Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Angel's Lullaby Chapter 4



Sampai sore, kedua orangtua Arisa belum juga pulang. Dan Haruto harus pamit karena Liam sudah meneleponnya beberapa kali menanyakan di mana keberadaannya. Haruto sedikit menyesal karena tidak bisa berbicara dengan orangtua Arisa mengenai keinginannya mengajak Arisa bergabung di bawah naungan perusahaannya dan berjanji pada Arisa untuk kembali lagi besok.
Bagi Arisa sendiri, kepergian Haruto sedikit melegakannya. Setidaknya, dia tidak perlu mendengar ayahnya menatapnya curiga ketika Haruto ada di rumah dan ingin menawarkan dirinya menjadi penyanyi. Bagi Arisa… itu bagaikan sebuah hukuman mati.

Yah… sebenarnya bukan hukuman mati juga, sih. Tapi, setidaknya pikirannya mengatakan itu.
Arisa hanya tersenyum tipis mengantar Haruto sampai ke depan pintu mobilnya.
“Maaf. Mungkin Papa dan Mama ada urusan mendadak…” Arisa mengedikkan bahu, “Biasalah… namanya juga pekerja keras. Mama pasti menyusul Papa karena Papa sering lupa waktu.”
Haruto mengangguk, “Tidak apa-apa. Aku bisa memaklumi.” Katanya sambil tersenyum lebar.
Ditatapnya Arisa yang lebih pendek darinya dan merasa geli. Dengan tingginya yang 178 senti, Arisa yang hanya setinggi bahunya jadi kelihatan lebih pendek dalam pandangannya. Dipandanginya tubuh Arisa yang juga langsing dan punya perawakan yang cocok untuk menjadi model.
Dia mungil… dan cantik. Seperti peri. Katanya dalam hati.
“Haruto?”
“Ya?”
“Hari sudah mau malam.”
“Oh,” Haruto melihat langit yang mulai menggelap, “Benar juga. Aku mulai melamun. Sampai besok, Arisa.”
Haruto masuk ke dalam mobilnya dan menyalakan mesinnya. Dia membuka sebelah jendela mobilnya yang menghadap Arisa.
“Besok pagi aku akan menjemputmu. Jadi, kamu tunggu dan duduk manis saja di depan teras. Oke?”
“Hah?” Arisa melebarkan matanya kaget.
Tapi, belum sempat dia protes, Haruto sudah menjalankan mobilnya meninggalkan Arisa yang bengong karena kaget.

***

“Kulihat kamu kelihatan senang.” Kata Liam menyambut Haruto di ruang tamu ketika ia baru saja duduk dan membaca majalah.
Haruto hanya tersenyum lebar dan duduk di sofa di sebelah Liam.
“Aku sudah tahu rumahnya, sudah tahu jadwalnya, dan tinggal menunggu waktu untuk berbicara dengan orangtuanya.”
“Berbicara dengan orangtuanya? Arisa maksudmu?”
“Siapa lagi?”
Liam hanya geleng-geleng kepala melihat Haruto. Dia sudah terbiasa dengan kebiasaan Haruto yang seperti ini, jadi dia hanya mendiamkan dan terkadang mengarahkan kalau kebiasaannya itu sudah menyimpang dari tujuannya semula.
“Makan malam belum siap. Kamu cepat mandi dan setelah itu ke ruang makan. Lalu segera pergi ke studio rekaman. JS’Vers ingin mendengar jawabanmu mengenai demo rekaman terbaru mereka itu.”
“Oke!”
Haruto melesat ke kamarnya di lantai dua bak anak kecil berusia 7 tahun. Dan lagi-lagi Liam hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum.

