Arisa
terbangun ketika dia merasakan sesuatu mengelus pipinya. Ketika dia membuka
mata dilihatnya ibunya sedang mengelus pipinya.
“Ma…”
“Sudah
bangun?” ibunya tersenyum.
Arisa
duduk dan mengucek matanya pelan.
“Haruto
di mana?”
“Sudah
pulang saat Mama baru pulang tadi.” ujar ibunya, “Kamu sudah agak mendingan?
Haruto bilang kamu dikirimi surat kaleng atau semacamnya itu lagi.”
“Sudah…
agak mendingan kok.” Kata Arisa, “Aku membuat Mama cemas, ya?”
“Satu-satunya
dan yang paling besar.” ibunya tersenyum lagi, “Tapi kamu baik-baik saja, kan?”
“Iya,
Ma. Arisa baik-baik saja kok.” Arisa membalas senyum ibunya. “Papa mana? Kak
Yuya dan Ken?”
“Mungkin
sedang berada di ruang makan. Tadi Mama mampir ke restoran China milik teman
Mama dan di sana kami membeli Kungpou
Chicken favoritmu.”
“Benarkah?”
Arisa tersenyum lebar.
“Ya.
Kamu mau makan sekarang?”
“Tentu
saja! Aku tidak mau Kak Yuya menghabiskan jatah bagianku!”
Arisa
cepat-cepat berdiri dari kasurnya dan berlari kearah ruang makan. Ibunya hanya
tersenyum sambil geleng-geleng kepala melihatnya. Beliau lalu mengikuti Arisa
menuju ruang makan dan melihat gadis itu sudah duduk di samping Yuya dan sedang
berebut Kungpou Chicken di meja
makan.
“Aku
mau yang itu! Itu yang paling banyak!” kata Arisa.
“Bagianmu
yang ini, Arisa. Jangan rakus, dong!” balah Yuya sambil tertawa geli, “Tidak
akan ada yang menyangka kalau nafsu makanmu sebesar ini padahal kamu tidak juga
tambah tinggi atau gemuk.”
“Hei!!”
“Ayo,
sudah-sudah…” sela ayahnya sambil terkekeh, “Yuya, berikan saja mangkuk itu
pada Arisa, dan Arisa, jangan terlalu banyak makan. Kamu tahu efek dari
kebanyakan makan, kan?”
“Aku
tahu kok.” Kata Arisa sambil tersenyum penuh kemenangan ketika menerima mangkuk
dari tangan Yuya.
Yutaka
hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat kelakuan putra-putrinya. Nina lalu
menuangkan nasi ke atas piring suaminya dan ikut tersenyum geli melihat
kelakuan Yuya dan Arisa.
“Bagaimana
keadaan Arisa, Ma?” tanya Yutaka.
“Dia
bilang sudah mendingan. Papa lihat sendiri dia sekarang sudah bisa berebut
makanan dengan Yuya, kan?”
“Kamu
benar.” Yutaka tersenyum, “Tapi, apa Arisa benar-benar sudah tidak apa-apa?”
“Mama
harap demikian.” Kata Nina, “Kejadian itu masih membekas pada diri Arisa,
terutama hati dan pikirannya. Tentu tidak mudah menghilangkan bekas luka itu
semudah membalikkan telapak tangan.”
“Untuk
saat ini kita hanya perlu mendukung dan memberi dorongan agar Arisa mau bangkit
dari traumanya. Haruto bilang dia juga akan membantu, jadi kita tidak perlu
terlalu mengkhawatirkan Arisa sekarang.”
Yutaka
manggut-manggut dan menatap Arisa yang asyik berceloteh dengan Yuya. Pria paruh
baya itu mengangkat sebelah alisnya melihat Arisa berbicara. Ya. Ini pertama
kalinya Arisa berbicara banyak di meja makan, di saat seperti ini. Apa karena
keputusan Arisa untuk berdamai dan menghadapi traumanya?
Yutaka
berharap itulah jawaban atas pertanyaannya.
***
“Apakah
kau benar-benar berniat membunuhku, Kak?” tanya Haruto saat melihat hidangan
omelet dan juga Caesar salad di atas
meja. Tidak ketinggalan salad buah yang terdiri dari buah melon, apel, anggur,
dan kiwi yang disiram dengan susu dan parutan keju.
Reno
yang sedang mengaduk salad buah dan kemudian menuangkan wine untuk mereka berdua.
“Kurasa
ini tidak berlebihan.” Kata Reno polos, “Ayolah, Haruto, aku sudah bersusah
payah memasak semua ini dan aku berharap komentar bagus darimu.”
“Kuharap
aku masih hidup sampai saat itu terjadi.” Haruto tertawa dan mencicipi sedikit
omelet bagiannya, “Kok enak, sih?”
