Suasana ruangan itu tampak suram. Hanya ada
cahaya dari layar raksasa di hadapannya yang menampilkan informasi mengenai apa
yang ada di balik dinding kaca di sebelahnya.
Pintu ruangan itu terbuka dan
seseorang masuk ke dalam. Ia menoleh sekilas kearah orang yang baru saja masuk
dan tersenyum kecil.
“Kau datang rupanya.” Ujarnya
sambil bersandar pada punggung kursi yang didudukinya. “Kuharap kau membawa
berita bagus.”
Orang yang baru datang itu memiliki
wajah yang sangat cantik, seorang gadis remaja dengan rambut berwarna kayu
mahoni. Kedua bola matanya berwarna merah seperti darah. Ia mengenakan pakaian
seperti kimono yang pendek dan cukup minim berwarna hitam, kedua kakinya
dibalut oleh stocking berwarna hitam
dan geta[1]
berwarna sama. Di punggungnya terdapat dua buah katana panjang.
“Kau dapatkan apa yang kuminta?”
Gadis itu mengangguk pelan dan
menyerahkan berkas di tangannya pada orang di hadapannya. Orang itu meneliti
berkas yang dibawa gadis itu sebentar, kemudian tersenyum kecil.
“Seperti dugaanku.” Ujarnya, “Kerja
bagus, sayang. Kau memang sangat hebat.”
“Bolehkah aku menengoknya?”
“Hm?”
“Bolehkah aku menengok Oneesan[2]?”
tanya gadis itu. Pandangannya tertuju ke balik dinding kaca.
“Ah,” orang itu mengangguk-angguk,
“Tentu. Aku akan meninggalkan kalian berdua. Aku yakin kau membutuhkan privasi
untuk menemuinya, kan?”
Gadis itu hanya diam.
“Aku akan pergi sebentar untuk
mengambil obat untukmu. Tunggulah di sini.”
“Baik, Profesor Diva.”
Professor Diva berdiri dan berjalan
keluar ruangan, meninggalkan gadis itu sendirian di sana.
Gadis itu menghampiri sebuah kotak
panel di dekat dinding kaca dan mengetikkan password
untuk membuka dinding kaca tersebut.
Suara berdesir halus terdengar
ketika dinding kaca itu turun ke bawah lantai. Gadis itu melangkah melewati
batas yang tadi dibatasi oleh dinding kaca dan menghampiri sebuah tempat tidur
besar yang terletak di tengah ruangan. Tirai-tirai putih dan tipis mengelilingi
tempat tidur itu, menampilkan siluet seseorang yang tengah tertidur. Ia menatap
siluet itu lama sebelum akhirnya membuka tirai tipis yang menyelubungi tempat
tidur.
Di atas tempat tidur terbaring
seorang gadis berwajah sama seperti gadis itu, dengan rambut yang sewarna dan
sama panjangnya seperti dirinya. Di sekujur tubuh gadis yang tertidur itu
dipasangi kabel-kabel yang tersambung pada alat-alat penunjang hidup yang ada
di sisi tempat tidur. Kedua mata gadis itu terpejam dan wajahnya tampak damai.
Gadis itu duduk di samping kepala
gadis yang terbaring itu dan membungkukkan tubuhnya, bibirnya mencium kening
gadis yang tertidur tersebut dengan penuh kasih sayang.
“Aku pulang, Runa Oneesan.”
CHAPTER 1
Rei’s Side
29April 2109
“Sudah kubilang, aku tidak punya waktu untuk
ini!”
Aku menatap Leia yang berusaha
membujukku untuk kembali beristirahat. Selama hampir tiga bulan ini aku berada
di rumah sakit markas Raven, dan aku sudah muak diperlakukan seperti orang
sakit. Semenjak penyerangan yang dilakukan oleh Clematis, entah kenapa semua
orang kalang-kabut mengetahui aku terluka parah dan melakukan apa pun agar aku
tetap mau diam di rumah sakit.
“Tapi kamu harus beristirahat, Rei.
Kalau tidak lukamu tidak akan pulih seutuhnya.” Kata Leia sambil balas
menantangku. “Aku tahu kamu ingin segera mencari Runa-chan[3],
tapi pikirkan dulu kesehatanmu sebelum melakukannya. Selama lebih dari tiga
bulan kami semua mengusahakan yang terbaik untuk kesembuhanmu!”
Aku memicingkan mata menatap Leia,
namun aku tidak melakukannya lebih lama dari sepuluh detik dan lebih memilih
menatap keluar jendela, kearah pepohonan yang dedaunannya mulai tumbuh di
pertengahan musim semi.
Kudengar Leia menghela nafas dan
meletakkan mangkuk berisi bubur yang seharusnya kumakan.
“Rei, kita perlu membicarakan
sesuatu.” Katanya.
“Aku tidak tertarik.” Balasku.
“Ini penting. Ini datang dari
Komandan sendiri.” kata Leia lagi, “Setidaknya, tolong dengarkan, Rei.”
Mendengar nama Komandan disebut,
mau tidak mau aku mengkertakkan gigi.
