Leia’s Side
Aku selesai menata meja makan di ruang makan
apartemen Rei ketika kudengar pintu terbuka dan Rei masuk ke dalam. Buru-buru
aku mengelap tanganku dan melepas celemek yang kupakai dan menggantungnya di
hanger pakaian yang ada di dekatku.
“Tadaima.[1]”
“Okaeri nasai[2],
Rei.” kataku menyambutnya. “Aku sudah menyiapkan menu sehat untukmu agar kamu
bisa cepat sembuh.”
“Aduh… tolong deh, saat ini aku
tidak ingin mendengar sesuatu yang terdengar mirip seperti di rumah sakit.”
keluhnya sambil meletakkan tas yang dibawanya ke lantai.
Aku terkekeh dan mengikutinya
menuju dapur. Dia langsung mengambil tempat duduk dan menyeruput sup tofu[3]
buatanku.
“Hei, cuci dulu tanganmu!” kataku.
“Sebentar… aku sudah lama tidak
memakan masakan buatanmu, jadi aku tidak bisa menahan diri. Makanan di rumah
sakit rasanya sangat hambar, dan aku jadi kehilangan selera makan gara-gara
itu.”
Dia tersenyum lebar dan mengambil
sumpit di dekatnya dan mulai memenuhi mangkuk nasi dengan berbagai macam lauk
yang sudah kusiapkan.
“Hmm… karaage[4],
favoritku.”
“Kamu ini…”
Aku duduk di kursi di seberangnya dan ikut
makan. Selama beberapa saat, tidak ada diantara kami yang berbicara, dan aku
lebih senang melihat Rei makan dengan lahap seperti ini. Kurasa mood-nya sedang baik saat ini. Apakah
karena dia bisa keluar dari rumah sakit hari ini?
“Oh ya, Leia, malam ini kita akan
patroli untuk mencari tahu Claydoll
yang katamu beberapa bulan terakhir ini membuat ulah, kan?” tanyanya.
“Ya. Tapi itu jika kamu sudah
benar-benar sehat dan siap untuk kembali bertugas.” Jawabku, “Dari dokter yang
menanganimu aku mendengar kamu masih harus beristirahat lagi selama seminggu
penuh.”
“Aku sudah siap. Aku tidak perlu
beristirahat lagi.” katanya sambil menyuap karaage
berukuran besar ke dalam mulutnya.
“Aku tidak mau kamu membahayakan
dirimu sendiri, Rei. Kamu masih belum—”
“Tadi aku ke rumah Mizuki dan
Yuzuki untuk menyembuhkan kondisiku sepenuhnya.” Selanya.
“Kamu—apa!?” aku membelalak kaget,
“Kamu ke rumah Hanazaki bersaudara? Kapan?”
“Tadi saat aku baru saja keluar
dari rumah sakit. Aku meminta Leon mengantarkanku.” Jawabnya enteng.
“Kenapa kamu tidak mengatakan
padaku kalau kamu bertandang ke rumah mereka?”
“Untuk apa? Toh, aku ke sana hanya
untuk memulihkan kondisi tubuhku. Sekarang aku sudah siap untuk tugas apa pun.”
Katanya lagi.
Aku hanya menatap Rei dengan mulut
setengah menganga, masih tidak percaya kalau dia berani ke rumah Hanazaki
bersaudara yang sering disebut oleh banyak anggota di markas sebagai ‘Dua
Ilmuwan Super Gila’.
Well… memang ada alasannya Hanazaki Yuzuki dan
adiknya, Mizuki dipanggil demikian, terutama setelah kejadian dua tahun lalu
saat Yuzuki melakukan percobaan yang bisa dikatakan illegal pada anak kecil…
“Jangan memasang wajah seperti itu,
Leia. Biar bagaimanapun, Yuzuki dan Mizuki adalah orang yang menangani
modifikasi pada DNA-ku. Yah… kesampingkan fakta bahwa Yuzuki melakukan
percobaan illegal…” kata Rei.
“Aku hanya kaget kamu berkunjung ke
tempat mereka tanpa memberitahuku.” Kataku, “Aku merasa sedih karena kamu lebih
memilih diantar oleh Leon daripada aku.”
“Leia, please, sikapmu benar-benar seperti ibuku saja.”
“Aku memang harus menjadi ibumu di
saat yang diperlukan, kan? Contohnya seperti sekarang.” balasku.
Rei membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi dan lebih
memilih memakan makanannya sambil menggerutu tanpa suara.
