Rei’s Side
Pagi ini aku berencana untuk pergi ke markas.
Aku ingin menanyai sesuatu pada Shion, dan mungkin juga Komandan. Karena
beliau, kan ibu kandungnya. Mungkin beliau mengetahui sesuatu tentang kesehatan
Runa dan penyakit sindromnya itu.
Aku meninggalkan Runa di rumah
sakit sendirian. Untungnya ketika aku terbangun, dia masih tidur dan
kelihatannya akan tertidur sampai siang, karena menurut dokter, dia harus
banyak beristirahat dan tidak boleh meninggalkan tempat tidur walau hanya
sebentar. Dan untuk jaga-jaga kalau dia terbangun, aku sudah berpesan pada
perawat yang tadi berkunjung ke kamarnya untuk menungguinya sampai dia
terbangun dan mengatakan kalau aku ada urusan untuk pagi ini.
Aku berjalan keluar dari lift dan
menuju pintu apartemenku. Ketika aku akan mengeluarkan kunci apartemenku, aku
baru menyadari kalau pintu apartemenku sedikit terbuka.
“Siapa yang bertamu pagi-pagi
begini?” gumamku sambil memperhatikan pintu apartemenku yang terbuka.
Hanya ada dua orang yang memiliki
kartu kunci cadangan apartemenku, Leia dan Runa. Tapi Runa, kan ada di rumah
sakit. Berarti Leia yang bertamu pagi ini. Leia selalu saja datang tanpa
permisi ke apartemenku, padahal aku sudah menyuruhnya untuk menghubungiku dulu
kalau ingin datang.
Aku menghembuskan nafas dan membuka
pintu, menyalakan lampu, dan berjalan masuk ke ruang tamu.
“Leia, kamu yang membuka pintu
apartemen—”
Aliran kata-kataku terhenti ketika
aku melihat seorang wanita berambut panjang sebahu berwarna mahoni tengah duduk
di sofa ruang tamuku sambil menyilangkan dada di depan dadanya. Sebuah kacamata
tipis menghiasi wajahnya dan pakaiannya tampak seperti… seorang dokter, serba
putih, terutama jas panjangnya. Tapi, alih-alih seperti dokter, dia tampak
seperti ilmuwan muda.
Wanita itu mendongak ketika
mendengar suaraku dan tersenyum manis. Rasa kaget melandaku ketika aku melihat
warna bola matanya mirip dengan Runa. Tapi, wanita ini adalah orang asing, dan
dia bisa masuk dengan mudah ke dalam apartemenku.
“Kau pasti Kujo Rei. Benar, kan?”
katanya menatapku dari atas sampai bawah. “Hmm… seperti yang sudah kuduga.”
“Siapa kau? Bagaimana kau bisa
masuk ke sini?” tanyaku waspada.
“Apa kau memang selalu waspada
seperti itu? Tenang saja, aku tidak berniat untuk membunuhmu, jika itu yang kau
pikirkan.”
Aku diam dan terus memandangnya.
Wanita itu mengangkat cangkir teh di atas meja dan meminum isinya perlahan.
“Harus kuakui, kau memperlakukan
boneka kesayanganku dengan cukup baik.” katanya, “Fuyuki pasti senang bertemu
dengan teman masa kecilnya lagi.”
Mendengar nama Fuyuki, nama yang
kata Runa diberikan oleh Clematis padanya, aku langsung bisa menebak siapa
wanita yang ada di hadapanku ini.
“Kau… Profesor Diva?”
“Kau dapat nilai seratus. Benar,
aku adalah Diva.” Kata wanita itu sambil tersenyum, “Dan aku berniat mengatakan
padamu kalau waktumu untuk menangani Fuyuki sudah habis. Aku akan mengambilnya
kembali.”
“Apa maksudmu?”
“Aku sudah bilang padamu, aku ingin
mengambilnya kembali. Fuyuki adalah milikku.”
“Namanya bukan Fuyuki, tapi Hanae
Runa.” ujarku, “Dan mengenai ucapanmu barusan, langkahi dulu mayatku jika ingin
mengambilnya.”
Dia mengerjapkan matanya beberapa
kali sebelum akhirnya menyemburkan tawa keras.
“Ahahaha… sudah kuduga kau akan
mengatakan itu, Hero-kun. Kurasa itu
panggilan Fuyuki untukmu, iya, kan?”
Dari mana dia tahu tentang hal itu?
