Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Unmei Gokko - Chapter 4



Malam akhirnya datang, begitu juga dengan permainan Shigi, yang kembali dimulai.
Sakura mengikat obi hitam yang biasa dipakainya dan mengikat rambutnya ke belakang. Gadis itu mengenakan stocking-nya. Suasana hutan  malam ini sedikit berbeda karena burung hantu tidak bersuara seperti biasanya. Justru suara hujan turun yang mendominasi suasana hutan.

Tapi permainan Shigi tidak pernah tertunda walaupun saat itu hujan badai sekalipun. Shigi adalah permainan yang tidak mengenal istilah penundaan, dan setiap malam, setiap pukul 10 malam, permainan yang mempertaruhkan nyawa dan kebebasan hidup itu dimulai.
Sakura meletakkan sai di kedua sisi pinggangnya dan berjalan melewati ruang tamu. Dia sempat berhenti sejenak dan melihat kearah bingkai foto yang terletak di atas meja di sisi sofa.
Dia menghampiri meja itu dan menyentuh bingkai foto yang memuat foto seorang wanita berparas cantik, dengan rambut digelung ke belakang dan mengenakan kimono bersulam gambar kupu-kupu biru.
Lama gadis itu menatap foto itu sebelum akhirnya berdiri.
“Aku berangkat dulu.” Kata Sakura sambil tersenyum.
Gadis itu lalu berjalan pergi dan keluar dari rumahnya menembusa hujan lebat yang turun membasahi hutan.

***

Sakura melompati satu dahan pohon ke dahan pohon yang lain. Hutan tempatnya tinggal menjadi sedikit buram dalam pandangannya karena hujan lebat yang turun. Tapi, Sakura sudah terbiasa. Sejak sepuluh tahun yang lalu, dia sudah mengenal seluruh medan hutan di kota ini dan dia menganggap hutan sebagai rumahnya yang paling aman dan tersembunyi.
Namun bukan berarti dia sudah menjadi manusia hutan seperti tarzan. Justru sebaliknya, sebagai seorang Miko, dia mengetahui hampir semua perkembangan yang terjadi di sekitarnya. Untuk hal ini dia harus berterima kasih pada kekuatan Sacrel yang dipunyainya karena kekuatan itu tidak hanya sebagai kekuatan suci bagi seorang Miko, tetapi juga menjadi kemampuan dasarnya untuk beradaptasi dengan lingkungan.
Sakura akhirnya sampai di gedung yang cukup dekat dengan hutan dan melompati dindingnya. Tidak sulit dengan kemampuan fisiknya yang sudah terlatih sejak kecil. Gadis itu bisa dengan mudah melompati dinding hingga mencapai atap gedung tersebut. Pandangannya terarah pada kota yang tampak gelap dan menyatu dengan kegelapan malam.
“Sudah kuduga kamu akan kemari.”
Sakura menoleh dan melihat Minato berdiri di dekat menara air. Pemuda itu memakai pakaian serba hitam yang nyaris sama seperti dirinya.
“Sejak kapan kamu ada di situ?” tanya Sakura.
“Baru beberapa menit. Kami akan bertemu dengan Kelompok Shirushi hari ini.” kata Minato, “Dan kutebak kamu berniat membunuh kami, kan?”
“Kamu tahu jawabanku.” Ujar Sakura. “Apa kamu datang duluan untuk menyerahkan diri padaku?”
“Tidak. Kamu ingat perkataanku tadi siang? Aku masih punya banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu.”
“Aku tidak berminat pada pertanyaan yang ingin kamu tanyakan.” Balas Sakura.
“Tapi aku benar-benar didera rasa penasaran, Sakura.”
Minato berjalan mendekat dan berdiri sekitar satu meter di hadapan gadis itu. Minato menunduk menatap mata Sakura yang tampak seperti boneka itu dan mengulurkan tangannya.
“Jangan sentuh aku.” kata Sakura sambil menjauh dari jangkauan tangan Minato. “Aku tidak suka disentuh.”
“Maaf. Aku hanya…”
“Aku tidak berniat menjawab pertanyaanmu, setelah apa yang kamu lakukan padaku tadi siang.” Ujar Sakura, “Aku tidak akan pernah tertipu lagi untuk kedua kalinya.”
“Aku tidak pernah bermaksud menipumu. Semua yang kukatakan waktu itu benar, termasuk rasa sakit yang kamu rasakan, aku juga merasakannya.”
“Hah. Tidak usah berbicara manis padaku. Semua Senshu sama saja.” kata Sakura, “Mereka tidak tahu apa yang seharusnya dan tidak seharusnya mereka hadapi. Aku membunuh mereka tidak hanya untuk membalaskan dendamku, tapi juga menyelamatkan mereka dari takdir menjadi Senshu.”
“Menyelamatkan?”
“Kamu tidak tahu apa-apa kan, Minato? Alasan kenapa kamu dan semua teman-temanmu menjadi Senshu?” Sakura tertawa hambar, “Kalian tidak pernah dan tidak akan mengetahui kenapa permainan ini dibuat, dan kalian menjadi pion-pion yang bisa digantikan dengan mudah.”
“Ap—tunggu, apa maksudmu?”
Sakura hanya diam dan tidak menjawab. Gadis itu hanya menatap wajah Minato dan terus diam seperti patung.
“Sakura,”
“Kamu tahu, sebenarnya cahaya-cahaya itu memaksaku untuk tidak membunuhmu.” Kata Sakura, “Aku tidak tahu apa alasannya, dan aku tidak peduli. Aku hanya ingin membunuh semua Senshu dan itu termasuk dirimu.”
Sakura mengeluarkan senjatanya dan mengacungkannya tepat di depan wajah Minato. Tatapan gadis itu pun juga berbeda dari yang tadinya datar, menjadi seperti macan betina.
Seperti yang pernah dilihat Minato ketika bertemu pertama kali dengan gadis itu.
“Maaf, Kurogane Minato, tapi kali ini, aku tidak akan main-main.” Ujar Sakura, “Aku akan membunuhmu, berhasil atau tidaknya aku membunuhmu akan ditentukan dalam permainan ini. Iya, kan?”

