Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Angel's Lullaby Chapter 6



Duduk berdua dengan Haruto membuat Arisa sedikit gugup dan salah tingkah. Walau ibunya menyetir di kursi depan, tetap saja, Arisa merasa seperti… entahlah. Dia sulit menjelaskannya.
Apalagi posisinya yang sekarang sedang menyandarkan kepala di bahu Haruto. Arisa yakin, wajahnya akan memerah (atau sudah memerah?) seperti tomat rebus.
“Beristirahatlah,” kata Haruto sambil mengelus rambutnya. “Kalau sudah sampai, aku akan membangunkanmu.”
Sayangnya Arisa sedang tidak ingin beristirahat, apalagi dengan posisinya yang seperti ini.

Nina yang memperhatikan Arisa yang duduk di belakang bersama Haruto hanya tersenyum kecil. Walau dia baru bertemu Haruto tadi, tapi dia tahu Haruto tidak akan mencelakakan Arisa. Masalahnya, Arisa tidak pernah mempercayai orang lain sejak peristiwa naas 4 tahun lalu.
Mengingat peristiwa itu membuat Nina merinding sekaligus sedih. Dia tidak sanggup mengingat wajah ketakutan Arisa yang berteriak ketakutan dan merapatkan punggungnya ke tembok dan menamengi dirinya sendiri dengan selimut tebal di seluruh tubuhnya.
Nina membelokkan mobil ke depan garasi rumahnya dan mematikan mesin mobil. Begitu mesin mobil mati, Arisa langsung meloncat turun dari mobil dan berlari ke kamarnya tanpa memerdulikan ayahnya yang tengah menunggunya. Nina memandang Yutaka dengan penuh pengertian dan menggeleng, mengisyaratkan suaminya agar jangan mengganggu Arisa untuk saat ini.
Haruto sendiri bengong melihat kelincahan Arisa turun dari mobil dan meninggalkan kotak yang sedari tadi dipegang gadis itu. Ia membawa kotak itu dan meletakkannya di atas meja tamu.
“Apa… Arisa selalu begitu?” tanyanya pada Nina.
“Maklumlah, nak… dia masih mengalami… trauma.” kata Nina.
“Trauma apa?”
Nina dan Yutaka memang tidak menceritakan peristiwa yang pernah menimpa Arisa kecuali tentang bahwa Arisa pernah bertemu Haruto hanya saja laki-laki itu tidak mengingatnya.
“Dia… punya trauma di masa lalu.” ujar Nina, “Tapi, tidak apa, dalam 2 hari, dia pasti sudah pulih kembali.”
Haruto hanya mengangguk.
“Mengenai tawaranmu pada Arisa,” ujar Yutaka, “Itu tergantung keputusan Arisa nanti. Sering-seringlah berkomunikasi dengan kami jika Arisa tidak bisa atau sedang tidak ingin diganggu. Kami akan menyampaikan kata-katamu pada Arisa nantinya.”
“Baik,” Haruto mengangguk, “Err… boleh saya bicara dengan Arisa sebentar? Tidak lama, hanya beberapa menit.”
Nina dan Yutaka berpandangan, lalu Nina menatapnya, “Arisa tidak akan mau bicara setelah terbangun dari pingsan karena trauma itu…” kemudian dia termenung, “Tapi kalau kamu berniat mencobanya, silakan.”
Haruto sempat mengerutkan kening mendengar nada bicara Nina yang ragu-ragu. Tapi, dia tidak memusingkannya. Dia menghampiri pintu kamar Arisa dan mengetuknya.
“Arisa? Kamu masih di dalam, kan?”
Tidak ada jawaban. Haruto langsung berinisiatif membuka pintu yang sedikit terbuka. Dibukanya pintu lebar-lebar dan melihat Arisa sudah berganti baju dan duduk diam sambil memeluk kakinya di atas kursi belajar. Wajah gadis itu kelihatan… kosong. Tatapan matanya terarah ke depan, tapi, sepertinya pikirannya tidak ada di dalam diri gadis itu.
Dengan hati-hati Haruto menghampiri Arisa dan menyentuh pundak gadis itu. Arisa sama sekali tidak bergeming.
“Arisa?”
Arisa mengerjapkan mata dan mendongak menatap Haruto. Dia mengerutkan kening, namun tidak lama. Dia lalu menghela nafas panjang.
“Kamu ingin bicara, kan?” tanyanya. “Ingin berbicara apa?”
“Aku hanya ingin bilang, kamu jangan terlalu memikirkan traumamu.” Haruto merasakan pundak Arisa menegang, “Kalau kamu sulit lepas dari traumamu, akan sulit bekerja sama denganku. Aku tidak mau kamu terus terpuruk dalam masa lalu.”
“Kalau begitu, kalau aku menolak tawaranmu, apa kamu akan berhenti menggangguku?” tanya Arisa dingin.
“Tidak. Aku masih mengharapkan kamu untuk bergabung dalam perusahaanku.” Haruto tersenyum lebar, “Hanya saja, cobalah untuk lepas dari masa lalumu.”
Arisa hanya termenung. Dia membenarkan kata-kata Haruto dalam hati. Tapi, dia selalu merasa dia tidak bisa lepas dari masa lalunya, entah kenapa…
“Besok aku akan menjemputmu lagi. Aku akan mengajakmu jalan-jalan sebentar ke studio rekaman, siapa tahu kamu tertarik.” Haruto membuyarkan kediaman Arisa, “Aku akan pastikan kamu baik-baik saja.”
“Pekerjaanmu?” tanya Arisa.
“Aku adalah bosnya, aku bisa datang sesukaku. Lagipula aku punya banyak asisten yang akan dengan senang hati menggantikan pekerjaanku.”
Arisa lagi-lagi diam. Haruto tersenyum dan mengelus rambut Arisa.
“Aku pulang dulu. Kamu istirahat yang cukup, ya?”
Dan tanpa disangka-sangka Arisa, Haruto mencium keningnya. Arisa tidak sempat bereaksi untuk terkejut. Saat Haruto mengangkat kepalanya, Arisa yakin wajahnya memerah saking malunya.
“Wajahmu manis sekali, A-chan,” Haruto tersenyum, “Seperti anak kecil yang cantik dan manis.”
“Jangan menggodaku…” Arisa menepis tangan Haruto. “Aku janji aku akan istirahat, sekarang, tinggalkan saja aku.”
Haruto mengangguk, tapi dia mengambil kesempatan lagi untuk mencium pipi kiri Arisa.
“Hanya ciuman sampai jumpa.” Kata Haruto, “Sampai jumpa besok.”
Arisa tidak bisa mengatakan apa-apa. Dia hanya diam dan menatap pintu kamarnya yang sekarang tertutup dengan perasaan tidak menentu.