***

Entah kenapa makan malam hari ini berasa lain bagi Arisa. Arisa tahu dia tidak melakukan kesalahan apa-apa hari ini, namun kedua orangtuanya terus diam sejak mereka pulang tepat ketika Arisa hendak menyiapkan makan malam. Kakak tertuanya tidak bisa ikut makan bersama mereka karena masih ada pekerjaan yang harus diurus.
Begitu kedua orangtuanya datang tadi, Arisa melihat wajah ayahnya yang begitu lain, diam dari pada biasanya. Ibunya juga kelihatan sama diamnya seperti ayahnya. Kedua orangtuanya seakan sedang berada di dunia lain, bahkan sampai makan malam sekarang ini.
Arisa melirik ayahnya diam-diam. Beliau makan dengan tenang… terlalu tenang, sebenarnya. Dan itu membuat Arisa khawatir. Biasanya ayahnya akan menceritakan sesuatu tentang wejangan atau cerita pada saat beliau masih muda. Tapi, sekarang…
“Arisa,”
“I, iya?”
“Kenapa kamu gugup? Apa Papa membuatmu takut?”
“Tidak… hanya…”
“Papa hanya ingin bertanya, apa benar kamu ditawari menjadi penyanyi?”
“Eh? Papa… sudah tahu?”
“Mrs. Vientya yang memberitahu. Beliau menelepon Papa tadi.”
“O, oh…”
Apa karena itu Papa dan Mama pulang terlambat? Tanya Arisa dalam hati.
“Jadi,” kata ayahnya lagi, “Apa itu benar?”
Arisa menatap makanan di piringnya dengan perasaan tidak menentu. Dia ingin berbohong, tapi dia juga tidak bisa. Sejak kecil, Arisa tidak terbiasa berbohong. Kalau untuk kebaikan kedua orangtuanya, mungkin dia akan sedikit berbohong. Tapi, dia selebihnya, dia tidak pernah melakukannya sama sekali.
“Arisa?” kali ini ibunya yang memanggilnya dengan lembut. “Apa itu benar, sayang?”
Arisa tidak punya pilihan lain selain mengangguk.
“Iya… tadi pagi, Haruto Kirishima, pemilik Mirai Entertainment itu datang ke sekolah dan menawari Arisa menjadi penyanyi.” Katanya.
“Dari sekian banyak siswa di sana, kenapa kamu yang terpilih?” tanya ayahnya lagi.
“Arisa tidak tahu, Pa. Arisa juga bertanya pada Haruto, tapi dia hanya menjawab karena suara Arisa yang unik.”
“Unik, ya… suaramu memang unik, kok.” Ujar ibunya tersenyum, “Iya, kan, Pa?”
“Ya… memang suaramu unik. Tapi… yang Ayah maksud bukan itu.” ayahnya berdeham, “Apa kamu siap menanggung semua resikonya? Menjadi penyanyi, itu sudah termasuk sebuah pekerjaan. Dan kamu masih kecil. Masih berusia 14 tahun. Apa kamu sanggup menerima semua resiko termasuk jadwalmu yang akan padat, berita-berita tidak sedap yang akan menimpamu, dan juga segudang kegiatan lain untuk menunjang aktivitasmu?”
“Arisa… belum tahu. Arisa belum memberikan jawaban pada Haruto.” Kata Arisa menjawab pertanyaan ayahnya, “Lagipula, tadi dia menunggu di rumah, ingin berbicara dengan Papa mengenai masalah itu.”
“Dia tadi kemari?”
Arisa mengangguk. “Tapi, karena Papa dan Mama belum pulang, dia akan kembali lagi besok.” katanya.
Ayahnya manggut-manggut.
“Besok Papa akan luangkan waktu untuk mendengarkannya.” Kata ayahnya, “Satu lagi, Arisa. Mengenai keputusanmu itu nanti, semua tergantung padamu. Papa tidak akan melarangmu sama sekali, hanya saja jangan sampai tinggalkan pendidikanmu. Pendidikan sangat penting walaupun nantinya kamu akan bekerja dan menghasilkan uang sendiri. Papa tidak ingin nantinya kamu memiliki pekerjaan tetap, tapi pendidikanmu masih sangat rendah.”
“Arisa mengerti, Pa.”
“Dan, Arisa, apa kamu sudah siap jika…” ayahnya kelihatan tidak suka membahas satu topic yang akan keluar dari mulutnya. “Maksud Papa, kalau kamu mau menerima tawaran itu, maka kamu mungkin saja…”
“Arisa tidak tahu, Pa. Tapi, kalau Arisa sudah mantap, Arisa yakin Arisa juga sudah mantap kalau kemungkinan hal itu terjadi.” sela Arisa, lalu tersenyum, “Papa jangan khawatir. Arisa tidak apa-apa, kok.”
Ayahnya menatap anak perempuannya itu dan mengangguk pelan.
“Kalau begitu, hanya tinggal mengatakan pada Haruto Kirishima itu saja, kan, mengenai seperti apa keputusanmu?” kata beliau, “Itu tergantung keputusanmu dan kami sebagai orangtua hanya bisa memberi dukungan dan doa.”
Arisa mengangguk, kemudian melanjutkan makannya.
Dan Arisa merasa dia akan sulit untuk menelan makanannya selanjutnya.

