Arisa dibanjiri pertanyaan oleh teman-temannya
ketika jam istirahat makan siang tiba. Dia hanya menanggapi setiap pertanyaan
teman-temannya dengan senyum tipis. Namun, tidak urung dia juga merasa
kelelahan harus tersenyum tanpa menjawab.
Bukannya Arisa tidak mau menjawab, tapi dia
merasa pembicaraan tadi cukup dirinya dan Haruto yang tahu. Tidak perlu orang
lain yang tahu selain mereka.
Apalagi Arisa tidak mau ada orang yang
menginginkan dirinya menjadi perantara untuk menjadi artis dalam naungan Mirai
Entertainment. Kesannya, dia kelihatan seperti seseorang yang sangat mengenal
sosok Haruto Kirishima.
“Kau yakin dia tidak membicarakan apa-apa
padamu?” tanya Mina.
“Tidak. Dia hanya bertanya keadaanku, kok.”
Jawab Arisa sambil tersenyum, “Tidak apa-apa, Mina. Aku baik-baik saja…”
“Tapi, wajahmu masih pucat.” ujar Mina, “Kamu
sakit apa? Kenapa kamu kelihatan ketakutan ketika menatap Haruto?”
Benarkah ketakutannya terlihat jelas? Arisa
menelan ludah dan menggeleng menjawab pertanyaan Mina.
Mina tidak mau memaksa Arisa lagi. Sepanjang sisa
pelajaran terakhir, mereka tidak lagi mengungkit-ungkit soal Haruto dan
pembicaraan apa yang dibicarakan mereka berdua.
Saat pulang sekolah, Arisa menghembuskan nafas
lega. Dia lega akhirnya bisa terhindar dari serbuan pertanyaan teman-temannya. Yah… setidaknya untuk sementara ini, dia
terbebas dari semua itu.
Arisa mengeluarkan kartu nama Haruto dari saku
seragamnya dan menatap kartu nama bernuansa biru itu.
Menjadi penyanyi… bekerja sama dengan Haruto,
bekerja di bawah naungan Mirai Entertainment…
Entah kenapa itu terdengar begitu menggoda bagi
Arisa. Tapi, secepat pikiran itu datang, sebuah kilas balik menghantamnya
dengan keras. Langkahnya terhenti tiba-tiba dan dia merasa kedinginan.
“Tidak… jangan memikirkan itu lagi.” gumam
Arisa sambil menggelengkan kepalanya, “Sekarang yang harus kupikirkan hanya
bagaimana cara menolak tawaran Haruto Kirishima. Ya… aku harus memikirkan hal
itu.”
Arisa mengangguk pelan, meyakinkan diri
sendiri. Dia baru akan melangkah lagi ketika suara klakson mobil yang berjalan
di belakangnya membuatnya kaget. Gadis itu menoleh cepat dan melihat sebuah
mobil sedan hitam berjalan tepat di sampingnya. Salah satu kaca mobil itu
terbuka, dan Arisa tidak tahu apakah hari ini adalah hari kesialannya atau
bukan.
Pengemudi di balik kemudi mobil hitam itu
adalah Haruto, yang sedang tersenyum lebar padanya.
***
“Bagaimana, Haruto?” tanya Liam ketika Haruto
kembali lagi ke ruangan Mrs. Vientya.
“Aku menawarkannya masuk ke dalam perusahaan
kita.” Haruto tersenyum lebar, “Tapi, aneh… dia kelihatannya tidak ingin
menjadi artis.”
“Setiap orang memiliki keinginan yang
berbeda-beda.” Ujar Mrs. Vientya. “Mungkin saja Arisa tidak berminat menjadi
artis, apalagi penyanyi.”
“Tidak… bukan itu.” Haruto duduk di sebelah
Liam, “Dia kelihatan… menghindariku. Biasanya reaksi orang-orang jika melihatku
pasti akan berebut berfoto, minta tanda tangan, atau apalah yang bisa membuat
tubuhku pegal dan wajahku kaku. Tapi, Arisa… gadis itu kelihatan ketakutan.”
