Minato tidak tahu harus mengucapkan apa ketika
dia berhasil mendapatkan informasi mengenai Sakura di ruang tata usaha sekolah.
Dari data yang didapatnya, Sakura adalah murid yang awalnya menjalani home-schooling dan baru sekitar empat
bulan lalu menjadi siswa di SMA Haruma. Dari data itu juga Minato mendapatkan
nama lengkap gadis itu, Hanae Sakura.
Namun, bukan itu yang membuatnya
tidak dapat mengucapkan apa-apa saat mendapatkan data itu, melainkan kemampuan
yang dimiliki gadis itu.
Saat jam istirahat, Minato
memanfaatkan kesempatan itu untuk membuktikan sendiri data-data yang didapatnya
dari ruang tata usaha.
Dalam data diri Sakura, gadis itu
adalah seorang multi-talenta. Dari
data tersebut dikatakan kalau Sakura memiliki IQ yang cukup tinggi. Dia juga bisa
berakting, menari, menyanyi, dan pandai melukis. Tidak hanya itu saja, dalam
bidang olahraga dia menguasai beladiri dan memanah. Sakura juga pandai
merangkai bunga atau Ikebana dan
pandai memasak.
Tapi sayangnya, Sakura tidak
mengikuti kegiatan klub atau ekstrakurikuler apapun padahal dia memiliki
segudang talenta seperti itu. Gadis itu hanya sesekali menjadi pusat perhatian
karena mendatangi satu klub dan ikut melakukan pertandingan atau hal lain yang
dikerjakan klub itu, tapi dia tidak pernah mau terlibat lebih jauh. Banyak yang
bilang Sakura tidak mau mengikuti satupun klub atau kegiatan ekstrakurikuler
karena dia punya banyak tugas.
Minato yakin itu bukan karena
tugasnya sebagai Miko.
Pemuda itu sampai di depan gedung
olahraga yang seperti diduganya, sudah sangat ramai. Minato ingat kalau di
setiap hari Senin gedung olahraga dijadikan tempat latihan bagi klub Kendo yang
memiliki anggota cukup banyak baik dari segi siswa maupun siswinya.
Dan dia yakin Sakura juga ada di
sana, melihat dari kerumunan penonton yang sebagian besar adalah siswa
laki-laki. Dia juga bisa mendengar para siswa itu juga membicarakan satu nama,
Sakura.
“Sakura-sama akan bertanding hari ini!”
“Dia tetap manis walau pakai
pakaian kendo, ya?”
“Ah… dia cantik dan manis sekali!”
Minato melihat ke depan tepat
kearah dua orang yang tengah berhadap-hadapan. Dia bisa melihat wajah Sakura
dengan jelas karena gadis itu tidak mengenakan penutup kepala seperti lawan
yang ada di hadapannya. Gadis itu hanya mengikat dan menggelung rambutnya ke belakang.
Pandangan gadis itu lurus ke depan. Di tangannya, Sakura menggenggam sebuah
pedang kayu.
Seorang wasit maju ke depan dan
menatap Sakura dan lawannya masing-masing. Sebelah tangannya terangkat, bersiap
memberi aba-aba.
“Baiklah. Dalam pertandingan kali
ini, bagi siapa diantara kalian yang berhasil melakukan satu serangan pada
lawan, dia yang menang. Apa kalian siap?”
“Ya.” Sakura mengangguk, “Silakan
mulai kapan saja.”
“Baik, kalau begitu… mulai!”
----------
Begitu wasit mengatakan ‘Mulai!’’, Sakura sudah
tahu apa yang harus dilakukannya. Ia melangkah mundur menghindari serangan
pedang kayu lawannya dan memusatkan perhatiannya pada titik lemah lawan. Alasan
kenapa dia tidak memakai pelindung kepala seperti yang biasa dipakai oleh
seorang atlet kendo adalah karena benda itu hanya akan mempengaruhi
penglihatannya.
Kiri…
bukan. Kanan?
Sakura memutar pedang kayu di
tangannya dan menangkis serangan yang diarahkan ke kepalanya. Walau dari segi
fisik dia lebih kecil dibandingkan lawannya, Sakura tahu bagaimana memanfaatkan
segala hal di sekitarnya.