Arisa masuk ke dalam kamarnya dan menghempaskan tubuhnya keatas ranjang. Ditatapnya langit-langit kamar sejenak sebelum membalikkan badan dan membuka kotak berhias pita coklat di atas meja di dekat tempat tidurnya.
Sebuah kalung emas berliontinkan bandul berbentuk bulan sabit dengan bintang dari berlian di tengah-tengahnya. Kalung itu tampak bersinar terang walau kamar Arisa sedikit gelap karena lampunya tidak dinyalakan. Ditatapnya kalung itu sambil mengelus permukaan bulan sabitnya yang halus.
“Besok, ya…” Arisa menghembuskan nafas dan memejamkan mata.
Apa yang harus dia katakan pada Haruto besok?
Memang kedua orangtuanya sudah menyetujui, bahkan tanpa berbicara dengan laki-laki itu. Tapi, Arisa tahu kekhawatiran orangtuanya saat membicarakan hal tersebut di tengah-tengah makan malam bukanlah resiko menjadi public figure, tapi sesuatu yang lain.
Arisa memejamkan matanya makin erat akibat tubuhnya yang menggigil.
“Jangan… memikirkannya lagi…” katanya pada diri sendiri.
Diraihnya kalung di dalam kotak itu dan digenggamnya erat-erat. Itu adalah salah satu cara agar rasa dingin yang membuat tubuhnya menggigil menghilang dan pergi. Ia merasa lebih nyaman dan aman ketika menggenggam kalung itu, hingga tertidur pulas tanpa disadari.

***

“Kau yakin Arisa sanggup menanggung resikonya?” tanya Nina pada suaminya yang sedang membaca sebuah buku di atas ranjang. Dia sendiri sedang menyisir rambutnya yang basah sehabis mandi tadi. “Aku takut ketakutannya kembali lagi.”
“Aku yakin tidak ada masalah, sayang.” Ujar Yutaka sambil menutup bukunya, lalu menatap istrinya dari cermin meja rias. “Aku yakin itu. Arisa adalah anak yang kuat.”
“Tapi, terkadang aku melihatnya menggigil ketakutan di malam hari. Dia bahkan sering bermimpi buruk dan mengigau dalam tidurnya…” ujar Nina, “Aku takut traumanya kambuh dan dia harus mendapatkan terapi lagi. Sudah cukup aku melihatnya ketakutan seperti itu.”
Yutaka diam. Dia tahu trauma apa yang dimaksud oleh istrinya. Tapi, dia tidak menanggapi lagi dan justru menghampiri istrinya.
“Arisa tidak akan kenapa-kenapa.” Kata Yutaka, “Kalau terjadi suatu apa pun padanya, akulah yang akan merasa bersalah lebih dulu karena memperbolehkannya menjadi penyanyi.”
Nina memejamkan mata dan merasakan sentuhan kedua tangan Yutaka di bahunya.
“Arisa terlahir dengan banyak bakat. Dia adalah anak yang manis dan cantik, seperti peri mungil. Dia adalah permata paling indah yang pernah ada yang kutemui…”
“Dia juga adalah embun yang sangat menyejukkan. Suaranya sangat mirip dengan ibu kandungnya.” Kata Nina sedih. “Andai kita bisa memberitahu Arisa yang sebenarnya…”
“Sekarang belum waktunya, Nina.” Kata Yutaka, “Belum. Sebelum dia berusia 17 tahun, kita tidak diperbolehkan memberitahu Arisa apa pun mengenai kelahirannya.”
“Tapi… kalau dia menjadi penyanyi, public figure, secara tidak langsung, semua orang akan mencari identitas dirinya. Dan itu akan berakibat fatal pada Arisa nantinya.” Nina membuka matanya dan menatap Yutaka, “Dia pasti akan bertanya-tanya nanti…”
“Jika dia menanyakannya… kita akan memberitahunya.” Yutaka mengangguk, “Sampai saat itu tiba, kita harus menjaga amanah kita pada ibu kandungnya, Naomi.”
Nina tidak menjawab. Dia hanya mengangguk lemah dan mengerutkan kening dengan raut wajah sedih.

