Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Unmei Gokko - Chapter 2



Sakura berjalan pelan menyusuri jalan setapak menuju tempat persembunyiannya sambil sesekali memeriksa jebakan dan juga ranjau yang dia pasang di sekitar jalan setapak tersebut. Gadis itu hafal letak-letak jebakan dan ranjau yang dibuatnya dan dia selalu memeriksa dengan teliti apakah ranjau itu dirusak atau mengenai hewan tidak bersalah yang memang hidup di dekat hutan di dekat sana.

Setelah memastikan semuanya dalam keadaan sempurna, Sakura melompat ke sebuah cabang pohon besar dan melompati setiap cabang pohon yang ditemuinya. Caranya melompati cabang-cabang pohon itu layaknya ninja. Ia juga bergerak sangat cepat dan hanya dalam beberapa menit dia sudah sampai di depan sebuah rumah kayu berlantai dua.
Rumah itu tampak teduh dengan banyaknya kaca yang menghiasi dan juga tanaman-tanaman bunga yang ada di depannya. Dan tempat itu juga berada di tengah-tengah hutan. Walau tidak semua orang tahu ada rumah seperti itu di dalam hutan, namun Sakura bersyukur dia mendapatkan rumah ini ketika mencari tempat persembunyian.
Sakura berjalan menuju pintu dan membukanya. Ia menutup pintu di belakang punggungnya dan menghembuskan nafas. Ditatapnya suasana rumah itu yang gelap dan sepi sambil mengerutkan kening.
“Aku pulang.” kata gadis itu lirih.
Ia melepas sepatu bootnya dan berjalan menuju ruang tamu. Sakura menyalakan lampu dan melihat perabotan serba putih mulai dari sofa, karpet, dan juga televisi lengkap dengan peralatan sound system yang juga berwarna putih. Kontras dengan lantai kayu yang berwarna coklat muda.
Sakura menghempaskan tubuhnya di sofa dan melepas stocking dari kedua kakinya. Dia menatap langit-langit ruang tamu yang dihiasi lampu berwarna putih dan sekali lagi menghela nafas.
Kelelahan menggelayut di tubuhnya. Selalu begini setiap kali dia keluar saat permainan Shigi dimulai. Sakura tahu kelelahan yang selalu dia dapat ini berasal dari kekuatan Sacrel yang ada di dalam tubuhnya, tapi dia juga tahu, kelelahan ini bukan hanya karena kekuatan tersebut.
Cahaya-cahaya beterbangan di sekelilingnya dan Sakura menatap mereka. Sebenarnya mereka cahaya yang sangat indah. Dulu dia selalu melihat cahaya-cahaya seperti ini di dalam mimpinya. Cahaya-cahaya itu selalu menemani tidurnya…
… tapi sekarang dia tidak terlalu menyukai cahaya-cahaya itu. Tidak setelah kejadian tiga tahun lalu yang nyaris merenggut nyawanya sekali lagi.
Dia lalu berdiri dan masuk ke kamarnya. Menghampiri lemari dan menanggalkan semua pakaiannya, ia mengambil sebuah kimono putih dan mengenakannya. Setelah mengikat kimono itu dengan obi tipis, Sakura berbaring di tempat tidurnya dan memejamkan mata.
Besok aku harus bisa membunuh mereka semua. Katanya dalam hati, Tidak peduli cahaya-cahaya itu melarangnya. Aku akan membunuh mereka semua, terutama pemuda itu…
Sakura teringat wajah pemuda yang menurutnya cukup menarik itu. Dengan rambut coklat yang tampak lembut dan juga mata sewarna zamrud… sekali lihat, dia tahu pemuda itu tampan. Sangat-sangat tampan. Dan entah kenapa ketika dia bertatapan dengan pemuda itu, dia merasakan sesuatu seakan menghantam dadanya. Sebuah perasaan untuk berlari kearahnya dan menangis.
“Pikiran bodoh…” katanya sambil membuka matanya.
