Haruto Kirishima, lagi dan lagi… kenapa nama
orang itu harus disebut sebanyak yang tidak ingin didengar oleh telinga Arisa?
Dia tentu saja jengkel. Apalagi kalau masalah
hobinya yang segunung itu dikaitkan dengan dunia entertainment. Arisa bukannya tidak suka, tapi dia tidak mau
terlibat dalam segala hal yang berbau dunia blitz
dan tetek-bengek mengenai menjadi sempurna di layar TV.
Arisa juga bukannya membenci pekerjaan
orang-orang yang berkecimpung dalam dunia tersebut, malahan dia sangat
mengagumi mereka. Dan sebelum Arisa mengalihkan cita-citanya menjadi seorang
guru, dia ingin menjadi seorang entertainer.
Tapi, tentu saja tidak akan pernah terkabul.
Terutama karena masalah… itu.
Mendadak Arisa menggigil. Dia langsung berjalan
cepat kearah taman belakang sekolah dan duduk di kursi favoritnya.
Dikeluarkannya ponsel dan juga earphone-nya,
lalu mulai mendengarkan lagu-lagu kesukaannya.
Gadis itu memejamkan mata dan mencoba
merelaksasikan tubuh dan pikirannya selama sisa-sisa jam istirahat. Dia
tersenyum kecil mendengar alunan nada dan instrument di telinganya kemudian
mulai bernyanyi lirih.
Entah sudah berapa lama dia duduk di sana,
tapi, Arisa tidak menyadari suasana yang sudah mulai sepi, dan dia masih tetap
berada di tempatnya.
Suara tepuk tangan pelan namun pasti
membuyarkan lamunan Arisa. Dia membuka mata dan mengerutkan kening. Apa tadi
dia salah dengar kalau ada suara tepuk tangan barusan?
“Suaramu… bagus.”
Arisa terlonjak kaget dan menoleh ke
sampingnya, tepat kearah seorang laki-laki muda berambut coklat muda berpakaian
kantoran yang sedang tersenyum padanya.
***
“Selamat datang, Mr. Watson, Haruto,” sapa
Kepala Sekolah SMP Global Junior, Mrs. Vientya Margaretta. Rambutnya yang mulai
memutih di sanggul sedikit tinggi dan memberikan kesan berwibawa, apalagi
dengan sikap tubuhnya yang juga sopan dan anggun itu.
“Terima kasih atas sambutannya, Mrs. Vientya.
Senang bertemu Anda lagi.” sapa Liam balik, sambil menjabat tangan Mrs.
Vientya. “Sepertinya sudah lama sekali saya tidak ke sekolah ini, mengenang
masa lalu ketika mengantar Haruto kemari.”
Haruto yang berdiri di belakang hanya
menggaruk-garuk kepalanya sementara Mrs. Vientya tertawa kecil.
“Ada apa dengan kunjungan kali ini? Apakah
Haruto ingin bernostalgia?” tanya Mrs. Vientya setelah tawanya selesai.
“Mungkin ingin melihat taman di belakang sekolah yang sudah sepenuhnya selesai
dibangun?”
“Benarkah?” mata Haruto langsung melebar,
“Tempat itu sudah selesai dibangun?”
“Haruto, jaga kelakuanmu. Kamu bukan anak SMP
lagi.” tegur Liam, namun tidak urung dia juga ikut tersenyum melihat sikap
Haruto yang langsung berubah seperti anak kecil belasan tahun.
“Aku hanya tidak percaya taman itu sudah
selesai dibangun, Watson… ups, maaf, maksudku Ayah.” Haruto tersenyum lebar,
“Boleh aku ke sana? Aku ingin mengistirahatkan pikiranku yang penat setelah
bekerja seharian penuh kemarin.”
Tanpa menunggu jawaban Liam, Haruto langsung melesat
keluar dari lobi sekolah dan berjalan pergi. Liam hanya bisa geleng-geleng
kepala melihat tingkah Haruto.
“Dia tidak berubah sepenuhnya, ya?” kata Mrs.
