Fuyuki,
bagaimana setelah kau bertugas, kau mampir ke ruanganku? Kita bisa bersenang-senang.”
Aku menatapnya dengan tatapan datar. Laki-laki
ini menatapku penuh minat, dan matanya bolak-balik menatapku dari atas sampai
bawah. Tangannya menyentuh sebelah pahaku yang tersingkap dari jas yang
kukenakan.
Hhh… sudah sering aku mendapatkan rayuan seperti
ini dari para pria yang setiap kali memberikanku suntikan, memeriksa keadaanku,
atau memastikan aku makan, tapi aku muak dengan rayuan mereka. Rasanya ingin
sekali aku menghajar mereka, tapi setiap kali aku mencoba melakukannya, mereka
pasti akan memberikanku sengatan listrik dari stungun yang selalu mereka bawa.
Oh, tapi ada beberapa orang yang berhasil
memaksaku. Dan aku katakan ini, ketika mereka berhasil memaksaku, itu juga
adalah ‘neraka’ bagiku.
“Maaf saja. Aku tidak tertarik dengan
rayuanmu.” Aku menepis tangannya yang masih meraba pahaku dan keluar dari
ruangan itu.
0 komentar:
Posting Komentar