Sakura menatap tangannya dan mencengkeramnya erat-erat. Dia tidak boleh membiarkan perasaannya mengambil alih pikirannya. Selama ini Sakura berpegang pada keyakinan bahwa tidak ada yang boleh dan bisa membuat perasaannya kacau dan menghancurkan kehidupannya. Sakura memegang keyakinan itu sejak dia kehilangan segalanya tiga tahun lalu dan untuk hal ini, dia berterima kasih pada permainan Shigi yang membuatnya kehilangan apa yang dia sebut ‘berharga’.
Namun…
Kenapa pikirannya tidak pernah bisa lepas dari pemuda berambut coklat itu?
“Pemuda itu… dia pasti memiliki sesuatu.” Kata Sakura, “Aku tidak mungkin seperti ini hanya karena pemuda itu. Aku yakin dia memiliki sesuatu… Sesuatu yang membuatku selalu memikirkannya.”
Sakura memeluk bantalnya dan memejamkan mata sekali lagi. Dia harus beristirahat malam ini kalau tidak mau terlambat untuk melakukan aktivitasnya besok pagi sebagai remaja biasa yang bersekolah.
Urusan permainan Shigi bisa dipikirkannya nanti. Untuk saat ini dia harus beristirahat dan menyingkirkan rasa lelah di tubuhnya.

----------

Minato masuk ke dalam sebuah ruangan yang dipenuhi layar komputer yang tertanam di seluruh penjuru dinding. Di tengah-tengah ruangan terdapat meja yang menjadi control panel bagi semua layar monitor tersebut. Seorang wanita dengan potongan rambut seperti laki-laki sedang berkutat dengan keyboard di hadapannya dan sesekali mengerutkan kening pada layar virtual di hadapannya.
“Mayumi,”
Wanita bernama Nakajima Mayumi itu mendongak dan tersenyum melihat Minato. Ia berdiri dan melepas kacamata baca yang dipakainya.
“Kurasa kau membawa laporan yang tidak terlalu menyenangkan. Aku benar, kan?” kata Mayumi sambil tersenyum.
Minato tidak menjawab dan lebih memilih duduk di kursi di seberang control panel.
“Bagaimana permainan hari ini?” tanya Mayumi lagi sambil menyiapkan tape recorder dan menekan tombol untuk merekam laporan hari ini.
“Membosankan seperti biasa.” kata Minato.
“Hee… kukira kau suka dengan kelompok Kurome. Kau tahu, mereka kuat, karena mendapatkan kekuatan Genbu si Kura-kura Hitam? Mereka kuat, tentu saja, dan sesuai yang ada dalam database Shigi.”
“Mereka memang kuat. Tapi, tidak sekuat yang kuduga.”
“Jadi mereka kalah?”
“Tentu saja. Tapi sayangnya bukan kalah karena kami mengalahkan mereka. Yang mengalahkan mereka adalah orang lain.”
“Orang lain?”
“Seorang Miko mengalahkan mereka.”
“Miko? Bukankah Miko adalah pengawas permainan?” tanya Mayumi bingung. “Sama sepertiku yang menjadi pengawas bagi kelompok Phoenix, dan juga pengawas tiga kelompok lainnya.”
“Memang Miko yang mengalahkan mereka. Dan Miko ini… aku tidak tahu harus menyebutnya apa. Tapi dia tampaknya tidak menyukai statusnya sebagai seorang Miko. Dia bahkan hendak membunuhku dan yang lain kalau saja cahaya-cahaya yang biasa berada di sekitar seorang Miko tidak menghentikannya.”
“Hmmm…” Mayumi menumpukan kedua tangannya di atas meja, “Kau tahu siapa Miko ini? Namanya? Rupanya?”
“Dia bilang namanya Sakura, dan dia… aku tidak melihat dengan jelas seperti apa wajahnya.” Kata Minato.
“Hmm… tunggu sebentar.”
Mayumi menghadap meja lagi dan mengetikkan beberapa perintah ke komputer virtualnya. Beberapa saat kemudian dia mengerutkan kening sambil menatap layar monitor.
“Kau menemukan sesuatu?” tanya Minato.
