Sampai sore, kedua orangtua Arisa belum juga
pulang. Dan Haruto harus pamit karena Liam sudah meneleponnya beberapa kali
menanyakan di mana keberadaannya. Haruto sedikit menyesal karena tidak bisa
berbicara dengan orangtua Arisa mengenai keinginannya mengajak Arisa bergabung
di bawah naungan perusahaannya dan berjanji pada Arisa untuk kembali lagi
besok.
Bagi Arisa sendiri, kepergian Haruto sedikit
melegakannya. Setidaknya, dia tidak perlu mendengar ayahnya menatapnya curiga
ketika Haruto ada di rumah dan ingin menawarkan dirinya menjadi penyanyi. Bagi
Arisa… itu bagaikan sebuah hukuman mati.
Yah… sebenarnya bukan hukuman mati juga, sih.
Tapi, setidaknya pikirannya mengatakan itu.
Arisa hanya tersenyum tipis mengantar Haruto
sampai ke depan pintu mobilnya.
“Maaf. Mungkin Papa dan Mama ada urusan
mendadak…” Arisa mengedikkan bahu, “Biasalah… namanya juga pekerja keras. Mama
pasti menyusul Papa karena Papa sering lupa waktu.”
Haruto mengangguk, “Tidak apa-apa. Aku bisa memaklumi.”
Katanya sambil tersenyum lebar.
Ditatapnya Arisa yang lebih pendek darinya dan
merasa geli. Dengan tingginya yang 178 senti, Arisa yang hanya setinggi bahunya
jadi kelihatan lebih pendek dalam pandangannya. Dipandanginya tubuh Arisa yang
juga langsing dan punya perawakan yang cocok untuk menjadi model.
Dia mungil…
dan cantik. Seperti peri. Katanya
dalam hati.
“Haruto?”
“Ya?”
“Hari sudah mau malam.”
“Oh,” Haruto melihat langit yang mulai
menggelap, “Benar juga. Aku mulai melamun. Sampai besok, Arisa.”
Haruto masuk ke dalam mobilnya dan menyalakan
mesinnya. Dia membuka sebelah jendela mobilnya yang menghadap Arisa.
“Besok pagi aku akan menjemputmu. Jadi, kamu
tunggu dan duduk manis saja di depan teras. Oke?”
“Hah?” Arisa melebarkan matanya kaget.
Tapi, belum sempat dia protes, Haruto sudah
menjalankan mobilnya meninggalkan Arisa yang bengong karena kaget.
***
“Kulihat kamu kelihatan senang.” Kata Liam
menyambut Haruto di ruang tamu ketika ia baru saja duduk dan membaca majalah.
Haruto hanya tersenyum lebar dan duduk di sofa
di sebelah Liam.
“Aku sudah tahu rumahnya, sudah tahu jadwalnya,
dan tinggal menunggu waktu untuk berbicara dengan orangtuanya.”
“Berbicara dengan orangtuanya? Arisa maksudmu?”
“Siapa lagi?”
Liam hanya geleng-geleng kepala melihat Haruto.
Dia sudah terbiasa dengan kebiasaan Haruto yang seperti ini, jadi dia hanya
mendiamkan dan terkadang mengarahkan kalau kebiasaannya itu sudah menyimpang
dari tujuannya semula.
“Makan malam belum siap. Kamu cepat mandi dan
setelah itu ke ruang makan. Lalu segera pergi ke studio rekaman. JS’Vers ingin
mendengar jawabanmu mengenai demo rekaman terbaru mereka itu.”
“Oke!”
Haruto melesat ke kamarnya di lantai dua bak
anak kecil berusia 7 tahun. Dan lagi-lagi Liam hanya geleng-geleng kepala sambil
tersenyum.
***
Entah kenapa makan malam hari ini berasa lain
bagi Arisa. Arisa tahu dia tidak melakukan kesalahan apa-apa hari ini, namun
kedua orangtuanya terus diam sejak mereka pulang tepat ketika Arisa hendak
menyiapkan makan malam. Kakak tertuanya tidak bisa ikut makan bersama mereka
karena masih ada pekerjaan yang harus diurus.
Begitu kedua orangtuanya datang tadi, Arisa
melihat wajah ayahnya yang begitu lain, diam dari pada biasanya. Ibunya juga
kelihatan sama diamnya seperti ayahnya. Kedua orangtuanya seakan sedang berada
di dunia lain, bahkan sampai makan malam sekarang ini.
