Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

RE - Chapter 20 & Epilogue



Rei’s Side
Pagi ini aku berencana untuk pergi ke markas. Aku ingin menanyai sesuatu pada Shion, dan mungkin juga Komandan. Karena beliau, kan ibu kandungnya. Mungkin beliau mengetahui sesuatu tentang kesehatan Runa dan penyakit sindromnya itu.

Aku meninggalkan Runa di rumah sakit sendirian. Untungnya ketika aku terbangun, dia masih tidur dan kelihatannya akan tertidur sampai siang, karena menurut dokter, dia harus banyak beristirahat dan tidak boleh meninggalkan tempat tidur walau hanya sebentar. Dan untuk jaga-jaga kalau dia terbangun, aku sudah berpesan pada perawat yang tadi berkunjung ke kamarnya untuk menungguinya sampai dia terbangun dan mengatakan kalau aku ada urusan untuk pagi ini.
Aku berjalan keluar dari lift dan menuju pintu apartemenku. Ketika aku akan mengeluarkan kunci apartemenku, aku baru menyadari kalau pintu apartemenku sedikit terbuka.
“Siapa yang bertamu pagi-pagi begini?” gumamku sambil memperhatikan pintu apartemenku yang terbuka.
Hanya ada dua orang yang memiliki kartu kunci cadangan apartemenku, Leia dan Runa. Tapi Runa, kan ada di rumah sakit. Berarti Leia yang bertamu pagi ini. Leia selalu saja datang tanpa permisi ke apartemenku, padahal aku sudah menyuruhnya untuk menghubungiku dulu kalau ingin datang.
Aku menghembuskan nafas dan membuka pintu, menyalakan lampu, dan berjalan masuk ke ruang tamu.
“Leia, kamu yang membuka pintu apartemen—”
Aliran kata-kataku terhenti ketika aku melihat seorang wanita berambut panjang sebahu berwarna mahoni tengah duduk di sofa ruang tamuku sambil menyilangkan dada di depan dadanya. Sebuah kacamata tipis menghiasi wajahnya dan pakaiannya tampak seperti… seorang dokter, serba putih, terutama jas panjangnya. Tapi, alih-alih seperti dokter, dia tampak seperti ilmuwan muda.
Wanita itu mendongak ketika mendengar suaraku dan tersenyum manis. Rasa kaget melandaku ketika aku melihat warna bola matanya mirip dengan Runa. Tapi, wanita ini adalah orang asing, dan dia bisa masuk dengan mudah ke dalam apartemenku.
“Kau pasti Kujo Rei. Benar, kan?” katanya menatapku dari atas sampai bawah. “Hmm… seperti yang sudah kuduga.”
“Siapa kau? Bagaimana kau bisa masuk ke sini?” tanyaku waspada.
“Apa kau memang selalu waspada seperti itu? Tenang saja, aku tidak berniat untuk membunuhmu, jika itu yang kau pikirkan.”
Aku diam dan terus memandangnya. Wanita itu mengangkat cangkir teh di atas meja dan meminum isinya perlahan.
“Harus kuakui, kau memperlakukan boneka kesayanganku dengan cukup baik.” katanya, “Fuyuki pasti senang bertemu dengan teman masa kecilnya lagi.”
Mendengar nama Fuyuki, nama yang kata Runa diberikan oleh Clematis padanya, aku langsung bisa menebak siapa wanita yang ada di hadapanku ini.
“Kau… Profesor Diva?”
“Kau dapat nilai seratus. Benar, aku adalah Diva.” Kata wanita itu sambil tersenyum, “Dan aku berniat mengatakan padamu kalau waktumu untuk menangani Fuyuki sudah habis. Aku akan mengambilnya kembali.”
“Apa maksudmu?”
“Aku sudah bilang padamu, aku ingin mengambilnya kembali. Fuyuki adalah milikku.”
“Namanya bukan Fuyuki, tapi Hanae Runa.” ujarku, “Dan mengenai ucapanmu barusan, langkahi dulu mayatku jika ingin mengambilnya.”
Dia mengerjapkan matanya beberapa kali sebelum akhirnya menyemburkan tawa keras.
“Ahahaha… sudah kuduga kau akan mengatakan itu, Hero-kun. Kurasa itu panggilan Fuyuki untukmu, iya, kan?”