Diva berdiri dan berjalan kearahku.
Dan aku baru sadar, tingginya hampir menyamai tinggiku yang mencapai 185 senti.
Apa? Aku memang punya tinggi badan
yang terlalu ‘tinggi’ dan aku sering disangka lebih tua dari usiaku yang
sebenarnya.
Tapi, tunggu. Ini bukan saatnya
membahas hal itu.
“Aku tidak tahu apa hubunganmu
dengan Fuyuki, tapi aku ingin mempertegas bahwa dia adalah milikku. Aku yang
mengasuhnya sejak dia berusia 8 tahun.” Katanya, “Aku memperlakukannya dengan
baik, sampai dia membangkang dariku.”
“Kau membuatnya menjadi Claydoll.” Kataku.
“Dan dia memang Claydoll yang luar biasa. Sayangnya dia
memiliki kecacatan yang fatal.” Diva berbicara seolah-olah hal itu adalah hal
yang biasa. “Aku berniat memperbaikinya, tapi dia keburu kabur dan sampai
sebulan tidak kembali padaku.”
Diva menatap kearahku, kali ini
tatapannya tampak menuduh dan dingin.
“Sebenarnya bisa saja aku
membunuhmu sekarang, tapi toh, tidak akan ada gunanya. Kau termasuk pion
penting agar rencanaku berhasil.”
“Pion?”
Diva tersenyum dengan sebelah bibir
dan berjalan melewatiku.
“Ah, aku lupa mengatakan padamu,
saat kita berbicara sekarang ini, orang-orangku sudah menjemput Fuyuki di rumah
sakit tempat dia dirawat.” Katanya, membuatku terkejut. “Aku sudah mengatakan
padamu, aku akan mengambil kembali Fuyuki, dan aku benar-benar serius
melakukannya.”
“Kau mungkin melihatku seperti
seorang ilmuwan biasa, tapi ketahuilah, aku yang paling tahu apa yang terjadi
di Edenia dan semua hal yang berhubungan dengan terciptanya Raven dan Clematis,
hingga kita saling bermusuhan. Maksudku, sesuatu yang sesungguhnya terjadi
diantara kedua organisasi kita.”
“Apa maksudmu?”
“Kau akan tahu nanti, Kujo Rei.
Saat ini aku tidak ingin mengatakannya.”
“Kau tidak bisa membawa Runa
pergi!”
“Aku bisa. Dan aku sedang
melakukannya sekarang.” katanya tenang, “Silakan kalau kau ingin mencegahku,
tapi kutegaskan, aku bisa menghentikanmu bahkan hanya dengan satu kedipan
mata.”
Aku menatapnya tajam, dan mencoba
menggapai tangannya.
Tapi yang kudapatkan adalah sebuah
tendangan tepat di ulu hatiku dan membuatku terlempar ke dinding. Aku yakin aku
mendengar suara tulang yang patah di dalam tubuhku, tapi aku tidak tahu tulang
bagian tubuhku yang mana yang patah.
Yang jelas, seluruh tubuhku
benar-benar kesakitan. Aku harus menunggu beberapa saat sebelum tubuhku
beregenerasi untuk menyembuhkan luka dan juga tulangku yang patah. Salah satu
keuntungan yang kudapat setelah DNA-ku dimodifikasi.
“Aku sudah bilang, aku bisa
menghentikanmu dengan mudah.” Kata Diva sambil berdiri di hadapanku. “Aku tidak
bisa dikalahkan oleh siapa pun. Tidak juga oleh Komandan kalian yang bernama
Hanae Alice itu.”
“Ah… ngomong-ngomong soal itu, aku
ingin kau menjadi pengantar pesanku untuk wanita picik itu.”
Diva berlutut di depanku dan
mengangkat wajahku yang menunduk. Matanya menatap lurus padaku.
“Sampaikan pada Hanae Alice,
malaikat kematiannya akan datang untuk mencabut nyawanya, kalau dia tidak ingin
putrinya benar-benar kubunuh kali ini.”
Dia menyentak kepalaku dan berdiri,
“Sepertinya aku sudah terlalu lama di sini. Kuharap kau menyampaikan pesanku
tadi pada Hanae Alice.” Katanya, “Sore de
ha, mata aimashou ne, Kujo Rei-kun.[1]”
Aku menatapnya berjalan pergi
meninggalkan aparetemenku. Aku menghembuskan nafas dan berusaha berdiri.