Arisa melirik ayahnya diam-diam. Beliau makan
dengan tenang… terlalu tenang, sebenarnya. Dan itu membuat Arisa khawatir.
Biasanya ayahnya akan menceritakan sesuatu tentang wejangan atau cerita pada
saat beliau masih muda. Tapi, sekarang…
“Arisa,”
“I, iya?”
“Kenapa kamu gugup? Apa Papa membuatmu takut?”
“Tidak… hanya…”
“Papa hanya ingin bertanya, apa benar kamu
ditawari menjadi penyanyi?”
“Eh? Papa… sudah tahu?”
“Mrs. Vientya yang memberitahu. Beliau
menelepon Papa tadi.”
“O, oh…”
Apa karena
itu Papa dan Mama pulang terlambat?
Tanya Arisa dalam hati.
“Jadi,” kata ayahnya lagi, “Apa itu benar?”
Arisa menatap makanan di piringnya dengan
perasaan tidak menentu. Dia ingin berbohong, tapi dia juga tidak bisa. Sejak
kecil, Arisa tidak terbiasa berbohong. Kalau untuk kebaikan kedua orangtuanya,
mungkin dia akan sedikit berbohong. Tapi, dia selebihnya, dia tidak pernah
melakukannya sama sekali.
“Arisa?” kali ini ibunya yang memanggilnya
dengan lembut. “Apa itu benar, sayang?”
Arisa tidak punya pilihan lain selain
mengangguk.
“Iya… tadi pagi, Haruto Kirishima, pemilik
Mirai Entertainment itu datang ke sekolah dan menawari Arisa menjadi penyanyi.”
Katanya.
“Dari sekian banyak siswa di sana, kenapa kamu
yang terpilih?” tanya ayahnya lagi.
“Arisa tidak tahu, Pa. Arisa juga bertanya pada
Haruto, tapi dia hanya menjawab karena suara Arisa yang unik.”
“Unik, ya… suaramu memang unik, kok.” Ujar
ibunya tersenyum, “Iya, kan, Pa?”
“Ya… memang suaramu unik. Tapi… yang Ayah
maksud bukan itu.” ayahnya berdeham, “Apa kamu siap menanggung semua resikonya?
Menjadi penyanyi, itu sudah termasuk sebuah pekerjaan. Dan kamu masih kecil.
Masih berusia 14 tahun. Apa kamu sanggup menerima semua resiko termasuk
jadwalmu yang akan padat, berita-berita tidak sedap yang akan menimpamu, dan
juga segudang kegiatan lain untuk menunjang aktivitasmu?”
“Arisa… belum tahu. Arisa belum memberikan
jawaban pada Haruto.” Kata Arisa menjawab pertanyaan ayahnya, “Lagipula, tadi
dia menunggu di rumah, ingin berbicara dengan Papa mengenai masalah itu.”
“Dia tadi kemari?”
Arisa mengangguk. “Tapi, karena Papa dan Mama
belum pulang, dia akan kembali lagi besok.” katanya.
Ayahnya manggut-manggut.
“Besok Papa akan luangkan waktu untuk
mendengarkannya.” Kata ayahnya, “Satu lagi, Arisa. Mengenai keputusanmu itu
nanti, semua tergantung padamu. Papa tidak akan melarangmu sama sekali, hanya
saja jangan sampai tinggalkan pendidikanmu. Pendidikan sangat penting walaupun
nantinya kamu akan bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Papa tidak ingin
nantinya kamu memiliki pekerjaan tetap, tapi pendidikanmu masih sangat rendah.”
“Arisa mengerti, Pa.”
“Dan, Arisa, apa kamu sudah siap jika…” ayahnya
kelihatan tidak suka membahas satu topic yang akan keluar dari mulutnya.
“Maksud Papa, kalau kamu mau menerima tawaran itu, maka kamu mungkin saja…”
“Arisa tidak tahu, Pa. Tapi, kalau Arisa sudah
mantap, Arisa yakin Arisa juga sudah mantap kalau kemungkinan hal itu terjadi.”
sela Arisa, lalu tersenyum, “Papa jangan khawatir. Arisa tidak apa-apa, kok.”
Ayahnya menatap anak perempuannya itu dan
mengangguk pelan.