“Benarkah? Kenapa bisa begitu?”
“Aku tidak tahu. Dugaanku, kami pernah bertemu,
lalu terjadi suatu kesalah-pahaman hingga dia ketakutan padaku.” Haruto
merenung, “Tapi, kapan? Kurasa aku tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya.”
“Wah, wah… baru tahu aku kalau ada seorang
gadis yang tidak tertarik padamu.” Kata Liam terkekeh, dan membuat Haruto hanya
tersenyum kecut.
“Mungkin… kamu harus menyelidikinya sendiri,
Haruto.” Saran Mrs. Vientya, “Kamu akan selalu dihantui rasa penasaran pada
sesuatu jika tidak bisa menemukan jawabannya, kan?”
“Itu memang niatku sejak awal…” Haruto
tersenyum tipis, “Tapi… boleh aku mina data mengenai Arisa? Agar aku lebih
mudah mencari informasi tentang dia lewat detektif pribadiku.”
Mrs. Vientya tersenyum maklum. Dia mengeluarkan
sebuah buku tebal bersampul kulit dan membukanya. Meneliti sebentar, dan
tersenyum lagi.
“Ini data-datanya. Setidaknya inilah yang bisa
didapatkan oleh pihak sekolah ketika ia mendaftar di sini kemudian menjadi
siswa kelas akselerasi.”
Haruto menerima buku itu dan membacanya.
Data
Siswa Nomor Urut 1009#
Nama :
Arisa Kunisada
Tanggal lahir :
28 November 1996
Tinggi/Berat :
148 cm / 53 kg
Asal Sekolah :
SD Global
Alamat :
Jln. Kencana 3, No.07
Gol. Darah :
AB+
Jenis Kelamin :
Perempuan
Anak ke :
2 (kedua) dari 3 bersaudara
No. Telepon :
+62852902xxxx
…
“Lengkap sekali.” Gumam Haruto. “Boleh ku-copy data ini?”
“Apa kamu sekarang berubah menjadi stalker?” tanya Liam sambil tersenyum
geli.
“Aku bukannya ingin menjadi stalker. Tapi, aku penasaran dengan
sikap gadis itu.” jawab Haruto, “Aku tidak akan berhenti mencari tahu tentang
dia bahkan sampai kiamat sekalipun.”
Liam terkekeh mendengar jawaban Haruto.
“Asalkan kau hati-hati, mungkin saja kau atau dia akan jatuh cinta.”
Haruto hanya tertawa menanggapi gurauan Liam
dan berjalan kearah mesin fotocopy di
dekatnya. Dia mengamati copy dari
data Arisa dan tersenyum.
“Liam,”
“Yup?”
“Aku akan pulang sendiri hari ini menggunakan
mobil. Jangan khawatir, aku akan memanggilkan taksi untukmu.”
“Ap—untuk apa kamu pulang sendirian?”
“Aku, kan, sudah bilang, aku ingin menyelidiki
gadis bernama Arisa ini.” Haruto menunjuk kertas berisi data Arisa di
tangannya, “Jadi, aku tidak ingin ada orang lain yang mengganggu privasiku.”
Liam mengerjap, dan kemudian tertawa.
“Dasar anak muda…” gumamnya.
“Begitulah yang seharusnya dirasakan Haruto,
Liam.” Kata Mrs. Vientya sedikit berbisik, “Bukankah selama ini dia belum punya
pacar? Kurasa dia akan serius pada salah satu siswaku itu jika dia benar-benar
pantang menyerah.”
“Apa kau sekarang berubah menjadi peramal
cinta, Vientya?”
“Tidak. Tapi, aku merasa mereka akan cocok.”
Mrs. Vientya menatap Haruto yang masih sibuk membaca data Arisa. “Aku kenal
dengan orangtua Arisa, dan aku bisa mengusahakan untuk memenuhi keinginan
Haruto untuk menjadikan Arisa sebagai salah satu penyanyinya.”
