Malam akhirnya datang, begitu juga dengan
permainan Shigi, yang kembali
dimulai.
Sakura mengikat obi hitam yang biasa dipakainya dan
mengikat rambutnya ke belakang. Gadis itu mengenakan stocking-nya. Suasana hutan
malam ini sedikit berbeda karena burung hantu tidak bersuara seperti
biasanya. Justru suara hujan turun yang mendominasi suasana hutan.
Tapi permainan Shigi tidak pernah tertunda walaupun saat itu hujan badai
sekalipun. Shigi adalah permainan
yang tidak mengenal istilah penundaan, dan setiap malam, setiap pukul 10 malam,
permainan yang mempertaruhkan nyawa dan kebebasan hidup itu dimulai.
Sakura meletakkan sai di kedua sisi pinggangnya dan
berjalan melewati ruang tamu. Dia sempat berhenti sejenak dan melihat kearah
bingkai foto yang terletak di atas meja di sisi sofa.
Dia menghampiri meja itu dan
menyentuh bingkai foto yang memuat foto seorang wanita berparas cantik, dengan
rambut digelung ke belakang dan mengenakan kimono bersulam gambar kupu-kupu
biru.
Lama gadis itu menatap foto itu
sebelum akhirnya berdiri.
“Aku berangkat dulu.” Kata Sakura
sambil tersenyum.
Gadis itu lalu berjalan pergi dan
keluar dari rumahnya menembusa hujan lebat yang turun membasahi hutan.
***
Sakura melompati satu dahan pohon ke dahan
pohon yang lain. Hutan tempatnya tinggal menjadi sedikit buram dalam
pandangannya karena hujan lebat yang turun. Tapi, Sakura sudah terbiasa. Sejak
sepuluh tahun yang lalu, dia sudah mengenal seluruh medan hutan di kota ini dan
dia menganggap hutan sebagai rumahnya yang paling aman dan tersembunyi.
Namun bukan berarti dia sudah
menjadi manusia hutan seperti tarzan. Justru sebaliknya, sebagai seorang Miko,
dia mengetahui hampir semua perkembangan yang terjadi di sekitarnya. Untuk hal
ini dia harus berterima kasih pada kekuatan Sacrel yang dipunyainya karena
kekuatan itu tidak hanya sebagai kekuatan suci bagi seorang Miko, tetapi juga
menjadi kemampuan dasarnya untuk beradaptasi dengan lingkungan.
Sakura akhirnya sampai di gedung
yang cukup dekat dengan hutan dan melompati dindingnya. Tidak sulit dengan
kemampuan fisiknya yang sudah terlatih sejak kecil. Gadis itu bisa dengan mudah
melompati dinding hingga mencapai atap gedung tersebut. Pandangannya terarah
pada kota yang tampak gelap dan menyatu dengan kegelapan malam.
“Sudah kuduga kamu akan kemari.”
Sakura menoleh dan melihat Minato
berdiri di dekat menara air. Pemuda itu memakai pakaian serba hitam yang nyaris
sama seperti dirinya.
“Sejak kapan kamu ada di situ?”
tanya Sakura.
“Baru beberapa menit. Kami akan
bertemu dengan Kelompok Shirushi hari ini.” kata Minato, “Dan kutebak kamu
berniat membunuh kami, kan?”
“Kamu tahu jawabanku.” Ujar Sakura.
“Apa kamu datang duluan untuk menyerahkan diri padaku?”
“Tidak. Kamu ingat perkataanku tadi
siang? Aku masih punya banyak pertanyaan yang ingin kutanyakan padamu.”
“Aku tidak berminat pada pertanyaan
yang ingin kamu tanyakan.” Balas Sakura.
“Tapi aku benar-benar didera rasa
penasaran, Sakura.”
Minato berjalan mendekat dan
berdiri sekitar satu meter di hadapan gadis itu. Minato menunduk menatap mata
Sakura yang tampak seperti boneka itu dan mengulurkan tangannya.
“Jangan sentuh aku.” kata Sakura
sambil menjauh dari jangkauan tangan Minato. “Aku tidak suka disentuh.”