“Kau bilang Miko itu bernama Sakura, kan?” kata Mayumi, yang disambut anggukan dari pemuda itu.
“Memang Miko kali ini bernama Sakura, dan itu hanya alias.” Ujar Mayumi, “Nama aslinya tidak diketahui, tapi dia memiliki kekuatan Miko yang lebih besar ketimbang Miko-Miko sebelumnya. Dan di sini disebutkan… dia tidak dianggap sebagai Miko yang sah. Namun karena kekuatan Miko masih ada padanya selama dia masih hidup, dia tetap menyandang status sebagai Miko.”
“Begitu…”
“Di sini juga disebutkan dia adalah seorang Hycanthia.” Kata Mayumi lagi.
“Ap—Hycanthia?”
“Ya. Dia seorang Hycanthia. Dan sekarang dia menjadi Miko. Kekuatannya jadi jauh lebih besar daripada sebelumnya.”
“Tunggu, tunggu… kalau dia seorang Hycanthia, itu artinya dia dulunya Senshu, kan?”
“Di sini tidak disebutkan kalau dia dulunya seorang Senshu. Seorang Hycanthia tidak harus seorang Senshu. Ada beberapa kejadian di mana seorang Hycanthia dulunya adalah manusia biasa yang kemudian mendapatkan kekuatan Miko secara tidak sengaja. Sacrel adalah kekuatan yang sangat besar. Kekuatan itu juga nyaris setara dengan master permainan Shigi sendiri. Mungkin saja dia mendapatkan kekuatannya sebagai seorang Hycanthia dari sang master sendiri, kan?”
“Oh…” Minato manggut-manggut.
“Yah, daripada itu… kalian berhasil mengalahkan kelompok Kurome malam ini, walau secara tidak langsung.” ujar Mayumi, “Tapi kuharap kamu dan teman-temanmu lebih berhati-hati jika bertemu Miko ini. Aku merasa dia sangat… berbahaya.”
“Seorang Miko apalagi dia adalah Hycanthia, sudah tentu sangat berbahaya.” Kata Minato.
“Kau paham hal itu.” Mayumi tersenyum, “Jadi, inti dari laporanmu hari ini adalah: Kalian berhasil mengalahkan Kelompok Kurome, walau itu terjadi secara tidak langsung. Sepertinya kalian harus berterima kasih pada Miko itu karena ‘membantu’ kalian mengalahkan mereka.”
“Kalau dia melakukannya tanpa ancaman akan membunuh kami jika bertemu lagi, mungkin aku akan menyampaikan rasa terima kasihku padanya.”
Mayumi tertawa mendengarnya dan mematikan tape recorder. Dia mengambil kaset yang merekam laporan Minato dan menyimpannya di salah satu berkasnya.
“Oke. Kau bisa pulang dan beristirahat sekarang. Besok pagi kau pergi ke sekolah, kan?”
“Sebenarnya aku membenci sekolah.” Kata Minato, “Tapi demi penyamaran, aku harus melakukannya.”
“Walau kalian adalah Senshu, tapi kalian tidak diperbolehkan meninggalkan kehidupan lama kalian sebelum menjadi Senshu.” Ujar Mayumi, “Tidak ada bedanya seperti idol group atau penyanyi yang bekerja sambil sekolah.”
“Iya, iya…” Minato mengangguk, “Ah ya, Mayumi, aku bisa memintamu mencari data mengenai Sakura?”
“Miko itu? Untuk apa?”
“Ada sesuatu… yang perlu kuselidiki.” Ujar Minato, “Bisakah kau mencarikannya untukku? Sebanyak yang kau bisa, dan aku akan melakukan satu permintaan yang kamu minta.”
“Hmm… bolehlah. Kau akan melakukan satu permintaanku, kan? Itu cukup adil.” Kata Mayumi, “Aku akan mencarikannya untukmu. Paling lama besok malam sudah kudapatkan.”
“Bagus. Kalau begitu aku pulang dulu.”
“Ya. Hati-hati di jalan, Minato. Jangan sampai kamu tidak pulang ke apartemenmu dan pergi ke Midgard lagi.”