Aku tidak mungkin berdiam diri di
sini saja. Aku harus cepat-cepat ke rumah sakit, atau wanita itu benar-benar
akan membawa Runa pergi.
Aku menghampiri sabuk senjataku dan
segera mengenakannya. Masih tertatih-tatih, aku menggapai pintu apartemen tepat
ketika ponselku berbunyi. Kurogoh saku celanaku dan mengeluarkan benda kecil
itu. Nama Leia tertera di layar ponsel.
“Di sini Rei,”
“Rei, segera pergi ke rumah sakit yang terletak di pusat Distrik Tiga.
Ada penyerangan Clematis di sana.” kata Leia di seberang telepon, “Aku dan yang lain sedang dalam perjalanan ke
sana.”
“Baik. Aku memang ingin pergi ke
sana.” kataku sambil menutup telepon.
Setelah menghela nafas beberapa
kali, aku berjalan keluar apartemen. Dan kali ini, mau tidak mau aku harus
menggunakan kemampuanku yang sebenarnya untuk sampai di rumah sakit itu tepat
waktu.
***
Runa’s Side
Aku baru saja terbangun dari tidur ketika aku
mendengar suara gaduh dari luar ruangan tempatku dirawat. Aku berusaha duduk
dan mencoba bangkit dari tempat tidur ketika pintu dibuka tiba-tiba dan
membuatku tersentak kaget.
Namun, aku lebih terkejut ketika
aku melihat orang-orang yang sering kulihat di Clematis memasuki ruangan
tempatku berada bersama dengan Profesor Diva di belakang mereka.
“P, Profesor… Diva…”
“Hai, Fuyuki sayang. Kulihat kamu
sedikit pucat. Tubuhmu kesakitan, kan?” katanya sambil tersenyum padaku,
“Anak-anak, lakukan.”
Orang-orang di sekitarnya berjalan
kearahku dan mereka mencabut semua kabel yang terhubung dengan tubuhku. Aku
meringis kesakitan ketika merasakan jarum-jarum yang ditancapkan ke kulitku
dicabut paksa.
“A, apa yang akan kalian lakukan
padaku?”
“Membawamu pulang, tentu saja.”
kata Profesor Diva, “Kau sudah terlalu lama bermain-main, Fuyuki. Dan sekarang
adalah waktunya kau pulang.”
“Aku tidak mau kembali ke tempat
itu! Aku benci tempat itu!” kataku, mendorong salah seornag diantara mereka
yang hendak menjangkauku. “Menjauh dariku!!”
“Aduh, aduh, Fuyuki… kamu tidak
perlu memberontak seperti itu.”
Aku tersentak kaget melihat
Profesor Diva sudah berdiri tepat di sampingku. Aku mengambil pisau yang
digunakan perawat untuk memotongkan buah untukku dan mencoba menyerangnya.
Namun tangannya lebih dulu
menyentuh tengkukku dan menotok urat sarafku. Tubuhku langsung lemas dan jatuh
di atas tempat tidur. Tapi aku masih sadar. Totokan itu hanya membuat tubuhku
tidak bisa bergerak.
“Begini lebih baik. Segera bawa dia
dan kita pergi dari sini.”
Aku menatap Profesor Diva yang
dengan tatapan benci sementara tubuhku dibopong oleh salah seorang suruhannya.
Aku tidak bisa melawan karena tubuhku tidak bisa digerakkan, selain itu, aku
juga tidak bisa berbicar dengan baik.
“Aku… aku akan… membunuhmu…”
kataku, “Aku akan… membunuhmu…”
Professor Diva menoleh kearahku
dengan senyum yang biasa dia tunjukkan padaku. Senyuman yang meremehkan.”
“Kau ingin mencoba membunuhku?
Bergerak pun kau tidak bisa.” Katanya, “Dan juga, kekasihmu sudah kuurus, jadi
tidak akan ada yang mengganggu.”
Rei? Apa yang dilakukan Profesor
Diva pada Rei?
“Sayang sekali dia sudah menjadi
seorang Raven. Kalau tahu dia punya potensi untuk kujadikan Claydoll sama sepertimu…” dia tertawa,
“… tapi, sepertinya aku tidak memerlukannya. Kau pion yang lebih sempurna.”
Aku tidak mengerti apa yang dikatakannya.
Tapi mendengarnya menyebut Rei dan berniat menjadikannya Claydoll… tidak. Aku tidak mau membayangkan Rei mati di tangan
Profesor Diva. Aku tidak mau Rei kenapa-kenapa.