Setelah makan, aku langsung menyuruh Rei untuk beristirahat. Aku tidak
memerdulikan protesnya dan menendangnya ke dalam kamarnya.
Aku mencuci semua piring kotor dan setelahnya bersiap-siap pulang ketika
ponselku berdering. Kuambil benda mungil itu dari saku bajuku dan melihat nomor
asing tertera di layarnya.
“Jangan-jangan Leon. Anak itu benar-benar, deh…”
Aku menekan tombol menerima telepon dan menempelkan ponsel itu ke telinga
kiriku.
“Halo?”
“Hai, Hirano Leia. Kuharap kau masih
ingat dengan suaraku.”
Aku tertegun mendengar suara di seberang telepon, sampai-sampai aku nyaris
menjatuhkan tas yang kupegang.
“Kau…”
“Sepertinya kau tidak lupa dengan
suaraku, baguslah.” Suara itu kembali berbicara, “Kalau kau sampai lupa dengan suaraku itu benar-benar kejam.”
“Mau apa lagi kau meneleponku? Bukankah sudah kukatakan kalau aku tidak mau
lagi berurusan denganmu?” kataku tajam.
“Jangan kaku begitu, dong… aku hanya ingin menyapa teman lama. Apa aku tidak boleh
melakukannya?”
“Aku bukan temanmu, dan selamanya tidak akan menjadi temanmu.”
“Kasar sekali… kau memang punya temperamen yang buruk kalau bukan di
hadapan putramu, ya?” Kata suara itu lagi, membuatku menahan nafas kaget.
Dari mana dia tahu—
“Aku menghubungimu karena aku punya
berita bagus. Perang akan dimulai malam ini.” Kata suara itu, “Malam ini, kita semua akan berpesta sampai
mati. Dan mungkin putramu akan menjadi bintang utamanya.”
“Ap—kau brengsek!! Kalau kau melakukan hal yang membuatku naik pitam, bersiap-siaplah.
Aku tidak akan memaafkanmu.”
Suara di seberang telepon tertawa, dan aku harus menahan diri untuk tidak
kembali memakinya. Itu hanya akan membuatnya senang kalau aku masuk ke dalam
alurnya.
“Lucu sekali kau mengatakan hal itu.
Padahal akulah yang berjasa mempertemukan putramu dengan gadis kesayangannya.
Tapi, sepertinya kau tidak bisa berterima kasih dengan baik.”
“Kau… kau juga tahu
Runa-chan?”
“Oh, tentu saja aku tahu. Aku bahkan
tahu di mana dan sedang diapakan dia sekarang.”
“Di mana dia sekarang? Di mana
Runa-chan? Katakan padaku!”
“Sepertinya kau sangat menyayangi gadis itu, ya? Apa karena dia adalah
kekasih putramu? Suara itu tertawa lagi, “Akan kuberi petunjuk, dia masih ada di Negara besi, tapi dia berada di
dasar bumi yang tidak disadari oleh siapa pun.”
“Apa—katakan yang jelas, di mana
Runa-chan!”
“Aku hanya ingin menyampaikan malam ini pesta akan dimulai pada malam di
mana kesibukan terjadi. Sampai nanti kawan lama.”
“Ap—tunggu! Shit!”
Aku menatap ponselku dengan kesal
karena orang itu menutup teleponnya tanpa mau menjawab pertanyaanku.
Kuhembuskan nafas dan memasukkan benda kecil itu ke dalam tasku. Sekilas aku
melihat pintu kamar Rei agak terbuka, tapi mungkin itu Cuma perasaanku saja
karena ketika aku menoleh pintu kamarnya masih tertutup rapat.
Aku memakai topi dan juga syalku,
lalu berjalan meninggalkan apartemen.
***
Rei’s Side
Aku memastikan Leia sudah benar-benar menutup
pintu. Dan ketika aku mendengar suara pintu yang terkunci, aku membuka pintu
kamarku dan mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar.
Yang menelepon Leia tadi adalah
seseorang yang kemungkinan besar dibenci oleh Leia sampai-sampai wanita itu
tidak mau menganggapnya lagi sebagai teman. Dan… orang itu juga tahu di mana
keberadaan Runa!
Bagaimana bisa orang itu tahu di
mana keberadaan Runa? Apa… apa Leia terlibat dengan Clematis? Aku memang tidak
tahu seperti apa masa lalu Leia sebelum menjadi Raven. Tapi karena aku tidak
sengaja ‘mencuri-dengar’ pembicaraan Leia dengan seseorang di telepon… aku jadi
berpikir apa dulunya Leia adalah anggota Clematis, sama seperti Komandan.