Dari mana dia tahu tentang hal itu?
Diva berdiri dan berjalan kearahku. Dan aku baru sadar, tingginya hampir menyamai tinggiku yang mencapai 185 senti.
Apa? Aku memang punya tinggi badan yang terlalu ‘tinggi’ dan aku sering disangka lebih tua dari usiaku yang sebenarnya.
Tapi, tunggu. Ini bukan saatnya membahas hal itu.
“Aku tidak tahu apa hubunganmu dengan Fuyuki, tapi aku ingin mempertegas bahwa dia adalah milikku. Aku yang mengasuhnya sejak dia berusia 8 tahun.” Katanya, “Aku memperlakukannya dengan baik, sampai dia membangkang dariku.”
“Kau membuatnya menjadi Claydoll.” Kataku.
“Dan dia memang Claydoll yang luar biasa. Sayangnya dia memiliki kecacatan yang fatal.” Diva berbicara seolah-olah hal itu adalah hal yang biasa. “Aku berniat memperbaikinya, tapi dia keburu kabur dan sampai sebulan tidak kembali padaku.”
Diva menatap kearahku, kali ini tatapannya tampak menuduh dan dingin.
“Sebenarnya bisa saja aku membunuhmu sekarang, tapi toh, tidak akan ada gunanya. Kau termasuk pion penting agar rencanaku berhasil.”
“Pion?”
Diva tersenyum dengan sebelah bibir dan berjalan melewatiku.
“Ah, aku lupa mengatakan padamu, saat kita berbicara sekarang ini, orang-orangku sudah menjemput Fuyuki di rumah sakit tempat dia dirawat.” Katanya, membuatku terkejut. “Aku sudah mengatakan padamu, aku akan mengambil kembali Fuyuki, dan aku benar-benar serius melakukannya.”
“Kau mungkin melihatku seperti seorang ilmuwan biasa, tapi ketahuilah, aku yang paling tahu apa yang terjadi di Edenia dan semua hal yang berhubungan dengan terciptanya Raven dan Clematis, hingga kita saling bermusuhan. Maksudku, sesuatu yang sesungguhnya terjadi diantara kedua organisasi kita.”
“Apa maksudmu?”
“Kau akan tahu nanti, Kujo Rei. Saat ini aku tidak ingin mengatakannya.”
“Kau tidak bisa membawa Runa pergi!”
“Aku bisa. Dan aku sedang melakukannya sekarang.” katanya tenang, “Silakan kalau kau ingin mencegahku, tapi kutegaskan, aku bisa menghentikanmu bahkan hanya dengan satu kedipan mata.”
Aku menatapnya tajam, dan mencoba menggapai tangannya.
Tapi yang kudapatkan adalah sebuah tendangan tepat di ulu hatiku dan membuatku terlempar ke dinding. Aku yakin aku mendengar suara tulang yang patah di dalam tubuhku, tapi aku tidak tahu tulang bagian tubuhku yang mana yang patah.
Yang jelas, seluruh tubuhku benar-benar kesakitan. Aku harus menunggu beberapa saat sebelum tubuhku beregenerasi untuk menyembuhkan luka dan juga tulangku yang patah. Salah satu keuntungan yang kudapat setelah DNA-ku dimodifikasi.
“Aku sudah bilang, aku bisa menghentikanmu dengan mudah.” Kata Diva sambil berdiri di hadapanku. “Aku tidak bisa dikalahkan oleh siapa pun. Tidak juga oleh Komandan kalian yang bernama Hanae Alice itu.”
“Ah… ngomong-ngomong soal itu, aku ingin kau menjadi pengantar pesanku untuk wanita picik itu.”
Diva berlutut di depanku dan mengangkat wajahku yang menunduk. Matanya menatap lurus padaku.
“Sampaikan pada Hanae Alice, malaikat kematiannya akan datang untuk mencabut nyawanya, kalau dia tidak ingin putrinya benar-benar kubunuh kali ini.”
Dia menyentak kepalaku dan berdiri, “Sepertinya aku sudah terlalu lama di sini. Kuharap kau menyampaikan pesanku tadi pada Hanae Alice.” Katanya, “Sore de ha, mata aimashou ne, Kujo Rei-kun.[1]
Aku menatapnya berjalan pergi meninggalkan aparetemenku. Aku menghembuskan nafas dan berusaha berdiri.