“Saya pulang dulu,” kata  Haruto.
“Ah, ya…” Yutaka yang sedang duduk sambil meminum teh di ruang tamu mengangguk, “Bagaimana? Kamu bisa berbicara dengan Arisa?”
“Hanya beberapa patah kata.” Haruto tersenyum, “Besok saya akan menjemput Arisa untuk pergi ke sekolah.”
“A, ah, ya… boleh saja.” Yutaka mengangguk. “Kau mau pulang? Hati-hati di jalan.”
Haruto menganguk sambil tersenyum. Yutaka mengantarnya sampai ke pintu depan. Lelaki paruh baya itu memandang Haruto dengan tatapan penuh arti. Hal itu dilihat oleh istrinya.
“Kau juga melihatnya, Yutaka?” tanya Nina, tepat ketika mobil Haruto berlalu meninggalkan rumah Kunisada.
“Ya…” Yutaka menjawab dengan nada merenung. “Aku tidak menyangka ada orang yang bisa segitu khawatirnya pada Arisa selain kita.”
“Menurutmu… dia dan Arisa…”
“Aku tidak bisa menyimpulkan secepat itu, sayang,” kata Yutaka, “Biar waktu yang menjawab. Selain itu, kau lihat sikap Arisa pada Haruto? Mereka seperti…”
“Sepasang kekasih? Ya. Aku juga melihatnya.” Nina tersenyum, tapi kemudian senyumnya berubah ragu-ragu. “Tapi, aku takut, Arisa jarang bergaul dengan laki-laki dan lebih sering bersama Yuya atau Ken. Trauma waktu itu benar-benar merubah pandangannya…”
“Kurasa juga begitu…” Yutaka menghela nafas, “Hanya waktu yang bisa menyembuhkan Arisa… mungkin juga dengan Haruto.”

***

Malam harinya, Arisa tidak mau makan dan terus mengurung diri di kamar. Yutaka dan Nina mengerti kebiasaan putri mereka dan membiarkan. Nina mengantarkan makan malam bagian Arisa ke kamar gadis itu lalu kembali menutup pintu.
Arisa sendiri masih duduk di kursi belajarnya. Matanya masih menatap ke depan dengan tatapan kosong. Dia tidak memikirkan apa-apa, hanya sekadar melamun, tapi dia sering melamun seperti ini jika tidak ada orang yang mengganggunya. Ia menghela nafas, lalu melirik kearah makanan yang diletakkan ibunya di atas meja.
Dia tahu dia harus makan, kalau tidak mau membuat keluarganya cemas.
Dengan perlahan, dia mendekati meja di dekat tempat tidur dan memakan makanan itu sedikit-sedikit. Arisa bukan pemilih makanan, tapi, dia tahu, kalau dia sudah seperti ini, akan susah baginya membuat makanan masuk  ke dalam perutnya. Puas hanya dengan beberapa suap nasi dan meminum sedikit susu coklatnya, Arisa merebahkan dirinya di atas tempat tidur dan menatap langit-langit kamarnya yang dicat dengan warna biru langit dan diberi lukisan awan.
Cobalah untuk lepas dari bayang-bayang masa lalumu… kamu pasti bisa, aku tahu itu…
Kata-kata itu sudah sering didengar oleh Arisa, tapi dia sulit melakukannya dalam bentuk tindakan. Masa lalu tidak akan pernah berubah, Arisa sudah mengerti hal itu sejak lama. Sejak kecil, sejak dia mulai disorot masyarakat sebagai model cilik…
Arisa memejamkan matanya, mengingat kembali saat-saat dia menjadi model cilik, tersenyum lebar, dan mendapat sorakan yang banyak hingga memekakkan telinganya. Dia mendesah, kenangan itu kemudian dihantam oleh peristiwa mengerikan yang sanggup membuat jiwa gadis kecilnya menangis histeris dan ingin mengakhiri hidup.
Jangan menyerah, kamu pasti bisa…
“Aku tidak tahu apakah aku bisa.” Katanya lirih, “Semuanya sangat memusingkan hingga aku ingin bunuh diri saja sekarang.”
Arisa membalikkan badannya dan mengambil kotak yang selalu ia simpan, kotak berisikan kalung liontin miliknya. Gadis itu menyentuh lekukan bandul liontinnya. Arisa selalu merasa tenang ketika menatap dan menyentuh kalung itu, seolah-olah kalung itu adalah satu bagian dari jiwanya, nyawanya…
Ia tersenyum tenang dan memejamkan matanya. Diambilnya kalung itu dan menggenggamnya erat-erat. Berharap malam ini dia bisa tidur lebih nyenyak dari biasanya.

