Sakura berjalan pelan menyusuri jalan setapak
menuju tempat persembunyiannya sambil sesekali memeriksa jebakan dan juga
ranjau yang dia pasang di sekitar jalan setapak tersebut. Gadis itu hafal
letak-letak jebakan dan ranjau yang dibuatnya dan dia selalu memeriksa dengan
teliti apakah ranjau itu dirusak atau mengenai hewan tidak bersalah yang memang
hidup di dekat hutan di dekat sana.
Setelah memastikan semuanya dalam
keadaan sempurna, Sakura melompat ke sebuah cabang pohon besar dan melompati
setiap cabang pohon yang ditemuinya. Caranya melompati cabang-cabang pohon itu
layaknya ninja. Ia juga bergerak sangat cepat dan hanya dalam beberapa menit
dia sudah sampai di depan sebuah rumah kayu berlantai dua.
Rumah itu tampak teduh dengan
banyaknya kaca yang menghiasi dan juga tanaman-tanaman bunga yang ada di
depannya. Dan tempat itu juga berada di tengah-tengah hutan. Walau tidak semua
orang tahu ada rumah seperti itu di dalam hutan, namun Sakura bersyukur dia
mendapatkan rumah ini ketika mencari tempat persembunyian.
Sakura berjalan menuju pintu dan
membukanya. Ia menutup pintu di belakang punggungnya dan menghembuskan nafas.
Ditatapnya suasana rumah itu yang gelap dan sepi sambil mengerutkan kening.
“Aku pulang.” kata gadis itu lirih.
Ia melepas sepatu bootnya dan
berjalan menuju ruang tamu. Sakura menyalakan lampu dan melihat perabotan serba
putih mulai dari sofa, karpet, dan juga televisi lengkap dengan peralatan sound system yang juga berwarna putih.
Kontras dengan lantai kayu yang berwarna coklat muda.
Sakura menghempaskan tubuhnya di
sofa dan melepas stocking dari kedua
kakinya. Dia menatap langit-langit ruang tamu yang dihiasi lampu berwarna putih
dan sekali lagi menghela nafas.
Kelelahan menggelayut di tubuhnya.
Selalu begini setiap kali dia keluar saat permainan Shigi dimulai. Sakura tahu kelelahan yang selalu dia dapat ini
berasal dari kekuatan Sacrel yang ada
di dalam tubuhnya, tapi dia juga tahu, kelelahan ini bukan hanya karena
kekuatan tersebut.
Cahaya-cahaya beterbangan di
sekelilingnya dan Sakura menatap mereka. Sebenarnya mereka cahaya yang sangat
indah. Dulu dia selalu melihat cahaya-cahaya seperti ini di dalam mimpinya.
Cahaya-cahaya itu selalu menemani tidurnya…
… tapi sekarang dia tidak terlalu
menyukai cahaya-cahaya itu. Tidak setelah kejadian tiga tahun lalu yang nyaris
merenggut nyawanya sekali lagi.
Dia lalu berdiri dan masuk ke
kamarnya. Menghampiri lemari dan menanggalkan semua pakaiannya, ia mengambil
sebuah kimono putih dan mengenakannya. Setelah mengikat kimono itu dengan obi
tipis, Sakura berbaring di tempat tidurnya dan memejamkan mata.
Besok
aku harus bisa membunuh mereka semua.
Katanya dalam hati, Tidak peduli
cahaya-cahaya itu melarangnya. Aku akan membunuh mereka semua, terutama pemuda
itu…
Sakura teringat wajah pemuda yang
menurutnya cukup menarik itu. Dengan rambut coklat yang tampak lembut dan juga
mata sewarna zamrud… sekali lihat, dia tahu pemuda itu tampan. Sangat-sangat tampan. Dan entah kenapa
ketika dia bertatapan dengan pemuda itu, dia merasakan sesuatu seakan
menghantam dadanya. Sebuah perasaan untuk berlari kearahnya dan menangis.
“Pikiran bodoh…” katanya sambil
membuka matanya.