“Hmmm… ide yang cukup bagus.” Kata Liam, “Tapi,
apa Haruto mau dibantu?”
“Kurasa sekarang tindakan yang tepat adalah
membiarkan Haruto berusaha sendiri terlebih dahulu. Baru setelah agak mendesak,
kita bisa membantunya.”
Liam menatap Mrs. Vientya sambil tersenyum,
“Tidak percuma Kokuo memercayaimu sebagai ibu asuh Haruto saat masih kecil.”
Ujarnya, “Rupanya kau sudah mengenal watak anak itu luar dan dalam.”
Mrs. Vientya balas tersenyum, “Bukankah kau
juga sama?” katanya.
Liam lagi-lagi hanya tertawa dan tidak bisa membalas.
***
Haruto benar-benar memanggilkan taksi untuk
Liam dan mengantar pria itu sampai di depan pintu taksi sebelum dia sendiri
masuk ke dalam mobilnya dan menunggu jam pulang sekolah. Kalau dugaannya benar,
kelas 3 akan pulang sebentar lagi. Haruto yang pernah bersekolah di SMA Global
Junior masih hafal dengan jam pulang sekolah para siswanya. Kelas satu pada jam
12 siang, kelas dua pada jam 1 siang, dan kelas tiga pada jam 2 siang. Hal
tersebut diberlakukan agar para siswanya pulang dengan tertib dan menghindari
terjadinya pemerasan pada adik kelas maupun permusuhan diantara setiap siswa.
Karena itu, Haruto menunggu dengan sabar sambil
mendengarkan beberapa demo rekaman para ‘calon’ artis yang akan masuk dalam
manajemen perusahaannya.
Satu jam, dua jam… sekarang sudah jam 2 siang
dan Haruto langsung memusatkan perhatiannya pada pintu gerbang SMP Global
Junior. Diperhatikannya setiap wajah para siswinya sampai akhirnya dia melihat
Arisa yang berjalan menunduk sambil menenteng tasnya dengan sebelah tangan.
Gadis itu melewati begitu saja mobil Haruto dengan kepala tertunduk hingga
wajahnya sedikit tertutup oleh rambutnya yang panjang.
“Gotcha!”
gumam Haruto sambil tersenyum lebar. Dia segera menyalakan mesin mobilnya dan
mengikuti Arisa.
Haruto berusaha menjaga jarak dari Arisa agar
gadis itu tidak curiga bahwa ia mengikutinya. Dan Haruto menyadari kalau
tindakannya ini persis seperti yang dikatakan Liam, stalker. Ia terkekeh sendiri menyadari hal tersebut.
Mata Haruto tidak lepas dari sosok Arisa yang berjalan
pelan di trotoar sambil sesekali mengibaskan rambutnya yang panjang ke belakang
punggung. Haruto berpikir untuk menyapa Arisa ketika gadis itu tiba-tiba
berhenti berjalan dan memeluk dirinya sendiri.
“Dia kenapa?” gumam Haruto mengerutkan kening,
“Apa dia masih sakit?”
Diperhatikannya Arisa masih menggigil, tapi
gadis itu sudah berdiri tegak dan kelihatan akan kembali berjalan, Haruto
sendiri tanpa sadar memajukan mobilnya ke samping Arisa dan membunyikan klakson
mobilnya.
Tubuh Arisa tersentak dan mata seperti boneka
itu menatap kearah kaca mobil, tepat kearahnya, dengan sinar ketakutan.
Astaga… sinar ketakutan itu lagi.
Haruto membuka kaca mobilnya dan tersenyum
lebar pada Arisa.
“Baru pulang?” tanya Haruto berbasa-basi.
Arisa tidak segera menjawab. Dia mengerjapkan
matanya sekali, lalu dua kali, hingga sinar ketakutan itu sedikit menghilang
dari mata Arisa.