Minato hanya diam mendengar ucapan Mayumi.
“Kenapa kamu tahu aku selalu ke sana?” tanya pemuda itu.
“Ayolah… aku sudah mengenalmu sejak kamu masih anak-anak. Sudah tentu aku tahu apa saja yang akan dan sudah kamu lakukan.” kata Mayumi,
“Lama-lama kau jadi mirip ibu-ibu yang khawatir dengan anak-anaknya.”
“Terima kasih atas pujiannya.” Balas Mayumi.
“Itu bukan pujian.” Ujar Minato, “Aku pulang dulu. Dan jangan lupa pesananku.”
“Tentu.”
Minato keluar dari ruangan Mayumi dan berjalan menelusuri koridor hingga sampai ke pintu keluar.
Di luar, Minato disambut pemandangan padang ilalang yang disinari cahaya bulan. Sekarang sudah tengah malam. Mungkin pukul satu malam. Cahaya di tempat itu tidak terlalu memadai dan hanya bulan yang menjadi penerangan bagi Minato untuk melewati padang ilalang itu dan sampai ke pinggir kota. Dan setelah itu dia juga harus berjalan untuk bisa sampai ke apartemennya.
Minato menghembuskan nafas. Dia kembali teringat pada Sakura.
Aneh sekali. Dia tidak bisa berhenti memikirkan Sakura, terutama wajahnya… bola matanya…
“Keiko…” Minato menggumamkan nama yang selalu dirindukannya itu.
Minato cukup yakin Sakura adalah Keiko, teman masa kecilnya yang dulu diculik oleh salah satu kelompok Senshu. Minato sangat mengenal bola mata Keiko dan juga wajahnya yang tampak seperti boneka, yang juga terdapat pada Sakura. Dan Minato berasumsi bahwa Sakura adalah Keiko.
Tapi bagaimana bisa gadis itu tidak mengenalinya setelah sepuluh tahun? Kenapa Keiko malah menyerangnya dan berkata akan membunuhnya?
Minato tidak mengerti. Pasti terjadi sesuatu pada Keiko ketika dia diculik sepuluh tahun lalu.
“Aku akan mencari tahu.” kata Minato, “Aku akan mencari tahu apa yang terjadi padanya, dan akan kupastikan kali ini aku akan menyelamatkannya.”

****

Sakura terbangun dan langsung terduduk tegak setelah mendapatkan mimpi buruk. Gadis itu menatap sekelilingnya dan menghembuskan nafas mengetahui tidak ada siapa-siapa di sana kecuali dirinya. Suara burung hantu yang beruhu-uhu riang di hutan tidak termasuk hitungan.
Sakura turun dari tempat tidurnya dan berjalan menuju dapur. Ia membuka kulkas dan mengambil sebotol air. Ditenggaknya air itu langsung dari botolnya, merasakan cairan dingin itu mengalir melewati tenggorokannya.
“Huft…”
Sakura meletakkan kembali botol yang isinya tinggal setengah itu ke dalam kulkas dan melirik kearah jam di dinding. Baru pukul tiga pagi. Itu artinya dia hanya tertidur dua jam saja.
“Lagi-lagi…”
Sakura menghembuskan nafas dan berjalan kembali ke kamarnya. Ia baru menutup pintu ketika dia merasakan kehadiran seseorang di kamarnya. Dia berputar dan melihat sekelilingnya. Tidak ada siapa-siapa, tapi dia tahu ada orang lain selain dirinya di tempat itu.
Dia harus memikirkan matang-matang untuk menyerang penyusup ini. Dan walau tidak memegang senjata, dia bisa melumpuhkan lawannya.
Sakura baru akan berpura-pura berjalan kearah tempat tidurnya ketika sepasang tangan menyergapnya dari belakang dan mengagetkannya. Secara refleks, ia menghentikan kedua tangan yang hendak menyergapnya dan membanting si pemilik tangan ke lantai.