****

Mayumi memeriksa file yang berhasil didapatnya dari situs resmi Shigi. File itu berisi informasi mengenai Miko yang diminta Minato kemarin malam. Awalnya dia mengira mendapatkan data seorang Miko baru dalam Shigi adalah pekerjaan mudah. Tapi, ternyata data sebeanrnya dari Miko bernama Sakura itu dilindungi oleh berlapis-lapis kode enkripsi yang membuat Mayumi harus menguras otaknya sebisa mungkin untuk memecahkan kode enkripsi file tersebut.
Shigi memang tidak memiliki situs resmi, dulunya, tapi beberapa menit yang lalu, dia mendapat pemberitahuan kalau permainan kematian itu kini memiliki situs resmi. Seolah-olah ingin memperlihatkan pada semua orang siapa saja yang akan mati hari itu. Mayumi tidak habis pikir kenapa Master malah membuat situs resmi untuk permainan tersebut, tapi yang pasti, situs itu membuat pekerjaannya agak ringan karena dia tidak perlu repot-repot meng-hack data komputer utama yang cukup jauh dari sini hanya untuk mendapatkan data yang diinginkan Minato.
Sampai sekarang pun, dia masih berkutat di depan layar komputernya dan menunggu proses pengenkripsian file yang di-downloadnya terbuka. Sesekali dia menyesap kopi hangat yang dibuatnya untuk membantunya tetap terjaga, setidaknya sampai Minato atau salah satu kelompok Phoenix datang ke tempatnya dan melaporkan hasil permainan mereka hari ini.
Ia baru saja akan membuat secangkir kopi untuk kelima kalinya ketika dia melihat file itu berhasil terbuka.
“Akhirnya…” Mayumi mendesah lega dan mengetikkan beberapa kata kunci untuk membuka satu pelindung terakhir dari file tersebut.
Ketika file itu benar-benar terbuka dan Mayumi membacanya, dia tidak bisa berkedip barang sejenak melihat isi file tersebut.
“Apa-apaan… oh Tuhan,” Mayumi menggerakkan kursor di layar ke bawah dan meng-klik sebuah foto yang ada di sana.
Mayumi melihat foto itu lekat-lekat dan semakin terkejut ketika melihat keterangan di bawah foto tersebut.
“Ini… ini tidak mungkin.” Kata Mayumi, lebih pada diri sendiri, “Ini tidak mungkin… foto ini, astaga…”
Foto yang ditampilkan di layar komputernya memperlihatkan seorang wanita berambut hitam panjang yang digelung ke belakang. Wanita itu mengenakan kimono sutra berwarna hitam dan dipeluk oleh dua orang anak laki-laki dan perempuan yang tersenyum kearah kamera. Si anak laki-laki tampak memeluk wanita itu dengan senyum lebar sementara yang anak perempuan tampak lebih pendiam dan manis dengan mata bulat bak boneka. Foto itu diambil di sebuah taman yang dipenuhi pohon bunga Sakura, sepertinya foto itu diambil tepat ketika bunga sakura tengah mekar karena di sekeliling tiga orang dalam foto itu terdapat banyak kelopak bunga sakura yang berjatuhan.
Mata Mayumi tidak lepas dari wajah anak laki-laki dalam foto yang terlihat ceria. Ia lalu membuka foto-foto yang lain, dan semuanya menampilkan tiga orang yang sama. Hanya beberapa foto saja yang memuat si anak laki-laki dan perempuan bersama, dan dalam foto itu pun, si anak laki-laki terlihat ceria, memeluk si anak perempuan sambil tertawa, atau memasangkan mahkota bunga.
“Foto-foto ini tidak mungkin salah. Aku mengenal foto-foto ini.” ujar Mayumi pada dirinya sendiri, “Tapi kenapa foto-foto ini ada dalam file Miko itu? Apa… apa jangan-jangan ini salah satu rencana Master Shigi?”
Mayumi masih asyik memikirkan kemungkinan mengenai foto-foto itu tanpa menyadari ada seseorang yang masuk ke dalam ruangannya. Sosok itu berdiri di belakang wanita itu, diam dan Mayumi bahkan tidak menyadari keberadaan sosok itu.
“Kalau benar foto-foto ini asli, Minato harus melihat ini.” kata Mayumi, “Aku harus menghubunginya secepatnya dan—”
“Jangan coba-coba menghubunginya.”
Mayumi terkejut mendengar suara itu dan menoleh ke belakang. Matanya membelalak melihat sosok yang tidak disadariya berdiri di belakangnya sejak lama.
“Kamu…”
“Hai, Mayumi. Kuharap kamu tidak lupa siapa aku.” ujar sosok itu sambil tersenyum.