Sama seperti yang selalu diajarkan
padanya.
Ia mendorong mundur lawannya dan
bergerak cepat ke belakang. Dengan satu gerakan pelan dia memukul pelan kepala
lawannya yang terlindungi oleh penutup kepala.
“Ippon.” Kata Sakura sambil tersenyum kecil.
Seruan dan tepuk tangan kagum
membahana di seluruh gedung olahraga.
Sakura membantu lawannya berdiri
dan tersenyum manis sebelum berbalik dan menghampiri tas olahraga yang
sebelumnya dia letakkan di sudut arena pertandingan.
Gadis itu baru saja akan mengambil
tasnya ketika dia merasakan seseorang sedang mengawasinya. Ketika dia menoleh,
Sakura mengerjap melihat Minato berdiri diantara kerumunan para penonton.
Pemuda itu juga sedang menatap kearahnya.
Dan entah kenapa jantung Sakura
mendadak berulah.
Tapi Sakura tidak sempat menarik
nafas ketika kerumunan para penonton mulai terpecah dan para fans-nya mulai
merangsek kearahnya.
“Sakura-sama, Anda hebat sekali!”
“Tolong ajari aku cara memainkan
pedang Kendo!”
“Sakura-sama, terimalah botol air ini!”
“Sakura-sama, bagaimana kalau kubawakan tas olahragamu…”
Sakura hanya tersenyum manis dan
menanggapi satu-persatu ucapan para fans-nya dengan halus. Ia lalu berusaha
keluar dari kerumunan itu dan terkejut ketika melihat sebuah tangan memegang
tangannya. Tidak habis dengan itu, tangan yang memegangnya menariknya mendekat
dan pandangan Sakura tertutup oleh kemeja putih yang dilapisi dengan blazer
abu-abu muda.
Minato muncul dan membuat semua
laki-laki yang mengelilingi Sakura terdiam. Mereka tidak pernah berpikir untuk
menyentuh Sakura. Jangankan menyentuh, memeluk Sakura-pun mereka tidak berani.
Dan baru kali ini ada yang berani melakukannya!
Sakura mendongak dan menatap wajah
Minato yang tampak datar. Lalu tiba-tiba saja pemuda itu membawanya pergi dan
membuat para siswa berteriak marah dan mengeluh.
Mereka berdua terus berjalan dan
ketika sampai di koridor yang menghubungkan gedung olahraga dan gedung utama,
Sakura berhenti dan membuat Minato yang berjalan di depannya juga ikut berhenti.
“Kamu bisa melepaskan tanganku
sekarang.” kata Sakura ketika Minato menoleh kearahnya.
Minato melepas tangan Sakura,
seperti yang diminta gadis itu.
“Ucapan terima kasih saja sudah
cukup.” kata Minato yang melihat Sakura sepertinya tidak berinat mengucapkan
dua kata itu.
“Kenapa aku harus berterima kasih
padamu?”
“Karena aku menolongmu kabur dari
para penggemarmu?”
“Mereka bukan penggemarku, dan aku
tidak pernah memintamu menolongku.”
Sakura melepas ikatan rambutnya dan
membiarkan rambutnya tergerai. Dia lalu menyimpan karet rambutnya ke dalam tas
dan berjalan melewati Minato.
“T-tunggu dulu!”
Minato berjalan di samping gadis
itu.
“Apa yang kamu inginkan?” tanya
Sakura.
“Aku hanya… hanya mau mengikutimu.
Tidak boleh?”
“Tidak.”
“Aku ingin mentraktirmu makan
siang.”
“Aku tidak lapar.”
“Kalau begitu, aku akan mengantarmu
sampai ke ruang ganti.”
Sakura berhenti berjalan dan
menoleh kearah Minato. Mata gadis itu menatap tajam, dan benar-benar tidak
cocok dengan wajah bonekanya.
Wajah
Keiko… memang tidak salah. kata
Minato dalam hati.
“Aku tidak tahu apa yang membuatmu
mengikutiku, tapi perhatianmu itu benar-benar menggangguku.” Ujar Sakura,
“Bisakah kamu meninggalkanku sendiri dan jangan pernah mengikutiku?”
