Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

RE part 2 - Prologue & Chapter 1



Suasana ruangan itu tampak suram. Hanya ada cahaya dari layar raksasa di hadapannya yang menampilkan informasi mengenai apa yang ada di balik dinding kaca di sebelahnya.
Pintu ruangan itu terbuka dan seseorang masuk ke dalam. Ia menoleh sekilas kearah orang yang baru saja masuk dan tersenyum kecil.
“Kau datang rupanya.” Ujarnya sambil bersandar pada punggung kursi yang didudukinya. “Kuharap kau membawa berita bagus.”
Orang yang baru datang itu memiliki wajah yang sangat cantik, seorang gadis remaja dengan rambut berwarna kayu mahoni. Kedua bola matanya berwarna merah seperti darah. Ia mengenakan pakaian seperti kimono yang pendek dan cukup minim berwarna hitam, kedua kakinya dibalut oleh stocking berwarna hitam dan geta[1] berwarna sama. Di punggungnya terdapat dua buah katana panjang.
“Kau dapatkan apa yang kuminta?”
Gadis itu mengangguk pelan dan menyerahkan berkas di tangannya pada orang di hadapannya. Orang itu meneliti berkas yang dibawa gadis itu sebentar, kemudian tersenyum kecil.
“Seperti dugaanku.” Ujarnya, “Kerja bagus, sayang. Kau memang sangat hebat.”
“Bolehkah aku menengoknya?”
“Hm?”
“Bolehkah aku menengok Oneesan[2]?” tanya gadis itu. Pandangannya tertuju ke balik dinding kaca.
“Ah,” orang itu mengangguk-angguk, “Tentu. Aku akan meninggalkan kalian berdua. Aku yakin kau membutuhkan privasi untuk menemuinya, kan?”
Gadis itu hanya diam.
“Aku akan pergi sebentar untuk mengambil obat untukmu. Tunggulah di sini.”
“Baik, Profesor Diva.”
Professor Diva berdiri dan berjalan keluar ruangan, meninggalkan gadis itu sendirian di sana.
Gadis itu menghampiri sebuah kotak panel di dekat dinding kaca dan mengetikkan password untuk membuka dinding kaca tersebut.
Suara berdesir halus terdengar ketika dinding kaca itu turun ke bawah lantai. Gadis itu melangkah melewati batas yang tadi dibatasi oleh dinding kaca dan menghampiri sebuah tempat tidur besar yang terletak di tengah ruangan. Tirai-tirai putih dan tipis mengelilingi tempat tidur itu, menampilkan siluet seseorang yang tengah tertidur. Ia menatap siluet itu lama sebelum akhirnya membuka tirai tipis yang menyelubungi tempat tidur.
Di atas tempat tidur terbaring seorang gadis berwajah sama seperti gadis itu, dengan rambut yang sewarna dan sama panjangnya seperti dirinya. Di sekujur tubuh gadis yang tertidur itu dipasangi kabel-kabel yang tersambung pada alat-alat penunjang hidup yang ada di sisi tempat tidur. Kedua mata gadis itu terpejam dan wajahnya tampak damai.
Gadis itu duduk di samping kepala gadis yang terbaring itu dan membungkukkan tubuhnya, bibirnya mencium kening gadis yang tertidur tersebut dengan penuh kasih sayang.
“Aku pulang, Runa Oneesan.”




