Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Unmei Gokko - Chapter 3



Minato tidak tahu harus mengucapkan apa ketika dia berhasil mendapatkan informasi mengenai Sakura di ruang tata usaha sekolah. Dari data yang didapatnya, Sakura adalah murid yang awalnya menjalani home-schooling dan baru sekitar empat bulan lalu menjadi siswa di SMA Haruma. Dari data itu juga Minato mendapatkan nama lengkap gadis itu, Hanae Sakura.

Namun, bukan itu yang membuatnya tidak dapat mengucapkan apa-apa saat mendapatkan data itu, melainkan kemampuan yang dimiliki gadis itu.
Saat jam istirahat, Minato memanfaatkan kesempatan itu untuk membuktikan sendiri data-data yang didapatnya dari ruang tata usaha.
Dalam data diri Sakura, gadis itu adalah seorang multi-talenta. Dari data tersebut dikatakan kalau Sakura memiliki IQ yang cukup tinggi. Dia juga bisa berakting, menari, menyanyi, dan pandai melukis. Tidak hanya itu saja, dalam bidang olahraga dia menguasai beladiri dan memanah. Sakura juga pandai merangkai bunga atau Ikebana dan pandai memasak.
Tapi sayangnya, Sakura tidak mengikuti kegiatan klub atau ekstrakurikuler apapun padahal dia memiliki segudang talenta seperti itu. Gadis itu hanya sesekali menjadi pusat perhatian karena mendatangi satu klub dan ikut melakukan pertandingan atau hal lain yang dikerjakan klub itu, tapi dia tidak pernah mau terlibat lebih jauh. Banyak yang bilang Sakura tidak mau mengikuti satupun klub atau kegiatan ekstrakurikuler karena dia punya banyak tugas.
Minato yakin itu bukan karena tugasnya sebagai Miko.
Pemuda itu sampai di depan gedung olahraga yang seperti diduganya, sudah sangat ramai. Minato ingat kalau di setiap hari Senin gedung olahraga dijadikan tempat latihan bagi klub Kendo yang memiliki anggota cukup banyak baik dari segi siswa maupun siswinya.
Dan dia yakin Sakura juga ada di sana, melihat dari kerumunan penonton yang sebagian besar adalah siswa laki-laki. Dia juga bisa mendengar para siswa itu juga membicarakan satu nama, Sakura.
“Sakura-sama akan bertanding hari ini!”
“Dia tetap manis walau pakai pakaian kendo, ya?”
“Ah… dia cantik dan manis sekali!”
Minato melihat ke depan tepat kearah dua orang yang tengah berhadap-hadapan. Dia bisa melihat wajah Sakura dengan jelas karena gadis itu tidak mengenakan penutup kepala seperti lawan yang ada di hadapannya. Gadis itu hanya mengikat dan menggelung rambutnya ke belakang. Pandangan gadis itu lurus ke depan. Di tangannya, Sakura menggenggam sebuah pedang kayu.
Seorang wasit maju ke depan dan menatap Sakura dan lawannya masing-masing. Sebelah tangannya terangkat, bersiap memberi aba-aba.
“Baiklah. Dalam pertandingan kali ini, bagi siapa diantara kalian yang berhasil melakukan satu serangan pada lawan, dia yang menang. Apa kalian siap?”
“Ya.” Sakura mengangguk, “Silakan mulai kapan saja.”
“Baik, kalau begitu… mulai!”
----------

