Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

RE Part 2 - Chapter 3



Leia’s Side
Aku selesai menata meja makan di ruang makan apartemen Rei ketika kudengar pintu terbuka dan Rei masuk ke dalam. Buru-buru aku mengelap tanganku dan melepas celemek yang kupakai dan menggantungnya di hanger pakaian yang ada di dekatku.

Tadaima.[1]
Okaeri nasai[2], Rei.” kataku menyambutnya. “Aku sudah menyiapkan menu sehat untukmu agar kamu bisa cepat sembuh.”
“Aduh… tolong deh, saat ini aku tidak ingin mendengar sesuatu yang terdengar mirip seperti di rumah sakit.” keluhnya sambil meletakkan tas yang dibawanya ke lantai.
Aku terkekeh dan mengikutinya menuju dapur. Dia langsung mengambil tempat duduk dan menyeruput sup tofu[3] buatanku.
“Hei, cuci dulu tanganmu!” kataku.
“Sebentar… aku sudah lama tidak memakan masakan buatanmu, jadi aku tidak bisa menahan diri. Makanan di rumah sakit rasanya sangat hambar, dan aku jadi kehilangan selera makan gara-gara itu.”
Dia tersenyum lebar dan mengambil sumpit di dekatnya dan mulai memenuhi mangkuk nasi dengan berbagai macam lauk yang sudah kusiapkan.
“Hmm… karaage[4], favoritku.”
“Kamu ini…”
 Aku duduk di kursi di seberangnya dan ikut makan. Selama beberapa saat, tidak ada diantara kami yang berbicara, dan aku lebih senang melihat Rei makan dengan lahap seperti ini. Kurasa mood-nya sedang baik saat ini. Apakah karena dia bisa keluar dari rumah sakit hari ini?
“Oh ya, Leia, malam ini kita akan patroli untuk mencari tahu Claydoll yang katamu beberapa bulan terakhir ini membuat ulah, kan?” tanyanya.
“Ya. Tapi itu jika kamu sudah benar-benar sehat dan siap untuk kembali bertugas.” Jawabku, “Dari dokter yang menanganimu aku mendengar kamu masih harus beristirahat lagi selama seminggu penuh.”
“Aku sudah siap. Aku tidak perlu beristirahat lagi.” katanya sambil menyuap karaage berukuran besar ke dalam mulutnya.
“Aku tidak mau kamu membahayakan dirimu sendiri, Rei. Kamu masih belum—”
“Tadi aku ke rumah Mizuki dan Yuzuki untuk menyembuhkan kondisiku sepenuhnya.” Selanya.
“Kamu—apa!?” aku membelalak kaget, “Kamu ke rumah Hanazaki bersaudara? Kapan?”
“Tadi saat aku baru saja keluar dari rumah sakit. Aku meminta Leon mengantarkanku.” Jawabnya enteng.
“Kenapa kamu tidak mengatakan padaku kalau kamu bertandang ke rumah mereka?”
“Untuk apa? Toh, aku ke sana hanya untuk memulihkan kondisi tubuhku. Sekarang aku sudah siap untuk tugas apa pun.” Katanya lagi.
Aku hanya menatap Rei dengan mulut setengah menganga, masih tidak percaya kalau dia berani ke rumah Hanazaki bersaudara yang sering disebut oleh banyak anggota di markas sebagai ‘Dua Ilmuwan Super Gila’.
Well… memang ada alasannya Hanazaki Yuzuki dan adiknya, Mizuki dipanggil demikian, terutama setelah kejadian dua tahun lalu saat Yuzuki melakukan percobaan yang bisa dikatakan illegal pada anak kecil…
“Jangan memasang wajah seperti itu, Leia. Biar bagaimanapun, Yuzuki dan Mizuki adalah orang yang menangani modifikasi pada DNA-ku. Yah… kesampingkan fakta bahwa Yuzuki melakukan percobaan illegal…” kata Rei.
“Aku hanya kaget kamu berkunjung ke tempat mereka tanpa memberitahuku.” Kataku, “Aku merasa sedih karena kamu lebih memilih diantar oleh Leon daripada aku.”