“Maaf. Aku hanya…”
“Aku tidak berniat menjawab
pertanyaanmu, setelah apa yang kamu lakukan padaku tadi siang.” Ujar Sakura,
“Aku tidak akan pernah tertipu lagi untuk kedua kalinya.”
“Aku tidak pernah bermaksud
menipumu. Semua yang kukatakan waktu itu benar, termasuk rasa sakit yang kamu
rasakan, aku juga merasakannya.”
“Hah. Tidak usah berbicara manis
padaku. Semua Senshu sama saja.” kata
Sakura, “Mereka tidak tahu apa yang seharusnya dan tidak seharusnya mereka
hadapi. Aku membunuh mereka tidak hanya untuk membalaskan dendamku, tapi juga
menyelamatkan mereka dari takdir menjadi Senshu.”
“Menyelamatkan?”
“Kamu tidak tahu apa-apa kan,
Minato? Alasan kenapa kamu dan semua teman-temanmu menjadi Senshu?” Sakura tertawa hambar, “Kalian tidak pernah dan tidak akan
mengetahui kenapa permainan ini dibuat, dan kalian menjadi pion-pion yang bisa
digantikan dengan mudah.”
“Ap—tunggu, apa maksudmu?”
Sakura hanya diam dan tidak
menjawab. Gadis itu hanya menatap wajah Minato dan terus diam seperti patung.
“Sakura,”
“Kamu tahu, sebenarnya
cahaya-cahaya itu memaksaku untuk tidak membunuhmu.” Kata Sakura, “Aku tidak
tahu apa alasannya, dan aku tidak peduli. Aku hanya ingin membunuh semua Senshu dan itu termasuk dirimu.”
Sakura mengeluarkan senjatanya dan
mengacungkannya tepat di depan wajah Minato. Tatapan gadis itu pun juga berbeda
dari yang tadinya datar, menjadi seperti macan betina.
Seperti yang pernah dilihat Minato
ketika bertemu pertama kali dengan gadis itu.
“Maaf, Kurogane Minato, tapi kali
ini, aku tidak akan main-main.” Ujar Sakura, “Aku akan membunuhmu, berhasil
atau tidaknya aku membunuhmu akan ditentukan dalam permainan ini. Iya, kan?”
****
Mayumi memeriksa file yang berhasil didapatnya dari situs resmi Shigi. File itu berisi
informasi mengenai Miko yang diminta Minato kemarin malam. Awalnya dia mengira mendapatkan
data seorang Miko baru dalam Shigi
adalah pekerjaan mudah. Tapi, ternyata data sebeanrnya dari Miko bernama Sakura
itu dilindungi oleh berlapis-lapis kode enkripsi yang membuat Mayumi harus
menguras otaknya sebisa mungkin untuk memecahkan kode enkripsi file tersebut.
Shigi memang tidak memiliki situs resmi, dulunya,
tapi beberapa menit yang lalu, dia mendapat pemberitahuan kalau permainan
kematian itu kini memiliki situs resmi. Seolah-olah ingin memperlihatkan pada
semua orang siapa saja yang akan mati hari itu. Mayumi tidak habis pikir kenapa
Master malah membuat situs resmi untuk permainan tersebut, tapi yang pasti,
situs itu membuat pekerjaannya agak ringan karena dia tidak perlu repot-repot
meng-hack data komputer utama yang
cukup jauh dari sini hanya untuk mendapatkan data yang diinginkan Minato.
Sampai sekarang pun, dia masih
berkutat di depan layar komputernya dan menunggu proses pengenkripsian file yang di-downloadnya terbuka. Sesekali dia menyesap kopi hangat yang
dibuatnya untuk membantunya tetap terjaga, setidaknya sampai Minato atau salah
satu kelompok Phoenix datang ke tempatnya dan melaporkan hasil permainan mereka
hari ini.
Ia baru saja akan membuat secangkir
kopi untuk kelima kalinya ketika dia melihat file itu berhasil terbuka.
“Akhirnya…” Mayumi mendesah lega
dan mengetikkan beberapa kata kunci untuk membuka satu pelindung terakhir dari file tersebut.
Ketika file itu benar-benar terbuka dan Mayumi membacanya, dia tidak bisa
berkedip barang sejenak melihat isi file
tersebut.