***

Haruto menekuri pekerjaannya sambil sesekali mendesah panjang. Pekerjaannya tidak pernah ada habis-habisnya. Selalu saja ada artis pendatang baru yang ingin mengikat kontrak dengan Mirai Entertainment, tanpa tahu resiko awal harus berhadapan dulu dengannya sebagai ‘editor’ awal mereka.
“Membosankan dan melelahkan…” gerutunya sambil melemparkan berkas di tangannya ke atas meja.
Dia memutar kursinya menghadap ke jendela besar yang ada di belakangnya. Jendela itu menghadap langsung kearah pusat kota dan menampilkan cahaya-cahaya gemerlap kota di malam hari. Haruto tersenyum, selain cahaya bintang di langit, cahaya dari kota juga tidak mau kalau bersaing dengan bintang-bintang di angkasa.
Pintu ruangannya diketuk, dan tanpa menunggu jawaban dari si pemilik ruangan, seseorang masuk ke dalam.
Liam datang dan melihat Haruto menatap pemandangan kota di malam hari. Pria itu tersenyum dan menghampiri Haruto.
“Kulihat kamu bersemangat sekali bekerja.” katanya menggoda, melirik berkas-berkas di meja kerja Haruto.
“Memang pada awalnya begitu…” kata Haruto sambil tersenyum lebar, “Tapi, setelahnya, aku langsung bosan. Tidak ada yang menarik perhatianku.”
“Kecuali gadis bernama Arisa Kunisada itu?” tebak Liam, “Heran aku… banyak yang ingin menjadi artis di bawah naungan perusahaanmu, tapi, kamu mengejar seorang gadis yang bisa bernyanyi tapi tidak tahu kepastian apakah ia akan menerima tawaranmu atau tidak.”
“Itulah tantangannya bagi seorang Haruto Kirishima.” Kata Haruto lagi, “Bukankah aku jarang meminta seseorang untuk bekerja menjadi artis di bawah naungan perusahaan secara langsung.”
“Yah… sangat jarang, dan aku hanya melihatmu melakukan itu beberapa kali saja, bahkan dapat kuhitung dengan jari.” Liam tertawa. “Bagaimana perkembanganmu dengan gadis itu?”
“Cukup… lancar.” Haruto tiba-tiba termenung. “Dia bersikap cukup ramah padaku hari ini. Tidak seperti kemarin.”
“Bukankah itu pertanda bagus?”
“Aku belum bisa memastikannya.” Haruto menggosok-gosok dagunya, “Kurasa aku harus menetapi janjiku besok untuk mengajaknya ke studio rekaman.”
“Pelayanan secara khusus, nih?”
Haruto hanya mengedikkan bahu.
“Oh ya, Liam, ada kabar dari Reno?”
“Tumben sekali kau menanyakan Reno.” ujar Liam, “Biasanya kalau kau sudah berurusan dengan pekerjaan, kau akan lupa segalanya, termasuk sahabatmu sendiri.”
“Itu karena aku ingin memajukan Mirai Entertainment hingga menjadi sebuah perusahaan yang sukses. Bahkan lebih sukses daripada ini.”
Liam manggut-manggut, “Reno sedang mengadakan konser tunggal hari ini di luar negeri. Kupastikan keponakanku itu baru akan pulang sebulan lagi.”
“Konser tunggal, ya? Konser piano, atau konser menyanyi.”
“Dua-duanya. Reno sangat tekun menjalani profesinya.” Kemudian Liam melihat kearah Haruto, “Dan sepertinya ketekunannya itu menurun padamu.”
Lagi-lagi Haruto hanya tersenyum lebar.
“Sekarang sudah malam, sebaiknya kau istirahat.” Kata Liam, “Aku tidak ingin kau sakit dan menerima amukan Kazuto dan Reno yang akan pulang bulan depan, dan melihatmu kurus kering seperti ini.”
“Aku tidak akan membuatmu kena amukan Kazuto dan Reno.” Haruto tertawa membayangkan Reno dan adik Liam, Kazuto, mengamuk pada Liam. “Aku akan pulang sebentar lagi. Kau pulang saja lebih dulu.”
“Baiklah… kau mengusirku secara halus.” Liam tertawa, “Sampai bertemu besok, Haruto. Ingat, cepat selesaikan pekerjaanmu dan beristirahatlah.”
“Aku tahu, Ayah… aku tahu…”
Liam menepuk pundak Haruto, kemudian berlalu dari ruangan itu.
Haruto sendiri masih betah memandangi pemandangan kota yang gemerlapan di hadapannya. Ingatannya kembali terlempar ke masa lalu, di mana ia dan Reno, kakak angkatnya sering menghabiskan waktu bersama di rumah pohon mereka dan sering begadang hanya untuk bermain ular tangga atau PSP.
Ia tersenyum kecil mengingat masa-masa kecilnya. Ia dan Reno sama-sama dibesarkan tanpa kasih sayang seorang ibu. Bukan karena ibu mereka meninggalkan mereka karena suatu masalah rumah tangga. Tapi, ibu mereka berdua sama-sama meninggal dalam peristiwa Raja Hitam yang terjadi di Pulau Dewata. Peristiwa yang membuat Haruto kehilangan kedua orangtuanya, dan Reno kehilangan ibunya.
Sejak kejadian itu, Haruto dititipkan pada Liam, dan Reno, yang baru kehilangan ibu dan adiknya yang baru lahir pada saat peristiwa itu terjadi menganggap Haruto sebagai adik. Reno sering mengajaknya bermain, belajar bersama, dan bahkan menawarinya menginap karena tidak mau berpisah dari Haruto barang sebentar saja.
Mengingatnya lagi, membuat Haruto tertawa kecil. Dia ingat sikap manjanya pada Reno, atau sebaliknya. Mereka seperti kakak-beradik sungguhan dan tidak menganggap mereka adalah saudara angkat.
“Rindu juga aku pada anak satu itu.” gumam Haruto, “Besok aku harus meneleponnya agar dia tidak panic karena tidak meneleponnya selama beberapa waktu ini.”
Haruto menghembuskan nafas dan kembali menatap pemandangan kota dalam ketenangannya. Sambil mengingat-ingat kenangan masa kecil yang membuatnya menjadi pribadi seperti sekarang.

