Duduk berdua dengan Haruto membuat Arisa
sedikit gugup dan salah tingkah. Walau ibunya menyetir di kursi depan, tetap
saja, Arisa merasa seperti… entahlah. Dia sulit menjelaskannya.
Apalagi posisinya yang sekarang
sedang menyandarkan kepala di bahu Haruto. Arisa yakin, wajahnya akan memerah
(atau sudah memerah?) seperti tomat rebus.
“Beristirahatlah,” kata Haruto
sambil mengelus rambutnya. “Kalau sudah sampai, aku akan membangunkanmu.”
Sayangnya Arisa sedang tidak ingin
beristirahat, apalagi dengan posisinya yang seperti ini.
Nina yang memperhatikan Arisa yang
duduk di belakang bersama Haruto hanya tersenyum kecil. Walau dia baru bertemu
Haruto tadi, tapi dia tahu Haruto tidak akan mencelakakan Arisa. Masalahnya,
Arisa tidak pernah mempercayai orang lain sejak peristiwa naas 4 tahun lalu.
Mengingat peristiwa itu membuat
Nina merinding sekaligus sedih. Dia tidak sanggup mengingat wajah ketakutan
Arisa yang berteriak ketakutan dan merapatkan punggungnya ke tembok dan
menamengi dirinya sendiri dengan selimut tebal di seluruh tubuhnya.
Nina membelokkan mobil ke depan
garasi rumahnya dan mematikan mesin mobil. Begitu mesin mobil mati, Arisa
langsung meloncat turun dari mobil dan berlari ke kamarnya tanpa memerdulikan
ayahnya yang tengah menunggunya. Nina memandang Yutaka dengan penuh pengertian
dan menggeleng, mengisyaratkan suaminya agar jangan mengganggu Arisa untuk saat
ini.
Haruto sendiri bengong melihat
kelincahan Arisa turun dari mobil dan meninggalkan kotak yang sedari tadi
dipegang gadis itu. Ia membawa kotak itu dan meletakkannya di atas meja tamu.
“Apa… Arisa selalu begitu?”
tanyanya pada Nina.
“Maklumlah, nak… dia masih
mengalami… trauma.” kata Nina.
“Trauma apa?”
Nina dan Yutaka memang tidak
menceritakan peristiwa yang pernah menimpa Arisa kecuali tentang bahwa Arisa
pernah bertemu Haruto hanya saja laki-laki itu tidak mengingatnya.
“Dia… punya trauma di masa lalu.”
ujar Nina, “Tapi, tidak apa, dalam 2 hari, dia pasti sudah pulih kembali.”
Haruto hanya mengangguk.
“Mengenai tawaranmu pada Arisa,”
ujar Yutaka, “Itu tergantung keputusan Arisa nanti. Sering-seringlah
berkomunikasi dengan kami jika Arisa tidak bisa atau sedang tidak ingin
diganggu. Kami akan menyampaikan kata-katamu pada Arisa nantinya.”
“Baik,” Haruto mengangguk, “Err…
boleh saya bicara dengan Arisa sebentar? Tidak lama, hanya beberapa menit.”
Nina dan Yutaka berpandangan, lalu Nina
menatapnya, “Arisa tidak akan mau bicara setelah terbangun dari pingsan karena
trauma itu…” kemudian dia termenung, “Tapi kalau kamu berniat mencobanya,
silakan.”
Haruto sempat mengerutkan kening
mendengar nada bicara Nina yang ragu-ragu. Tapi, dia tidak memusingkannya. Dia
menghampiri pintu kamar Arisa dan mengetuknya.
“Arisa? Kamu masih di dalam, kan?”
Tidak ada jawaban. Haruto langsung
berinisiatif membuka pintu yang sedikit terbuka. Dibukanya pintu lebar-lebar
dan melihat Arisa sudah berganti baju dan duduk diam sambil memeluk kakinya di
atas kursi belajar. Wajah gadis itu kelihatan… kosong. Tatapan matanya terarah
ke depan, tapi, sepertinya pikirannya tidak ada di dalam diri gadis itu.
Dengan hati-hati Haruto menghampiri
Arisa dan menyentuh pundak gadis itu. Arisa sama sekali tidak bergeming.
“Arisa?”
Arisa mengerjapkan mata dan
mendongak menatap Haruto. Dia mengerutkan kening, namun tidak lama. Dia lalu
menghela nafas panjang.
“Kamu ingin bicara, kan?” tanyanya.
“Ingin berbicara apa?”
“Aku hanya ingin bilang, kamu
jangan terlalu memikirkan traumamu.” Haruto merasakan pundak Arisa menegang,
“Kalau kamu sulit lepas dari traumamu, akan sulit bekerja sama denganku. Aku
tidak mau kamu terus terpuruk dalam masa lalu.”
“Kalau begitu, kalau aku menolak
tawaranmu, apa kamu akan berhenti menggangguku?” tanya Arisa dingin.
“Tidak. Aku masih mengharapkan kamu
untuk bergabung dalam perusahaanku.” Haruto tersenyum lebar, “Hanya saja,
cobalah untuk lepas dari masa lalumu.”
Arisa hanya termenung. Dia
membenarkan kata-kata Haruto dalam hati. Tapi, dia selalu merasa dia tidak bisa
lepas dari masa lalunya, entah kenapa…
“Besok aku akan menjemputmu lagi.
Aku akan mengajakmu jalan-jalan sebentar ke studio rekaman, siapa tahu kamu
tertarik.” Haruto membuyarkan kediaman Arisa, “Aku akan pastikan kamu baik-baik
saja.”
“Pekerjaanmu?” tanya Arisa.
“Aku adalah bosnya, aku bisa datang
sesukaku. Lagipula aku punya banyak asisten yang akan dengan senang hati menggantikan
pekerjaanku.”
Arisa lagi-lagi diam. Haruto
tersenyum dan mengelus rambut Arisa.