“Apa-apaan… oh Tuhan,” Mayumi
menggerakkan kursor di layar ke bawah dan meng-klik sebuah foto yang ada di
sana.
Mayumi melihat foto itu lekat-lekat
dan semakin terkejut ketika melihat keterangan di bawah foto tersebut.
“Ini… ini tidak mungkin.” Kata
Mayumi, lebih pada diri sendiri, “Ini tidak mungkin… foto ini, astaga…”
Foto yang ditampilkan di layar
komputernya memperlihatkan seorang wanita berambut hitam panjang yang digelung
ke belakang. Wanita itu mengenakan kimono sutra berwarna hitam dan dipeluk oleh
dua orang anak laki-laki dan perempuan yang tersenyum kearah kamera. Si anak
laki-laki tampak memeluk wanita itu dengan senyum lebar sementara yang anak
perempuan tampak lebih pendiam dan manis dengan mata bulat bak boneka. Foto itu
diambil di sebuah taman yang dipenuhi pohon bunga Sakura, sepertinya foto itu
diambil tepat ketika bunga sakura tengah mekar karena di sekeliling tiga orang
dalam foto itu terdapat banyak kelopak bunga sakura yang berjatuhan.
Mata Mayumi tidak lepas dari wajah
anak laki-laki dalam foto yang terlihat ceria. Ia lalu membuka foto-foto yang
lain, dan semuanya menampilkan tiga orang yang sama. Hanya beberapa foto saja
yang memuat si anak laki-laki dan perempuan bersama, dan dalam foto itu pun, si
anak laki-laki terlihat ceria, memeluk si anak perempuan sambil tertawa, atau
memasangkan mahkota bunga.
“Foto-foto ini tidak mungkin salah.
Aku mengenal foto-foto ini.” ujar Mayumi pada dirinya sendiri, “Tapi kenapa
foto-foto ini ada dalam file Miko
itu? Apa… apa jangan-jangan ini salah satu rencana Master Shigi?”
Mayumi masih asyik memikirkan
kemungkinan mengenai foto-foto itu tanpa menyadari ada seseorang yang masuk ke
dalam ruangannya. Sosok itu berdiri di belakang wanita itu, diam dan Mayumi
bahkan tidak menyadari keberadaan sosok itu.
“Kalau benar foto-foto ini asli,
Minato harus melihat ini.” kata Mayumi, “Aku harus menghubunginya secepatnya
dan—”
“Jangan coba-coba menghubunginya.”
Mayumi terkejut mendengar suara itu
dan menoleh ke belakang. Matanya membelalak melihat sosok yang tidak disadariya
berdiri di belakangnya sejak lama.
“Kamu…”
“Hai, Mayumi. Kuharap kamu tidak
lupa siapa aku.” ujar sosok itu sambil tersenyum.
****
Minato menangkis serangan Sakura yang mengarah
ke kepalanya. Dia harus mengakui kalau kekuatan Sakura benar-benar tidak
disangkanya. Gadis itu bisa mengimbangi serangannya (yang memang sudah
seharusnya, karena dia Miko) dan yang paling mengejutkan, Sakura bisa dengan
mudah memanipulasi gerakannya!
Minato tahu kemampuan seperti itu.
Hanya ada beberapa orang yang mempunyai kemampuan memanipulasi gerakan dan
membuat lawan serta musuh-musuh di hadapannya menyerang teman-temannya atau
bahkan dirinya sendiri.
“Kamu melihat ke mana?!”
Sekali lagi Minato menangkis
serangan gadis itu, yang kali ini mengarah ke bahu kanannya.
“Tsk!”
“Aku tidak tahu kenapa kamu tidak
berniat menyerangku sejak tadi.” kata Sakura, “Apa kamu benar-benar berniat
menyerahkan dirimu untuk kubunuh?”
“Tidak. Aku tidak bisa dibunuh
dengan mudah, kau tahu?”
“Sombong sekali.”
Sakura memukul mundur Minato dan
mengarahkan kakinya kearah pemuda itu. Kali ini serangannya berhasil.
Tendangannya mengenai perut Minato dan membuatnya mundur beberapa langkah.
“Aku tidak suka jika buruanku tidak
memberikan perlawanan. Apa kamu selalu membosankan seperti ini?”
