Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Angel's Lullaby Chapter 5



“Yak, kurasa aku sudah menekankan pada kalian bahwa sampel rekaman untuk lagu baru kalian benar-benar memuaskan.” Kata Haruto, “Persiapan untuk membuat video music dan juga yang lainnya akan diatur oleh bawahanku yang lain. Kalian tinggal menanyakan dan menjalaninya dengan semaksimal mungkin.”

Anggota JS’Vers manggut-manggut mengerti. Haruto tersenyum dan melirik jam tangannya.
“Kurasa hanya itu yang bisa kusampaikan secara langsung pada kalian. Selamat beraktivitas seperti biasa.”
Hanya dengan satu kalimat itu, para anggota JS’Vers langsung bubar, Haruto sendiri kembali sibuk dengan berkas-berkas yang menumpuk di mejanya.
“Haruto,”
Haruto mendongak dan melihat Eliza, vokalis JS’Vers yang sepantaran dirinya tidak beranjak dari tempat duduknya. Wanita itu justru berdiri dan melangkah kearahnya dengan senyum menggoda.
“Apa hari ini kamu ada waktu? Aku ingin berbicara padamu.” Ujarnya.
Haruto yakin dia menghela nafas lelah. Dia sudah sering kali menolak tawaran Eliza untuk berkencan dengan wanita itu, tapi tidak pernah mengambilnya. Bahkan teman-temannya sampai mengatakan bahwa ia adalah pria bodoh karena menolak wanita secantik Eliza.
Ia harus mengakui, Eliza cantik. Dengan kulit putih bak porselen dan tubuh tinggi semampai. Wajah oriental yang dibingkai dengan rambut coklat bergelombang sempurna. Suaranya juga bisa membius para pendengarnya. Dengan suara yang bak malaikat dan juga sopran, tidak heran Eliza menggetarkan hati Haruto dalam bidang music… pada awalnya. Sekarang, setelah mengetahui salah satu sifat Eliza yang  membuat beberapa anggota JS’Vers tidak menyukai wanita itu, Haruto secara teratur berusaha untuk tidak terlibat hubungan dengan Eliza.
“Aku ada janji dengan seseorang, Eliza.” Kata Haruto. “Aku tidak bisa meneirma ajakanmu untuk mengobrol. Maaf, ya?”
Eliza merengut mendengar penolakan Haruto. Terlebih ketika laki-laki itu segera berdiri dan menyampirkan jas coklatnya ke bahu, lalu pergi begitu saja. Ketika pintu tertutup itulah, Eliza baru bisa melampiaskan kemarahannya dengan mengentakkan kakinya keras-keras ke lantai yang dilapisi karpet bulu berwarna abu-abu.
“Apa-apaan dia menolakku seperti itu!?” geramnya sambil bersedekap. “Apakah janjinya dengan seseorang itu begitu pentingnya sampai dia tidak mau berbicara padaku?”
Sudah bukan rahasia lagi Eliza tertarik pada pemilik Mirai Entertainment, Haruto Kirishima. Teman-temannya di JS’Vers juga sangat jelas melihat hal itu, namun tidak bisa mencegah. Mereka tahu, jika mereka mencegah Eliza akan membuat wanita itu semakin gencar mendapatkan keinginannya.
Eliza sudah mencoba menarik perhatian Haruto sejak mereka pertama kali bekerja sama, dan ia sudah mengerahkan segenap pesonanya agar Haruto tertarik padanya. Namun, sama seperti sekarang, Haruto selalu menolaknya, baik itu untuk mengobrol atau makan malam bersama. Hingga akhirnya Haruto mendapat julukan dari teman-temannya sebagai manusia es yang mempunyai senyum ramah.
Julukan itu memang tidak cocok, tapi melihat dari sikap Haruto, semua orang sepakat menamainya seperti itu.
Eliza sendiri tidak peduli dia ditolak berkali-kali oleh Haruto. Yang dia inginkan adalah menjadi kekasih laki-laki itu, kemudian menikahinya. Dengan begitu, Eliza menjadi selangkah lebih dekat dengan keinginan terbesarnya. Namun, menilik dari situasinya sekarang, Eliza tahu itu mustahil.