Aku tidak mungkin berdiam diri di sini saja. Aku harus cepat-cepat ke rumah sakit, atau wanita itu benar-benar akan membawa Runa pergi.
Aku menghampiri sabuk senjataku dan segera mengenakannya. Masih tertatih-tatih, aku menggapai pintu apartemen tepat ketika ponselku berbunyi. Kurogoh saku celanaku dan mengeluarkan benda kecil itu. Nama Leia tertera di layar ponsel.
“Di sini Rei,”
Rei, segera pergi ke rumah sakit yang terletak di pusat Distrik Tiga. Ada penyerangan Clematis di sana.” kata Leia di seberang telepon, “Aku dan yang lain sedang dalam perjalanan ke sana.
“Baik. Aku memang ingin pergi ke sana.” kataku sambil menutup telepon.
Setelah menghela nafas beberapa kali, aku berjalan keluar apartemen. Dan kali ini, mau tidak mau aku harus menggunakan kemampuanku yang sebenarnya untuk sampai di rumah sakit itu tepat waktu.

***
Runa’s Side
Aku baru saja terbangun dari tidur ketika aku mendengar suara gaduh dari luar ruangan tempatku dirawat. Aku berusaha duduk dan mencoba bangkit dari tempat tidur ketika pintu dibuka tiba-tiba dan membuatku tersentak kaget.
Namun, aku lebih terkejut ketika aku melihat orang-orang yang sering kulihat di Clematis memasuki ruangan tempatku berada bersama dengan Profesor Diva di belakang mereka.
“P, Profesor… Diva…”
“Hai, Fuyuki sayang. Kulihat kamu sedikit pucat. Tubuhmu kesakitan, kan?” katanya sambil tersenyum padaku, “Anak-anak, lakukan.”
Orang-orang di sekitarnya berjalan kearahku dan mereka mencabut semua kabel yang terhubung dengan tubuhku. Aku meringis kesakitan ketika merasakan jarum-jarum yang ditancapkan ke kulitku dicabut paksa.
“A, apa yang akan kalian lakukan padaku?”
“Membawamu pulang, tentu saja.” kata Profesor Diva, “Kau sudah terlalu lama bermain-main, Fuyuki. Dan sekarang adalah waktunya kau pulang.”
“Aku tidak mau kembali ke tempat itu! Aku benci tempat itu!” kataku, mendorong salah seornag diantara mereka yang hendak menjangkauku. “Menjauh dariku!!”
“Aduh, aduh, Fuyuki… kamu tidak perlu memberontak seperti itu.”
Aku tersentak kaget melihat Profesor Diva sudah berdiri tepat di sampingku. Aku mengambil pisau yang digunakan perawat untuk memotongkan buah untukku dan mencoba menyerangnya.
Namun tangannya lebih dulu menyentuh tengkukku dan menotok urat sarafku. Tubuhku langsung lemas dan jatuh di atas tempat tidur. Tapi aku masih sadar. Totokan itu hanya membuat tubuhku tidak bisa bergerak.
“Begini lebih baik. Segera bawa dia dan kita pergi dari sini.”
Aku menatap Profesor Diva yang dengan tatapan benci sementara tubuhku dibopong oleh salah seorang suruhannya. Aku tidak bisa melawan karena tubuhku tidak bisa digerakkan, selain itu, aku juga tidak bisa berbicar dengan baik.
“Aku… aku akan… membunuhmu…” kataku, “Aku akan… membunuhmu…”
Professor Diva menoleh kearahku dengan senyum yang biasa dia tunjukkan padaku. Senyuman yang meremehkan.”
“Kau ingin mencoba membunuhku? Bergerak pun kau tidak bisa.” Katanya, “Dan juga, kekasihmu sudah kuurus, jadi tidak akan ada yang mengganggu.”
Rei? Apa yang dilakukan Profesor Diva pada Rei?
“Sayang sekali dia sudah menjadi seorang Raven. Kalau tahu dia punya potensi untuk kujadikan Claydoll sama sepertimu…” dia tertawa, “… tapi, sepertinya aku tidak memerlukannya. Kau pion yang lebih sempurna.”
Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya. Tapi mendengarnya menyebut Rei dan berniat menjadikannya Claydoll… tidak. Aku tidak mau membayangkan Rei mati di tangan Profesor Diva. Aku tidak mau Rei kenapa-kenapa.
“Ayo, kita pergi dari sini, anak-anak.”
Mereka membawaku pergi dari ruangan tempatku dirawat dan berjalan keluar dari rumah sakit, yang entah sejak kapan terbakar dan semua orang di sana tergeletak di lantai dengan darah di sekujur tubuh mereka. Ini sama seperti dalam ingatan masa kecilku yang baru-baru ini kuingat. Kota yang terbakar, orang-orang yang mati bersimbah darah, dan… aku dibawa pergi ketika berusaha melarikan diri bersama Rei.
Kutatap Profesor Diva yang berjalan di depan. Aku ingat sekarang. Aku pernah melihat Profesor Diva di kota di mana aku tinggal dulu diserang. Dialah yang memerintahkan orang-orang itu untuk menculikku dan kemudian membawaku ke Clematis. Dialah yang melukai Rei. Aku ingat dia yang menyerang Rei yang berusaha menggapaiku.
Dan aku mengingat semuanya.
Langkah Profesor Diva dan orang yang membawaku terhenti. Aku tidak tahu apa yang membuat mereka berhenti, tapi kemudian aku mendengar suara Profesor Diva mengeluh sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
“Ah… lagi-lagi kau, burung yang benar-benar menyusahkan.”
Aku mengerutkan kening mendengar ucapannya. Tapi kemudian, aku mendengar suara yang sangat kukenal berbicara pada Profesor Diva.
“Jangan harap aku akan menyerahkan Runa begitu saja. Sudah kubilang, langkahi dulu mayatku jika kau ingin membawanya!”
Itu suara Rei.

***
Rei’s Side
Dengan kecepatan lariku yang lebih dari ratusan kilometer per jam, aku bisa dengan cepat sampai di rumah sakit tempat Runa dirawat, dan… harus mencoba menahan kemarahanku ketika aku melihat rumah sakit itu sudah terbakar, dan aku bisa mencium bau asap dan darah yang bercampur di udara. Leia dan yang lain belum datang, sepertinya. Karena aku tidak merasakan satu pun tanda-tanda keberadaan teman-temanku di sini.
Kucabut katana-ku dari sarungnya dan berjalan kearah rumah sakit. Pintunya bahkan sudah hancur dan banyak pecahan kaca berserakan di sana. Samar-samar aku juga melihat mayat-mayat yang tergeletak di lantai dengan darah di sekujur tubuh mereka.
Sial. Ini sama seperti kejadian sepuluh tahun yang lalu.
Kemudian aku melihat siluet beberapa orang berjalan kearah pintu. Aku dengan mudah mengenali salah satu siluet itu sebagai wanita itu, Profesor Diva.
Ia berjalan di depan orang-orang yang berpakaian panjang dan berwarna hitam, hampir mirip seperti mantel bertudung. Kulihat salah satu diantara orang-orang itu membawa Runa.
Diva berhenti tepat lima meter di hadapanku. Dia menatapku sebentar kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya dengan ekspresi malas.
“Ah… lagi-lagi kau, burung yang menyusahkan.”
“Jangan harap aku akan menyerahkan Runa begitu saja. Sudah kubilang, langkahi dulu mayatku jika kau ingin membawanya!” kataku sambil mengacungkan katana-ku padanya.
“Kau mau melawanku? Bukankah kau sudah melihat sendiri seperti apa kekuatanku?”
“Kau sendiri belum melihat kekuatanku yang sebenarnya.” aku membalas, “Aku tidak akan membiarkanmu membawa Runa.”
“Coba saja hentikan aku.” katanya santai, “Serang aku dari arah mana saja, aku akan menerimanya dengan senang hati.”
Oke. Dia ternyata wanita yang cukup sombong, hanya karena dia berhasil menendang dan membuatku terluka barusan, bukan berarti dia bisa menghindari seranganku nanti.
“Kalau kau tidak menyerang juga, biar aku saja yang menyerangmu duluan.”
Dia baru mengatakannya beberapa detik yang lalu, dan tahu-tahu saja dia sudah ada di hadapanku. Aku menangkis tendangannya yang mengarah ke dadaku dan terkejut merasakan tanganku bergetar saking kuatnya tendangannya.