Sakura menatap tangannya dan
mencengkeramnya erat-erat. Dia tidak boleh membiarkan perasaannya mengambil
alih pikirannya. Selama ini Sakura berpegang pada keyakinan bahwa tidak ada
yang boleh dan bisa membuat perasaannya kacau dan menghancurkan kehidupannya.
Sakura memegang keyakinan itu sejak dia kehilangan segalanya tiga tahun lalu
dan untuk hal ini, dia berterima kasih pada permainan Shigi yang membuatnya kehilangan apa yang dia sebut ‘berharga’.
Namun…
Kenapa pikirannya tidak pernah bisa
lepas dari pemuda berambut coklat itu?
“Pemuda itu… dia pasti memiliki
sesuatu.” Kata Sakura, “Aku tidak mungkin seperti ini hanya karena pemuda itu.
Aku yakin dia memiliki sesuatu… Sesuatu yang membuatku selalu memikirkannya.”
Sakura memeluk bantalnya dan
memejamkan mata sekali lagi. Dia harus beristirahat malam ini kalau tidak mau
terlambat untuk melakukan aktivitasnya besok pagi sebagai remaja biasa yang
bersekolah.
Urusan permainan Shigi bisa dipikirkannya nanti. Untuk
saat ini dia harus beristirahat dan menyingkirkan rasa lelah di tubuhnya.
----------
Minato masuk ke dalam sebuah ruangan yang
dipenuhi layar komputer yang tertanam di seluruh penjuru dinding. Di
tengah-tengah ruangan terdapat meja yang menjadi control panel bagi semua layar monitor tersebut. Seorang wanita
dengan potongan rambut seperti laki-laki sedang berkutat dengan keyboard di hadapannya dan sesekali
mengerutkan kening pada layar virtual di hadapannya.
“Mayumi,”
Wanita bernama Nakajima Mayumi itu
mendongak dan tersenyum melihat Minato. Ia berdiri dan melepas kacamata baca
yang dipakainya.
“Kurasa kau membawa laporan yang
tidak terlalu menyenangkan. Aku benar, kan?” kata Mayumi sambil tersenyum.
Minato tidak menjawab dan lebih
memilih duduk di kursi di seberang control
panel.
“Bagaimana permainan hari ini?”
tanya Mayumi lagi sambil menyiapkan tape recorder dan menekan tombol untuk
merekam laporan hari ini.
“Membosankan seperti biasa.” kata
Minato.
“Hee… kukira kau suka dengan
kelompok Kurome. Kau tahu, mereka kuat, karena mendapatkan kekuatan Genbu si
Kura-kura Hitam? Mereka kuat, tentu saja, dan sesuai yang ada dalam database Shigi.”
“Mereka memang kuat. Tapi, tidak
sekuat yang kuduga.”
“Jadi mereka kalah?”
“Tentu saja. Tapi sayangnya bukan
kalah karena kami mengalahkan mereka. Yang mengalahkan mereka adalah orang
lain.”
“Orang lain?”
“Seorang Miko mengalahkan mereka.”
“Miko? Bukankah Miko adalah
pengawas permainan?” tanya Mayumi bingung. “Sama sepertiku yang menjadi
pengawas bagi kelompok Phoenix, dan juga pengawas tiga kelompok lainnya.”
“Memang Miko yang mengalahkan
mereka. Dan Miko ini… aku tidak tahu harus menyebutnya apa. Tapi dia tampaknya
tidak menyukai statusnya sebagai seorang Miko. Dia bahkan hendak membunuhku dan
yang lain kalau saja cahaya-cahaya yang biasa berada di sekitar seorang Miko
tidak menghentikannya.”
“Hmmm…” Mayumi menumpukan kedua
tangannya di atas meja, “Kau tahu siapa Miko ini? Namanya? Rupanya?”
“Dia bilang namanya Sakura, dan
dia… aku tidak melihat dengan jelas seperti apa wajahnya.” Kata Minato.
“Hmm… tunggu sebentar.”
Mayumi menghadap meja lagi dan
mengetikkan beberapa perintah ke komputer virtualnya. Beberapa saat kemudian
dia mengerutkan kening sambil menatap layar monitor.
“Kau menemukan sesuatu?” tanya
Minato.