“Tidak bisa. Aku ingin menanyakan
beberapa hal padamu.” Kata Minato, “Dan aku akan terus mengikutimu sampai kamu
mau menjawab pertanyaanku.”
“Apakah masalah nama masih
membuatmu kesal?” kata Sakura.
“Bukan hanya soal namamu, tapi juga
asal-usulmu, terutama dalam Shigi.”
“Kenapa kamu begitu tertarik dengan
asal-usulku?”
“Itu…”
Minato menatap gadis itu
lekat-lekat dan teringat gadis itu bahkan tidak ingat siapa Minato, itu artinya
Sakura juga tidak ingat siapa dirinya sebenarnya.
“’Itu’ apa, hm?”
“Yang jelas, aku tertarik dengan
asal-usulmu. Terutama setelah kuperiksa lagi, kau bukan Miko yang sah.”
Sakura mendengus dan
menggeleng-gelengkan kepalanya mendengar jawaban Minato.
“Kamu pasti melihatnya dari database yang diketahui oleh pengawas
kelompok Shigi, ya? Lalu kalau aku
bukan Miko yang sah, kamu mau apa? Mencari tahu kenapa aku bisa menjadi Miko?”
“Ya. Aku ingin tahu karena kamu…
mirip dengannya.”
“Hah?”
“Bukan apa-apa.”
“Kamu orang yang aneh.” Kata
Sakura, “Terserah kamu mau mencari tahu seperti apa asal-usulku, aku tidak
peduli. Toh, aku akan tetap mencoba membunuh semua Senshu ketika permainan dimulai. Dan aku pastikan, aku tidak akan
main-main lagi.”
“Apa alasanmu membunuh Senshu? Kenapa kamu sangat ingin
membunuh kami semua?”
“Karena itulah caraku bertahan
hidup. Alasanku masih bernafas sampai saat ini.” Sakura menatap Minato, “Walau
kujelaskan padamu dalam bahasa paling sederhana sekalipun, kamu tidak akan
mengerti.”
“Katakan saja.”
“Kamu ini orang yang keras kepala,
ya?” ujar Sakura.
“Semua orang menganggapku dingin
dan membosankan.”
“Karakter itu tidak cocok untukmu.”
Balas Sakura.
“Aku juga merasa begitu.”
Sakura menatap tajam wajah Minato,
namun tidak sampai satu detik, dia memalingkan wajahnya kearah lain. Lagi-lagi
dia merasa jantungnya berulah, dan ini membuatnya heran. Dia tidak pernah
seperti ini sebelumnya, bahkan ketika beberapa kali bertemu para Senshu di luar waktu permainan…
… tapi di hadapan Minato, entah
kenapa dia tidak bisa memandangnya lama-lama. Kesampingkan Manami. Sakura
memang tidak suka melihat wajah Manami yang walaupun sama tampannya seperti
Minato tidak pernah dianggapnya tampan. Baginya Manami adalah sumber segala hal
yang terjadi padanya.
Sakura menghembuskan nafas dan
berbalik.
“Kau mau ke mana?”
“Berganti baju.”
“Aku ikut.”
“Kamu mau ikut aku berganti baju?”
Sakura menaikkan sebelah alisnya, “Kamu ini—”
“Jangan salah paham. Aku masih
ingin menanyakan beberapa pertanyaan padamu.”
“Terserah sajalah.”
Gadis itu kembali berjalan dan kali
ini dia berusaha untuk tidak mendebat Minato. Satu hal yang dia ketahui tentang
pemuda itu sekarang adalah jangan mendebatnya kalau tidak mau kepala terserang
sakit kepala.
----------
Minato melihat kearah Sakura yang berjalan di
sebelahnya. Sekarang Sakura sudah kembali mengenakan seragamnya, blazer abu-abu
muda, kemeja putih, dan rok berwarna hitam. Gadis itu tampak diam dan
sepertinya menjaga jarak darinya.
“Apa kau selalu seperti ini?”
