“Yak, kurasa aku sudah menekankan pada kalian
bahwa sampel rekaman untuk lagu baru kalian benar-benar memuaskan.” Kata
Haruto, “Persiapan untuk membuat video music dan juga yang lainnya akan diatur
oleh bawahanku yang lain. Kalian tinggal menanyakan dan menjalaninya dengan
semaksimal mungkin.”
Anggota JS’Vers manggut-manggut mengerti.
Haruto tersenyum dan melirik jam tangannya.
“Kurasa hanya itu yang bisa kusampaikan secara
langsung pada kalian. Selamat beraktivitas seperti biasa.”
Hanya dengan satu kalimat itu, para anggota
JS’Vers langsung bubar, Haruto sendiri kembali sibuk dengan berkas-berkas yang
menumpuk di mejanya.
“Haruto,”
Haruto mendongak dan melihat Eliza, vokalis
JS’Vers yang sepantaran dirinya tidak beranjak dari tempat duduknya. Wanita itu
justru berdiri dan melangkah kearahnya dengan senyum menggoda.
“Apa hari ini kamu ada waktu? Aku ingin
berbicara padamu.” Ujarnya.
Haruto yakin dia menghela nafas lelah. Dia
sudah sering kali menolak tawaran Eliza untuk berkencan dengan wanita itu, tapi
tidak pernah mengambilnya. Bahkan teman-temannya sampai mengatakan bahwa ia
adalah pria bodoh karena menolak wanita secantik Eliza.
Ia harus mengakui, Eliza cantik. Dengan kulit
putih bak porselen dan tubuh tinggi semampai. Wajah oriental yang dibingkai
dengan rambut coklat bergelombang sempurna. Suaranya juga bisa membius para
pendengarnya. Dengan suara yang bak malaikat dan juga sopran, tidak heran Eliza
menggetarkan hati Haruto dalam bidang music… pada awalnya. Sekarang, setelah
mengetahui salah satu sifat Eliza yang
membuat beberapa anggota JS’Vers tidak menyukai wanita itu, Haruto secara
teratur berusaha untuk tidak terlibat hubungan dengan Eliza.
“Aku ada janji dengan seseorang, Eliza.” Kata
Haruto. “Aku tidak bisa meneirma ajakanmu untuk mengobrol. Maaf, ya?”
Eliza merengut mendengar penolakan Haruto.
Terlebih ketika laki-laki itu segera berdiri dan menyampirkan jas coklatnya ke
bahu, lalu pergi begitu saja. Ketika pintu tertutup itulah, Eliza baru bisa
melampiaskan kemarahannya dengan mengentakkan kakinya keras-keras ke lantai
yang dilapisi karpet bulu berwarna abu-abu.
“Apa-apaan dia menolakku seperti itu!?”
geramnya sambil bersedekap. “Apakah janjinya dengan seseorang itu begitu
pentingnya sampai dia tidak mau berbicara padaku?”
Sudah bukan rahasia lagi Eliza tertarik pada
pemilik Mirai Entertainment, Haruto Kirishima. Teman-temannya di JS’Vers juga
sangat jelas melihat hal itu, namun tidak bisa mencegah. Mereka tahu, jika
mereka mencegah Eliza akan membuat wanita itu semakin gencar mendapatkan
keinginannya.
Eliza sudah mencoba menarik perhatian Haruto
sejak mereka pertama kali bekerja sama, dan ia sudah mengerahkan segenap
pesonanya agar Haruto tertarik padanya. Namun, sama seperti sekarang, Haruto
selalu menolaknya, baik itu untuk mengobrol atau makan malam bersama. Hingga
akhirnya Haruto mendapat julukan dari teman-temannya sebagai manusia es yang
mempunyai senyum ramah.
Julukan itu memang tidak cocok, tapi melihat
dari sikap Haruto, semua orang sepakat menamainya seperti itu.
Eliza sendiri tidak peduli dia ditolak
berkali-kali oleh Haruto. Yang dia inginkan adalah menjadi kekasih laki-laki
itu, kemudian menikahinya. Dengan begitu, Eliza menjadi selangkah lebih dekat
dengan keinginan terbesarnya. Namun, menilik dari situasinya sekarang, Eliza
tahu itu mustahil.