Begitu wasit mengatakan ‘Mulai!’’, Sakura sudah tahu apa yang harus dilakukannya. Ia melangkah mundur menghindari serangan pedang kayu lawannya dan memusatkan perhatiannya pada titik lemah lawan. Alasan kenapa dia tidak memakai pelindung kepala seperti yang biasa dipakai oleh seorang atlet kendo adalah karena benda itu hanya akan mempengaruhi penglihatannya.
Kiri… bukan. Kanan?
Sakura memutar pedang kayu di tangannya dan menangkis serangan yang diarahkan ke kepalanya. Walau dari segi fisik dia lebih kecil dibandingkan lawannya, Sakura tahu bagaimana memanfaatkan segala hal di sekitarnya.
Sama seperti yang selalu diajarkan padanya.
Ia mendorong mundur lawannya dan bergerak cepat ke belakang. Dengan satu gerakan pelan dia memukul pelan kepala lawannya yang terlindungi oleh penutup kepala.
Ippon.” Kata Sakura sambil tersenyum kecil.
Seruan dan tepuk tangan kagum membahana di seluruh gedung olahraga.
Sakura membantu lawannya berdiri dan tersenyum manis sebelum berbalik dan menghampiri tas olahraga yang sebelumnya dia letakkan di sudut arena pertandingan.
Gadis itu baru saja akan mengambil tasnya ketika dia merasakan seseorang sedang mengawasinya. Ketika dia menoleh, Sakura mengerjap melihat Minato berdiri diantara kerumunan para penonton. Pemuda itu juga sedang menatap kearahnya.
Dan entah kenapa jantung Sakura mendadak berulah.
Tapi Sakura tidak sempat menarik nafas ketika kerumunan para penonton mulai terpecah dan para fans-nya mulai merangsek kearahnya.
“Sakura-sama, Anda hebat sekali!”
“Tolong ajari aku cara memainkan pedang Kendo!”
“Sakura-sama, terimalah botol air ini!”
“Sakura-sama, bagaimana kalau kubawakan tas olahragamu…”
Sakura hanya tersenyum manis dan menanggapi satu-persatu ucapan para fans-nya dengan halus. Ia lalu berusaha keluar dari kerumunan itu dan terkejut ketika melihat sebuah tangan memegang tangannya. Tidak habis dengan itu, tangan yang memegangnya menariknya mendekat dan pandangan Sakura tertutup oleh kemeja putih yang dilapisi dengan blazer abu-abu muda.
Minato muncul dan membuat semua laki-laki yang mengelilingi Sakura terdiam. Mereka tidak pernah berpikir untuk menyentuh Sakura. Jangankan menyentuh, memeluk Sakura-pun mereka tidak berani. Dan baru kali ini ada yang berani melakukannya!
Sakura mendongak dan menatap wajah Minato yang tampak datar. Lalu tiba-tiba saja pemuda itu membawanya pergi dan membuat para siswa berteriak marah dan mengeluh.
Mereka berdua terus berjalan dan ketika sampai di koridor yang menghubungkan gedung olahraga dan gedung utama, Sakura berhenti dan membuat Minato yang berjalan di depannya juga ikut berhenti.
“Kamu bisa melepaskan tanganku sekarang.” kata Sakura ketika Minato menoleh kearahnya.
Minato melepas tangan Sakura, seperti yang diminta gadis itu.
“Ucapan terima kasih saja sudah cukup.” kata Minato yang melihat Sakura sepertinya tidak berinat mengucapkan dua kata itu.
“Kenapa aku harus berterima kasih padamu?”
“Karena aku menolongmu kabur dari para penggemarmu?”
“Mereka bukan penggemarku, dan aku tidak pernah memintamu menolongku.”
Sakura melepas ikatan rambutnya dan membiarkan rambutnya tergerai. Dia lalu menyimpan karet rambutnya ke dalam tas dan berjalan melewati Minato.
“T-tunggu dulu!”
Minato berjalan di samping gadis itu.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya Sakura.