“Ayo, kita pergi dari sini,
anak-anak.”
Mereka membawaku pergi dari ruangan
tempatku dirawat dan berjalan keluar dari rumah sakit, yang entah sejak kapan
terbakar dan semua orang di sana tergeletak di lantai dengan darah di sekujur
tubuh mereka. Ini sama seperti dalam ingatan masa kecilku yang baru-baru ini
kuingat. Kota yang terbakar, orang-orang yang mati bersimbah darah, dan… aku
dibawa pergi ketika berusaha melarikan diri bersama Rei.
Kutatap Profesor Diva yang berjalan
di depan. Aku ingat sekarang. Aku pernah melihat Profesor Diva di kota di mana
aku tinggal dulu diserang. Dialah yang memerintahkan orang-orang itu untuk
menculikku dan kemudian membawaku ke Clematis. Dialah yang melukai Rei. Aku
ingat dia yang menyerang Rei yang berusaha menggapaiku.
Dan aku mengingat semuanya.
Langkah Profesor Diva dan orang
yang membawaku terhenti. Aku tidak tahu apa yang membuat mereka berhenti, tapi
kemudian aku mendengar suara Profesor Diva mengeluh sambil menggeleng-gelengkan
kepalanya.
“Ah… lagi-lagi kau, burung yang
benar-benar menyusahkan.”
Aku mengerutkan kening mendengar
ucapannya. Tapi kemudian, aku mendengar suara yang sangat kukenal berbicara
pada Profesor Diva.
“Jangan harap aku akan menyerahkan
Runa begitu saja. Sudah kubilang, langkahi dulu mayatku jika kau ingin
membawanya!”
Itu suara Rei.
***
Rei’s Side
Dengan kecepatan lariku yang lebih dari ratusan
kilometer per jam, aku bisa dengan cepat sampai di rumah sakit tempat Runa
dirawat, dan… harus mencoba menahan kemarahanku ketika aku melihat rumah sakit
itu sudah terbakar, dan aku bisa mencium bau asap dan darah yang bercampur di
udara. Leia dan yang lain belum datang, sepertinya. Karena aku tidak merasakan
satu pun tanda-tanda keberadaan teman-temanku di sini.
Kucabut katana-ku dari sarungnya
dan berjalan kearah rumah sakit. Pintunya bahkan sudah hancur dan banyak
pecahan kaca berserakan di sana. Samar-samar aku juga melihat mayat-mayat yang
tergeletak di lantai dengan darah di sekujur tubuh mereka.
Sial. Ini sama seperti kejadian
sepuluh tahun yang lalu.
Kemudian aku melihat siluet
beberapa orang berjalan kearah pintu. Aku dengan mudah mengenali salah satu
siluet itu sebagai wanita itu, Profesor Diva.
Ia berjalan di depan orang-orang
yang berpakaian panjang dan berwarna hitam, hampir mirip seperti mantel
bertudung. Kulihat salah satu diantara orang-orang itu membawa Runa.
Diva berhenti tepat lima meter di
hadapanku. Dia menatapku sebentar kemudian menggeleng-gelengkan kepalanya
dengan ekspresi malas.
“Ah… lagi-lagi kau, burung yang
menyusahkan.”
“Jangan harap aku akan menyerahkan
Runa begitu saja. Sudah kubilang, langkahi dulu mayatku jika kau ingin
membawanya!” kataku sambil mengacungkan katana-ku padanya.
“Kau mau melawanku? Bukankah kau
sudah melihat sendiri seperti apa kekuatanku?”
“Kau sendiri belum melihat
kekuatanku yang sebenarnya.” aku membalas, “Aku tidak akan membiarkanmu membawa
Runa.”
“Coba saja hentikan aku.” katanya
santai, “Serang aku dari arah mana saja, aku akan menerimanya dengan senang
hati.”
Oke. Dia ternyata wanita yang cukup
sombong, hanya karena dia berhasil menendang dan membuatku terluka barusan,
bukan berarti dia bisa menghindari seranganku nanti.
“Kalau kau tidak menyerang juga,
biar aku saja yang menyerangmu duluan.”
Dia baru mengatakannya beberapa
detik yang lalu, dan tahu-tahu saja dia sudah ada di hadapanku. Aku menangkis
tendangannya yang mengarah ke dadaku dan terkejut merasakan tanganku bergetar
saking kuatnya tendangannya.