****

Minato menangkis serangan Sakura yang mengarah ke kepalanya. Dia harus mengakui kalau kekuatan Sakura benar-benar tidak disangkanya. Gadis itu bisa mengimbangi serangannya (yang memang sudah seharusnya, karena dia Miko) dan yang paling mengejutkan, Sakura bisa dengan mudah memanipulasi gerakannya!
Minato tahu kemampuan seperti itu. Hanya ada beberapa orang yang mempunyai kemampuan memanipulasi gerakan dan membuat lawan serta musuh-musuh di hadapannya menyerang teman-temannya atau bahkan dirinya sendiri.
“Kamu melihat ke mana?!”
Sekali lagi Minato menangkis serangan gadis itu, yang kali ini mengarah ke bahu kanannya.
“Tsk!”
“Aku tidak tahu kenapa kamu tidak berniat menyerangku sejak tadi.” kata Sakura, “Apa kamu benar-benar berniat menyerahkan dirimu untuk kubunuh?”
“Tidak. Aku tidak bisa dibunuh dengan mudah, kau tahu?”
“Sombong sekali.”
Sakura memukul mundur Minato dan mengarahkan kakinya kearah pemuda itu. Kali ini serangannya berhasil. Tendangannya mengenai perut Minato dan membuatnya mundur beberapa langkah.
“Aku tidak suka jika buruanku tidak memberikan perlawanan. Apa kamu selalu membosankan seperti ini?”
“Aku lebih suka dipanggil pendiam.” Jawab Minato sambil meringis.
Sakura memicingkan matanya menatap Minato. Tapi dia tidak mau berlama-lama melakukannya. Kelelahan mulai merasuki tubuhnya. Ini aneh. Padahal dia hanya bertarung melawan Minato, dan dia sudah merasa lelah luar biasa.
Padahal sebelumnya tidak pernah begini. Dan Sakura tahu ini tidak bagus. Dia harus menyelesaikan ini sebelum dia kehilangan kesadarannya yang mulai menghilang sedikit demi sedikit.
“Kamu tahu, Minato,” kata Sakura, “Apa yang akan terjadi ketika kamu masih tetap menjadi Senshu, apa kamu pernah memikirkannya?”
“Aku tidak pernah tahu, dan aku bermaksud mencari tahu.” jawab Minato.
Sakura mengangguk-angguk dan mengangkat senjatanya.
“Kalau begitu, cobalah untuk membunuhku.” Kata gadis itu sambil tersenyum, “Dengan membunuh seorang Miko, seorang Senshu bisa mendapatkan kembali jiwa dan kehidupan normalnya.”
“Apa?”
“Ini adalah rahasia umum, Minato. Tapi itu hanya beredar di kalangan para Master.” Ujar Sakura.
“Para Master? Maksudmu… Master permainan ini ada lebih dari satu orang?”
“Lihat? Kamu bahkan tidak tahu seberapa banyak Master yang ada di permainan ini. Itu artinya kamu tidak tahu apa-apa kenapa kamu bisa menjadi Senshu seperti sekarang.”
Minato merasa tersinggung dengan ucapan Sakura. Tapi dia tidak bisa membalas ucapan gadis itu, karena memang itulah kebenarannya.
Selama ini Minato menjadi Senshu tanpa tahu apa tujuannya menjadi bagian dari permainan ini. Hanya karena dia berusaha mencari satu-satunya keluarganya lah, Minato masih bertahan sampai sekarang. Satu-satunya harapan sekaligus tujuannya masih hidup sampai sekarang.
Sakura kembali menyerangnya. Dan kali ini Minato tidak ragu-ragu untuk menyerangnya balik.
“Ketidak-tahuanmu itu akan menjadi kelemahan terbesarmu, Minato.” Kata Sakura, “Kalau kamu benar-benar ingin tahu, cobalah untuk mengalahkanku, walau sepertinya itu tidak akan mungkin terjadi.”
“Kita akan buktikan itu!”
Minato menyerang Sakura. Gadis itu tersenyum kecil dan menghindari serangannya dengan mudah. Sakura terkesan seperti bermain-main dengan anak kecil menghindari serangan Minato yang bertubi-tubi mengarah padanya.
“Hanya segini kemampuanmu? Mengecewakan.”
“Sekarang kau yang sombong.”
“Hee… itu kata-kataku, kan?”
Sakura menangkis serangan Minato. Gadis itu melayangkan tendangan kearah perut Minato lagi, tapi Minato berhasil menghindarinya.
“Dan aku tidak akan terkena serangan yang sama dua kali.” Minato tersenyum, “Sekarang giliranku!”
Minato mengeluarkan seluruh kemampuannya untuk menyerang Sakura. Beberapa serangan, dan Sakura mulai kewalahan. Gadis itu beberapa kali tersudut dan nyaris tidak bisa menangkis serangan Minato yang dilancarkan kearahnya. Kelelahan yang mulai menggelayuti tubuhnya juga memperburuk keadaan.
Menyadari keadaannya yang tidak bagus ini membuat Sakura menggertakkan gigi karena kesal.
Seharusnya tidak seperti ini. batin gadis itu sambil menatap Minato, yang baru disadarinya tampak kelelahan seperti dirinya.
“Kelihatannya kamu sudah kepayahan, ya? Baru beberapa serangan saja yang kamu lancarkan bisa mengenaiku.” Kata Sakura bermaksud mengejek.
“Kau juga tidak lebih baik.”
Sakura tersenyum tipis. Tidak ada seorang pun yang bisa melihat kalau dia kelelahan, dan ucapan Minato membuktikan bahwa mata pemuda itu lebih jeli daripada yang diperlihatkannya.
“Matamu jeli juga, ya? Tapi aku tidak bermaksud untuk menyerah dalam pertarungan ini.” Sakura memainkan senjatanya, “Pertarungan kali ini, aku yang menang.”
Dengan mengerahkan sisa-sisa tenaganya, gadis itu bergerak cepat kearah Minato, dan sebelum pemuda itu sempat bereaksi, Sakura menghunus salah satu sai-nya kearah dada pemuda itu…
… menembus daerah di mana jantung pemuda itu berada.
Berhasil. Kata Sakura dalam hati.
Namun, baru sedetik dia mengatakan itu dalam hatinya, pandangannya menggelap dengan sangat cepat, disusul rasa sakit yang amat sangat di dadanya.