“Sikap dinginku, maksudmu? Ya.”
jawab Sakura, “Aku tidak terbiasa diikuti oleh orang asing, apalagi orang itu
adalah Senshu.”
“Tapi aku adalah seniormu.
Berdasarkan data yang kudapat dari ruang tata usaha, kau lebih muda setahun
dariku.”
“Lalu, apa aku harus bersikap
hormat padamu?”
“Kalau kau mau…”
“Tidak mau.”
“Sudah kuduga.”
Sakura berjalan menuju rumah kaca
yang terletak di dekat gudang peralatan olahraga. Minato sempat mengerutkan
kening, mengira-ngira apa yang akan dilakukan gadis itu di rumah kaca.
Mereka berdua masuk ke dalam rumah
kaca itu dan Minato bisa melihat berbagai jenis tanaman yang ditanam oleh klub
pecinta tanaman dan juga para murid yang berdedikasi dalam gerakan go green yang sudah lama dilaksanakan.
Dilihatnya Sakura berjalan kearah
pojok rumah kaca yang memuat banyak jenis bunga-bunga termasuk bunga mawar.
Gadis itu mengambil celemek dari bahan kasar dan juga sepasang sarung tangan.
Ia kemudian mengenakan sarung tangan dari karet itu dan mulai mengangkat dua
buah pot bunga lili putih.
“Apa yang sedang kau lakukan?”
“Memindahkan pot-pot bunga ini ke
tempat di mana mereka bisa terkena sinar matahari.” Kata Sakura, “Kalau mereka
diletakkan di pojok ruangan seperti ini mereka tidak akan bisa tumbuh dengan
baik.”
“Oh…”
Minato memperhatikan Sakura
mengangkat dua buah pot yang cukup besar itu dengan mudah. Gadis itu juga
mengangkat pot-pot bunga lain ke tempat di mana cahaya matahari bersinar.
Sakura tidak terlihat lelah padahal dari tadi dia bolak-balik mengangkat
pot-pot bunga itu, dan gadis itu kelihatannya tidak ingin dibantu sehingga
Minato hanya memperhatikan gadis itu memindahkan pot-pot bunga itu sendirian.
Tapi, lama-kelamaan Minato tidak
tega juga, terutama melihat kening gadis itu kini mulai mengeluarkan keringat.
Ketika gadis itu akan mengangkat
pot berikutnya, Minato segera mengambil alih pekerjaan gadis itu.
Sakura menatap Minato yang membawa
kedua pot di tangannya dengan kening berkerut.
“Lebih baik kita mengerjakannya
bersama-sama.” Ujar Minato, “Itu akan meringankan pekerjaanmu, kan?”
“Aku tidak perlu dibantu.” Kata
Sakura, “Aku bisa melakukannya sendiri.”
“Tapi di dahimu ada keringat. Dan
juga semua pot-pot ini cukup berat untuk dibawa dengan dua tangan kecilmu itu.”
“Apa kamu sedang mengejekku?”
“Aku bukan mengejekmu, tapi itu
memang kenyataannya.” Balas Minato, “Biar aku saja yang mengangkat ini, kamu
istirahat saja.”
“Tidak.” Sakura menggeleng, “Aku
harus merawat mereka semua sendiri.”
“Kenapa kamu bersikeras seperti
itu, sih?”
“Ini… sebagai permintaan maafku.”
Kata gadis itu lirih.
“Apa?”
“Bukan apa-apa.” ujar Sakura,
“Biarkan aku melakukannya sendiri.”
“Tidak, aku akan membantumu.”
“Tapi—”
Sakura tidak sengaja menyenggol rak
tinggi yang memuat pupuk dan juga peralatan berkebun lainnya. Rak yang terbuat
dari besi itu bergoyang dan jatuh kearah Sakura.
“Awas!!”
Minato menarik lengan Sakura tepat
pada waktunya dan melindungi gadis itu. Bunyi bedebum keras dari rak yang jatuh
itu membuat Sakura tersentak kaget. Wajah gadis itu mendadak saja berubah
pucat.
“Hampir saja…” kata Minato sambil menghembuskan
nafas lega, “Kau tidak apa-apa—”
Dilihatnya wajah Sakura tampak
pucat dan gadis itu menatap rak yang jatuh itu dengan tatapan ketakutan.