Aku akan
mendapatkannya. Kata Eliza
dalam hati, Aku pasti akan mendapatkan
Haruto, dan bila saat itu tiba, tidak akan ada yang bisa menghentikanku!
***
Haruto mengemudikan mobilnya ke rumah Arisa.
Gadis itu bilang orangtuanya baru bangun pada pukul 7 pagi, kan? Sekarang sudah
pukul 11 pagi, dan dia yakin kedua orangtua Arisa sudah bangun dan sedang
melakukan aktivitas mereka di rumah.
Rumah Arisa kelihatan sepi, tapi sebuah mobil
berwarna merah terparkir di garasi yang pintunya terbuka. Seorang pria setengah
baya tengah membersihkan kaca mobil dengan kain. Haruto tersenyum, itu pasti
ayah Arisa.
Dia keluar dari mobil dan menghampiri pria
tersebut sambil tersenyum.
“Selamat pagi,”
Pria itu mendongak dan dari kacamatanya, Haruto
melihat mata pria itu memandangnya sebentar dengan tatapan yang… entahlah,
sulit diartikan.
“Kau pasti Haruto Kirishima,” ujar pria itu
sambil meletakkan kain di tangannya ke atas kursi di dekatnya.
“Ya.” Haruto mengangguk, “Saya datang kemari
karena—”
“Aku juga sudah tahu alasanmu datang kemari,”
sela beliau, “Kalau kau tidak keberatan, sebaiknya kita berbicara di dalam
saja. Kau ingin membicarakan tawaranmu pada Arisa, kan?”
“Ya.” Haruto lagi-lagi mengangguk.
“Untuk itu, kita perlu duduk dan
membicarakannya. Ini akan memakan waktu berjam-jam.” Ujar beliau, membuat
Haruto mengerutkan kening.
“Maksud… bapak?”
“Kau akan tahu.” ujar beliau, “Sekarang, mari
masuk.”
***
“Arisa, ini untukmu.”
Arisa mendongak dan langsung dihadapkan dengan
sebuah kotak besar berwarna pink dan dihiasi pita berwarna putih. Ia menatap
wajah orang yang memberikan kotak tersebut, Hendry Miller, salah seorang dari
siswa tingkat 3 yang terkenal karena prestasi basket dan bidang olahraga
lainnya.
Semua orang terpekik histeris melihat Hendry
memberikan hadiah pada Arisa, terlebih ketika fans gadis itu melonjak naik
jumlahnya hanya dalam waktu beberapa jam.
Arisa menerima kotak itu dan
menimang-nimangnya.
“Terima kasih,” kata Arisa datar, “Apa isinya?”
“Buka saja kalau kamu mau.” ujar Hendry sambil
tersenyum.
Arisa melirik Mina yang duduk di sebelahnya,
kemudian Deby dan Utami. Mereka bertiga mengangguk bersamaan menyuruh Arisa
cepat-cepat membuka kotak itu.
Dengan perasaan malas, ia membuka kotak itu dan
mendapati sebuah gaun berwarna biru cerah dengan hiasan rimpel dan pita di
pinggangnya. Gaun itu sangat cantik, sampai-sampai semua orang yang
memandanginya akan merasa itu adalah gaun seorang bidadari.
“Sebentar lagi tahun baru, dan pihak sekolah
akan mengadakan pesta menyambut tahun baru di aula besar.” kata Hendry, “Kamu
mau datang bersamaku ke sana, kan?”
Semua orang yang mendengarnya langsung teringat
sebuah pengumuman yang baru saja ditempel mengenai pesta tahun baru yang akan
dilaksanakan kurang dari 2 minggu lagi. Para siswi, tentu mengerang frustasi
karena mereka baru mengingat pesta tersebut dan melihat Hendry sudah mengajak
Arisa. Sementara para siswa, yah… mereka juga sama frustasinya dengan para
siswi.
Arisa hanya diam. Mendadak kepalanya teringat
sesuatu yang membuat tubuhnya menggigil.
“Arisa? Kamu mau ke pesta itu bersamaku, kan?”
tanya Hendry lagi.
“Arisa, jawab, dong! Hendry menunggu jawabanmu,
tuh!” kata Deby.
