Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Angel's Lullaby Chapter 1



“… zutto, hikari no naka, kinou made wa nakatta…
Suara itu berasal dari seorang gadis yang sedang bernyanyi lirih sambil mendengarkan lagu dari ponselnya. Gadis itu memejamkan mata dan merasakan angin sepoi berhembus menggelitik wajahnya yang bersih tanpa noda.
“Ah! Rupanya kamu di sini!”
Gadis itu membuka mata dan melihat seseorang berlari mendekatinya. Dia hanya tersenyum pada seseorang yang tidak lain adalah temannya itu dan kemudian memejamkan mata lagi dan mulai bernyanyi.
Temannya menatap si gadis dengan sedikit mendelik, kemudian menggeleng-gelengkan kepala. Dia sangat mengetahui kebiasaan teman karibnya yang sudah ia kenal selama 2 tahun di SMP Global Junior ini. Ia tidak akan menganggap kedatangan seseorang mengganggu kesenangannya bersenandung mengikuti lagu yang sedang didengarkannya.
“Arisa,”
“Hmm?” gadis bernama Arisa itu membuka sebelah matanya, “Kalau mau duduk, silakan saja. Kursi taman ini cukup besar untuk kita, kok.”
“Kenapa kata-katamu terdengar seperti kata-kata seorang kekasih?” gerutu temannya sambil duduk di sebelah Arisa yang terkekeh, “Ah! Kamu mendengarkan, ya?”
“Aku selalu bilang, walau aku memakai earphone, aku masih bisa mendengarmu.” Ujar Arisa, “Ada apa? Apa bel masuk sudah berbunyi?”
“Belum. Kurasa 15 menit lagi kita bel masuk berbunyi.”
Arisa manggut-manggut dan menguap.
Temannya, Mina Kanazato, kembali geleng-geleng kepala.
“Menguapnya jangan lebar begitu. Nanti ada lalat masuk, lho!”
Arisa hanya tersenyum lebar dan kembali bernyanyi.
Mina sendiri menatap langit yang berwarna biru cerah, tanpa awan, dan itu membuat kesenangan tersendiri karena hari ini tidak begitu menyengat panasnya seperti hari-hari kemarin. Apalagi ada pohon besar di belakang bangku taman yang ia dan Arisa duduki. Segalanya menjadi serba sejuk dan indah, terutama karena diperhias oleh taman yang cantik.
“Oh ya, sudah dengar belum, Arisa?” tanya Mina, “Katanya Haruto Kirishima mau datang ke sini!”
“Haruto?” Arisa mengerutkan kening, “Siapa itu?”
“Kamu tidak tahu?” Mina membelalakkan matanya kaget. “Kamu tidak tahu, Arisa?”
Arisa menggeleng, “Memangnya dia siapa?”
“Oh Tuhan! Aku tidak mengerti kenapa temanku yang selalu tahu update terbaru tentang lagu, malah tidak tahu berita yang sudah lama terdengar sejak bulan lalu!” keluh Mina, membuat Arisa makin mengerutkan keningnya semakin dalam.
“Haruto Kirishima itu adalah direktur Mirai Entertainment! Kamu tentu tahu Mirai Entertainment, kan?” kata Mina.
“Oh, perusahaan yang melahirkan banyak penyanyi dan band ternama itu…” Arisa manggut-manggut. “Aku tahu, lalu, apa hubungannya?”
Mina memutar bola matanya dengan gemas melihat sikap Arisa yang kelihatan tidak tertarik dengan siapa Haruto Kirishima. Padahal setahunya, Arisa sangat suka music dan sering bernyanyi sendirian… seperti sekarang. Suara Arisa juga lumayan bagus, sedikit alto dan terdengar bergetar ketika bernyanyi.
“Kamu kelihatan tidak tertarik.” Kata Mina, “Apa kamu tidak mau bertemu dengan beliau? Siapa tahu bakat bernyanyimu itu bisa menjadi sumber penghasilan untukmu.”
Arisa hanya diam, lalu menghela nafas berat, “Aku sudah berjanji pada Papa untuk tidak memikirkan apa pun selain belajar, belajar, dan belajar.” Ujarnya, “Aku hanya ingin berhasil menjadi seorang guru seperti yang kucita-citakan sejak dulu.”
Mina sekali lagi menghela nafas mendengar ucapan Arisa. Dia sudah tahu temannya ini tidak berminat membicarakan tentang masa depan. Apalagi menyangkut impian Arisa sejak kecil yang memang bercita-cita menjadi guru.
Yang menurut Mina adalah sebuah impian kanak-kanak dan bisa berubah tergantung kondisinya.
“Tapi, kamu, kan punya bakat bernyanyi. Kamu bahkan bisa membuat puisi yang indah, yang cocok dinyanyikan sebagai lagu.” Kata Mina, “Apalagi kamu juga bisa menggambar, menulis cerita—”
“Itu hanya hobi, Mina. Bukan minat yang akan kukembangkan sebagai rencana masa depanku.” Sela Arisa, “Kurasa sudah waktunya masuk kelas. Hari ini aku ada janji dengan Mr. Kevin untuk membahas laporan biologi yang dikerjakan kelompokku.”
Arisa melepas earphone di telinganya dan berdiri. Mina mengikutinya di belakang sambil melenguh panjang.

