Ayano’s Side
Aku yakin aku akan menusukkan katana-ku ke
tubuh Kujo Rei ketika lengan kiriku bergerak sendiri dan menghalangi katana itu
menembus tubuh orang yang hendak kubunuh. Bilah tajamnya menembus punggung
tangan kiriku. Aku memang tidak merasakan kesakitan, bahkan luka seperti ini
tidak akan membuatku kehilangan banyak darah atau apa, namun yang membuatku
terkejut adalah suara yang berbicara di dalam kepalaku dan itu bukan suaraku!
Jangan
bunuh Rei! Kumohon jangan bunuh dia!
Aku terkesiap mendengar suara itu
memohon padaku. Suara itu sangat mirip dengan suara yang selalu kudengar sedih
dan lirih di setiap kunjunganku ke ruangan Profesor Diva.
“O, Oneesan…?”
Tolong,
jangan bunuh Rei… dia tidak bersalah atas semua yang terjadi. suara itu bergema lagi di kepalaku, Jangan bunuh Rei, kumohon…
“Hentikan… apa-apaan ini?!”
Aku mencabut katana yang menancap
di lengan kiriku dan mengernyit merasakan gesekan bilahnya pada daging tubuhku.
“Apa… -apaan ini? Kenapa Oneesan…”
Aku menatap tanganku yang berdarah
kemudian kearah Kujo Rei yang memandangku dengan kening berkerut. Kepalaku
tiba-tiba berdenyut sakit dan aku melepaskan teriakan kesakitan sambil
memegangi kepalaku dengan kedua tangan.
“AAARRGGHH!!”
Sekelebat ingatan menyeruak di
dalam otakku. Ingatan di mana Runa Oneesan
dan Kujo Rei sedang bersama. Aku melihat dalam ingatan itu Oneesan tersenyum.
Tersenyum… senyum yang tidak pernah
kulihat sebelumnya. Senyum itu… senyum tulus…
“Hentikan!! Cukup!!”
Aku mengayunkan pedangku tanpa
kendali kearah Kujo Rei. Namun pemuda itu berhasil mengelak dari seranganku
dengan menghindar ke samping. Aku menatapnya penuh kebencian dan mencoba
menyerangnya lagi. Namun rasa sakit di kepalaku mengambil alih dan membuat
konsentrasiku buyar. Aku tidak bisa menyerang dengan baik dan dalam keadaan
seperti ini, posisiku terancam.
Kusarungkan kembali kedua pedangku
dan menatap Kujo Rei dari balik topengku.
“Kali ini aku akan membiarkanmu
hidup,” kataku, “tapi ketika kita bertemu lagi, bersiaplah untuk mati!”
Aku berbalik dan berlari cepat
meninggalkan tempat itu, sebelum aku benar-benar kehilangan kewarasanku.
***
Leia’s Side
Aku masih belum pulih dari keterkejutanku saat
melihat gadis Claydoll itu menghilang
dengan cepat. Tapi aku harus memeriksa keadaan anggota timku dan memastikan
mereka baik-baik saja.
“Leon, Alex, kalian baik-baik
saja?” tanyaku.
“Hanya luka kecil… tidak masalah.”
Kata Leon sambil meringis dan memegangi lengan kanannya yang terkulai di sisi
tubuhnya.
“Alex?”
“Aku juga tidak apa-apa. Hanya luka
sayatan seperti ini tidak berarti apa-apa bagiku.” Ujarnya.
Aku mengangguk dan segera
menghampiri Rei yang masih terduduk di tanah. Kulihat pakaian yang dikenakannya
berkilat karena darah, terutama di bahunya.
“Rei, kamu baik-baik saja?”
tanyaku.
Tapi Rei tidak merespon. Matanya
menatap ke depan, namun tatapannya tampak kosong.
“Rei? Rei!?”
“A, ah… ya?” dia menoleh dan
menatapku bingung, “Ada apa, Leia?”
“Aku bertanya apa kamu baik-baik
saja? Apa ada luka yang serius?” tanyaku lagi.
“Err… tidak ada. Hanya bahuku saja
yang kelihatannya cukup parah.” jawabnya.
Aku melirik bahunya yang memang
mengeluarkan darah cukup banyak, dan menghela nafas.
“Kalau begitu, kita semua tidak
mengalami luka serius,” kataku. “sebaiknya kita menghubungi pemadam kebakaran
dan memeriksa daerah di sekitar sini. Kita harus tahu bagaimana keadaan tim
yang lain dan juga, kita perlu merawat luka-luka kita.”