Arisa memejamkan matanya, dia memegangi
kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. Sekelebat ingatan menyerang kepalanya
begitu kuat sampai dia berdiri dan langsung pergi meninggalkan teman-temannya.
“Arisa!”
Mina berdiri dan mengejarnya. Arisa berlari
sampai dia sampai ke taman belakang sekolah dan dia terjatuh lemas di sisi
kursi panjang favoritnya.
“Arisa! Ya Tuhan…”
Mina langsung berlutut di sebelah Arisa dan
melihat wajah gadis itu begitu pucat, nyaris putih seperti kapas.
“Arisa, wajahmu sangat pucat. Kamu tidak
apa-apa?”
“T, tolong… bilang pada Hendry kalau aku…” mata
Arisa menutup dan dia langsung pingsan.
“Arisa!!”
“Mina, ada apa?”
Deby dan Utami yang berinisiatif mengejar Mina
terkejut Arisa pingsan.
“Utami, Deby, tolong bantu aku membawa Arisa ke
ruang kesehatan.” Kata Mina, “Kalau bisa, panggil anak laki-laki juga datang
untuk membawanya. Cepat!”
Deby mengangguk dan langsung memanggil beberapa
orang untuk membawa Arisa ke ruang kesehatan. Sementara Utami membantu Mina
mengangkat tubuh Arisa. Keningnya tiba-tiba berkerut ketika menyentuh kulit
Arisa yang dingin seperti es.
“Kulitnya begitu dingin…” kata Utami. “Dia
seperti mayat saja.”
“Dia juga pernah pingsan seperti ini saat
Haruto memegang tangannya.” Kata Mina, “Ah, itu yang lain datang. Hei! Cepat
bantu kami!”
Beberapa anak laki-laki yang dipanggil Deby
langsung menggotong Arisa ke ruang kesehatan. Miss Emily, perawat yang menjaga
ruang kesehatan yang melihat Arisa langsung tersenyum maklum dan memberikan
obat untuk Arisa. Mina, Utami, dan Deby duduk mengelilingi tempat tidur di mana
Arisa berbaring. Anak laki-laki yang membantu mereka langsung pergi setelah
mengantarkan mereka ke ruang kesehatan.
“Miss, Arisa tidak kenapa-kenapa, kan?” tanya
Deby.
“Tidak masalah. Dia sudah sering seperti ini.”
kata Miss Emily, “Miss mengenal kakaknya, dan dari kakaknya Miss juga tahu
kalau Arisa sering pingsan sejak 4 tahun lalu.”
“Sejak 4 tahun lalu?” Utami mengerutkan kening.
Miss Emily hanya tersenyum dan tidak mengatakan
lebih jauh. Ketika itu, Arisa akhirnya sadar, dan reaksi pertama yang
diperlihatkan gadis itu sungguh di luar dugaan ketiga temannya.
Wajah Arisa yang pucat makin pucat dan dia
menatap nanar sekitarnya. Ia juga langsung merapatkan punggungnya ke tembok.
“Arisa, tenang… ini di sekolah. Tidak ada yang
akan menyakitimu di sini.” ujar Miss Emily tenang.
“D, dia tidak ada di sini, kan, Kak Emily?”
tanya Arisa. Ia mengenal suara Emily yang sering mengunjunginya di rumah dan
untuk bertemu Yuya, kakaknya.
“Tidak ada. Dia tidak ada di sini dan kamu bisa
tenang…” kata Miss Emily, “Mina, tolong kmau ambilkan air untuk Arisa.
“Ah, baik!”
“O, orang itu tidak ada di sini, kan? Dia tidak
akan menyakitiku lagi, kan?” tanya Arisa, suaranya terdengar bergetar.
“Tidak, Arisa. Tidak ada orang yang akan
mencelakakanmu di sini.” Miss Emily tersenyum, “Sekarang, minumlah dulu dan
beristirahatlah sebentar.”
Arisa mendongak dan melihat Mina datang sambil
membawa segelas air. Dia meminum air putih itu dengan patuh dan memegangi
kepalanya yang berdenyut-denyut.
“Beristirahatlah. Aku akan menelepon orangtuamu
untuk menjemputmu. Hari ini sebaiknya kamu pulang cepat saja.” kata Miss Emily,
“Aku akan membuatkan surat untuk wali kelasmu.”