“Aku pulang dulu. Kamu istirahat
yang cukup, ya?”
Dan tanpa disangka-sangka Arisa,
Haruto mencium keningnya. Arisa tidak sempat bereaksi untuk terkejut. Saat
Haruto mengangkat kepalanya, Arisa yakin wajahnya memerah saking malunya.
“Wajahmu manis sekali, A-chan,”
Haruto tersenyum, “Seperti anak kecil yang cantik dan manis.”
“Jangan menggodaku…” Arisa menepis
tangan Haruto. “Aku janji aku akan istirahat, sekarang, tinggalkan saja aku.”
Haruto mengangguk, tapi dia
mengambil kesempatan lagi untuk mencium pipi kiri Arisa.
“Hanya ciuman sampai jumpa.” Kata
Haruto, “Sampai jumpa besok.”
Arisa tidak bisa mengatakan
apa-apa. Dia hanya diam dan menatap pintu kamarnya yang sekarang tertutup
dengan perasaan tidak menentu.
“Saya pulang dulu,” kata Haruto.
“Ah, ya…” Yutaka yang sedang duduk
sambil meminum teh di ruang tamu mengangguk, “Bagaimana? Kamu bisa berbicara
dengan Arisa?”
“Hanya beberapa patah kata.” Haruto
tersenyum, “Besok saya akan menjemput Arisa untuk pergi ke sekolah.”
“A, ah, ya… boleh saja.” Yutaka
mengangguk. “Kau mau pulang? Hati-hati di jalan.”
Haruto menganguk sambil tersenyum.
Yutaka mengantarnya sampai ke pintu depan. Lelaki paruh baya itu memandang
Haruto dengan tatapan penuh arti. Hal itu dilihat oleh istrinya.
“Kau juga melihatnya, Yutaka?”
tanya Nina, tepat ketika mobil Haruto berlalu meninggalkan rumah Kunisada.
“Ya…” Yutaka menjawab dengan nada
merenung. “Aku tidak menyangka ada orang yang bisa segitu khawatirnya pada
Arisa selain kita.”
“Menurutmu… dia dan Arisa…”
“Aku tidak bisa menyimpulkan
secepat itu, sayang,” kata Yutaka, “Biar waktu yang menjawab. Selain itu, kau
lihat sikap Arisa pada Haruto? Mereka seperti…”
“Sepasang kekasih? Ya. Aku juga
melihatnya.” Nina tersenyum, tapi kemudian senyumnya berubah ragu-ragu. “Tapi,
aku takut, Arisa jarang bergaul dengan laki-laki dan lebih sering bersama Yuya
atau Ken. Trauma waktu itu benar-benar merubah pandangannya…”
“Kurasa juga begitu…” Yutaka
menghela nafas, “Hanya waktu yang bisa menyembuhkan Arisa… mungkin juga dengan
Haruto.”
***
Malam harinya, Arisa tidak mau makan dan terus
mengurung diri di kamar. Yutaka dan Nina mengerti kebiasaan putri mereka dan
membiarkan. Nina mengantarkan makan malam bagian Arisa ke kamar gadis itu lalu
kembali menutup pintu.
Arisa sendiri masih duduk di kursi
belajarnya. Matanya masih menatap ke depan dengan tatapan kosong. Dia tidak
memikirkan apa-apa, hanya sekadar melamun, tapi dia sering melamun seperti ini
jika tidak ada orang yang mengganggunya. Ia menghela nafas, lalu melirik kearah
makanan yang diletakkan ibunya di atas meja.
Dia tahu dia harus makan, kalau
tidak mau membuat keluarganya cemas.
Dengan perlahan, dia mendekati meja
di dekat tempat tidur dan memakan makanan itu sedikit-sedikit. Arisa bukan
pemilih makanan, tapi, dia tahu, kalau dia sudah seperti ini, akan susah
baginya membuat makanan masuk ke dalam
perutnya. Puas hanya dengan beberapa suap nasi dan meminum sedikit susu
coklatnya, Arisa merebahkan dirinya di atas tempat tidur dan menatap
langit-langit kamarnya yang dicat dengan warna biru langit dan diberi lukisan
awan.
Cobalah
untuk lepas dari bayang-bayang masa lalumu… kamu pasti bisa, aku tahu itu…
Kata-kata itu sudah sering didengar
oleh Arisa, tapi dia sulit melakukannya dalam bentuk tindakan. Masa lalu tidak
akan pernah berubah, Arisa sudah mengerti hal itu sejak lama. Sejak kecil,
sejak dia mulai disorot masyarakat sebagai model cilik…
Arisa memejamkan matanya, mengingat
kembali saat-saat dia menjadi model cilik, tersenyum lebar, dan mendapat
sorakan yang banyak hingga memekakkan telinganya. Dia mendesah, kenangan itu
kemudian dihantam oleh peristiwa mengerikan yang sanggup membuat jiwa gadis
kecilnya menangis histeris dan ingin mengakhiri hidup.
Jangan
menyerah, kamu pasti bisa…
“Aku tidak tahu apakah aku bisa.”
Katanya lirih, “Semuanya sangat memusingkan hingga aku ingin bunuh diri saja
sekarang.”
Arisa membalikkan badannya dan
mengambil kotak yang selalu ia simpan, kotak berisikan kalung liontin miliknya.
Gadis itu menyentuh lekukan bandul liontinnya. Arisa selalu merasa tenang
ketika menatap dan menyentuh kalung itu, seolah-olah kalung itu adalah satu
bagian dari jiwanya, nyawanya…
Ia tersenyum tenang dan memejamkan
matanya. Diambilnya kalung itu dan menggenggamnya erat-erat. Berharap malam ini
dia bisa tidur lebih nyenyak dari biasanya.