“Pikiranku mulai penuh memikirkan
semua ini…” aku menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepalaku.
Mungkin aku harus menanyakannya
pada Leon atau Alex, karena mereka berdualah yang mengenal Leia lebih dulu, dan
mungkin saja, mereka tahu seperti apa masa lalu Leia.
***
Ayano’s
Side
Aku mengikat kimonoku dengan obi[5]
berwarna abu-abu dan menyelipkan tali yang biasa kugunakan untuk menaruh kedua
pedangku. Setelah aku selesai mengenakan stocking
dan geta hitam yang biasa kupakai,
aku keluar dari kamar dan menuju ruangan Profesor Diva. Aku mengetuk pintu
ruangan itu dan menunggu jawaban dari dalam.
“Masuklah,”
Kubuka pintu itu dan melihat
Profesor Diva sedang berkutat dengan berkas di tangannya. Dia duduk di kursi
besar di balik meja dan sebelah kakinya diangkat hingga menampakkan kakinya
yang jenjang dan putih di balik rok mini ketat yang dipakainya.
“Ah, Ayano,” dia mendongak
menatapku dan tersenyum, “Kau ingin menengok kakakmu?”
Aku mengangguk. Ini sudah menjadi
semacam kebiasaan bagiku untuk mengunjungi Runa Oneesan sebelum dan sesudah aku bertugas.
“Bisa tinggalkan kami berdua?”
tanyaku.
“Tentu. Aku akan ke Room #1 untuk
mengambil obat yang akan kau minum malam ini. Obat khusus yang kukatakan padamu
tadi siang.” Katanya.
“Baiklah.”
Dia berdiri dari kursinya dan
melepas kacamata yang tadi dipakainya untuk membaca. Aku mengawasinya pergi dan
baru bergerak setelah pintu kembali ditutup.
Aku memasukkan kata kunci yang
biasa kupakai untuk membuka dinding kaca tipis yang membatasi ruang kerja
Profesor Diva dengan tempat tidur kakakku. Kulangkahkan kakiku menghampiri
tempat tidur Runa Oneesan dan membuka
tirainya. Keadaannya masih sama seperti biasanya. Dia masih tidur, dan tidak
menunjukkan tanda-tanda akan terbangun.
Aku lalu duduk di samping kepalanya
dan mengelus rambutnya. Aku selalu mengagumi rambut Runa Oneesan yang begitu halus dan lembut sejak pertama kali melihatnya.
Aku juga mengagumi wajahnya, dan bulu matanya yang lentik. Runa Oneesan tampak seperti putri yang
dikaruniai kecantikan yang tiada tara dan bisa membuat wanita lain iri. Aku
tidak tahu apakah aku juga demikian, tapi Profesor Diva bilang kalau wajahku
mirip dengan Runa Oneesan. Professor
Diva membuatku mempunyai fisik dan wajah yang sama seperti kakakku, dan walau
kami berdua sama persis baik dari segi wajah dan fisik, aku selalu merasa Runa Oneesan-lah yang paling cantik.
“Oneesan,” aku mencium keningnya dan terus mengelus rambutnya,
“Malam ini aku akan bertugas. Malam ini aku akan membunuh orang yang membuatmu
menjadi seperti ini.”
“Dan… ketika aku berhasil
membunuhnya, aku ingin Oneesan
terbangun. Aku ingin sekali mendengar suaramu dan berbicara denganmu, Oneesan.” Kataku.
Aku menghembuskan nafas dan
mengecup keningnya lagi. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, menahan genangan
airmata yang akan jatuh.
Ketika Profesor Diva kembali dengan
sebuah kotak persegi panjang di tangannya, aku segera berdiri dan
menghampirinya. Ketika aku melewati batas antara tempat tidur kakakku dan ruang
kerja Profesor Diva, dinding kaca yang tadinya masuk ke dalam lantai kembali
naik dan menutup akses orang lain untuk mencapai tempat tidur tersebut.
“Ini adalah obat terbaru yang
kukembangkan. Kubuat khusus hanya untukmu.” Kata Profesor Diva sambil membuka
kotak di tangannya dan mengeluarkan sebuah suntikan.
“Kemarikan lehermu.”
Aku menyibak rambutku yang
kubiarkan tergerai dan membiarkan Profesor Diva menusukkan jarum suntik itu ke
leherku. Ketika obat itu mulai memasuki tubuhku, aku bisa merasakan kekuatan
mengalir dalam tubuhku.