----------

Minato membelalakkan matanya melihat sai milik Sakura menembus dadanya. Dia yakin dia merasakan rasa sakit di dadanya, di mana Sakura menusuk tepat kearah jantungnya, tapi anehnya, justru gadis itu yang memuntahkan darah dan jatuh tersungkur ke tanah sementara Minato sendiri baik-baik saja.
Minato melihat wajah Sakura yang sangat pucat dan darah di bibirnya. Sai yang tadinya menancap di dada Minato terlepas dan jatuh dengan bunyi berkelontangan yang membuat Minato agak merinding.
“H-hei—”
Minato berjongkok di depan Sakura yang terbaring diam dan tersentak kaget melihat kumpulan kunang-kunang—cahaya—mengelilingi gadis itu. Dan Minato bisa mendengar suara-suara mereka kali ini.
… sang Miko terluka… seorang Senshu melukainya…
… sang Miko seharusnya abadi… sekarang terluka…
… jiwanya berada dalam bahaya…
“A-apa? Dia… dia seharusnya abadi?” tanya Minato, “Apa yang kalian bicarakan? Dia manusia juga, kan?”
 Cahaya-cahaya itu tidak menjawab lagi, sebaliknya, mereka justru menghilang dengan sangat cepat.
Minato tidak mengerti apa maksud cahaya-cahaya itu, tapi dia tahu, kalau seorang Miko terluka, itu artinya tidak bagus. Kelompoknya bisa saja dibunuh oleh Master permainan Shigi karena melukai seorang Miko.
Eksistensi seorang Miko sangat dijunjung tinggi oleh semua Senshu dan juga Master Shigi. Melukai saja bisa membuat Senshu yang melukainya tewas seketika, apalagi sampai membunuhnya. Satu kelompok Senshu bisa menghilang dalam sekejap mata dan tidak akan diingat oleh Senshu yang lain kalau kelompok yang menghilang itu pernah ada.
Tapi…
Sakura memang seorang Miko, tapi dia membunuh Senshu. Sesuatu yang seharusnya tidak pernah dilakukan oleh Miko sebelumnya, dan seharusnya merupakan pelanggaran berat. Namun dia tidak pernah mendengar Master menghukum Sakura.
Dan juga, Minato tidak merasa dia akan tewas mengenaskan atau semacamnya karena membuat Sakura terluka.
Jadi… apa yang harus dilakukannya sekarang? Apa dia harus meninggalkan Sakura di sini dan memberitahu teman-temannya kalau mereka bertemu di tempat lain?
“Aku tidak mungkin meninggalkannya di sini.” kata Minato.
Ia lalu mengangkat tubuh Sakura dan terkejut merasakan betapa ringannya berat tubuh gadis itu padahal dari penampilannya dia tidak terlihat seringan yang dirasakan Minato.
Kepala Sakura terkulai lemas di dadanya dan mata gadis itu terpejam erat. Bibir gadis itu sedikit terbuka, menggumamkan sesuatu yang nyaris tidak terdengar oleh Minato.
“… maaf…”
Minato mengerutkan kening mendengar satu kata itu. Dia mendekatkan telinganya ke bibir gadis itu dan kali ini mendengar ucapannya dengan jelas.

****

Ace menatap pemandangan di hadapannya dengan senyum sendu. Dia memainkan kunci di tangannya sambil kedua kakinya bergoyang-goyang seperti anak kecil.
“Ace,”
Ace menoleh dan melihat Deuce berdiri di belakangnya bersama seseorang yang tidak ingin ditemuinya saat ini.
“Kenapa dia ada di sini?” tanya Ace menunjuk kearah orang yang berdiri di samping Deuce.
“Dia memaksa untuk ikut denganku.” kata Deuce. “Jangan salahkan aku.”
Ace memalingkan wajahnya kearah lain.
Deuce berjalan mendekati Ace dan duduk di sampingnya. Begitu juga orang yang datang bersamanya tadi.
“Aku tidak tahu kamu terus memantau dua orang itu.” kata orang itu sambil terkekeh. “Benar-benar sangat khas dirimu, Ace.”
“Aku tidak perlu pujianmu.”
Orang itu tertawa dan melihat kearah atap gedung di mana tadi Sakura dan Minato bertarung.
“Kamu benar-benar membuatku kerepotan, Ace. Miko yang terpilih kali ini benar-benar di luar dugaanku.”
“Aku memang membuatnya seperti itu, untuk membuatmu repot.” Balas Ace, “Aku benci ketika mereka harus dilibatkan untuk hal seperti ini.”
“Kenapa? Kamu tidak terima?”
“Tentu saja aku tidak terima.” Kali ini Ace memandang tajam orang itu, “Kau yang membuatku harus melakukan semua ini. Dan aku tidak bisa memaafkanmu karena hal itu.”
“Aku merasa tersanjung.” Ucap orang itu, “Tapi aku punya rencana tersendiri untuk mereka. Karena itulah walau berkali-kali gadis itu membuatku ingin memarahinya, aku tidak membunuhnya… setidaknya untuk saat ini.”
“Apa yang sebenarnya ingin kau lakukan pada mereka?” tanya Ace, “Aku peringatkan padamu Manami, jika kau menyentuh salah satu dari mereka, aku akan membuat perhitungan denganmu.”
“Hoho… aku takut.” Kata Manami sambil tergelak, “Memangnya bisa apa kau, Manis? Kau bahkan tidak tahu apa yang sedang kurencanakan, kan?”
Ace hanya menatap tajam kearah Manami. Tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Pandangannya kembali tertuju pada atap gedung yang menjadi tempat pertarungan Minato dan Sakura tadi.
“Aku sedang merencanakan sesuatu yang besar, karena itulah aku melibatkan mereka.” kata Manami, “Lagipula hanya mereka berdua yang pantas memerankan peran dalam permainan ini.”
Ace bosan mendengar ucapan yang sama yang dilontarkan oleh pria itu. Ia lalu berdiri dan menatap Deuce yang dari tadi hanya diam di sebelahnya.
“Deuce, ayo kita pergi. Aku bosan mendengarkan ucapan yang sama dan diucapkan berkali-kali oleh pria licik ini.”
“Baiklah,”
Manami menatap kepergian mereka dengan senyum lebar. Setelah kedua orang itu pergi, Manami berdiri dan mendongak melihat langit malam yang masih dihiasi awan hitam dan hujan yang terus turun.
“Ah… benar-benar malam yang sangat indah.”