***

Pagi terasa terlalu cepat datang bagi Arisa. Padahal dia merasa baru tidur beberapa menit, tapi ternyata pagi sudah menjelang.
Dengan sedikit mengantuk, dia melihat kearah jam beker di dekatnya. Jam 5 pagi, masih terlalu pagi untuk bangun dari tempat tidurnya.
Tapi, Arisa tidak mau dia mengorbankan rekornya sebagai siswa yang selalu datang lebih awal ke sekolah bahkan sebelum Pak Henry, si tukang kebun sekolah membersihkan taman sekolah.
Setelah membasuh wajahnya dengan air dingin dan menyikat gigi, Arisa merasa tubuhnya segar kembali. Sambil mengenakan seragam sekolahnya, ia bersenandung pelan. Setelahnya, Arisa pergi ke dapur dan membuat sarapan. Dia sudah terbiasa membuat sarapan sendiri dan juga untuk orang-orang satu rumah. Dan karena hanya dia yang lebih sering bangun pagi, dia yang sering membuatkan sarapan.
Ketika baru mengoleskan selai pada roti panggang bagiannya, Arisa mendengar suara klakson mobil di luar rumah. Ia mengerutkan kening dan menoleh kearah jam yang baru menunjukkan jam setengah 6.
“Apa dia benar-benar serius menjemputku?” tanya Arisa lirih teringat janji Haruto untuk menjemputnya pagi ini.
Setelah mengelap tangannya dengan handuk kering di dekatnya, dia berjalan kearah pintu dan mengintip lewat celah gorden di jendela di samping pintu. Itu mobil Haruto, dan itu mobil yang sama seperti yang dipakai laki-laki itu kemarin. Rupanya Haruto benar-benar menepati janjinya.
Dilihatnya Haruto keluar dari mobil dan menatap kearah rumahnya. Arisa buru-buru bersembunyi di balik gorden dan berlari ke kamarnya, tepat ketika ia masuk ke kamar, ponselnya berbunyi.
Gadis itu segera menghampirinya dan melihat nama Haruto tertera di layar ponsel.
“Ya?”
Kau sudah bangun? Tadi kulihat kamu mengintip dari balik gorden.” Kata Haruto di seberang telepon.
“Err… aku baru bangun.” Kata Arisa berbohong, “Ada apa?”
Bukankah sudah kubilang kalau aku akan menjemputmu? Aku sudah berada di depan rumahmu. Setidaknya, bisakah kamu bukakan pintu?
Arisa mau tidak mau kembali ke ruang tamu dan membuka pintu. Haruto tersenyum lebar padanya dan menghampiri Arisa sambil berlari.
“Aku tidak terlambat, kan?” tanyanya, dengan ponsel masih menempel di telinga kirinya.
“Tidak… kau terlalu pagi untuk datang.” jawab Arisa, lalu memutuskan telepon. “Kenapa kau datang pagi sekali?”
“Aku takut terlambat. Apa aku terlambat menjemputmu?”
Arisa menatapnya sebentar, kemudian menggeleng.
“Masuklah. Papa dan Mama masih tidur, tapi nanti mereka akan bangun.” Kata Arisa.
Haruto masuk dan mengikuti Arisa sampai ke dapur. Di meja makan sudah tertata rapi piring-piring berisi roti bakar dengan selai coklat maupun kacang. Ada juga empat gelas berisi susu putih, dan hanya satu gelas yang berisi susu coklat.
“Susu coklat itu milikku.” Kata Arisa ketika melihat Haruto menatap gelas susu coklat miliknya, “Aku tidak suka minum susu putih. Rasanya terlalu manis, dan itu membuat gemuk.”
“Hah? Memangnya susu coklat tidak membuat gemuk, ya?”