***

Di sebuah ruang kerja di lantai teratas gedung Mirai Entertainment, duduk seorang pemuda berusia 20 tahunan yang sedang meneliti laporan di tangannya. Matanya sesekali terpaku pada data-data di hadapannya, lalu beralih pada langit pagi yang cerah dan matahari yang mulai menampakkan sinarnya.
Haruto Kirishima melemparkan berkas-berkas di tangannya ke atas meja dan bersandar pada punggung kursi. Menghembuskan nafas berat, dan memijat pelipisnya.
“Tidak ada yang baru… tidak ada yang menarik.” Gumamnya sambil melirik berkas-berkas di atas meja dengan tidak berselera.
Pintu ruang kerjanya tiba-tiba terbuka. Seorang pria berusia setengah baya masuk dan menatap Haruto sambil tersenyum. Ia lalu menutup pintu di belakangnya dan berjalan kearah Haruto yang masih memijat pelipisnya.
“Apa sudah menentukan pilihan?” tanya pria itu, merujuk pada berkas-berkas yang dibiarkan berantakan oleh Haruto di atas meja.
“Tidak ada yang bagus.” Haruto menghela nafas, “Aku sudah membaca berkas-berkasnya, mendengarkan demo rekaman maupun videonya. Tapi, semuanya tidak menarik perhatianku. Apa tidak ada yang menarik daripada ini, Watson?”
Liam Watson hanya tersenyum mendengar keluhan Haruto yang tidak lain adalah direktur perusahaan Mirai Entertainment. Dia sudah sangat hafal kebiasaan Haruto yang sudah dianggapnya sebagai anak sendiri. Sebagai ayah angkat Haruto, Liam hanya bisa mendengarkan dan mengarahkan Haruto agar bisa menjalankan perusahaan yang didirikannya sejak 3 tahun lalu ini.
“Apa yang menurutmu kurang dari orang-orang ini?” tanya Liam sambil mengambil salah satu berkas dan membacanya. “Kiana Mouri, dia juara pertama ajang pencarian bakat yang diadakan beberapa waktu lalu. Suaranya seperti malaikat, menurut orang-orang yang mendengarnya.”
“Aku tidak suka. Walau suaranya seperti malaikat sekalipun.” Haruto menggeleng, “Suara seperti miliknya sudah sering direbut oleh perusahaan-perusahaan lain. Aku mau yang berbeda.”
“Bagaimana dengan Sweet5? Kudengar girlband ini juga mendapatkan juara dalam pencarian bakat setahun lalu.” kata Liam.
“Mereka terlalu berisik. Aku sudah mendengar demo rekaman dan video mereka. Tetapi aku tahu diantara mereka terjadi perselisihan. Sangat ketahuan dari suara rekaman mereka.” kata Haruto, “Aku tidak mau ada pertentangan dalam suatu hal apa pun kalau sudah terikat dengan Mirai Entertainment. Mereka semua kutolak.”
Lagi-lagi Liam tersenyum. Beginilah Haruto jika sudah berhadapan dengan para entertainer pemula yang berusaha mencari cara agar bisa terkenal melalui Mirai Entertainment. Tapi, Haruto sendiri sangat keras menyeleksi berkas-berkas yang masuk, dan terkadang bisa sangat kejam jika orang-orang itu tidak sesuai harapannya. Mungkin, orang-orang menganggap Haruto bersikap demikian karena menganggapnya masih muda dan belum berpengalaman. Namun, jika bukan karena sikap itu, Mirai Entertainment tidak mungkin dikenal sebagai perusahaan yang melahirkan banyak artis berbakat dan multi-talenta hanya dalam waktu 3 tahun.
Haruto menghembuskan nafas lagi dan memeriksa ponselnya. Liam membereskan berkas-berkas di meja Haruto dan meletakkannya dengan rapi di sudut meja.
“Kau benar-benar akan pergi ke SMP Global Junior?” tanya Liam melihat anak angkatnya itu tengah menekuri jadwal yang ada di layar ponselnya.
“Ya. Aku sudah berjanji pada Mrs. Vientya kalau aku akan ke sana hari ini.” kata Haruto, “Lagipula sekolah itu adalah sekolah lamaku.”
Liam manggut-manggut. “Sebaiknya aku ikut bersamamu nanti.” Katanya, dan cepat-cepat menambahkan ketika Haruto menatapnya dengan kening berkerut, “Karena aku yakin kamu akan menghilang ke tempat favoritmu di sana, kan? Lebih baik aku ikut untuk memastikan kau tidak lupa waktu.”
Haruto hanya tersenyum dan kembali menekuri jadwalnya.
“Aku akan siap dalam waktu 3 jam, karena aku masih harus meneliti beberapa sampel rekaman dari JS’Vers.” Kata Haruto.
“Baiklah. Temui aku di ruanganku jika kau sudah siap.” Liam menepuk pundak Haruto kemudian berjalan keluar dari ruangan itu.