“Kau bilang Miko itu bernama
Sakura, kan?” kata Mayumi, yang disambut anggukan dari pemuda itu.
“Memang Miko kali ini bernama
Sakura, dan itu hanya alias.” Ujar Mayumi, “Nama aslinya tidak diketahui, tapi
dia memiliki kekuatan Miko yang lebih besar ketimbang Miko-Miko sebelumnya. Dan
di sini disebutkan… dia tidak dianggap sebagai Miko yang sah. Namun karena
kekuatan Miko masih ada padanya selama dia masih hidup, dia tetap menyandang
status sebagai Miko.”
“Begitu…”
“Di sini juga disebutkan dia adalah
seorang Hycanthia.” Kata Mayumi lagi.
“Ap—Hycanthia?”
“Ya. Dia seorang Hycanthia. Dan
sekarang dia menjadi Miko. Kekuatannya jadi jauh lebih besar daripada
sebelumnya.”
“Tunggu, tunggu… kalau dia seorang
Hycanthia, itu artinya dia dulunya Senshu,
kan?”
“Di sini tidak disebutkan kalau dia
dulunya seorang Senshu. Seorang
Hycanthia tidak harus seorang Senshu.
Ada beberapa kejadian di mana seorang Hycanthia dulunya adalah manusia biasa
yang kemudian mendapatkan kekuatan Miko secara tidak sengaja. Sacrel adalah kekuatan yang sangat
besar. Kekuatan itu juga nyaris setara dengan master permainan Shigi sendiri. Mungkin saja dia
mendapatkan kekuatannya sebagai seorang Hycanthia dari sang master sendiri,
kan?”
“Oh…” Minato manggut-manggut.
“Yah, daripada itu… kalian berhasil
mengalahkan kelompok Kurome malam ini, walau secara tidak langsung.” ujar
Mayumi, “Tapi kuharap kamu dan teman-temanmu lebih berhati-hati jika bertemu Miko
ini. Aku merasa dia sangat… berbahaya.”
“Seorang Miko apalagi dia adalah
Hycanthia, sudah tentu sangat berbahaya.” Kata Minato.
“Kau paham hal itu.” Mayumi
tersenyum, “Jadi, inti dari laporanmu hari ini adalah: Kalian berhasil
mengalahkan Kelompok Kurome, walau itu terjadi secara tidak langsung.
Sepertinya kalian harus berterima kasih pada Miko itu karena ‘membantu’ kalian
mengalahkan mereka.”
“Kalau dia melakukannya tanpa
ancaman akan membunuh kami jika bertemu lagi, mungkin aku akan menyampaikan
rasa terima kasihku padanya.”
Mayumi tertawa mendengarnya dan
mematikan tape recorder. Dia mengambil kaset yang merekam laporan Minato dan
menyimpannya di salah satu berkasnya.
“Oke. Kau bisa pulang dan beristirahat
sekarang. Besok pagi kau pergi ke sekolah, kan?”
“Sebenarnya aku membenci sekolah.”
Kata Minato, “Tapi demi penyamaran, aku harus melakukannya.”
“Walau kalian adalah Senshu, tapi kalian tidak diperbolehkan
meninggalkan kehidupan lama kalian sebelum menjadi Senshu.” Ujar Mayumi, “Tidak ada bedanya seperti idol group atau penyanyi yang bekerja
sambil sekolah.”
“Iya, iya…” Minato mengangguk, “Ah
ya, Mayumi, aku bisa memintamu mencari data mengenai Sakura?”
“Miko itu? Untuk apa?”
“Ada sesuatu… yang perlu
kuselidiki.” Ujar Minato, “Bisakah kau mencarikannya untukku? Sebanyak yang kau
bisa, dan aku akan melakukan satu permintaan yang kamu minta.”
“Hmm… bolehlah. Kau akan melakukan
satu permintaanku, kan? Itu cukup adil.” Kata Mayumi, “Aku akan mencarikannya
untukmu. Paling lama besok malam sudah kudapatkan.”
“Bagus. Kalau begitu aku pulang
dulu.”
“Ya. Hati-hati di jalan, Minato.
Jangan sampai kamu tidak pulang ke apartemenmu dan pergi ke Midgard lagi.”