***
Haruto menekuri pekerjaannya sambil sesekali
mendesah panjang. Pekerjaannya tidak pernah ada habis-habisnya. Selalu saja ada
artis pendatang baru yang ingin mengikat kontrak dengan Mirai Entertainment,
tanpa tahu resiko awal harus berhadapan dulu dengannya sebagai ‘editor’ awal
mereka.
“Membosankan dan melelahkan…”
gerutunya sambil melemparkan berkas di tangannya ke atas meja.
Dia memutar kursinya menghadap ke
jendela besar yang ada di belakangnya. Jendela itu menghadap langsung kearah
pusat kota dan menampilkan cahaya-cahaya gemerlap kota di malam hari. Haruto
tersenyum, selain cahaya bintang di langit, cahaya dari kota juga tidak mau
kalau bersaing dengan bintang-bintang di angkasa.
Pintu ruangannya diketuk, dan tanpa
menunggu jawaban dari si pemilik ruangan, seseorang masuk ke dalam.
Liam datang dan melihat Haruto
menatap pemandangan kota di malam hari. Pria itu tersenyum dan menghampiri
Haruto.
“Kulihat kamu bersemangat sekali
bekerja.” katanya menggoda, melirik berkas-berkas di meja kerja Haruto.
“Memang pada awalnya begitu…” kata
Haruto sambil tersenyum lebar, “Tapi, setelahnya, aku langsung bosan. Tidak ada
yang menarik perhatianku.”
“Kecuali gadis bernama Arisa
Kunisada itu?” tebak Liam, “Heran aku… banyak yang ingin menjadi artis di bawah
naungan perusahaanmu, tapi, kamu mengejar seorang gadis yang bisa bernyanyi
tapi tidak tahu kepastian apakah ia akan menerima tawaranmu atau tidak.”
“Itulah tantangannya bagi seorang
Haruto Kirishima.” Kata Haruto lagi, “Bukankah aku jarang meminta seseorang
untuk bekerja menjadi artis di bawah naungan perusahaan secara langsung.”
“Yah… sangat jarang, dan aku hanya
melihatmu melakukan itu beberapa kali saja, bahkan dapat kuhitung dengan jari.”
Liam tertawa. “Bagaimana perkembanganmu dengan gadis itu?”
“Cukup… lancar.” Haruto tiba-tiba
termenung. “Dia bersikap cukup ramah padaku hari ini. Tidak seperti kemarin.”
“Bukankah itu pertanda bagus?”
“Aku belum bisa memastikannya.”
Haruto menggosok-gosok dagunya, “Kurasa aku harus menetapi janjiku besok untuk
mengajaknya ke studio rekaman.”
“Pelayanan secara khusus, nih?”
Haruto hanya mengedikkan bahu.
“Oh ya, Liam, ada kabar dari Reno?”
“Tumben sekali kau menanyakan
Reno.” ujar Liam, “Biasanya kalau kau sudah berurusan dengan pekerjaan, kau akan
lupa segalanya, termasuk sahabatmu sendiri.”
“Itu karena aku ingin memajukan
Mirai Entertainment hingga menjadi sebuah perusahaan yang sukses. Bahkan lebih
sukses daripada ini.”
Liam manggut-manggut, “Reno sedang
mengadakan konser tunggal hari ini di luar negeri. Kupastikan keponakanku itu
baru akan pulang sebulan lagi.”
“Konser tunggal, ya? Konser piano,
atau konser menyanyi.”
“Dua-duanya. Reno sangat tekun
menjalani profesinya.” Kemudian Liam melihat kearah Haruto, “Dan sepertinya
ketekunannya itu menurun padamu.”
Lagi-lagi Haruto hanya tersenyum
lebar.
“Sekarang sudah malam, sebaiknya
kau istirahat.” Kata Liam, “Aku tidak ingin kau sakit dan menerima amukan
Kazuto dan Reno yang akan pulang bulan depan, dan melihatmu kurus kering
seperti ini.”
“Aku tidak akan membuatmu kena
amukan Kazuto dan Reno.” Haruto tertawa membayangkan Reno dan adik Liam,
Kazuto, mengamuk pada Liam. “Aku akan pulang sebentar lagi. Kau pulang saja
lebih dulu.”
“Baiklah… kau mengusirku secara
halus.” Liam tertawa, “Sampai bertemu besok, Haruto. Ingat, cepat selesaikan
pekerjaanmu dan beristirahatlah.”
“Aku tahu, Ayah… aku tahu…”
Liam menepuk pundak Haruto,
kemudian berlalu dari ruangan itu.
Haruto sendiri masih betah
memandangi pemandangan kota yang gemerlapan di hadapannya. Ingatannya kembali
terlempar ke masa lalu, di mana ia dan Reno, kakak angkatnya sering
menghabiskan waktu bersama di rumah pohon mereka dan sering begadang hanya
untuk bermain ular tangga atau PSP.
Ia tersenyum kecil mengingat
masa-masa kecilnya. Ia dan Reno sama-sama dibesarkan tanpa kasih sayang seorang
ibu. Bukan karena ibu mereka meninggalkan mereka karena suatu masalah rumah
tangga. Tapi, ibu mereka berdua sama-sama meninggal dalam peristiwa Raja Hitam
yang terjadi di Pulau Dewata. Peristiwa yang membuat Haruto kehilangan kedua
orangtuanya, dan Reno kehilangan ibunya.
Sejak kejadian itu, Haruto
dititipkan pada Liam, dan Reno, yang baru kehilangan ibu dan adiknya yang baru
lahir pada saat peristiwa itu terjadi menganggap Haruto sebagai adik. Reno
sering mengajaknya bermain, belajar bersama, dan bahkan menawarinya menginap
karena tidak mau berpisah dari Haruto barang sebentar saja.
Mengingatnya lagi, membuat Haruto
tertawa kecil. Dia ingat sikap manjanya pada Reno, atau sebaliknya. Mereka
seperti kakak-beradik sungguhan dan tidak menganggap mereka adalah saudara
angkat.