Tapi, dia tidak bisa melakukannya ketika tangan itu sudah lebih dulu memiting kedua lengannya dan membantingnya ke sisi tempat tidur.
“Akh!!”
“Rupanya kau bersembunyi di sini. Agak susah mencarimu karena kau selalu menyembunyikan auramu ketika aku berusaha melacakmu.”
Sakura mengerjapkan mata dan wajahnya berubah pucat seketika mendengar suara itu.
Suara itu… suara yang selalu menghiasi mimpi buruknya…
“Hm? Kenapa kau diam, Sakura?”
“Tinggalkan aku sendiri.” kata Sakura balik tanpa memandang orang yang memitingnya.
“Aku tidak mungkin bisa melakukannya. Terutama karena aku sudah mencarimu selama tiga tahun, Sakura.” Ujar orang itu berbicara tepat di telinga Sakura.
Sakura bergidik dan menjauhkan telinganya dari jangkauan orang itu. Orang yang menjadi penyebab utama mimpi buruknya, orang yang membuatnya merasakan kematian untuk kedua kalinya…
… dan juga orang yang sangat menakutkan baginya.
Pitingan di tangannya terlepas, namun Sakura tidak sempat menarik nafas lega dan menyerang balik ketika tubuhnya dibalikkan dan matanya dipaksa menatap wajah si pemilik tangan yang memitingnya.
“Tatap aku, Sakura. Jangan mengalihkan wajahmu seperti itu.”
“Aku tidak sudi menatapmu. Lebih baik aku menatap sampah tidak berguna dibandingkan wajahmu.”
“Masih dingin seperti dulu rupanya.”
Sakura meringis ketika wajahnya dicengkeram dan dia menatap marah pada orang yang menyakitinya. Mata gadis itu tampak dipenuhi api yang begitu membara.
“Aku suka tatapan matamu. Dingin dan seperti gunung es di lautan.”
“Apa maumu, Manami? Bukankah dulu aku pernah bilang padamu untuk tidak pernah mencariku dan melibatkanmu pada permainan licikmu lagi?”
“Tapi sayangnya kau tetap terlibat, Manis.” ujar Manami sambil tersenyum kecil. “Ah… aku merindukan suaramu. Apakah ini yang disebut cinta?”
“Menjijikkan. Lepaskan tanganmu dari wajahku dan menjauh dariku, Manami!”
“Kalau aku tidak mau?”
“Aku akan memaksamu.”
Sakura menendang perut Manami dan membuat pemuda itu mundur. Dengan cepat Sakura berdiri dan menjauh dari Manami. Matanya terus menatap tajam pemuda itu, yang sekarang sedang menatapnya sambil tertawa.
“Kau masih manis, galak, dan selalu waspada. Benar-benar tidak berubah.” Ujar Manami, “Rupanya kedatanganku kemari tidak disambut dengan baik.”
“Darimana kamu tahu aku ada di sini?”
“Aku selalu tahu di mana kau berada, Manis. Selama ini aku mencarimu. Sedikit sulit karena kau ternyata menyembunyikan aura kekuatanmu.” Kata Manami, “Aku sangat menyesali tindakanmu yang membunuhi Senshu. Kenapa kau membunuh mereka?”
“Itu alasan yang membuatku masih hidup sampai saat ini. Apa itu masalah bagimu?”
“Jelas itu masalah, Beauty. Kau seharusnya menggunakan kekuatan yang kau dapatkan itu sebaik mungkin. Bukannya menolaknya dan lebih memilih menggunakan kekuatan lain yang ada di dalam tubuhmu. Itu sama saja dengan bunuh diri.”
“Atas dasar apa kamu peduli padaku? Aku tidak pernah menyangka sang master permainan Shigi mengkhawatirkanku.” Balas Sakura.
Manami menaikkan sebelah alisnya dan tersenyum kecil. Dia mendekati Sakura dan sebelum gadis itu sempat bertindak, ia segera menarik gadis itu mendekatinya dan menahan kedua tangannya.
“Jika aku mau, Beauty, aku bisa membunuhmu di sini sekarang. Tapi aku tidak melakukannya. Kenapa? Karena kau berharga.”