Vientya. “Tapi, kulihat dia sudah membuat Mirai Entertainment sukses besar
sebagai perusahaan penghasil penyanyi dan band
terkenal di Negara ini.”
“Itulah kehebatan anak itu.” ujar Liam. “Tidak
ada yang bisa menandingi jiwanya dalam hal bermusik. Hal itu sudah diturunkan
dari kedua orangtuanya.”
Mrs. Vientya tersenyum, “Tapi dia juga masih
remaja. Usianya masih 19 tahun, bukan?”
“Akan menjadi 20 pada bulan November ini.” kata
Liam. “Dia itu bukan remaja lagi, dia sudah dewasa.”
“Bagaimana kalau kita mengobrol di ruangan
saya, Mr. Watson? Tidak enak jika kita hanya berdiri di sini sambil mengobrol.
Saya tidak ingin terjadi skandal yang membuat Anda kerepotan bila saya kepergok
sedang berbicara dengan Anda di tempat umum.” Kata Mrs. Vientya.
“Aku terima undanganmu, Mrs. Vientya.” Kata
Liam sambil tertawa.
Haruto berjalan melintasi koridor yang mengarah
ke taman belakang. Dia tersenyum kecil membayangkan masa lalunya ketika masih
menjadi siswa di sini. Semua kenangan itu berkelebat dalam benaknya dan terasa
seperti album foto yang masih bersih dan tidak ternoda.
“Mungkin setelah ini aku harus ke ruang guru.
Aku ingin tahu apa Ms. Belladona masih mengajar di sini.” gumamnya sambil
melintasi ruang guru.
Kakinya terus melangkah menuju taman belakang
sekolah. Ada kenangan tersendiri antara Haruto dan taman tersebut. Sebuah
kenangan yang mengubah hidupnya menjadi seperti sekarang.
Ketika hendak sampai di taman belakang sekolah,
dia mengerutkan kening. Samar-samar dia mendengar suara orang bernyanyi. Haruto
menghentikan langkahnya dan mendengarkannya dengan seksama. Suasana koridor ini
sepi. Para siswanya juga pasti sudah berada di dalam kelas masing-masing.
Lalu, siapa yang sedang bernyanyi? Tidak
mungkin suara ini berasal dari ruang music karena ruangan itu terletak cukup
jauh dari tempatnya berada sekarang.
Haruto yakin suara itu berasal dari taman
belakang sekolah.
Dengan langkah lebar, dia berjalan ke sana dan
melihat seseorang sedang duduk di sebuah bangku. Haruto mengira yang dilihatnya
adalah ilusi karena orang itu duduk membelakanginya. Perlahan, Haruto mendekat
dan terkejut melihat orang itu adalah seorang gadis remaja berusia sekitar 14
tahun. Di telinganya terpasang earphone
putih yang tersambung dengan ponselnya dan mata gadis itu terpejam. Bibirnya
melantunkan sebuah lagu yang sedang populer akhir-akhir ini.
Tapi, bukan itu yang membuat Haruto terkejut—atau
lebih tepatnya, sangat terkejut. Melainkan karena suaranya. Suaranya itu…
mendengarnya membuat Haruto menggigil. Dan detik itu, dia merasa melihat
sesuatu yang pernah dilihatnya dulu sekali.
Ini… tidak
salah lagi! katanya dalam
hati, lalu duduk di samping gadis itu yang masih bernyanyi sambil memejamkan
matanya. Mata Haruto tidak lepas dari gadis itu, sampai akhirnya gadis itu
selesai bernyanyi dan tanpa sadar membuat Haruto bertepuk tangan.
Mata gadis itu terbuka dan keningnya berkerut.
Gadis itu bahkan tidak menyadari Haruto yang duduk di sebelahnya.
“Suaramu… bagus.”
Gadis itu tersentak dan menoleh kearahnya.
Kesan pertama yang ditangkap Haruto dari gadis itu adalah, matanya bulat dan
besar seperti boneka. Gadis itu mengerjap dan melepas earphone di telinganya. Keningnya masih berkerut.
Haruto tersenyum melihat keheranan gadis itu.