****

Minato membuka pintu apartemennya dan langsung masuk ke dalam. Direbahkannya tubuh Sakura yang lemah diatas sofa sementara dia menyalakan penghangat ruangan dan kemudian mencari pakaian kering untuknya dan Sakura.
Ketika Minato sedang mencari pakaian ganti di kamarnya, Sakura membuka matanya. Gadis itu mengerutkan kening bingung karena melihat langit-langit ruangan yang belum pernah dilihatnya.
Di mana… ini?
Sakura mengernyit kesakitan merasakan nyeri di dadanya. Ia menempelkan tangannya di sana dan merasakan cairan lengket dan hangat di sana.
Darahnya.
Seketika Sakura terduduk tegak dan membuatnya tubuhnya kesakitan.
“Akh!”
“Hei, apa yang kau lakukan?”
Sakura mendongak dan melihat Minato berdiri di depan pintu kamar. Pemuda itu segera mendekatinya dan mendecak melihat luka Sakura semakin bertambah parah.
“Seharusnya kau tetap berbaring dan tidak membuat lukamu bertambah parah seperti ini.” ujar pemuda itu.
“D-di mana… ini…?”
“Apartemenku. Saat kamu berhasil menusukku tepat di dada, justru kamu yang terluka dan akhirnya pingsan.”
“A-apa?”
“Sekarang, berbaringlah sementara aku membersihkan lukamu… tunggu, apa tidak masalah kalau aku melepas kimonomu?” tanya Minato.
Sakura mendelik mendengar pertanyaan Minato dan melirik kotak obat yang dibawa pemuda itu bersama pakaian ganti.
“Biar aku sendiri saja. Aku bisa merawat lukaku sendiri.” kata Sakura.
“Tapi kamu—oh, baiklah. Jangan menatapku dengan tatapan seperti itu. Aku hanya ingin membantumu.” Kata Minato melihat tatapan Sakura seperti bersiap-siap ingin membunuhnya.
“Ini pakaian ganti untukmu. Aku akan berganti pakaian di kamar mandi.” Ujar Minato menunjuk pakaian kering di samping Sakura, “Setelah ini, kamu harus istirahat, untuk memulihkan kondisimu.”
“Dan setelah itu, aku boleh membunuhmu?” kata Sakura.
“Bisa tidak jangan membicarakan tentang bunuh-membunuh saat kamu terluka? Asal tahu saja, aku tidak suka melihat seorang gadis terluka, apalagi gadis itu adalah kamu.”
Sakura mengerutkan kening mendengar ucapan Minato. Tapi dia tidak sempat menanyakan lebih jauh karena pemuda itu sudah berjalan ke kamar mandi dan meninggalkannya sendirian di sana.
Sakura segera melepas kimononya yang terkena darah dan mengobati lukanya. Beberapa kali dia harus berusaha untuk tidak mengernyit kesakitan ketika membasuh lukanya dengan cairan antiseptic atau membalut lukanya. Ini baru pertama kalinya sejak tiga tahun lalu dia mendapat luka seserius ini. Dan anehnya, dia terluka di saat dia menusukkan senjatanya pada Minato. Lebih anehnya lagi, pemuda itu bahkan tidak terluka sedikitpun setelah ditusuk dengan senjata tajam tepat di jantung!
Memang seorang yang terlibat dalam permainan ini tidak bisa dibunuh dengan mudah, apalagi mereka menjadi semacam makhluk… immortal, abadi. Ditusuk di jantung pun pasti tidak akan terasa sakit jika tidak dengan senjata khusus…
Dia tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi, tapi Sakura berjanji dia akan mencari tahu kenapa dia bisa terluka seperti tadi. Dia yakin ada penjelasan tentang hal itu. Atau mungkin dia bisa menanyai Manami… tapi, tidak. Itu adalah hal terakhir yang akan dilakukannya jika tidak ada cara lain untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaannya.
“Aduh!”
Dia meringis ketika mendapati jari telunjuknya terkena jarum yang ada di dalam kotak obat. Sakura menatap jemarinya yang terluka dan mengerjap ketika mendapati tidak ada satupun luka di sana, padahal jelas-jelas tadi dia merasakan rasa sakit di jari telunjuknya!
“Apa…”
Pintu kamar mandi terbuka dan Sakura buru-buru mengenakan kemeja putih besar yang ada di sampingnya dan melihat Minato membuka kotak obat.
“A-apa yang kamu lakukan?”
“Jari telunjukku berdarah.” Kata Minato sambil mencari sesuatu di kotak obat, “Padahal tadi aku tidak menyentuh benda tajam, sama sekali.”
Ucapan Minato membuat Sakura kembali terbelalak.
“Kamu bilang… jari telunjukmu terluka?”
“Ya. Aku sudah mengatakan itu padamu tadi, kan?” ujar Minato, “Duh… di mana plester luka yang baru kubeli kemarin?”
“M-Minato,”
Minato mendongak dan melihat Sakura sedang menatapnya dengan wajah sedikit pucat.
“H-hei, wajahmu pucat. Apa lukamu bertambah parah—tunggu, apa yang kamu lakukan!?”
Minato terkejut melihat Sakura mengambil sebuah jarum panjang dan menusukkannya ke jarinya sendiri. Gadis itu menusukkan jarum itu cukup dalam ke jarinya, dan Minato yakin dia melihat wajah kesakitan Sakura, namun…
“Aduh!!”
Minato merasakan nyeri yang amat sangat dari jarinya yang tadi terluka dan melihat ke bawah. Rasa sakit yang tadi dirasakannya menghilang dan diganti dengan keterkejutan ketika melihat darah mengalir dari luka yang sangat mirip dengan tusukan jarum di jari telunjuk Sakura. Ia menatap luka itu dan jari Sakura yang tidak mengeluarkan darah dengan mata sedikit terbelalak.
“A-apa yang…”
“Ini tidak mungkin.” Kata Sakura, “Apa… apa ini alasanku tidak bisa mati?”
“Hah?”
