“… zutto,
hikari no naka, kinou made wa nakatta…”
Suara itu berasal dari seorang gadis yang
sedang bernyanyi lirih sambil mendengarkan lagu dari ponselnya. Gadis itu
memejamkan mata dan merasakan angin sepoi berhembus menggelitik wajahnya yang bersih
tanpa noda.
“Ah! Rupanya kamu di sini!”
Gadis itu membuka mata dan melihat seseorang
berlari mendekatinya. Dia hanya tersenyum pada seseorang yang tidak lain adalah
temannya itu dan kemudian memejamkan mata lagi dan mulai bernyanyi.
Temannya menatap si gadis dengan sedikit
mendelik, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Dia sangat mengetahui kebiasaan
teman karibnya yang sudah ia kenal selama 2 tahun di SMP Global Junior ini. Ia
tidak akan menganggap kedatangan seseorang mengganggu kesenangannya bersenandung
mengikuti lagu yang sedang didengarkannya.
“Hmm?” gadis bernama Arisa itu membuka sebelah
matanya, “Kalau mau duduk, silakan saja. Kursi taman ini cukup besar untuk
kita, kok.”
“Kenapa kata-katamu terdengar seperti kata-kata
seorang kekasih?” gerutu temannya sambil duduk di sebelah Arisa yang terkekeh,
“Ah! Kamu mendengarkan, ya?”
“Aku selalu bilang, walau aku memakai earphone, aku masih bisa mendengarmu.”
Ujar Arisa, “Ada apa? Apa bel masuk sudah berbunyi?”
“Belum. Kurasa 15 menit lagi kita bel masuk
berbunyi.”
Arisa manggut-manggut dan menguap.
Temannya, Mina Kanazato, kembali geleng-geleng
kepala.
“Menguapnya jangan lebar begitu. Nanti ada
lalat masuk, lho!”
Arisa hanya tersenyum lebar dan kembali
bernyanyi.
Mina sendiri menatap langit yang berwarna biru
cerah, tanpa awan, dan itu membuat kesenangan tersendiri karena hari ini tidak
begitu menyengat panasnya seperti hari-hari kemarin. Apalagi ada pohon besar di
belakang bangku taman yang ia dan Arisa duduki. Segalanya menjadi serba sejuk dan
indah, terutama karena diperhias oleh taman yang cantik.
“Oh ya, sudah dengar belum, Arisa?” tanya Mina,
“Katanya Haruto Kirishima mau datang ke sini!”
“Haruto?” Arisa mengerutkan kening, “Siapa
itu?”
“Kamu tidak tahu?” Mina membelalakkan matanya
kaget. “Kamu tidak tahu, Arisa?”
Arisa menggeleng, “Memangnya dia siapa?”
“Oh Tuhan! Aku tidak mengerti kenapa temanku
yang selalu tahu update terbaru
tentang lagu, malah tidak tahu berita yang sudah lama terdengar sejak bulan
lalu!” keluh Mina, membuat Arisa makin mengerutkan keningnya semakin dalam.
“Haruto Kirishima itu adalah direktur Mirai
Entertainment! Kamu tentu tahu Mirai Entertainment, kan?” kata Mina.
“Oh, perusahaan yang melahirkan banyak penyanyi
dan band ternama itu…” Arisa
manggut-manggut. “Aku tahu, lalu, apa hubungannya?”
Mina memutar bola matanya dengan gemas melihat
sikap Arisa yang kelihatan tidak tertarik dengan siapa Haruto Kirishima.
Padahal setahunya, Arisa sangat suka music dan sering bernyanyi sendirian…
seperti sekarang. Suara Arisa juga lumayan bagus, sedikit alto dan terdengar
bergetar ketika bernyanyi.
“Kamu kelihatan tidak tertarik.” Kata Mina,
“Apa kamu tidak mau bertemu dengan beliau? Siapa tahu bakat bernyanyimu itu
bisa menjadi sumber penghasilan untukmu.”
Arisa hanya diam, lalu menghela nafas berat,
“Aku sudah berjanji pada Papa untuk tidak memikirkan apa pun selain belajar,
belajar, dan belajar.” Ujarnya, “Aku hanya ingin berhasil menjadi seorang guru
seperti yang kucita-citakan sejak dulu.”
Mina sekali lagi menghela nafas mendengar
ucapan Arisa. Dia sudah tahu temannya ini tidak berminat membicarakan tentang
masa depan. Apalagi menyangkut impian Arisa sejak kecil yang memang
bercita-cita menjadi guru.
