Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

RE Part 2 - Chapter 5



Ayano’s Side
Aku yakin aku akan menusukkan katana-ku ke tubuh Kujo Rei ketika lengan kiriku bergerak sendiri dan menghalangi katana itu menembus tubuh orang yang hendak kubunuh. Bilah tajamnya menembus punggung tangan kiriku. Aku memang tidak merasakan kesakitan, bahkan luka seperti ini tidak akan membuatku kehilangan banyak darah atau apa, namun yang membuatku terkejut adalah suara yang berbicara di dalam kepalaku dan itu bukan suaraku!

Jangan bunuh Rei! Kumohon jangan bunuh dia!
Aku terkesiap mendengar suara itu memohon padaku. Suara itu sangat mirip dengan suara yang selalu kudengar sedih dan lirih di setiap kunjunganku ke ruangan Profesor Diva.
O, Oneesan…?”
Tolong, jangan bunuh Rei… dia tidak bersalah atas semua yang terjadi. suara itu bergema lagi di kepalaku, Jangan bunuh Rei, kumohon…
“Hentikan… apa-apaan ini?!”
Aku mencabut katana yang menancap di lengan kiriku dan mengernyit merasakan gesekan bilahnya pada daging tubuhku.
“Apa… -apaan ini? Kenapa Oneesan…”
Aku menatap tanganku yang berdarah kemudian kearah Kujo Rei yang memandangku dengan kening berkerut. Kepalaku tiba-tiba berdenyut sakit dan aku melepaskan teriakan kesakitan sambil memegangi kepalaku dengan kedua tangan.
“AAARRGGHH!!”
Sekelebat ingatan menyeruak di dalam otakku. Ingatan di mana Runa Oneesan dan Kujo Rei sedang bersama. Aku melihat dalam ingatan itu Oneesan tersenyum.
Tersenyum… senyum yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Senyum itu… senyum tulus…
“Hentikan!! Cukup!!”
Aku mengayunkan pedangku tanpa kendali kearah Kujo Rei. Namun pemuda itu berhasil mengelak dari seranganku dengan menghindar ke samping. Aku menatapnya penuh kebencian dan mencoba menyerangnya lagi. Namun rasa sakit di kepalaku mengambil alih dan membuat konsentrasiku buyar. Aku tidak bisa menyerang dengan baik dan dalam keadaan seperti ini, posisiku terancam.
Kusarungkan kembali kedua pedangku dan menatap Kujo Rei dari balik topengku.
“Kali ini aku akan membiarkanmu hidup,” kataku, “tapi ketika kita bertemu lagi, bersiaplah untuk mati!”
Aku berbalik dan berlari cepat meninggalkan tempat itu, sebelum aku benar-benar kehilangan kewarasanku.

***
Leia’s Side
Aku masih belum pulih dari keterkejutanku saat melihat gadis Claydoll itu menghilang dengan cepat. Tapi aku harus memeriksa keadaan anggota timku dan memastikan mereka baik-baik saja.
“Leon, Alex, kalian baik-baik saja?” tanyaku.
“Hanya luka kecil… tidak masalah.” Kata Leon sambil meringis dan memegangi lengan kanannya yang terkulai di sisi tubuhnya.
“Alex?”
“Aku juga tidak apa-apa. Hanya luka sayatan seperti ini tidak berarti apa-apa bagiku.” Ujarnya.
Aku mengangguk dan segera menghampiri Rei yang masih terduduk di tanah. Kulihat pakaian yang dikenakannya berkilat karena darah, terutama di bahunya.
“Rei, kamu baik-baik saja?” tanyaku.
Tapi Rei tidak merespon. Matanya menatap ke depan, namun tatapannya tampak kosong.
“Rei? Rei!?”
“A, ah… ya?” dia menoleh dan menatapku bingung, “Ada apa, Leia?”
“Aku bertanya apa kamu baik-baik saja? Apa ada luka yang serius?” tanyaku lagi.
“Err… tidak ada. Hanya bahuku saja yang kelihatannya cukup parah.” jawabnya.
Aku melirik bahunya yang memang mengeluarkan darah cukup banyak, dan menghela nafas.
“Kalau begitu, kita semua tidak mengalami luka serius,” kataku. “sebaiknya kita menghubungi pemadam kebakaran dan memeriksa daerah di sekitar sini. Kita harus tahu bagaimana keadaan tim yang lain dan juga, kita perlu merawat luka-luka kita.”