“Rindu juga aku pada anak satu
itu.” gumam Haruto, “Besok aku harus meneleponnya agar dia tidak panic karena
tidak meneleponnya selama beberapa waktu ini.”
Haruto menghembuskan nafas dan
kembali menatap pemandangan kota dalam ketenangannya. Sambil mengingat-ingat
kenangan masa kecil yang membuatnya menjadi pribadi seperti sekarang.
***
Suasana gedung konser yang luasnya mencapai dua
kali lipat stadion sepak bola itu penuh dengan berbagai macam sorakan dan
teriakan dari para penonton. Sebuah panggung yang besar di hadapan mereka
menampilkan dekorasi yang tenang dan lembut, namun juga maskulin. Di
tengah-tengah panggung berdiri seorang laki-laki berusia 20 tahunan yang sedang
bernyanyi sambil memetik gitar akustik di tangannya. Suaranya yang merdu itu
membius para penonton yang sebagian besar adalah wanita.
Kujadikan
hari ini sebagai hari istimewa,
Melihat
dirimu diterpa sinar rembulan dan dihiasi cahaya bintang,
Oh,
hatiku sungguh gembira…
Suara sorak-sorai kembali memenuhi
gedung itu ketika si laki-laki menarik seorang penonton yang duduk di depannya
ke atas panggung. Sambil memegang mikrofon di tangannya, ia tinggalkan gitar di
tangannya dan menggenggam penonton wanita itu keatas panggung.
Sayangku,
janganlah berpaling dariku,
Aku
takkan meninggalkanmu walau begitu banyak godaan di hadapanku
Sayangku,
percayalah padaku
Bahwa
kaulah bintang paling terang yang pernah ada dalam hidupku…
Percayalah
bahwa aku akan selalu menjaga dan mencintaimu
Kata-kataku
akan kubuktikan dalam tindakanku,
Aku
berjanji padamu…
Saat lagu itu selesai, laki-laki
itu tersenyum manis dan mencium punggung tangan penonton yang ia tarik keatas
panggung. Penonton wanita itu tersenyum malu dan merasakan tubuhnya seperti
meleleh menghadapi idolanya mencium punggung tangannya. Dia lalu turun dari
panggung sambil menutupi wajahnya yang memerah saking senangnya karena diajak
sang idola ke atas panggung.
“Terima kasih atas kesediaan kalian
menikmati konserku ini.” ujar laki-laki itu menghadap kearah para penonton,
“Ini adalah konserku yang ketujuh kali kulaksanakan setelah aku terjun dalam
dunia entertainment. Kuharap kalian
terus mendukungku dan terus membeli karyaku. Sekali lagi terima kasih banyak
atas kesediaan kalian datang kemari!”
Penonton kembali riuh. Laki-laki
itu tersenyum dan melambaikan tangannya sambil berjalan ke belakang panggung.
“Reno! Reno!!”
Teriakan penonton yang memanggil
namanya disambut laki-laki itu dengan senyum manis dan ia terus melangkah ke
belakang panggung.
Di belakang panggung, para kru yang
membantu proses kelancaran konser yang diadakannya langsung bertepuk tangan dan
memberi selamat pada Reno.
“Konser ini sukses besar! Selamat,
Reno!”
“Benar-benar konser yang memukau!
Aku yakin besok sudah ada berita di internet mengenai konser ini, begitu juga
Koran local.”
“Kau hebat, Reno!
“Tidak sia-sia kerja keras kami
membantu konser ini.”
Reno hanya tersenyum dan berjalan
ke kursi terdekat. Manajernya membawakan sebotol air putih, yang langsung
dihabiskan Reno dalam beberapa tegukan besar.
“Rupanya kamu benar-benar lelah,
ya?” kata manajernya, Alisya, sambil duduk di sebelahnya.
“Begitulah… suaraku nyaris habis
ketika memberikan kata-kata penutup tadi.” Reno tersenyum.
Alisya juga ikut tersenyum. Wanita
yang sudah sejak lama menjadi manajer Reno itu sudah dianggap seperti ibu oleh
laki-laki itu.
“Aku akan menghubungi mobil kita
untuk segera menjemput.” Kata Alisya, “Besok kamu masih akan menghadapi
kegiatan yang seabrek.”
“Oh, aku ingin beristirahat…” keluh
Reno sambil tertawa. “Tapi, tunggu, apa Haruto sempat meneleponku tadi? Apa ada
telepon atau e-mai yang masuk ke ponselku?”
“Tidak, Reno. Haruto belum
menghubungimu sampai detik ini.” kata Alisya, “Kukira dia sibuk mengurusi para
artis baru yang merangsek ingin bergabung dalam perusahaan rekamannya?”
“Kukira juga begitu.” Reno
tersenyum, “Oh ya, tolong ambilkan ponselku, ya?”
“Baik, baik…”
Alisya pergi meninggalkan Reno
untuk memanggil mobil yang akan membawa mereka kembali ke hotel tempat mereka
menginap. Sambil menunggu Alisya, Reno beberapa kali mendapat ucapan selamat
dari para kru yang berlalu-lalang. Dia menanggapi semuanya dengan tersenyum dan
mengucapkan terima kasih.
Reno tersenyum dan mengelus kalung
yang melingkari lehernya. Kalung yang sudah lama ia pakai sejak ia masih
berusia 7 tahun. Kalung pemberian almarhumah ibunya.
Alisya datang sambil membawa ponsel
Reno. Laki-laki itu langsung menyambar ponselnya, dan mendapat telepon dari
ayahnya ketika baru saja hendak menghidupkan layarnya.
“Kukira kau tidak akan menjawab teleponku, nak.” Sahut ayahnya di
seberang telepon sambil tertawa. “Bagaimana
konsermu?”
“Menyenangkan, seperti biasa,
Papa.” kata Reno. “Aku baru saja selesai dan sekarang sedang menanti mobil yang
akan membawaku dan yang lain kembali ke hotel.”