“Kalau begitu, hanya tinggal mengatakan pada
Haruto Kirishima itu saja, kan, mengenai seperti apa keputusanmu?” kata beliau,
“Itu tergantung keputusanmu dan kami sebagai orangtua hanya bisa memberi
dukungan dan doa.”
Arisa mengangguk, kemudian melanjutkan
makannya.
Dan Arisa merasa dia akan sulit untuk menelan
makanannya selanjutnya.
Arisa masuk ke dalam kamarnya dan menghempaskan
tubuhnya keatas ranjang. Ditatapnya langit-langit kamar sejenak sebelum
membalikkan badan dan membuka kotak berhias pita coklat di atas meja di dekat
tempat tidurnya.
Sebuah kalung emas berliontinkan bandul
berbentuk bulan sabit dengan bintang dari berlian di tengah-tengahnya. Kalung
itu tampak bersinar terang walau kamar Arisa sedikit gelap karena lampunya
tidak dinyalakan. Ditatapnya kalung itu sambil mengelus permukaan bulan
sabitnya yang halus.
“Besok, ya…” Arisa menghembuskan nafas dan
memejamkan mata.
Apa yang harus dia katakan pada Haruto besok?
Memang kedua orangtuanya sudah menyetujui,
bahkan tanpa berbicara dengan laki-laki itu. Tapi, Arisa tahu kekhawatiran
orangtuanya saat membicarakan hal tersebut di tengah-tengah makan malam
bukanlah resiko menjadi public figure,
tapi sesuatu yang lain.
Arisa memejamkan matanya makin erat akibat
tubuhnya yang menggigil.
“Jangan… memikirkannya lagi…” katanya pada diri
sendiri.
Diraihnya kalung di dalam kotak itu dan
digenggamnya erat-erat. Itu adalah salah satu cara agar rasa dingin yang
membuat tubuhnya menggigil menghilang dan pergi. Ia merasa lebih nyaman dan
aman ketika menggenggam kalung itu, hingga tertidur pulas tanpa disadari.
***
“Kau yakin Arisa sanggup menanggung resikonya?”
tanya Nina pada suaminya yang sedang membaca sebuah buku di atas ranjang. Dia
sendiri sedang menyisir rambutnya yang basah sehabis mandi tadi. “Aku takut
ketakutannya kembali lagi.”
“Aku yakin tidak ada masalah, sayang.” Ujar
Yutaka sambil menutup bukunya, lalu menatap istrinya dari cermin meja rias.
“Aku yakin itu. Arisa adalah anak yang kuat.”
“Tapi, terkadang aku melihatnya menggigil
ketakutan di malam hari. Dia bahkan sering bermimpi buruk dan mengigau dalam
tidurnya…” ujar Nina, “Aku takut traumanya kambuh dan dia harus mendapatkan
terapi lagi. Sudah cukup aku melihatnya ketakutan seperti itu.”
Yutaka diam. Dia tahu trauma apa yang dimaksud
oleh istrinya. Tapi, dia tidak menanggapi lagi dan justru menghampiri istrinya.
“Arisa tidak akan kenapa-kenapa.” Kata Yutaka,
“Kalau terjadi suatu apa pun padanya, akulah yang akan merasa bersalah lebih
dulu karena memperbolehkannya menjadi penyanyi.”
Nina memejamkan mata dan merasakan sentuhan
kedua tangan Yutaka di bahunya.
“Arisa terlahir dengan banyak bakat. Dia adalah
anak yang manis dan cantik, seperti peri mungil. Dia adalah permata paling
indah yang pernah ada yang kutemui…”
“Dia juga adalah embun yang sangat menyejukkan.
Suaranya sangat mirip dengan ibu kandungnya.” Kata Nina sedih. “Andai kita bisa
memberitahu Arisa yang sebenarnya…”
“Sekarang belum waktunya, Nina.” Kata Yutaka,
“Belum. Sebelum dia berusia 17 tahun, kita tidak diperbolehkan memberitahu
Arisa apa pun mengenai kelahirannya.”
“Tapi… kalau dia menjadi penyanyi, public figure, secara tidak langsung,
semua orang akan mencari identitas dirinya. Dan itu akan berakibat fatal pada
Arisa nantinya.” Nina membuka matanya dan menatap Yutaka, “Dia pasti akan
bertanya-tanya nanti…”
“Jika dia menanyakannya… kita akan
memberitahunya.” Yutaka mengangguk, “Sampai saat itu tiba, kita harus menjaga
amanah kita pada ibu kandungnya, Naomi.”