Arisa mengangguk pelan dan kembali berbaring.
Hanya dalam beberapa detik, dia kembali tertidur.
“Miss… Emiliy, apa yang sebenarnya terjadi
Arisa?” tanya Mina. “Kenapa dia kelihatan begitu… ketakutan?”
“Arisa memiliki trauma.” kata Miss Emily,
kemudian termenung sebentar, “Apa kalian bisa menjaga rahasia?”
“Tentu.” Sambar Deby, “Kalau itu menyangkut
Arisa, semua akan menjadi rahasia. Aku sudah mengenal Arisa sejak SD. Dan
kurasa aneh dia bertingkah seperti tadi. Dia tidak pernah seperti itu
sebelumnya.”
Miss Emily tersenyum. Dia juga mendengar kalau
Arisa dan Deby adalah teman satu kelas saat mereka masih SD dan menjadi sahabat
karib sebelum Utami dan Mina masuk dalam lingkaran persahabatan mereka.
“Jadi,” kata Utami, “Apa trauma yang dialami
Arisa?”
Miss Emily menatap Arisa yang tertidur pulas.
“Ini akan memakan waktu lama. Kurasa sbeaiknya Miss membuatkan surat dulu untuk
kalian agar bisa ‘membolos’ satu jam pelajaran.”
***
“Ada satu hal yang harus kamu ketahui ketika
berurusan dengan Arisa.” Kata Yutaka sambil menghirup teh yang dibuatkan
istrinya.
Haruto mengangguk dan ikut menyesap tehnya.
“Arisa sangat pendiam. Aku sebagai ayahnya
bahkan sering kebingungan menghadapi sikap diamnya yang sangat parah itu.” kata
Yutaka lagi.
“Saya sudah merasakannya dan saya cukup
mengerti.” kata Haruto, “Pertama kali saya bertemu dengannya, dia kelihatan
kaget, dan langsung kabur begitu saya menyebutkan nama saya.”
“Wajar dia kabur karena mengetahuimu sebagai
Haruto Kirishima.” Nina yang duduk di sebelah suaminya menyahut sambil
tersenyum. “Itu karena dia tidak menyangka akan bertemu denganmu di
sekolahnya.”
Haruto hanya tersenyum.
“Aku tidak memaksamu untuk menerima sikap diam
Arisa,” kata Yutaka, “Tapi, aku ingin menegaskan padamu, sekali Arisa terluka
hatinya, dia sulit memaafkan dan akan terus mengingatnya. Bagi sebagian orang,
mungkin memaafkan dan melupakan akan menjadi satu kesatuan yang mudah
dilakukan, tapi tidak bagi Arisa.”
“Maksudnya… bagaimana?” tanya Haruto.
“Kemarilah, nak.”
Yutaka berdiri dan membimbing Haruto menuju
sebuah ruangan lain di sebelah kamar Arisa. Yutaka membuka pintu ruangan itu
dan menyalakan lampunya. Betapa terkejutnya Haruto ketika melihat begitu banyak
lemari yang memuat berbagai piala dan piagam, serta beberapa pigura berisi
sertifikat-sertifikat yang ia tebak adalah semacam sertifikat perlombaan atau
semacamnya.
Di sebuah lemari kecil, Haruto melihat sebuah
pigura foto. Dia menghampiri pigura foto itu dan melihat foto seorang gadis
kecil berambut hitam yang sedang memegang sebuah piala dan medali di tangannya.
Gadis kecil itu mengenakan gaun berwarna biru langit dan senyumnya begitu manis
dan memikat.
“Itu Arisa ketika dia berusia 8 tahun.” Kata
Yutaka. “Dan… seperti yang kamu lihat, ini adalah ruangan koleksi piala-piala
serta piagam Arisa.”
“Semua ini!!?”
Haruto memandangi semua lemari, sekitar 7
lemari yang memuat piala-piala dari ukuran terkecil sampai ukuran yang paling
besar.
“Arisa punya banyak bakat.” Kata Nina,
“Bernyanyi, berakting, menggambar dan menulis cerita. Dia bahkan sempat
ditawari untuk bermain drama di sebuah teater terkenal dulu.”
“Sejak kecil, Arisa sudah sering mengikuti
lomba. Bahkan tidak jarang selama satu minggu dia mengikuti sekitar 6 lomba.