“Aku hanya… hanya mau mengikutimu. Tidak boleh?”
“Tidak.”
“Aku ingin mentraktirmu makan siang.”
“Aku tidak lapar.”
“Kalau begitu, aku akan mengantarmu sampai ke ruang ganti.”
Sakura berhenti berjalan dan menoleh kearah Minato. Mata gadis itu menatap tajam, dan benar-benar tidak cocok dengan wajah bonekanya.
Wajah Keiko… memang tidak salah. kata Minato dalam hati.
“Aku tidak tahu apa yang membuatmu mengikutiku, tapi perhatianmu itu benar-benar menggangguku.” Ujar Sakura, “Bisakah kamu meninggalkanku sendiri dan jangan pernah mengikutiku?”
“Tidak bisa. Aku ingin menanyakan beberapa hal padamu.” Kata Minato, “Dan aku akan terus mengikutimu sampai kamu mau menjawab pertanyaanku.”
“Apakah masalah nama masih membuatmu kesal?” kata Sakura.
“Bukan hanya soal namamu, tapi juga asal-usulmu, terutama dalam Shigi.”
“Kenapa kamu begitu tertarik dengan asal-usulku?”
“Itu…”
Minato menatap gadis itu lekat-lekat dan teringat gadis itu bahkan tidak ingat siapa Minato, itu artinya Sakura juga tidak ingat siapa dirinya sebenarnya.
“’Itu’ apa, hm?”
“Yang jelas, aku tertarik dengan asal-usulmu. Terutama setelah kuperiksa lagi, kau bukan Miko yang sah.”
Sakura mendengus dan menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban Minato.
“Kamu pasti melihatnya dari database yang diketahui oleh pengawas kelompok Shigi, ya? Lalu kalau aku bukan Miko yang sah, kamu mau apa? Mencari tahu kenapa aku bisa menjadi Miko?”
“Ya. Aku ingin tahu karena kamu… mirip dengannya.”
“Hah?”
“Bukan apa-apa.”
“Kamu orang yang aneh.” Kata Sakura, “Terserah kamu mau mencari tahu seperti apa asal-usulku, aku tidak peduli. Toh, aku akan tetap mencoba membunuh semua Senshu ketika permainan dimulai. Dan aku pastikan, aku tidak akan main-main lagi.”
“Apa alasanmu membunuh Senshu? Kenapa kamu sangat ingin membunuh kami semua?”
“Karena itulah caraku bertahan hidup. Alasanku masih bernafas sampai saat ini.” Sakura menatap Minato, “Walau kujelaskan padamu dalam bahasa paling sederhana sekalipun, kamu tidak akan mengerti.”
“Katakan saja.”
“Kamu ini orang yang keras kepala, ya?” ujar Sakura.
“Semua orang menganggapku dingin dan membosankan.”
“Karakter itu tidak cocok untukmu.” Balas Sakura.
“Aku juga merasa begitu.”
Sakura menatap tajam wajah Minato, namun tidak sampai satu detik, dia memalingkan wajahnya kearah lain. Lagi-lagi dia merasa jantungnya berulah, dan ini membuatnya heran. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya, bahkan ketika beberapa kali bertemu para Senshu di luar waktu permainan…
… tapi di hadapan Minato, entah kenapa dia tidak bisa memandangnya lama-lama. Kesampingkan Manami. Sakura memang tidak suka melihat wajah Manami yang walaupun sama tampannya seperti Minato tidak pernah dianggapnya tampan. Baginya Manami adalah sumber segala hal yang terjadi padanya.
Sakura menghembuskan nafas dan berbalik.
“Kau mau ke mana?”
“Berganti baju.”
“Aku ikut.”
“Kamu mau ikut aku berganti baju?” Sakura menaikkan sebelah alisnya, “Kamu ini—”
“Jangan salah paham. Aku masih ingin menanyakan beberapa pertanyaan padamu.”
“Terserah sajalah.”
Gadis itu kembali berjalan dan kali ini dia berusaha untuk tidak mendebat Minato. Satu hal yang dia ketahui tentang pemuda itu sekarang adalah jangan mendebatnya kalau tidak mau kepala terserang sakit kepala.