“Ada kakak temanku yang mengatakan seperti itu. Katanya susu putih itu mengandung banyak lemak yang bisa membuat gemuk sementara susu coklat tidak. Karena itu sekarang aku sering minum susu coklat.”
“Oh…”
Arisa mengoleskan selai coklat lebih banyak ke rotinya dan meletakkanya di atas piring. Dia lalu menyeduh air dan membuat teh. Kali ini Arisa melihat Haruto mengerutkan kening.
“Kamu tidak suka teh?” tanya Arisa. “Kalau kamu bertanya aku sedang apa, aku sedang membuatkanmu minuman.”
“Bukan… aku suka, kok.” Kata Haruto. “Hanya saja… kelihatannya kamu terbiasa sekali menyiapkan makan pagi, seperti sekarang.”
“Itu karena aku yang selalu bangun lebih pagi.”
“Memangnya kamu bangun jam berapa?”
“Jam lima pagi.”
“Itu tidak terlalu pagi.” balas Haruto.
“Papa bekerja jam 7, dan biasanya dia baru bangun jam setengah 6…” Arisa melihat jam lagi, kemudian kalender yang tergantung di dekat kulkas, “Tapi, hari ini hari Sabtu. Beliau mendapatkan libur 2 hari tiap minggu.”
“Ayahmu bekerja di mana?”
“Pokoknya pekerjaan yang benar dan tidak melanggar hukum.”
Melihat Arisa tidak mau membicarakan lebih banyak mengenai keluarganya, Haruto memilih diam dan tersenyum ketika Arisa menghidangkan teh di hadapannya.
“Kuharap rasanya tidak buruk. Itu teh melati.” Kata Arisa, kemudian beralih ke kesibukannya yang lain.
Haruto mengangkat cangkirnya dan menghirup aroma melati yang khas. Diseruputnya teh itu sedikit demi sedikit dan merasakan rasanya yang menyegarkan.
“Teh ini rasanya enak.”
Arisa diam mendengar pujian itu dan mengetuk pintu kamar Ken.
“Ken! Sudah pagi, ayo bangun!!”
Beberapa kali diketuk, akhirnya Ken keluar, sudah dengan seragam lengkap dan sedang mengencangkan tali dasinya.
“Kenapa lagi dasimu?” tanya Arisa.
“Tadi kuikat mati. Jadi agak susah membukanya.” Ujar Ken.
“Dasar…” Arisa membuka ikatan dasi Ken dan membetulkannya, “Nah, sudah rapi. Ayo cepat makan. Sarapannya roti bakar dengan telur orak-arik kesukaanmu.”
“Asyik!!”
Ken langsung menghampiri meja makan dan duduk di kursinya. Arisa beralih ke kamar kakaknya dan mengetuk pintu.
“Kak…?”
Arisa yang hafal kebiasaan kakak sulungnya itu hanya menghela nafas dan kembali ke meja makan.
“Kenapa kamu tidak memanggil kakakmu?” tanya Haruto, “Orangtuamu?”
“Kak Yuya mungkin baru pulang jam tiga pagi.” jawab Arisa, “Biasanya dia akan bangun jam delapan pagi. Papa dan Mama tidak akan bangun jam segini. Mereka baru bangun jam tujuh pagi.”
“Jadi, kapan aku bicara dengan mereka?” tanya Haruto lagi.
“Pikirkanlah sendiri solusinya.” Kata Arisa sambil melahap roti bakar bagiannya, “Kau mau? Aku bisa buatkan sekarang. Masih ada cukup waktu untuk pergi ke sekolah.”
“Boleh, kalau tidak merepotkan.”
“Tunggu sebentar.”
Arisa meminum sedikit susu coklatnya dan kembali memanggang dua lembar roti. Dia juga kembali menghadap kompor dan menggoreng telur.
“Kamu ingin telur setengah matang atau benar-benar matang?” tanya Arisa, “Orak-arik seperti punya Ken?”
“Tidak. Aku mau telur dadar saja. Tapi, porsinya digandakan, ya?”