***

Suasana gedung konser yang luasnya mencapai dua kali lipat stadion sepak bola itu penuh dengan berbagai macam sorakan dan teriakan dari para penonton. Sebuah panggung yang besar di hadapan mereka menampilkan dekorasi yang tenang dan lembut, namun juga maskulin. Di tengah-tengah panggung berdiri seorang laki-laki berusia 20 tahunan yang sedang bernyanyi sambil memetik gitar akustik di tangannya. Suaranya yang merdu itu membius para penonton yang sebagian besar adalah wanita.
Kujadikan hari ini sebagai hari istimewa,
Melihat dirimu diterpa sinar rembulan dan dihiasi cahaya bintang,
Oh, hatiku sungguh gembira…
Suara sorak-sorai kembali memenuhi gedung itu ketika si laki-laki menarik seorang penonton yang duduk di depannya ke atas panggung. Sambil memegang mikrofon di tangannya, ia tinggalkan gitar di tangannya dan menggenggam penonton wanita itu keatas panggung.
Sayangku, janganlah berpaling dariku,
Aku takkan meninggalkanmu walau begitu banyak godaan di hadapanku
Sayangku, percayalah padaku
Bahwa kaulah bintang paling terang yang pernah ada dalam hidupku…
Percayalah bahwa aku akan selalu menjaga dan mencintaimu
Kata-kataku akan kubuktikan dalam tindakanku,
Aku berjanji padamu…
Saat lagu itu selesai, laki-laki itu tersenyum manis dan mencium punggung tangan penonton yang ia tarik keatas panggung. Penonton wanita itu tersenyum malu dan merasakan tubuhnya seperti meleleh menghadapi idolanya mencium punggung tangannya. Dia lalu turun dari panggung sambil menutupi wajahnya yang memerah saking senangnya karena diajak sang idola ke atas panggung.
“Terima kasih atas kesediaan kalian menikmati konserku ini.” ujar laki-laki itu menghadap kearah para penonton, “Ini adalah konserku yang ketujuh kali kulaksanakan setelah aku terjun dalam dunia entertainment. Kuharap kalian terus mendukungku dan terus membeli karyaku. Sekali lagi terima kasih banyak atas kesediaan kalian datang kemari!”
Penonton kembali riuh. Laki-laki itu tersenyum dan melambaikan tangannya sambil berjalan ke belakang panggung.
“Reno! Reno!!”
Teriakan penonton yang memanggil namanya disambut laki-laki itu dengan senyum manis dan ia terus melangkah ke belakang panggung.
Di belakang panggung, para kru yang membantu proses kelancaran konser yang diadakannya langsung bertepuk tangan dan memberi selamat pada Reno.
“Konser ini sukses besar! Selamat, Reno!”
“Benar-benar konser yang memukau! Aku yakin besok sudah ada berita di internet mengenai konser ini, begitu juga Koran local.”
“Kau hebat, Reno!
“Tidak sia-sia kerja keras kami membantu konser ini.”
Reno hanya tersenyum dan berjalan ke kursi terdekat. Manajernya membawakan sebotol air putih, yang langsung dihabiskan Reno dalam beberapa tegukan besar.
“Rupanya kamu benar-benar lelah, ya?” kata manajernya, Alisya, sambil duduk di sebelahnya.
“Begitulah… suaraku nyaris habis ketika memberikan kata-kata penutup tadi.” Reno tersenyum.
Alisya juga ikut tersenyum. Wanita yang sudah sejak lama menjadi manajer Reno itu sudah dianggap seperti ibu oleh laki-laki itu.
“Aku akan menghubungi mobil kita untuk segera menjemput.” Kata Alisya, “Besok kamu masih akan menghadapi kegiatan yang seabrek.”
“Oh, aku ingin beristirahat…” keluh Reno sambil tertawa. “Tapi, tunggu, apa Haruto sempat meneleponku tadi? Apa ada telepon atau e-mai yang masuk ke ponselku?”
“Tidak, Reno. Haruto belum menghubungimu sampai detik ini.” kata Alisya, “Kukira dia sibuk mengurusi para artis baru yang merangsek ingin bergabung dalam perusahaan rekamannya?”
“Kukira juga begitu.” Reno tersenyum, “Oh ya, tolong ambilkan ponselku, ya?”
“Baik, baik…”
Alisya pergi meninggalkan Reno untuk memanggil mobil yang akan membawa mereka kembali ke hotel tempat mereka menginap. Sambil menunggu Alisya, Reno beberapa kali mendapat ucapan selamat dari para kru yang berlalu-lalang. Dia menanggapi semuanya dengan tersenyum dan mengucapkan terima kasih.
Reno tersenyum dan mengelus kalung yang melingkari lehernya. Kalung yang sudah lama ia pakai sejak ia masih berusia 7 tahun. Kalung pemberian almarhumah ibunya.
Alisya datang sambil membawa ponsel Reno. Laki-laki itu langsung menyambar ponselnya, dan mendapat telepon dari ayahnya ketika baru saja hendak menghidupkan layarnya.
Kukira kau tidak akan menjawab teleponku, nak.” Sahut ayahnya di seberang telepon sambil tertawa. “Bagaimana konsermu?
“Menyenangkan, seperti biasa, Papa.” kata Reno. “Aku baru saja selesai dan sekarang sedang menanti mobil yang akan membawaku dan yang lain kembali ke hotel.”
Padahal tadi Papa ingin menyapamu di konser, tapi kesibukan menanti Papa di sini.” ayahnya berkata, “Kuharap aku tidak mengganggu waktu istirahatmu.
“Tidak… aku malah ingin menelepon Papa dan mengatakan bahwa aku sudah besar dan bisa menangani konser ini sendiri.”
Kau ini…” ayahnya tertawa mendengar gurauan Reno. “Papa senang kamu menekuni bidang yang kamu suka dengan sepenuh hati. Apakah di konser tadi tidak ada kendala?
“Papa tenang saja. Di sini aman terkendali, bahkan tanpa bantuan Papa sebagai seorang produser.” Reno tertawa, “Apa Papa masih berada di studio? Kenapa aku mendengar suara bising biola dan cello yang saling bersahutan?”
Ah, ini… ada anak baru yang ingin masuk dalam orchestra Papa. Ada sekitar 300 orang yang sedang menunjukkan bakatnya di sini.” ujar ayahnya. “Seharusnya kemarin itu Papa ikut kamu saja, dan tugas ini Papa serahkan ke asisten Papa…
“Aku akan membawakan CD berisi video rekaman konser ini pada Papa nanti.” Reno tertawa lagi. “Papa tenang saja, Papa masih bisa melihatku lewat video itu.”
Oke… ups. Papa harus kembali ke dalam. Jaga kesehatanmu dan jangan sampai kamu sakit. Minggu depan kamu harus kembali ke rumah. Kurasa Haruto akan membutuhkan bantuanmu.
“Oh? Bantuan apa?”
Akan Papa kirimkan detilnya lewat e-mail. Sekarang, Papa harus kembali ke dalam. Sampai nanti, Reno.
“Sampai nanti, Papa. Jaga kesehatanmu juga.”
Reno menutup telepon dan tersenyum geli. Ayahnya pasti kewalahan menangani 300 orang pendatang baru dalam orchestra yang dibangun ayahnya 4 tahun lalu. Selain menjadi produser music, ayahnya juga membaut orchestra yang diberi nama sesuai nama almarhumah ibunya. Sejak saat itu, mereka berdua sama-sama sibuk. Apalagi karena Reno sudah menjadi artis sejak kecil.
Reno membuka aplikasi e-mail dan melihat-lihat e-mail yang masuk.
“Reno, mobilnya sudah datang.” Alisya datang menghampirinya, “Kita harus cepat kalau kau mau istirahat secepat mungkin.”
“Oke, aku datang.”
Reno menutup ponselnya dan menghampiri Alisya. Teriakan para fans-nya di dalam gedung konser masih dapat di dengar. Reno tersenyum dan merasa tidak yakin hari ini dia bisa tidur nyenyak seperti yang diharapkan Alisya jika para fans-nya masih berada di sekitar gedung konser.