“Sudah selesai.” Katanya menyimpan
kembali suntikan itu ke dalam kotak. “Obat ini bisa membuatmu bertahan sampai tugasmu
selesai malam ini. Jadi, kau tidak perlu khawatir untuk mengamuk sampai puas.”
Aku tersenyum tipis dan memakai
sarung tangan dan juga topeng di wajahku. Aku memang selalu mengenakan topeng
di setiap bertugas karena menurutku topeng ini akan menyembunyikan segala hal
mengenai diriku dari orang lain yang akan menjadi targetku.
“Kalau begitu, aku pergi dulu.”
“Ya, itterashai[6],
Ayano.”
***
Rei’s Side
Aku mengenakan jasku dan menatap ke dalam
cermin. Sudah lama sekali aku tidak mengenakan seragam ini, dan aku mengeluh
dalam hati karena aku tampak tenggelam dalam pakaianku sendiri. Sepertinya aku
jadi lebih kurus setelah selama tiga bulan berada di rumah sakit.
Aku menghela nafas dan mengenakan
sabuk senjataku. Setelah memastikan semua lampu di apartemenku mati, aku keluar
dari apartemen dan langsung menuju lobi, di mana Leon, Alex, dan Leia
menungguku.
Ketika pintu lift terbuka, aku
melihat mereka bertiga sudah menunggu di lobi dan Leon yang melihatku pertama
kali.
“Maaf membuat kalian menunggu. Aku
harus membiasakan diri untuk tidak tampak tenggelam dalam pakaianku sendiri.”
kataku.
“Ya… kau memang kelihatan lebih kurus
daripada tiga bulan lalu. Tapi, toh pakaianmu masih cukup muat untuk badanmu,
kan?” kata Leon sambil nyengir.
Aku hanya memberinya tatapan
membunuh yang bisa membuatnya mengkeret dalam sekejap. Sayangnya itu hanya
harapan belaka, karena Leon hanya tertawa dan bukannya mengkeret ketakutan.
“Sudahlah, kalian jangan
bertengkar.” Kata Alex menengahi, “Ayo kita berangkat.”
Kami berempat menuju mobil yang
sudah menunggu di depan apartemen. Aku duduk di belakang bersama Leon dan
membiarkan Leia dan Alex mengisi tempat di depan. Lagipula Alex yang menyetir
dan Leia melakukan pencarian navigasi dari alat-alat serta GPS yang dipasang
pada mobil ini.
Selama di perjalanan, aku masih
memikirkan pembicaraan Leia dengan seseorang di teleponnya.
“Leon,”
“Apa?”
“Leia itu… dulunya seperti apa,
sih?” tanyaku. “Maksudku, kamu dan Alex mengenalnya lebih dulu, kan?”
“Hmm… sebenarnya aku juga baru
masuk saat Leia menjadi anggota senior.” Kata Leon. “Alex yang lebih tahu soal
Leia. Memangnya kenapa?”
“Tidak… aku hanya ingin bertanya
saja.” kataku, “Ngomong-ngomong, apa kamu tahu warna asli rambut Leia apa?”
“Aku tidak tahu pasti, tapi kata
orang yang pernah melihatnya, warna asli rambutnya berwarna keperakan.”
“Keperakan?”
“Ya. Dan warna matanya berwarna
biru sepertimu.”
Aku termenung mendengar jawaban
Leon. Jadi… rambut Leia sebenarnya berwarna keperakan? Aku baru tahu…
“Lalu, kenapa dia sering
menggonta-ganti warna rambutnya?” tanyaku lagi.
“Entahlah,” Leon mengedikkan bahu,
“Kamu kenapa bertanya soal itu, sih? Kamu mulai suka dengan Leia?
Jangan-jangan… kamu penyuka wanita tua, ya? Mau menjadikan Leia sebagai
targetmu?”
“Enak saja!”
Leon tertawa melihat reaksiku.
“Apa yang sedang kalian bicarakan
di belakang sana?” tanya Leia tanpa mengalihkan perhatiannya dari alat navigasi
di hadapannya.
“Bukan sesuatu yang penting.”
Kataku sambil mendelik sebal pada Leon yang masih tertawa.
“Leon, tolong jangan menggoda Rei.
Kita sedang bertugas di sini.” ujar Alex. “Heran deh, belakangan ini kamu
sering sekali menggoda Rei.”
“Karena dia terluka parah dan harus
dirawat di rumah sakit, aku tidak punya kesempatan untuk meledeknya di tempat
kerja.” Jawab Leon spontan.