***
Leia’s Side
Setelah kami melakukan pengecekan di daerah yang diserang oleh Oni-hime, aku mendapati lebih dari 40 orang anggota Raven yang tergabung dalam tim investigasi ini tewas. Sisanya mengalami luka berat dan bahkan kehilangan salah satu anggota tubuh mereka(yang sebenarnya tidak ingin kukatakan, tapi harus kukatakan, dengan alasan laporan).
Tidak ada korban yang selamat dari kejadian ini, dan kejadian ini benar-benar… mengerikan. Hampir setengah daerah dari Four Street hangus terbakar dan tidak ada harta benda maupun jiwa yang bisa diselamatkan.
Namun, sebagai anggota Raven, kami harus menjadikan ini sebagai pelajaran agar di kemudian hari tidak terulang lagi, terutama bagi anggota senior sepertiku, Leon, Alex, dan Rei. Kami berempat adalah yang paling senior diantara yang lain, jadi kami harus terlihat lebih bisa menganalisis keadaan dan bisa mengatur strategi agar kejadian seperti ini tidak terulang kembali.
Aku menghampiri Rei yang sedang diperiksa oleh salah satu tim medis. Aku menganggukkan kepala pada anggota medis itu dan duduk di sebelah Rei. Kusodorkan gelas kertas berisi kopi di tanganku padanya.
“Terima kasih,” dia menerima gelas kertas itu dan meminum isinya sedikit, “Pahit.”
“Kopi memang biasanya pahit, kan?” kataku. “Bagaimana keadaanmu?”
“Baik-baik saja.”
“Maksudku bukan keadaan tubuhmu, tapi hatimu.” Kataku lagi. “Claydoll tadi… kamu melihat wajahnya, kan?”
“Aku lihat, tapi aku tahu itu bukan Runa.” katanya.
“Dari mana kamu bisa tahu?”
“Matanya berwarna merah, dan dia tidak mengenakan anting yang sama sepertiku. Aku bisa melihat di telinga kanannya tidak ada bekas tindikan sedikit pun.” Kata Rei, “Dan juga… di tubuhnya tidak ada bekas luka. Aku tahu kamu sudah membawa Runa pergi ke salon dan semacamnya untuk menghilangkan bekas-bekas luka di sekujur tubuhnya di hari pertama kita bertemu dengannya, tapi bekas lukanya tidak sepenuhnya hilang, dan hanya aku yang bisa melihatnya.”
Aku tertegun mendengar ucapan Rei. Memang aku pernah membawa Runa ke salon dan menghilangkan seluruh bekas luka di sekujur tubuhnya. Tapi aku tidak tahu bekas-bekas luka itu tidak sepenuhnya hilang.
“Karena itukah kamu bisa menyerangnya tanpa ragu?” tanyaku.
“Aku memang ragu saat menyerangnya. Apalagi wajahnya yang mirip dengan Runa…” Rei menghela nafas, “Dia bilang dia adalah adik Runa, tapi bukan adik kandungnya.”
“He? Maksudnya?”
“Sepertinya dia dibuat oleh Diva untuk menggantikan Runa. Dari ucapan gadis itu, dia mengatakan bahwa Runa dalam keadaan koma, tidak sadarkan diri. Dia menyalahkanku karena membuat Runa koma, padahal aku sendiri tidak tahu bagaimana bisa dia koma, kecuali…”
“Kecuali apa?”
“Gadis itu... tadi dia menusuk lengannya sendiri dan mengatakan sesuatu yang aneh.”
“Sesuatu yang aneh? Seperti apa?”
“Tidak ada apa-apa...” Rei menggeleng dan menyesap kopinya lagi.
Beberapa saat kemudian kami semua diperbolehkan pulang. Kali ini aku yang mengemudikan mobil karena mobil yang kami gunakan adalah mobilku. Aku mengantar Rei palign akhir karena selain apartemennya yang paling jauh, arah tempat tinggal kami sama.
Saat ini hanya tinggal aku dan Rei yang ada di mobil. Rei terus menatap keluar jendela mobil dan dia kelihatannya memikirkan sesuatu.
“Rei, kamu memikirkan apa?”
“Tidak memikirkan apa-apa.” Jawabnya.
“Apa kamu memikirkan soal gadis Claydoll itu?” tanyaku lagi.
“Tidak... aku memikirkan Runa.” Katanya, “Aku khawatir pada keselamatannya.”
Aku tersenyum dan menepuk kepalanya pelan, “Aku yakin dia baik-baik saja. Gadis itu bilang dia koma, kan? Bukan berarti dia meninggal, Rei.”
“Aku tahu, tapi...  tetap saja aku kepikiran. Terutama karena gadis itu mengatakan kalau dia akan membunuhku jika kami bertemu lagi.”
“Jangan terlalu dipikirkan lagi. Itu hanya gertakan saja.” Kataku sambil menghentikan mobilku di depan pintu lobi apartemennya. “Kita sudah sampai.”
“Sudah sampai?”
“Kamu tidak sadar kita sudah berada tepat di depan lobi apartemenmu?” aku tertawa, “Makanya jangan sering melamun.”
“Iya, iya...” dia melepas sabuk pengaman dan membuka pintu, “Terima kasih sudah mengantarkanku, Bu.”
“Apa?”
Aku menatap Rei yang sudah bersiap hendak pergi dengan sedikit terkejut.
“Tadi... kamu bilang apa?”
“Aku tidak boleh memanggilmu Ibu, ya?” tanyanya polos.
“Ah, eh... bukan. Bukan itu...” aku menggeleng, “Aku hanya... kaget saja. Tumben sekali kamu memanggilku ibu. Biasanya kamu hanya memanggilku dengan namaku saja.”
“Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena sudah mengantarkanku.” Dia tersenyum lebar. “Sampai jumpa besok, Bu.”
Lagi-lagi aku tertegun mendengarnya memanggilku ‘ibu’ untuk yang kedua kalinya.
Aku mengawasi Rei sampai dia masuk ke dalam lift. Setelah yakin dia sudah masuk ke dalam lift, aku mengemudikan mobilku keluar dari lingkungan Apartemen Ichizuku dan langsung pulang ke apartemenku sendiri.
---
Aku memasukkan kata kunci apartemenku dan menunjukkan card ID ke mesin scanner di atas kotak password. Kubuka pintu apartemenku dan masuk. Saat aku menginjakkan kakiku ke lantai,lampu-lampu kristal langsung menyala dan aku menghembuskan nafas.
Interior apartemen yang kutempati memang kudesain sendiri, karena gedung apartemen tempatku tinggal memperbolehkanku mengganti interior ruangan sesuka hati pemiliknya. Apartemen ini termasuk yang paling mahal, karena aku mengutamakan privasiku terjaga.
Lagipula cukup sulit menemukan apartemen yang terbaik dan bisa menjaga keamanan privasi penghuninya di perbatasan Distrik Tiga dan Distrik Empat. Tapi, syukurlah aku bisa menemukan apartemen yang cocok untukku, dn juga privasiku.
Aku melepas seragamku dan duduk di sofa merah beludru di ruang tamu dan menyalakan musik. Lagu klasik mengalun di seluruh penjuru apartemenku dan membuatku agak rileks. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan, melihat warna merah muda di mana-mana dan juga wallpaper bermotif daun-daun momiji yang berguguran. Memang tidak serasi dengan warna cat dindingnya, tapi aku suka hal yang bertentangan, karena di dunia ini, walaupun segala hal berjalan selaras, tapi terkadang ada pertentangan yang terjadi, sekecil apa pun itu.
Aku berdiri dan menghampiri rak kecil berisi kumpulan album foto dan juga beberapa pigura foto. Mataku menatap lurus kearah salah satu pigura foto yang menunjukkan diriku bersama seorang bayi laki-laki mungil dalam gendongan. Saat itu aku masih belum mewarnai rambutku dan mataku masih berwarna biru bening, layaknya bola kaca.
Aku mengambil pigura itu dan menatapnya lekat-lekat. Tanganku menyentuh foto bayi yang ada dalam gendonganku. Bibirku bergetar ketika mengingat berat badan bayi itu dalam pelukanku. Aku melirik pigura foto yang lain, yang menunjukkan diriku yang mengenakan gaun pengantin putih dan juga seorang pria dengan tuksedo. Itu adalah foto pernikahanku yang diambil lebih dari 18 tahun yang lalu.
Semua orang mengira aku adalah wanita yang sering gonta-ganti pacar tidak peduli berapa usiaku sebenarnya. Tapi, andai saja mereka tahu kalau aku dulunya pernah menikah dan memiliki anak… mereka pasti akan kaget dan mungkin akan meninggalkanku sendirian. Para pria biasanya tertarik padaku karena kecantikanku, dan aku sering menggunakan hal itu untuk mengeruk informasi dari target Raven yang biasanya pengedar narkoba atau mafia gelap.
Aku menghembuskan nafas dan membawa foto bayi itu ke dadaku dan memeluknya erat, berusaha membayangkan bayi itu dalam pelukanku… tidak, aku ingin membayangkannya sudah dewasa dan sedang bermanja-manja padaku.
“Rei…” aku menyebut nama bayi itu dan menghela nafas, “… andai saja kamu tahu kalau kamu… adalah putraku.”