***

Tengah malam, Arisa terbangun sambil mengerutkan kening. Dia tadi bermimpi sedang berada di sebuah gedung konser besar, sedang menyaksikan seorang laki-laki sedang menyanyikan sebuah lagu sambil memainkan sebuah gitar di atas panggung.
Laki-laki itu menatap tepat kearah Arisa sambil tersenyum, dan sesaat jantung Arisa seperti berhenti berdetak. Laki-laki itu jelas bukan Haruto, kakaknya, ataupun adiknya, Ken. Laki-laki itu juga tentu saja bukan ayahnya.
Tapi, entah kenapa Arisa mengenal laki-laki itu. Lagunya yang mengalun merdu, suaranya yang indah memukau, dan juga perawakannya yang tinggi tegap.
Aku akan selalu bersamamu, di manapun dirimu berada…” ujar laki-laki itu lembut, “Aku akan selalu menjagamu. Tunggulah aku, dan aku akan menjemputmu…
Itu kata-kata yang membuat Arisa terbangun sekarang. Kata-kata itu adalah kata-kata ajakan, menyuruhnya untuk menanti laki-laki itu untuk datang.
Tapi, anehnya, Arisa tidak merasakan ancaman dari ucapan laki-laki itu. Dia justru merasa ingin laki-laki itu segera menemukannya. Aneh, memang. Tapi, itu yang terjadi padanya.
“Siapa laki-laki itu?” gumamnya masih mengerutkan kening, “Apa… apa aku pernah bertemu dengannya? Mengenalnya sebelum ini?”
Arisa teringat kalung di tangannya dan menatap bandulnya yang bersinar diterpa cahaya dari lampu tidur di dekanya. Liontin itu bersinar lembut dan memberitahu pada Arisa bahwa mimpi itu bisa saja nyata.
Aku tidak tahu siapa laki-laki itu… namun, aku tahu, ucapannya tulus. Kata Arisa dalam hati. Lalu tanpa disadarinya, dia menyebut sebuah kata yang membuat dirinya sendiri kaget setelah mengucapkannya.
“Kakak…”
Keesokan harinya, Haruto memandangi jam dinding sambil tersenyum lebar. Hari ini dia akan mengunjungi Arisa lagi. Entah karena alasan apa, dia mulai suka mengunjungi gadis itu. Ia sempat terdiam ketika suatu pemikiran merasuki pikirannya.
Cinta, kah? Tanyanya dalam hati. Tapi, dia segera menepisnya dengan mengatakan bahwa ia menyukai Arisa karena gadis itu seperti diselimuti misteri. Sebuah pemikiran logis yang bisa dipikirkannya.
Sambil menyiapkan diri setelah mandi, Haruto menatap kamarnya yang serba abu-abu. Mulai dari cat dinding, sampai ke tempat tidurnya yang masih acak-acakan bekas ia tiduri. Haruto memang menyukai warna abu-abu. Bukan karena warna itu mengingatkannya pada jelaga asap atau abu bekas terbakar, tapi karena abu-abu adalah warna netral. Dan selama ini, ia menerapkan sikap netral itu ketika bekerja.
Tapi… yah, melihat dua hari belakangan ini dia selalu ingin membujuk Arisa bergabung dalam perusahaannya, sepertinya sikap netralnya jadi sedikit berubah.
“Perubahan itu pasti baik…” kata Haruto pada diri sendiri.
Dia mengambil jaket jins kesayangannya dari dalam lemari pakaian dan segera pergi ke ruang makan. Dilihatnya Liam sudah berada di sana sambil meminum secangkir kopi.
“Oh, kau sudah bangun? Cepat sekali…” kata Liam melihat Haruto masuk ke ruang makan.
“Aku ingin menjemput A-chan hari ini.” kata Haruto sambil duduk di kursinya dan mengambil selembar roti. “Hari ini aku ingin cuti sebentar dari pekerjaan.”
“A-chan?” Liam mengerutkan kening.
“Maksudku Arisa.”
“Oh…” Liam manggut-manggut, “Tumben sekali kamu bangun pagi hanya untuk seorang gadis. Kurasa gadis ini benar-benar menyita perhatianmu, ya?”
“Tidak juga…” Haruto memakan roti yang sudah ia olesi dengan selai dan keju. “Aku hanya ingin bersikap baik. Lagipula dia seperti adik kecil bagiku. Kau tahu sendiri aku ingin sekali punya adik, tapi tidak pernah kesampaian…”
“Ah ya… aku tahu itu.” Liam tertawa pelan. “Sepertinya Arisa menjadi semacam kesibukan baru untukmu, ya? Adik baru… usia kalian terpaut hanya 4 tahun saja.”
Haruto mengedikkan bahu dan memakan roti di tangannya dengan cepat. Dia lalu mengambil lembar roti kedua. Liam tersenyum geli melihat nafsu makan Haruto yang agak meningkat pagi ini.
“Aku harus segera berangkat. Ada rapat dengan beberapa sutrada video music yang kamu rekomendasikan waktu itu.” kata Liam kemudian menghabiskan kopinya. “Aku berangkat dulu.”
“Oke. Hati-hati di jalan.”
Liam bangkit dari tempat duduknya dan berjalan meninggalkan ruang makan. Haruto sendiri mempercepat memakan sarapannya dan meminum jus jeruk yang disediakan. Setelahnya, dia langsung ke garasi dan menghampiri mobil sedan yang selalu dipakainya untuk pergi ke manapun termasuk ke kantor.
Haruto meletakkan ponselnya di dasbor dan menyalakan mesin mobilnya. Dia sudah tidak sabar ingin bertemu dengan Arisa.