----------

Minato melihat kearah Sakura yang berjalan di sebelahnya. Sekarang Sakura sudah kembali mengenakan seragamnya, blazer abu-abu muda, kemeja putih, dan rok berwarna hitam. Gadis itu tampak diam dan sepertinya menjaga jarak darinya.
“Apa kau selalu seperti ini?”
“Sikap dinginku, maksudmu? Ya.” jawab Sakura, “Aku tidak terbiasa diikuti oleh orang asing, apalagi orang itu adalah Senshu.”
“Tapi aku adalah seniormu. Berdasarkan data yang kudapat dari ruang tata usaha, kau lebih muda setahun dariku.”
“Lalu, apa aku harus bersikap hormat padamu?”
“Kalau kau mau…”
“Tidak mau.”
“Sudah kuduga.”
Sakura berjalan menuju rumah kaca yang terletak di dekat gudang peralatan olahraga. Minato sempat mengerutkan kening, mengira-ngira apa yang akan dilakukan gadis itu di rumah kaca.
Mereka berdua masuk ke dalam rumah kaca itu dan Minato bisa melihat berbagai jenis tanaman yang ditanam oleh klub pecinta tanaman dan juga para murid yang berdedikasi dalam gerakan go green yang sudah lama dilaksanakan.
Dilihatnya Sakura berjalan kearah pojok rumah kaca yang memuat banyak jenis bunga-bunga termasuk bunga mawar. Gadis itu mengambil celemek dari bahan kasar dan juga sepasang sarung tangan. Ia kemudian mengenakan sarung tangan dari karet itu dan mulai mengangkat dua buah pot bunga lili putih.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
“Memindahkan pot-pot bunga ini ke tempat di mana mereka bisa terkena sinar matahari.” Kata Sakura, “Kalau mereka diletakkan di pojok ruangan seperti ini mereka tidak akan bisa tumbuh dengan baik.”
“Oh…”
Minato memperhatikan Sakura mengangkat dua buah pot yang cukup besar itu dengan mudah. Gadis itu juga mengangkat pot-pot bunga lain ke tempat di mana cahaya matahari bersinar. Sakura tidak terlihat lelah padahal dari tadi dia bolak-balik mengangkat pot-pot bunga itu, dan gadis itu kelihatannya tidak ingin dibantu sehingga Minato hanya memperhatikan gadis itu memindahkan pot-pot bunga itu sendirian.
Tapi, lama-kelamaan Minato tidak tega juga, terutama melihat kening gadis itu kini mulai mengeluarkan keringat.
Ketika gadis itu akan mengangkat pot berikutnya, Minato segera mengambil alih pekerjaan gadis itu.
Sakura menatap Minato yang membawa kedua pot di tangannya dengan kening berkerut.
“Lebih baik kita mengerjakannya bersama-sama.” Ujar Minato, “Itu akan meringankan pekerjaanmu, kan?”