Komandan. Hanae Alice. Ibu kandung
Runa yang tidak mau menemui putrinya sendiri.
“Apa yang dikatakannya?” tanyaku
tak acuh.
“Rei, setidaknya tatap aku ketika
sedang berbicara.” Tegur Leia, “Kenapa sekarang kamu menjadi seperti ini, sih?”
Aku tidak mau menjawabnya dan lebih
memilih diam.
“Baiklah. Aku ingin menyampaikan
kalau setelah kamu benar-benar dinyatakan sehat dan bisa beraktivitas dengan
normal, kamu akan masuk ke dalam timku untuk menginvestigasi kasus yang baru
muncul akhir-akhir ini. Seorang Claydoll
membuat ulah selama kamu berada di sini.”
“Claydoll?”
Kini aku benar-benar tertarik
dengan ucapan Leia dan menaruh perhatian penuh padanya.
“Ya. Seorang Claydoll sudah membuat Edenia resah.” Kata Leia, “Menurut Komandan
ini adalah tanda bahwa Clematis kembali beroperasi ke permukaan.”
“Apa Claydoll itu… Runa?” tanyaku.
“Kita belum tahu pasti. Tapi ada
seorang saksi mata yang selamat dari pembantaian yang dilakukannya bahwa
pelakunya adalah seorang Claydoll
perempuan berpakaian kimono hitam dan mengenakan topeng. Kekuatannya juga tidak
seperti manusia biasa atau Claydoll
pada umumnya. Saksi mata itu menyebut Claydoll
yang ini sebagai iblis.”
“Iblis…”
“Ya.” Leia mengangguk, “Secepatnya
setelah kamu dinyatakan sehat, kita akan memulai penyelidikan kita. Karena itu,
bersikaplah seperti anak baik dan makan makananmu sebelum aku memanggil
seseorang untuk membawakan lebih banyak makanan untuk kamu makan!”
***
Rei’s Side
Aku berhasil memakan semua makananku, tanpa
banyak membantah. Takut kalau Leia benar-benar melaksanakan ancamannya untuk
membawakan lebih banyak makanan untuk kumakan. Asal tahu saja, selama lebih
dari tiga bulan di rumah sakit, aku benar-benar kehilangan selera makan karena
banyak yang kupikirkan. Salah satunya adalah Runa.
Kejadian tiga bulan lalu[4]
masih melekat jelas di dalam otakku, seolah baru terjadi kemarin. Aku masih
ingat semuanya bahkan ketika aku menutup mataku, aku masih bisa mengingat
ekspresi wajah Runa yang meminta tolong padaku dan juga serangan-serangan Diva
yang berhasil membuatku mendekam di rumah sakit selama ini.
Aku menghembuskan nafas dan menatap
keluar jendela. Pohon-pohon sudah kembali bangun dari tidur panjang selama
musim dingin, dan sepertinya hanya aku sendiri yang masih harus ‘tidur’ di
rumah sakit ini sampai benar-benar pulih.
“Aku akan pergi sebentar untuk
mengambil laporan yang harus kamu baca.” Kata Leia sambil memakai sarung
tangannya, “Kuharap aku tidak mendapat laporan dari perawat yang mengurusmu
kalau kamu berbuat ulah.”
“Memangnya kapan aku berbuat ulah
selama di sini? Untuk bergerak saja aku dilarang oleh dokter.” kataku.
“Itu karena kamu membandel dan
berusaha untuk kabur dari rumah sakit setiap ada kesempatan.” Balasnya sambil
berkacak pinggang, “Berjanjilah padaku kamu tidak akan membuat kekacauan!”
“Baik, Bu…” aku melengos dan
kembali menatap keluar jendela.
Kudengar Leia menghela nafas dan
mungkin sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kalau begitu, aku pergi dulu. Leon
akan datang kemari sekitar setengah jam lagi untuk memastikan hari ini kamu
bisa pulang ke apartemenmu.”
Aku mengangguk tanpa mengalihkan
pandanganku dari jendela. Setelah aku mendengar suara pintu yang ditutup, aku
mengalihkan pandanganku kearah meja di sebelah tempat tidurku, di mana sebentuk
cincin tergeletak di sana.
Aku mengambil cincin itu dan
menatapnya lekat-lekat. Ini adalah cincin Runa yang terjatuh dari jarinya
ketika mereka membawanya pergi dari rumah sakit waktu itu. Entah bagaimana
cincin ini bisa terlepas dari tangannya, tapi aku menganggapnya sebagai sesuatu
yang tidak bagus.
Sampai hari ini aku sering bermimpi
buruk tentang kejadian waktu itu, dan semakin hari mimpi itu semakin buruk
saja. Mungkin alasanku selalu mencoba kabur dari rumah sakit adalah karena aku
ingin menemukan Runa, dan membunuh siapa pun yang berusaha menghalangiku untuk
melakukannya…
Maaf, aku tidak sengaja
mengatakannya. Lupakan apa yang baru kukatakan barusan.