“Leia, please, sikapmu benar-benar seperti ibuku saja.”
“Aku memang harus menjadi ibumu di saat yang diperlukan, kan? Contohnya seperti sekarang.” balasku.
Rei membuka mulutnya untuk mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi dan lebih memilih memakan makanannya sambil menggerutu tanpa suara.
Setelah makan, aku langsung menyuruh Rei untuk beristirahat. Aku tidak memerdulikan protesnya dan menendangnya ke dalam kamarnya.
Aku mencuci semua piring kotor dan setelahnya bersiap-siap pulang ketika ponselku berdering. Kuambil benda mungil itu dari saku bajuku dan melihat nomor asing tertera di layarnya.
“Jangan-jangan Leon. Anak itu benar-benar, deh
Aku menekan tombol menerima telepon dan menempelkan ponsel itu ke telinga kiriku.
“Halo?”
Hai, Hirano Leia. Kuharap kau masih ingat dengan suaraku.
Aku tertegun mendengar suara di seberang telepon, sampai-sampai aku nyaris menjatuhkan tas yang kupegang.
“Kau
Sepertinya kau tidak lupa dengan suaraku, baguslah.” Suara itu kembali berbicara, “Kalau kau sampai lupa dengan suaraku itu benar-benar kejam.
“Mau apa lagi kau meneleponku? Bukankah sudah kukatakan kalau aku tidak mau lagi berurusan denganmu?” kataku tajam.
Jangan kaku begitu, dong aku hanya ingin menyapa teman lama. Apa aku tidak boleh melakukannya?
“Aku bukan temanmu, dan selamanya tidak akan menjadi temanmu.”
Kasar sekali kau memang punya temperamen yang buruk kalau bukan di hadapan putramu, ya?” Kata suara itu lagi, membuatku menahan nafas kaget.
Dari mana dia tahu—
Aku menghubungimu karena aku punya berita bagus. Perang akan dimulai malam ini.” Kata suara itu, “Malam ini, kita semua akan berpesta sampai mati. Dan mungkin putramu akan menjadi bintang utamanya.
“Ap—kau brengsek!! Kalau kau melakukan hal yang membuatku naik pitam, bersiap-siaplah. Aku tidak akan memaafkanmu.”
Suara di seberang telepon tertawa, dan aku harus menahan diri untuk tidak kembali memakinya. Itu hanya akan membuatnya senang kalau aku masuk ke dalam alurnya.
Lucu sekali kau mengatakan hal itu. Padahal akulah yang berjasa mempertemukan putramu dengan gadis kesayangannya. Tapi, sepertinya kau tidak bisa berterima kasih dengan baik.
“Kau kau juga tahu Runa-chan?”
Oh, tentu saja aku tahu. Aku bahkan tahu di mana dan sedang diapakan dia sekarang.
“Di mana dia sekarang? Di mana Runa-chan? Katakan padaku!”
Sepertinya kau sangat menyayangi gadis itu, ya? Apa karena dia adalah kekasih putramu? Suara itu tertawa lagi, “Akan kuberi petunjuk, dia masih ada di Negara besi, tapi dia berada di dasar bumi yang tidak disadari oleh siapa pun.
“Apa—katakan yang jelas, di mana Runa-chan!”
Aku hanya ingin menyampaikan malam ini pesta akan dimulai pada malam di mana kesibukan terjadi. Sampai nanti kawan lama.
“Ap—tunggu! Shit!
Aku menatap ponselku dengan kesal karena orang itu menutup teleponnya tanpa mau menjawab pertanyaanku. Kuhembuskan nafas dan memasukkan benda kecil itu ke dalam tasku. Sekilas aku melihat pintu kamar Rei agak terbuka, tapi mungkin itu Cuma perasaanku saja karena ketika aku menoleh pintu kamarnya masih tertutup rapat.
Aku memakai topi dan juga syalku, lalu berjalan meninggalkan apartemen.