“Ya… aku baru pulang.” jawab Arisa. “Sedang apa
kamu di sini?”
“Menunggumu.”
Jawaban itu sepertinya berpengaruh besar pada
Arisa. Haruto kembali melihat tubuh gadis itu menegang.
“Hei… aku bukannya mau mengajakmu ke suatu
tempat yang aneh.” Kata Haruto, “Masuklah ke dalam, biar kuantar kamu sampai ke
rumah.”
“Tidak perlu.” Jawab Arisa cepat.
“Tidak baik seorang gadis berjalan sendirian.
Aku dengar di sekitar jalan ini ada sekelompok preman yang sering mencegat para
pejalan kaki.” kata Haruto lagi.
“Aku tidak pernah bertemu dengan mereka. Aku
selalu mengubah rute jalan pulangku setiap hari.” kata Arisa membalas,
“Permisi,”
Arisa kembali berjalan dan tidak memerdulikan
panggilan Haruto. Karena merasa jengkel, Haruto mematikan mesin mobilnya dan
keluar. Dia langsung mengejar Arisa yang berjalan belum cukup jauh.
“Tunggu dulu,” Haruto menahan tangan Arisa, dan
membuat gadis itu tersentak kaget.
“Jangan sentuh…”
“Oh, maaf.” Haruto cepat-cepat melepaskan
tangannya.
Arisa memandang Haruto yang berdiri di
hadapannya. Kalau diingat-ingat, Arisa tidak menyangka dia harus mendongakkan
kepalanya hanya untuk menatap Haruto. Laki-laki di hadapannya ini terlalu
tinggi dan membuat Arisa merasa kecil. Dia sendiri tahu kalau dia sudah
ketakutan dan pingsan seperti tadi, ia tidak akan bisa memerhatikan hal lain
selain memikirkan bagaimana meredakan rasa takutnya.
Oh ya, dan dia lupa kalau Haruto lebih tua
darinya… berapa tahun? Mungkin 4 tahun atau lebih.
“Maaf, aku lupa kalaua kamu sensitive terhadap
sentuhan.” Kata Haruto, “Tapi, aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya ingin
mengantarmu pulang.”
Arisa masih menatap Haruto tidak percaya.
“Apa aku harus menyembah dulu di hadapanmu baru
kamu akan percaya?” tanya Haruto melihat ketidak-percayaan masih belum
meninggalkan mata Arisa.
“Aku percaya,” kata Arisa pelan, “Tapi, aku
yakin kamu juga punya maksud lain di balik tindakanmu ini.”
“Aku hanya…” Haruto kehilangan kata-kata, dia
berdeham sebentar untuk menghilangkan rasa gugupnya.
Gugup? Pikiran itu langsung membuat Haruto
tersenyum kecil.
“Aku memang tidak hanya ingin mengantarmu
pulang.” kata Haruto, “Aku juga ingin berbicara dengan orangtuamu mengenai
tawaranku padamu tadi pagi.”
“Orangtuaku tidak ada di rumah sekarang.
Biasanya hanya aku sendiri di rumah.” Kata Arisa.
“Kalau begitu aku akan menunggu.” balas Haruto,
“Hari sudah sangat siang, bagaimana kalau kamu menyerah saja dan mengizinkanku
mengantarmu sampai rumah? Jangan khawatir, aku tidak akan melakukan apapun
padamu.”
Arisa memandang mobil sedan hitam yang
terparkir agak jauh di belakang Haruto dan laki-laki itu bergantian.
“Kamu bisa percaya kata-kataku. Aku bukan pria
bajingan yang suka mencari kesempatan.”
“Aku percaya, tapi, bukan itu yang kupikirkan.”
Kata Arisa, “Baiklah, aku akan ikut denganmu.”
Haruto tersenyum lebar mendengar jawaban Arisa,
“Begitu, dong. Ayo, kita langsung ke mobilku.”