“Aku benci menjadi berharga. Kenapa kau tidak membunuhku saja?”
“Aku tidak bisa, sayang sekali aku tidak berniat membunuhmu walau kau sering sekali membangkang dari semua perintah dan peraturan dari permainan ini…” Manami melirik kimono putih Sakura yang sedikit tersingkap, “… tapi jika kau memohon, aku akan melupakan masalah ini dan kembali dengan tenang ke ‘istana’ku.”
Sakura menggeram marah dan menyentak kedua tangan Manami yang mengurung kedua tangannya.
“Jangan mimpi.”
“Oh, aku memang sedang bermimpi, Beauty. Aku selalu bermimpi tentangmu.”
“Aku lebih baik mati daripada muncul dalam mimpimu.”
“Tapi sayang sekali kau tidak bisa mati.”
Ucapan itu membuat Sakura terdiam. Dia lagi-lagi menatap Manami dengan mata disipitkan.
“Sekali lagi kutanyakan, kenapa kau ada di sini, dan apa maumu?”
“Mauku? Bertemu denganmu, tentu saja. Dan juga memintamu untuk tidak membunuhi Senshu lagi. Keseimbangan permainan ini akan semakin goyah jika kau terus membunuh mereka.” kata Manami, “Serius deh, apa kau tidak bisa  menggunakan kekuatanmu itu untuk mengawasi dan menjadi perantara bagi mereka dan aku?”
“Aku tidak sudi.”
“Kau harus, Beauty. Kalau tidak aku akan memaksamu untuk ikut denganku.”
“Aku tidak takut dengan ancamanmu.”
“Kau…” Manami tampak kehabisan kata-kata dan dia menghembuskan nafas, “Aku tidak tahu lagi apa yang harus kukatakan padamu. Tapi aku kemari hanya untuk memperingatkanmu.”
“Memperingatkanku?”
“Jangan berhubungan lagi dengan Senshu, terutama dari Kelompok Phoenix.” Kata Manami.
“Memangnya kenapa? Satu-satunya hubunganku dengan mereka adalah aku akan membunuh mereka jika bertemu. Itu tidak termasuk sebagai hubungan, kan?”
“Apa pun yang terjadi, jangan pernah berhubungan dengan mereka.” Manami kali ini menaikkan nada suaranya, “Kau mengerti? Jangan berhubungan dengan mereka dan jangan pernah sekalipun mencoba membunuh mereka.”
“Aku tidak akan melakukannya.” balas Sakura, “Sekarang pergilah dari sini sebelum aku menusuk jantungmu dengan senjataku.”
Manami melirik sai yang ada di dekat tempat tidur Sakura dan mengedikkan bahu.
“Baiklah, aku tidak akan memaksamu. Tapi kau harus ingat kalau aku akan terus mengawasimu mulai dari sekarang.”
Sakura hanya diam. Dia memperhatikan Manami yang keluar dari jendela kamarnya dan menghilang dalam kegelapan malam.
Setelah yakin Manami sudah tidak ada di sekitar rumahnya, Sakura segera menutup jendela dan menarik nafas lega.
“Orang itu… dia benar-benat bisa tahu di mana aku bersembunyi.” Sakura tertawa kecil, “Dia memang tidak bisa dianggap remeh.”
Ia berjalan menjauh dari jendela dan duduk di tepi ranjang. Matanya menatap lurus langit yang masih gelap. Sakura kemudian merasakan cahaya-cahaya yang biasa mengelilinginya muncul.
… Master menemukanmu… tidak bisa lari lagi…
… patuhi perintahnya, patuhi segala hal yang diucapkannya…
… seorang Miko tidak diperbolehkan membunuh Senshu seenaknya…
… jangan membunuh…
“Berisik.” Kata Sakura, “Kalian tidak tahu apa alasanku membunuh mereka semua. Kalian tidak akan pernah bisa mengerti karena kalian hanya jiwa orang-orang mati!”