“Hmm… tidak termakan tipuan yang
sama, ya?” katanya, “Tapi, bagaimana dengan yang ini!?”
Dia kembali bergerak dan kali ini
sasarannya adalah kepalaku. Tapi, aku dengan cepat bisa mengantisipasinya.
Kuayunkan pedangku kearahnya, menyerang balik.
Selama aku mengayunkan pedangku,
aku menganalisis kekuatan dan keadaan seperti apa yang kuhadapi sekarang.
Diva ternyata tidak hanya kuat,
tapi juga memiliki kecepatan seperti layaknya Raven yang DNA-nya sudah
dimutasi. Namun, dia terasa jauh lebih kuat. Dari setiap tendangan yang
berhasil kutangkis dengan katana-ku, aku bisa merasakan kekuatannya yang sangat
besar, lebih besar dari Komandan yang kutahu jauh lebih kuat dibanding manusia
lain di Edenia.
“Jangan hanya bertahan, Kujo Rei!
Ayo serang aku!”
“Kalau itu maumu,”
Aku mengambil pistolku dan menembak
kearahnya. Selagi dia menghindari tembakanku, aku menggunakan kesempatan itu
untuk mendekatinya dan menyerangnya lagi.
“Terlalu lambat.” Katanya.
Dan tahu-tahu saja aku merasakan
sengatan rasa sakit di pipiku. Aku mundur beberapa langkah dan menyentuh
wajahku, ada darah di sana.
“Kukira aku terlalu memandang remeh
dirimu.” Kata Diva sambil mengayun-ayunkan pisau kecil di tangannya, “Kekuatanmu
hampir setara diriku. Katakan, apa kamu yakin hanya DNA-mu saja yang
dimodifikasi?”
“Aku tidak perlu menjawab hal itu
pada orang sepertimu.” Balasku.
“Ah… aku tahu… kamu adalah putra
orang itu.” katanya sambil tersenyum, “Orang yang mencetuskan proyek RE pertama kali.”
“Proyek RE?”
“Kau tidak tahu proyek itu? Ah, ya
benar juga… proyek itu, kan proyek paling rahasia yang ada di Edenia. Tentu
saja kau tidak tahu, bahkan jika kau adalah anggota tertinggi Raven sekalipun.”
Ujarnya lagi, “Hei, apa kau menerima kekuatanmu itu dari hasil proyek itu?
Jangan-jangan karena itulah kedua orangtuamu disangka mata-mata Clematis saat
mereka dibunuh?”
Aku terkejut ketika dia tahu apa
yang terjadi pada kedua orangtuaku. Dari mana dia mendapatkan informasi itu?
“Wajahmu seperti menanyakan padaku
bagaimana aku bisa tahu tentang hal itu.” dia tertawa, “Sudah kubilang aku
mengetahui apa yang terjadi di Edenia, termasuk hal kecil seperti kematian
kedua orangtuamu.”
“Aku tidak mengerti apa maksudmu,”
kataku mencoba tenang, “tapi aku akan menghentikanmu di sini sekarang juga,
kalau perlu aku akan membunuhmu.”
“Wow… apa kau berani? Melawan
seorang wanita… apa itu adalah sikap seorang gentleman?” dia tertawa lagi.
“Aku tidak perlu bersikap seperti gentleman pada pembunuh seperti kalian.”
kataku.
“Kalau kau menyebutku pembunuh,
berarti Fuyuki yang kau sebut sebagai Runa itu juga pembunuh, kan?”
“Itu…”
Aku menatap kearah Runa yang
dibopong dan melihat matanya menatap kearahku. Aku tahu dari tatapan matanya
dia meminta tolong padaku. Aku tidak tahu apa yang dilakukan Diva pada Runa
sampai dia tidak bisa berbicara bahkan bergerak sama sekali.
“Kenapa kau tidak menjawab? Ah… apa
berarti apa yang kukatakan benar? Kau juga menganggap Fuyuki pembunuh, kan?”
kata Diva, lalu menoleh ke balik bahunya, “Kau dengar itu, Fuyuki, dia
menganggapmu pembunuh.”
“Diam kau!” kataku, “Kau yang
membuatnya menjadi pembunuh, dan aku tidak akan pernah memaafkanmu karena
memanfaatkan manusia untuk dijadikan mesin pembunuh.”