Kutatap lagi cincin di tanganku dan
untuk ke sekian kalinya menghela nafas. Padahal aku sudah berjanji untuk
menjaganya. Tapi untuk kedua kalinya aku kembali kehilangan Runa, dan itu
karena orang yang sama, Profesor Diva. Wanita yang memisahkan dan mengubah Runa
menjadi Claydoll-nya.
Kucengkeram cincin di tanganku dan
merasa kalau tanganku terlalu keras mencengkeramnya hingga membuat telapak
tanganku berdarah.
Tapi, toh aku tidak peduli. Yang
kupikirkan saat ini adalah bagaimana keadaan Runa.
“Runa… maafkan aku. Lagi-lagi aku
gagal melindungimu…” bisikku lirih sambil memejamkan mata.
Membiarkan setitik airmata mengalir
di pipiku.
***
Leia’s Side
Aku menutup pintu di belakangku dan diam untuk
beberapa saat. Kudengar suara Rei dari balik pintu dan mau tidak mau aku
merasakan dadaku berdenyut sakit setiap aku mendengar suaranya yang tampak
lemah dan lirih itu.
Lebih dari sepuluh tahun aku
mengenal Rei, aku hafal betul semua kebiasaannya, termasuk saat-saat di mana
dia merasa lemah dan tidak berdaya… seperti sekarang. Aku bahkan sudah
menganggapnya sebagai putraku sendiri.
Aku menghembuskan nafas dan
mengerjap-ngerjapkan mataku untuk menahan airmata yang akan keluar. Aku hendak
melangkah pergi ketika aku melihat seseorang sedang berjalan dari arah
berlawanan menuju kearahku. Seorang wanita dengan rambut pirang panjang.
“Komandan,” aku memberi hormat pada
wanita paling berpengaruh di organisasi Raven itu ketika ia sudah berada di
hadapanku.
Yah… meski sebenarnya aku membenci
wanita ini, tapi tetap saja aku masih bersikap hormat padanya karena sudah
memperhatikan Rei lebih dari yang bisa kulakukan.
“Ada angin apa Anda kemari?”
“Aku ingin menjenguk Rei.” katanya.
“Dan kau sendiri sedang apa di sini?”
“Aku baru saja akan pergi mengambil
laporan untuk Rei.” kataku, “Komandan—tidak, mungkin sebaiknya aku memanggilmu
Alice saja sekarang, karena hanya ada kita berdua di sini.”
“Kau ingin mengatakan sesuatu
padaku?”
Aku menatap wanita yang usianya
tidak lebih jauh dariku itu dengan mata disipitkan. Aku sudah mengenalnya cukup
lama, bahkan sebelum dia ditemukan oleh pemimpin Raven terdahulu, saat dia
masih menjadi seorang Clematis.
Maaf. Aku tidak berniat untuk
membicarakan itu lebih lanjut pada kalian.
“Sampai kapan kamu ingin
berpura-pura?” kataku, “Sampai kapan kamu ingin berpura-pura bahwa kamu tidak
berhak menemui Runa-chan dan
melampiaskan penyesalanmu pada Rei?”
“Maksudmu?”
“Aku tahu kamu sedih tidak bisa
bertemu dengan putrimu secara layak, Alice. Bahkan setelah dia kembali diculik
oleh Clematis, tapi apa kamu sadar? Sikapmu itu hanya akan membuatmu semakin
menderita.” Kataku, “Apa kamu sadar kalau sekarang Rei mulai membencimu karena
sikapmu itu.”
Alice terdiam mendengarnya, dan aku
hanya menghela nafas berat melihatnya.
“Kalau mau kuberi saran, sebaiknya
kamu mulai memikirkan apa yang akan kamu lakukan selanjutnya bila timku yang
kamu beritahu kemarin berhasil menyelamatkan Runa-chan. Sudah banyak kebohongan yang kamu buat—tidak, tapi kita
berdua buat pada semua orang baik di Raven, Edenia, bahkan pada wanita bernama
Diva itu.”
Alice masih diam dan dia agak
menunduk ketika aku mengatakan hal itu.
“Aku akan pergi sekarang. Kamu bisa
menjenguk Rei. Tapi, kuperingatkan padamu, Alice, jangan coba-coba membuat hati
putraku bertambah sakit dengan sikapmu yang berusaha peduli padanya tapi tidak
pada Runa-chan ketika dia belum
diculik oleh Clematis.”
Aku berjalan melewatinya dan menuju
lift yang akan membawaku ke basement,
di mana mobilku kuparkir sebelum kemari beberapa jam yang lalu.
[1]Sandal kayu dari Jepang
[2] Sebutan untuk kakak perempuan
atau wanita yang lebih tua dalam bahasa Jepang
[3] Akhiran kecil, di Jepang, secara
umum digunakan untuk bayi, anak kecil, dan gadis remaja. –chan jarang digunakan untuk anak laki-laki kecuali jika namanya
tidak cocok menggunakan akhiran –kun.
Penggunaan –chan biasanya dilakukan
dengan penyingkatan nama kecil yang bersangkutan.
[4] Baca Re : Hajimete no Deai, Hajimete no Kizu
0 komentar:
Posting Komentar