Aku akan mendapatkannya. Kata Eliza dalam hati, Aku pasti akan mendapatkan Haruto, dan bila saat itu tiba, tidak akan ada yang bisa menghentikanku!

***

Haruto mengemudikan mobilnya ke rumah Arisa. Gadis itu bilang orangtuanya baru bangun pada pukul 7 pagi, kan? Sekarang sudah pukul 11 pagi, dan dia yakin kedua orangtua Arisa sudah bangun dan sedang melakukan aktivitas mereka di rumah.
Rumah Arisa kelihatan sepi, tapi sebuah mobil berwarna merah terparkir di garasi yang pintunya terbuka. Seorang pria setengah baya tengah membersihkan kaca mobil dengan kain. Haruto tersenyum, itu pasti ayah Arisa.
Dia keluar dari mobil dan menghampiri pria tersebut sambil tersenyum.
“Selamat pagi,”
Pria itu mendongak dan dari kacamatanya, Haruto melihat mata pria itu memandangnya sebentar dengan tatapan yang… entahlah, sulit diartikan.
“Kau pasti Haruto Kirishima,” ujar pria itu sambil meletakkan kain di tangannya ke atas kursi di dekatnya.
“Ya.” Haruto mengangguk, “Saya datang kemari karena—”
“Aku juga sudah tahu alasanmu datang kemari,” sela beliau, “Kalau kau tidak keberatan, sebaiknya kita berbicara di dalam saja. Kau ingin membicarakan tawaranmu pada Arisa, kan?”
“Ya.” Haruto lagi-lagi mengangguk.
“Untuk itu, kita perlu duduk dan membicarakannya. Ini akan memakan waktu berjam-jam.” Ujar beliau, membuat Haruto mengerutkan kening.
“Maksud… bapak?”
“Kau akan tahu.” ujar beliau, “Sekarang, mari masuk.”

***

“Arisa, ini untukmu.”
Arisa mendongak dan langsung dihadapkan dengan sebuah kotak besar berwarna pink dan dihiasi pita berwarna putih. Ia menatap wajah orang yang memberikan kotak tersebut, Hendry Miller, salah seorang dari siswa tingkat 3 yang terkenal karena prestasi basket dan bidang olahraga lainnya.
Semua orang terpekik histeris melihat Hendry memberikan hadiah pada Arisa, terlebih ketika fans gadis itu melonjak naik jumlahnya hanya dalam waktu beberapa jam.
Arisa menerima kotak itu dan menimang-nimangnya.
“Terima kasih,” kata Arisa datar, “Apa isinya?”
“Buka saja kalau kamu mau.” ujar Hendry sambil tersenyum.
Arisa melirik Mina yang duduk di sebelahnya, kemudian Deby dan Utami. Mereka bertiga mengangguk bersamaan menyuruh Arisa cepat-cepat membuka kotak itu.
Dengan perasaan malas, ia membuka kotak itu dan mendapati sebuah gaun berwarna biru cerah dengan hiasan rimpel dan pita di pinggangnya. Gaun itu sangat cantik, sampai-sampai semua orang yang memandanginya akan merasa itu adalah gaun seorang bidadari.
“Sebentar lagi tahun baru, dan pihak sekolah akan mengadakan pesta menyambut tahun baru di aula besar.” kata Hendry, “Kamu mau datang bersamaku ke sana, kan?”
Semua orang yang mendengarnya langsung teringat sebuah pengumuman yang baru saja ditempel mengenai pesta tahun baru yang akan dilaksanakan kurang dari 2 minggu lagi. Para siswi, tentu mengerang frustasi karena mereka baru mengingat pesta tersebut dan melihat Hendry sudah mengajak Arisa. Sementara para siswa, yah… mereka juga sama frustasinya dengan para siswi.
Arisa hanya diam. Mendadak kepalanya teringat sesuatu yang membuat tubuhnya menggigil.
“Arisa? Kamu mau ke pesta itu bersamaku, kan?” tanya Hendry lagi.
“Arisa, jawab, dong! Hendry menunggu jawabanmu, tuh!” kata Deby.