Minato hanya diam mendengar ucapan
Mayumi.
“Kenapa kamu tahu aku selalu ke
sana?” tanya pemuda itu.
“Ayolah… aku sudah mengenalmu sejak
kamu masih anak-anak. Sudah tentu aku tahu apa saja yang akan dan sudah kamu
lakukan.” kata Mayumi,
“Lama-lama kau jadi mirip ibu-ibu
yang khawatir dengan anak-anaknya.”
“Terima kasih atas pujiannya.”
Balas Mayumi.
“Itu bukan pujian.” Ujar Minato,
“Aku pulang dulu. Dan jangan lupa pesananku.”
“Tentu.”
Minato keluar dari ruangan Mayumi
dan berjalan menelusuri koridor hingga sampai ke pintu keluar.
Di luar, Minato disambut
pemandangan padang ilalang yang disinari cahaya bulan. Sekarang sudah tengah
malam. Mungkin pukul satu malam. Cahaya di tempat itu tidak terlalu memadai dan
hanya bulan yang menjadi penerangan bagi Minato untuk melewati padang ilalang
itu dan sampai ke pinggir kota. Dan setelah itu dia juga harus berjalan untuk
bisa sampai ke apartemennya.
Minato menghembuskan nafas. Dia
kembali teringat pada Sakura.
Aneh sekali. Dia tidak bisa
berhenti memikirkan Sakura, terutama wajahnya… bola matanya…
“Keiko…” Minato menggumamkan nama
yang selalu dirindukannya itu.
Minato cukup yakin Sakura adalah
Keiko, teman masa kecilnya yang dulu diculik oleh salah satu kelompok Senshu. Minato sangat mengenal bola mata
Keiko dan juga wajahnya yang tampak seperti boneka, yang juga terdapat pada
Sakura. Dan Minato berasumsi bahwa Sakura adalah Keiko.
Tapi bagaimana bisa gadis itu tidak
mengenalinya setelah sepuluh tahun? Kenapa Keiko malah menyerangnya dan berkata
akan membunuhnya?
Minato tidak mengerti. Pasti terjadi
sesuatu pada Keiko ketika dia diculik sepuluh tahun lalu.
“Aku akan mencari tahu.” kata
Minato, “Aku akan mencari tahu apa yang terjadi padanya, dan akan kupastikan
kali ini aku akan menyelamatkannya.”
****
Sakura terbangun dan langsung terduduk tegak
setelah mendapatkan mimpi buruk. Gadis itu menatap sekelilingnya dan
menghembuskan nafas mengetahui tidak ada siapa-siapa di sana kecuali dirinya.
Suara burung hantu yang beruhu-uhu riang di hutan tidak termasuk hitungan.
Sakura turun dari tempat tidurnya
dan berjalan menuju dapur. Ia membuka kulkas dan mengambil sebotol air.
Ditenggaknya air itu langsung dari botolnya, merasakan cairan dingin itu
mengalir melewati tenggorokannya.
“Huft…”
Sakura meletakkan kembali botol
yang isinya tinggal setengah itu ke dalam kulkas dan melirik kearah jam di
dinding. Baru pukul tiga pagi. Itu artinya dia hanya tertidur dua jam saja.
“Lagi-lagi…”
Sakura menghembuskan nafas dan
berjalan kembali ke kamarnya. Ia baru menutup pintu ketika dia merasakan
kehadiran seseorang di kamarnya. Dia berputar dan melihat sekelilingnya. Tidak
ada siapa-siapa, tapi dia tahu ada orang lain selain dirinya di tempat itu.
Dia harus memikirkan matang-matang
untuk menyerang penyusup ini. Dan walau tidak memegang senjata, dia bisa
melumpuhkan lawannya.
Sakura baru akan berpura-pura
berjalan kearah tempat tidurnya ketika sepasang tangan menyergapnya dari
belakang dan mengagetkannya. Secara refleks, ia menghentikan kedua tangan yang
hendak menyergapnya dan membanting si pemilik tangan ke lantai.
Tapi, dia tidak bisa melakukannya
ketika tangan itu sudah lebih dulu memiting kedua lengannya dan membantingnya
ke sisi tempat tidur.