***

“Iya, terima kasih, Mina.” Kata Arisa sambil menguap. “Bawakan saja catatan pelajaran hari ini. Di lokerku masih ada buku tulis kosong, kan? Pakai saja itu.”
Aku tahu. Aku sudah berada di depan lokermu dan mengambil buku tulis kosong itu kemarin,” kata Mina di seberang telepon, “Arisa, sebaiknya kamu mengkonfirmasi beberapa hal dalam hidupmu sekarang. Semakin hari, semakin banyak saja surat-surat dari penggemarmu!
Arisa hanya tertawa kecil dan menatap langit yang masih menampakkan warna biru cerah dihiasi awan berwarna kemerahan yang khas di pagi hari dari balik jendela kamarnya. Pikirannya mendadak menerawang. Dia nyaris tidak mendengarkan celotehan Mina di telepon kalau saja temannya itu tidak memanggil namanya dengan keras.
Arisa! Kamu mendengarku atau tidak!?
“Iya, iya… aku mendengarkan, kok.” Kata Arisa sambil menjauhkan telinganya dari ponsel di tangannya. Teriakan Mina cukup membuatnya kaget dan membuat telinganya agak berdenging.
Aku akan ke rumahmu malam ini bersama Deby dan Utami. Hari ini hari ulang tahun Utami, dan kami sepakat untuk merayakannya bersamamu.” Kata Mina, “Malam ini kamu ada di rumah saja, kan?
“Mmm… aku ada di rumah, kok.”
Bagus! Sampai jumpa nanti malam, ya? Kita akan makan di kafe di dekat rumahmu itu. Jadi, jangan sampai tidak ada di rumah saat kami menjemputmu.
Arisa tersenyum dan Mina mematikan telepon. Setelahnya, Arisa menghembuskan nafas dan melihat jam, masih pukul setengah 7, dan Arisa yakin, Mina kerepotan karena banyaknya amplop warna-warni yang memenuhi lokernya dan harus bersungut-sungut untuk memunguti semuanya. Dia juga yakin, Mina akan membawa sekotak kardus penuh berisi amplop-amplop itu padanya malam ini.
Bukan salah Arisa karena mendadak dia mendapat banyak perhatian dari para siswa laki-laki. Mungkin karena sejak awal, Arisa sudah menarik perhatian. Siapa yang tidak kenal Arisa Kunisada yang pernah menjuarai ajang pemilihan Putri Cilik 4 tahun silam? Tidak ada yang tidak mengenalnya, apalagi ajang itu disiarkan di TV dan ditulis di majalah dan Koran.
Gadis itu menghembuskan nafas dan beranjak dari tempat tidurnya. Hari ini hari Minggu. Hari libur bagi semua orang termasuk Arisa. Tapi, dia tidak mungkin bisa libur dari kebiasaannya menyiapkan sarapan.
Ia membuka pintu kamar dan berjalan kearah ruang makan yang merangkap dapur. Ketika sampai di sana, ia tertegun melihat sudah ada nasi goreng yang masih mengepulkan asap dan menguarkan aroma yang harum. Di sebelahnya ada susu coklat dan segelas teh lemon hangat kesukaannya.
“Arisa, kamu sudah bangun?”
Arisa menoleh ke belakang dan melihat kakaknya yang sepertinya baru saja kembali dari aktivitas pagi harinya di hari Minggu, lari pagi. Sebuah handuk kecil tersampir di bahunya.
“Kak Yuya?” Arisa mengerutkan kening, “Tumben Kakak sudah bangun…”
“Hari ini aku harus pergi ke kantor untuk menyelesaikan proyek game.” Kata Yuya sambil tersenyum lebar. “Ngomong-ngomong, itu nasi goreng untukmu. Papa, Mama, dan Ken tadi sudah makan dan sekarang sedang pergi ke rumah Paman Joe. Beliau butuh bantuan Papa untuk memperbaiki jaringan listrik yang rusak.”
“Oh…” Arisa manggut-manggut. “Kakak sudah makan?”
“Belum. Tapi, aku bisa membuat nasi goreng untukku sendiri.” kata Yuya, “Kamu cuci muka dan sikat gigi saja dulu. Aku akan pakai kamar mandi di samping kamar Ken untuk mandi.”
Yuya langsung menuju kamar mandi di dekat kamar Ken, sementara Arisa menghampiri wastafel di dekat kamar mandi itu dan mencuci muka.