“Padahal tadi Papa ingin menyapamu di konser, tapi kesibukan menanti
Papa di sini.” ayahnya berkata, “Kuharap
aku tidak mengganggu waktu istirahatmu.”
“Tidak… aku malah ingin menelepon
Papa dan mengatakan bahwa aku sudah besar dan bisa menangani konser ini
sendiri.”
“Kau ini…” ayahnya tertawa mendengar gurauan Reno. “Papa senang kamu menekuni bidang yang kamu
suka dengan sepenuh hati. Apakah di konser tadi tidak ada kendala?”
“Papa tenang saja. Di sini aman
terkendali, bahkan tanpa bantuan Papa sebagai seorang produser.” Reno tertawa,
“Apa Papa masih berada di studio? Kenapa aku mendengar suara bising biola dan
cello yang saling bersahutan?”
“Ah, ini… ada anak baru yang ingin masuk dalam orchestra Papa. Ada
sekitar 300 orang yang sedang menunjukkan bakatnya di sini.” ujar ayahnya.
“Seharusnya kemarin itu Papa ikut kamu
saja, dan tugas ini Papa serahkan ke asisten Papa…”
“Aku akan membawakan CD berisi
video rekaman konser ini pada Papa nanti.” Reno tertawa lagi. “Papa tenang
saja, Papa masih bisa melihatku lewat video itu.”
“Oke… ups. Papa harus kembali ke dalam. Jaga kesehatanmu dan jangan
sampai kamu sakit. Minggu depan kamu harus kembali ke rumah. Kurasa Haruto akan
membutuhkan bantuanmu.”
“Oh? Bantuan apa?”
“Akan Papa kirimkan detilnya lewat e-mail. Sekarang, Papa harus kembali ke dalam. Sampai nanti, Reno.”
“Sampai nanti, Papa. Jaga
kesehatanmu juga.”
Reno menutup telepon dan tersenyum
geli. Ayahnya pasti kewalahan menangani 300 orang pendatang baru dalam
orchestra yang dibangun ayahnya 4 tahun lalu. Selain menjadi produser music,
ayahnya juga membaut orchestra yang diberi nama sesuai nama almarhumah ibunya.
Sejak saat itu, mereka berdua sama-sama sibuk. Apalagi karena Reno sudah
menjadi artis sejak kecil.
Reno membuka aplikasi e-mail dan
melihat-lihat e-mail yang masuk.
“Reno, mobilnya sudah datang.”
Alisya datang menghampirinya, “Kita harus cepat kalau kau mau istirahat secepat
mungkin.”
“Oke, aku datang.”
Reno menutup ponselnya dan
menghampiri Alisya. Teriakan para fans-nya di dalam gedung konser masih dapat
di dengar. Reno tersenyum dan merasa tidak yakin hari ini dia bisa tidur
nyenyak seperti yang diharapkan Alisya jika para fans-nya masih berada di
sekitar gedung konser.
***
Tengah malam, Arisa terbangun sambil
mengerutkan kening. Dia tadi bermimpi sedang berada di sebuah gedung konser
besar, sedang menyaksikan seorang laki-laki sedang menyanyikan sebuah lagu
sambil memainkan sebuah gitar di atas panggung.
Laki-laki itu menatap tepat kearah
Arisa sambil tersenyum, dan sesaat jantung Arisa seperti berhenti berdetak.
Laki-laki itu jelas bukan Haruto, kakaknya, ataupun adiknya, Ken. Laki-laki itu
juga tentu saja bukan ayahnya.
Tapi, entah kenapa Arisa mengenal
laki-laki itu. Lagunya yang mengalun merdu, suaranya yang indah memukau, dan
juga perawakannya yang tinggi tegap.
“Aku akan selalu bersamamu, di manapun dirimu berada…” ujar
laki-laki itu lembut, “Aku akan selalu
menjagamu. Tunggulah aku, dan aku akan menjemputmu…”
Itu kata-kata yang membuat Arisa
terbangun sekarang. Kata-kata itu adalah kata-kata ajakan, menyuruhnya untuk
menanti laki-laki itu untuk datang.
Tapi, anehnya, Arisa tidak
merasakan ancaman dari ucapan laki-laki itu. Dia justru merasa ingin laki-laki
itu segera menemukannya. Aneh, memang. Tapi, itu yang terjadi padanya.
“Siapa laki-laki itu?” gumamnya
masih mengerutkan kening, “Apa… apa aku pernah bertemu dengannya? Mengenalnya
sebelum ini?”
Arisa teringat kalung di tangannya
dan menatap bandulnya yang bersinar diterpa cahaya dari lampu tidur di dekanya.
Liontin itu bersinar lembut dan memberitahu pada Arisa bahwa mimpi itu bisa
saja nyata.
Aku
tidak tahu siapa laki-laki itu… namun, aku tahu, ucapannya tulus. Kata Arisa dalam hati. Lalu tanpa disadarinya,
dia menyebut sebuah kata yang membuat dirinya sendiri kaget setelah
mengucapkannya.
“Kakak…”
Keesokan harinya, Haruto memandangi jam dinding
sambil tersenyum lebar. Hari ini dia akan mengunjungi Arisa lagi. Entah karena
alasan apa, dia mulai suka mengunjungi gadis itu. Ia sempat terdiam ketika
suatu pemikiran merasuki pikirannya.
Cinta, kah? Tanyanya dalam hati.
Tapi, dia segera menepisnya dengan mengatakan bahwa ia menyukai Arisa karena
gadis itu seperti diselimuti misteri. Sebuah pemikiran logis yang bisa
dipikirkannya.
Sambil menyiapkan diri setelah
mandi, Haruto menatap kamarnya yang serba abu-abu. Mulai dari cat dinding,
sampai ke tempat tidurnya yang masih acak-acakan bekas ia tiduri. Haruto memang
menyukai warna abu-abu. Bukan karena warna itu mengingatkannya pada jelaga asap
atau abu bekas terbakar, tapi karena abu-abu adalah warna netral. Dan selama
ini, ia menerapkan sikap netral itu ketika bekerja.