“Kau tidak bisa memaafkanku… atau tidak
bisa memaafkan dirimu sendiri karena tidak bisa menolongnya ketika aku
memisahkan kalian sepuluh tahun lalu?”
“Apa?”
“Kau mungkin lupa, Kujo Rei, tapi
akulah yang memisahkan kalian berdua sepuluh tahun yang lalu.” Diva tersenyum
dengan sebelah bibir, “Aku yang menyerang kalian berdua dan membuatmu terluka.
Sebenarnya aku ingin membunuhmu sekalian waktu itu, karena kudengar kau adalah
percobaan sukses dari proyek yang diusung orangtuamu.”
“Aku… percobaan sukses?”
“Ups. Kurasa aku sudah berbicara
terlalu banyak. Lebih baik kita akhiri saja pertarungan ini.”
Diva tiba-tiba saja menyerangku.
Aku yang belum siap menerima serangannya mendapat serangan telak di dadaku, dan
kali ini dia tidak hanya menyerang dengan satu serangan. Pisau di tangannya
juga ikut beraksi dan menyerangku di beberapa titik vital. Tubuhku mulai goyah
karena mendapat serangan bertubi-tubi darinya. Aku jatuh terduduk ke tanah,
namun aku berpegangan pada katana-ku sehingga aku tidak jatuh pingsan.
“Sepertinya kau sudah mulai
kepayahan, ya?” Diva berdiri di hadapanku sambil memainkan pisau di tangannya.
“Ini akan menjadi senjata yang akan mengakhiri nyawamu sekarang. Ada kata
terakhir, Kujo Rei?”
Aku menatapnya tajam dan tidak
mengatakan apa-apa.
“Rei!!”
Aku mendengar suara Runa dan
melihatnya menatapku.
“Run—”
“Kau melihat ke mana?”
Diva yang berdiri di hadapanku menancapkan
pisaunya…
… tepat di dadaku.
“Agh!!”
Aku menahan rasa sakit yang
kurasakan dari bilah dingin yang menembus tubuhku itu dan menatap Diva dengan
tatapan membunuh.
“Kurasa jika aku menusukmu di sini,
kau tidak akan mati, kan?” bisik Diva, “Oh, mungkin saja kau mati… kalau saja
kau itu manusia biasa.”
“Kau…”
“Bagaimana kalau begini, aku akan
membiarkanmu hidup asalkan kau mengikutiku. Dan aku akan membiarkanmu bermain
dengan Fuyuki.” Katanya.
“Mati pun aku tidak akan sudi
mengikutimu!”
“Oh, begitu ya? Baiklah…”
Dia mencabut pisau itu dan
membuatku mengerang kesakitan. Darah menyembur keluar dari luka di dadaku, dan
kali ini, aku benar-benar tersungkur di tanah.
“Bersyukurlah aku tidak mengenai
titik vital di dadamu, Kujo Rei.” ujar Diva sambil menggunakan kakinya untuk
menendangku. “Aku masih berbaik hati untuk membiarkanmu hidup. Lagipula, kau
belum memberikan pesanku pada Hanae Alice.”
“Kau… aku bersumpah, aku akan
membunuhmu!”
“Kata-katamu sama seperti Fuyuki
saja. Ah, ya… mengingat kalian dibesarkan dalam lingkungan yang sama, sudah
sewajarnya kalian memiliki kesamaan.” Ujarnya, “Aku akan membiarkanmu hidup,
untuk kali ini. Namun, jangan lupa, siapa yang sudah berjasa membiarkanmu hidup
hari ini.”
Dia menyentak kakinya kearah lukaku
dan kemudian berbalik.
“Anak-anak, ayo kita pergi dari
sini!!”
Aku mencoba menggapai kakinya,
namun jaraknya terlalu jauh. Aku melihat mereka berjalan pergi melewatiku dan
ketika orang yang membopong Runa lewat di hadapanku, aku melihat sebelah tangan
Runa yang terkulai, tepat ketika cincin yang melingkar di jarinya jatuh di
hadapanku.
“Ru… na…”
Aku berusaha bangun, namun tubuhku
seakan-akan menolak. Nafasku tersengal-sengal, dan rasa sakit dari luka-luka di
sekujur tubuhku cukup untuk membuat kesadaranku ditelan oleh kegelapan.