***

Arisa menghembuskan nafas jengkel ketika masuk ke dalam kelas setelah bertemu dengan Mr. Kevin. Arisa benar-benar jengkel pada teman-teman sekelompoknya yang tidak becus menangani laporan biologi yang harus diserahkan hari ini. Akibat hal itu, Arisa terpaksa harus menulis ulang laporan sebanyak 10 lembar itu dengan meminjam salah satu komputer di ruang komputer sekolah. Untunglah Arisa diberkahi ingatan yang cukup kuat untuk mengingat semua isi laporan tersebut, hingga dia bisa masuk tepat waktu sebelum pelajaran Matematika dimulai.
Arisa langsung duduk di kursinya di samping Mina dan mengeluarkan buku catatannya.
“Tidak berjalan baik?” tanya Mina yang melihat raut wajah Arisa yang kusut itu.
Arisa hanya mengedikkan bahu dan menulis semua materi yang tertulis di papan tulis ke dalam buku tulisnya. Mina sendiri mengerti mood Arisa dan kembali melanjutkan menulis. Tapi, dia ternyata masih kalah cepat dengan Arisa yang baru datang dan baru menulis beberapa menit lalu. Hanya dalam waktu 10 menit, Arisa sudah menyelesaikan menulis semua materi di papan tulis dan menutup buku tulisnya.
“Kamu ini manusia atau bukan, sih? Cepat sekali menulisnya.” Komentar Mina sambil geleng-geleng kepala.
Arisa hanya tersenyum tipis mendengar komentar Mina.
Pelajaran Matematika membuat kejengkelan Arisa sedikit berkurang. Tapi, bukan berarti dia sudah terbebas dari kejengkelannya. Saat jam istirahat berakhir, Arisa mengajak Mina ke gedung kelas tingkat 2, di mana kelas 2-1 sampai kelas 2-4 berada. Arisa sendiri seharusnya masuk ke kelas 2, namun karena program kelas akselerasi yang diadakan oleh SMP Global Junior beberapa waktu lalu yang diikuti Arisa, ia terpilih sebagai salah satu siswa yang mendapat kesempatan belajar di SMP Global Junior hanya dalam waktu dua tahun.
Mina sendiri sebenarnya adalah siswa kelas 3 yang ditunjuk kepala sekolah sebagai pembimbing dalam kelas akselerasi di mana Arisa berada. Mina yang lebih tua setahun dari Arisa terkadang dibuat tercengang oleh teman-teman barunya yang memiliki bakat tersendiri. Mina memang bisa melihat bakat dan potensi setiap orang yang ditemuinya, dan kepala sekolah sering menyebutnya ‘Peramal’ karena kelihaiannya dalam melihat bakat dan potensi orang.
Arisa berjalan kearah pintu kelas 2-3 dan tersenyum lebar sambil memanggil seseorang.
“Utami! Deby!”
Dua orang gadis yang sedang duduk berhadapan sambil mengobrol menoleh kearah Arisa dan tersenyum.
“Hei, Arisa.” Salah seorang dari kedua gadis itu melambai balik.
Mereka berdua lalu menghampiri Arisa.
“Kita ke kantin, yuk! Aku lapar!”
“Kukira kamu tidak akan pergi ke kantin karena tidak mood dengan laporan biologi kelompokmu yang nyaris tidak dapat diserahkan pada Mr. Kevin.” Kata Mina, sedikit kaget karena tahu-tahu saja mood Arisa kembali seperti biasa.
Arisa hanya tersenyum lebar, dan langsung mengajak mereka bertiga pergi ke kantin.