***
Rei’s Side
Aku memastikan Leia sudah benar-benar menutup pintu. Dan ketika aku mendengar suara pintu yang terkunci, aku membuka pintu kamarku dan mencoba mencerna apa yang baru saja kudengar.
Yang menelepon Leia tadi adalah seseorang yang kemungkinan besar dibenci oleh Leia sampai-sampai wanita itu tidak mau menganggapnya lagi sebagai teman. Dan… orang itu juga tahu di mana keberadaan Runa!
Bagaimana bisa orang itu tahu di mana keberadaan Runa? Apa… apa Leia terlibat dengan Clematis? Aku memang tidak tahu seperti apa masa lalu Leia sebelum menjadi Raven. Tapi karena aku tidak sengaja ‘mencuri-dengar’ pembicaraan Leia dengan seseorang di telepon… aku jadi berpikir apa dulunya Leia adalah anggota Clematis, sama seperti Komandan.
“Pikiranku mulai penuh memikirkan semua ini…” aku menghela nafas dan menggeleng-gelengkan kepalaku.
Mungkin aku harus menanyakannya pada Leon atau Alex, karena mereka berdualah yang mengenal Leia lebih dulu, dan mungkin saja, mereka tahu seperti apa masa lalu Leia.

***
Ayano’s Side
Aku mengikat kimonoku dengan obi[5] berwarna abu-abu dan menyelipkan tali yang biasa kugunakan untuk menaruh kedua pedangku. Setelah aku selesai mengenakan stocking dan geta hitam yang biasa kupakai, aku keluar dari kamar dan menuju ruangan Profesor Diva. Aku mengetuk pintu ruangan itu dan menunggu jawaban dari dalam.
“Masuklah,”
Kubuka pintu itu dan melihat Profesor Diva sedang berkutat dengan berkas di tangannya. Dia duduk di kursi besar di balik meja dan sebelah kakinya diangkat hingga menampakkan kakinya yang jenjang dan putih di balik rok mini ketat yang dipakainya.
“Ah, Ayano,” dia mendongak menatapku dan tersenyum, “Kau ingin menengok kakakmu?”
Aku mengangguk. Ini sudah menjadi semacam kebiasaan bagiku untuk mengunjungi Runa Oneesan sebelum dan sesudah aku bertugas.
“Bisa tinggalkan kami berdua?” tanyaku.
“Tentu. Aku akan ke Room #1 untuk mengambil obat yang akan kau minum malam ini. Obat khusus yang kukatakan padamu tadi siang.” Katanya.
“Baiklah.”
Dia berdiri dari kursinya dan melepas kacamata yang tadi dipakainya untuk membaca. Aku mengawasinya pergi dan baru bergerak setelah pintu kembali ditutup.
Aku memasukkan kata kunci yang biasa kupakai untuk membuka dinding kaca tipis yang membatasi ruang kerja Profesor Diva dengan tempat tidur kakakku. Kulangkahkan kakiku menghampiri tempat tidur Runa Oneesan dan membuka tirainya. Keadaannya masih sama seperti biasanya. Dia masih tidur, dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan terbangun.
Aku lalu duduk di samping kepalanya dan mengelus rambutnya. Aku selalu mengagumi rambut Runa Oneesan yang begitu halus dan lembut sejak pertama kali melihatnya. Aku juga mengagumi wajahnya, dan bulu matanya yang lentik. Runa Oneesan tampak seperti putri yang dikaruniai kecantikan yang tiada tara dan bisa membuat wanita lain iri. Aku tidak tahu apakah aku juga demikian, tapi Profesor Diva bilang kalau wajahku mirip dengan Runa Oneesan. Professor Diva membuatku mempunyai fisik dan wajah yang sama seperti kakakku, dan walau kami berdua sama persis baik dari segi wajah dan fisik, aku selalu merasa Runa Oneesan-lah yang paling cantik.
Oneesan,” aku mencium keningnya dan terus mengelus rambutnya, “Malam ini aku akan bertugas. Malam ini aku akan membunuh orang yang membuatmu menjadi seperti ini.”
“Dan… ketika aku berhasil membunuhnya, aku ingin Oneesan terbangun. Aku ingin sekali mendengar suaramu dan berbicara denganmu, Oneesan.” Kataku.
Aku menghembuskan nafas dan mengecup keningnya lagi. Aku mengerjap-ngerjapkan mata, menahan genangan airmata yang akan jatuh.
Ketika Profesor Diva kembali dengan sebuah kotak persegi panjang di tangannya, aku segera berdiri dan menghampirinya. Ketika aku melewati batas antara tempat tidur kakakku dan ruang kerja Profesor Diva, dinding kaca yang tadinya masuk ke dalam lantai kembali naik dan menutup akses orang lain untuk mencapai tempat tidur tersebut.
“Ini adalah obat terbaru yang kukembangkan. Kubuat khusus hanya untukmu.” Kata Profesor Diva sambil membuka kotak di tangannya dan mengeluarkan sebuah suntikan.
“Kemarikan lehermu.”
Aku menyibak rambutku yang kubiarkan tergerai dan membiarkan Profesor Diva menusukkan jarum suntik itu ke leherku. Ketika obat itu mulai memasuki tubuhku, aku bisa merasakan kekuatan mengalir dalam tubuhku.
“Sudah selesai.” Katanya menyimpan kembali suntikan itu ke dalam kotak. “Obat ini bisa membuatmu bertahan sampai tugasmu selesai malam ini. Jadi, kau tidak perlu khawatir untuk mengamuk sampai puas.”
Aku tersenyum tipis dan memakai sarung tangan dan juga topeng di wajahku. Aku memang selalu mengenakan topeng di setiap bertugas karena menurutku topeng ini akan menyembunyikan segala hal mengenai diriku dari orang lain yang akan menjadi targetku.
“Kalau begitu, aku pergi dulu.”
“Ya, itterashai[6], Ayano.”