“Aku lebih suka dipanggil pendiam.”
Jawab Minato sambil meringis.
Sakura memicingkan matanya menatap
Minato. Tapi dia tidak mau berlama-lama melakukannya. Kelelahan mulai merasuki
tubuhnya. Ini aneh. Padahal dia hanya bertarung melawan Minato, dan dia sudah
merasa lelah luar biasa.
Padahal sebelumnya tidak pernah
begini. Dan Sakura tahu ini tidak bagus. Dia harus menyelesaikan ini sebelum
dia kehilangan kesadarannya yang mulai menghilang sedikit demi sedikit.
“Kamu tahu, Minato,” kata Sakura,
“Apa yang akan terjadi ketika kamu masih tetap menjadi Senshu, apa kamu pernah memikirkannya?”
“Aku tidak pernah tahu, dan aku
bermaksud mencari tahu.” jawab Minato.
Sakura mengangguk-angguk dan
mengangkat senjatanya.
“Kalau begitu, cobalah untuk
membunuhku.” Kata gadis itu sambil tersenyum, “Dengan membunuh seorang Miko,
seorang Senshu bisa mendapatkan
kembali jiwa dan kehidupan normalnya.”
“Apa?”
“Ini adalah rahasia umum, Minato.
Tapi itu hanya beredar di kalangan para Master.” Ujar Sakura.
“Para Master? Maksudmu… Master
permainan ini ada lebih dari satu orang?”
“Lihat? Kamu bahkan tidak tahu
seberapa banyak Master yang ada di permainan ini. Itu artinya kamu tidak tahu
apa-apa kenapa kamu bisa menjadi Senshu
seperti sekarang.”
Minato merasa tersinggung dengan
ucapan Sakura. Tapi dia tidak bisa membalas ucapan gadis itu, karena memang
itulah kebenarannya.
Selama ini Minato menjadi Senshu tanpa tahu apa tujuannya menjadi
bagian dari permainan ini. Hanya karena dia berusaha mencari satu-satunya
keluarganya lah, Minato masih bertahan sampai sekarang. Satu-satunya harapan
sekaligus tujuannya masih hidup sampai sekarang.
Sakura kembali menyerangnya. Dan
kali ini Minato tidak ragu-ragu untuk menyerangnya balik.
“Ketidak-tahuanmu itu akan menjadi
kelemahan terbesarmu, Minato.” Kata Sakura, “Kalau kamu benar-benar ingin tahu,
cobalah untuk mengalahkanku, walau sepertinya itu tidak akan mungkin terjadi.”
“Kita akan buktikan itu!”
Minato menyerang Sakura. Gadis itu
tersenyum kecil dan menghindari serangannya dengan mudah. Sakura terkesan
seperti bermain-main dengan anak kecil menghindari serangan Minato yang
bertubi-tubi mengarah padanya.
“Hanya segini kemampuanmu?
Mengecewakan.”
“Sekarang kau yang sombong.”
“Hee… itu kata-kataku, kan?”
Sakura menangkis serangan Minato.
Gadis itu melayangkan tendangan kearah perut Minato lagi, tapi Minato berhasil
menghindarinya.
“Dan aku tidak akan terkena
serangan yang sama dua kali.” Minato tersenyum, “Sekarang giliranku!”
Minato mengeluarkan seluruh
kemampuannya untuk menyerang Sakura. Beberapa serangan, dan Sakura mulai
kewalahan. Gadis itu beberapa kali tersudut dan nyaris tidak bisa menangkis
serangan Minato yang dilancarkan kearahnya. Kelelahan yang mulai menggelayuti
tubuhnya juga memperburuk keadaan.
Menyadari keadaannya yang tidak
bagus ini membuat Sakura menggertakkan gigi karena kesal.
Seharusnya
tidak seperti ini. batin
gadis itu sambil menatap Minato, yang baru disadarinya tampak kelelahan seperti
dirinya.
“Kelihatannya kamu sudah kepayahan,
ya? Baru beberapa serangan saja yang kamu lancarkan bisa mengenaiku.” Kata
Sakura bermaksud mengejek.
“Kau juga tidak lebih baik.”