“Akh!!”
“Rupanya kau bersembunyi di sini.
Agak susah mencarimu karena kau selalu menyembunyikan auramu ketika aku
berusaha melacakmu.”
Sakura mengerjapkan mata dan
wajahnya berubah pucat seketika mendengar suara itu.
Suara itu… suara yang selalu
menghiasi mimpi buruknya…
“Hm? Kenapa kau diam, Sakura?”
“Tinggalkan aku sendiri.” kata
Sakura balik tanpa memandang orang yang memitingnya.
“Aku tidak mungkin bisa
melakukannya. Terutama karena aku sudah mencarimu selama tiga tahun, Sakura.”
Ujar orang itu berbicara tepat di telinga Sakura.
Sakura bergidik dan menjauhkan
telinganya dari jangkauan orang itu. Orang yang menjadi penyebab utama mimpi
buruknya, orang yang membuatnya merasakan kematian untuk kedua kalinya…
… dan juga orang yang sangat
menakutkan baginya.
Pitingan di tangannya terlepas,
namun Sakura tidak sempat menarik nafas lega dan menyerang balik ketika
tubuhnya dibalikkan dan matanya dipaksa menatap wajah si pemilik tangan yang
memitingnya.
“Tatap aku, Sakura. Jangan
mengalihkan wajahmu seperti itu.”
“Aku tidak sudi menatapmu. Lebih
baik aku menatap sampah tidak berguna dibandingkan wajahmu.”
“Masih dingin seperti dulu rupanya.”
Sakura meringis ketika wajahnya
dicengkeram dan dia menatap marah pada orang yang menyakitinya. Mata gadis itu
tampak dipenuhi api yang begitu membara.
“Aku suka tatapan matamu. Dingin
dan seperti gunung es di lautan.”
“Apa maumu, Manami? Bukankah dulu aku
pernah bilang padamu untuk tidak pernah mencariku dan melibatkanmu pada
permainan licikmu lagi?”
“Tapi sayangnya kau tetap terlibat,
Manis.” ujar Manami sambil tersenyum kecil. “Ah… aku merindukan suaramu. Apakah
ini yang disebut cinta?”
“Menjijikkan. Lepaskan tanganmu
dari wajahku dan menjauh dariku, Manami!”
“Kalau aku tidak mau?”
“Aku akan memaksamu.”
Sakura menendang perut Manami dan
membuat pemuda itu mundur. Dengan cepat Sakura berdiri dan menjauh dari Manami.
Matanya terus menatap tajam pemuda itu, yang sekarang sedang menatapnya sambil
tertawa.
“Kau masih manis, galak, dan selalu
waspada. Benar-benar tidak berubah.” Ujar Manami, “Rupanya kedatanganku kemari
tidak disambut dengan baik.”
“Darimana kamu tahu aku ada di
sini?”
“Aku selalu tahu di mana kau
berada, Manis. Selama ini aku mencarimu. Sedikit sulit karena kau ternyata
menyembunyikan aura kekuatanmu.” Kata Manami, “Aku sangat menyesali tindakanmu
yang membunuhi Senshu. Kenapa kau
membunuh mereka?”
“Itu alasan yang membuatku masih
hidup sampai saat ini. Apa itu masalah bagimu?”
“Jelas itu masalah, Beauty. Kau seharusnya menggunakan
kekuatan yang kau dapatkan itu sebaik mungkin. Bukannya menolaknya dan lebih
memilih menggunakan kekuatan lain yang ada di dalam tubuhmu. Itu sama saja
dengan bunuh diri.”
“Atas dasar apa kamu peduli padaku?
Aku tidak pernah menyangka sang master permainan Shigi mengkhawatirkanku.” Balas Sakura.
Manami menaikkan sebelah alisnya
dan tersenyum kecil. Dia mendekati Sakura dan sebelum gadis itu sempat
bertindak, ia segera menarik gadis itu mendekatinya dan menahan kedua
tangannya.
“Jika aku mau, Beauty, aku bisa membunuhmu di sini sekarang. Tapi aku tidak
melakukannya. Kenapa? Karena kau berharga.”