“Hei, kau tidak apa-apa?” tanya
Minato, “Hei, Sakura?”
“… semuanya… terbakar…”
“He?”
Sakura mengerjapkan matanya
beberapa kali dan menatap Minato dengan pandangan khawatir.
“K-kamu tidak apa-apa, kan? Tidak
ada yang terluka, kan?” tanya gadis itu panic.
“Seharusnya aku yang mengatakan
itu.” ujar Minato bingung, “Kau tidak apa-apa, kan?”
“A-aku tidak apa-apa…” kata Sakura,
“Ini pertama kalinya aku ditolong oleh Senshu.
Bahkan walau aku sudah mengancam akan membunuhmu.”
Minato melihat wajah pucat Sakura
dan mulai menyadari tubuh gadis itu gemetar.
“Kau gemetaran.”
“A-aku tidak apa-apa. Dan aku… aku
tidak gemetaran.”
“Kau jelas-jelas gemetaran.” Ujar
Minato, “Sebaiknya kita ke ruang kesehatan dan meminta obat untukmu.”
“Aku tidak—kamu mau apa!?”
Sakura terkejut ketika Minato
melingkarkan kedua tangannya di belakang punggung dan kakinya. Secara refleks,
gadis itu mengalungkan kedua lengannya di leher Minato.
“Wajahmu pucat, jadi kita harus
pergi ke ruang kesehatan.”
“Sudah kubilang aku tidak apa-apa.”
kata Sakura, “Turunkan aku.”
“Aku menolak.”
“Kamu…”
Minato hanya tersenyum dan membawa
Sakura ke ruang kesehatan tanpa memperdulikan protes yang dilontarkan gadis
itu.
----------
Sakura tidak tahu harus bereaksi seperti apa
ketika Minato menggendongnya dan membawanya ke ruang kesehatan. Jantungnya
tidak bisa berhenti berulah dan hal ini membuat pipinya memerah karena malu.
Tunggu dulu. Malu? Sejak kapan dia
merasakan perasaan seperti itu?
Minato mendudukkannya di kursi
ketika mereka sampai di ruang kesehatan. Ruangan itu kosong, dan sepertinya
petugas yang berjaga di sana tidak ada.
“Aku akan mencarikan obat untukmu.”
Kata Minato, “Tunggu di sini.”
“Tidak perlu. Aku tidak apa-apa dan
tidak merasa sakit.” ujar Sakura.
“Wajahmu masih pucat.” balas Minato
dengan tatapan menyelidik, “Apa kau yakin kau baik-baik saja.”
“Apa aku harus membuktikannya?”
“Harus.”
Sakura memicingkan matanya menatap
Minato dan menghembuskan nafas.
“Aku tidak merasa kesakitan dan aku
sehat-sehat saja.” kata Sakura.
“Lalu kenapa wajahmu pucat?”
“Itu karena… aku hanya terkejut
saja.”
“Terkejut?”
“Aku tidak pernah ditolong oleh
orang asing.”
“Kau masih menganggapku orang asing
bahkan setelah aku menolongmu?” ujar Minato dengan nada tersinggung, “Itu
menyakiti hatiku, kau tahu.”
“Aku tidak pernah berurusan dengan
orang asing. Sebenarnya aku bahkan tidak ingin bersekolah di sekolah ini kalau
saja bukan karena suruhan seseorang.”
“Kau disuruh bersekolah di sini?”
“Untuk apa kamu ingin tahu?”
“Kehidupanmu terlalu misterius,
Sakura. Dan aku ingin tahu, kenapa kita harus bertemu.” Kata Minato.
“Aku bahkan ingin menanyakan hal
yang sama.”
Keheningan yang terjadi di antara
mereka membuat suasana menjadi canggung. Tapi sepertinya Sakura tidak terganggu
sama sekali. Sebaliknya, gadis itu malah merasa keheningan tersebut memberinya
jeda sejenak untuk memikirkan ucapannya barusan.
“Sakura,”
Sakura menoleh kearah Minato dan
melihat pemuda itu menatapnya.