“Aku tidak perlu dibantu.” Kata Sakura, “Aku bisa melakukannya sendiri.”
“Tapi di dahimu ada keringat. Dan juga semua pot-pot ini cukup berat untuk dibawa dengan dua tangan kecilmu itu.”
“Apa kamu sedang mengejekku?”
“Aku bukan mengejekmu, tapi itu memang kenyataannya.” Balas Minato, “Biar aku saja yang mengangkat ini, kamu istirahat saja.”
“Tidak.” Sakura menggeleng, “Aku harus merawat mereka semua sendiri.”
“Kenapa kamu bersikeras seperti itu, sih?”
“Ini… sebagai permintaan maafku.” Kata gadis itu lirih.
“Apa?”
“Bukan apa-apa.” ujar Sakura, “Biarkan aku melakukannya sendiri.”
“Tidak, aku akan membantumu.”
“Tapi—”
Sakura tidak sengaja menyenggol rak tinggi yang memuat pupuk dan juga peralatan berkebun lainnya. Rak yang terbuat dari besi itu bergoyang dan jatuh kearah Sakura.
“Awas!!”
Minato menarik lengan Sakura tepat pada waktunya dan melindungi gadis itu. Bunyi bedebum keras dari rak yang jatuh itu membuat Sakura tersentak kaget. Wajah gadis itu mendadak saja berubah pucat.
“Hampir saja…” kata Minato sambil menghembuskan nafas lega, “Kau tidak apa-apa—”
Dilihatnya wajah Sakura tampak pucat dan gadis itu menatap rak yang jatuh itu dengan tatapan ketakutan.
“Hei, kau tidak apa-apa?” tanya Minato, “Hei, Sakura?”
“… semuanya… terbakar…”
“He?”
Sakura mengerjapkan matanya beberapa kali dan menatap Minato dengan pandangan khawatir.
“K-kamu tidak apa-apa, kan? Tidak ada yang terluka, kan?” tanya gadis itu panic.
“Seharusnya aku yang mengatakan itu.” ujar Minato bingung, “Kau tidak apa-apa, kan?”
“A-aku tidak apa-apa…” kata Sakura, “Ini pertama kalinya aku ditolong oleh Senshu. Bahkan walau aku sudah mengancam akan membunuhmu.”
Minato melihat wajah pucat Sakura dan mulai menyadari tubuh gadis itu gemetar.
“Kau gemetaran.”
“A-aku tidak apa-apa. Dan aku… aku tidak gemetaran.”
“Kau jelas-jelas gemetaran.” Ujar Minato, “Sebaiknya kita ke ruang kesehatan dan meminta obat untukmu.”
“Aku tidak—kamu mau apa!?”
Sakura terkejut ketika Minato melingkarkan kedua tangannya di belakang punggung dan kakinya. Secara refleks, gadis itu mengalungkan kedua lengannya di leher Minato.
“Wajahmu pucat, jadi kita harus pergi ke ruang kesehatan.”
“Sudah kubilang aku tidak apa-apa.” kata Sakura, “Turunkan aku.”
“Aku menolak.”
“Kamu…”
Minato hanya tersenyum dan membawa Sakura ke ruang kesehatan tanpa memperdulikan protes yang dilontarkan gadis itu.