“Oh, pantas saja kau sering ke
rumah sakit. Rupanya untuk meledekku.” Kataku.
Leon kembali tertawa.
“Sudah, sudah. Kalian berdua ini
selalu saja ribut. Lama-lama kalian mirip kucing dan anjing saja!” kata Leia
lagi.
Kami berdua lalu sama-sama diam.
Tapi, aku masih memikirkan ucapan Leon tadi soal warna asli rambut Leia. Memang
tidak ada hubungannya sih. Hanya penasaran kenapa Leia menyembunyikan warna
asli rambutnya.
Memang warna rambut yang keperakan
sangat jarang di Edenia. Tapi…
Ah, kalau kupikirkan lagi malah
membuatku tambah pusing.
Bunyi alarm peringatan pada alat
navigasi mobil membuat kami berempat langsung terduduk tegak. Leia menekan
tombol untuk memperlihatkan di mana letak tanda peringatan itu dikirimkan.
“Distrik Tiga, Four Street.” Kata
Leia, “Itu tidak jauh dari tempat kita sekarang.”
“Apa ada laporan lain?”
“Oni-hime,” kata Leia lagi, “Claydoll
itulah yang menyerang daerah Four Street.”
***
Ayano’s
Side
Aku menyerang anggota Raven yang berdiri di
hadapanku dan tidak memberikannya kesempatan untuk bernafas. Aku juga melakukan
hal yang sama pada yang lain yang kutemui. Bau darah yang menyengat dan asap
yang membumbung tinggi membuatku tertawa dan menginginkan lebih banyak darah di
mana-mana.
“Kalian lemah!!” kataku sambil
tertawa dan kembali menyerang.
Aku tidak memperdulikan darah yang
menciprati tubuh dan pakaianku ketika aku menyerang orang-orang di hadapanku.
Justru aku memerlukannya karena aku menyukai warna merah yang mengalir dari
tubuh tak bernyawa mereka.
“Ahahaha!!!”
“Itu di sana!”
Aku menoleh kearah para anggota
Raven lain yang baru datang dan tersenyum lebar. Mangsa baru.
“Bunuh dia!”
Mereka semua menyerangku secara
bersamaan, namun aku segera melompat menghindari sabetan pedang yang ditujukan
kearahku. Kuhindari semua peluru yang mengarah ke tubuhku dengan mudah dan
menyabetkan kedua katana-ku pada mereka. Darah yang menyembur dari tubuh mereka
yang terluka membuatku kembali tertawa.
“Ah… kalian terlalu lemah. Tidak
menarik.” Aku menatap tubuh mereka yang terluka dan kebanyakan sudah tidak
bernyawa.
Aku mengayunkan pedangku tanpa
melihat ke belakang kearah seorang anggota Raven yang kelihatannya ingin
menyerangku secara diam-diam. Aku menatap datar kearah tubuhnya yang jatuh dan
membasahi tanah dengan warna merah darahnya.
“Aku ingin mainan yang lebih
menarik dan lebih kuat…” kataku, “Tidak adakah diantara kalian yang cukup kuat
untuk bermain denganku? Membosankan sekali…”
Aku berjalan melewati mayat-mayat
yang bertebaran di sekitarku. Tidak menarik. Aku belum bertemu dengan Kujo Rei,
dan aku belum puas mengayunkan senjataku sampai pagi menjelang. Aku ingin
membunuh Kujo Rei.
Aku ingin… aku ingin… membunuhnya.
Aku mengayunkan kedua katana-ku
pada setiap Raven yang berusaha menghalangiku.
“Membosankan… membosankan…”
Seberkas cahaya menyilaukan datang
dari arah berlawanan. Aku memicingkan mata melihat sebuah mobil berhenti
beberapa meter di hadapanku. Dari dalam mobil itu keluar empat orang anggota
Raven, dan sekilas aku melihat warna keperakan diantara mereka.
Senyumku bertambah lebar ketika aku
menyadari siapa pemilik warna keperakan itu. Seorang pemuda berambut putih
perak yang kucari-cari.
“Mitsuketa…[7]”
[1] Aku pulang.
[2] Selamat datang
[3] Dalam bahasa Indonesia artinya
adalah tahu, makanan tradisional yang berasal dari Indonesia yang sangat
terkenal selain tempe.
[4] Ayam goreng
[5] Ikat pinggang yang biasa
dikenakan dengan yukata atau kimono.
[6] Hati-hati, bisa juga ‘selamat
jalan’.
[7] Ketemu…
0 komentar:
Posting Komentar