Tapi… yah, melihat dua hari
belakangan ini dia selalu ingin membujuk Arisa bergabung dalam perusahaannya,
sepertinya sikap netralnya jadi sedikit berubah.
“Perubahan itu pasti baik…” kata
Haruto pada diri sendiri.
Dia mengambil jaket jins
kesayangannya dari dalam lemari pakaian dan segera pergi ke ruang makan.
Dilihatnya Liam sudah berada di sana sambil meminum secangkir kopi.
“Oh, kau sudah bangun? Cepat
sekali…” kata Liam melihat Haruto masuk ke ruang makan.
“Aku ingin menjemput A-chan hari
ini.” kata Haruto sambil duduk di kursinya dan mengambil selembar roti. “Hari
ini aku ingin cuti sebentar dari pekerjaan.”
“A-chan?” Liam mengerutkan kening.
“Maksudku Arisa.”
“Oh…” Liam manggut-manggut, “Tumben
sekali kamu bangun pagi hanya untuk seorang gadis. Kurasa gadis ini benar-benar
menyita perhatianmu, ya?”
“Tidak juga…” Haruto memakan roti
yang sudah ia olesi dengan selai dan keju. “Aku hanya ingin bersikap baik.
Lagipula dia seperti adik kecil bagiku. Kau tahu sendiri aku ingin sekali punya
adik, tapi tidak pernah kesampaian…”
“Ah ya… aku tahu itu.” Liam tertawa
pelan. “Sepertinya Arisa menjadi semacam kesibukan baru untukmu, ya? Adik baru…
usia kalian terpaut hanya 4 tahun saja.”
Haruto mengedikkan bahu dan memakan
roti di tangannya dengan cepat. Dia lalu mengambil lembar roti kedua. Liam
tersenyum geli melihat nafsu makan Haruto yang agak meningkat pagi ini.
“Aku harus segera berangkat. Ada
rapat dengan beberapa sutrada video music yang kamu rekomendasikan waktu itu.”
kata Liam kemudian menghabiskan kopinya. “Aku berangkat dulu.”
“Oke. Hati-hati di jalan.”
Liam bangkit dari tempat duduknya
dan berjalan meninggalkan ruang makan. Haruto sendiri mempercepat memakan
sarapannya dan meminum jus jeruk yang disediakan. Setelahnya, dia langsung ke
garasi dan menghampiri mobil sedan yang selalu dipakainya untuk pergi ke
manapun termasuk ke kantor.
Haruto meletakkan ponselnya di
dasbor dan menyalakan mesin mobilnya. Dia sudah tidak sabar ingin bertemu
dengan Arisa.
***
“Iya, terima kasih, Mina.” Kata Arisa sambil
menguap. “Bawakan saja catatan pelajaran hari ini. Di lokerku masih ada buku
tulis kosong, kan? Pakai saja itu.”
“Aku tahu. Aku sudah berada di depan lokermu dan mengambil buku tulis
kosong itu kemarin,” kata Mina di seberang telepon, “Arisa, sebaiknya kamu mengkonfirmasi beberapa hal dalam hidupmu
sekarang. Semakin hari, semakin banyak saja surat-surat dari penggemarmu!”
Arisa hanya tertawa kecil dan
menatap langit yang masih menampakkan warna biru cerah dihiasi awan berwarna
kemerahan yang khas di pagi hari dari balik jendela kamarnya. Pikirannya
mendadak menerawang. Dia nyaris tidak mendengarkan celotehan Mina di telepon
kalau saja temannya itu tidak memanggil namanya dengan keras.
“Arisa! Kamu mendengarku atau tidak!?”
“Iya, iya… aku mendengarkan, kok.”
Kata Arisa sambil menjauhkan telinganya dari ponsel di tangannya. Teriakan Mina
cukup membuatnya kaget dan membuat telinganya agak berdenging.
“Aku akan ke rumahmu malam ini bersama Deby dan Utami. Hari ini hari
ulang tahun Utami, dan kami sepakat untuk merayakannya bersamamu.” Kata
Mina, “Malam ini kamu ada di rumah saja,
kan?”
“Mmm… aku ada di rumah, kok.”
“Bagus! Sampai jumpa nanti malam, ya? Kita akan makan di kafe di dekat
rumahmu itu. Jadi, jangan sampai tidak ada di rumah saat kami menjemputmu.”
Arisa tersenyum dan Mina mematikan
telepon. Setelahnya, Arisa menghembuskan nafas dan melihat jam, masih pukul
setengah 7, dan Arisa yakin, Mina kerepotan karena banyaknya amplop warna-warni
yang memenuhi lokernya dan harus bersungut-sungut untuk memunguti semuanya. Dia
juga yakin, Mina akan membawa sekotak kardus penuh berisi amplop-amplop itu
padanya malam ini.
Bukan salah Arisa karena mendadak
dia mendapat banyak perhatian dari para siswa laki-laki. Mungkin karena sejak
awal, Arisa sudah menarik perhatian. Siapa yang tidak kenal Arisa Kunisada yang
pernah menjuarai ajang pemilihan Putri Cilik 4 tahun silam? Tidak ada yang
tidak mengenalnya, apalagi ajang itu disiarkan di TV dan ditulis di majalah dan
Koran.
Gadis itu menghembuskan nafas dan
beranjak dari tempat tidurnya. Hari ini hari Minggu. Hari libur bagi semua
orang termasuk Arisa. Tapi, dia tidak mungkin bisa libur dari kebiasaannya
menyiapkan sarapan.
Ia membuka pintu kamar dan berjalan
kearah ruang makan yang merangkap dapur. Ketika sampai di sana, ia tertegun
melihat sudah ada nasi goreng yang masih mengepulkan asap dan menguarkan aroma
yang harum. Di sebelahnya ada susu coklat dan segelas teh lemon hangat
kesukaannya.