“Suaramu bagus. Apa kamu suka bernyanyi?” tanya
Haruto.
Gadis itu memiringkan kepalanya, namun tidak
menjawab. Dia malah menatap Haruto dengan tatapan tajam.
“Kamu siapa?” tanya gadis itu. Dan Haruto
langsung terkesima mendengar suaranya ketika berbicara sangat jauh berbeda dari
saat ketika dia bernyanyi.
“Kamu siapa? Apa kamu guru baru di sini?” tanya
gadis itu lagi, tidak menyadari keterkejutan Haruto.
“A—eh, bukan…” Haruto menggeleng, “Aku… Haruto.
Haruto Kirishima.”
“Haruto… Kirishima?” kening gadis itu kembali
berkerut, namun hanya sebentar. Raut wajah gadis itu mendadak pucat dan matanya
membelalak lebar.
“A, ada apa?” tanya Haruto melihat gadis itu
mematung dengan raut wajah pucat.
“Kenapa… kenapa kamu ada di sini?” kata gadis
itu, “Apa… apa yang… ah!”
Gadis itu langsung berdiri dan berlari
meninggalkan taman belakang, meninggalkan Haruto sendirian dan masih
terbengong-bengong dengan sikap gadis itu.
Kelihatannya
gadis itu terlalu terkejut karena bertemu denganku… tapi, masa reaksinya harus
seperti itu? tanya Haruto
dalam hati. Dia tidak menyangka reaksi gadis itu akan seperti ini.
Tapi… sekilas dari raut wajahnya, Haruto bisa
menangkap sedikit rasa takut di sana. Seolah dia sudah pernah bertemu dengan
Haruto dan punya kenangan buruk tentangnya.
“Apa gadis itu pernah bertemu denganku?” gumam
Haruto bingung.
***
“Ah, kamu sudah kembali, Haruto.” Kata Liam
saat melihat Haruto masuk ke ruang Mrs. Vientya.
Haruto masih memikirkan pertemuannya dengan
gadis tadi. Dia duduk di sebelah Liam sambil menghela nafas.
“Ada apa? Apa terjadi sesuatu?” tanya Liam.
“Tadi aku bertemu seseorang… siswa disini.”
Kata Haruto. “Siswi, lebih tepatnya, dia sedang berada di taman belakang
sekolah ketika aku sampai di sana. Dan… dia bernyanyi. Suaranya unik, dan aku
jatuh cinta pada suaranya.”
“Wah, wah… baru sebentar di sini, kau sudah
menemukan calon bintang rupanya.” Gelak Liam, “Lalu, siapa dia?”
“Dia… tidak menjawab. Dia kabur begitu saja.”
kata Haruto mengerutkan kening. “Tapi raut wajahnya mengatakan kalau kami
pernah bertemu, atau setidaknya pernah bertegur sapa. Dan aku bahkan tidak tahu
namanya.”
“Seperti apa cirri-cirinya, Haruto?” tanya Mrs.
Vientya.
“Dia cukup manis dan punya mata seperti boneka.
Rambutnya hitam, lebat dan panjang sepunggung. Dan… dia memakai pin kelas 3.”
Jawab Haruto.
“Ah… itu pasti Arisa.” Ujar Mrs. Vientya.
“Arisa?”
“Arisa Kunisada. Dia adalah salah satu siswa
yang masuk kelas akselerasi.” Jelas Mrs. Vientya, “Menurut teman-teman
dekatnya, dia memang sering ke taman belakang sekolah sejak taman itu dibangun.
Beberapa temannya bahkan menyebutkan kalau Arisa memiliki bakat yang cukup
banyak.”
“Bakat seperti apakah itu?” tanya Liam
tertarik.
“Dia bisa bernyanyi, menulis puisi dan cerita,
bahkan menggambar dan berakting.” Kata Mrs. Vientya. “Di dalam keluarganya
tidak ada darah seorang seniman, tapi bakat itu entah bagaimana terdapat pada
diri Arisa.”
“Benarkah?” Haruto juga tertarik.