Yang menurut Mina adalah sebuah impian
kanak-kanak dan bisa berubah tergantung kondisinya.
“Tapi, kamu, kan punya bakat bernyanyi. Kamu
bahkan bisa membuat puisi yang indah, yang cocok dinyanyikan sebagai lagu.”
Kata Mina, “Apalagi kamu juga bisa menggambar, menulis cerita—”
“Itu hanya hobi, Mina. Bukan minat yang akan
kukembangkan sebagai rencana masa depanku.” Sela Arisa, “Kurasa sudah waktunya
masuk kelas. Hari ini aku ada janji dengan Mr. Kevin untuk membahas laporan
biologi yang dikerjakan kelompokku.”
Arisa melepas earphone di telinganya dan berdiri. Mina mengikutinya di belakang
sambil melenguh panjang.
***
Di sebuah ruang kerja di lantai teratas gedung
Mirai Entertainment, duduk seorang pemuda berusia 20 tahunan yang sedang
meneliti laporan di tangannya. Matanya sesekali terpaku pada data-data di
hadapannya, lalu beralih pada langit pagi yang cerah dan matahari yang mulai
menampakkan sinarnya.
Haruto Kirishima melemparkan berkas-berkas di
tangannya ke atas meja dan bersandar pada punggung kursi. Menghembuskan nafas
berat, dan memijat pelipisnya.
“Tidak ada yang baru… tidak ada yang menarik.”
Gumamnya sambil melirik berkas-berkas di atas meja dengan tidak berselera.
Pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka. Seorang
pria berusia setengah baya masuk dan menatap Haruto sambil tersenyum. Ia lalu
menutup pintu di belakangnya dan berjalan kearah Haruto yang masih memijat
pelipisnya.
“Apa sudah menentukan pilihan?” tanya pria itu,
merujuk pada berkas-berkas yang dibiarkan berantakan oleh Haruto di atas meja.
“Tidak ada yang bagus.” Haruto menghela nafas,
“Aku sudah membaca berkas-berkasnya, mendengarkan demo rekaman maupun videonya.
Tapi, semuanya tidak menarik perhatianku. Apa tidak ada yang menarik daripada
ini, Watson?”
Liam Watson hanya tersenyum mendengar keluhan
Haruto yang tidak lain adalah direktur perusahaan Mirai Entertainment. Dia
sudah sangat hafal kebiasaan Haruto yang sudah dianggapnya sebagai anak
sendiri. Sebagai ayah angkat Haruto, Liam hanya bisa mendengarkan dan
mengarahkan Haruto agar bisa menjalankan perusahaan yang didirikannya sejak 3
tahun lalu ini.
“Apa yang menurutmu kurang dari orang-orang
ini?” tanya Liam sambil mengambil salah satu berkas dan membacanya. “Kiana
Mouri, dia juara pertama ajang pencarian bakat yang diadakan beberapa waktu
lalu. Suaranya seperti malaikat, menurut orang-orang yang mendengarnya.”
“Aku tidak suka. Walau suaranya seperti
malaikat sekalipun.” Haruto menggeleng, “Suara seperti miliknya sudah sering
direbut oleh perusahaan-perusahaan lain. Aku mau yang berbeda.”
“Bagaimana dengan Sweet5? Kudengar girlband
ini juga mendapatkan juara dalam pencarian bakat setahun lalu.” kata Liam.
“Mereka terlalu berisik. Aku sudah mendengar
demo rekaman dan video mereka. Tetapi aku tahu diantara mereka terjadi
perselisihan. Sangat ketahuan dari suara rekaman mereka.” kata Haruto, “Aku
tidak mau ada pertentangan dalam suatu hal apa pun kalau sudah terikat dengan
Mirai Entertainment. Mereka semua kutolak.”
Lagi-lagi Liam tersenyum. Beginilah Haruto jika
sudah berhadapan dengan para entertainer
pemula yang berusaha mencari cara agar bisa terkenal melalui Mirai
Entertainment. Tapi, Haruto sendiri sangat keras menyeleksi berkas-berkas yang
masuk, dan terkadang bisa sangat kejam jika orang-orang itu tidak sesuai
harapannya. Mungkin, orang-orang menganggap Haruto bersikap demikian karena
menganggapnya masih muda dan belum berpengalaman. Namun, jika bukan karena
sikap itu, Mirai Entertainment tidak mungkin dikenal sebagai perusahaan yang
melahirkan banyak artis berbakat dan multi-talenta hanya dalam waktu 3 tahun.