“Aku benci menjadi berharga. Kenapa
kau tidak membunuhku saja?”
“Aku tidak bisa, sayang sekali aku
tidak berniat membunuhmu walau kau sering sekali membangkang dari semua
perintah dan peraturan dari permainan ini…” Manami melirik kimono putih Sakura
yang sedikit tersingkap, “… tapi jika kau memohon, aku akan melupakan masalah ini
dan kembali dengan tenang ke ‘istana’ku.”
Sakura menggeram marah dan
menyentak kedua tangan Manami yang mengurung kedua tangannya.
“Jangan mimpi.”
“Oh, aku memang sedang bermimpi, Beauty. Aku selalu bermimpi tentangmu.”
“Aku lebih baik mati daripada muncul
dalam mimpimu.”
“Tapi sayang sekali kau tidak bisa
mati.”
Ucapan itu membuat Sakura terdiam.
Dia lagi-lagi menatap Manami dengan mata disipitkan.
“Sekali lagi kutanyakan, kenapa kau
ada di sini, dan apa maumu?”
“Mauku? Bertemu denganmu, tentu
saja. Dan juga memintamu untuk tidak membunuhi Senshu lagi. Keseimbangan permainan ini akan semakin goyah jika kau
terus membunuh mereka.” kata Manami, “Serius deh, apa kau tidak bisa menggunakan kekuatanmu itu untuk mengawasi
dan menjadi perantara bagi mereka dan aku?”
“Aku tidak sudi.”
“Kau harus, Beauty. Kalau tidak aku akan memaksamu untuk ikut denganku.”
“Aku tidak takut dengan ancamanmu.”
“Kau…” Manami tampak kehabisan
kata-kata dan dia menghembuskan nafas, “Aku tidak tahu lagi apa yang harus
kukatakan padamu. Tapi aku kemari hanya untuk memperingatkanmu.”
“Memperingatkanku?”
“Jangan berhubungan lagi dengan Senshu, terutama dari Kelompok Phoenix.”
Kata Manami.
“Memangnya kenapa? Satu-satunya
hubunganku dengan mereka adalah aku akan membunuh mereka jika bertemu. Itu
tidak termasuk sebagai hubungan, kan?”
“Apa pun yang terjadi, jangan
pernah berhubungan dengan mereka.” Manami kali ini menaikkan nada suaranya,
“Kau mengerti? Jangan berhubungan dengan mereka dan jangan pernah sekalipun
mencoba membunuh mereka.”
“Aku tidak akan melakukannya.”
balas Sakura, “Sekarang pergilah dari sini sebelum aku menusuk jantungmu dengan
senjataku.”
Manami melirik sai yang ada di dekat tempat tidur Sakura dan mengedikkan bahu.
“Baiklah, aku tidak akan memaksamu.
Tapi kau harus ingat kalau aku akan terus mengawasimu mulai dari sekarang.”
Sakura hanya diam. Dia
memperhatikan Manami yang keluar dari jendela kamarnya dan menghilang dalam
kegelapan malam.
Setelah yakin Manami sudah tidak
ada di sekitar rumahnya, Sakura segera menutup jendela dan menarik nafas lega.
“Orang itu… dia benar-benat bisa
tahu di mana aku bersembunyi.” Sakura tertawa kecil, “Dia memang tidak bisa
dianggap remeh.”
Ia berjalan menjauh dari jendela
dan duduk di tepi ranjang. Matanya menatap lurus langit yang masih gelap.
Sakura kemudian merasakan cahaya-cahaya yang biasa mengelilinginya muncul.
…
Master menemukanmu… tidak bisa lari lagi…
…
patuhi perintahnya, patuhi segala hal yang diucapkannya…
…
seorang Miko tidak diperbolehkan membunuh Senshu seenaknya…
…
jangan membunuh…
“Berisik.” Kata Sakura, “Kalian
tidak tahu apa alasanku membunuh mereka semua. Kalian tidak akan pernah bisa
mengerti karena kalian hanya jiwa orang-orang mati!”
Sakura menggunakan kekuatannya
untuk menyuruh cahaya-cahaya itu pergi. Dia tidak peduli kalau dia akan terus
kelelahan dan mungkin akan pingsan di sekolah. Tapi dia tidak ingin mendengar
suara dari cahaya-cahaya itu. Dia tidak ingin mendengarnya.