“Tapi, sayangnya dia sangat pendiam. Tidak ada
yang tahan berteman dengannya kecuali beberapa orang, termasuk siswi
kepercayaanku, Mina Kanazato.” Kata Mrs. Vientya. “Aku tidak tahu mengapa anak
itu menjadi begitu pendiam, padahal pada waktu awal-awal masuk sekolah ini, dia
selalu ceria dan mudah akrab dengan orang lain, lho…”
“Mungkin dia mempunyai semacam trauma? Bisa
saja dia pernah di-bully atau
semacamnya.” Kata Liam.
“Bisa jadi…” Mrs. Vientya manggut-manggut
setuju. “Kau tahu walau di sekolah ini sudah ditetapkan peraturan agar para
siswa dilarang saling membenci dan semacamnya, hal itu masih sering terjadi.
Juga di sini…”
Haruto mendengarkan pembicaraan kedua orang di
dekatnya, tapi dia tidak benar-benar mendengarkan. Dia masih teringat reaksi
gadis bernama Arisa itu, dan semuanya terekam sangat jelas di dalam otaknya.
“Mrs. Vientya,”
“Ya, Haruto?”
“Bolehkah aku melihat kelas akselerasi itu? Aku
ingin melihat gadis itu lagi, agar aku tidak salah lihat kalau gadis itu
benar-benar gadis yang kumaksud.”
Mrs. Vientya mengerjap, kemudian mengangguk
pelan.
“Boleh saja. Kapan kamu ingin ke sana?”
“Sekarang juga.”
***
“Dari mana saja kamu, Arisa? Untunglah Mrs.
Jennifer sedang tidak ada. Kalau tidak, mungkin kamu tidak diperbolehkan masuk
ke dalam kelas!” kata Mina ketika Arisa baru masuk ke dalam kelas.
Arisa menatap Mina dengan tatapan setengah
kosong, kemudian menggeleng pelan.
“Aku… tidak ke mana-mana. Aku berada di taman
belakang sekolah.” Kata Arisa pelan.
“Ke sana lagi? Tapi, seharusnya kamu—hei,
kenapa wajahmu begitu pucat?” tanya Mina, “Kamu sakit?”
Arisa menggeleng lagi dan berjalan ke tempat
duduknya. Mina duduk di sebelahnya, memperhatikan dengan cemas wajah Arisa yang
pucat dan sikap diamnya yang tidak biasa ini.
“Arisa, kamu baik-baik saja, kan?”
“Aku baik-baik saja.” Arisa mencoba tersenyum
walau dia tahu senyumnya terasa kaku. “Apa ada tugas yang diberikan Mrs.
Jennifer?”
Mina menatap Arisa, kemudian memberikan
penjelasan mengenai materi yang disampaikan oleh guru mereka dan menjelaskan
tugas yang diberikan.
Arisa mendengarkan dengan patuh. Tapi, dia tahu
tubuhnya masih menggigil hebat, dan dia merasa mual. Namun dia tidak ingin
membuat Mina lebih khawatir lagi karena wajahnya yang pucat.
Ketika Arisa akan mengerjakan soal-soal yang
diberitahukan Mina, pintu ruang kelas terbuka dan Mrs. Jennifer, guru Fisika,
masuk ke dalam kelas.
“Anak-anak, mohon perhatiannya sebentar.” ujar
beliau sambil menepuk punggung tangannya 3 kali. “Tolong hentikan kegiatan
kalian sebentar, karena kita sedang kedatangan tamu special.”
“Tamu special?” Mina mengerutkan kening
mendengar ucapan Mrs. Jennifer. “Siapa?”
Mrs. Jennifer tersenyum lebar dan menoleh
kearah pintu kelas, mengangguk pelan.
Semua orang menanti siapa yang disebut tamu
special oleh Mrs. Jennifer. Dan ketika orang itu masuk, semua orang langsung
menjerit histeris. Haruto masuk ke dalam kelas mereka dengan senyum terkembang.
“Astaga!! Tidak mungkin!!” kata Mina, tidak
luput dari hysteria yang dibuat teman-temannya.