Haruto kembali menarik tangan Arisa dan tidak
menyadari gadis itu terpaku sesaat atas perlakuan kecil tersebut.
Apa-apaan
ini? kata Arisa dalam
hati sambil memperhatikan tangannya yang digenggam Haruto.
Kenapa tiba-tiba jantungnya berdebar keras?
***
Selama perjalanan, Haruto mencoba mengajak
Arisa berbicara walau gadis itu hanya menjawab seperlunya. Arisa begitu
pendiam. Dia lebih memilih menatap pemandangan jalan dari jendela mobil dan
tidak menatap Haruto.
“Oh ya, apa hobimu selain menyanyi sendirian
seperti tadi?” tanya Haruto.
“Tidak banyak…” jawab Arisa sambil mengedikkan
bahu. “Kurasa kamu sudah tahu semua hobiku dari data yang dipunyai sekolah.”
“Bagaimana kamu tahu?”
Arisa melirik dasbor mobil, di mana ada kertas
berisi fotocopy data mengenai dirinya.
Arisa tidak yakin Haruto berpura-pura atau memang tidak sengaja meletakkan
kertas itu tepat di atas dasbor dan sangat terlihat oleh Arisa.
“Apa kamu memang sengaja memperlihatkan kertas
itu padaku?” tanya Arisa yang penasaran.
Haruto mengerjap dan melihat kearah dasbor. Dia
langsung terkekeh dan menggaruk-garuk kepalanya.
“Salah satu kekuranganku adalah kecerobohanku.”
Kata Haruto, “Aku selalu lupa di mana barang-barangku kuletakkan. Kadang aku
kehilangan ponsel, terkadang juga kunci mobil.”
“Apa kamu tipe orang yang pelupa?”
“Tidak juga, kalau itu menyangkut soal music.”
Jawaban Haruto membuat Arisa tersenyum kecil.
Haruto memperhatikan senyum itu dan ikut tersenyum.
“Senyummu itu manis sekali, A-chan.” Katanya,
“Mengingatkanku pada seseorang saja…”
“Orang-orang memang bilang wajahku manis dan
cantik…” Arisa merenung. “Tapi, aku tidak tahu itu benar atau tidak, soalnya…”
“Hmm?”
“Bukan apa-apa.” Arisa menggeleng, “Aku bicara
melantur. Kapan kita sampai? Tunggu dulu, apa kamu tahu rumahku ada di mana?”
“Kamu pikir sekarang kita berada di mana?”
tanya Haruto balik.
Arisa mengerutkan kening dan menyadari mobil
yang dikemudikan Haruto telah berhenti. Ia menoleh dan melihat rumahnya tepat
berada di sampingnya.
“Kamu tidak sadar, ya, kalau dari tadi kita sudah
berada di depan rumahmu?” kata Haruto sambil terkekeh.
Arisa yakin wajahnya memerah, tapi dia berusaha
sekeras mungkin untuk tidak menampakkan rasa malunya itu di wajahnya. Haruto
sendiri makin terkekeh melihat Arisa salah tingkah.
“Ayo, aku akan menunggu di rumahmu sampai
orangtuamu pulang.” kata Haruto, lalu keluar dari mobilnya.
Arisa sendiri hanya melongo. Jadi Haruto
benar-benar serius ingin berbicara dengan orangtuanya?
Haruto membuka pintu di samping Arisa dan
menuntun gadis itu turun dari mobil.
“Kak Arisa!!”
Pintu rumah Arisa terbuka dan seorang anak
laki-laki keluar dari dalam rumah sambil membawa sebuah buku tulis.
“Ken? Ada apa?”
Anak laki-laki itu langsung berlari kearahnya.
Haruto agak melongo melihat kelincahan anak itu yang dengan tangkas melompati
genangan bekas hujan yang turun kemarin malam.
“Aku ingin Kakak membantuku mengerjakan PR-ku.”
Kata Ken sambil merengek, “Boleh, ya? Boleh, ya?”