Sakura menggunakan kekuatannya untuk menyuruh cahaya-cahaya itu pergi. Dia tidak peduli kalau dia akan terus kelelahan dan mungkin akan pingsan di sekolah. Tapi dia tidak ingin mendengar suara dari cahaya-cahaya itu. Dia tidak ingin mendengarnya.
Dia tidak mau semua yang ada di sekitarnya menghalangi niatnya.
Sakura, jadilah gadis yang baik. Kekuatanmu adalah berkah, dan kamu harus menjaga dan menggunakannya sebaik mungkin…
“Tidak.” kata Sakura ketika mengingat kalimat yang pernah diucapkan padanya dulu, “Kekuatanku ini adalah kutukan, dan aku berniat untuk mengakhirnya dengan tanganku sendiri.”
Gadis itu jatuh tertidur setelah selama lebih dari setengah jam berusaha menyingkirkan cahaya-cahaya yang mengelilinginya.

****

Minato menguap dan berjalan pelan menyusuri jalan menuju sekolahnya, SMA Haruma. Pemuda itu memasang tampang bosan sambil memperhatikan beberapa teman sekolahnya berjalan melewatinya.
Minato menghembuskan nafas dan memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Kalau saja memungkinkan, dia pasti akan mencoba bolos sekolah hari ini.
Tapi tentu saja itu tidak bisa dilakukan, mengingat Mayumi yang mendaftarkannya ke sekolah, dan sebagai ungkapan terima kasih, Minato harus mau bersekolah setidaknya sampai dia cukup umur untuk mewarisi harta dan juga uang yang diwariskan keluarga kandungnya sebelum diangkat anak oleh Mayumi sepuluh tahun yang lalu. Wanita yang juga pengawas bagi Kelompok Phoenix itu memang ibu angkatnya, dan walau interaksinya dengan Mayumi lebih mirip seperti rekan kerja, Minato tetap menghormatinya sebagai orangtua yang bersusah payah merawatnya.
Tengah Minato melamun sambil berjalan, seseorang tiba-tiba datang dari arah berlawanan dan tidak sengaja menabraknya dengan cukup keras. Baik Minato dan si penabrak sama-sama terjatuh.
“Aduduh…”
Minato mendongak dan menatap orang yang menabraknya. Seorang gadis yang memakai seragam sekolah yang sama dengannya.
Gadis itu mendongak tepat ketika Minato hendak bertanya apakah dia baik-baik saja. Namun bibir Minato tidak mengeluarkan sepatah kata pun melihat wajah si gadis.
“Sakura?”
“Kau…?”

----------

Sakura tidak tahu apakah ini semacam kesialan atau bukan. Pagi ini dia nyaris bangun terlambat dan buru-buru mempersiapkan diri di rumah. Ketika dia mencoba keluar dari hutan, dia tidak sengaja membuat seekor kelinci hutan terluka dan Sakura tidak punya pilihan lain selain merawat kelinci itu terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah.
Dan sekarang dia bertabrakan dengan seseorang, lebih parah lagi, yang ditabraknya adalah pemuda yang kemarin diancam akan dia bunuh. Pemuda berambut coklat yang kemarin dia temui, Senshu dari Kelompok Phoenix.
Sakura cepat-cepat berdiri dan mengulurkan tangannya pada pemuda itu, yang dibalas dengan kerutan di kening pemuda itu.
“Apa? Kamu tidak mau berdiri dan menghalangi jalan orang lain?” kata gadis itu.
Minato buru-buru meraih tangan Sakura dan berdiri. Ditatapnya gadis itu dan mengerutkan kening melihat seragam sekolah yang dikenakan gadis itu.
“Kau… bersekolah di SMA Haruma juga?”
“Kalau iya memangnya kenapa?” tanya Sakura balik.
“Aku tidak pernah melihatmu sebelumnya.” kata Minato. Dia memang hafal semua wajah murid-murid SMA Haruma yang ditemuinya dan juga yang dikenalnya.
“Aku baru dipindahkan ke SMA itu beberapa bulan lalu.” kata Sakura. “Dan ini tidak ada hubungannya dengan peranku sebagai Miko dalam permainan Shigi.”