“Apa?” tanya Arisa, sambil tetap menjawab
soal-soal dari buku latihannya. Dia berpikir pasti yang dimaksud tamu special
adalah Kepala Sekolah, atau mungkin guru favorit yang sangat dinantikan untuk
menggantikan Mrs. Jennifer mengajar Fisika.
“Arisa, coba lihat ke depan! Kamu pasti juga
akan terkejut!” kata Mina.
Arisa melenguh dan mendongakkan kepalanya.
Matanya langsung menangkap sosok Haruto, dan membuatnya tersentak kaget seperti
saat pertama kali mereka bertemu tadi di taman belakang sekolah.
Haruto juga sedang menatapnya, dan senyumnya
tetap terkembang.
Arisa yakin dia sudah berdiri sebelum Mrs.
Jennifer menjelaskan sesuatu dan hendak berlari keluar kelas, namun lengannya
keburu ditangkap oleh Haruto dan gadis itu langsung merasa lengannya mati rasa.
“Kenapa kamu berlari seperti itu?” tanya
Haruto.
“L, lepaskan aku…” kata Arisa, “Jangan… jangan
sentuh…”
Arisa merasa tenaganya menghilang, dan
sekelilingnya berubah gelap.
“Arisa!!”
Mina langsung berdiri dan menghampiri Arisa
yang jatuh pingsan. Namun, Haruto yang berdiri di dekat Arisa langsung
menangkap tubuh gadis itu sebelum jatuh ke lantai. Dilihatnya wajah Arisa
begitu pucat dan bibirnya bergetar.
“Arisa kenapa?”
“Dia pasti Cuma pura-pura pingsan!
Mentang-mentang tangannya dipegang Haruto!”
“Dia pasti hanya ingin diperhatikan oleh Haruto
Kirishima.”
“Ganjen banget, sih!”
Seruan dan cemoohan teman-teman sekelasnya
membuat Mina menatap mereka marah. Mereka yang tadi mengejek langsung mengkeret
di bawah tatapan Mina.
“Mrs. Jennifer, saya akan membawa Arisa ke
ruang kesehatan.” Kata Mina, “Silakan lanjutkan pelajaran tanpa saya.”
“Oh? Eh… baiklah.” kata Mrs. Jennifer, “Tapi,
Haruto…”
“Saya juga akan ke ruang kesehatan. Mrs.
Jennifer, maaf, gadis ini akan menjadi tanggungan saya sementara dia absen dari
kelas Anda.”
“Ah, eh… tidak masalah.”
Mina menatap Haruto yang dengan mudah mengangkat
tubuh Arisa yang mungil. Tapi, ia tidak berlama-lama diam, dia langsung
mengikuti Haruto pergi ke ruang kesehatan. Diarahkannya Haruto ke salah satu
tempat tidur di ruang kesehatan dan menyuruhnya membaringkan Arisa di san.
Ia lalu mengambil minyak kayu putih dari laci
obat dan menuangkan beberapa tetes ke telapak tangannya. Diusapkannya telapak
tangannya pada leher Arisa dan juga tangannya yang begitu dingin seperti es.
“Tangannya dingin sekali,” gumam Mina.
“Dia baik-baik saja, kan?” tanya Haruto.
Mina menggeleng tidak tahu. “Aku tidak tahu.
Arisa jarang pingsan. Dia bahkan jarang sakit…” katanya sambil mengerutkan
kening. Dia mendongak menatap Haruto, “Maaf, saya jadi tidak memperhatikan
Anda.”
“Tidak masalah. Kesehatan temanmu lebih
penting.” Ujar Haruto tersenyum, “Rona wajahnya sudah kembali normal.”
Mina memusatkan perhatiannya pada Arisa.
Dilihatnya kelopak mata gadis itu bergetar dan terbuka perlahan.
“Mi, Mina…?”
“Arisa, syukurlah kamu sudah sadar.” kata Mina
lega, “Kamu tadi pingsan. Sekarang kita berada di ruang kesehatan.”