Dulu Arisa terkenal dengan julukan Angel. Dia punya senyum memikat bak malaikat
dan para juri, yang kebetulan mengenal kami mengatakan kalau Arisa adalah anak
paling berbakat yang hanya muncul beberapa tahun sekali…”
“Karena itulah semua piala ini… begitu banyak.”
Kata Haruto, “Tapi, kenapa tiba-tiba dia menjadi pendiam begitu. Seingatku,
jika seseorang sering mengikuti lomba-lomba fashion
atau lomba lainnya, kepribadiannya akan ramah dan ceria.”
“Itulah yang ingin kami bicarakan lebih
serius.” Kata Yutaka, “Karena ini juga menyangkut keputusanmu merekrut Arisa ke
dalam perusahaan rekamanmu.”
Haruto mengerutkan kening, sementara Nina
menghela nafas berat.
“Nak, kau pernah dengar insiden 4 tahun lalu?”
tanya Yutaka. “Insiden mengenai salah seorang anak orang terkenal yang
terjaring dalam suatu pemeriksaan anak-anak berandal?”
Haruto mendadak terdiam. Insiden 4 tahun lalu.
Dia rasanya pernah mendengar insiden itu. Tapi, insiden yang tepatnya
dibicarakan Yutaka, ia tidak tahu.
“Aku pernah mendengarnya. Tapi, aku tidak tahu
apakah aku ingat…” kata Haruto, “Ada apa dengan insiden itu?”
Yutaka dan Nina saling pandang.
“Nak, pada saat itu, Arisa pernah bertemu
denganmu.” kata Nina, “Apa kau tidak ingat?”
“Tidak…” Haruto menggeleng, “Aku masih berusia
15 tahun saat itu, dan diawasi ketat karena insiden Raja Hitam yang pernah
terjadi 14 tahun silam.”
“Insiden Raja Hitam? Maksudmu insiden yang
terjadi di Pulau Dewata?”
“Y, ya… aku adalah salah satu saksi yang
selamat dari insiden itu.”
Lagi-lagi Haruto melihat Yutaka dan Nina saling
pandang. Kali ini wajah mereka berdua dihiasi kekagetan yang tidak kentara.
“Sepertinya ini memang berhubungan dengan
Arisa, takdirnya… masa lalunya…” kata Yutaka menghela nafas. “Aku akan
menceritakan sesuatu, tapi, setelah mendengarnya, kuharap kau mengambil
keputusan yang bijak.”
“Memangnya… apa yang ingin Anda ceritakan?”
tanya Haruto. Kenapa untuk minta izin pada kedua orangtua Arisa agar ia bisa
merekrut Arisa ke perusahaannya harus berbelit-belit begini?
“Karena ini menyangkut masa lalu Arisa.” Ujar
Nina. “Masa lalu Arisa yang cukup… rumit.”
***
“Arisa pernah… astaga!”
Mina menutup mulutnya dengan sebelah tangan
mendengar cerita Miss Emily mengenai Arisa.
“Ya. Arisa mengalami trauma setelahnya.” Ujar
Miss Emily. “Kakaknya, Yuya, bahkan sempat terkena amukan Arisa pada awal-awal
dia sembuh. Arisa mendapatkan pengalaman yang begitu menyakitkan. Dia bahkan sempat
menangis berhari-hari dan mogok makan serta terus mengurung diri di kamar.”
“Arisa pernah… astaga… aku tidak percaya.” Ujar
Deby. “Arisa mengalami pengalaman yang seharusnya tidak dia dapatkan pada usia
itu.”
“Benar-benar tidak tahu adat, orang yang
memperlakukan Arisa seperti itu.” sahut Utami. “Kalau aku, mungkin sudah bunuh
diri.”
“Ya… itu juga yang terlintas di benak Arisa
waktu itu.” Miss Emily mengangguk, “Dulu Miss menjadi psikiaternya dan merasa
Arisa perlu… ditolong. Arisa adalah anak yang lemah perasaannya dan mudah
trauma setelah peristiwa itu. Kedua orangtua Arisa bahkan menyuruh Miss unutk
menjadi pengawasnya selama di sekolah ini.”
“Jadi, Miss disuruh masuk sekolah ini karena
permintaan orangtua Arisa?” tanya Mina.