Sakura tersenyum tipis. Tidak ada
seorang pun yang bisa melihat kalau dia kelelahan, dan ucapan Minato
membuktikan bahwa mata pemuda itu lebih jeli daripada yang diperlihatkannya.
“Matamu jeli juga, ya? Tapi aku
tidak bermaksud untuk menyerah dalam pertarungan ini.” Sakura memainkan
senjatanya, “Pertarungan kali ini, aku yang menang.”
Dengan mengerahkan sisa-sisa
tenaganya, gadis itu bergerak cepat kearah Minato, dan sebelum pemuda itu
sempat bereaksi, Sakura menghunus salah satu sai-nya kearah dada pemuda itu…
… menembus daerah di mana jantung
pemuda itu berada.
Berhasil. Kata Sakura dalam hati.
Namun, baru sedetik dia mengatakan
itu dalam hatinya, pandangannya menggelap dengan sangat cepat, disusul rasa
sakit yang amat sangat di dadanya.
----------
Minato membelalakkan matanya
melihat sai milik Sakura menembus
dadanya. Dia yakin dia merasakan rasa sakit di dadanya, di mana Sakura menusuk
tepat kearah jantungnya, tapi anehnya, justru gadis itu yang memuntahkan darah
dan jatuh tersungkur ke tanah sementara Minato sendiri baik-baik saja.
Minato melihat wajah Sakura yang
sangat pucat dan darah di bibirnya. Sai
yang tadinya menancap di dada Minato terlepas dan jatuh dengan bunyi
berkelontangan yang membuat Minato agak merinding.
“H-hei—”
Minato berjongkok di depan Sakura
yang terbaring diam dan tersentak kaget melihat kumpulan
kunang-kunang—cahaya—mengelilingi gadis itu. Dan Minato bisa mendengar
suara-suara mereka kali ini.
…
sang Miko terluka… seorang Senshu melukainya…
…
sang Miko seharusnya abadi… sekarang terluka…
…
jiwanya berada dalam bahaya…
“A-apa? Dia… dia seharusnya abadi?”
tanya Minato, “Apa yang kalian bicarakan? Dia manusia juga, kan?”
Cahaya-cahaya itu tidak menjawab lagi,
sebaliknya, mereka justru menghilang dengan sangat cepat.
Minato tidak mengerti apa maksud
cahaya-cahaya itu, tapi dia tahu, kalau seorang Miko terluka, itu artinya tidak
bagus. Kelompoknya bisa saja dibunuh oleh Master permainan Shigi karena melukai seorang Miko.
Eksistensi seorang Miko sangat
dijunjung tinggi oleh semua Senshu
dan juga Master Shigi. Melukai saja
bisa membuat Senshu yang melukainya
tewas seketika, apalagi sampai membunuhnya. Satu kelompok Senshu bisa menghilang dalam sekejap mata dan tidak akan diingat
oleh Senshu yang lain kalau kelompok
yang menghilang itu pernah ada.
Tapi…
Sakura memang seorang Miko, tapi
dia membunuh Senshu. Sesuatu yang
seharusnya tidak pernah dilakukan oleh Miko sebelumnya, dan seharusnya
merupakan pelanggaran berat. Namun dia tidak pernah mendengar Master menghukum
Sakura.
Dan juga, Minato tidak merasa dia
akan tewas mengenaskan atau semacamnya karena membuat Sakura terluka.
Jadi… apa yang harus dilakukannya
sekarang? Apa dia harus meninggalkan Sakura di sini dan memberitahu
teman-temannya kalau mereka bertemu di tempat lain?
“Aku tidak mungkin meninggalkannya
di sini.” kata Minato.
Ia lalu mengangkat tubuh Sakura dan
terkejut merasakan betapa ringannya berat tubuh gadis itu padahal dari
penampilannya dia tidak terlihat seringan yang dirasakan Minato.
Kepala Sakura terkulai lemas di
dadanya dan mata gadis itu terpejam erat. Bibir gadis itu sedikit terbuka,
menggumamkan sesuatu yang nyaris tidak terdengar oleh Minato.
“… maaf…”
Minato mengerutkan kening mendengar
satu kata itu. Dia mendekatkan telinganya ke bibir gadis itu dan kali ini
mendengar ucapannya dengan jelas.