“Hmm… tidak termakan tipuan yang sama, ya?” katanya, “Tapi, bagaimana dengan yang ini!?”
Dia kembali bergerak dan kali ini sasarannya adalah kepalaku. Tapi, aku dengan cepat bisa mengantisipasinya. Kuayunkan pedangku kearahnya, menyerang balik.
Selama aku mengayunkan pedangku, aku menganalisis kekuatan dan keadaan seperti apa yang kuhadapi sekarang.
Diva ternyata tidak hanya kuat, tapi juga memiliki kecepatan seperti layaknya Raven yang DNA-nya sudah dimutasi. Namun, dia terasa jauh lebih kuat. Dari setiap tendangan yang berhasil kutangkis dengan katana-ku, aku bisa merasakan kekuatannya yang sangat besar, lebih besar dari Komandan yang kutahu jauh lebih kuat dibanding manusia lain di Edenia.
“Jangan hanya bertahan, Kujo Rei! Ayo serang aku!”
“Kalau itu maumu,”
Aku mengambil pistolku dan menembak kearahnya. Selagi dia menghindari tembakanku, aku menggunakan kesempatan itu untuk mendekatinya dan menyerangnya lagi.
“Terlalu lambat.” Katanya.
Dan tahu-tahu saja aku merasakan sengatan rasa sakit di pipiku. Aku mundur beberapa langkah dan menyentuh wajahku, ada darah di sana.
“Kukira aku terlalu memandang remeh dirimu.” Kata Diva sambil mengayun-ayunkan pisau kecil di tangannya, “Kekuatanmu hampir setara diriku. Katakan, apa kamu yakin hanya DNA-mu saja yang dimodifikasi?”
“Aku tidak perlu menjawab hal itu pada orang sepertimu.” Balasku.
“Ah… aku tahu… kamu adalah putra orang itu.” katanya sambil tersenyum, “Orang yang mencetuskan proyek RE pertama kali.”
“Proyek RE?”
“Kau tidak tahu proyek itu? Ah, ya benar juga… proyek itu, kan proyek paling rahasia yang ada di Edenia. Tentu saja kau tidak tahu, bahkan jika kau adalah anggota tertinggi Raven sekalipun.” Ujarnya lagi, “Hei, apa kau menerima kekuatanmu itu dari hasil proyek itu? Jangan-jangan karena itulah kedua orangtuamu disangka mata-mata Clematis saat mereka dibunuh?”
Aku terkejut ketika dia tahu apa yang terjadi pada kedua orangtuaku. Dari mana dia mendapatkan informasi itu?
“Wajahmu seperti menanyakan padaku bagaimana aku bisa tahu tentang hal itu.” dia tertawa, “Sudah kubilang aku mengetahui apa yang terjadi di Edenia, termasuk hal kecil seperti kematian kedua orangtuamu.”
“Aku tidak mengerti apa maksudmu,” kataku mencoba tenang, “tapi aku akan menghentikanmu di sini sekarang juga, kalau perlu aku akan membunuhmu.”
“Wow… apa kau berani? Melawan seorang wanita… apa itu adalah sikap seorang gentleman?” dia tertawa lagi.
“Aku tidak perlu bersikap seperti gentleman pada pembunuh seperti kalian.” kataku.
“Kalau kau menyebutku pembunuh, berarti Fuyuki yang kau sebut sebagai Runa itu juga pembunuh, kan?”
“Itu…”
Aku menatap kearah Runa yang dibopong dan melihat matanya menatap kearahku. Aku tahu dari tatapan matanya dia meminta tolong padaku. Aku tidak tahu apa yang dilakukan Diva pada Runa sampai dia tidak bisa berbicara bahkan bergerak sama sekali.
“Kenapa kau tidak menjawab? Ah… apa berarti apa yang kukatakan benar? Kau juga menganggap Fuyuki pembunuh, kan?” kata Diva, lalu menoleh ke balik bahunya, “Kau dengar itu, Fuyuki, dia menganggapmu pembunuh.”
“Diam kau!” kataku, “Kau yang membuatnya menjadi pembunuh, dan aku tidak akan pernah memaafkanmu karena memanfaatkan manusia untuk dijadikan mesin pembunuh.”