EPILOGUE
Leia menatap rumah sakit di hadapannya dengan
ngeri. Tempat itu sudah hangus terbakar, dan dia yakin mayat-mayat yang ada di
sana juga bernasib sama. Padahal mereka sudah berusaha untuk sampai tepat
waktu, tapi sepertinya semua sia-sia.
“Sial. Sepertinya kita sudah
terlambat.” Kata Leon yang berdiri di sebelahnya.
“Kuharap masih ada korban yang
selamat.” Ujar Leia, “Alex, pimpin timmu menangani api yang masih menyala, aku
dan Leon akan mencari apakah masih ada korban yang selamat.”
“Baiklah,” Alex mengangguk, “Kalian
dengar itu? Cepat ambil slang air dan siram api itu!”
“Leon, ayo kita periksa tempat
ini—”
Kata- kata Leia terhenti ketika dia
melihat siluet tubuh yang dikenalnya tergeletak di dekat pintu masuk rumah
sakit. Dia memicingkan matanya dan terkejut ketika menyadari itu adalah Rei.
“Ya Tuhan, itu Rei!”
“Apa?”
Leia berlari kearah Rei yang
terbujur kaku di atas tanah dan melihat tubuh pemuda itu bersimbah darah. Dia
berjongkok dan memeriksa keadaan Rei dan denyut nadi pemuda itu. Ia menarik
nafas lega ketika menemukan denyut nadi Rei masih ada. Namun, dia tidak bisa
sepenuhnya merasa lega karena Rei kehilangan banyak darah. Wajah pemuda itu
tampak pucat dan nafasnya terputus-putus.
“Apa yang terjadi pada Rei, Leia?”
tanya Leon yang berdiri di belakangnya.
“Leon, panggil tim medis
secepatnya! Kita harus segera membawa Rei ke markas.” Kata Leia, “Dia
kehilangan banyak darah, dan kurasa ada beberapa tulangnya yang patah.”
“Aku mengerti,” Leon berbalik dan
berteriak memanggil tim medis untuk segera ke tempat mereka.
Leia mencoba membersihkan darah
yang ada di wajah Rei ketika dia melihat sebentuk cincin di samping pemuda itu.
Ia memungut cincin itu dan mengerutkan kening melihatnya.
Cincin
siapa ini? tanyanya dalam
hati, Apa ini milik Rei?
“… na…”
Leia menoleh kearah Rei dan melihat
kedua mata pemuda itu terbuka sedikit.
“… Ru… na…”
“Rei, bertahanlah. Tim medis akan
segera membawamu ke markas.” Kata Leia, “Selebihnya di sini biar kami yang
mengurus. Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Dia… wanita itu…” Rei mencoba
berbicara, “… dia membawa Runa… lagi…”
“Runa-chan? Di mana dia?”
“… dia… dia membawa… Runa…” Rei
menghembuskan nafas, “… aku akan… membunuhnya… wanita itu…”
Leia tidak mengerti siapa yang
dimaksud Rei, namun ketika dia menyesapi benar-benar maksud ucapan Rei, kedua
matanya membelalak.
“Apa maksudmu… Diva yang melakukan
ini?” tanyanya.
***
Di waktu yang sama, Diva sedang menatap layar
besar di hadapannya. Di sampingnya terdapat sebuah tempat tidur yang terhubung
dengan sebuah tabung inkubator besar yang ada di sisi lain ruangan tempatnya
berada sekarang.
“Sedikit lagi…” katanya sambil
melirik kearah tempat tidur di mana tubuh Runa terbaring dan kedua matanya
terpejam.
Setelah dengan sukses membawa Runa
pergi, Diva langsung menyuntikkan obat tidur ke tubuh gadis itu agar ketika
totokannya terbuka, Runa tidak akan berontak dan mencoba kabur. Diva terpaksa
menambah dosis obat tidur yang ia suntikkan karena ternyata Runa tidak bisa
ditaklukkan dengan dosis obat tidur yang biasa dia suntikkan.
Perkembangan
dan daya tahan tubuhnya mengalami kemajuan. Sayangnya masih saja dibarengi
dengan kecacatan yang benar-benar merepotkan.
Katanya dalam hati.
Diva kemudian berdiri dan
menghampiri tempat tidur Runa. Dipandanginya wajah gadis itu lekat-lekat.
Sebelah tangannya menyentuh ujung rambut Runa dan menghela nafas.
Bunyi dari komputer yang
menunjukkan apa yang tadi dikerjakannya sudah selesai, menarik perhatian Diva.