Dan untuk ke sekian kalinya, Sakura
lelah menyuruh jantungnya untuk berhenti berulah, berdebar kencang ketika
menatap mata zamrud pemuda itu.
“Apa?”
“Apa… kamu benar-benar tidak bisa
mempercayaiku?”
“Kamu Senshu, dan bagiku semua Senshu
adalah musuh.”
“Kenapa?”
“Karena merekalah aku kehilangan
segalanya.” Kata Sakura menatap tajam Minato, “Karena orang-orang seperti
kalianlah aku kehilangan sesuatu yang kuanggap sangat berharga. Kalian
menghancurkan hidupku, dan terutama, kalian menghancurkan hatiku.”
Ucapan yang diucapkan dengan nada
dingin itu membuat Minato terdiam. Wajah Sakura tampak terluka sekaligus dingin
di saat bersamaan ketika mengatakan ucapan barusan.
Gadis itu… sama seperti dirinya.
Sakura merasakan luka yang sama sepertinya terhadap permainan Shigi yang merenggut segala hal dari
mereka.
Segala hal… semuanya…
“Sudah kubilang kalau kamu tidak
akan mengerti.” kata Sakura sambil memalingkan wajahnya. “Sampai kapanpun
kalian semua tidak akan pernah mengerti apa yang kurasakan.”
“Aku mengerti.”
“Tidak usah berbohong. Aku tahu—”
Aliran kata-kata Sakura terhenti
ketika Minato berlutut di hadapannya dan menggenggam tangannya.
“Aku mengerti, karena aku juga merasakan
hal yang sama.” Kata pemuda itu, “Aku juga kehilangan sesuatu yang sangat
berharga, dan aku menjadi Senshu
bukan karena aku menginginkannya, tapi karena keadaan.”
“Semua Senshu yang pernah kutemui juga mengatakan hal yang sama. Dan aku
tidak akan tertipu lagi.” ujar Sakura, “Kalian semua sama saja. Kalian hanya
menginginkan kekuatan, atau mungkin kebebasan. Kalian tidak pernah tahu seperti
apa rasanya menjadi sendirian dan tidak ada yang menerimamu—”
“Kau tidak sendirian.” Kata Minato
lagi, “Kau hanya merasa kalau kau selalu sendirian.”
“Bicara denganmu hanya akan
menguras tenagaku.” Kata Sakura, “Lepaskan tanganku dan pergilah dari sini.”
“Aku tidak akan pergi. Bukankah aku
masih punya pertanyaan untukmu?”
“Sekarang aku tidak berminat dengan
pertanyaanmu. Pergilah!”
Sakura menyentak kedua tangannya
yang digenggam oleh Minato dan mendorong pemuda itu menjauh darinya.
“Sakura—”
“Pergi!!”
“Tapi, aku—”
“Aku bilang PERGI!!”
Hentakan kekuatan mengalir dari
tubuh gadis itu dan membuat Minato terlempar ke belakang. Seketika di
sekeliling Sakura muncul cahaya-cahaya yang biasa mengelilingi gadis itu.
Cahaya-cahaya itu bertebaran di sekitar mereka seolah-olah sedang melihat
pertengkaran mereka.
Minato berusaha bangun dan
merasakan punggungnya nyeri. Hantaman kekuatan gadis itu tidak membuatnya patah
tulang, tapi tetap saja punggungnya terasa sakit.
“Kalian tidak akan pernah mengerti
perasaanku.” Ujar Sakura, “Kamu, semua Senshu
sepertimu, dan orang itu. Aku membenci kalian, dan aku akan memastikan kalau
aku akan membunuh semua dari kalian tanpa sisa!”
Gadis itu berdiri dan berlari
keluar dari ruang kesehatan meninggalkan Minato yang berusaha memanggilnya.
****
Tanpa sepengetahuan mereka, seseorang sedang
mengawasi pertengkaran mereka. Orang itu melihat pertengkaran antara Sakura dan
Minato dari teropong yang digunakannya untuk melihat dari tempatnya berada
sekarang.
“Hmm… aku tidak menduga dia punya
kekuatan yang sangat besar. Benar-benar kasus yang sangat langka. Bukan begitu,
Deuce?”