***
Rei’s Side
Aku mengenakan jasku dan menatap ke dalam cermin. Sudah lama sekali aku tidak mengenakan seragam ini, dan aku mengeluh dalam hati karena aku tampak tenggelam dalam pakaianku sendiri. Sepertinya aku jadi lebih kurus setelah selama tiga bulan berada di rumah sakit.
Aku menghela nafas dan mengenakan sabuk senjataku. Setelah memastikan semua lampu di apartemenku mati, aku keluar dari apartemen dan langsung menuju lobi, di mana Leon, Alex, dan Leia menungguku.
Ketika pintu lift terbuka, aku melihat mereka bertiga sudah menunggu di lobi dan Leon yang melihatku pertama kali.
“Maaf membuat kalian menunggu. Aku harus membiasakan diri untuk tidak tampak tenggelam dalam pakaianku sendiri.” kataku.
“Ya… kau memang kelihatan lebih kurus daripada tiga bulan lalu. Tapi, toh pakaianmu masih cukup muat untuk badanmu, kan?” kata Leon sambil nyengir.
Aku hanya memberinya tatapan membunuh yang bisa membuatnya mengkeret dalam sekejap. Sayangnya itu hanya harapan belaka, karena Leon hanya tertawa dan bukannya mengkeret ketakutan.
“Sudahlah, kalian jangan bertengkar.” Kata Alex menengahi, “Ayo kita berangkat.”
Kami berempat menuju mobil yang sudah menunggu di depan apartemen. Aku duduk di belakang bersama Leon dan membiarkan Leia dan Alex mengisi tempat di depan. Lagipula Alex yang menyetir dan Leia melakukan pencarian navigasi dari alat-alat serta GPS yang dipasang pada mobil ini.
Selama di perjalanan, aku masih memikirkan pembicaraan Leia dengan seseorang di teleponnya.
“Leon,”
“Apa?”
“Leia itu… dulunya seperti apa, sih?” tanyaku. “Maksudku, kamu dan Alex mengenalnya lebih dulu, kan?”
“Hmm… sebenarnya aku juga baru masuk saat Leia menjadi anggota senior.” Kata Leon. “Alex yang lebih tahu soal Leia. Memangnya kenapa?”
“Tidak… aku hanya ingin bertanya saja.” kataku, “Ngomong-ngomong, apa kamu tahu warna asli rambut Leia apa?”
“Aku tidak tahu pasti, tapi kata orang yang pernah melihatnya, warna asli rambutnya berwarna keperakan.”
“Keperakan?”
“Ya. Dan warna matanya berwarna biru sepertimu.”
Aku termenung mendengar jawaban Leon. Jadi… rambut Leia sebenarnya berwarna keperakan? Aku baru tahu…
“Lalu, kenapa dia sering menggonta-ganti warna rambutnya?” tanyaku lagi.
“Entahlah,” Leon mengedikkan bahu, “Kamu kenapa bertanya soal itu, sih? Kamu mulai suka dengan Leia? Jangan-jangan… kamu penyuka wanita tua, ya? Mau menjadikan Leia sebagai targetmu?”
“Enak saja!”
Leon tertawa melihat reaksiku.
“Apa yang sedang kalian bicarakan di belakang sana?” tanya Leia tanpa mengalihkan perhatiannya dari alat navigasi di hadapannya.
“Bukan sesuatu yang penting.” Kataku sambil mendelik sebal pada Leon yang masih tertawa.
“Leon, tolong jangan menggoda Rei. Kita sedang bertugas di sini.” ujar Alex. “Heran deh, belakangan ini kamu sering sekali menggoda Rei.”
“Karena dia terluka parah dan harus dirawat di rumah sakit, aku tidak punya kesempatan untuk meledeknya di tempat kerja.” Jawab Leon spontan.
“Oh, pantas saja kau sering ke rumah sakit. Rupanya untuk meledekku.” Kataku.
Leon kembali tertawa.
“Sudah, sudah. Kalian berdua ini selalu saja ribut. Lama-lama kalian mirip kucing dan anjing saja!” kata Leia lagi.
Kami berdua lalu sama-sama diam. Tapi, aku masih memikirkan ucapan Leon tadi soal warna asli rambut Leia. Memang tidak ada hubungannya sih. Hanya penasaran kenapa Leia menyembunyikan warna asli rambutnya.
Memang warna rambut yang keperakan sangat jarang di Edenia. Tapi…
Ah, kalau kupikirkan lagi malah membuatku tambah pusing.
Bunyi alarm peringatan pada alat navigasi mobil membuat kami berempat langsung terduduk tegak. Leia menekan tombol untuk memperlihatkan di mana letak tanda peringatan itu dikirimkan.
“Distrik Tiga, Four Street.” Kata Leia, “Itu tidak jauh dari tempat kita sekarang.”
“Apa ada laporan lain?”
Oni-hime,” kata Leia lagi, “Claydoll itulah yang menyerang daerah Four Street.”