“Kau tidak bisa memaafkanku… atau tidak bisa memaafkan dirimu sendiri karena tidak bisa menolongnya ketika aku memisahkan kalian sepuluh tahun lalu?”
“Apa?”
“Kau mungkin lupa, Kujo Rei, tapi akulah yang memisahkan kalian berdua sepuluh tahun yang lalu.” Diva tersenyum dengan sebelah bibir, “Aku yang menyerang kalian berdua dan membuatmu terluka. Sebenarnya aku ingin membunuhmu sekalian waktu itu, karena kudengar kau adalah percobaan sukses dari proyek yang diusung orangtuamu.”
“Aku… percobaan sukses?”
“Ups. Kurasa aku sudah berbicara terlalu banyak. Lebih baik kita akhiri saja pertarungan ini.”
Diva tiba-tiba saja menyerangku. Aku yang belum siap menerima serangannya mendapat serangan telak di dadaku, dan kali ini dia tidak hanya menyerang dengan satu serangan. Pisau di tangannya juga ikut beraksi dan menyerangku di beberapa titik vital. Tubuhku mulai goyah karena mendapat serangan bertubi-tubi darinya. Aku jatuh terduduk ke tanah, namun aku berpegangan pada katana-ku sehingga aku tidak jatuh pingsan.
“Sepertinya kau sudah mulai kepayahan, ya?” Diva berdiri di hadapanku sambil memainkan pisau di tangannya. “Ini akan menjadi senjata yang akan mengakhiri nyawamu sekarang. Ada kata terakhir, Kujo Rei?”
Aku menatapnya tajam dan tidak mengatakan apa-apa.
“Rei!!”
Aku mendengar suara Runa dan melihatnya menatapku.
“Run—”
“Kau melihat ke mana?”
Diva yang berdiri di hadapanku menancapkan pisaunya…
… tepat di dadaku.
“Agh!!”
Aku menahan rasa sakit yang kurasakan dari bilah dingin yang menembus tubuhku itu dan menatap Diva dengan tatapan membunuh.
“Kurasa jika aku menusukmu di sini, kau tidak akan mati, kan?” bisik Diva, “Oh, mungkin saja kau mati… kalau saja kau itu manusia biasa.”
“Kau…”
“Bagaimana kalau begini, aku akan membiarkanmu hidup asalkan kau mengikutiku. Dan aku akan membiarkanmu bermain dengan Fuyuki.” Katanya.
“Mati pun aku tidak akan sudi mengikutimu!”
“Oh, begitu ya? Baiklah…”
Dia mencabut pisau itu dan membuatku mengerang kesakitan. Darah menyembur keluar dari luka di dadaku, dan kali ini, aku benar-benar tersungkur di tanah.
“Bersyukurlah aku tidak mengenai titik vital di dadamu, Kujo Rei.” ujar Diva sambil menggunakan kakinya untuk menendangku. “Aku masih berbaik hati untuk membiarkanmu hidup. Lagipula, kau belum memberikan pesanku pada Hanae Alice.”
“Kau… aku bersumpah, aku akan membunuhmu!”
“Kata-katamu sama seperti Fuyuki saja. Ah, ya… mengingat kalian dibesarkan dalam lingkungan yang sama, sudah sewajarnya kalian memiliki kesamaan.” Ujarnya, “Aku akan membiarkanmu hidup, untuk kali ini. Namun, jangan lupa, siapa yang sudah berjasa membiarkanmu hidup hari ini.”
Dia menyentak kakinya kearah lukaku dan kemudian berbalik.
“Anak-anak, ayo kita pergi dari sini!!”
Aku mencoba menggapai kakinya, namun jaraknya terlalu jauh. Aku melihat mereka berjalan pergi melewatiku dan ketika orang yang membopong Runa lewat di hadapanku, aku melihat sebelah tangan Runa yang terkulai, tepat ketika cincin yang melingkar di jarinya jatuh di hadapanku.
“Ru… na…”
Aku berusaha bangun, namun tubuhku seakan-akan menolak. Nafasku tersengal-sengal, dan rasa sakit dari luka-luka di sekujur tubuhku cukup untuk membuat kesadaranku ditelan oleh kegelapan.



EPILOGUE
Leia menatap rumah sakit di hadapannya dengan ngeri. Tempat itu sudah hangus terbakar, dan dia yakin mayat-mayat yang ada di sana juga bernasib sama. Padahal mereka sudah berusaha untuk sampai tepat waktu, tapi sepertinya semua sia-sia.