Dia tidak mau semua yang ada di
sekitarnya menghalangi niatnya.
“Sakura, jadilah gadis yang baik. Kekuatanmu adalah berkah, dan kamu
harus menjaga dan menggunakannya sebaik mungkin…”
“Tidak.” kata Sakura ketika
mengingat kalimat yang pernah diucapkan padanya dulu, “Kekuatanku ini adalah
kutukan, dan aku berniat untuk mengakhirnya dengan tanganku sendiri.”
Gadis itu jatuh tertidur setelah
selama lebih dari setengah jam berusaha menyingkirkan cahaya-cahaya yang
mengelilinginya.
****
Minato menguap dan berjalan pelan menyusuri
jalan menuju sekolahnya, SMA Haruma. Pemuda itu memasang tampang bosan sambil
memperhatikan beberapa teman sekolahnya berjalan melewatinya.
Minato menghembuskan nafas dan
memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celana. Kalau saja memungkinkan, dia
pasti akan mencoba bolos sekolah hari ini.
Tapi tentu saja itu tidak bisa
dilakukan, mengingat Mayumi yang mendaftarkannya ke sekolah, dan sebagai
ungkapan terima kasih, Minato harus mau bersekolah setidaknya sampai dia cukup
umur untuk mewarisi harta dan juga uang yang diwariskan keluarga kandungnya
sebelum diangkat anak oleh Mayumi sepuluh tahun yang lalu. Wanita yang juga
pengawas bagi Kelompok Phoenix itu memang ibu angkatnya, dan walau interaksinya
dengan Mayumi lebih mirip seperti rekan kerja, Minato tetap menghormatinya
sebagai orangtua yang bersusah payah merawatnya.
Tengah Minato melamun sambil
berjalan, seseorang tiba-tiba datang dari arah berlawanan dan tidak sengaja
menabraknya dengan cukup keras. Baik Minato dan si penabrak sama-sama terjatuh.
“Aduduh…”
Minato mendongak dan menatap orang
yang menabraknya. Seorang gadis yang memakai seragam sekolah yang sama
dengannya.
Gadis itu mendongak tepat ketika
Minato hendak bertanya apakah dia baik-baik saja. Namun bibir Minato tidak
mengeluarkan sepatah kata pun melihat wajah si gadis.
“Sakura?”
“Kau…?”
----------
Sakura tidak tahu apakah ini semacam kesialan
atau bukan. Pagi ini dia nyaris bangun terlambat dan buru-buru mempersiapkan
diri di rumah. Ketika dia mencoba keluar dari hutan, dia tidak sengaja membuat
seekor kelinci hutan terluka dan Sakura tidak punya pilihan lain selain merawat
kelinci itu terlebih dahulu sebelum berangkat ke sekolah.
Dan sekarang dia bertabrakan dengan
seseorang, lebih parah lagi, yang ditabraknya adalah pemuda yang kemarin
diancam akan dia bunuh. Pemuda berambut coklat yang kemarin dia temui, Senshu dari Kelompok Phoenix.
Sakura cepat-cepat berdiri dan
mengulurkan tangannya pada pemuda itu, yang dibalas dengan kerutan di kening
pemuda itu.
“Apa? Kamu tidak mau berdiri dan
menghalangi jalan orang lain?” kata gadis itu.
Minato buru-buru meraih tangan
Sakura dan berdiri. Ditatapnya gadis itu dan mengerutkan kening melihat seragam
sekolah yang dikenakan gadis itu.
“Kau… bersekolah di SMA Haruma
juga?”
“Kalau iya memangnya kenapa?” tanya
Sakura balik.
“Aku tidak pernah melihatmu
sebelumnya.” kata Minato. Dia memang hafal semua wajah murid-murid SMA Haruma
yang ditemuinya dan juga yang dikenalnya.
“Aku baru dipindahkan ke SMA itu
beberapa bulan lalu.” kata Sakura. “Dan ini tidak ada hubungannya dengan
peranku sebagai Miko dalam permainan Shigi.”