Arisa memejamkan matanya, dia memegangi kepalanya yang tiba-tiba terasa sakit. Sekelebat ingatan menyerang kepalanya begitu kuat sampai dia berdiri dan langsung pergi meninggalkan teman-temannya.
“Arisa!”
Mina berdiri dan mengejarnya. Arisa berlari sampai dia sampai ke taman belakang sekolah dan dia terjatuh lemas di sisi kursi panjang favoritnya.
“Arisa! Ya Tuhan…”
Mina langsung berlutut di sebelah Arisa dan melihat wajah gadis itu begitu pucat, nyaris putih seperti kapas.
“Arisa, wajahmu sangat pucat. Kamu tidak apa-apa?”
“T, tolong… bilang pada Hendry kalau aku…” mata Arisa menutup dan dia langsung pingsan.
“Arisa!!”
“Mina, ada apa?”
Deby dan Utami yang berinisiatif mengejar Mina terkejut Arisa pingsan.
“Utami, Deby, tolong bantu aku membawa Arisa ke ruang kesehatan.” Kata Mina, “Kalau bisa, panggil anak laki-laki juga datang untuk membawanya. Cepat!”
Deby mengangguk dan langsung memanggil beberapa orang untuk membawa Arisa ke ruang kesehatan. Sementara Utami membantu Mina mengangkat tubuh Arisa. Keningnya tiba-tiba berkerut ketika menyentuh kulit Arisa yang dingin seperti es.
“Kulitnya begitu dingin…” kata Utami. “Dia seperti mayat saja.”
“Dia juga pernah pingsan seperti ini saat Haruto memegang tangannya.” Kata Mina, “Ah, itu yang lain datang. Hei! Cepat bantu kami!”
Beberapa anak laki-laki yang dipanggil Deby langsung menggotong Arisa ke ruang kesehatan. Miss Emily, perawat yang menjaga ruang kesehatan yang melihat Arisa langsung tersenyum maklum dan memberikan obat untuk Arisa. Mina, Utami, dan Deby duduk mengelilingi tempat tidur di mana Arisa berbaring. Anak laki-laki yang membantu mereka langsung pergi setelah mengantarkan mereka ke ruang kesehatan.
“Miss, Arisa tidak kenapa-kenapa, kan?” tanya Deby.
“Tidak masalah. Dia sudah sering seperti ini.” kata Miss Emily, “Miss mengenal kakaknya, dan dari kakaknya Miss juga tahu kalau Arisa sering pingsan sejak 4 tahun lalu.”
“Sejak 4 tahun lalu?” Utami mengerutkan kening.
Miss Emily hanya tersenyum dan tidak mengatakan lebih jauh. Ketika itu, Arisa akhirnya sadar, dan reaksi pertama yang diperlihatkan gadis itu sungguh di luar dugaan ketiga temannya.
Wajah Arisa yang pucat makin pucat dan dia menatap nanar sekitarnya. Ia juga langsung merapatkan punggungnya ke tembok.
“Arisa, tenang… ini di sekolah. Tidak ada yang akan menyakitimu di sini.” ujar Miss Emily tenang.
“D, dia tidak ada di sini, kan, Kak Emily?” tanya Arisa. Ia mengenal suara Emily yang sering mengunjunginya di rumah dan untuk bertemu Yuya, kakaknya.
“Tidak ada. Dia tidak ada di sini dan kamu bisa tenang…” kata Miss Emily, “Mina, tolong kmau ambilkan air untuk Arisa.
“Ah, baik!”
“O, orang itu tidak ada di sini, kan? Dia tidak akan menyakitiku lagi, kan?” tanya Arisa, suaranya terdengar bergetar.
“Tidak, Arisa. Tidak ada orang yang akan mencelakakanmu di sini.” Miss Emily tersenyum, “Sekarang, minumlah dulu dan beristirahatlah sebentar.”
Arisa mendongak dan melihat Mina datang sambil membawa segelas air. Dia meminum air putih itu dengan patuh dan memegangi kepalanya yang berdenyut-denyut.
“Beristirahatlah. Aku akan menelepon orangtuamu untuk menjemputmu. Hari ini sebaiknya kamu pulang cepat saja.” kata Miss Emily, “Aku akan membuatkan surat untuk wali kelasmu.”