Arisa mengerutkan kening, kepalanya masih
terasa sakit. Dia mengalihkan pandangan dan langsung bertemu pandang dengan
Haruto. Gadis itu langsung duduk tegak dan menatap Haruto dengan tatapan yang
tidak bisa diartikan Haruto. Apakah gadis itu menatapnya dengan tatapan takut?
“K, kamu kenapa…” Arisa menelan ludah, “Mina,
kita kembali ke kelas sekarang.”
“Eh? Tapi—”
“Aku ingin kembali ke kelas sekarang!” kata
Arisa, lalu wajahnya memucat lagi.
“Uhuk!!”
Arisa terbatuk-batuk dan Mina langsung menyuruh
Arisa kembali ke tempat tidur, sementara batuk Arisa belum juga berhenti.
“Kenapa kamu jadi gampang sakit seperti ini,
sih?” kata Mina setelah batuk Arisa agak mereda, “Seharusnya kamu berterima
kasih pada Haruto. Dia yang tadi menggendongmu kemari.”
Arisa menatap Haruto yang menatapnya balik
sambil tersenyum.
“Te, terima… kasih…” kata Arisa, “Sekarang,
bisakah—”
“Sebelum itu,” sela Haruto, “Aku ingin
berbicara sebentar denganmu. Dan jangan menyela.”
“Apa?”
Haruto menatap Mina, “Bisa… tinggalkan kami
sebentar?”
“Oh? Tentu saja.” kata Mina mengangguk cepat,
“Aku akan meletakkan botol minyak kayu putih ini di sini. Jika dia kembali
batuk, sebaiknya beri dia minuman. Ada dispenser di sana dan juga gelas
kertas.”
“Ya. Terima kasih… err…”
“Mina. Namaku Mina Kanazato.” Ujar Mina sambil
tersenyum, “Arisa, aku akan kembali ke kelas duluan. Kalau sudah merasa lebih
baik, kembalilah ke kelas, oke?”
Arisa hanya mengangguk. Matanya terus menatap
Haruto.
Setelah Mina pergi, Haruto berdeham sebentar.
Membuat Arisa tersentak kaget.
“Apa kamu selalu kaget seperti itu?” tanya
Haruto melihat reaksi Arisa. “Kamu juga kaget ketika aku menyebutkan namaku.”
“Ti, tidak. Aku hanya…” Arisa tidak menemukan
kata-kata yang tepat untuk menggambarkan apa yang ingin dikatakannya.
“Hmm?”
“Bukan apa-apa.” Arisa menggeleng. “Apa… yang
ingin kamu bicarakan denganku?”
Haruto memandang Arisa dengan seksama. Dan
Arisa langsung menundukkan kepalanya, antara malu dan takut.
“Aku ingin menawarkan sesuatu padamu.” Kata Haruto,
“Kamu mau bergabung di perusahaanku sebagai penyanyi?”
“Eh?”
“Aku dengar suaramu ketika bernyanyi di taman
belakang sekolah.” Haruto tersenyum, “Dan aku harus mengakui suaramu unik. Dan
aku tertarik untuk mengajakmu bergabung, bagaimana?”
Arisa yakin dia salah dengar. Menjadi penyanyi?
Memang itulah cita-citanya sejak kecil. Tapi… tapi kalau sekarang…
“Apa… apa aku bisa menolaknya?” tanya Arisa
takut-takut.
“Kenapa kamu ingin menolaknya? Banyak sekali
orang yang ingin bergabung dengan Mirai Entertainment, baik itu penyanyi maupun
band. Mereka bahkan rela mengantri
untuk mendapatkan tempat di perusahaanku.” Mata Haruto menyipit, “Kenapa kamu
yang kuminta secara khusus malah menolak?”
Arisa merasa ketakutan mendengar nada bicara
Haruto yang bernada angkuh itu. Dia menunduk lebih dalam dan membuat Haruto
tersenyum simpul. Tidak disangkanya gadis ini begitu pemalu, dan pendiam,
seperti yang dikatakan Mrs. Vientya padanya.
“Aku tidak akan memaksamu untuk memutuskannya
sekarang.” kata Haruto. “Aku akan memberimu waktu. Dan kalau kamu siap, kamu
bisa menghubungiku.”