“Kurang lebih begitu. Di samping Miss diterima
bekerja di sini, itu lebih memudahkan pekerjaan mengawasi Arisa.”
Mina dan kedua temannya memandangi Arisa yang
sedang tertidur pulas. Mereka benar-benar tidak menyangka Arisa memiliki trauma
yang sangat mendalam, sampai nyaris tidak mengenali Miss Emily tadi.
“Nah, sekarang tergantung kalian,” kata Miss
Emily, “Apa kalian akan menjauhinya dan memandangnya rendah atau kalian tetap
berteman dengannya dan melupakan segala yang pernah terjadi pada Arisa di masa
lalu.”
Miss Emily tersenyum melihat raut wajah ketiga
siswi itu, “Jangan khawatir, Arisa pasti mengerti kenapa kalian tiba-tiba
menjauhinya nanti. Dia juga sudah memberitahu Miss, kalau hal itu sampai
terjadi, dia akan menerimanya.”
“Kenapa Miss bisa sampai berpikiran seperti
itu?” tanya Deby.
“Karena Arisa pernah bilang, ‘Aku tidak akan
kenapa-kenapa hanya karena dijauhi bahkan oleh sahabatku sendiri saat mereka
tahu yang sebenarnya. Toh, itu hak mereka untuk menjauhi dan membenciku’.”
“Kenapa Arisa harus mengatakan hal seperti
itu?” kali ini Utami yang berbicara. “Dia terlalu pesimis. Kenapa dia tidak
pernah berpikiran positif?”
“Karena dia pernah dikhianati.” Kata Miss
Emily, “Dia pernah dikhianati sahabatnya sendiri ketika sahabatnya tahu apa
yang terjadi pada Arisa. Sahabatnya itu bukannya menolong, malah memojokkan
Arisa dan membuat anak-anak satu sekolahnya mengejeknya dengan sebutan yang
membuat telinga Miss terasa panas jika mendengarnya.”
“Arisa pernah dikhianati, disakiti, dan
dipandang sebelah mata. Tapi, dia tidak mengeluh dan justru menimbun semuanya
dalam hatinya.” Miss Emily menghela nafas, “Bahkan dengan keluarganya sendiri,
ia begitu tertutup. Tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkannya kecuali
dia sendiri.”
“Apa kalian masih mau berteman dengannya?”
“Aku tidak ragu lagi.” kata Deby, “Dia temanku
sejak SD. Dan… kurasa dia butuh satu kepala lagi untuk memikirkan masalah
selain PR dan tugas sekolah.”
“Aku juga tidak keberatan. Arisa sangat baik.
Dia bahkan yang menyapaku pertama kali ketika baru masuk SMP ini.” ujar Utami
sambil tersenyum lebar.
“Aku juga tidak keberatan, lagipula Arisa
adalah anak yang baik.” kata Mina, “Dia mengubah cara pandangku bahwa anak-anak
tingkat 1 sepertinya tidak bisa diremehkan. Selain itu, dia juga menjadi
satu-satunya perempuan yang kukenal yang masih mampu bertahan walau dia terkena
trauma yang parah seperti itu.”
Miss Emily tersenyum mendengar jawaban ketiga
siswinya.
“Kurasa kalian harus diberi penghargaan karena
masih mau berteman dengan Arisa.” Gurau Miss Emily, “Kurasa kedua orangtuanya
juga akan senang bahwa masih ada yang peduli pada masa lalu Arisa.”
Ketiga siswi itu mengangguk sambil tersenyum
lebar.
“Nnngghh…”
Serentak mereka berempat menoleh kearah Arisa
yang kedua kelopak matanya perlahan terbuka. Gadis itu mengerutkan kening
melihat Mina, Deby, dan Utami ada di sekelilingnya.
“Kalian… kenapa tidak masuk kelas?”
“Bagaimana bisa kami masuk ke kelas kalau
keadaanmu mengkhawatirkan?” kata Utami. “Kamu tahu, tadi kamu mengigau sambil
mengatakan ‘Pergi dariku!’ dan semacamnya.”
Arisa langsung terduduk tegak dan wajahnya
memerah. Dia menatap Utami yang terkekeh dengan perubahan raut wajahnya dan
tahu dia sedang dikerjai.