Air dingin membantu Arisa lebih menjernihkan pikirannya. Setelah menyikat gigi, dia langsung menghampiri meja makan dan duduk di hadapan sepiring nasi goreng yang sudah disiapkan untuknya. Arisa baru akan menyuap suapan pertama ketika Yuya keluar dari kamar mandi dan langsung melesat ke kamarnya. Pemandangan itu membuat Arisa tersenyum sendiri. Kakaknya adalah seorang game programmer yang cukup berpengaruh pada semua game konsol yang dimainkan oleh anak-anak di Negara ini, bahkan sampai keluar negeri. Yuya juga mendirikan sebuah situs game online dengan permainan yang nyaris sama seperti game konsol yang dibuatnya dan mendapat penghasilan yang luar biasa besar atas pekerjaan tersebut.
Tapi, sebagai gantinya, Yuya hanya bisa bertemu keluarganya pada akhir pekan dan nyaris tidak punya waktu untuk mencari istri padahal usianya sudah mulai menginjak akhir usia dua puluh tahun.
Yuya keluar dari kamar dengan mengenakan kemeja lengan pendek berwarna biru muda dan juga celana jins. Dia langsung menghadap kompor dan mengambil segala keperluan untuk membuat sarapannya sendiri.
“Kakak mau kubantu?” tanya Arisa sambil meminum teh lemon hangatnya.
“Tidak perlu, aku tahu kamu selalu membuat sarapan di pagi hari. Sekarang giliranku yang membuat sarapan.” Kata Yuya sambil tersenyum. “Makan saja sarapanmu dan segera minum obat. Kata Papa kemarin kamu pingsan lagi, ya?”
“Err… iya…” Arisa tidak terlalu suka membicarakan peristiwa dia pingsan di sekolah, “Bagaimana game terbaru buatan Kakak? Apa perlu aku dan Ken menjadi beta tester Kakak lagi seperti game yang kemarin?”
“Boleh saja… tapi, aku tidak akan menggaji kalian berdua seandainya kalian menagih gaji.” kata Yuya sambil tertawa, sementara Arisa hanya mencibir tanpa suara.
Yuya membuat sarapannya dengan cepat, dan dia langsung bergabung dengan Arisa di meja makan dengan sepiring nasi goreng dan juga secangkir teh lemon seperti Arisa.
Suara mesin mobil yang mendekat, membuat mereka berdua sama-sama mendongak dari sarapan mereka.
“Biar kubuka, kamu makan saja sarapanmu, kalau perlu kamu bisa ambil lagi di wajan. Masih ada sisa banyak.” Kata Yuya saat Arisa hendak berdiri.
Arisa hanya diam dan kembali melanjutkan sarapannya. Kalau Yuya ada di rumah, kakaknya itu pasti akan sangat memanjakannya. Mungkin karena dia adik perempuan satu-satunya? Entahlah. Yang jelas Yuya selalu penuh perhatian pada Arisa, begitu juga dengan Ken. Kakaknya itu tidak pernah pilih kasih dalam memberikan kasih sayang padanya maupun Ken.
Tipikal kakak idaman. Kata Arisa dalam hati sambil tersenyum.
“Arisa, ada temanmu,” Yuya muncul dengan kening berkerut.
“Siapa?”
“Namanya… entahlah, aku lupa menanyakan namanya.” Kata Yuya, “Tapi, sejak kapan kamu bergaul dengan anak kuliahan?”
“Anak kuliahan?” Arisa mengerutkan kening. “Aku tidak punya teman anak kuliahan, kok.”
“Tapi, penampilan temanmu itu seperti anak kuliahan semester 3.” Kata Yuya lagi, “Aku akan menyuruhnya masuk. Jadi, kamu bisa melihatnya sendiri.”
Yuya langsung kembali ke depan tanpa menunggu jawaban dari Arisa. Beberapa saat kemudian, Yuya kembali ke ruang makan dengan seseorang yang sudah tidak asing bagi Arisa.
“Selamat pagi, A-chan.” Sapa Haruto sambil tersenyum.
“Selamat pagi.” Arisa membalas sapaan Haruto dengan senyum tipis, dia lalu menoleh kearah kakaknya yang menatapnya menuntut penjelasan.
“Dia Haruto Kirishima, Kak. Tenang saja, dia bukan anak kuliahan, kok.” Kata Arisa, “Dia pemilik Mirai Entertainment. Kakak tahu perusahaan itu, kan?”
“Apa!?”
Yuya menatap Haruto yang tersenyum padanya, kemudian menatap Arisa lagi.
“Sejak kapan kamu bergaul dengan bos Mirai Entertainment?”
“Kak!!”
“Maaf, aku hanya kaget.” Kata Yuya, kemudian menatap Haruto lagi. “Aku Yuya, kakak Arisa. Salam kenal,”
“Yuya Kirishima yang pembuat game ‘Invisible’?”
“Ya. Kau tahu game itu?”
“Aku penggemar beratmu.” Aku Haruto, “Aku mengoleksi semua game konsol buatanmu.”
“Serius? Ternyata ada fans game buatanku!” kata Yuya sumringah, kemudian dia teringat Arisa, “Ah, kamu ingin bertemu Arisa? Oh ya, sudah sarapan? Aku bisa membuatkanmu sarapan kalau mau.”