Arisa mengangguk pelan dan kembali berbaring. Hanya dalam beberapa detik, dia kembali tertidur.
“Miss… Emiliy, apa yang sebenarnya terjadi Arisa?” tanya Mina. “Kenapa dia kelihatan begitu… ketakutan?”
“Arisa memiliki trauma.” kata Miss Emily, kemudian termenung sebentar, “Apa kalian bisa menjaga rahasia?”
“Tentu.” Sambar Deby, “Kalau itu menyangkut Arisa, semua akan menjadi rahasia. Aku sudah mengenal Arisa sejak SD. Dan kurasa aneh dia bertingkah seperti tadi. Dia tidak pernah seperti itu sebelumnya.”
Miss Emily tersenyum. Dia juga mendengar kalau Arisa dan Deby adalah teman satu kelas saat mereka masih SD dan menjadi sahabat karib sebelum Utami dan Mina masuk dalam lingkaran persahabatan mereka.
“Jadi,” kata Utami, “Apa trauma yang dialami Arisa?”
Miss Emily menatap Arisa yang tertidur pulas. “Ini akan memakan waktu lama. Kurasa sbeaiknya Miss membuatkan surat dulu untuk kalian agar bisa ‘membolos’ satu jam pelajaran.”

***

“Ada satu hal yang harus kamu ketahui ketika berurusan dengan Arisa.” Kata Yutaka sambil menghirup teh yang dibuatkan istrinya.
Haruto mengangguk dan ikut menyesap tehnya.
“Arisa sangat pendiam. Aku sebagai ayahnya bahkan sering kebingungan menghadapi sikap diamnya yang sangat parah itu.” kata Yutaka lagi.
“Saya sudah merasakannya dan saya cukup mengerti.” kata Haruto, “Pertama kali saya bertemu dengannya, dia kelihatan kaget, dan langsung kabur begitu saya menyebutkan nama saya.”
“Wajar dia kabur karena mengetahuimu sebagai Haruto Kirishima.” Nina yang duduk di sebelah suaminya menyahut sambil tersenyum. “Itu karena dia tidak menyangka akan bertemu denganmu di sekolahnya.”
Haruto hanya tersenyum.
“Aku tidak memaksamu untuk menerima sikap diam Arisa,” kata Yutaka, “Tapi, aku ingin menegaskan padamu, sekali Arisa terluka hatinya, dia sulit memaafkan dan akan terus mengingatnya. Bagi sebagian orang, mungkin memaafkan dan melupakan akan menjadi satu kesatuan yang mudah dilakukan, tapi tidak bagi Arisa.”
“Maksudnya… bagaimana?” tanya Haruto.
“Kemarilah, nak.”
Yutaka berdiri dan membimbing Haruto menuju sebuah ruangan lain di sebelah kamar Arisa. Yutaka membuka pintu ruangan itu dan menyalakan lampunya. Betapa terkejutnya Haruto ketika melihat begitu banyak lemari yang memuat berbagai piala dan piagam, serta beberapa pigura berisi sertifikat-sertifikat yang ia tebak adalah semacam sertifikat perlombaan atau semacamnya.
Di sebuah lemari kecil, Haruto melihat sebuah pigura foto. Dia menghampiri pigura foto itu dan melihat foto seorang gadis kecil berambut hitam yang sedang memegang sebuah piala dan medali di tangannya. Gadis kecil itu mengenakan gaun berwarna biru langit dan senyumnya begitu manis dan memikat.
“Itu Arisa ketika dia berusia 8 tahun.” Kata Yutaka. “Dan… seperti yang kamu lihat, ini adalah ruangan koleksi piala-piala serta piagam Arisa.”
“Semua ini!!?”
Haruto memandangi semua lemari, sekitar 7 lemari yang memuat piala-piala dari ukuran terkecil sampai ukuran yang paling besar.
“Arisa punya banyak bakat.” Kata Nina, “Bernyanyi, berakting, menggambar dan menulis cerita. Dia bahkan sempat ditawari untuk bermain drama di sebuah teater terkenal dulu.”