***
Ayano’s Side
Aku masuk ke dalam kamarku dan segera mencuci tanganku yang terluka. Kini aku benar-benar merasakan rasa sakit yang amat sangat dari tangan kiriku yang terluka. Setelah kurasa lukanya sudah cukup bersih, aku pergi mencari kotak obat dan segera merawat lukaku sendiri.
Ketika aku baru saja selesai membalut lukaku, pintu kamarku dibuka dan Profesor Diva masuk ke dalam.
“Kudengar kau tidak membunuh Kujo Rei dan timnya. Benarkah?” tanyanya.
“Aku tidak bisa membunuhnya malam ini.” kataku.
“Oh ya? Kenapa? Bukankah kamu dendam padanya?”
Tatapan tajam dari Profesor Diva membuatku agak mengkeret takut. Aku memang tidak pernah melihat bagaimana Profesor Diva marah. Tapi aku yakin bila dia marah, itu lebih mengerikan daripada apa pun juga.
“Aku… aku belum puas membuatnya menderita. Aku ingin membuatnya lebih menderita lagi di setiap aku bertemu dengannya.” Kataku sambil menatapnya, “Aku ingin membunuhnya pelan-pelan agar dia merasakan penderitaan yang sama seperti yang dirasakan Runa Oneesan.”
“Hmm… tapi bukan karena kamu terhalangi oleh sesuatu, kan?”
“Terhalangi?”
“Misalnya suara kakakmu di dalam kepalamu mencoba menghentikanmu membunuh pemuda itu?”
Aku terkejut mendengar ucapan beliau. Dari mana Profesor Diva tahu itu?
“Bukan karena itu. Anda jangan khawatir. Aku akan membunuh Kujo Rei ketika kami bertemu lagi.” kataku lagi.
“Baiklah. Aku tidak akan memaksamu.” Kata Profesor Diva, “Bersihkan dirimu dan temui aku di ruanganku. Aku ingin mengecek keadaan tubuh dan juga mentalmu. Besok tugas baru sudah menunggu.”
“Aku mengerti,”
Professor Diva lalu pergi meninggalkan ruangan dan aku menghembuskan nafas yang sedari tadi kutahan. Bagaimana Profesor Diva tahu soal suara Oneesan di kepalaku yang mencoba menghentikanku? Aku yakin tidak ada anggota Clematis yang mengikutiku ketika aku membantai habis daerah Four Street. Jadi, bagaimana…
Rei…
Aku terkesiap kaget ketika lagi-lagi di dalam kepalaku aku mendengar suara Runa Oneesan. Kepalaku lagi-lagi terasa sakit dan kali ini aku yakin aku melihat sekelebat ingatan Runa Oneesan di dalam kepalaku.
Aku mencoba mengusir ingatan itu dari kepalaku dan berdiri. Aku harus segera membersihkan diri dan menemui Profesor Diva untuk mengecek kondisiku. Dan aku tidak boleh terlihat kesakitan atau menunjukkan emosi apa pun ketika berhadapan dengannya.