Nina tidak menjawab. Dia hanya mengangguk lemah
dan mengerutkan kening dengan raut wajah sedih.
***
Pagi terasa terlalu cepat datang bagi Arisa.
Padahal dia merasa baru tidur beberapa menit, tapi ternyata pagi sudah menjelang.
Dengan sedikit mengantuk, dia melihat kearah
jam beker di dekatnya. Jam 5 pagi, masih terlalu pagi untuk bangun dari tempat
tidurnya.
Tapi, Arisa tidak mau dia mengorbankan rekornya
sebagai siswa yang selalu datang lebih awal ke sekolah bahkan sebelum Pak
Henry, si tukang kebun sekolah membersihkan taman sekolah.
Setelah membasuh wajahnya dengan air dingin dan
menyikat gigi, Arisa merasa tubuhnya segar kembali. Sambil mengenakan seragam
sekolahnya, ia bersenandung pelan. Setelahnya, Arisa pergi ke dapur dan membuat
sarapan. Dia sudah terbiasa membuat sarapan sendiri dan juga untuk orang-orang
satu rumah. Dan karena hanya dia yang lebih sering bangun pagi, dia yang sering
membuatkan sarapan.
Ketika baru mengoleskan selai pada roti
panggang bagiannya, Arisa mendengar suara klakson mobil di luar rumah. Ia
mengerutkan kening dan menoleh kearah jam yang baru menunjukkan jam setengah 6.
“Apa dia benar-benar serius menjemputku?” tanya
Arisa lirih teringat janji Haruto untuk menjemputnya pagi ini.
Setelah mengelap tangannya dengan handuk kering
di dekatnya, dia berjalan kearah pintu dan mengintip lewat celah gorden di
jendela di samping pintu. Itu mobil Haruto, dan itu mobil yang sama seperti
yang dipakai laki-laki itu kemarin. Rupanya Haruto benar-benar menepati
janjinya.
Dilihatnya Haruto keluar dari mobil dan menatap
kearah rumahnya. Arisa buru-buru bersembunyi di balik gorden dan berlari ke
kamarnya, tepat ketika ia masuk ke kamar, ponselnya berbunyi.
Gadis itu segera menghampirinya dan melihat
nama Haruto tertera di layar ponsel.
“Ya?”
“Kau
sudah bangun? Tadi kulihat kamu mengintip dari balik gorden.” Kata Haruto
di seberang telepon.
“Err… aku baru bangun.” Kata Arisa berbohong,
“Ada apa?”
“Bukankah
sudah kubilang kalau aku akan menjemputmu? Aku sudah berada di depan rumahmu.
Setidaknya, bisakah kamu bukakan pintu?”
Arisa mau tidak mau kembali ke ruang tamu dan
membuka pintu. Haruto tersenyum lebar padanya dan menghampiri Arisa sambil
berlari.
“Aku tidak terlambat, kan?” tanyanya, dengan
ponsel masih menempel di telinga kirinya.
“Tidak… kau terlalu pagi untuk datang.” jawab
Arisa, lalu memutuskan telepon. “Kenapa kau datang pagi sekali?”
“Aku takut terlambat. Apa aku terlambat
menjemputmu?”
Arisa menatapnya sebentar, kemudian menggeleng.
“Masuklah. Papa dan Mama masih tidur, tapi
nanti mereka akan bangun.” Kata Arisa.
Haruto masuk dan mengikuti Arisa sampai ke
dapur. Di meja makan sudah tertata rapi piring-piring berisi roti bakar dengan
selai coklat maupun kacang. Ada juga empat gelas berisi susu putih, dan hanya
satu gelas yang berisi susu coklat.
“Susu coklat itu milikku.” Kata Arisa ketika
melihat Haruto menatap gelas susu coklat miliknya, “Aku tidak suka minum susu
putih. Rasanya terlalu manis, dan itu membuat gemuk.”
“Hah? Memangnya susu coklat tidak membuat
gemuk, ya?”
“Ada kakak temanku yang mengatakan seperti itu.
Katanya susu putih itu mengandung banyak lemak yang bisa membuat gemuk
sementara susu coklat tidak. Karena itu sekarang aku sering minum susu coklat.”
“Oh…”
Arisa mengoleskan selai coklat lebih banyak ke
rotinya dan meletakkanya di atas piring. Dia lalu menyeduh air dan membuat teh.