‘Tidak perlu. Aku sudah sarapan tadi di rumah.” Tolak Haruto halus. Ia lalu menoleh kearah Arisa yang masih memakan sarapannya dengan tenang.
“Duduklah dulu, aku akan membuatkanmu minuman.” Kata Yuya sambil mendudukkan Haruto di kursi di sebelah Arisa.
Yuya langsung membuatkan minuman. Dengan ahli dia meracik kopi di mesin kopi dan menghidangkannya di hadapan Haruto.
“Ini kopi racikanku sendiri.” ujar Yuya, “Maaf, aku harus segera pergi ke kantor. Ada pekerjaan yang harus diselesaikan.”
“Arisa, kalau kamu pergi keluar, jangan lupa mengunci pintu. Ada sisa nasi goreng di wajan, kamu taruh saja di piring untuk makan siang nanti.”
“Iya, Kak, aku tahu, kok…” kata Arisa sambil tersenyum.
Yuya mencium pipi Arisa dan mengacak rambut adiknya itu dengan gemas, “Kakak berangkt dulu.”
“Hati-hati di jalan.”
Haruto melihat interaksi kedua kakak-beradik itu sangat intim dan membuatnya iri. Seandainya dia juga punya adik perempuan yang bisa dimanja…
“Kamu benar-benar tidak mau makan? Nasi goreng buatan Kak Yuya paling enak, lho.” Kata Arisa menoleh kearah Haruto.
“Tidak apa-apa. Aku sudah sarapan beberapa lembar roti tadi.” tolak Haruto lagi. “Kalian akrab sekali, ya?”
“Kak Yuya memang begitu. Sejak aku kecil, aku selalu dimanja.” Arisa mengedikkan bahu sambil tersenyum. “Tapi, kamu bilang tadi hanya sarapan beberapa lembar roti? Itu terlalu sedikit!”
Tanpa diduga Haruto, Arisa berdiri dan mengambil piring, lalu mengambilkan Haruto sepiring nasi goreng.
“Makanlah. Kalau tidak, perutmu akan keroncongan bahkan sebelum jam makan siang tiba.” Kata Arisa, “Percayalah, aku sudah pernah sarapan hanya dengan beberapa lembar roti dan itu masih kurang.”
“Euh… baiklah…”
Haruto menerima piring berisi nasi goreng yang disodorkan Arisa dan mengambil sendok. Ketika Haruto menyuap nasi goreng ke dalam mulutnya, Arisa tersenyum puas. Dia lalu kembali melanjutkan sarapannya dalam diam.
Setelah selesai makan, Arisa langsung mengumpulkan piringnya dan Haruto, juga Yuya yang isinya masih bersisa banyak. Ia menggelengkan kepala dan menaruh piring yang masih berisi banyak nasi goreng itu ke lemari makanan. Dia juga menaruh sisa nasi goreng di wajan ke piring lain yang lebih besar dan meletakkan di lemari makanan.
Haruto memperhatikan gerakan Arisa dengan terkesima. Arisa kelihatan biasa berada di dapur untuk menata dan mengerjakan beberapa pekerjaan dapur yang menurutnya jarang ditemui pada gadis seusia Arisa. Kekagumannya semakin bertambah ketika Arisa mulai menggoreng ayam dan menyiapkan sayuran untuk makan siang.
“Apa kamu terbiasa di dapur?” tanya Haruto.
“Tidak juga. Aku hanya melakukan apa yang bisa kulakukan di dapur.” jawab Arisa, “Hanya beberapa, biasanya Mama yang berada di dapur.”
Haruto manggut-manggut. Dia menunggui Arisa sampai selesai dan ketika gadis itu meletakkan semua masakannya ke dalam lemari makanan, gadis itu menoleh.
“Aku akan berganti baju. Kamu tunggu saja di ruang tamu.”
Haruto hanya mengangguk. Dia memperhatikan Arisa masuk ke dalam kamarnya dengan senyum terkembang lebar.

***

Arisa termenung mengingat sikapnya pada Haruto yang tidak lagi… bermusuhan. Aneh. Apa karena restu dari ayahnya kalau dia boleh menjadi penyanyi dua malam lalu?
Ia cepat-cepat menggeleng dengan pikirannya itu.
“Pasti karena aku sudah mengenal Haruto, aku berubah menjadi seperti ini.” gumamnya pada diri sendiri. “Ya, pasti karena itu.”
Arisa menghampiri lemari pakaiannya dan mengeluarkan baju yang akan dipakainya. Kaus tanpa lengan berwarna hijau lemon dan juga rok jins selutut. Dia juga mengambil sweater berwarna senada dengan kaus yang dikenakannya dan menyambar tas selempang putih kesukaannya. Arisa memasukkan ponsel, dompet, dan beberapa barang yang dirasanya perlu untuk dibawa.

0 komentar:

Posting Komentar