***
Ayano’s Side
Setelah pemeriksaan itu selesai, aku kembali berada di sisi tempat tidur Runa Oneesan. Entah kenapa kali ini aku tidak ingin sendirian dan memutuskan untuk berada di dekat Runa Oneesan malam ini.
Aku mengelus rambut Oneesan seperti biasa dan tersenyum kecil melihat wajahnya yang damai dalam tidur.
Ah… andai saja Runa Oneesan sadar, tentu kami sudah berbincang-bincang sampai larut malam dan membicarakan hal-hal yang bisa membuat kami tertawa.
Oneesan…”
Aku mulai kepikiran, bagaimana bisa suara Runa Oneesan ada di dalam kepalaku tadi? Kami bukan anak kembar, walau aku memiliki DNA yang sama dengannya. Tapi… biasanya yang bisa seperti itu, semacam telepati itu… hanya saudara kembar, kan? Lalu, kenapa—
“Rei…”
Aku mendengar Oneesan kembali menyebut nama pemuda itu. Dan kebencianku kembali menyeruak.
Kenapa Runa Oneesan terus memanggil nama pemuda itu? Kujo Rei adalah orang yang sudah membuatnya koma seperti ini. Lantas kenapa dia selalu memanggil nama pemuda itu? Kenapa?!
Kening Oneesan berkerut dan aku tahu dia mungkin sedang bermimpi buruk.
“Rei… aku takut… jangan… tinggalkan aku…”
“Runa Oneesan,” aku mencium keningnya, “Oneesan tidak perlu khawatir. Ada aku di sini. Aku yang akan menjaga Oneesan, bukan pemuda itu.”
“Rei… jangan pergi…”
Oneesan,” aku berkata lagi, “Kumohon… jangan menyebut nama pemuda itu lagi. Aku di sini untuk melindungi Oneesan. Tolong jangan menyebut nama pemuda itu lagi…”
“Rei…”
Aku memejamkan mataku dan mencoba menahan perih yang kurasakan di dadaku. Aku tahu sia-sia berbicara dengan orang yang sedang koma dan tidak sadarkan diri seperti Runa Oneesan. Tapi…
… setidaknya aku berharap dia bisa mendengarkan suaraku.
Harapan yang sia-sia.
Aku menghembuskan nafas dan mencoba mengatur agar nafasku tidak terdengar memburu. Aku berdiri dan berjalan keluar dari tirai yang menyelubungi tempat tidur. Aku tidak mungkin bisa bertahan harus mendengarkan Runa Oneesan yang terus menggumamkan nama Kujo Rei.
Aku perlu udara segar sebentar. Dengan alasan itu aku berjalan keluar dari ruangan.

