Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Angel's Lullaby Chapter 3



Arisa dibanjiri pertanyaan oleh teman-temannya ketika jam istirahat makan siang tiba. Dia hanya menanggapi setiap pertanyaan teman-temannya dengan senyum tipis. Namun, tidak urung dia juga merasa kelelahan harus tersenyum tanpa menjawab.
Bukannya Arisa tidak mau menjawab, tapi dia merasa pembicaraan tadi cukup dirinya dan Haruto yang tahu. Tidak perlu orang lain yang tahu selain mereka.

Apalagi Arisa tidak mau ada orang yang menginginkan dirinya menjadi perantara untuk menjadi artis dalam naungan Mirai Entertainment. Kesannya, dia kelihatan seperti seseorang yang sangat mengenal sosok Haruto Kirishima.
“Kau yakin dia tidak membicarakan apa-apa padamu?” tanya Mina.
“Tidak. Dia hanya bertanya keadaanku, kok.” Jawab Arisa sambil tersenyum, “Tidak apa-apa, Mina. Aku baik-baik saja…”
“Tapi, wajahmu masih pucat.” ujar Mina, “Kamu sakit apa? Kenapa kamu kelihatan ketakutan ketika menatap Haruto?”
Benarkah ketakutannya terlihat jelas? Arisa menelan ludah dan menggeleng menjawab pertanyaan Mina.
Mina tidak mau memaksa Arisa lagi. Sepanjang sisa pelajaran terakhir, mereka tidak lagi mengungkit-ungkit soal Haruto dan pembicaraan apa yang dibicarakan mereka berdua.

Saat pulang sekolah, Arisa menghembuskan nafas lega. Dia lega akhirnya bisa terhindar dari serbuan pertanyaan teman-temannya.  Yah… setidaknya untuk sementara ini, dia terbebas dari semua itu.
Arisa mengeluarkan kartu nama Haruto dari saku seragamnya dan menatap kartu nama bernuansa biru itu.
Menjadi penyanyi… bekerja sama dengan Haruto, bekerja di bawah naungan Mirai Entertainment…
Entah kenapa itu terdengar begitu menggoda bagi Arisa. Tapi, secepat pikiran itu datang, sebuah kilas balik menghantamnya dengan keras. Langkahnya terhenti tiba-tiba dan dia merasa kedinginan.
“Tidak… jangan memikirkan itu lagi.” gumam Arisa sambil menggelengkan kepalanya, “Sekarang yang harus kupikirkan hanya bagaimana cara menolak tawaran Haruto Kirishima. Ya… aku harus memikirkan hal itu.”
Arisa mengangguk pelan, meyakinkan diri sendiri. Dia baru akan melangkah lagi ketika suara klakson mobil yang berjalan di belakangnya membuatnya kaget. Gadis itu menoleh cepat dan melihat sebuah mobil sedan hitam berjalan tepat di sampingnya. Salah satu kaca mobil itu terbuka, dan Arisa tidak tahu apakah hari ini adalah hari kesialannya atau bukan.
Pengemudi di balik kemudi mobil hitam itu adalah Haruto, yang sedang tersenyum lebar padanya.