Setelah membli makanan dan menemukan tempat duduk yang nyaman, mereka mengobrol sambil tertawa. Arisa sendiri lebih banyak tertawa karena lelucon yang diceritakan Deby padanya.
“Oh ya, sudah dengar belum kalau nanti Haruto Kirishima akan datang ke sini?” tanya Utami. “Kudengar dia akan ke sini hari ini juga. Aku mendengar percakapan Kepala Sekolah dengan beberapa orang guru di ruang guru tadi.”
“Benarkah? Wah… aku tidak sabar ingin melihat beliau. Pasti beliau adalah pria berwibawa.” Kata Deby berseri-seri. “Mungkin saja beliau mau mendengarkan kita bernyanyi atau semacamnya? Siapa tahu kita bisa menjadi artis seperti yang kita lihat di TV.”
Arisa terdiam mendengar pembicaraan itu terungkit. Dia langsung merasakan sesuatu seperti kupu-kupu yang banyak berterbangan di dalam perutnya.
“Kapan beliau akan datang?” tanya Mina, tertarik.
“Kukira pada jam istirahat siang ini, tepat pada waktu makan siang.” Kata Utami, “Kita tunggu saja pengumumannya. Aku yakin, orang sepenting Haruto Kirishima pasti akan menjadi pusat perhatian. Apalagi aku dengar kalau SMP kita ini adalah bekas sekolahnya dulu.”
“Hee… jadi kunjungan kali ini adalah untuk bernostalgia?”
Arisa tidak lagi mendengarkan pembicaraan mereka. Pandangan matanya tiba-tiba menerawang. Dan mendadak dia merasa tidak mood lagi untuk mendengarkan pembicaraan tersebut.
“Arisa, kenapa kamu diam saja?” tanya Deby.
“Ah? Apa?”
“Kamu melamun, ya? Melamunkan apa?” tanya Deby lagi.
“Tidak apa-apa…” Arisa menggeleng, “Maaf, aku duluan, ya. Ada… sesuatu yang harus kukerjakan.”
Arisa berdiri dari kursinya, kemudian cepat-cepat pergi. Membuat ketiga temannya saling pandang tidak mengerti.
“Anak itu kenapa, sih? Kayaknya dia tidak senang kita berbicara mengenai Haruto Kirishima.” Kata Deby.
“Aku juga tidak tahu. Tapi, ngomong-ngomong soal beliau, kurasa kalau Arisa bertemu Haruto Kirishima, beliau akan terkesima dengan kemampuan Arisa bernyanyi.” Kata Mina, “Kita tahu sendiri bagaimana ketika ia bernyanyi sendirian di taman belakang sekolah, kan?”
“Selalu tidak ingat waktu!” kata Utami. Yang langsung disambut gelak tawa oleh Deby dan Mina.
“Benar. Arisa juga pandai menulis puisi dan cerita. Dia juga pandai berakting, dan menggambar.” Sambung Deby. “Tapi, dia tidak pernah menjadikan semua bakatnya itu menjadi sebuah prestasi. Dia hanya menyimpannya sendiri.”
“Kita tidak tahu kenapa Arisa seperti itu…” Utami menghela nafas, “Sangat disayangkan, padahal suaranya bagus. Aku suka mendengarnya bernyanyi.”
Kedua temannya mengangguk setuju.
“Tapi, Arisa terlalu pendiam,” kata Mina, “Kecuali pada kita bertiga, tentu saja.”
“Kudengar Arisa menjadi pendiam karena suatu alasan, dan sampai sekarang, aku tidak tahu apa alasan itu.” kata Mina lagi.
“Benar. Dia terlalu pendiam, bahkan cenderung dingin pada semua orang.”
Yah… memang tidak ada yang bisa mengerti jalan pikiran Arisa, kecuali yang bersangkutan.

0 komentar:

Posting Komentar