Haruto
menghembuskan nafas dan melirik kearah Arisa yang tidur di tempat tidur di
kamarnya. Setelah menceritakan apa yang terjadi di masa lalunya, Haruto harus
berusaha untuk menenangkan Arisa yang gemetar ketakutan dan menangis karena
mengingat masa lalunya.
Masa
lalu yang kelam… Haruto tidak pernah menyangka Arisa akan mengalaminya. Tidak
banyak orang yang memiliki pengalaman pahit dalam hidup walau tidak semua orang
memiliki pengalaman seperti Arisa.
Setelah
Arisa menceritakan semuanya, sekarang dia bisa paham kenapa gadis itu menjadi
lebih pendiam sebelum mendapat trauma. Sikap pendiam itu diciptakan Arisa
sebagai tameng untuk melindungi masa lalunya. Hal yang cukup biasa terjadi pada
semua orang, tapi…
Ponsel
di saku celananya tiba-tiba berbunyi. Haruto cepat-cepat menyingkir dari kamar
Arisa dan mengeluarkan ponselnya. Di layar ponsel tertera nama Reno.
“Kak
Reno?” Haruto mengerutkan kening dan mengangkat telepon dari Reno, “Ada apa,
Kak?”
“Haruto, kamu ada di mana?”
“Di
rumah Arisa.” Jawab Haruto, “Memeangnya kenapa, Kak? Apa Kakak butuh bantuan?”
“Tidak juga… aku hanya ingin tahu di mana
kamu karena, ya… aku memang perlu bantuan.” Kata Reno sambil tertawa, “Aku ingin kamu membawa Arisa kemari. Hari
ini aku memasak omelet keju dan daging dan aku ingin kalian mencicipinya.”
“Kau
masih memasak padahal masakanmu sendiri rasanya meragukan?” kata Haruto tertawa
geli, “Kau memang tidak pernah kapok, ya?”
“Diamlah adik kecil. Jadi, bisakah kamu
membawa Arisa ikut dan mencicipi masakanku?”
“Hari
ini tidak bisa. Arisa sedang tidur sekarang.” ujar Haruto.
“Tidur? Bukannya sekarang masih belum larut
malam?” tanya Reno, “Apa… apa terjadi
sesuatu pada Arisa?”
“Bagaimana
kau bisa tahu?”
“Insting saudara kandung.” Jawab Reno
asal, “Jadi, apa yang terjadi?”
“Ceritanya
panjang. Nanti akan kuceritakan saat aku ke apartemenmu. Sekarang aku sedang
menunggu Yuya pulang. Arisa sendirian di rumah dan orangtuanya belum pulang,
jadi aku harus menungguinya dulu.”
“Oke, baiklah. Tapi setelah Yuya atau
orangtuanya pulang, cepatlah kemari dan beritahu aku apa yang terjadi.”
“Aku
mengerti, Kak. Sampai jumpa.”
“Ya, sampai jumpa.”
Haruto
menutup telepon dan memasukkannya ke dalam saku celana. Dia baru akan masuk
kembali ke kamar Arisa ketika dia mendengar suara mobil dari depan rumah.
Beberapa detik kemudian dia mendengar bunyi pintu yang terbuka disusul suara
adik Arisa, Ken, yang sepertinya berlari masuk ke kamarnya sendiri.
“Ah,
Haruto, selamat malam.” Ibu Arisa, Nyonya Nina menaiki tangga dan menyapa
Haruto, “Arisa ada di dalam kamarnya?”
“Ya.
Sedang tidur.” kata Haruto.
“Tidur?
Baru kali ini dia tidur cepat.” ujar beliau.
“Tadi
ada sesuatu yang terjadi, dan Arisa kusuruh untuk beristirahat.”
“Apa
ada sesuatu yang terjadi padanya?”
“Seseorang
mengiriminya sesuatu yang… menakutkan saat dia menghadiri meet and greet Yuya di toko buku.” Kata Haruto mencoba mencari kata
yang tepat.
“Ah…
maksudnya surat-surat kaleng dan kotak berisikan mayat binatang, ya?” kata
Nyonya Nina, lalu menghela nafas, “Lagi-lagi ada yang mengiriminya benda-benda
itu, kan?”
Haruto
mengangguk.
Nyonya
Nina tersenyum tipis dan berjalan mendekati pintu kamar Arisa.
“Haruto,
apa kamu menganggap Arisa sebagai gadis yang menakutkan?” tanya beliau
tiba-tiba.
“Apa?”
“Aku
tahu teman-teman sekelas Arisa dulu mengejeknya dan mengata-ngatainya. Sikap
Arisa yang pendiam juga terbentuk karena perlakuan itu. Mereka semua menganggap
Arisa adalah gadis yang menakutkan dan tidak pantas dijadikan teman…” Nyonya
Nina menghela nafas lagi, “… butuh waktu yang cukup lama untuk membawa Arisa
kembali menjadi dirinya sendiri. Walau sekarang dia masih belum menjadi seperti
yang dulu, tapi setidaknya dia tidak pernah lagi tertutup pada kami sebagai
keluarganya.
“Haruto,
aku boleh meminta sesuatu darimu?”
“Anda
ingin meminta apa?” tanya Haruto.
“Bisakah
kamu membantunya untuk menjadi dirinya sendiri lagi?” kata Nyonya Nina, “Aku
lebih suka Arisa menjadi periang dan cerewet dibandingkan ketika dia diam dan
tidak bicara nyaris seharian penuh.”
“Dia
sering melakukannya?” tanya Haruto lagi.
“Kamu
mungkin tidak percaya, tapi itulah kenyataannya.” Nyonya Nina tersenyum, “Aku
akan menjaga Arisa kalau-kalau dia bangun nanti. Kamu bisa pergi ke dapur untuk
makan malam. Ada kungpou chicken dan
juga mi goreng.”
“Tidak
perlu repot-repot. Saya tadi berniat menunggui Arisa sampai Yuya pulang setelah
itu pergi ke apartemen Kak Reno.”
“Oh
ya, Reno bagaimana kabarnya? Aku belum pernah bertemu lagi dengannya. Terakhir
kali bertemu… mungkin sudah lebih dari sepuluh tahun yang lalu.”
“Dia
baik-baik saja. Dan sekarang sedang mencoba menjadi chef amatir.” Kata Haruto sambil tertawa.
Nyonya
Nina juga ikut tertawa.
“Baiklah
kalau kamu memang ingin ke tempat Reno. Terima kasih karena sudah menunggui
Arisa.”
“Sama-sama,
Nyonya. Kalau begitu saya pamit dulu.”
“Hati-hati
di jalan.”
Haruto
mengangguk dan berjalan menuruni tangga. Dia sempat berpapasan dengan ayah
Arisa dan menuju mobilnya yang terparkir di luar rumah. Bersamaan dengan itu,
Haruto melihat mobil Yuya yang terlihat di ujung jalan. Dia mengangguk kearah
Yuya yang melambai kearahnya dan segera masuk ke mobil.
Haruto
lalu menyalakan mesin mobil dan kemudian meninggalkan rumah Arisa.
***
0 komentar:
Posting Komentar