“Manami… dia pernah mengatakan padaku kalau aku tidak akan bisa dibunuh dengan mudah.” Ujar Sakura, “Dia bilang aku abadi. Tapi aku tidak pernah memercayai perkataannya. Jadi… oh Tuhan…”
Sakura menutup wajahnya dengan kedua tangan dan menghela nafas berat.
“Sakura, apa maksudmu? Kamu benar-benar… tidak bisa mati? Abadi?”
“Ya.” Sakura mengangguk, “Tapi kurasa sekarang aku tahu kenapa aku tidak bisa mati. Semuanya bukan karena kejadian tiga tahun lalu.”
“Maksudmu?”
Sakura mendongak dan menatap Minato yang balas menatapnya kebingungan.
“Kamu pernah bertanya, apa alasanku membunuh Senshu… iya, kan?” kata gadis itu, “Salah satu alasan dari seribu alasan yang bisa kukatakan padamu kenapa aku membunuh mereka adalah… aku mencari ‘jiwa’ku yang hilang.”
“Apa?”
“Sejak kecil aku adalah seorang Senshu, tapi bukan Senshu salah satu dari empat kelompok Shigi sekarang. Aku… aku berasal dari kelompok lain.”
“Kelompok… lain?” tanya Minato, “Apa namanya?”
Blue Phoenix.” Kata Sakura, “Itu adalah nama kelompokku. Dan… dan kelompok itu sudah menghilang sejak sepuluh tahun yang lalu.”
“Sepuluh tahun yang lalu…” Minato mengerutkan kening, “Apa kamu tahu kenapa kelompok itu bisa menghilang?”
“Kak Setsuna bilang kelompok Blue Phoenix menghilang karena Senshu dari kelompok itu mencoba menghapus permainan Shigi. Tapi sebelum mereka sempat melakukannya, kelompok itu sudah lebih dulu dihancurkan oleh para Master.”
Minato manggut-manggut mendengarnya. Tapi kemudian raut wajahnya sedikit berubah.
“Tadi kamu bilang… Kak Setsuna? Siapa dia?”
“Kak Setsuna adalah orang yang merawatku sejak kecil.” Jawab Sakura. “Memangnya kenapa?”
Minato merasakan keinginan yang kuat untuk menanyakan tentang Setsuna yang disebut Sakura.
Setsuna… dia merasa pernah mendengar nama itu sebelumnya.
“Dia… cirri-ciri Kak Setsuna yang kamu bilang tadi, seperti apa?”
“Kenapa kamu ingin tahu?” tanya Sakura. “Dia sudah meninggal, dan aku tidak mau membicarakannya.”
“A-aku hanya ingin tahu karena… namanya sama dengan keluargaku.” Kata Minato, “Bisakah kamu memberitahuku seperti apa cirri-ciri Setsuna itu?”
“Aku tidak mau membicarakannya. Itu… itu… aku tidak mau mengingatnya.” Kata Sakura lagi.
“Sakura, aku hanya ingin tahu,”
“Tidak.”
“Sakura,”
“Aku bilang tidak, ya tetap tidak!” kata Sakura, “Tolong jangan memaksaku. Aku… aku…”
Sakura meringis kesakitan dan memegangi kepalanya. Tubuh gadis itu limbung dan nyaris terjatuh namun Minato berhasil mencegahnya.
“S-Sakura? Kamu tidak apa-apa?”
Minato terkejut merasakan tubuh Sakura gemetar. Tubuh gadis itu gemetar hebat sampai-sampai Minato khawatir luka Sakura bertambah parah.
Sakura merasa memori menyakitkan yang sudah ia lupakan, kembali. Ia mencoba menahan jeritan yang hendak keluar dari bibirnya, dia mencoba untuk tidak terdengar ketakutan. Tapi…
Sakura, lari! Kamu harus pergi dari sini secepatnya!
T-tapi—
Tidak apa-apa. Aku akan menahan mereka. Sekarang, cepat lari! LARI!!
“Hhh…”
Minato meraskaan ketegangan pada tubuh Sakura meningkat dan gadis itu mulai menangis tanpa suara.
“Sakura? Hei, Sakura?”
Sebutir airmata mengalir di pipi gadis itu dan membuat Minato tertegun. Dia menatap wajah Sakura yang pucat dan dihiasi airmata. Dan airmata itu…
Tiba-tiba mata Minato melihat sesuatu. Di leher Sakura tergantung sebuah kalung dengan bandul bunga lili berwarna putih. Dia mengerjap beberapa kali untuk memastikan dia tidak salah lihat. Namun kalung yang melingkari leher Sakura masih ada di sana dan bersinar terkena cahaya dari lampu apartemennya.
Kalung itu… kalung itu, kan…
“Kakak…” suara Sakura terdengar lirih, “Ka… kak…”
“Sakura, kamu tidak apa-apa?”
Minato mendongakkan wajah Sakura dan menghapus airmata gadis itu dengan jarinya. Sakura mengerjap bingung menatap wajah Minato yang sangat dekat dengan wajahnya.
“…”
Mata biru Sakura yang berair membuat Minato merasa kembali ke masa lalu. Adegan sekarang ini… persis sama seperti sepuluh tahun lalu. Ketika dia berusaha menenangkan gadis kesayangannya, Keiko, saat gadis itu ketakutan karena takut sendirian.
Mungkin… mungkin Minato tahu cara menenangkan Sakura.
“Sakura,” panggil Minato lembut, “Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya akan baik-baik saja.”
“T-tapi… Kak Setsuna…” bibir Sakura mencoba mengucapkan kata-kata, namun tangis gadis itu pecah.
Entah kenapa Sakura terlihat sangat ketakutan.
“Kak Setsuna… Kak Setsuna…” gadis itu memanggil nama Setsuna berkali-kali. “Aku tidak mau… di… ditinggal… sendirian…”
Sekarang, entah bagaimana Minato mengerti siapa yang dibicarakan Sakura. Setsuna yang dimaksud oleh gadis itu… dia tahu orang itu.
“Kakak… aku… aku tidak mau… ditinggal sendiri…” Sakura masih menangis, “Aku takut…”
Sakura menangis sambil menunduk hingga kedua bahu gadis itu berguncang.
Minato mengulurkan tangannya hendak memeluk Sakura, tapi kemudian dia ingat, Sakura mungkin akan marah dan bisa saja membunuhnya. Bukankah gadis itu ingin membunuhi semua Senshu yang ada di dalam permainan Shigi?
Karena itu Minato hanya memegang tangan Sakura, sekedar menenangkan gadis itu. Dan dia tidak melakukan lebih dari itu.