Arisa mengedikkan bahu dan mengerjakan pekerjaannya. Selama Arisa membuatkannya sarapan pagi, Haruto tertegun melihat sosok Arisa. Dia tiba-tiba merasa rindu dengan masakan buatan rumah. Selama ini dia hanya makan makanan instan. Kalau Liam mengingatkannya makan baru dia mau makan karena saking sibuknya dia bekerja, dia bisa sampai lupa makan.
Haruto juga mendadak teringat ibunya. Dulu waktu ia kecil, beliau suka membuatkan Haruto susu putih dan roti bakar ber-topping keju kesukaannya. Memikirkan insiden yang membuatnya menjadi yatim-piatu membuat Haruto merasa dadanya sesak.
“Lho? Kakak kenapa?”
Arisa menoleh kearah Ken yang menatap Haruto. Dia juga terkejut ketika melihat di wajah Haruto ada setetes airmata, yang jika tidak diperhatikan dengan seksama tidak akan terlihat di wajahnya yang putih mulus itu.
“Haruto? Kamu kenapa?”
“Hah?” Haruto mendongak dan mengerjapkan mata, “Kenapa apanya?”
“Di… wajahmu ada airmata?” kata Arisa, “Kamu menangis? Karena apa?”
Haruto menyentuh wajahnya dan merasakan jejak basah airmata di sana.
“Oh, ini… bukan apa-apa.” Haruto tersenyum, “Hanya terharu melihatmu memasakkan sarapan pagi untukku. Rasanya aku seperti sudah beristri saja.”
Arisa mengerjapkan matanya beberapa kali dan tertawa gugup.
“Ada-ada saja…” Arisa menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia meletakkan roti bakar yang sudah dia beri keju di atasnya dan juga telur dadar tebal yang berwarna coklat menggiurkan.
“Ini. Kuharap kamu suka.” Ujarnya sambil meletakkan piring itu di hadapan Haruto.
“Bagaimana kamu tahu roti kesukaanku?” Haruto mengangkat sebelah alis dengan ekspresi geli, “Aku suka roti bakar dengan topping keju.”
“E, eh? Benarkah?” Arisa lagi-lagi gugup. “Sebenarnya aku punya selai coklat dan kacang, juga nanas dan stroberi… tapi, aku hanya kepikiran roti bakar keju…”
“Tidak apa-apa. Aku suka, kok.” Ujar Haruto, “Biar kucicipi dulu.”
Haruto meraih garpu dan memotong roti yang kelihatan renyah itu dan meniupnya pelan.
“Hmm… enak!!” mata Haruto berbinar-binar menatap Arisa, “Roti bakar keju paling enak yang pernah kumakan. Kurasa aku akan sering-sering menumpang sarapan di sini.”
Arisa hanya mengerutkan kening dengan gugup, kemudian kembali ke tempat duduknya dan mulai makan lagi.
Mereka makan dalam diam. Ken sudah selesai makan dan langsung mengangkat piring-piringnya ke tempat cuci, kemudian mencucinya. Arisa sendiri membereskan meja makan, tapi meninggalkan tiga buah piring berisi roti bakar dan telur orak-arik untuk kedua orangtua dan kakaknya.
“Ken, kakak berangkat duluan. Kalau kamu berangkat, kunci pintu, oke?”
“Aku tahu, Kak Arisa… lagipula Papa sudah janji akan mengantarkanku pergi ke sekolah hari ini.” sahut Ken.
“Papa masih tidur, Ken…” tegur Arisa. “Ya sudah, kakak berangkat dulu.”
Arisa mengambil tasnya dan segera berangkat. Haruto mengikuti di belakangnya.
“Jadi… kamu akan naik mobil bersamaku?” tanya Haruto.
Arisa menatap mobil di depan rumahnya dan Haruto bergantian. Dia menghela nafas dan mengedikkan bahu untuk yang ke sekian kalinya.
“Setidaknya aku harus menghargai usahamu untuk membujukku masuk dalam agensimu.” Kata Arisa, “Baiklah. Aku akan ikut denganmu.”