Haruto menghembuskan nafas lagi dan memeriksa
ponselnya. Liam membereskan berkas-berkas di meja Haruto dan meletakkannya
dengan rapi di sudut meja.
“Kau benar-benar akan pergi ke SMP Global
Junior?” tanya Liam melihat anak angkatnya itu tengah menekuri jadwal yang ada
di layar ponselnya.
“Ya. Aku sudah berjanji pada Mrs. Vientya kalau
aku akan ke sana hari ini.” kata Haruto, “Lagipula sekolah itu adalah sekolah
lamaku.”
Liam manggut-manggut. “Sebaiknya aku ikut
bersamamu nanti.” Katanya, dan cepat-cepat menambahkan ketika Haruto menatapnya
dengan kening berkerut, “Karena aku yakin kamu akan menghilang ke tempat
favoritmu di sana, kan? Lebih baik aku ikut untuk memastikan kau tidak lupa
waktu.”
Haruto hanya tersenyum dan kembali menekuri
jadwalnya.
“Aku akan siap dalam waktu 3 jam, karena aku
masih harus meneliti beberapa sampel rekaman dari JS’Vers.” Kata Haruto.
“Baiklah. Temui aku di ruanganku jika kau sudah
siap.” Liam menepuk pundak Haruto kemudian berjalan keluar dari ruangan itu.
***
Arisa menghembuskan nafas jengkel ketika masuk
ke dalam kelas setelah bertemu dengan Mr. Kevin. Arisa benar-benar jengkel pada
teman-teman sekelompoknya yang tidak becus menangani laporan biologi yang harus
diserahkan hari ini. Akibat hal itu, Arisa terpaksa harus menulis ulang laporan
sebanyak 10 lembar itu dengan meminjam salah satu komputer di ruang komputer
sekolah. Untunglah Arisa diberkahi ingatan yang cukup kuat untuk mengingat
semua isi laporan tersebut, hingga dia bisa masuk tepat waktu sebelum pelajaran
Matematika dimulai.
Arisa langsung duduk di kursinya di samping
Mina dan mengeluarkan buku catatannya.
“Tidak berjalan baik?” tanya Mina yang melihat
raut wajah Arisa yang kusut itu.
Arisa hanya mengedikkan bahu dan menulis semua
materi yang tertulis di papan tulis ke dalam buku tulisnya. Mina sendiri
mengerti mood Arisa dan kembali
melanjutkan menulis. Tapi, dia ternyata masih kalah cepat dengan Arisa yang
baru datang dan baru menulis beberapa menit lalu. Hanya dalam waktu 10 menit,
Arisa sudah menyelesaikan menulis semua materi di papan tulis dan menutup buku
tulisnya.
“Kamu ini manusia atau bukan, sih? Cepat sekali
menulisnya.” Komentar Mina sambil geleng-geleng kepala.
Arisa hanya tersenyum tipis mendengar komentar
Mina.
Pelajaran Matematika membuat kejengkelan Arisa
sedikit berkurang. Tapi, bukan berarti dia sudah terbebas dari kejengkelannya.
Saat jam istirahat berakhir, Arisa mengajak Mina ke gedung kelas tingkat 2, di
mana kelas 2-1 sampai kelas 2-4 berada. Arisa sendiri seharusnya masuk ke kelas
2, namun karena program kelas akselerasi yang diadakan oleh SMP Global Junior
beberapa waktu lalu yang diikuti Arisa, ia terpilih sebagai salah satu siswa
yang mendapat kesempatan belajar di SMP Global Junior hanya dalam waktu dua
tahun.
Mina sendiri sebenarnya adalah siswa kelas 3
yang ditunjuk kepala sekolah sebagai pembimbing dalam kelas akselerasi di mana
Arisa berada. Mina yang lebih tua setahun dari Arisa terkadang dibuat
tercengang oleh teman-teman barunya yang memiliki bakat tersendiri. Mina memang
bisa melihat bakat dan potensi setiap orang yang ditemuinya, dan kepala sekolah
sering menyebutnya ‘Peramal’ karena kelihaiannya dalam melihat bakat dan
potensi orang.
Arisa berjalan kearah pintu kelas 2-3 dan
tersenyum lebar sambil memanggil seseorang.
“Utami! Deby!”
Dua orang gadis yang sedang duduk berhadapan
sambil mengobrol menoleh kearah Arisa dan tersenyum.