“Arisa, kamu sudah bangun?”
Arisa menoleh ke belakang dan
melihat kakaknya yang sepertinya baru saja kembali dari aktivitas pagi harinya
di hari Minggu, lari pagi. Sebuah handuk kecil tersampir di bahunya.
“Kak Yuya?” Arisa mengerutkan
kening, “Tumben Kakak sudah bangun…”
“Hari ini aku harus pergi ke kantor
untuk menyelesaikan proyek game.”
Kata Yuya sambil tersenyum lebar. “Ngomong-ngomong, itu nasi goreng untukmu.
Papa, Mama, dan Ken tadi sudah makan dan sekarang sedang pergi ke rumah Paman
Joe. Beliau butuh bantuan Papa untuk memperbaiki jaringan listrik yang rusak.”
“Oh…” Arisa manggut-manggut. “Kakak
sudah makan?”
“Belum. Tapi, aku bisa membuat nasi
goreng untukku sendiri.” kata Yuya, “Kamu cuci muka dan sikat gigi saja dulu.
Aku akan pakai kamar mandi di samping kamar Ken untuk mandi.”
Yuya langsung menuju kamar mandi di
dekat kamar Ken, sementara Arisa menghampiri wastafel di dekat kamar mandi itu
dan mencuci muka.
Air dingin membantu Arisa lebih
menjernihkan pikirannya. Setelah menyikat gigi, dia langsung menghampiri meja
makan dan duduk di hadapan sepiring nasi goreng yang sudah disiapkan untuknya.
Arisa baru akan menyuap suapan pertama ketika Yuya keluar dari kamar mandi dan
langsung melesat ke kamarnya. Pemandangan itu membuat Arisa tersenyum sendiri.
Kakaknya adalah seorang game programmer
yang cukup berpengaruh pada semua game konsol yang dimainkan oleh anak-anak di
Negara ini, bahkan sampai keluar negeri. Yuya juga mendirikan sebuah situs game online dengan permainan yang nyaris
sama seperti game konsol yang dibuatnya dan mendapat penghasilan yang luar
biasa besar atas pekerjaan tersebut.
Tapi, sebagai gantinya, Yuya hanya
bisa bertemu keluarganya pada akhir pekan dan nyaris tidak punya waktu untuk
mencari istri padahal usianya sudah mulai menginjak akhir usia dua puluh tahun.
Yuya keluar dari kamar dengan
mengenakan kemeja lengan pendek berwarna biru muda dan juga celana jins. Dia
langsung menghadap kompor dan mengambil segala keperluan untuk membuat
sarapannya sendiri.
“Kakak mau kubantu?” tanya Arisa
sambil meminum teh lemon hangatnya.
“Tidak perlu, aku tahu kamu selalu
membuat sarapan di pagi hari. Sekarang giliranku yang membuat sarapan.” Kata
Yuya sambil tersenyum. “Makan saja sarapanmu dan segera minum obat. Kata Papa
kemarin kamu pingsan lagi, ya?”
“Err… iya…” Arisa tidak terlalu
suka membicarakan peristiwa dia pingsan di sekolah, “Bagaimana game terbaru buatan Kakak? Apa perlu aku
dan Ken menjadi beta tester Kakak
lagi seperti game yang kemarin?”
“Boleh saja… tapi, aku tidak akan
menggaji kalian berdua seandainya kalian menagih gaji.” kata Yuya sambil
tertawa, sementara Arisa hanya mencibir tanpa suara.
Yuya membuat sarapannya dengan
cepat, dan dia langsung bergabung dengan Arisa di meja makan dengan sepiring
nasi goreng dan juga secangkir teh lemon seperti Arisa.
Suara mesin mobil yang mendekat,
membuat mereka berdua sama-sama mendongak dari sarapan mereka.
“Biar kubuka, kamu makan saja
sarapanmu, kalau perlu kamu bisa ambil lagi di wajan. Masih ada sisa banyak.”
Kata Yuya saat Arisa hendak berdiri.
Arisa hanya diam dan kembali
melanjutkan sarapannya. Kalau Yuya ada di rumah, kakaknya itu pasti akan sangat
memanjakannya. Mungkin karena dia adik perempuan satu-satunya? Entahlah. Yang
jelas Yuya selalu penuh perhatian pada Arisa, begitu juga dengan Ken. Kakaknya
itu tidak pernah pilih kasih dalam memberikan kasih sayang padanya maupun Ken.
Tipikal
kakak idaman. Kata Arisa dalam
hati sambil tersenyum.
“Arisa, ada temanmu,” Yuya muncul
dengan kening berkerut.
“Siapa?”
“Namanya… entahlah, aku lupa
menanyakan namanya.” Kata Yuya, “Tapi, sejak kapan kamu bergaul dengan anak
kuliahan?”
“Anak kuliahan?” Arisa mengerutkan
kening. “Aku tidak punya teman anak kuliahan, kok.”
“Tapi, penampilan temanmu itu
seperti anak kuliahan semester 3.” Kata Yuya lagi, “Aku akan menyuruhnya masuk.
Jadi, kamu bisa melihatnya sendiri.”
Yuya langsung kembali ke depan
tanpa menunggu jawaban dari Arisa. Beberapa saat kemudian, Yuya kembali ke
ruang makan dengan seseorang yang sudah tidak asing bagi Arisa.
“Selamat pagi, A-chan.” Sapa Haruto
sambil tersenyum.
“Selamat pagi.” Arisa membalas
sapaan Haruto dengan senyum tipis, dia lalu menoleh kearah kakaknya yang
menatapnya menuntut penjelasan.
“Dia Haruto Kirishima, Kak. Tenang
saja, dia bukan anak kuliahan, kok.” Kata Arisa, “Dia pemilik Mirai
Entertainment. Kakak tahu perusahaan itu, kan?”