***
Leia’s Side
Setelah kami melakukan pengecekan di daerah
yang diserang oleh Oni-hime, aku
mendapati lebih dari 40 orang anggota Raven yang tergabung dalam tim
investigasi ini tewas. Sisanya mengalami luka berat dan bahkan kehilangan salah
satu anggota tubuh mereka(yang sebenarnya tidak ingin kukatakan, tapi harus
kukatakan, dengan alasan laporan).
Tidak ada korban yang selamat dari
kejadian ini, dan kejadian ini benar-benar… mengerikan. Hampir setengah daerah
dari Four Street hangus terbakar dan tidak ada harta benda maupun jiwa yang
bisa diselamatkan.
Namun, sebagai anggota Raven, kami
harus menjadikan ini sebagai pelajaran agar di kemudian hari tidak terulang
lagi, terutama bagi anggota senior sepertiku, Leon, Alex, dan Rei. Kami
berempat adalah yang paling senior diantara yang lain, jadi kami harus terlihat
lebih bisa menganalisis keadaan dan bisa mengatur strategi agar kejadian
seperti ini tidak terulang kembali.
Aku menghampiri Rei yang sedang
diperiksa oleh salah satu tim medis. Aku menganggukkan kepala pada anggota
medis itu dan duduk di sebelah Rei. Kusodorkan gelas kertas berisi kopi di
tanganku padanya.
“Terima kasih,” dia menerima gelas
kertas itu dan meminum isinya sedikit, “Pahit.”
“Kopi memang biasanya pahit, kan?”
kataku. “Bagaimana keadaanmu?”
“Baik-baik saja.”
“Maksudku bukan keadaan tubuhmu,
tapi hatimu.” Kataku lagi. “Claydoll
tadi… kamu melihat wajahnya, kan?”
“Aku lihat, tapi aku tahu itu bukan
Runa.” katanya.
“Dari mana kamu bisa tahu?”
“Matanya berwarna merah, dan dia
tidak mengenakan anting yang sama sepertiku. Aku bisa melihat di telinga
kanannya tidak ada bekas tindikan sedikit pun.” Kata Rei, “Dan juga… di
tubuhnya tidak ada bekas luka. Aku tahu kamu sudah membawa Runa pergi ke salon
dan semacamnya untuk menghilangkan bekas-bekas luka di sekujur tubuhnya di hari
pertama kita bertemu dengannya, tapi bekas lukanya tidak sepenuhnya hilang, dan
hanya aku yang bisa melihatnya.”
Aku tertegun mendengar ucapan Rei.
Memang aku pernah membawa Runa ke salon dan menghilangkan seluruh bekas luka di
sekujur tubuhnya. Tapi aku tidak tahu bekas-bekas luka itu tidak sepenuhnya
hilang.
“Karena itukah kamu bisa
menyerangnya tanpa ragu?” tanyaku.
“Aku memang ragu saat menyerangnya.
Apalagi wajahnya yang mirip dengan Runa…” Rei menghela nafas, “Dia bilang dia
adalah adik Runa, tapi bukan adik kandungnya.”
“He? Maksudnya?”
“Sepertinya dia dibuat oleh Diva
untuk menggantikan Runa. Dari ucapan gadis itu, dia mengatakan bahwa Runa dalam
keadaan koma, tidak sadarkan diri. Dia menyalahkanku karena membuat Runa koma,
padahal aku sendiri tidak tahu bagaimana bisa dia koma, kecuali…”
“Kecuali apa?”
“Gadis itu... tadi dia menusuk lengannya sendiri dan mengatakan sesuatu
yang aneh.”
“Sesuatu yang aneh? Seperti apa?”
“Tidak ada apa-apa...” Rei menggeleng dan menyesap kopinya lagi.
Beberapa saat kemudian kami semua diperbolehkan pulang. Kali ini aku yang
mengemudikan mobil karena mobil yang kami gunakan adalah mobilku. Aku mengantar
Rei palign akhir karena selain apartemennya yang paling jauh, arah tempat
tinggal kami sama.
Saat ini hanya tinggal aku dan Rei yang ada di mobil. Rei terus menatap
keluar jendela mobil dan dia kelihatannya memikirkan sesuatu.
“Rei, kamu memikirkan apa?”
“Tidak memikirkan apa-apa.” Jawabnya.