“Sejak kecil, Arisa sudah sering mengikuti lomba. Bahkan tidak jarang selama satu minggu dia mengikuti sekitar 6 lomba. Dulu Arisa terkenal dengan julukan Angel. Dia punya senyum memikat bak malaikat dan para juri, yang kebetulan mengenal kami mengatakan kalau Arisa adalah anak paling berbakat yang hanya muncul beberapa tahun sekali…”
“Karena itulah semua piala ini… begitu banyak.” Kata Haruto, “Tapi, kenapa tiba-tiba dia menjadi pendiam begitu. Seingatku, jika seseorang sering mengikuti lomba-lomba fashion atau lomba lainnya, kepribadiannya akan ramah dan ceria.”
“Itulah yang ingin kami bicarakan lebih serius.” Kata Yutaka, “Karena ini juga menyangkut keputusanmu merekrut Arisa ke dalam perusahaan rekamanmu.”
Haruto mengerutkan kening, sementara Nina menghela nafas berat.
“Nak, kau pernah dengar insiden 4 tahun lalu?” tanya Yutaka. “Insiden mengenai salah seorang anak orang terkenal yang terjaring dalam suatu pemeriksaan anak-anak berandal?”
Haruto mendadak terdiam. Insiden 4 tahun lalu. Dia rasanya pernah mendengar insiden itu. Tapi, insiden yang tepatnya dibicarakan Yutaka, ia tidak tahu.
“Aku pernah mendengarnya. Tapi, aku tidak tahu apakah aku ingat…” kata Haruto, “Ada apa dengan insiden itu?”
Yutaka dan Nina saling pandang.
“Nak, pada saat itu, Arisa pernah bertemu denganmu.” kata Nina, “Apa kau tidak ingat?”
“Tidak…” Haruto menggeleng, “Aku masih berusia 15 tahun saat itu, dan diawasi ketat karena insiden Raja Hitam yang pernah terjadi 14 tahun silam.”
“Insiden Raja Hitam? Maksudmu insiden yang terjadi di Pulau Dewata?”
“Y, ya… aku adalah salah satu saksi yang selamat dari insiden itu.”
Lagi-lagi Haruto melihat Yutaka dan Nina saling pandang. Kali ini wajah mereka berdua dihiasi kekagetan yang tidak kentara.
“Sepertinya ini memang berhubungan dengan Arisa, takdirnya… masa lalunya…” kata Yutaka menghela nafas. “Aku akan menceritakan sesuatu, tapi, setelah mendengarnya, kuharap kau mengambil keputusan yang bijak.”
“Memangnya… apa yang ingin Anda ceritakan?” tanya Haruto. Kenapa untuk minta izin pada kedua orangtua Arisa agar ia bisa merekrut Arisa ke perusahaannya harus berbelit-belit begini?
“Karena ini menyangkut masa lalu Arisa.” Ujar Nina. “Masa lalu Arisa yang cukup… rumit.”

***

“Arisa pernah… astaga!”
Mina menutup mulutnya dengan sebelah tangan mendengar cerita Miss Emily mengenai Arisa.
“Ya. Arisa mengalami trauma setelahnya.” Ujar Miss Emily. “Kakaknya, Yuya, bahkan sempat terkena amukan Arisa pada awal-awal dia sembuh. Arisa mendapatkan pengalaman yang begitu menyakitkan. Dia bahkan sempat menangis berhari-hari dan mogok makan serta terus mengurung diri di kamar.”
“Arisa pernah… astaga… aku tidak percaya.” Ujar Deby. “Arisa mengalami pengalaman yang seharusnya tidak dia dapatkan pada usia itu.”
“Benar-benar tidak tahu adat, orang yang memperlakukan Arisa seperti itu.” sahut Utami. “Kalau aku, mungkin sudah bunuh diri.”
“Ya… itu juga yang terlintas di benak Arisa waktu itu.” Miss Emily mengangguk, “Dulu Miss menjadi psikiaternya dan merasa Arisa perlu… ditolong. Arisa adalah anak yang lemah perasaannya dan mudah trauma setelah peristiwa itu. Kedua orangtua Arisa bahkan menyuruh Miss unutk menjadi pengawasnya selama di sekolah ini.”
“Jadi, Miss disuruh masuk sekolah ini karena permintaan orangtua Arisa?” tanya Mina.