***
Leia’s Side
Aku mengeringkan rambutku sambil bersenandung pelan. Mandi air hangat dengan wewangian aromaterapi yang kudapatkan dari Alex benar-benar bisa membuatku rileks. Aku harus berterima kasih pada pria itu karena memberiku satu set perlengkapan mandi dan wewangian aromaterapi yang benar-benar berkhasiat. Alex memang sering mendapatkan oleh-oleh berupa obat-obatan, tanaman obat, atau wewangian aromaterapi seperti yang diberikannya padaku dari beberapa koleganya yang berasal dari Distrik Lima. Selain itu Alex juga membuka usaha sampingan berupa toko obat, jadi tidak heran dia bisa mendapatkan barang-barang seperti itu.
Aku berjalan ke kamarku dan menyalakan AC. Walau sekarang masih bulan April, tapi udara sudah mulai panas dan aku tidak tahan dengan udara panas.
Aku tersenyum lebar ketika AC sudah menyala dan duduk menghadap meja riasku. Seperti yang biasa kulakukan, aku melakukan perawatan mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, bahkan di malam hari.
Ketika aku baru saja akan mengoleskan krim ke wajahku, inderaku mengatakan bahwa ada seseorang di ruangan ini selain aku. Hal itu langsung membuatku waspada. Namun, aku harus bersikap seperti biasa agar orang asing itu tidak menyadari kalau aku tahu ada seseorang selain aku.
“Kurasa inderamu jadi lebih tajam, ya? Hanya dalam sepersekian detik kau tahu ada seseorang selain dirimu di tempat ini.”
Aku langsung menoleh ketika mendengar suara itu. Mataku menatap kearah jendela kamarku yang terbuka dan sosok yang berdiri membelakangi langit malam.
“Kau…”
“Lama tidak bertemu, Hirano Leia, atau… haruskah kupanggil kamu, Uragiri[1]?”


[1]  Pengkhianat

0 komentar:

Posting Komentar