CHAPTER 1
Rei’s Side
29April 2109
“Sudah kubilang, aku tidak punya waktu untuk ini!”
Aku menatap Leia yang berusaha membujukku untuk kembali beristirahat. Selama hampir tiga bulan ini aku berada di rumah sakit markas Raven, dan aku sudah muak diperlakukan seperti orang sakit. Semenjak penyerangan yang dilakukan oleh Clematis, entah kenapa semua orang kalang-kabut mengetahui aku terluka parah dan melakukan apa pun agar aku tetap mau diam di rumah sakit.
“Tapi kamu harus beristirahat, Rei. Kalau tidak lukamu tidak akan pulih seutuhnya.” Kata Leia sambil balas menantangku. “Aku tahu kamu ingin segera mencari Runa-chan[3], tapi pikirkan dulu kesehatanmu sebelum melakukannya. Selama lebih dari tiga bulan kami semua mengusahakan yang terbaik untuk kesembuhanmu!”
Aku memicingkan mata menatap Leia, namun aku tidak melakukannya lebih lama dari sepuluh detik dan lebih memilih menatap keluar jendela, kearah pepohonan yang dedaunannya mulai tumbuh di pertengahan musim semi.
Kudengar Leia menghela nafas dan meletakkan mangkuk berisi bubur yang seharusnya kumakan.
“Rei, kita perlu membicarakan sesuatu.” Katanya.
“Aku tidak tertarik.” Balasku.
“Ini penting. Ini datang dari Komandan sendiri.” kata Leia lagi, “Setidaknya, tolong dengarkan, Rei.”
Mendengar nama Komandan disebut, mau tidak mau aku mengkertakkan gigi.
Komandan. Hanae Alice. Ibu kandung Runa yang tidak mau menemui putrinya sendiri.
“Apa yang dikatakannya?” tanyaku tak acuh.
“Rei, setidaknya tatap aku ketika sedang berbicara.” Tegur Leia, “Kenapa sekarang kamu menjadi seperti ini, sih?”
Aku tidak mau menjawabnya dan lebih memilih diam.
“Baiklah. Aku ingin menyampaikan kalau setelah kamu benar-benar dinyatakan sehat dan bisa beraktivitas dengan normal, kamu akan masuk ke dalam timku untuk menginvestigasi kasus yang baru muncul akhir-akhir ini. Seorang Claydoll membuat ulah selama kamu berada di sini.”
Claydoll?”
Kini aku benar-benar tertarik dengan ucapan Leia dan menaruh perhatian penuh padanya.
“Ya. Seorang Claydoll sudah membuat Edenia resah.” Kata Leia, “Menurut Komandan ini adalah tanda bahwa Clematis kembali beroperasi ke permukaan.”
“Apa Claydoll itu… Runa?” tanyaku.
“Kita belum tahu pasti. Tapi ada seorang saksi mata yang selamat dari pembantaian yang dilakukannya bahwa pelakunya adalah seorang Claydoll perempuan berpakaian kimono hitam dan mengenakan topeng. Kekuatannya juga tidak seperti manusia biasa atau Claydoll pada umumnya. Saksi mata itu menyebut Claydoll yang ini sebagai iblis.”
“Iblis…”
“Ya.” Leia mengangguk, “Secepatnya setelah kamu dinyatakan sehat, kita akan memulai penyelidikan kita. Karena itu, bersikaplah seperti anak baik dan makan makananmu sebelum aku memanggil seseorang untuk membawakan lebih banyak makanan untuk kamu makan!”

***
Rei’s Side
Aku berhasil memakan semua makananku, tanpa banyak membantah. Takut kalau Leia benar-benar melaksanakan ancamannya untuk membawakan lebih banyak makanan untuk kumakan. Asal tahu saja, selama lebih dari tiga bulan di rumah sakit, aku benar-benar kehilangan selera makan karena banyak yang kupikirkan. Salah satunya adalah Runa.
Kejadian tiga bulan lalu[4] masih melekat jelas di dalam otakku, seolah baru terjadi kemarin. Aku masih ingat semuanya bahkan ketika aku menutup mataku, aku masih bisa mengingat ekspresi wajah Runa yang meminta tolong padaku dan juga serangan-serangan Diva yang berhasil membuatku mendekam di rumah sakit selama ini.
Aku menghembuskan nafas dan menatap keluar jendela. Pohon-pohon sudah kembali bangun dari tidur panjang selama musim dingin, dan sepertinya hanya aku sendiri yang masih harus ‘tidur’ di rumah sakit ini sampai benar-benar pulih.
“Aku akan pergi sebentar untuk mengambil laporan yang harus kamu baca.” Kata Leia sambil memakai sarung tangannya, “Kuharap aku tidak mendapat laporan dari perawat yang mengurusmu kalau kamu berbuat ulah.”
“Memangnya kapan aku berbuat ulah selama di sini? Untuk bergerak saja aku dilarang oleh dokter.” kataku.
“Itu karena kamu membandel dan berusaha untuk kabur dari rumah sakit setiap ada kesempatan.” Balasnya sambil berkacak pinggang, “Berjanjilah padaku kamu tidak akan membuat kekacauan!”
“Baik, Bu…” aku melengos dan kembali menatap keluar jendela.
Kudengar Leia menghela nafas dan mungkin sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Kalau begitu, aku pergi dulu. Leon akan datang kemari sekitar setengah jam lagi untuk memastikan hari ini kamu bisa pulang ke apartemenmu.”
Aku mengangguk tanpa mengalihkan pandanganku dari jendela. Setelah aku mendengar suara pintu yang ditutup, aku mengalihkan pandanganku kearah meja di sebelah tempat tidurku, di mana sebentuk cincin tergeletak di sana.
Aku mengambil cincin itu dan menatapnya lekat-lekat. Ini adalah cincin Runa yang terjatuh dari jarinya ketika mereka membawanya pergi dari rumah sakit waktu itu. Entah bagaimana cincin ini bisa terlepas dari tangannya, tapi aku menganggapnya sebagai sesuatu yang tidak bagus.
Sampai hari ini aku sering bermimpi buruk tentang kejadian waktu itu, dan semakin hari mimpi itu semakin buruk saja. Mungkin alasanku selalu mencoba kabur dari rumah sakit adalah karena aku ingin menemukan Runa, dan membunuh siapa pun yang berusaha menghalangiku untuk melakukannya…
Maaf, aku tidak sengaja mengatakannya. Lupakan apa yang baru kukatakan barusan.
Kutatap lagi cincin di tanganku dan untuk ke sekian kalinya menghela nafas. Padahal aku sudah berjanji untuk menjaganya. Tapi untuk kedua kalinya aku kembali kehilangan Runa, dan itu karena orang yang sama, Profesor Diva. Wanita yang memisahkan dan mengubah Runa menjadi Claydoll-nya.
Kucengkeram cincin di tanganku dan merasa kalau tanganku terlalu keras mencengkeramnya hingga membuat telapak tanganku berdarah.
Tapi, toh aku tidak peduli. Yang kupikirkan saat ini adalah bagaimana keadaan Runa.
“Runa… maafkan aku. Lagi-lagi aku gagal melindungimu…” bisikku lirih sambil memejamkan mata.
Membiarkan setitik airmata mengalir di pipiku.