Kali ini Arisa melihat Haruto mengerutkan kening.
“Kamu tidak suka teh?” tanya Arisa. “Kalau kamu
bertanya aku sedang apa, aku sedang membuatkanmu minuman.”
“Bukan… aku suka, kok.” Kata Haruto. “Hanya
saja… kelihatannya kamu terbiasa sekali menyiapkan makan pagi, seperti
sekarang.”
“Itu karena aku yang selalu bangun lebih pagi.”
“Memangnya kamu bangun jam berapa?”
“Jam lima pagi.”
“Itu tidak terlalu pagi.” balas Haruto.
“Papa bekerja jam 7, dan biasanya dia baru
bangun jam setengah 6…” Arisa melihat jam lagi, kemudian kalender yang
tergantung di dekat kulkas, “Tapi, hari ini hari Sabtu. Beliau mendapatkan
libur 2 hari tiap minggu.”
“Ayahmu bekerja di mana?”
“Pokoknya pekerjaan yang benar dan tidak
melanggar hukum.”
Melihat Arisa tidak mau membicarakan lebih
banyak mengenai keluarganya, Haruto memilih diam dan tersenyum ketika Arisa
menghidangkan teh di hadapannya.
“Kuharap rasanya tidak buruk. Itu teh melati.”
Kata Arisa, kemudian beralih ke kesibukannya yang lain.
Haruto mengangkat cangkirnya dan menghirup
aroma melati yang khas. Diseruputnya teh itu sedikit demi sedikit dan merasakan
rasanya yang menyegarkan.
“Teh ini rasanya enak.”
Arisa diam mendengar pujian itu dan mengetuk
pintu kamar Ken.
“Ken! Sudah pagi, ayo bangun!!”
Beberapa kali diketuk, akhirnya Ken keluar,
sudah dengan seragam lengkap dan sedang mengencangkan tali dasinya.
“Kenapa lagi dasimu?” tanya Arisa.
“Tadi kuikat mati. Jadi agak susah membukanya.”
Ujar Ken.
“Dasar…” Arisa membuka ikatan dasi Ken dan
membetulkannya, “Nah, sudah rapi. Ayo cepat makan. Sarapannya roti bakar dengan
telur orak-arik kesukaanmu.”
“Asyik!!”
Ken langsung menghampiri meja makan dan duduk
di kursinya. Arisa beralih ke kamar kakaknya dan mengetuk pintu.
“Kak…?”
Arisa yang hafal kebiasaan kakak sulungnya itu
hanya menghela nafas dan kembali ke meja makan.
“Kenapa kamu tidak memanggil kakakmu?” tanya
Haruto, “Orangtuamu?”
“Kak Yuya mungkin baru pulang jam tiga pagi.”
jawab Arisa, “Biasanya dia akan bangun jam delapan pagi. Papa dan Mama tidak
akan bangun jam segini. Mereka baru bangun jam tujuh pagi.”
“Jadi, kapan aku bicara dengan mereka?” tanya
Haruto lagi.
“Pikirkanlah sendiri solusinya.” Kata Arisa
sambil melahap roti bakar bagiannya, “Kau mau? Aku bisa buatkan sekarang. Masih
ada cukup waktu untuk pergi ke sekolah.”
“Boleh, kalau tidak merepotkan.”
“Tunggu sebentar.”
Arisa meminum sedikit susu coklatnya dan
kembali memanggang dua lembar roti. Dia juga kembali menghadap kompor dan
menggoreng telur.
“Kamu ingin telur setengah matang atau
benar-benar matang?” tanya Arisa, “Orak-arik seperti punya Ken?”
“Tidak. Aku mau telur dadar saja. Tapi,
porsinya digandakan, ya?”
Arisa mengedikkan bahu dan mengerjakan
pekerjaannya. Selama Arisa membuatkannya sarapan pagi, Haruto tertegun melihat
sosok Arisa. Dia tiba-tiba merasa rindu dengan masakan buatan rumah. Selama ini
dia hanya makan makanan instan. Kalau Liam mengingatkannya makan baru dia mau
makan karena saking sibuknya dia bekerja, dia bisa sampai lupa makan.
Haruto juga mendadak teringat ibunya. Dulu
waktu ia kecil, beliau suka membuatkan Haruto susu putih dan roti bakar ber-topping keju kesukaannya. Memikirkan
insiden yang membuatnya menjadi yatim-piatu membuat Haruto merasa dadanya
sesak.