----------

Sakura tidak tahu harus bereaksi seperti apa ketika Minato menggendongnya dan membawanya ke ruang kesehatan. Jantungnya tidak bisa berhenti berulah dan hal ini membuat pipinya memerah karena malu.
Tunggu dulu. Malu? Sejak kapan dia merasakan perasaan seperti itu?
Minato mendudukkannya di kursi ketika mereka sampai di ruang kesehatan. Ruangan itu kosong, dan sepertinya petugas yang berjaga di sana tidak ada.
“Aku akan mencarikan obat untukmu.” Kata Minato, “Tunggu di sini.”
“Tidak perlu. Aku tidak apa-apa dan tidak merasa sakit.” ujar Sakura.
“Wajahmu masih pucat.” balas Minato dengan tatapan menyelidik, “Apa kau yakin kau baik-baik saja.”
“Apa aku harus membuktikannya?”
“Harus.”
Sakura memicingkan matanya menatap Minato dan menghembuskan nafas.
“Aku tidak merasa kesakitan dan aku sehat-sehat saja.” kata Sakura.
“Lalu kenapa wajahmu pucat?”
“Itu karena… aku hanya terkejut saja.”
“Terkejut?”
“Aku tidak pernah ditolong oleh orang asing.”
“Kau masih menganggapku orang asing bahkan setelah aku menolongmu?” ujar Minato dengan nada tersinggung, “Itu menyakiti hatiku, kau tahu.”
“Aku tidak pernah berurusan dengan orang asing. Sebenarnya aku bahkan tidak ingin bersekolah di sekolah ini kalau saja bukan karena suruhan seseorang.”
“Kau disuruh bersekolah di sini?”
“Untuk apa kamu ingin tahu?”
“Kehidupanmu terlalu misterius, Sakura. Dan aku ingin tahu, kenapa kita harus bertemu.” Kata Minato.
“Aku bahkan ingin menanyakan hal yang sama.”
Keheningan yang terjadi di antara mereka membuat suasana menjadi canggung. Tapi sepertinya Sakura tidak terganggu sama sekali. Sebaliknya, gadis itu malah merasa keheningan tersebut memberinya jeda sejenak untuk memikirkan ucapannya barusan.
“Sakura,”
Sakura menoleh kearah Minato dan melihat pemuda itu menatapnya.
Dan untuk ke sekian kalinya, Sakura lelah menyuruh jantungnya untuk berhenti berulah, berdebar kencang ketika menatap mata zamrud pemuda itu.
“Apa?”
“Apa… kamu benar-benar tidak bisa mempercayaiku?”
“Kamu Senshu, dan bagiku semua Senshu adalah musuh.”
“Kenapa?”
“Karena merekalah aku kehilangan segalanya.” Kata Sakura menatap tajam Minato, “Karena orang-orang seperti kalianlah aku kehilangan sesuatu yang kuanggap sangat berharga. Kalian menghancurkan hidupku, dan terutama, kalian menghancurkan hatiku.”
Ucapan yang diucapkan dengan nada dingin itu membuat Minato terdiam. Wajah Sakura tampak terluka sekaligus dingin di saat bersamaan ketika mengatakan ucapan barusan.
Gadis itu… sama seperti dirinya. Sakura merasakan luka yang sama sepertinya terhadap permainan Shigi yang merenggut segala hal dari mereka.
Segala hal… semuanya…
“Sudah kubilang kalau kamu tidak akan mengerti.” kata Sakura sambil memalingkan wajahnya. “Sampai kapanpun kalian semua tidak akan pernah mengerti apa yang kurasakan.”
“Aku mengerti.”
“Tidak usah berbohong. Aku tahu—”
Aliran kata-kata Sakura terhenti ketika Minato berlutut di hadapannya dan menggenggam tangannya.
“Aku mengerti, karena aku juga merasakan hal yang sama.” Kata pemuda itu, “Aku juga kehilangan sesuatu yang sangat berharga, dan aku menjadi Senshu bukan karena aku menginginkannya, tapi karena keadaan.”
“Semua Senshu yang pernah kutemui juga mengatakan hal yang sama. Dan aku tidak akan tertipu lagi.” ujar Sakura, “Kalian semua sama saja. Kalian hanya menginginkan kekuatan, atau mungkin kebebasan. Kalian tidak pernah tahu seperti apa rasanya menjadi sendirian dan tidak ada yang menerimamu—”
“Kau tidak sendirian.” Kata Minato lagi, “Kau hanya merasa kalau kau selalu sendirian.”
“Bicara denganmu hanya akan menguras tenagaku.” Kata Sakura, “Lepaskan tanganku dan pergilah dari sini.”
“Aku tidak akan pergi. Bukankah aku masih punya pertanyaan untukmu?”
“Sekarang aku tidak berminat dengan pertanyaanmu. Pergilah!”
Sakura menyentak kedua tangannya yang digenggam oleh Minato dan mendorong pemuda itu menjauh darinya.
“Sakura—”
“Pergi!!”
“Tapi, aku—”
“Aku bilang PERGI!!”
Hentakan kekuatan mengalir dari tubuh gadis itu dan membuat Minato terlempar ke belakang. Seketika di sekeliling Sakura muncul cahaya-cahaya yang biasa mengelilingi gadis itu. Cahaya-cahaya itu bertebaran di sekitar mereka seolah-olah sedang melihat pertengkaran mereka.
Minato berusaha bangun dan merasakan punggungnya nyeri. Hantaman kekuatan gadis itu tidak membuatnya patah tulang, tapi tetap saja punggungnya terasa sakit.
“Kalian tidak akan pernah mengerti perasaanku.” Ujar Sakura, “Kamu, semua Senshu sepertimu, dan orang itu. Aku membenci kalian, dan aku akan memastikan kalau aku akan membunuh semua dari kalian tanpa sisa!”
Gadis itu berdiri dan berlari keluar dari ruang kesehatan meninggalkan Minato yang berusaha memanggilnya.