“Sial. Sepertinya kita sudah terlambat.” Kata Leon yang berdiri di sebelahnya.
“Kuharap masih ada korban yang selamat.” Ujar Leia, “Alex, pimpin timmu menangani api yang masih menyala, aku dan Leon akan mencari apakah masih ada korban yang selamat.”
“Baiklah,” Alex mengangguk, “Kalian dengar itu? Cepat ambil slang air dan siram api itu!”
“Leon, ayo kita periksa tempat ini—”
Kata- kata Leia terhenti ketika dia melihat siluet tubuh yang dikenalnya tergeletak di dekat pintu masuk rumah sakit. Dia memicingkan matanya dan terkejut ketika menyadari itu adalah Rei.
“Ya Tuhan, itu Rei!”
“Apa?”
Leia berlari kearah Rei yang terbujur kaku di atas tanah dan melihat tubuh pemuda itu bersimbah darah. Dia berjongkok dan memeriksa keadaan Rei dan denyut nadi pemuda itu. Ia menarik nafas lega ketika menemukan denyut nadi Rei masih ada. Namun, dia tidak bisa sepenuhnya merasa lega karena Rei kehilangan banyak darah. Wajah pemuda itu tampak pucat dan nafasnya terputus-putus.
“Apa yang terjadi pada Rei, Leia?” tanya Leon yang berdiri di belakangnya.
“Leon, panggil tim medis secepatnya! Kita harus segera membawa Rei ke markas.” Kata Leia, “Dia kehilangan banyak darah, dan kurasa ada beberapa tulangnya yang patah.”
“Aku mengerti,” Leon berbalik dan berteriak memanggil tim medis untuk segera ke tempat mereka.
Leia mencoba membersihkan darah yang ada di wajah Rei ketika dia melihat sebentuk cincin di samping pemuda itu. Ia memungut cincin itu dan mengerutkan kening melihatnya.
Cincin siapa ini? tanyanya dalam hati, Apa ini milik Rei?
“… na…”
Leia menoleh kearah Rei dan melihat kedua mata pemuda itu terbuka sedikit.
“… Ru… na…”
“Rei, bertahanlah. Tim medis akan segera membawamu ke markas.” Kata Leia, “Selebihnya di sini biar kami yang mengurus. Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Dia… wanita itu…” Rei mencoba berbicara, “… dia membawa Runa… lagi…”
“Runa-chan? Di mana dia?”
“… dia… dia membawa… Runa…” Rei menghembuskan nafas, “… aku akan… membunuhnya… wanita itu…”
Leia tidak mengerti siapa yang dimaksud Rei, namun ketika dia menyesapi benar-benar maksud ucapan Rei, kedua matanya membelalak.
“Apa maksudmu… Diva yang melakukan ini?” tanyanya.

***

Di waktu yang sama, Diva sedang menatap layar besar di hadapannya. Di sampingnya terdapat sebuah tempat tidur yang terhubung dengan sebuah tabung inkubator besar yang ada di sisi lain ruangan tempatnya berada sekarang.
“Sedikit lagi…” katanya sambil melirik kearah tempat tidur di mana tubuh Runa terbaring dan kedua matanya terpejam.
Setelah dengan sukses membawa Runa pergi, Diva langsung menyuntikkan obat tidur ke tubuh gadis itu agar ketika totokannya terbuka, Runa tidak akan berontak dan mencoba kabur. Diva terpaksa menambah dosis obat tidur yang ia suntikkan karena ternyata Runa tidak bisa ditaklukkan dengan dosis obat tidur yang biasa dia suntikkan.
Perkembangan dan daya tahan tubuhnya mengalami kemajuan. Sayangnya masih saja dibarengi dengan kecacatan yang benar-benar merepotkan. Katanya dalam hati.
Diva kemudian berdiri dan menghampiri tempat tidur Runa. Dipandanginya wajah gadis itu lekat-lekat. Sebelah tangannya menyentuh ujung rambut Runa dan menghela nafas.
Bunyi dari komputer yang menunjukkan apa yang tadi dikerjakannya sudah selesai, menarik perhatian Diva. Ia kembali ke meja komputernya dan mengetikkan beberapa kata perintah.