“Aku tidak mengatakan seperti itu.” ujar Minato.
“Begitu…”
Sakura berbalik dan hendak berjalan ketika tangannya tiba-tiba digenggam dan membuat gadis itu menoleh kearah Minato, yang menatap tangannya.
“Lepaskan tanganku.” Kata Sakura dingin, “Aku tidak akan segan-segan melumpuhkanmu walau saat ini bukan waktu permainan.”
“Aku akan melepaskannya, tapi aku punya satu pertanyaan.”
“Tanyakan saja sekarang.”
“Apa… darimana kau mendapat bekas luka ini?”
Sakura melirik tangannya yang digenggam pemuda itu, tepat kearah bekas luka bakar yang berbentuk seperti sayatan pedang di punggung telapak tangannya. Bekas luka itu sebenarnya sudah ada sejak lama di tangannya, tapi Sakura tidak ingat kapan dan di mana dia pernah mendapatkan bekas luka seperti itu.
“Aku terluka saat menggunakan pisau dapur.” kata Sakura sambil melepaskan tangannya dari Minato.”
“Pisau dapur?”
“Ya. Kamu tidak percaya? Apa seorang Senshu sepertimu tidak percaya pada ucapan seorang Miko padahal kemarin malam kamu tertarik pada nyanyianku?”
“Aku tidak pernah merasa tertarik oleh nyanyianmu.”
“Kalau tidak mau mengaku juga tidak apa-apa.” balas Sakura. “Sampai jumpa nanti malam.”
“Tunggu!”
“Apa lagi?”
“Siapa… siapa namamu?”
“Namaku Sakura. Bukankah aku sudah mengatakannya padamu?”
“Apa namamu benar-benar Sakura?” tanya Minato.
“Sebenarnya aku ingin bilang tidak, tapi Sakura memang namaku. Aku berbohong kemarin, kamu puas?.” Kali ini Sakura merasa tersinggung, “Dan kamu sendiri, apa kamu yakin kalau nama yang kamu sandang sekarang adalah namamu yang sebenarnya?”
“Tentu saja nama yang kusandang sekarang ini adalah namaku yang asli.” Balas Minato.
“Oh ya? Memangnya namamu siapa?”
“Minato. Namaku Kurogane Minato.”
Sakura mengerjapkan mata mendengarnya. Sebuah perasaan asing menyentak dadanya ketika dia mendengar nama lengkap Minato. Tapi dia berusaha untuk tidak terlihat kaget di hadapan pemuda itu.
“Oh.” kata Sakura, “Nama yang bagus. Kalau begitu, sampai nanti.”
“Ah, tunggu—”
Sakura cepat-cepat berbalik dan meninggalkan Minato. Gadis itu berjalan cepat dan berusaha mengusir perasaan asing yang menggelayut di dadanya.
Apa-apaan ini? Kenapa tiba-tiba perasaanku seperti ini?

----------

Walau tidak terlalu kentara, Minato tahu gadis itu terkejut mendengar namanya. Mungkin tidak terlalu, tapi Minato tahu ekspresi di wajah Sakura tadi.
“Dia benar-benar tidak ingat denganku, tapi… ekspresi wajahnya barusan…”
Minato menatap punggung Sakura yang berjalan menjauh. Dia tidak sengaja melihat punggung tangan kanan Sakura yang menampakkan bekas luka. Minato tidak pernah melihat bekas luka seperti itu sebelumnya. Sakura mungkin bisa berbohong, tapi Minato bisa membedakan mana bekas luka bakar dan bekas luka sayatan. Dan bekas luka di punggung tangan gadis itu jelas bukan bekas luka karena kena sayatan apalagi sayatan pisau dapur.
Minato kembali berjalan dan berusaha untuk sampai ke sekolah secepatnya karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi, dan juga…
… dia mungkin bisa mendapatkan sedikit informasi mengenai Sakura di sekolahnya. Gadis itu bilang dia satu sekolah dengannya, kan?

0 komentar:

Posting Komentar