Haruto mengeluarkan dompetnya dan mengeluarkan
kartu namanya. Diserahkannya kartu nama itu pada Arisa.
“Hubungi saja aku di nomor ini… tunggu,
bagaimana kalau kita saling bertukar nomor dan email? Siapa tahu aku ingin
berbicara denganmu mengenai hal-hal tentang music? Kamu suka music, kan?”
Arisa hanya termangu menatap kartu nama di
tangannya yang bernuansa biru langit dengan latar belakang not nada yang sering
dilihatnya dalam pelajaran music.
“Arisa?”
“Y, ya?”
“Bisa aku minta nomor ponsel dan alamat
email-mu?”
“Eh?” Arisa mengerutkan kening, “Untuk apa?”
“Agar aku bisa menghubungimu dan untuk
mengetahui apakah kamu setuju bergabung di perusahaanu.”
“Tapi, aku sudah memegang kartu namamu…”
“Aku juga ingin tahu seperti apa kehidupan anak
remaja, terutama anak remaja perempuan.” Kata Haruto beralasan, “Aku sedang
menulis lagu tentang perasaan seorang remaja wanita.”
Arisa manggut-manggut mengerti,
“Jadi?”
“Apa?”
“Bisa aku minta nomor ponsel dan alamat
email-mu?”
Arisa tidak langsung menjawab. Tapi, Haruto
langsung mengambil ponsel di saku seragam Arisa dan mengutak-atiknya. Arisa
sendiri kaget ketika tubuhnya bersentuhan dengan Haruto, dan itu membuatnya
merasa tidak nyaman. Diam-diam dia merasa tidak suka dengan sikap laki-laki ini
yang suka memaksakan kehendak.
“Nah, aku sudah menyimpan nomor ponsel dan
alamat email-ku di dalam ponselmu dan juga sebaliknya.” Kata Haruto tersenyum
puas. “Aku akan menunggu jawabanmu untuk bergabung di perusahaanku.”
Arisa mengambil ponselnya kembali dari tangan
Haruto dan menaruhnya di dalam kantong roknya beserta kartu nama Haruto.
“Aku… akan memikirkannya.” kata Arisa, “Tapi
aku tidak janji aku akan bergabung dengan perusahaanmu.”
“Aku akan mendengarkan banyak keluhan dan
syarat darimu, pasti.” Haruto tersenyum lebar. “Tapi… dari tadi kita belum
berkenalan secara resmi, ya? Bagaimana kalau kita berkenalan sekali lagi?”
Haruto mengulurkan tangannya, “Namaku Haruto
Kirishima. Namamu?”
Arisa menatap wajah Haruto dan tangannya yang
terulur bergantian. Kemudian, dengan agak ragu, dia menyambut uluran tangan
itu.
“Arisa… Kunisada.”
“Kalau begitu, aku boleh memanggilmu A-chan,
kan? Kurasa nama panggilan itu manis untukmu.”
Arisa yakin wajahnya sudah memerah.
Haruto terkekeh melihat pipi Arisa yang memerah
dan menyentuhnya. Namun, lagi-lagi Arisa tersentak dan sedikit menjauhkan diri
dari Haruto. Membuat laki-laki itu kembali heran.
“M, maaf…” kata Arisa, “Sebaiknya aku ke kelas
sekarang. Tidak enak kalau aku bolos pelajaran Mrs. Jennifer.”
“Ya tentu.” Kata Haruto, “Perlu kuantar?”
“Tidak usah, terima kasih.” Arisa menggeleng,
“Aku bisa ke sana sendiri. Dan terima kasih… karena sudah menggendongku
kemari.”
“Bukan masalah.” Jawab Haruto tersenyum. “Aku
akan menunggu jawabanmu untuk bergabung di perusahaanku, ya?”
Arisa hanya tersenyum kaku dan segera beranjak
dari tempat tidur. Dia langsung berjalan cepat kearah kelasnya, sambil berusaha
menenangkan gemetar di tubuhnya yang sejak tadi ia tahan.
0 komentar:
Posting Komentar