“Utami…”
“Maaf, maaf…” Utami mengibaskan tangannya,
“Habisnya, kamu mudah sekali digoda. Kurasa aku jadi tahu alasan mengapa kamu
selalu digoda oleh cowok-cowok.”
“Sudah, deh, Utami. Jangan memanas-manasi.”
Sela Deby, “Bagaimana keadaanmu?”
“Sudah… lebih baik.” kata Arisa, “Tapi, aku
masih merasa sedikit pusing.”
“Itu wajar. Kamu tadi diminumkan obat tidur oleh
Miss Emily.”
“Ah, ya…” Arisa manggut-manggut.
“Oh ya, ini hadiah dari Hendry, tidak sempat
kamu bawa.” Mina menunjuk kotak yang ada di pangkuannya. Kotak itu tadi
dibawakan oleh seorang siswa yang membantu membawa Arisa ke ruang kesehatan.
Arisa melirik kotak itu dengan tidak berselera.
“Simpan saja untukmu, Mina. Aku tidak mau pergi
ke pesta itu bersamanya.” Kata Arisa.
Mina hanya tersenyum. Beginilah Arisa
seharusnya. Dingin namun juga tenang. Tidak seperti tadi.
“Yang benar…? Jangan-jangan sebenarnya kamu
malu pergi bersama Hendry?” kata Deby sambil terkekeh.
Arisa menggeleng. “Aku bukannya malu pergi
dengannya. Tapi, kemungkinan besar, aku tidak akan hadir dalam pesta itu.”
“Ehh??? Kenapa?” tanya Utami, “Padahal aku
ingin sekali melihatmu mengenakan gaun itu.”
“Aku tidak suka keramaian.”
“Tapi, kalau kamu menerima tawaran Haruto, kamu
akan selalu berada di keramaian.” Ujar Mina, yang langsung disambut Arisa
dengan kening berkerut.
“Kamu… tahu?”
“Tidak!” Mina menggelengkan kepalanya, “Aku
hanya asal menebak dan… tunggu, apa itu benar? Kamu ditawari Haruto untuk
bergabung di perusahaan rekamannya?”
Arisa tidak menjawab. Dan sikap itu cukup bagi
Mina sebagai jawaban.
“Ternyata benar kamu membicarakan hal itu
dengannya!” seru Mina. “Waktu itu, saat dia menyuruhku kembali ke kelas lebih
dulu dan ingin bicara denganmu!”
“Benarkah?” Deby membelalakkan matanya.
“Apa itu benar, Arisa?” tanya Utami.
Arisa tetap tidak menjawab. Pandangan matanya
seakan menerawang jauh sehingga ketiga temannya hanya saling pandang.
“Kurasa orangtuamu sudah datang, Arisa.” Kata
Miss Emily, “Tadi Miss memberitahu pihak sekolah kalau kamu akan pulang lebih
cepat. Khawatirnya, seranganmu kambuh lagi nanti, jadi—”
“Ya.” sela Arisa, “Aku tahu. Aku harus
beristirahat di rumah untuk beberapa hari.”
Miss Emily tersenyum.
“Oh ya, tadi kamu pingsan karena apa, sih?”
tanya Deby, berpura-pura bertanya. Dia hanya ingin melihat seperti apa respon
yang diberikan Arisa atas pertanyaannya.
“Aku… hanya kecapekan saja.” jawab Arisa
berbohong. “Mina, gaun ini untukmu saja.”
“Tidak. Aku tidak bisa, lagipula ukuranmu dan
ukuranku berbeda jauh.” Sahut Mina menggeleng sambil meletakkan kotak itu di
pangkuan Arisa.
Arisa mengeluh panjang dan menatap kotak di
pangkuannya dengan tatapan malas.
“Baiklah, aku akan membawa gaun ini, tapi aku
tidak akan pernah memakainya.” Katanya.
“Itu terserah padamu.”
Sekitar 15 menit kemudian, ibu Arisa datang
dengan wajah panic dan cemas. Dia menghampiri Arisa dan menanyakan apakah anak
perempuannya itu terluka.
“Aku tidak apa-apa, Ma. Hanya pingsan… seperti
biasa.” kata Arisa sambil tersenyum.