“Hei, Arisa.” Salah seorang dari kedua gadis
itu melambai balik.
Mereka berdua lalu menghampiri Arisa.
“Kita ke kantin, yuk! Aku lapar!”
“Kukira kamu tidak akan pergi ke kantin karena
tidak mood dengan laporan biologi
kelompokmu yang nyaris tidak dapat diserahkan pada Mr. Kevin.” Kata Mina,
sedikit kaget karena tahu-tahu saja mood
Arisa kembali seperti biasa.
Arisa hanya tersenyum lebar, dan langsung
mengajak mereka bertiga pergi ke kantin.
Setelah membli makanan dan menemukan tempat
duduk yang nyaman, mereka mengobrol sambil tertawa. Arisa sendiri lebih banyak
tertawa karena lelucon yang diceritakan Deby padanya.
“Oh ya, sudah dengar belum kalau nanti Haruto
Kirishima akan datang ke sini?” tanya Utami. “Kudengar dia akan ke sini hari
ini juga. Aku mendengar percakapan Kepala Sekolah dengan beberapa orang guru di
ruang guru tadi.”
“Benarkah? Wah… aku tidak sabar ingin melihat
beliau. Pasti beliau adalah pria berwibawa.” Kata Deby berseri-seri. “Mungkin
saja beliau mau mendengarkan kita bernyanyi atau semacamnya? Siapa tahu kita
bisa menjadi artis seperti yang kita lihat di TV.”
Arisa terdiam mendengar pembicaraan itu
terungkit. Dia langsung merasakan sesuatu seperti kupu-kupu yang banyak
berterbangan di dalam perutnya.
“Kapan beliau akan datang?” tanya Mina,
tertarik.
“Kukira pada jam istirahat siang ini, tepat
pada waktu makan siang.” Kata Utami, “Kita tunggu saja pengumumannya. Aku
yakin, orang sepenting Haruto Kirishima pasti akan menjadi pusat perhatian.
Apalagi aku dengar kalau SMP kita ini adalah bekas sekolahnya dulu.”
“Hee… jadi kunjungan kali ini adalah untuk
bernostalgia?”
Arisa tidak lagi mendengarkan pembicaraan
mereka. Pandangan matanya tiba-tiba menerawang. Dan mendadak dia merasa tidak mood lagi untuk mendengarkan pembicaraan
tersebut.
“Arisa, kenapa kamu diam saja?” tanya Deby.
“Ah? Apa?”
“Kamu melamun, ya? Melamunkan apa?” tanya Deby
lagi.
“Tidak apa-apa…” Arisa menggeleng, “Maaf, aku
duluan, ya. Ada… sesuatu yang harus kukerjakan.”
Arisa berdiri dari kursinya, kemudian
cepat-cepat pergi. Membuat ketiga temannya saling pandang tidak mengerti.
“Anak itu kenapa, sih? Kayaknya dia tidak
senang kita berbicara mengenai Haruto Kirishima.” Kata Deby.
“Aku juga tidak tahu. Tapi, ngomong-ngomong
soal beliau, kurasa kalau Arisa bertemu Haruto Kirishima, beliau akan terkesima
dengan kemampuan Arisa bernyanyi.” Kata Mina, “Kita tahu sendiri bagaimana
ketika ia bernyanyi sendirian di taman belakang sekolah, kan?”
“Selalu tidak ingat waktu!” kata Utami. Yang
langsung disambut gelak tawa oleh Deby dan Mina.
“Benar. Arisa juga pandai menulis puisi dan
cerita. Dia juga pandai berakting, dan menggambar.” Sambung Deby. “Tapi, dia
tidak pernah menjadikan semua bakatnya itu menjadi sebuah prestasi. Dia hanya
menyimpannya sendiri.”
“Kita tidak tahu kenapa Arisa seperti itu…”
Utami menghela nafas, “Sangat disayangkan, padahal suaranya bagus. Aku suka
mendengarnya bernyanyi.”
Kedua temannya mengangguk setuju.
“Tapi, Arisa terlalu pendiam,” kata Mina,
“Kecuali pada kita bertiga, tentu saja.”
“Kudengar Arisa menjadi pendiam karena suatu
alasan, dan sampai sekarang, aku tidak tahu apa alasan itu.” kata Mina lagi.
“Benar. Dia terlalu pendiam, bahkan cenderung
dingin pada semua orang.”
Yah… memang tidak ada yang bisa mengerti jalan
pikiran Arisa, kecuali yang bersangkutan.
0 komentar:
Posting Komentar