Arisa menghela nafas, dan dia agak melupakan
Haruto yang berdiri di sebelahnya.
“Oke. Beri Kakak waktu untuk berganti pakaian.
Kamu tunggu saja di ruang tamu.” kata Arisa, “Oh ya, Papa dan Mama belum
pulang?”
“Belum pulang… aku juga baru pulang, kok.” Kata
Ken. Tiba-tiba dia melirik kearah Haruto dan baru menyadari keberadaan pria
itu. “Kak, dia siapa? Pacar Kak Arisa, ya?”
“Cuma teman.” Arisa melotot mendengar
pertanyaan Ken, “Sudah, kamu cepat masuk ke dalam. Buatkan minuman dan cemilan
untuk teman Kakak, ya?”
“Oke!”
Ken langsung berlari ke dalam rumah dengan
gerakan lincah seperti yang dia lakukan tadi. Arisa hanya geleng-geleng kepala
melihat tingkah adik bungsunya.
“Itu… adikmu?” tanya Haruto.
“Ya. Ken. Sebenarnya nama lengkapnya adalah
Kenta, tapi dia lebih sering dipanggil Ken.” kata Arisa sambil menatap Haruto.
“Apa kamu benar-benar berniat berbicara dengan orangtuaku?”
“Tentu.”
“Tapi,” Arisa mengerutkan kening, “Kenapa kamu
bersikeras aku harus masuk perusahaanmu? Bukankah masih banyak orang lain yang
lebih berbakat daripada aku?”
Haruto ingin mengatakan kalau Arisa bagaikana
batu berlian yang belum diasah dan berada di balik setumpuk jerami kasar yang
menutupinya. Tapi, tentu saja dia tidak mungkin mengatakannya. Haruto
memiringkan kepala sebentar sambil memikirkan kata-kata yang tepat untuk
diucapkan oleh mulutnya.
“Karena suaramu yang unik.” Jawab Haruto,
“Suaramu itu termasuk jenis langka di kalangan penyanyi wanita. Jarang ada yang
mempunyai suara sepertimu, suara alto atau yang biasa disebut suara rendah
hingga mirip seperti suara lelaki, dan agak bergetar serta sedikit serak.
Perpaduan yang cukup unik untuk suaramu, kan?”
Apa iya suaranya terdengar seperti itu? Arisa
mengerutkan kening. Tapi, dia hanya manggut-manggut mendengar penjelasan
Haruto.
“Baiklah, kalau begitu silakan masuk ke
rumahku.”
Haruto menyambut ajakan Arisa dengan senyuman
lebar. Dia mengikuti gadis itu masuk ke dalam, dan sekejap, Haruto merasakan
aroma bunga dan citrus.
“Ini parfum ruangan kesukaan Papa.” kata Arisa
melihat Haruto seperti mengendus aroma parfum ruangan yang dipasang di sudut.
“Papa suka wangi aroma bunga dan citrus,
baginya wewangian seperti ini adalah aromatheraphy
bagi pikirannya yang lelah.”
“Aroma yang menenangkan.” Kata Haruto, “Apa
kamu akan membantu adikmu mengerjakan PR di sini?”
“Ya.” Arisa mengangguk. “Tunggu sebentar di
sini, aku akan berganti baju dulu.”
Arisa menuju pintu kamar bercat biru muda dan
masuk ke dalam ruangan di balik pintu tersebut. Tepat saat itu Ken kembali
sambil membawa nampan berisi satu teko jus jeruk dan sepiring kue coklat.
“Maaf aku hanya bisa membuat jus jeruk.” Kata
Ken sambil meletakkan nampan di atas meja. “Kak Arisa suka jus jeruk, jadi aku
yakin Kakak juga suka…”
“Tidak apa-apa…” Haruto tersenyum, “Aku juga
suka jus jeruk, kok. Terima kasih sudah repot-repot membuatkan minuman.”