----------

Sakura tidak tahu berapa lama dia menangis. Yang dia tahu matanya terasa berat dan bengkak. Dan dia tidak merasa harus malu karena menangis seperti itu…
… terutama karena sudah lama sejak dia menangis seperti tadi.
Minato, laki-laki yang tadinya bertarung melawannya, sekarang duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya. Biasanya Sakura akan marah dan membentak siapapun yang berani menyentuhnya.
Tapi entah kenapa dia tidak melakukannya pada Minato. Dia hanya membiarkan laki-laki itu memegang tangannya, dan entah kenapa juga, Sakura merasakan perasaan asing namun familiar di saat bersamaan ketika pemuda itu menggenggam tangannya.
Setelah merasa lebih baik, Sakura melepaskan tangannya dari genggaman Minato dan sedikit menjauh dari pemuda itu.
“Maaf. Aku sedikit… emosional. Aku teringat masa laluku.” Kata gadis itu.
“Tidak apa-apa.”
Baik Sakura dan Minato sama-sama terdiam. Tidak ada yang berbicara diantara mereka, dan Sakura merasa keheningan tersebut sangat canggung.
“Canggung, ya?”
“Eh?”
“Sejujurnya, aku tidak pernah seperti ini pada perempuan.” Kata Minato sambil tersenyum kecil, “Aku tidak pernah membiarkan perempuan masuk ke dalam apartemenku dan mencegah mereka mendekatiku.”
“K-kenapa?”
“Karena aku takut mereka terluka.”
“Ter… luka…?”
Sakura mengerutkan kening mendengar satu kata itu dan dia merasa seperti dilempar ke masa lalu. Dia juga merasa mendengar suara seseorang yang berbicara padanya.
Tapi Sakura tahu itu hanya halusinasinya saja.
“Hei, aku ingin bertanya padamu,” kata Sakura, “Bagaimana bisa kamu… memiliki jiwaku?”
“He?”
Minato mengerutkan kening mendengar pertanyaan Sakura. Dia melipat kedua tangannya di depan dada dan memiringkan kepala.
“Aku juga tidak tahu kenapa aku bisa memiliki jiwamu.” Ujar Minato. “Tapi… kalau aku memiliki ‘jiwa’mu, itu artinya ‘jiwa’ku ada di dalam dirimu, kan?”
Sakura mengerjap dan mengangguk.
“Aku tadi berusaha melukai diriku sendiri dan malah kamu yang terluka, kan? Berarti… ya. Jiwamu ada padaku.”
“Kenapa itu bisa terjadi?”
“Entahlah. Karena itu tadi aku bertanya!”
“Ah, ya benar… maaf.”
Mereka berdua terdiam lagi.
“Kalau benar jiwa kita tertukar… penyebabnya apa?” tanya Sakura, “Aku tidak pernah mengharapkan takdirku seperti ini.”
Minato menatap Sakura yang mengomel sendiri dengan kening berkerut.
“Aku tidak tahu kenapa aku harus bernasib seperti ini. Andai saja waktu bisa diulang… tapi itu tidak mungkin. Aku tidak mau mengalami hal yang sama lagi.”
“Hal yang sama?”
“Bukan urusanmu.”
“Apa itu pantas diucapkan pada orang yang sudah menolongmu?”
Sakura hendak membalas ucapan Minato, tapi tidak tahu apa yang ingin dikatakannya hingga dia lebih memilih memalingkan wajahnya kearah lain.
“Kamu… marah?”
“Tidak.” kata Sakura, “Untuk apa aku marah?”
“Baguslah kalau kamu tidak marah.” kata Minato, “Aku akan mencuci pakaianmu dulu. Kamu bisa beristirahat di sini sampai kondisimu pulih, setidaknya malam ini kamu harus beristirahat cukup.”
“Aku tahu…” kata Sakura, “… terima kasih.”
“Apa?” tanya Minato yang tidak mendengar suara Sakura yang terlalu lirih.
“Apa aku harus mengulangi ucapanku barusan?” Sakura menatapnya dengan tatapan menantang.
“Ah, ya… tidak apa.” ujar Minato, “Kalau mau, kamu bisa tidur di kamarku, aku akan tidur di sofa ini.”
“Aku bisa tidur di mana saja.” balas Sakura, “Aku sudah terbiasa—tunggu, kamu sedang apa!?”
Sakura panic ketika Minato tahu-tahu saja menggendongnya. Pemuda itu dengan mudah mengangkatnya dengan gaya menggendong seorang putri atau yang biasa disebut bridal-style. Sakura mau tidak mau melingkarkan kedua lengannya di leher Minato dan menatapnya kaget sekaligus bingung.
“Aku tidak suka kalau seorang perempuan tidur di sofa. Itu namanya tidak sopan.” Kata Minato.
“Aku sudah bilang aku bisa tidur di man saja.” kata Sakura, “Aku sudah terbiasa sejak kecil.”
“Sejak kecil?”
Sakura tersadar dia nyaris kelepasan bicara dan memilih diam. Pendar-pendar cahaya kembali muncul dan menyelubungi gadis itu tanpa mereka sadari.
“Baiklah, aku tidak akan memaksamu menceritakan masa lalumu. Tapi, jika seandainya aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu… apa boleh?”
“Aku akan membunuhmu sebelum itu terjadi.”
“Duh… bisa tidak sih, jangan katakan ‘membunuh’ sekali saja. Aku jadi merinding mendengarnya.”
Sakura hanya diam dan menyembunyikan wajahnya di lekukan leher Minato hingga membuat pemuda itu terdiam.
“S-Sakura?”
“Aku tidak pernah ingat lagi caranya untuk tidak mengatakan satu kata itu.” kata gadis itu pelan, “Aku sudah membuat janji pada diri sendiri untuk membunuh semua Senshu… menyelamatkan mereka agar tidak sepertiku.”
“Eh?”
Sakura kembali diam, tapi tidak benar-benar diam karena gadis itu menangis tanpa suara.
Sekali lagi Minato dibuat bingung dan tertegun dengan sikap Sakura yang berubah-ubah.