“Apa kamu memikirkan soal gadis Claydoll
itu?” tanyaku lagi.
“Tidak... aku memikirkan Runa.” Katanya, “Aku khawatir pada
keselamatannya.”
Aku tersenyum dan menepuk kepalanya pelan, “Aku yakin dia baik-baik saja.
Gadis itu bilang dia koma,
kan? Bukan berarti dia meninggal, Rei.”
“Aku tahu, tapi... tetap saja aku
kepikiran. Terutama karena gadis itu mengatakan kalau dia akan membunuhku jika
kami bertemu lagi.”
“Jangan terlalu dipikirkan lagi. Itu hanya gertakan saja.” Kataku sambil
menghentikan mobilku di depan pintu lobi apartemennya. “Kita sudah sampai.”
“Sudah sampai?”
“Kamu tidak sadar kita sudah berada tepat di depan lobi apartemenmu?” aku
tertawa, “Makanya jangan sering melamun.”
“Iya, iya...” dia melepas sabuk pengaman dan membuka pintu, “Terima kasih
sudah mengantarkanku, Bu.”
“Apa?”
Aku menatap Rei yang sudah bersiap hendak pergi dengan sedikit terkejut.
“Tadi... kamu bilang apa?”
“Aku tidak boleh memanggilmu Ibu, ya?” tanyanya polos.
“Ah, eh... bukan. Bukan itu...” aku menggeleng, “Aku hanya... kaget saja.
Tumben sekali kamu memanggilku ibu. Biasanya kamu hanya memanggilku dengan
namaku saja.”
“Anggap saja sebagai ucapan terima kasih karena sudah mengantarkanku.” Dia
tersenyum lebar. “Sampai jumpa besok, Bu.”
Lagi-lagi aku tertegun mendengarnya memanggilku ‘ibu’ untuk yang kedua
kalinya.
Aku mengawasi Rei sampai dia masuk ke dalam lift. Setelah yakin dia sudah
masuk ke dalam lift, aku mengemudikan mobilku keluar dari lingkungan Apartemen
Ichizuku dan langsung pulang ke apartemenku sendiri.
---
Aku memasukkan kata kunci apartemenku dan menunjukkan card ID ke mesin scanner
di atas kotak password. Kubuka pintu
apartemenku dan masuk. Saat aku menginjakkan kakiku ke lantai,lampu-lampu
kristal langsung menyala dan aku menghembuskan nafas.
Interior apartemen yang kutempati memang kudesain sendiri, karena gedung
apartemen tempatku tinggal memperbolehkanku mengganti interior ruangan sesuka
hati pemiliknya. Apartemen ini termasuk yang paling mahal, karena aku
mengutamakan privasiku terjaga.
Lagipula cukup sulit menemukan apartemen yang terbaik dan bisa menjaga
keamanan privasi penghuninya di perbatasan Distrik Tiga dan Distrik Empat.
Tapi, syukurlah aku bisa menemukan apartemen yang cocok untukku, dn juga
privasiku.
Aku melepas seragamku dan duduk di sofa merah beludru di ruang tamu dan
menyalakan musik. Lagu klasik mengalun di seluruh penjuru apartemenku dan
membuatku agak rileks. Kuedarkan pandanganku ke sekeliling ruangan, melihat
warna merah muda di mana-mana dan juga wallpaper
bermotif daun-daun momiji yang
berguguran. Memang tidak serasi dengan warna cat dindingnya, tapi aku suka hal
yang bertentangan, karena di dunia ini, walaupun segala hal berjalan selaras,
tapi terkadang ada pertentangan yang terjadi, sekecil apa pun itu.
Aku berdiri dan menghampiri rak kecil berisi kumpulan album foto dan juga
beberapa pigura foto. Mataku menatap lurus kearah salah satu pigura foto yang
menunjukkan diriku bersama seorang bayi laki-laki mungil dalam gendongan. Saat
itu aku masih belum mewarnai rambutku dan mataku masih berwarna biru bening,
layaknya bola kaca.
Aku mengambil pigura itu dan menatapnya lekat-lekat. Tanganku menyentuh
foto bayi yang ada dalam gendonganku. Bibirku bergetar ketika mengingat berat badan
bayi itu dalam pelukanku. Aku melirik pigura foto yang lain, yang menunjukkan
diriku yang mengenakan gaun pengantin putih dan juga seorang pria dengan
tuksedo. Itu adalah foto pernikahanku yang diambil lebih dari 18 tahun yang
lalu.