“Kamu jarang pingsan.” ujar ibunya, “Baru kali
ini Mama mendengarmu pingsan di sekolah.”
“Yah… mungkin ada sesuatu yang menghantam
kepalaku dan…” Arisa berhenti bicara ketika melihat raut wajah ibunya yang
semakin cemas, “Tapi aku tidak apa-apa. Sungguh.”
“Baiklah…” Nina menghela nafas, “Emily, di mana
kelas Arisa, aku akan mengambil tasnya dan—”
“Aku sudah membawanya tadi.” Mina menunjukkan
tas sekolah Arisa yang tadi dibawanya saat dia mengantarkan surat izin Arisa ke
kelas. “Beruntungnya hari ini tidak terlalu banyak pelajaran, jadi kami bisa
lebih leluasa menjaga Arisa.”
“Terima kasih, Mina.” Nina tersenyum, “Nah,
ayo, Arisa.”
Arisa berdiri sambil membawa kotak hadiah dari
Hendry. Ketiga temannya mengekor di belakang. Mereka mengantar Arisa dan ibunya
sampai ke lobi.
“Arisa,”
Arisa mendongak mendengar suara itu dan harus
menahan diri untuk bersembunyi di belakang ibunya ketika berhadapan dengan
Haruto yang menatapnya cemas. Sementara di belakangnya, Arisa bisa mendengar
Utami dan Deby menahan nafas untuk tidak berteriak histeris karena melihat
Haruto Kirishima di hadapan mereka.
Haruto berdiri dari sofa yang didudukinya dan
menghampiri Arisa.
“Kamu tidak apa-apa? Kata Pak Yutaka kamu pingsan…”
“Dia sudah tidak apa-apa, Haruto. Jangan
khawatir.” Ujar Nina tersenyum, “Ayo, Arisa, tadi Mama kemari naik mobil
Haruto. Tidak apa-apa, kan kalau Mama yang menyetir sementara Haruto menjagamu
di kursi belakang?”
“Err… tidak apa.” Arisa menggeleng. Dia
berbalik menghadap teman-temannya, “Aku pulang dulu. Mina, tolong bilang pada
Mrs. Junith hari ini kalau aku tidak bisa mempresentasikan laporan fisikaku.”
“Tidak masalah.” Kata Mina agak tergagap.
“Cepat sembuh dan segera kembali ke sekolah. Belum sehari, aku pasti akan
merindukan sifat dingin-dingin tenangmu di dekatku.”
Arisa hanya mencibir tanpa suara, tapi bibirnya
tersenyum.
Nina membantu Arisa berjalan sambil memegangi
pundak gadis itu. Haruto sendiri segera membukakan pintu belakang dan membantu
Arisa duduk. Ia lalu menyerahkan kunci mobilnya pada ibu Arisa yang langsung
mengambil tempat di kursi pengemudi.
Ketika mobil Haruto meninggalkan lingkungan SMP
Global Junior, barulah Deby dan Utami berteriak histeris dan menumpahkan segala
pikiran mereka.
“Itu Haruto Kirishima! Dia tampan sekali!!”
ujar Deby.
“Benar. Dia kelihatan masih muda, dan… tunggu,
usianya baru 19 tahun, kan? Dia hanya tua 3-4 tahun dari kita.” Kata Utami.
“Yup! Dan kurasa, dia suka dengan Arisa.” Kata
Deby lagi, “Kalian lihat bagaimana paniknya dia ketika menghampiri Arisa tadi?”
“Ya. Sikap panic seperti itu hanya dimiliki
oleh seorang cowok yang menyukai seorang cewek.” timpal Mina, “Tapi, aku tidak
berani berharap. Apalagi mendengar masa lalu Arisa yang diceritakan Miss Emily
tadi…”
“Yah… masa lalu adalah masa lalu, Mina.” Ujar
Utami, “Aku yakin, Arisa tidak akan hidup dalam bayang-bayang masa lalu
selamanya.”
“Kuharap begitu…” kata Mina.
“Hei, daripada kita hanya berdiam diri di sini,
kita kembali ke kelas saja!” kata Deby, “Utami, ayo, kita bergosip lagi soal
Haruto Kirishima!”
Mina hanya menatap kedua temannya dengan
sebelah alis terangkat, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.
0 komentar:
Posting Komentar