***

“Bagaimana, Haruto?” tanya Liam ketika Haruto kembali lagi ke ruangan Mrs. Vientya.
“Aku menawarkannya masuk ke dalam perusahaan kita.” Haruto tersenyum lebar, “Tapi, aneh… dia kelihatannya tidak ingin menjadi artis.”
“Setiap orang memiliki keinginan yang berbeda-beda.” Ujar Mrs. Vientya. “Mungkin saja Arisa tidak berminat menjadi artis, apalagi penyanyi.”
“Tidak… bukan itu.” Haruto duduk di sebelah Liam, “Dia kelihatan… menghindariku. Biasanya reaksi orang-orang jika melihatku pasti akan berebut berfoto, minta tanda tangan, atau apalah yang bisa membuat tubuhku pegal dan wajahku kaku. Tapi, Arisa… gadis itu kelihatan ketakutan.”
“Benarkah? Kenapa bisa begitu?”
“Aku tidak tahu. Dugaanku, kami pernah bertemu, lalu terjadi suatu kesalah-pahaman hingga dia ketakutan padaku.” Haruto merenung, “Tapi, kapan? Kurasa aku tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya.”
“Wah, wah… baru tahu aku kalau ada seorang gadis yang tidak tertarik padamu.” Kata Liam terkekeh, dan membuat Haruto hanya tersenyum kecut.
“Mungkin… kamu harus menyelidikinya sendiri, Haruto.” Saran Mrs. Vientya, “Kamu akan selalu dihantui rasa penasaran pada sesuatu jika tidak bisa menemukan jawabannya, kan?”
“Itu memang niatku sejak awal…” Haruto tersenyum tipis, “Tapi… boleh aku mina data mengenai Arisa? Agar aku lebih mudah mencari informasi tentang dia lewat detektif pribadiku.”
Mrs. Vientya tersenyum maklum. Dia mengeluarkan sebuah buku tebal bersampul kulit dan membukanya. Meneliti sebentar, dan tersenyum lagi.
“Ini data-datanya. Setidaknya inilah yang bisa didapatkan oleh pihak sekolah ketika ia mendaftar di sini kemudian menjadi siswa kelas akselerasi.”
Haruto menerima buku itu dan membacanya.
Data Siswa Nomor Urut 1009#
Nama              : Arisa Kunisada
Tanggal lahir : 28 November 1996
Tinggi/Berat  : 148 cm / 53 kg
Asal Sekolah  : SD Global
Alamat            : Jln. Kencana 3, No.07
Gol. Darah      : AB+
Jenis Kelamin : Perempuan
Anak ke          : 2 (kedua) dari 3 bersaudara
No. Telepon   : +62852902xxxx
“Lengkap sekali.” Gumam Haruto. “Boleh ku-copy data ini?”
“Apa kamu sekarang berubah menjadi stalker?” tanya Liam sambil tersenyum geli.
“Aku bukannya ingin menjadi stalker. Tapi, aku penasaran dengan sikap gadis itu.” jawab Haruto, “Aku tidak akan berhenti mencari tahu tentang dia bahkan sampai kiamat sekalipun.”
Liam terkekeh mendengar jawaban Haruto. “Asalkan kau hati-hati, mungkin saja kau atau dia akan jatuh cinta.”
Haruto hanya tertawa menanggapi gurauan Liam dan berjalan kearah mesin fotocopy di dekatnya. Dia mengamati copy dari data Arisa dan tersenyum.
“Liam,”
“Yup?”
“Aku akan pulang sendiri hari ini menggunakan mobil. Jangan khawatir, aku akan memanggilkan taksi untukmu.”
“Ap—untuk apa kamu pulang sendirian?”
“Aku, kan, sudah bilang, aku ingin menyelidiki gadis bernama Arisa ini.” Haruto menunjuk kertas berisi data Arisa di tangannya, “Jadi, aku tidak ingin ada orang lain yang mengganggu privasiku.”
Liam mengerjap, dan kemudian tertawa.
“Dasar anak muda…” gumamnya.
“Begitulah yang seharusnya dirasakan Haruto, Liam.” Kata Mrs. Vientya sedikit berbisik, “Bukankah selama ini dia belum punya pacar? Kurasa dia akan serius pada salah satu siswaku itu jika dia benar-benar pantang menyerah.”
“Apa kau sekarang berubah menjadi peramal cinta, Vientya?”
“Tidak. Tapi, aku merasa mereka akan cocok.” Mrs. Vientya menatap Haruto yang masih sibuk membaca data Arisa. “Aku kenal dengan orangtua Arisa, dan aku bisa mengusahakan untuk memenuhi keinginan Haruto untuk menjadikan Arisa sebagai salah satu penyanyinya.”
“Hmmm… ide yang cukup bagus.” Kata Liam, “Tapi, apa Haruto mau dibantu?”
“Kurasa sekarang tindakan yang tepat adalah membiarkan Haruto berusaha sendiri terlebih dahulu. Baru setelah agak mendesak, kita bisa membantunya.”
Liam menatap Mrs. Vientya sambil tersenyum, “Tidak percuma Kokuo memercayaimu sebagai ibu asuh Haruto saat masih kecil.” Ujarnya, “Rupanya kau sudah mengenal watak anak itu luar dan dalam.”
Mrs. Vientya balas tersenyum, “Bukankah kau juga sama?” katanya.
Liam lagi-lagi hanya tertawa dan tidak bisa membalas.