***
Ayano’s Side
Aku menyerang anggota Raven yang berdiri di hadapanku dan tidak memberikannya kesempatan untuk bernafas. Aku juga melakukan hal yang sama pada yang lain yang kutemui. Bau darah yang menyengat dan asap yang membumbung tinggi membuatku tertawa dan menginginkan lebih banyak darah di mana-mana.
“Kalian lemah!!” kataku sambil tertawa dan kembali menyerang.
Aku tidak memperdulikan darah yang menciprati tubuh dan pakaianku ketika aku menyerang orang-orang di hadapanku. Justru aku memerlukannya karena aku menyukai warna merah yang mengalir dari tubuh tak bernyawa mereka.
“Ahahaha!!!”
“Itu di sana!”
Aku menoleh kearah para anggota Raven lain yang baru datang dan tersenyum lebar. Mangsa baru.
“Bunuh dia!”
Mereka semua menyerangku secara bersamaan, namun aku segera melompat menghindari sabetan pedang yang ditujukan kearahku. Kuhindari semua peluru yang mengarah ke tubuhku dengan mudah dan menyabetkan kedua katana-ku pada mereka. Darah yang menyembur dari tubuh mereka yang terluka membuatku kembali tertawa.
“Ah… kalian terlalu lemah. Tidak menarik.” Aku menatap tubuh mereka yang terluka dan kebanyakan sudah tidak bernyawa.
Aku mengayunkan pedangku tanpa melihat ke belakang kearah seorang anggota Raven yang kelihatannya ingin menyerangku secara diam-diam. Aku menatap datar kearah tubuhnya yang jatuh dan membasahi tanah dengan warna merah darahnya.
“Aku ingin mainan yang lebih menarik dan lebih kuat…” kataku, “Tidak adakah diantara kalian yang cukup kuat untuk bermain denganku? Membosankan sekali…”
Aku berjalan melewati mayat-mayat yang bertebaran di sekitarku. Tidak menarik. Aku belum bertemu dengan Kujo Rei, dan aku belum puas mengayunkan senjataku sampai pagi menjelang. Aku ingin membunuh Kujo Rei.
Aku ingin… aku ingin… membunuhnya.
Aku mengayunkan kedua katana-ku pada setiap Raven yang berusaha menghalangiku.
“Membosankan… membosankan…”
Seberkas cahaya menyilaukan datang dari arah berlawanan. Aku memicingkan mata melihat sebuah mobil berhenti beberapa meter di hadapanku. Dari dalam mobil itu keluar empat orang anggota Raven, dan sekilas aku melihat warna keperakan diantara mereka.
Senyumku bertambah lebar ketika aku menyadari siapa pemilik warna keperakan itu. Seorang pemuda berambut putih perak yang kucari-cari.
Mitsuketa…[7]


[1] Aku pulang.
[2] Selamat datang
[3] Dalam bahasa Indonesia artinya adalah tahu, makanan tradisional yang berasal dari Indonesia yang sangat terkenal selain tempe.
[4] Ayam goreng
[5] Ikat pinggang yang biasa dikenakan dengan yukata atau kimono.
[6] Hati-hati, bisa juga ‘selamat jalan’.
[7] Ketemu…

0 komentar:

Posting Komentar