Semua orang mengira aku adalah
wanita yang sering gonta-ganti pacar tidak peduli berapa usiaku sebenarnya.
Tapi, andai saja mereka tahu kalau aku dulunya pernah menikah dan memiliki
anak… mereka pasti akan kaget dan mungkin akan meninggalkanku sendirian. Para
pria biasanya tertarik padaku karena kecantikanku, dan aku sering menggunakan
hal itu untuk mengeruk informasi dari target Raven yang biasanya pengedar
narkoba atau mafia gelap.
Aku menghembuskan nafas dan membawa
foto bayi itu ke dadaku dan memeluknya erat, berusaha membayangkan bayi itu
dalam pelukanku… tidak, aku ingin membayangkannya sudah dewasa dan sedang
bermanja-manja padaku.
“Rei…” aku menyebut nama bayi itu
dan menghela nafas, “… andai saja kamu tahu kalau kamu… adalah putraku.”
***
Ayano’s
Side
Aku masuk ke dalam kamarku dan segera mencuci
tanganku yang terluka. Kini aku benar-benar merasakan rasa sakit yang amat
sangat dari tangan kiriku yang terluka. Setelah kurasa lukanya sudah cukup
bersih, aku pergi mencari kotak obat dan segera merawat lukaku sendiri.
Ketika aku baru saja selesai
membalut lukaku, pintu kamarku dibuka dan Profesor Diva masuk ke dalam.
“Kudengar kau tidak membunuh Kujo
Rei dan timnya. Benarkah?” tanyanya.
“Aku tidak bisa membunuhnya malam
ini.” kataku.
“Oh ya? Kenapa? Bukankah kamu
dendam padanya?”
Tatapan tajam dari Profesor Diva
membuatku agak mengkeret takut. Aku memang tidak pernah melihat bagaimana
Profesor Diva marah. Tapi aku yakin bila dia marah, itu lebih mengerikan
daripada apa pun juga.
“Aku… aku belum puas membuatnya
menderita. Aku ingin membuatnya lebih menderita lagi di setiap aku bertemu
dengannya.” Kataku sambil menatapnya, “Aku ingin membunuhnya pelan-pelan agar
dia merasakan penderitaan yang sama seperti yang dirasakan Runa Oneesan.”
“Hmm… tapi bukan karena kamu
terhalangi oleh sesuatu, kan?”
“Terhalangi?”
“Misalnya suara kakakmu di dalam
kepalamu mencoba menghentikanmu membunuh pemuda itu?”
Aku terkejut mendengar ucapan
beliau. Dari mana Profesor Diva tahu itu?
“Bukan karena itu. Anda jangan
khawatir. Aku akan membunuh Kujo Rei ketika kami bertemu lagi.” kataku lagi.
“Baiklah. Aku tidak akan
memaksamu.” Kata Profesor Diva, “Bersihkan dirimu dan temui aku di ruanganku.
Aku ingin mengecek keadaan tubuh dan juga mentalmu. Besok tugas baru sudah
menunggu.”
“Aku mengerti,”
Professor Diva lalu pergi
meninggalkan ruangan dan aku menghembuskan nafas yang sedari tadi kutahan.
Bagaimana Profesor Diva tahu soal suara Oneesan
di kepalaku yang mencoba menghentikanku? Aku yakin tidak ada anggota Clematis
yang mengikutiku ketika aku membantai habis daerah Four Street. Jadi,
bagaimana…
Rei…
Aku terkesiap kaget ketika
lagi-lagi di dalam kepalaku aku mendengar suara Runa Oneesan. Kepalaku lagi-lagi terasa sakit dan kali ini aku yakin aku
melihat sekelebat ingatan Runa Oneesan
di dalam kepalaku.
Aku mencoba mengusir ingatan itu
dari kepalaku dan berdiri. Aku harus segera membersihkan diri dan menemui
Profesor Diva untuk mengecek kondisiku. Dan aku tidak boleh terlihat kesakitan
atau menunjukkan emosi apa pun ketika berhadapan dengannya.
***
Ayano’s
Side
Setelah pemeriksaan itu selesai, aku kembali
berada di sisi tempat tidur Runa Oneesan.
Entah kenapa kali ini aku tidak ingin sendirian dan memutuskan untuk berada di
dekat Runa Oneesan malam ini.