***

Haruto benar-benar memanggilkan taksi untuk Liam dan mengantar pria itu sampai di depan pintu taksi sebelum dia sendiri masuk ke dalam mobilnya dan menunggu jam pulang sekolah. Kalau dugaannya benar, kelas 3 akan pulang sebentar lagi. Haruto yang pernah bersekolah di SMA Global Junior masih hafal dengan jam pulang sekolah para siswanya. Kelas satu pada jam 12 siang, kelas dua pada jam 1 siang, dan kelas tiga pada jam 2 siang. Hal tersebut diberlakukan agar para siswanya pulang dengan tertib dan menghindari terjadinya pemerasan pada adik kelas maupun permusuhan diantara setiap siswa.
Karena itu, Haruto menunggu dengan sabar sambil mendengarkan beberapa demo rekaman para ‘calon’ artis yang akan masuk dalam manajemen perusahaannya.
Satu jam, dua jam… sekarang sudah jam 2 siang dan Haruto langsung memusatkan perhatiannya pada pintu gerbang SMP Global Junior. Diperhatikannya setiap wajah para siswinya sampai akhirnya dia melihat Arisa yang berjalan menunduk sambil menenteng tasnya dengan sebelah tangan. Gadis itu melewati begitu saja mobil Haruto dengan kepala tertunduk hingga wajahnya sedikit tertutup oleh rambutnya yang panjang.
Gotcha!” gumam Haruto sambil tersenyum lebar. Dia segera menyalakan mesin mobilnya dan mengikuti Arisa.
Haruto berusaha menjaga jarak dari Arisa agar gadis itu tidak curiga bahwa ia mengikutinya. Dan Haruto menyadari kalau tindakannya ini persis seperti yang dikatakan Liam, stalker. Ia terkekeh sendiri menyadari hal tersebut.
Mata Haruto tidak lepas dari sosok Arisa yang berjalan pelan di trotoar sambil sesekali mengibaskan rambutnya yang panjang ke belakang punggung. Haruto berpikir untuk menyapa Arisa ketika gadis itu tiba-tiba berhenti berjalan dan memeluk dirinya sendiri.
“Dia kenapa?” gumam Haruto mengerutkan kening, “Apa dia masih sakit?”
Diperhatikannya Arisa masih menggigil, tapi gadis itu sudah berdiri tegak dan kelihatan akan kembali berjalan, Haruto sendiri tanpa sadar memajukan mobilnya ke samping Arisa dan membunyikan klakson mobilnya.
Tubuh Arisa tersentak dan mata seperti boneka itu menatap kearah kaca mobil, tepat kearahnya, dengan sinar ketakutan.
Astaga… sinar ketakutan itu lagi.
Haruto membuka kaca mobilnya dan tersenyum lebar pada Arisa.
“Baru pulang?” tanya Haruto berbasa-basi.
Arisa tidak segera menjawab. Dia mengerjapkan matanya sekali, lalu dua kali, hingga sinar ketakutan itu sedikit menghilang dari mata Arisa.
“Ya… aku baru pulang.” jawab Arisa. “Sedang apa kamu di sini?”
“Menunggumu.”
Jawaban itu sepertinya berpengaruh besar pada Arisa. Haruto kembali melihat tubuh gadis itu menegang.
“Hei… aku bukannya mau mengajakmu ke suatu tempat yang aneh.” Kata Haruto, “Masuklah ke dalam, biar kuantar kamu sampai ke rumah.”
“Tidak perlu.” Jawab Arisa cepat.