“Kurang lebih begitu. Di samping Miss diterima bekerja di sini, itu lebih memudahkan pekerjaan mengawasi Arisa.”
Mina dan kedua temannya memandangi Arisa yang sedang tertidur pulas. Mereka benar-benar tidak menyangka Arisa memiliki trauma yang sangat mendalam, sampai nyaris tidak mengenali Miss Emily tadi.
“Nah, sekarang tergantung kalian,” kata Miss Emily, “Apa kalian akan menjauhinya dan memandangnya rendah atau kalian tetap berteman dengannya dan melupakan segala yang pernah terjadi pada Arisa di masa lalu.”
Miss Emily tersenyum melihat raut wajah ketiga siswi itu, “Jangan khawatir, Arisa pasti mengerti kenapa kalian tiba-tiba menjauhinya nanti. Dia juga sudah memberitahu Miss, kalau hal itu sampai terjadi, dia akan menerimanya.”
“Kenapa Miss bisa sampai berpikiran seperti itu?” tanya Deby.
“Karena Arisa pernah bilang, ‘Aku tidak akan kenapa-kenapa hanya karena dijauhi bahkan oleh sahabatku sendiri saat mereka tahu yang sebenarnya. Toh, itu hak mereka untuk menjauhi dan membenciku’.”
“Kenapa Arisa harus mengatakan hal seperti itu?” kali ini Utami yang berbicara. “Dia terlalu pesimis. Kenapa dia tidak pernah berpikiran positif?”
“Karena dia pernah dikhianati.” Kata Miss Emily, “Dia pernah dikhianati sahabatnya sendiri ketika sahabatnya tahu apa yang terjadi pada Arisa. Sahabatnya itu bukannya menolong, malah memojokkan Arisa dan membuat anak-anak satu sekolahnya mengejeknya dengan sebutan yang membuat telinga Miss terasa panas jika mendengarnya.”
“Arisa pernah dikhianati, disakiti, dan dipandang sebelah mata. Tapi, dia tidak mengeluh dan justru menimbun semuanya dalam hatinya.” Miss Emily menghela nafas, “Bahkan dengan keluarganya sendiri, ia begitu tertutup. Tidak ada yang tahu apa yang sedang dipikirkannya kecuali dia sendiri.”
“Apa kalian masih mau berteman dengannya?”
“Aku tidak ragu lagi.” kata Deby, “Dia temanku sejak SD. Dan… kurasa dia butuh satu kepala lagi untuk memikirkan masalah selain PR dan tugas sekolah.”
“Aku juga tidak keberatan. Arisa sangat baik. Dia bahkan yang menyapaku pertama kali ketika baru masuk SMP ini.” ujar Utami sambil tersenyum lebar.
“Aku juga tidak keberatan, lagipula Arisa adalah anak yang baik.” kata Mina, “Dia mengubah cara pandangku bahwa anak-anak tingkat 1 sepertinya tidak bisa diremehkan. Selain itu, dia juga menjadi satu-satunya perempuan yang kukenal yang masih mampu bertahan walau dia terkena trauma yang parah seperti itu.”
Miss Emily tersenyum mendengar jawaban ketiga siswinya.
“Kurasa kalian harus diberi penghargaan karena masih mau berteman dengan Arisa.” Gurau Miss Emily, “Kurasa kedua orangtuanya juga akan senang bahwa masih ada yang peduli pada masa lalu Arisa.”
Ketiga siswi itu mengangguk sambil tersenyum lebar.
“Nnngghh…”
Serentak mereka berempat menoleh kearah Arisa yang kedua kelopak matanya perlahan terbuka. Gadis itu mengerutkan kening melihat Mina, Deby, dan Utami ada di sekelilingnya.
“Kalian… kenapa tidak masuk kelas?”
“Bagaimana bisa kami masuk ke kelas kalau keadaanmu mengkhawatirkan?” kata Utami. “Kamu tahu, tadi kamu mengigau sambil mengatakan ‘Pergi dariku!’ dan semacamnya.”
Arisa langsung terduduk tegak dan wajahnya memerah. Dia menatap Utami yang terkekeh dengan perubahan raut wajahnya dan tahu dia sedang dikerjai.