****

Mayumi mencoba menghubungi Minato, tapi tidak bisa tersambung dengan alat komunikasi pemuda itu, padahal ada hal yang sangat penting yang ingin dikatakannya.
“Tidak bisa dihubungi?” tanya seseorang yang duduk di hadapannya.
“Tidak. Sepertinya alat komunikasinya mati.”
“Hmm…”
Mayumi menatap orang itu dengan tatapan bingung. Ia lalu duduk di kursi di depan orang itu dan melipat kedua tangannya di depan dada.
“Aku ingin bertanya sesuatu.”
“Silakan,” kata orang itu.
“Kenapa kamu tidak memperbolehkanku memperlihatkan apa yang kutemukan dari data Miko itu pada Minato?” tanya Mayumi, “Dari data tersebut, Miko itu adalah—”
“Belum waktunya. Aku tidak ingin semua ini merusak rencanaku.” Sela orang itu, “Kuharap kamu mengerti, Mayumi. Aku tidak ingin semua yang kulakukan selama ini sia-sia.”
“Kamu mengatakannya seolah-olah rencanamu sudah sangat sempurna.” Ujar Mayumi dengan nada sarkastik.
“Tidak ada yang sempurna dalam setiap rencana. Kadang di tengah jalan, rencana kita bisa hancur dalam sekejap. Dan kamu hampir saja menghancurkan rencanaku.”
“Terima kasih atas peringatannya. Tapi, serius. Kenapa aku tidak boleh memperlihatkan data itu pada Minato, Ace?”
Ace yang duduk di depan Mayumi hanya memilin anak rambutnya yang berwarna kehitaman.
“Ace, jawab aku.” kata Mayumi.
“Maaf, untuk saat ini aku tidak bisa menjawabnya.” Ujar Ace, “Tapi kumohon Mayumi, jangan sampai ada orang lain yang tahu tentang Miko itu termasuk Manami.”
“Master itu?”
“Ya. Jika Manami tahu siapa Miko itu sebenarnya, aku tidak akan bisa menjamin kita tidak akan bisa bebas dari permainan kematian ini.”
“Kamu masih berusaha untuk menghancurkan permainan Shigi ini?!”
“Aku berusaha memberikan masa depan yang cerah untuk semua Senshu dalam permainan ini: kebebasan.”
“Tapi kamu tahu peraturan permainan ini adalah absolute, mutlak.” Ujar Mayumi, “Tidak mungkin membuat permainan ini ‘lenyap’ seperti yang kita inginkan!”
Ace menatap Mayumi lekat-lekat, seulas senyum sedih terukir di wajahnya.
“Karena itulah aku mengorbankan diriku sendiri, bahkan aku juga harus mengorbankan segala yang kupunyai termasuk kepercayaan seseorang padaku.” kata Ace dengan nada sedih.

0 komentar:

Posting Komentar