Access code accepted
Trying to connected to the subject
Diva menatap inkubator di sisi lain ruangan dan melihat benda itu menyala dengan warna kebiruan lemah. Di dalam inkubator itu samar-samar terlihat sosok seseorang yang tengah terpejam matanya. Kedua tangannya tampak menyilang, menutupi tubuh bagian atasnya yang tidak mengenakan sehelai benang pun dan posisi tubuhnya tampak seperti dia sedang duduk di atas kursi. Pada wajah orang itu terpasang sebuah masker oksigen yang membantunya bernafas di dalam air yang memenuh inkubator tersebut.
Komputernya kembali berbunyi, dan Diva tersenyum puas melihat dialog box yang terpampang di layarnya.
The progress are completed. Awaken the subject.
Inkubator di sisi ruangan kini menyala dengan warna merah terang diiringi dengan suara alarm yang bergema nyaring di seluruh ruangan. Diva melangkah mendekati inkubator itu dan mengetikkan beberapa kata kunci pada panel yang ada di dekat benda tersebut. Air yang semula memenuhi inkubator menyusut secara perlahan bersamaan dengan terbukanya kedua mata orang itu, menampakkan bola mata berwarna merah seperti darah. Setelah semua air itu hilang, kaca yang menyelubungi inkubator itu menyusut ke dalam besi di bawah kaki orang itu, yang berdiri dan kini menatap Diva dengan tatapan datar.
“Buka masker itu,” kata Diva.
Orang itu membuka masker yang menutupi wajahnya dan mengibaskan rambutnya yang panjang. Dia melompat turun dari besi inkubator dan berdiri di hadapan Diva, yang melepas jasnya dan memakaikannya pada orang itu.
Diva memeriksa setiap bagian tubuh orang itu dan tersenyum melihat tidak ada kecacatan sedikit pun di sana.
“Di mana aku? Siapa kamu?” tanya orang itu.
“Kamu berada di rumah. Ini adalah tempatmu tinggal sekarang.” kata Diva, “Aku adalah orang yang membangunkanmu, dan mulai hari ini, turutilah semua perintahku.”
“Atas dasar apa aku harus menurutimu?”
“Lihat di sana.”
Diva menunjuk kearah Runa yang tertidur. Orang itu menoleh kearah yang ditunjuk Diva dan mengerutkan kening. Ia berjalan menghampiri tempat tidur dan tertegun melihat Runa.
 “Dia adalah kakakmu, namanya Hanae Runa. Sekarang dia dalam keadaan koma dan kemungkinan tidak akan sadar sampai waktu yang cukup lama.” ujar Diva.
“Kakak…?”
“Ya. Kau lahir dari DNA-nya, itu artinya dia adalah kakakmu. Dengan kata lain, kau adalah adiknya.” Kata Diva.
“Kenapa dia dalam keadaan koma?”
“Katakanlah, dia terkena jebakan oleh seseorang dan dia berakhir seperti ini.”
“Siapa yang berani menjebaknya?”
“Seseorang bernama Kujo Rei.” kata Diva, “Dan dia adalah orang yang harus kau bunuh.”
“Bunuh?”
“Kau tidak ingin membalas dendam padanya karena membuat kakak yang baru pertama kali kau temui menjadi seperti ini?” kata Diva sambil tersenyum, “Kujo Rei-lah yang membuat kakakmu seperti ini.”
Orang itu menatap Runa lekat-lekat. Kedua tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya.
“Aku bisa membantumu membalaskan dendam pada orang yang sudah membuat kakakmu dalam keadaan koma. Asalkan kau mau menuruti perintahku dan melakukan apa pun yang kuminta.”
“Apa aku punya pilihan?”
“Kau punya dua pilihan, menurutiku atau kakakmu tidak akan selamat.”
Orang itu menghela nafas dan mengangguk pelan, “Aku akan mengikutimu, asalkan kau bisa menyembuhkan kakakku.” Katanya.
“Pilihan yang bijaksana.” Diva tersenyum, “Mulai sekarang namamu adalah Ayano, dan kau akan kulatih agar bisa membalaskan dendam pada orang bernama Kujo Rei itu.”


To be continued


[1] Kalau begitu, sampai bertemu lagi, Kujo Rei-kun.

0 komentar:

Posting Komentar