“Lho? Kakak kenapa?”
Arisa menoleh kearah Ken yang menatap Haruto.
Dia juga terkejut ketika melihat di wajah Haruto ada setetes airmata, yang jika
tidak diperhatikan dengan seksama tidak akan terlihat di wajahnya yang putih
mulus itu.
“Haruto? Kamu kenapa?”
“Hah?” Haruto mendongak dan mengerjapkan mata,
“Kenapa apanya?”
“Di… wajahmu ada airmata?” kata Arisa, “Kamu
menangis? Karena apa?”
Haruto menyentuh wajahnya dan merasakan jejak
basah airmata di sana.
“Oh, ini… bukan apa-apa.” Haruto tersenyum,
“Hanya terharu melihatmu memasakkan sarapan pagi untukku. Rasanya aku seperti
sudah beristri saja.”
Arisa mengerjapkan matanya beberapa kali dan
tertawa gugup.
“Ada-ada saja…” Arisa menggeleng-gelengkan
kepalanya. Dia meletakkan roti bakar yang sudah dia beri keju di atasnya dan
juga telur dadar tebal yang berwarna coklat menggiurkan.
“Ini. Kuharap kamu suka.” Ujarnya sambil
meletakkan piring itu di hadapan Haruto.
“Bagaimana kamu tahu roti kesukaanku?” Haruto
mengangkat sebelah alis dengan ekspresi geli, “Aku suka roti bakar dengan topping keju.”
“E, eh? Benarkah?” Arisa lagi-lagi gugup.
“Sebenarnya aku punya selai coklat dan kacang, juga nanas dan stroberi… tapi,
aku hanya kepikiran roti bakar keju…”
“Tidak apa-apa. Aku suka, kok.” Ujar Haruto,
“Biar kucicipi dulu.”
Haruto meraih garpu dan memotong roti yang
kelihatan renyah itu dan meniupnya pelan.
“Hmm… enak!!” mata Haruto berbinar-binar
menatap Arisa, “Roti bakar keju paling enak yang pernah kumakan. Kurasa aku
akan sering-sering menumpang sarapan di sini.”
Arisa hanya mengerutkan kening dengan gugup,
kemudian kembali ke tempat duduknya dan mulai makan lagi.
Mereka makan dalam diam. Ken sudah selesai
makan dan langsung mengangkat piring-piringnya ke tempat cuci, kemudian
mencucinya. Arisa sendiri membereskan meja makan, tapi meninggalkan tiga buah
piring berisi roti bakar dan telur orak-arik untuk kedua orangtua dan kakaknya.
“Ken, kakak berangkat duluan. Kalau kamu
berangkat, kunci pintu, oke?”
“Aku tahu, Kak Arisa… lagipula Papa sudah janji
akan mengantarkanku pergi ke sekolah hari ini.” sahut Ken.
“Papa masih tidur, Ken…” tegur Arisa. “Ya
sudah, kakak berangkat dulu.”
Arisa mengambil tasnya dan segera berangkat.
Haruto mengikuti di belakangnya.
“Jadi… kamu akan naik mobil bersamaku?” tanya
Haruto.
Arisa menatap mobil di depan rumahnya dan
Haruto bergantian. Dia menghela nafas dan mengedikkan bahu untuk yang ke sekian
kalinya.
“Setidaknya aku harus menghargai usahamu untuk
membujukku masuk dalam agensimu.” Kata Arisa, “Baiklah. Aku akan ikut denganmu.”
***
Perkiraan Arisa bahwa sekolahnya masih sepi
saat dia datang ternyata meleset jauh. Kenyataannya sudah banyak siswa yang
datang dan itu membuat Arisa agak gelisah. Bagaimana dia menghadapi pertanyaan
teman-temannya nanti kalau mereka tahu dia diantar oleh Haruto Kirishima ke
sekolah?
“Kenapa kamu gelisah begitu?”
“Tidak apa-apa.” kata Arisa berbohong,
“Turunkan saja aku di sini.”
“Lho? Kenapa?”
“Lakukan saja…”
Haruto menepikan mobilnya sedikit jauh dari
gerbang SMP Global Junior. Arisa membuka sabuk pengamannya dan langsung keluar
dari mobil. Ia lalu berjalan kearah pintu pengemudi dan mengetuk kacanya.