Ken tersenyum lebar dan duduk di sebelah Haruto
sambil menggoyang-goyangkan kedua kakinya. Dia menatap Haruto dengan tatapan
penasaran dan ingin tahu.
“Apa Kakak pacar Kak Arisa?” tanya Ken,
“Soalnya Kak Arisa jarang membawa teman laki-laki ke sini. Biasanya hanya Kak
Mina, Kak Deby, atau Kak Utami yang kemari.”
“Bukan… aku bukan temannya. Yah… kami baru
kenal tadi, kok.” Kata Haruto.
“Kakak mahasiswa, ya?”
“Bukan juga.” Haruto tersenyum melihat
keingin-tahuan Ken yang sangat besar.
“Kalau begitu… Kakak kerja di kantoran seperti
Papa?”
“Hmm… bisa dibilang begitu.”
“Wah… Kak Arisa hebat bisa dapat teman yang
sudah kerja seperti Papa.” ujar Ken kagum, “Terus, terus, menurut Kakak, Kak
Arisa itu—”
“Hayo, Ken, kamu sedang apa?”
Mereka berdua menoleh dan melihat Arisa berdiri
di depan pintu kamarnya sambil berkacak pinggang. Rambutnya yang tadi digerai
sekarang diikat buntut kuda dengan karet rambut berwarna biru. Ia juga
mengenakan kaus tanpa lengan yang dibalut sweter berwarna pink dan juga celana
pendek berwarna hitam.
Sambil menghampiri mereka berdua, Arisa
menyalakan TV dan duduk di depan Ken, membuka-buka buku pelajaran adiknya itu.
“Mana yang tidak kamu mengerti?”
Haruto melihat Arisa membantu adiknya
mengerjakan PR dengan sedikit terkesima. Dia sesekali melihat gadis itu
menggeleng gemas dan akan sedikit membentak jika Ken kelihatan bosan untuk
menyelesaikan tugasnya. Namun, Arisa tidak memberikan jawaban pada Ken, ia
hanya menjelaskan, kemudian membiarkan Ken menjawab sendiri.
Setengah jam kemudian PR Ken sudah selesai dan
anak laki-laki itu langsung masuk ke kamarnya dengan senyum gembira. Arisa
sendiri menghela nafas dan menuang jus jeruk untuk dirinya sendiri.
“Kelihatannya kamu kecapekan.” Kata Haruto.
“Seperti itulah kalau harus membantu Ken
mengerjakan PR-nya.” Arisa mengedikkan bahu. “Maaf, kamu harus menunggu lama.”
“Tidak apa-apa… lagipula hari ini aku tidak
punya banyak pekerjaan.” Haruto tersenyum lebar, “Ngomong-ngomong orangtuamu
belum pulang, ya?”
“Hmmm…” Arisa melihat kearah jam dinding,
“Biasanya Papa pulang jam segini. Sedangkan Mama… mungkin sedang mengambil
kotak-kotak yang dia titipkan di beberapa toko.”
“Kotak?”
“Ibuku membuat kue-kue. Biasanya aku membantu
membuatkan. Tapi, beberapa hari ini aku tidak pernah ikut membantu. Aku
langsung tertidur ketika aku selesai pulang dari tempat les di malam hari.”
“Kamu juga ikut les?”
“Hanya les bahasa Inggris dan piano. Papa
menginginkan aku bisa bermain piano. Makanya sejak kecil aku disuruh mengikuti
berbagai les piano.”
“Berarti kamu bisa bermain piano?”
“Yah…” Arisa mengedikkan bahu lagi dan
memutar-mutar gelasnya. “Tidak terlalu jago, sih.”
“Tapi, kamu tetap bisa, kan? Itu menjadi nilai
tambah dalam kegiatan bermusikmu…”
Haruto menghentikan aliran kata-katanya ketika
Arisa menatap tajam padanya. Dia lalu tersenyum sementara Arisa memalingkan
wajah kearah lain.
0 komentar:
Posting Komentar