“Tidak baik seorang gadis berjalan sendirian. Aku dengar di sekitar jalan ini ada sekelompok preman yang sering mencegat para pejalan kaki.” kata Haruto lagi.
“Aku tidak pernah bertemu dengan mereka. Aku selalu mengubah rute jalan pulangku setiap hari.” kata Arisa membalas, “Permisi,”
Arisa kembali berjalan dan tidak memerdulikan panggilan Haruto. Karena merasa jengkel, Haruto mematikan mesin mobilnya dan keluar. Dia langsung mengejar Arisa yang berjalan belum cukup jauh.
“Tunggu dulu,” Haruto menahan tangan Arisa, dan membuat gadis itu tersentak kaget.
“Jangan sentuh…”
“Oh, maaf.” Haruto cepat-cepat melepaskan tangannya.
Arisa memandang Haruto yang berdiri di hadapannya. Kalau diingat-ingat, Arisa tidak menyangka dia harus mendongakkan kepalanya hanya untuk menatap Haruto. Laki-laki di hadapannya ini terlalu tinggi dan membuat Arisa merasa kecil. Dia sendiri tahu kalau dia sudah ketakutan dan pingsan seperti tadi, ia tidak akan bisa memerhatikan hal lain selain memikirkan bagaimana meredakan rasa takutnya.
Oh ya, dan dia lupa kalau Haruto lebih tua darinya… berapa tahun? Mungkin 4 tahun atau lebih.
“Maaf, aku lupa kalaua kamu sensitive terhadap sentuhan.” Kata Haruto, “Tapi, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin mengantarmu pulang.”
Arisa masih menatap Haruto tidak percaya.
“Apa aku harus menyembah dulu di hadapanmu baru kamu akan percaya?” tanya Haruto melihat ketidak-percayaan masih belum meninggalkan mata Arisa.
“Aku percaya,” kata Arisa pelan, “Tapi, aku yakin kamu juga punya maksud lain di balik tindakanmu ini.”
“Aku hanya…” Haruto kehilangan kata-kata, dia berdeham sebentar untuk menghilangkan rasa gugupnya.
Gugup? Pikiran itu langsung membuat Haruto tersenyum kecil.
“Aku memang tidak hanya ingin mengantarmu pulang.” kata Haruto, “Aku juga ingin berbicara dengan orangtuamu mengenai tawaranku padamu tadi pagi.”
“Orangtuaku tidak ada di rumah sekarang. Biasanya hanya aku sendiri di rumah.” Kata Arisa.
“Kalau begitu aku akan menunggu.” balas Haruto, “Hari sudah sangat siang, bagaimana kalau kamu menyerah saja dan mengizinkanku mengantarmu sampai rumah? Jangan khawatir, aku tidak akan melakukan apapun padamu.”
Arisa memandang mobil sedan hitam yang terparkir agak jauh di belakang Haruto dan laki-laki itu bergantian.
“Kamu bisa percaya kata-kataku. Aku bukan pria bajingan yang suka mencari kesempatan.”
“Aku percaya, tapi, bukan itu yang kupikirkan.” Kata Arisa, “Baiklah, aku akan ikut denganmu.”
Haruto tersenyum lebar mendengar jawaban Arisa, “Begitu, dong. Ayo, kita langsung ke mobilku.”
Haruto kembali menarik tangan Arisa dan tidak menyadari gadis itu terpaku sesaat atas perlakuan kecil tersebut.
Apa-apaan ini? kata Arisa dalam hati sambil memperhatikan tangannya yang digenggam Haruto.
Kenapa tiba-tiba jantungnya berdebar keras?