“Apa!?”
Yuya menatap Haruto yang tersenyum
padanya, kemudian menatap Arisa lagi.
“Sejak kapan kamu bergaul dengan
bos Mirai Entertainment?”
“Kak!!”
“Maaf, aku hanya kaget.” Kata Yuya,
kemudian menatap Haruto lagi. “Aku Yuya, kakak Arisa. Salam kenal,”
“Yuya Kirishima yang pembuat game ‘Invisible’?”
“Ya. Kau tahu game itu?”
“Aku penggemar beratmu.” Aku
Haruto, “Aku mengoleksi semua game
konsol buatanmu.”
“Serius? Ternyata ada fans game
buatanku!” kata Yuya sumringah, kemudian dia teringat Arisa, “Ah, kamu ingin
bertemu Arisa? Oh ya, sudah sarapan? Aku bisa membuatkanmu sarapan kalau mau.”
‘Tidak perlu. Aku sudah sarapan
tadi di rumah.” Tolak Haruto halus. Ia lalu menoleh kearah Arisa yang masih
memakan sarapannya dengan tenang.
“Duduklah dulu, aku akan
membuatkanmu minuman.” Kata Yuya sambil mendudukkan Haruto di kursi di sebelah
Arisa.
Yuya langsung membuatkan minuman.
Dengan ahli dia meracik kopi di mesin kopi dan menghidangkannya di hadapan
Haruto.
“Ini kopi racikanku sendiri.” ujar
Yuya, “Maaf, aku harus segera pergi ke kantor. Ada pekerjaan yang harus
diselesaikan.”
“Arisa, kalau kamu pergi keluar,
jangan lupa mengunci pintu. Ada sisa nasi goreng di wajan, kamu taruh saja di
piring untuk makan siang nanti.”
“Iya, Kak, aku tahu, kok…” kata
Arisa sambil tersenyum.
Yuya mencium pipi Arisa dan
mengacak rambut adiknya itu dengan gemas, “Kakak berangkt dulu.”
“Hati-hati di jalan.”
Haruto melihat interaksi kedua
kakak-beradik itu sangat intim dan membuatnya iri. Seandainya dia juga punya
adik perempuan yang bisa dimanja…
“Kamu benar-benar tidak mau makan?
Nasi goreng buatan Kak Yuya paling enak, lho.” Kata Arisa menoleh kearah
Haruto.
“Tidak apa-apa. Aku sudah sarapan
beberapa lembar roti tadi.” tolak Haruto lagi. “Kalian akrab sekali, ya?”
“Kak Yuya memang begitu. Sejak aku
kecil, aku selalu dimanja.” Arisa mengedikkan bahu sambil tersenyum. “Tapi,
kamu bilang tadi hanya sarapan beberapa lembar roti? Itu terlalu sedikit!”
Tanpa diduga Haruto, Arisa berdiri
dan mengambil piring, lalu mengambilkan Haruto sepiring nasi goreng.
“Makanlah. Kalau tidak, perutmu
akan keroncongan bahkan sebelum jam makan siang tiba.” Kata Arisa, “Percayalah,
aku sudah pernah sarapan hanya dengan beberapa lembar roti dan itu masih kurang.”
“Euh… baiklah…”
Haruto menerima piring berisi nasi
goreng yang disodorkan Arisa dan mengambil sendok. Ketika Haruto menyuap nasi
goreng ke dalam mulutnya, Arisa tersenyum puas. Dia lalu kembali melanjutkan
sarapannya dalam diam.
Setelah selesai makan, Arisa
langsung mengumpulkan piringnya dan Haruto, juga Yuya yang isinya masih bersisa
banyak. Ia menggelengkan kepala dan menaruh piring yang masih berisi banyak
nasi goreng itu ke lemari makanan. Dia juga menaruh sisa nasi goreng di wajan
ke piring lain yang lebih besar dan meletakkan di lemari makanan.
Haruto memperhatikan gerakan Arisa
dengan terkesima. Arisa kelihatan biasa berada di dapur untuk menata dan
mengerjakan beberapa pekerjaan dapur yang menurutnya jarang ditemui pada gadis
seusia Arisa. Kekagumannya semakin bertambah ketika Arisa mulai menggoreng ayam
dan menyiapkan sayuran untuk makan siang.
“Apa kamu terbiasa di dapur?” tanya
Haruto.
“Tidak juga. Aku hanya melakukan
apa yang bisa kulakukan di dapur.” jawab Arisa, “Hanya beberapa, biasanya Mama
yang berada di dapur.”
Haruto manggut-manggut. Dia
menunggui Arisa sampai selesai dan ketika gadis itu meletakkan semua masakannya
ke dalam lemari makanan, gadis itu menoleh.
“Aku akan berganti baju. Kamu
tunggu saja di ruang tamu.”
Haruto hanya mengangguk. Dia
memperhatikan Arisa masuk ke dalam kamarnya dengan senyum terkembang lebar.
***
Arisa termenung mengingat sikapnya pada Haruto
yang tidak lagi… bermusuhan. Aneh. Apa karena restu dari ayahnya kalau dia
boleh menjadi penyanyi dua malam lalu?
Ia cepat-cepat menggeleng dengan
pikirannya itu.
“Pasti karena aku sudah mengenal
Haruto, aku berubah menjadi seperti ini.” gumamnya pada diri sendiri. “Ya,
pasti karena itu.”
Arisa menghampiri lemari pakaiannya
dan mengeluarkan baju yang akan dipakainya. Kaus tanpa lengan berwarna hijau
lemon dan juga rok jins selutut. Dia juga mengambil sweater berwarna senada
dengan kaus yang dikenakannya dan menyambar tas selempang putih kesukaannya.
Arisa memasukkan ponsel, dompet, dan beberapa barang yang dirasanya perlu untuk
dibawa.
0 komentar:
Posting Komentar