“Terima kasih sudah mengantarku ke sekolah,”
kata Arisa, “Mungkin saat pulang sekolah Papa ada di rumah. Kamu bisa langsung
ke rumah nanti.”
“Tidak… mungkin aku akan menjemputmu. Aku akan
berada di sini saat kamu pulang sekolah.” Kata Haruto, “Belajar yang rajin dan jangan
sampai sakit.”
“Kau terdengar seperti orangtuaku saja.” Arisa
mengerutkan kening, tapi bibirnya tersenyum tipis.
Haruto tertawa dan menepuk kepala Arisa.
“Lain kali, buatkan aku roti bakar seperti
tadi, ya?”
“Kalau aku punya waktu.” kata Arisa, kemudian
berjalan kearah gerbang sekolahnya.
Sambil memerhatikan Arisa hingga gadis itu
menghilang di gerbang, Haruto menelepon Liam untuk memberitahukan kedatangannya
ke perusahaan yang kemungkinan akan sedikit molor. Setelah menelepon, dia lalu
pergi ke suatu tempat yang terpikirkan pertama kali olehnya.
***
Arisa merasa dia perlu pergi ke tempat yang
lebih sepi dari taman belakang sekolah. Dia baru melangkah ke ruang loker,
sudah ada beberapa siswa laki-laki yang menantinya. Dan tiba-tiba saja dia
merasa seperti artis dadakan. Para siswa itu menghadiahinya dengan bunga,
coklat, dan benda-benda lain yang membuat kedua tangannya penuh berisi barang-barang.
“Sebenarnya apa yang terjadi, sih?” gerutu
Arisa sambil meletakkan semua barang-barang di tangannya ke atas meja, “Kenapa
tiba-tiba mereka memberi hadiah padaku seperti ini?”
“Mungkin karena kamu mulai direbut oleh Haruto
Kirishima?”
Arisa menoleh kearah Deby dan Utami yang
tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya dan duduk di depan mejanya.
“Wah… ada boneka Teddy Bear mungil!” kata Utami sambil ‘mengacak-acak’ hadiah Arisa
di atas meja. “Lucu banget…”
“Apa maksudnya, Deby?” tanya Arisa mengerutkan
kening. “Aku direbut oleh Haruto Kirishima?”
Deby yang ikut duduk di sebelah Utami
mengangguk, “Ya… begini, deh, kamu tidak sadar kalau sebenarnya kamu itu
termasuk dalam jajaran The Most Wanted
di sini? Maksudku, kamu ini cantik, pintar, dan bisa bernyanyi. Suaramu pun,
bisa membuat para cowok klepek-klepek di hadapanmu.”
“Apa aku seperti itu?” tanya Arisa tidak
percaya. “Rasanya aku bersikap biasa saja.”
“Tapi, sikapmu yang dingin-dingin tenang itu
membuat semua orang penasaran padamu, Arisa…” kata Utami ikut nimbrung, “Ah!
Halo, Mina!”
Arisa menoleh kearah pintu kelas, tepat ketika
Mina masuk ke dalam sambil membawa sekotak kardus penuh amplop berwarna-warni.
“Arisa, kurasa kamu harus membuat konferensi
pers kalau begini jadinya.” Ujar Mina sambil meletakkan kardus yang dibawanya
keatas meja, “Lho? Hadiah dari mana lagi ini?”
“Ini hadiah dari para penggemar Arisa.” Ujar
Utami, yang langsung mendapat tatapan mendelik dari Arisa.
“Lagi?”
kata Mina menatap Arisa, “Arisa, amplop-amplop ini semua dari para penggemarmu
juga. Hanya dalam satu hari, kau sudah punya banyak sekali fans!”
“Bukan hanya dalam satu hari, Mina, tapi, sudah
lebih dari setahun!” kata Deby, “Kamu tidak tahu bagaimana gencarnya para cowok
meluluhkan hati Arisa waktu kami masih sama-sama kelas satu.”
“Oh ya? Aku tidak pernah tahu…” kata Mina
sambil duduk di bangkunya.
Arisa hanya menatap ketiga orang yang asyik
mengobrol itu dengan sebelah alis terangkat. Dia menghembuskan nafas dan duduk
di bangkunya sendiri dan memeriksa amplop-amplop yang dibawakan Mina untuknya.
Sekali lagi, Arisa menghela nafas.
Ini akan
menjadi hari yang lebih membosankan daripada yang lalu. katanya dalam hati.
0 komentar:
Posting Komentar