***

Selama perjalanan, Haruto mencoba mengajak Arisa berbicara walau gadis itu hanya menjawab seperlunya. Arisa begitu pendiam. Dia lebih memilih menatap pemandangan jalan dari jendela mobil dan tidak menatap Haruto.
“Oh ya, apa hobimu selain menyanyi sendirian seperti tadi?” tanya Haruto.
“Tidak banyak…” jawab Arisa sambil mengedikkan bahu. “Kurasa kamu sudah tahu semua hobiku dari data yang dipunyai sekolah.”
“Bagaimana kamu tahu?”
Arisa melirik dasbor mobil, di mana ada kertas berisi fotocopy data mengenai dirinya. Arisa tidak yakin Haruto berpura-pura atau memang tidak sengaja meletakkan kertas itu tepat di atas dasbor dan sangat terlihat oleh Arisa.
“Apa kamu memang sengaja memperlihatkan kertas itu padaku?” tanya Arisa yang penasaran.
Haruto mengerjap dan melihat kearah dasbor. Dia langsung terkekeh dan menggaruk-garuk kepalanya.
“Salah satu kekuranganku adalah kecerobohanku.” Kata Haruto, “Aku selalu lupa di mana barang-barangku kuletakkan. Kadang aku kehilangan ponsel, terkadang juga kunci mobil.”
“Apa kamu tipe orang yang pelupa?”
“Tidak juga, kalau itu menyangkut soal music.”
Jawaban Haruto membuat Arisa tersenyum kecil. Haruto memperhatikan senyum itu dan ikut tersenyum.
“Senyummu itu manis sekali, A-chan.” Katanya, “Mengingatkanku pada seseorang saja…”
“Orang-orang memang bilang wajahku manis dan cantik…” Arisa merenung. “Tapi, aku tidak tahu itu benar atau tidak, soalnya…”
“Hmm?”
“Bukan apa-apa.” Arisa menggeleng, “Aku bicara melantur. Kapan kita sampai? Tunggu dulu, apa kamu tahu rumahku ada di mana?”
“Kamu pikir sekarang kita berada di mana?” tanya Haruto balik.
Arisa mengerutkan kening dan menyadari mobil yang dikemudikan Haruto telah berhenti. Ia menoleh dan melihat rumahnya tepat berada di sampingnya.
“Kamu tidak sadar, ya, kalau dari tadi kita sudah berada di depan rumahmu?” kata Haruto sambil terkekeh.
Arisa yakin wajahnya memerah, tapi dia berusaha sekeras mungkin untuk tidak menampakkan rasa malunya itu di wajahnya. Haruto sendiri makin terkekeh melihat Arisa salah tingkah.
“Ayo, aku akan menunggu di rumahmu sampai orangtuamu pulang.” kata Haruto, lalu keluar dari mobilnya.
Arisa sendiri hanya melongo. Jadi Haruto benar-benar serius ingin berbicara dengan orangtuanya?
Haruto membuka pintu di samping Arisa dan menuntun gadis itu turun dari mobil.
“Kak Arisa!!”
Pintu rumah Arisa terbuka dan seorang anak laki-laki keluar dari dalam rumah sambil membawa sebuah buku tulis.
“Ken? Ada apa?”
Anak laki-laki itu langsung berlari kearahnya. Haruto agak melongo melihat kelincahan anak itu yang dengan tangkas melompati genangan bekas hujan yang turun kemarin malam.
“Aku ingin Kakak membantuku mengerjakan PR-ku.” Kata Ken sambil merengek, “Boleh, ya? Boleh, ya?”
Arisa menghela nafas, dan dia agak melupakan Haruto yang berdiri di sebelahnya.
“Oke. Beri Kakak waktu untuk berganti pakaian. Kamu tunggu saja di ruang tamu.” kata Arisa, “Oh ya, Papa dan Mama belum pulang?”
“Belum pulang… aku juga baru pulang, kok.” Kata Ken. Tiba-tiba dia melirik kearah Haruto dan baru menyadari keberadaan pria itu. “Kak, dia siapa? Pacar Kak Arisa, ya?”
“Cuma teman.” Arisa melotot mendengar pertanyaan Ken, “Sudah, kamu cepat masuk ke dalam. Buatkan minuman dan cemilan untuk teman Kakak, ya?”
“Oke!”
Ken langsung berlari ke dalam rumah dengan gerakan lincah seperti yang dia lakukan tadi. Arisa hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah adik bungsunya.
“Itu… adikmu?” tanya Haruto.
“Ya. Ken. Sebenarnya nama lengkapnya adalah Kenta, tapi dia lebih sering dipanggil Ken.” kata Arisa sambil menatap Haruto. “Apa kamu benar-benar berniat berbicara dengan orangtuaku?”
“Tentu.”
“Tapi,” Arisa mengerutkan kening, “Kenapa kamu bersikeras aku harus masuk perusahaanmu? Bukankah masih banyak orang lain yang lebih berbakat daripada aku?”
Haruto ingin mengatakan kalau Arisa bagaikana batu berlian yang belum diasah dan berada di balik setumpuk jerami kasar yang menutupinya. Tapi, tentu saja dia tidak mungkin mengatakannya. Haruto memiringkan kepala sebentar sambil memikirkan kata-kata yang tepat untuk diucapkan oleh mulutnya.
“Karena suaramu yang unik.” Jawab Haruto, “Suaramu itu termasuk jenis langka di kalangan penyanyi wanita. Jarang ada yang mempunyai suara sepertimu, suara alto atau yang biasa disebut suara rendah hingga mirip seperti suara lelaki, dan agak bergetar serta sedikit serak. Perpaduan yang cukup unik untuk suaramu, kan?”