“Kau terlalu menekannya.” Kata
Deuce, seorang perempuan berambut merah pendek seperti laki-laki, “Kekuatan itu
seharusnya menjadi milikmu, kan? Tapi kau malah memberikannya pada gadis itu.”
“Aku tidak menyesal melakukannya.”
“Apa yang sedang kau rencanakan,
Ace?”
“Aku tidak sedang merencanakan apa
pun.”
“Bohong.”
“Aku tidak pernah berbohong, Deuce.
Aku selalu jujur pada semua orang.” Ucap Ace.
“Aku tahu kau berbohong, Ace.
Sangat terlihat di wajahmu.” Kata Deuce lagi, “Katakan saja, kenapa kau malah
memberikan kekuatan itu pada anak itu? Seharusnya kau yang mendapatkan kekuatan
itu, kan?”
“Kalau kukatakan ini untuk
kebaikannya, bagaimana?”
“Aku tidak melihatnya sebagai
kebaikan untuk gadis itu. Apa maksudmu, Ace, katakan yang jelas.”
Ace menatap Sakura yang berlari
melewati koridor, lalu Minato yang masih berada di ruang kesehatan dengan
tatapan sendu dan menghela nafas.
“Karena suka atau tidak, semua yang
terjadi pada mereka berdua adalah kesalahanku. Dan aku tidak mungkin membiarkan
mereka merasakan kesedihan untuk kedua kalinya, seperti yang pernah kurasakan
dulu.”
Deuce menatap Ace lekat-lekat dan
menghela nafas. Dia mengacak-acak rambutnya yang pendek seperti laki-laki itu
dan memandang langit.
“Tidak ada yang tidak akan
merasakan kesedihan, Ace. Kita berdua tahu itu.” ujar Deuce, “Para Master
mungkin tidak akan suka jika tahu kekuatan milik gadis bernama Sakura itu
sebenarnya adalah milikmu.”
“Aku akan menangggung segala
resikonya.” Kata Ace sambil tersenyum dikulum.
Deuce menatap Ace lagi.
“Aku boleh menemui pemuda itu?”
“Minato? Boleh saja, asalkan kau
jangan membongkar identtias kita, terutama tentangku.”
“Aku tidak akan pernah
melakukannya.” ujar Deuce, lalu melompat ke tanah dan masuk ke dalam gedung
sekolah.
----------
Minato mencoba menemukan Sakura, tapi sepertinya
gadis itu sudah kembali ke kelasnya. Dan Minato sungkan untuk pergi ke kelas
gadis itu hanya untuk memastikan kalau dugaannya benar.
Minato kembali teringat wajah
dingin dan terluka gadis itu. Minato tidak pernah berpikir kalau Sakura
ternyata benar-benar berbeda jauh dengan Keiko, gadis kecil yang dulu selalu
menempel padanya dan manja.
Sakura dan Keiko jelas-jelas
berbeda, baik dari sikap maupun tindakannya.
Tapi…
Minato yakin kalau Sakura adalah
Keiko, tetapi dia tidak tahu bagaimana caranya membuktikan dugaannya itu tanpa
membuat Sakura curiga. Satu-satunya harapannya adalah informasi dari data yang
didapat Mayumi untuknya malam ini.
Aku
akan memastikannya sendiri. Kalau benar Sakura adalah Keiko…
“Hei,”
Minato menoleh dan melihat seorang
wanita berambut merah pendek seperti laki-laki berdiri tidak jauh darinya.
Sepintas, wanita itu mirip dengan Senshu
yang dikalahkannya kemarin malam. Tapi wajah wanita itu jelas-jelas berbeda
dari Senshu kelompok Kurome waktu
itu. Dan juga, pakaian wanita itu serba merah, mulai dari jaket kulit yang
dikenakannya, celana jins, sampai sepatu boot tinggi di kakinya.
“Kau Kurogane Minato, kan?” tanya
wanita itu.
“Kau siapa?”
“Aku Deuce.” Kata wanita itu sambil tersenyum. “Aku ingin
membicarakan sesuatu denganmu.”
0 komentar:
Posting Komentar