“Utami…”
“Maaf, maaf…” Utami mengibaskan tangannya, “Habisnya, kamu mudah sekali digoda. Kurasa aku jadi tahu alasan mengapa kamu selalu digoda oleh cowok-cowok.”
“Sudah, deh, Utami. Jangan memanas-manasi.” Sela Deby, “Bagaimana keadaanmu?”
“Sudah… lebih baik.” kata Arisa, “Tapi, aku masih merasa sedikit pusing.”
“Itu wajar. Kamu tadi diminumkan obat tidur oleh Miss Emily.”
“Ah, ya…” Arisa manggut-manggut.
“Oh ya, ini hadiah dari Hendry, tidak sempat kamu bawa.” Mina menunjuk kotak yang ada di pangkuannya. Kotak itu tadi dibawakan oleh seorang siswa yang membantu membawa Arisa ke ruang kesehatan.
Arisa melirik kotak itu dengan tidak berselera.
“Simpan saja untukmu, Mina. Aku tidak mau pergi ke pesta itu bersamanya.” Kata Arisa.
Mina hanya tersenyum. Beginilah Arisa seharusnya. Dingin namun juga tenang. Tidak seperti tadi.
“Yang benar…? Jangan-jangan sebenarnya kamu malu pergi bersama Hendry?” kata Deby sambil terkekeh.
Arisa menggeleng. “Aku bukannya malu pergi dengannya. Tapi, kemungkinan besar, aku tidak akan hadir dalam pesta itu.”
“Ehh??? Kenapa?” tanya Utami, “Padahal aku ingin sekali melihatmu mengenakan gaun itu.”
“Aku tidak suka keramaian.”
“Tapi, kalau kamu menerima tawaran Haruto, kamu akan selalu berada di keramaian.” Ujar Mina, yang langsung disambut Arisa dengan kening berkerut.
“Kamu… tahu?”
“Tidak!” Mina menggelengkan kepalanya, “Aku hanya asal menebak dan… tunggu, apa itu benar? Kamu ditawari Haruto untuk bergabung di perusahaan rekamannya?”
Arisa tidak menjawab. Dan sikap itu cukup bagi Mina sebagai jawaban.
“Ternyata benar kamu membicarakan hal itu dengannya!” seru Mina. “Waktu itu, saat dia menyuruhku kembali ke kelas lebih dulu dan ingin bicara denganmu!”
“Benarkah?” Deby membelalakkan matanya.
“Apa itu benar, Arisa?” tanya Utami.
Arisa tetap tidak menjawab. Pandangan matanya seakan menerawang jauh sehingga ketiga temannya hanya saling pandang.
“Kurasa orangtuamu sudah datang, Arisa.” Kata Miss Emily, “Tadi Miss memberitahu pihak sekolah kalau kamu akan pulang lebih cepat. Khawatirnya, seranganmu kambuh lagi nanti, jadi—”
“Ya.” sela Arisa, “Aku tahu. Aku harus beristirahat di rumah untuk beberapa hari.”
Miss Emily tersenyum.
“Oh ya, tadi kamu pingsan karena apa, sih?” tanya Deby, berpura-pura bertanya. Dia hanya ingin melihat seperti apa respon yang diberikan Arisa atas pertanyaannya.
“Aku… hanya kecapekan saja.” jawab Arisa berbohong. “Mina, gaun ini untukmu saja.”
“Tidak. Aku tidak bisa, lagipula ukuranmu dan ukuranku berbeda jauh.” Sahut Mina menggeleng sambil meletakkan kotak itu di pangkuan Arisa.
Arisa mengeluh panjang dan menatap kotak di pangkuannya dengan tatapan malas.
“Baiklah, aku akan membawa gaun ini, tapi aku tidak akan pernah memakainya.” Katanya.
“Itu terserah padamu.”
Sekitar 15 menit kemudian, ibu Arisa datang dengan wajah panic dan cemas. Dia menghampiri Arisa dan menanyakan apakah anak perempuannya itu terluka.
“Aku tidak apa-apa, Ma. Hanya pingsan… seperti biasa.” kata Arisa sambil tersenyum.
“Kamu jarang pingsan.” ujar ibunya, “Baru kali ini Mama mendengarmu pingsan di sekolah.”