Apa iya suaranya terdengar seperti itu? Arisa mengerutkan kening. Tapi, dia hanya manggut-manggut mendengar penjelasan Haruto.
“Baiklah, kalau begitu silakan masuk ke rumahku.”
Haruto menyambut ajakan Arisa dengan senyuman lebar. Dia mengikuti gadis itu masuk ke dalam, dan sekejap, Haruto merasakan aroma bunga dan citrus.
“Ini parfum ruangan kesukaan Papa.” kata Arisa melihat Haruto seperti mengendus aroma parfum ruangan yang dipasang di sudut. “Papa suka wangi aroma bunga dan citrus, baginya wewangian seperti ini adalah aromatheraphy bagi pikirannya yang lelah.”
“Aroma yang menenangkan.” Kata Haruto, “Apa kamu akan membantu adikmu mengerjakan PR di sini?”
“Ya.” Arisa mengangguk. “Tunggu sebentar di sini, aku akan berganti baju dulu.”
Arisa menuju pintu kamar bercat biru muda dan masuk ke dalam ruangan di balik pintu tersebut. Tepat saat itu Ken kembali sambil membawa nampan berisi satu teko jus jeruk dan sepiring kue coklat.
“Maaf aku hanya bisa membuat jus jeruk.” Kata Ken sambil meletakkan nampan di atas meja. “Kak Arisa suka jus jeruk, jadi aku yakin Kakak juga suka…”
“Tidak apa-apa…” Haruto tersenyum, “Aku juga suka jus jeruk, kok. Terima kasih sudah repot-repot membuatkan minuman.”
Ken tersenyum lebar dan duduk di sebelah Haruto sambil menggoyang-goyangkan kedua kakinya. Dia menatap Haruto dengan tatapan penasaran dan ingin tahu.
“Apa Kakak pacar Kak Arisa?” tanya Ken, “Soalnya Kak Arisa jarang membawa teman laki-laki ke sini. Biasanya hanya Kak Mina, Kak Deby, atau Kak Utami yang kemari.”
“Bukan… aku bukan temannya. Yah… kami baru kenal tadi, kok.” Kata Haruto.
“Kakak mahasiswa, ya?”
“Bukan juga.” Haruto tersenyum melihat keingin-tahuan Ken yang sangat besar.
“Kalau begitu… Kakak kerja di kantoran seperti Papa?”
“Hmm… bisa dibilang begitu.”
“Wah… Kak Arisa hebat bisa dapat teman yang sudah kerja seperti Papa.” ujar Ken kagum, “Terus, terus, menurut Kakak, Kak Arisa itu—”
“Hayo, Ken, kamu sedang apa?”
Mereka berdua menoleh dan melihat Arisa berdiri di depan pintu kamarnya sambil berkacak pinggang. Rambutnya yang tadi digerai sekarang diikat buntut kuda dengan karet rambut berwarna biru. Ia juga mengenakan kaus tanpa lengan yang dibalut sweter berwarna pink dan juga celana pendek berwarna hitam.
Sambil menghampiri mereka berdua, Arisa menyalakan TV dan duduk di depan Ken, membuka-buka buku pelajaran adiknya itu.
“Mana yang tidak kamu mengerti?”
Haruto melihat Arisa membantu adiknya mengerjakan PR dengan sedikit terkesima. Dia sesekali melihat gadis itu menggeleng gemas dan akan sedikit membentak jika Ken kelihatan bosan untuk menyelesaikan tugasnya. Namun, Arisa tidak memberikan jawaban pada Ken, ia hanya menjelaskan, kemudian membiarkan Ken menjawab sendiri.
Setengah jam kemudian PR Ken sudah selesai dan anak laki-laki itu langsung masuk ke kamarnya dengan senyum gembira. Arisa sendiri menghela nafas dan menuang jus jeruk untuk dirinya sendiri.
“Kelihatannya kamu kecapekan.” Kata Haruto.
“Seperti itulah kalau harus membantu Ken mengerjakan PR-nya.” Arisa mengedikkan bahu. “Maaf, kamu harus menunggu lama.”
“Tidak apa-apa… lagipula hari ini aku tidak punya banyak pekerjaan.” Haruto tersenyum lebar, “Ngomong-ngomong orangtuamu belum pulang, ya?”
“Hmmm…” Arisa melihat kearah jam dinding, “Biasanya Papa pulang jam segini. Sedangkan Mama… mungkin sedang mengambil kotak-kotak yang dia titipkan di beberapa toko.”
“Kotak?”
“Ibuku membuat kue-kue. Biasanya aku membantu membuatkan. Tapi, beberapa hari ini aku tidak pernah ikut membantu. Aku langsung tertidur ketika aku selesai pulang dari tempat les di malam hari.”
“Kamu juga ikut les?”
“Hanya les bahasa Inggris dan piano. Papa menginginkan aku bisa bermain piano. Makanya sejak kecil aku disuruh mengikuti berbagai les piano.”
“Berarti kamu bisa bermain piano?”
“Yah…” Arisa mengedikkan bahu lagi dan memutar-mutar gelasnya. “Tidak terlalu jago, sih.”
“Tapi, kamu tetap bisa, kan? Itu menjadi nilai tambah dalam kegiatan bermusikmu…”
Haruto menghentikan aliran kata-katanya ketika Arisa menatap tajam padanya. Dia lalu tersenyum sementara Arisa memalingkan wajah kearah lain.

0 komentar:

Posting Komentar