Ia kembali ke meja komputernya dan mengetikkan beberapa kata perintah.
Access
code accepted
Trying
to connected to the subject
Diva menatap inkubator di sisi lain
ruangan dan melihat benda itu menyala dengan warna kebiruan lemah. Di dalam
inkubator itu samar-samar terlihat sosok seseorang yang tengah terpejam
matanya. Kedua tangannya tampak menyilang, menutupi tubuh bagian atasnya yang
tidak mengenakan sehelai benang pun dan posisi tubuhnya tampak seperti dia
sedang duduk di atas kursi. Pada wajah orang itu terpasang sebuah masker
oksigen yang membantunya bernafas di dalam air yang memenuh inkubator tersebut.
Komputernya kembali berbunyi, dan
Diva tersenyum puas melihat dialog box
yang terpampang di layarnya.
The
progress are completed. Awaken the subject.
Inkubator di sisi ruangan kini
menyala dengan warna merah terang diiringi dengan suara alarm yang bergema
nyaring di seluruh ruangan. Diva melangkah mendekati inkubator itu dan
mengetikkan beberapa kata kunci pada panel yang ada di dekat benda tersebut.
Air yang semula memenuhi inkubator menyusut secara perlahan bersamaan dengan
terbukanya kedua mata orang itu, menampakkan bola mata berwarna merah seperti
darah. Setelah semua air itu hilang, kaca yang menyelubungi inkubator itu
menyusut ke dalam besi di bawah kaki orang itu, yang berdiri dan kini menatap
Diva dengan tatapan datar.
“Buka masker itu,” kata Diva.
Orang itu membuka masker yang
menutupi wajahnya dan mengibaskan rambutnya yang panjang. Dia melompat turun
dari besi inkubator dan berdiri di hadapan Diva, yang melepas jasnya dan
memakaikannya pada orang itu.
Diva memeriksa setiap bagian tubuh
orang itu dan tersenyum melihat tidak ada kecacatan sedikit pun di sana.
“Di mana aku? Siapa kamu?” tanya
orang itu.
“Kamu berada di rumah. Ini adalah
tempatmu tinggal sekarang.” kata Diva, “Aku adalah orang yang membangunkanmu,
dan mulai hari ini, turutilah semua perintahku.”
“Atas dasar apa aku harus
menurutimu?”
“Lihat di sana.”
Diva menunjuk kearah Runa yang
tertidur. Orang itu menoleh kearah yang ditunjuk Diva dan mengerutkan kening.
Ia berjalan menghampiri tempat tidur dan tertegun melihat Runa.
“Dia adalah kakakmu, namanya Hanae Runa.
Sekarang dia dalam keadaan koma dan kemungkinan tidak akan sadar sampai waktu
yang cukup lama.” ujar Diva.
“Kakak…?”
“Ya. Kau lahir dari DNA-nya, itu
artinya dia adalah kakakmu. Dengan kata lain, kau adalah adiknya.” Kata Diva.
“Kenapa dia dalam keadaan koma?”
“Katakanlah, dia terkena jebakan
oleh seseorang dan dia berakhir seperti ini.”
“Siapa yang berani menjebaknya?”
“Seseorang bernama Kujo Rei.” kata
Diva, “Dan dia adalah orang yang harus kau bunuh.”
“Bunuh?”
“Kau tidak ingin membalas dendam
padanya karena membuat kakak yang baru pertama kali kau temui menjadi seperti
ini?” kata Diva sambil tersenyum, “Kujo Rei-lah yang membuat kakakmu seperti
ini.”
Orang itu menatap Runa lekat-lekat.
Kedua tangannya terkepal di kedua sisi tubuhnya.
“Aku bisa membantumu membalaskan
dendam pada orang yang sudah membuat kakakmu dalam keadaan koma. Asalkan kau
mau menuruti perintahku dan melakukan apa pun yang kuminta.”
“Apa aku punya pilihan?”
“Kau punya dua pilihan, menurutiku
atau kakakmu tidak akan selamat.”
Orang itu menghela nafas dan
mengangguk pelan, “Aku akan mengikutimu, asalkan kau bisa menyembuhkan
kakakku.” Katanya.
“Pilihan yang bijaksana.” Diva
tersenyum, “Mulai sekarang namamu adalah Ayano, dan kau akan kulatih agar bisa
membalaskan dendam pada orang bernama Kujo Rei itu.”
To be
continued
0 komentar:
Posting Komentar