“Yah… mungkin ada sesuatu yang menghantam kepalaku dan…” Arisa berhenti bicara ketika melihat raut wajah ibunya yang semakin cemas, “Tapi aku tidak apa-apa. Sungguh.”
“Baiklah…” Nina menghela nafas, “Emily, di mana kelas Arisa, aku akan mengambil tasnya dan—”
“Aku sudah membawanya tadi.” Mina menunjukkan tas sekolah Arisa yang tadi dibawanya saat dia mengantarkan surat izin Arisa ke kelas. “Beruntungnya hari ini tidak terlalu banyak pelajaran, jadi kami bisa lebih leluasa menjaga Arisa.”
“Terima kasih, Mina.” Nina tersenyum, “Nah, ayo, Arisa.”
Arisa berdiri sambil membawa kotak hadiah dari Hendry. Ketiga temannya mengekor di belakang. Mereka mengantar Arisa dan ibunya sampai ke lobi.
“Arisa,”
Arisa mendongak mendengar suara itu dan harus menahan diri untuk bersembunyi di belakang ibunya ketika berhadapan dengan Haruto yang menatapnya cemas. Sementara di belakangnya, Arisa bisa mendengar Utami dan Deby menahan nafas untuk tidak berteriak histeris karena melihat Haruto Kirishima di hadapan mereka.
Haruto berdiri dari sofa yang didudukinya dan menghampiri Arisa.
“Kamu tidak apa-apa? Kata Pak Yutaka kamu pingsan…”
“Dia sudah tidak apa-apa, Haruto. Jangan khawatir.” Ujar Nina tersenyum, “Ayo, Arisa, tadi Mama kemari naik mobil Haruto. Tidak apa-apa, kan kalau Mama yang menyetir sementara Haruto menjagamu di kursi belakang?”
“Err… tidak apa.” Arisa menggeleng. Dia berbalik menghadap teman-temannya, “Aku pulang dulu. Mina, tolong bilang pada Mrs. Junith hari ini kalau aku tidak bisa mempresentasikan laporan fisikaku.”
“Tidak masalah.” Kata Mina agak tergagap. “Cepat sembuh dan segera kembali ke sekolah. Belum sehari, aku pasti akan merindukan sifat dingin-dingin tenangmu di dekatku.”
Arisa hanya mencibir tanpa suara, tapi bibirnya tersenyum.
Nina membantu Arisa berjalan sambil memegangi pundak gadis itu. Haruto sendiri segera membukakan pintu belakang dan membantu Arisa duduk. Ia lalu menyerahkan kunci mobilnya pada ibu Arisa yang langsung mengambil tempat di kursi pengemudi.
Ketika mobil Haruto meninggalkan lingkungan SMP Global Junior, barulah Deby dan Utami berteriak histeris dan menumpahkan segala pikiran mereka.
“Itu Haruto Kirishima! Dia tampan sekali!!” ujar Deby.
“Benar. Dia kelihatan masih muda, dan… tunggu, usianya baru 19 tahun, kan? Dia hanya tua 3-4 tahun dari kita.” Kata Utami.
“Yup! Dan kurasa, dia suka dengan Arisa.” Kata Deby lagi, “Kalian lihat bagaimana paniknya dia ketika menghampiri Arisa tadi?”
“Ya. Sikap panic seperti itu hanya dimiliki oleh seorang cowok yang menyukai seorang cewek.” timpal Mina, “Tapi, aku tidak berani berharap. Apalagi mendengar masa lalu Arisa yang diceritakan Miss Emily tadi…”
“Yah… masa lalu adalah masa lalu, Mina.” Ujar Utami, “Aku yakin, Arisa tidak akan hidup dalam bayang-bayang masa lalu selamanya.”
“Kuharap begitu…” kata Mina.
“Hei, daripada kita hanya berdiam diri di sini, kita kembali ke kelas saja!” kata Deby, “Utami, ayo, kita bergosip lagi soal Haruto Kirishima!”
Mina hanya menatap kedua temannya dengan sebelah alis terangkat, lalu menggeleng-gelengkan kepalanya.

0 komentar:

Posting Komentar