Aku mengelus rambut Oneesan seperti biasa dan tersenyum
kecil melihat wajahnya yang damai dalam tidur.
Ah… andai saja Runa Oneesan sadar, tentu kami sudah
berbincang-bincang sampai larut malam dan membicarakan hal-hal yang bisa
membuat kami tertawa.
“Oneesan…”
Aku mulai kepikiran, bagaimana bisa
suara Runa Oneesan ada di dalam
kepalaku tadi? Kami bukan anak kembar, walau aku memiliki DNA yang sama
dengannya. Tapi… biasanya yang bisa seperti itu, semacam telepati itu… hanya
saudara kembar, kan? Lalu, kenapa—
“Rei…”
Aku mendengar Oneesan kembali menyebut nama pemuda itu. Dan kebencianku kembali
menyeruak.
Kenapa Runa Oneesan terus memanggil nama pemuda itu? Kujo Rei adalah orang yang
sudah membuatnya koma seperti ini. Lantas kenapa dia selalu memanggil nama pemuda
itu? Kenapa?!
Kening Oneesan berkerut dan aku tahu dia mungkin sedang bermimpi buruk.
“Rei… aku takut… jangan… tinggalkan
aku…”
“Runa Oneesan,” aku mencium keningnya, “Oneesan tidak perlu khawatir. Ada aku di sini. Aku yang akan
menjaga Oneesan, bukan pemuda itu.”
“Rei… jangan pergi…”
“Oneesan,” aku berkata lagi, “Kumohon… jangan menyebut nama pemuda
itu lagi. Aku di sini untuk melindungi Oneesan.
Tolong jangan menyebut nama pemuda itu lagi…”
“Rei…”
Aku memejamkan mataku dan mencoba
menahan perih yang kurasakan di dadaku. Aku tahu sia-sia berbicara dengan orang
yang sedang koma dan tidak sadarkan diri seperti Runa Oneesan. Tapi…
… setidaknya aku berharap dia bisa
mendengarkan suaraku.
Harapan yang sia-sia.
Aku menghembuskan nafas dan mencoba
mengatur agar nafasku tidak terdengar memburu. Aku berdiri dan berjalan keluar
dari tirai yang menyelubungi tempat tidur. Aku tidak mungkin bisa bertahan
harus mendengarkan Runa Oneesan yang
terus menggumamkan nama Kujo Rei.
Aku perlu udara segar sebentar.
Dengan alasan itu aku berjalan keluar dari ruangan.
***
Leia’s Side
Aku mengeringkan rambutku sambil bersenandung
pelan. Mandi air hangat dengan wewangian aromaterapi yang kudapatkan dari Alex
benar-benar bisa membuatku rileks. Aku harus berterima kasih pada pria itu
karena memberiku satu set perlengkapan mandi dan wewangian aromaterapi yang
benar-benar berkhasiat. Alex memang sering mendapatkan oleh-oleh berupa
obat-obatan, tanaman obat, atau wewangian aromaterapi seperti yang diberikannya
padaku dari beberapa koleganya yang berasal dari Distrik Lima. Selain itu Alex
juga membuka usaha sampingan berupa toko obat, jadi tidak heran dia bisa
mendapatkan barang-barang seperti itu.
Aku berjalan ke kamarku dan
menyalakan AC. Walau sekarang masih bulan April, tapi udara sudah mulai panas
dan aku tidak tahan dengan udara panas.
Aku tersenyum lebar ketika AC sudah
menyala dan duduk menghadap meja riasku. Seperti yang biasa kulakukan, aku
melakukan perawatan mulai dari ujung kepala sampai ujung kaki, bahkan di malam
hari.
Ketika aku baru saja akan
mengoleskan krim ke wajahku, inderaku mengatakan bahwa ada seseorang di ruangan
ini selain aku. Hal itu langsung membuatku waspada. Namun, aku harus bersikap
seperti biasa agar orang asing itu tidak menyadari kalau aku tahu ada seseorang
selain aku.
“Kurasa inderamu jadi lebih tajam,
ya? Hanya dalam sepersekian detik kau tahu ada seseorang selain dirimu di
tempat ini.”
Aku langsung menoleh ketika
mendengar suara itu. Mataku menatap kearah jendela kamarku yang terbuka dan
sosok yang berdiri membelakangi langit malam.
“Kau…”
“Lama tidak bertemu, Hirano Leia,
atau… haruskah kupanggil kamu, Uragiri[1]?”
0 komentar:
Posting Komentar