“Aku tidak mengatakan seperti itu.”
ujar Minato.
“Begitu…”
Sakura berbalik dan hendak berjalan
ketika tangannya tiba-tiba digenggam dan membuat gadis itu menoleh kearah
Minato, yang menatap tangannya.
“Lepaskan tanganku.” Kata Sakura
dingin, “Aku tidak akan segan-segan melumpuhkanmu walau saat ini bukan waktu
permainan.”
“Aku akan melepaskannya, tapi aku
punya satu pertanyaan.”
“Tanyakan saja sekarang.”
“Apa… darimana kau mendapat bekas
luka ini?”
Sakura melirik tangannya yang
digenggam pemuda itu, tepat kearah bekas luka bakar yang berbentuk seperti
sayatan pedang di punggung telapak tangannya. Bekas luka itu sebenarnya sudah
ada sejak lama di tangannya, tapi Sakura tidak ingat kapan dan di mana dia
pernah mendapatkan bekas luka seperti itu.
“Aku terluka saat menggunakan pisau
dapur.” kata Sakura sambil melepaskan tangannya dari Minato.”
“Pisau dapur?”
“Ya. Kamu tidak percaya? Apa
seorang Senshu sepertimu tidak
percaya pada ucapan seorang Miko padahal kemarin malam kamu tertarik pada
nyanyianku?”
“Aku tidak pernah merasa tertarik
oleh nyanyianmu.”
“Kalau tidak mau mengaku juga tidak
apa-apa.” balas Sakura. “Sampai jumpa nanti malam.”
“Tunggu!”
“Apa lagi?”
“Siapa… siapa namamu?”
“Namaku Sakura. Bukankah aku sudah
mengatakannya padamu?”
“Apa namamu benar-benar Sakura?”
tanya Minato.
“Sebenarnya aku ingin bilang tidak,
tapi Sakura memang namaku. Aku berbohong kemarin, kamu puas?.” Kali ini Sakura
merasa tersinggung, “Dan kamu sendiri, apa kamu yakin kalau nama yang kamu
sandang sekarang adalah namamu yang sebenarnya?”
“Tentu saja nama yang kusandang
sekarang ini adalah namaku yang asli.” Balas Minato.
“Oh ya? Memangnya namamu siapa?”
“Minato. Namaku Kurogane Minato.”
Sakura mengerjapkan mata
mendengarnya. Sebuah perasaan asing menyentak dadanya ketika dia mendengar nama
lengkap Minato. Tapi dia berusaha untuk tidak terlihat kaget di hadapan pemuda
itu.
“Oh.” kata Sakura, “Nama yang
bagus. Kalau begitu, sampai nanti.”
“Ah, tunggu—”
Sakura cepat-cepat berbalik dan
meninggalkan Minato. Gadis itu berjalan cepat dan berusaha mengusir perasaan
asing yang menggelayut di dadanya.
Apa-apaan
ini? Kenapa tiba-tiba perasaanku seperti ini?
----------
Walau tidak terlalu kentara, Minato tahu gadis
itu terkejut mendengar namanya. Mungkin tidak terlalu, tapi Minato tahu
ekspresi di wajah Sakura tadi.
“Dia benar-benar tidak ingat
denganku, tapi… ekspresi wajahnya barusan…”
Minato menatap punggung Sakura yang
berjalan menjauh. Dia tidak sengaja melihat punggung tangan kanan Sakura yang
menampakkan bekas luka. Minato tidak pernah melihat bekas luka seperti itu
sebelumnya. Sakura mungkin bisa berbohong, tapi Minato bisa membedakan mana
bekas luka bakar dan bekas luka sayatan. Dan bekas luka di punggung tangan
gadis itu jelas bukan bekas luka karena kena sayatan apalagi sayatan pisau
dapur.
Minato kembali berjalan dan
berusaha untuk sampai ke sekolah secepatnya karena sebentar lagi bel masuk akan
berbunyi, dan juga…
… dia mungkin bisa mendapatkan
sedikit informasi mengenai Sakura di sekolahnya. Gadis itu bilang dia satu
sekolah dengannya, kan?
0 komentar:
Posting Komentar