****

Tanpa sepengetahuan mereka, seseorang sedang mengawasi pertengkaran mereka. Orang itu melihat pertengkaran antara Sakura dan Minato dari teropong yang digunakannya untuk melihat dari tempatnya berada sekarang.
“Hmm… aku tidak menduga dia punya kekuatan yang sangat besar. Benar-benar kasus yang sangat langka. Bukan begitu, Deuce?”
“Kau terlalu menekannya.” Kata Deuce, seorang perempuan berambut merah pendek seperti laki-laki, “Kekuatan itu seharusnya menjadi milikmu, kan? Tapi kau malah memberikannya pada gadis itu.”
“Aku tidak menyesal melakukannya.”
“Apa yang sedang kau rencanakan, Ace?”
“Aku tidak sedang merencanakan apa pun.”
“Bohong.”
“Aku tidak pernah berbohong, Deuce. Aku selalu jujur pada semua orang.” Ucap Ace.
“Aku tahu kau berbohong, Ace. Sangat terlihat di wajahmu.” Kata Deuce lagi, “Katakan saja, kenapa kau malah memberikan kekuatan itu pada anak itu? Seharusnya kau yang mendapatkan kekuatan itu, kan?”
“Kalau kukatakan ini untuk kebaikannya, bagaimana?”
“Aku tidak melihatnya sebagai kebaikan untuk gadis itu. Apa maksudmu, Ace, katakan yang jelas.”
Ace menatap Sakura yang berlari melewati koridor, lalu Minato yang masih berada di ruang kesehatan dengan tatapan sendu dan menghela nafas.
“Karena suka atau tidak, semua yang terjadi pada mereka berdua adalah kesalahanku. Dan aku tidak mungkin membiarkan mereka merasakan kesedihan untuk kedua kalinya, seperti yang pernah kurasakan dulu.”
Deuce menatap Ace lekat-lekat dan menghela nafas. Dia mengacak-acak rambutnya yang pendek seperti laki-laki itu dan memandang langit.
“Tidak ada yang tidak akan merasakan kesedihan, Ace. Kita berdua tahu itu.” ujar Deuce, “Para Master mungkin tidak akan suka jika tahu kekuatan milik gadis bernama Sakura itu sebenarnya adalah milikmu.”
“Aku akan menangggung segala resikonya.” Kata Ace sambil tersenyum dikulum.
Deuce menatap Ace lagi.
“Aku boleh menemui pemuda itu?”
“Minato? Boleh saja, asalkan kau jangan membongkar identtias kita, terutama tentangku.”
“Aku tidak akan pernah melakukannya.” ujar Deuce, lalu melompat ke tanah dan masuk ke dalam gedung sekolah.

----------

Minato mencoba menemukan Sakura, tapi sepertinya gadis itu sudah kembali ke kelasnya. Dan Minato sungkan untuk pergi ke kelas gadis itu hanya untuk memastikan kalau dugaannya benar.
Minato kembali teringat wajah dingin dan terluka gadis itu. Minato tidak pernah berpikir kalau Sakura ternyata benar-benar berbeda jauh dengan Keiko, gadis kecil yang dulu selalu menempel padanya dan manja.
Sakura dan Keiko jelas-jelas berbeda, baik dari sikap maupun tindakannya.
Tapi…
Minato yakin kalau Sakura adalah Keiko, tetapi dia tidak tahu bagaimana caranya membuktikan dugaannya itu tanpa membuat Sakura curiga. Satu-satunya harapannya adalah informasi dari data yang didapat Mayumi untuknya malam ini.
Aku akan memastikannya sendiri. Kalau benar Sakura adalah Keiko…
“Hei,”
Minato menoleh dan melihat seorang wanita berambut merah pendek seperti laki-laki berdiri tidak jauh darinya. Sepintas, wanita itu mirip dengan Senshu yang dikalahkannya kemarin malam. Tapi wajah wanita itu jelas-jelas berbeda dari Senshu kelompok Kurome waktu itu. Dan juga, pakaian wanita itu serba merah, mulai dari jaket kulit yang dikenakannya, celana jins, sampai sepatu boot tinggi di kakinya.
“Kau Kurogane Minato, kan?” tanya wanita itu.
“Kau siapa?”
“Aku Deuce.”  Kata wanita itu sambil tersenyum. “Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu.”

0 komentar:

Posting Komentar