“Kubilang
juga apa…” Reno tergelak, “Sekarang ayo kita makan, dan setelahnya kamu bisa
menceritakan apa yang terjadi pada Arisa tadi.”
“Dia
mendapat semacam surat kaleng.” Kata Haruto, “Dari orang yang menyebabkannya
trauma.”
“Trauma?
Arisa terkena trauma karena apa?”
“Ah,
ya… aku belum menceritakan soal traumanya, ya?” ujar Haruto.
Haruto
lalu menceritakan semuanya, dan Reno mendengarkannya dengan seksama. Ketika
Haruto selesai bercerita, Reno tidak tahu harus mengatakan apa dan hanya
memasang ekspresi marah.
“Kak?”
“Apa
orang yang membuatnya trauma berhasil ditangkap?” tanya Reno.
“Menurut
Arisa, orang itu sudah tertangkap, dan sejak itu dia tidak pernah tahu seperti
apa nasib orang itu.” jawab Haruto, “Tapi trauma yang disebabkan oleh orang itu
masih melekat kuat dalam ingatan Arisa.”
“Astaga…”
Reno menatap makanannya yang masih bersisa banyak. “Aku tidak pernah tahu dia
punya trauma seperti itu. Kenapa kamu tidak menceritakannya lebih cepat?”
“Aku
tidak sempat menceritakannya karena saat itu dia masih bersikap curiga dan
waspada padaku. Tentu saja aku harus mencairkan sikapnya dulu, kan?”
“Benar
juga…”
“Tapi
denganmu dia tidak pernah menutup diri.” Kata Haruto, “Dan karena aku sering
membawamu kemari dia malah mengira aku berusaha menjodohkanmu dengannya.”
“Benarkah?”
Reno menatapnya dengan sebelah alis terangkat dan ekspresi geli.
“Yah…
mungkin karena dia lebih mudah dekat denganmu dan tidak merasa tertekan di
dekatmu.”
“Memangnya
kamu kira aku monster sampai-sampai dia harus merasa tertekan?”
Haruto
tertawa dan menyuap makanan ke dalam mulutnya. Mereka berdua memakan makanan
mereka dalam diam, tidak ada seorang pun diantara mereka yang berbicara lagi
setelah itu.
“Oh
ya Haruto,”
“Yup?”
“Besok…
aku ingin bertemu Arisa, bisa kamu atur waktunya?” tanya Reno, “Besok dia
sekolah atau tidak?”
“Aku
tidak tahu. Tapi mengingat hari ini dia sudah dua kali mendapat surat kaleng
seperti itu, mungkin besok dia tidak akan pergi ke sekolah.”
“Kalau
begitu, aku akan ke rumahnya.”
“Kamu!?”
“Ya.
Aku kakaknya, jadi aku berhak untuk mengurusnya, kan?” kata Reno, “Aku yakin
Yuya juga tidak akan keberatan.”
“Aku
akan berbicara dengan Nyonya Kunisada dan Yuya kalau begitu.” kata Haruto, “Kurasa
mereka juga akan tidak akan keberatan kamu berkunjung ke rumah mereka.”
“Benar,
kan?” Reno tersenyum, “Nah, sekarang makan makananmu dan setelah itu kita
bertarung lagi, seperti biasanya.”
“Ah…
kamu masih tidak terima kalah dariku ya?”
“Kali
ini aku tidak akan kalah darimu.” Kata Reno, “Lagipula aku sudah belajar
beberapa teknik yang berguna dari seorang temanku yang menguasai permainan itu.
Kali ini akan kupastikan kamu tidak akan bisa mengalahkanku.”
Haruto
hanya tertawa geli. Pertarungan yang mereka maksudkan adalah permaian game
konsol yang mereka mainkan sebelum Reno pergi untuk tur keliling dunia,
memperlihatkan kemampuannya bermain piano.
“Oke.
Kali ini aku juga akan serius mengalahkanmu, Kak.”
***
Arisa
masuk ke dalam kamarnya dan menghampiri meja belajarnya ketika ponselnya
tiba-tiba berbunyi. Tapi, dia baru akan menerima telepon yang masuk, telepon
itu terputus.
“Siapa
yang meneleponku malam-malam begini?” gumam gadis itu sambil mengerutkan
kening.
Arisa
baru meletakkan ponselnya ketika benda itu kembali berbunyi. Kali ini Arisa
mengerutkan kening melihat gambar amplop, tanda ada pesan masuk di layar
ponselnya.
“Siapa
lagi ini?”
Dia
membuka pesan itu dan membacanya.
Dan
baru sedetik dia selesai membacanya, Arisa menjerit keras.
0 komentar:
Posting Komentar