***

Perkiraan Arisa bahwa sekolahnya masih sepi saat dia datang ternyata meleset jauh. Kenyataannya sudah banyak siswa yang datang dan itu membuat Arisa agak gelisah. Bagaimana dia menghadapi pertanyaan teman-temannya nanti kalau mereka tahu dia diantar oleh Haruto Kirishima ke sekolah?
“Kenapa kamu gelisah begitu?”
“Tidak apa-apa.” kata Arisa berbohong, “Turunkan saja aku di sini.”
“Lho? Kenapa?”
“Lakukan saja…”
Haruto menepikan mobilnya sedikit jauh dari gerbang SMP Global Junior. Arisa membuka sabuk pengamannya dan langsung keluar dari mobil. Ia lalu berjalan kearah pintu pengemudi dan mengetuk kacanya.
“Terima kasih sudah mengantarku ke sekolah,” kata Arisa, “Mungkin saat pulang sekolah Papa ada di rumah. Kamu bisa langsung ke rumah nanti.”
“Tidak… mungkin aku akan menjemputmu. Aku akan berada di sini saat kamu pulang sekolah.” Kata Haruto, “Belajar yang rajin dan jangan sampai sakit.”
“Kau terdengar seperti orangtuaku saja.” Arisa mengerutkan kening, tapi bibirnya tersenyum tipis.
Haruto tertawa dan menepuk kepala Arisa.
“Lain kali, buatkan aku roti bakar seperti tadi, ya?”
“Kalau aku punya waktu.” kata Arisa, kemudian berjalan kearah gerbang sekolahnya.
Sambil memerhatikan Arisa hingga gadis itu menghilang di gerbang, Haruto menelepon Liam untuk memberitahukan kedatangannya ke perusahaan yang kemungkinan akan sedikit molor. Setelah menelepon, dia lalu pergi ke suatu tempat yang terpikirkan pertama kali olehnya.

***

Arisa merasa dia perlu pergi ke tempat yang lebih sepi dari taman belakang sekolah. Dia baru melangkah ke ruang loker, sudah ada beberapa siswa laki-laki yang menantinya. Dan tiba-tiba saja dia merasa seperti artis dadakan. Para siswa itu menghadiahinya dengan bunga, coklat, dan benda-benda lain yang membuat kedua tangannya penuh berisi barang-barang.
“Sebenarnya apa yang terjadi, sih?” gerutu Arisa sambil meletakkan semua barang-barang di tangannya ke atas meja, “Kenapa tiba-tiba mereka memberi hadiah padaku seperti ini?”
“Mungkin karena kamu mulai direbut oleh Haruto Kirishima?”
Arisa menoleh kearah Deby dan Utami yang tiba-tiba sudah berdiri di belakangnya dan duduk di depan mejanya.
“Wah… ada boneka Teddy Bear mungil!” kata Utami sambil ‘mengacak-acak’ hadiah Arisa di atas meja. “Lucu banget…”
“Apa maksudnya, Deby?” tanya Arisa mengerutkan kening. “Aku direbut oleh Haruto Kirishima?”
Deby yang ikut duduk di sebelah Utami mengangguk, “Ya… begini, deh, kamu tidak sadar kalau sebenarnya kamu itu termasuk dalam jajaran The Most Wanted di sini? Maksudku, kamu ini cantik, pintar, dan bisa bernyanyi. Suaramu pun, bisa membuat para cowok klepek-klepek di hadapanmu.”
“Apa aku seperti itu?” tanya Arisa tidak percaya. “Rasanya aku bersikap biasa saja.”
“Tapi, sikapmu yang dingin-dingin tenang itu membuat semua orang penasaran padamu, Arisa…” kata Utami ikut nimbrung, “Ah! Halo, Mina!”
Arisa menoleh kearah pintu kelas, tepat ketika Mina masuk ke dalam sambil membawa sekotak kardus penuh amplop berwarna-warni.
“Arisa, kurasa kamu harus membuat konferensi pers kalau begini jadinya.” Ujar Mina sambil meletakkan kardus yang dibawanya keatas meja, “Lho? Hadiah dari mana lagi ini?”
“Ini hadiah dari para penggemar Arisa.” Ujar Utami, yang langsung mendapat tatapan mendelik dari Arisa.
Lagi?” kata Mina menatap Arisa, “Arisa, amplop-amplop ini semua dari para penggemarmu juga. Hanya dalam satu hari, kau sudah punya banyak sekali fans!”
“Bukan hanya dalam satu hari, Mina, tapi, sudah lebih dari setahun!” kata Deby, “Kamu tidak tahu bagaimana gencarnya para cowok meluluhkan hati Arisa waktu kami masih sama-sama kelas satu.”
“Oh ya? Aku tidak pernah tahu…” kata Mina sambil duduk di bangkunya.
Arisa hanya menatap ketiga orang yang asyik mengobrol itu dengan sebelah alis terangkat. Dia menghembuskan nafas dan duduk di bangkunya sendiri dan memeriksa amplop-amplop yang dibawakan Mina untuknya.
Sekali lagi, Arisa menghela nafas.
Ini akan menjadi hari yang lebih membosankan daripada yang lalu. katanya dalam hati.

0 komentar:

Posting Komentar