***
Leia’s Side
Aku menutup pintu di belakangku dan diam untuk beberapa saat. Kudengar suara Rei dari balik pintu dan mau tidak mau aku merasakan dadaku berdenyut sakit setiap aku mendengar suaranya yang tampak lemah dan lirih itu.
Lebih dari sepuluh tahun aku mengenal Rei, aku hafal betul semua kebiasaannya, termasuk saat-saat di mana dia merasa lemah dan tidak berdaya… seperti sekarang. Aku bahkan sudah menganggapnya sebagai putraku sendiri.
Aku menghembuskan nafas dan mengerjap-ngerjapkan mataku untuk menahan airmata yang akan keluar. Aku hendak melangkah pergi ketika aku melihat seseorang sedang berjalan dari arah berlawanan menuju kearahku. Seorang wanita dengan rambut pirang panjang.
“Komandan,” aku memberi hormat pada wanita paling berpengaruh di organisasi Raven itu ketika ia sudah berada di hadapanku.
Yah… meski sebenarnya aku membenci wanita ini, tapi tetap saja aku masih bersikap hormat padanya karena sudah memperhatikan Rei lebih dari yang bisa kulakukan.
“Ada angin apa Anda kemari?”
“Aku ingin menjenguk Rei.” katanya. “Dan kau sendiri sedang apa di sini?”
“Aku baru saja akan pergi mengambil laporan untuk Rei.” kataku, “Komandan—tidak, mungkin sebaiknya aku memanggilmu Alice saja sekarang, karena hanya ada kita berdua di sini.”
“Kau ingin mengatakan sesuatu padaku?”
Aku menatap wanita yang usianya tidak lebih jauh dariku itu dengan mata disipitkan. Aku sudah mengenalnya cukup lama, bahkan sebelum dia ditemukan oleh pemimpin Raven terdahulu, saat dia masih menjadi seorang Clematis.
Maaf. Aku tidak berniat untuk membicarakan itu lebih lanjut pada kalian.
“Sampai kapan kamu ingin berpura-pura?” kataku, “Sampai kapan kamu ingin berpura-pura bahwa kamu tidak berhak menemui Runa-chan dan melampiaskan penyesalanmu pada Rei?”
“Maksudmu?”
“Aku tahu kamu sedih tidak bisa bertemu dengan putrimu secara layak, Alice. Bahkan setelah dia kembali diculik oleh Clematis, tapi apa kamu sadar? Sikapmu itu hanya akan membuatmu semakin menderita.” Kataku, “Apa kamu sadar kalau sekarang Rei mulai membencimu karena sikapmu itu.”
Alice terdiam mendengarnya, dan aku hanya menghela nafas berat melihatnya.
“Kalau mau kuberi saran, sebaiknya kamu mulai memikirkan apa yang akan kamu lakukan selanjutnya bila timku yang kamu beritahu kemarin berhasil menyelamatkan Runa-chan. Sudah banyak kebohongan yang kamu buat—tidak, tapi kita berdua buat pada semua orang baik di Raven, Edenia, bahkan pada wanita bernama Diva itu.”
Alice masih diam dan dia agak menunduk ketika aku mengatakan hal itu.
“Aku akan pergi sekarang. Kamu bisa menjenguk Rei. Tapi, kuperingatkan padamu, Alice, jangan coba-coba membuat hati putraku bertambah sakit dengan sikapmu yang berusaha peduli padanya tapi tidak pada Runa-chan ketika dia belum diculik oleh Clematis.”
Aku berjalan melewatinya dan menuju lift yang akan membawaku ke basement, di mana mobilku kuparkir sebelum kemari beberapa jam yang lalu.


[1]Sandal kayu dari Jepang
[2] Sebutan untuk kakak perempuan atau wanita yang lebih tua dalam bahasa Jepang
[3] Akhiran kecil, di Jepang, secara umum digunakan untuk bayi, anak kecil, dan gadis remaja. –chan jarang digunakan untuk anak laki-laki kecuali jika namanya tidak cocok menggunakan akhiran –kun. Penggunaan –chan biasanya dilakukan dengan penyingkatan nama kecil yang bersangkutan.

[4]  Baca Re : Hajimete no Deai, Hajimete no Kizu

0 komentar:

Posting Komentar