****
Ace menatap pemandangan di hadapannya dengan
senyum sendu. Dia memainkan kunci di tangannya sambil kedua kakinya
bergoyang-goyang seperti anak kecil.
“Ace,”
Ace menoleh dan melihat Deuce
berdiri di belakangnya bersama seseorang yang tidak ingin ditemuinya saat ini.
“Kenapa dia ada di sini?” tanya Ace
menunjuk kearah orang yang berdiri di samping Deuce.
“Dia memaksa untuk ikut denganku.”
kata Deuce. “Jangan salahkan aku.”
Ace memalingkan wajahnya kearah
lain.
Deuce berjalan mendekati Ace dan
duduk di sampingnya. Begitu juga orang yang datang bersamanya tadi.
“Aku tidak tahu kamu terus memantau
dua orang itu.” kata orang itu sambil terkekeh. “Benar-benar sangat khas
dirimu, Ace.”
“Aku tidak perlu pujianmu.”
Orang itu tertawa dan melihat
kearah atap gedung di mana tadi Sakura dan Minato bertarung.
“Kamu benar-benar membuatku
kerepotan, Ace. Miko yang terpilih kali ini benar-benar di luar dugaanku.”
“Aku memang membuatnya seperti itu,
untuk membuatmu repot.” Balas Ace, “Aku benci ketika mereka harus dilibatkan
untuk hal seperti ini.”
“Kenapa? Kamu tidak terima?”
“Tentu saja aku tidak terima.” Kali
ini Ace memandang tajam orang itu, “Kau yang membuatku harus melakukan semua
ini. Dan aku tidak bisa memaafkanmu karena hal itu.”
“Aku merasa tersanjung.” Ucap orang
itu, “Tapi aku punya rencana tersendiri untuk mereka. Karena itulah walau
berkali-kali gadis itu membuatku ingin memarahinya, aku tidak membunuhnya…
setidaknya untuk saat ini.”
“Apa yang sebenarnya ingin kau
lakukan pada mereka?” tanya Ace, “Aku peringatkan padamu Manami, jika kau
menyentuh salah satu dari mereka, aku akan membuat perhitungan denganmu.”
“Hoho… aku takut.” Kata Manami
sambil tergelak, “Memangnya bisa apa kau, Manis? Kau bahkan tidak tahu apa yang
sedang kurencanakan, kan?”
Ace hanya menatap tajam kearah
Manami. Tapi dia tidak mengatakan apa-apa. Pandangannya kembali tertuju pada
atap gedung yang menjadi tempat pertarungan Minato dan Sakura tadi.
“Aku sedang merencanakan sesuatu
yang besar, karena itulah aku melibatkan mereka.” kata Manami, “Lagipula hanya
mereka berdua yang pantas memerankan peran dalam permainan ini.”
Ace bosan mendengar ucapan yang
sama yang dilontarkan oleh pria itu. Ia lalu berdiri dan menatap Deuce yang
dari tadi hanya diam di sebelahnya.
“Deuce, ayo kita pergi. Aku bosan
mendengarkan ucapan yang sama dan diucapkan berkali-kali oleh pria licik ini.”
“Baiklah,”
Manami menatap kepergian mereka
dengan senyum lebar. Setelah kedua orang itu pergi, Manami berdiri dan
mendongak melihat langit malam yang masih dihiasi awan hitam dan hujan yang
terus turun.
“Ah… benar-benar malam yang sangat
indah.”
****
Minato membuka pintu apartemennya dan langsung
masuk ke dalam. Direbahkannya tubuh Sakura yang lemah diatas sofa sementara dia
menyalakan penghangat ruangan dan kemudian mencari pakaian kering untuknya dan
Sakura.
Ketika Minato sedang mencari
pakaian ganti di kamarnya, Sakura membuka matanya. Gadis itu mengerutkan kening
bingung karena melihat langit-langit ruangan yang belum pernah dilihatnya.
Di
mana… ini?
Sakura mengernyit kesakitan
merasakan nyeri di dadanya. Ia menempelkan tangannya di sana dan merasakan
cairan lengket dan hangat di sana.
Darahnya.
Seketika Sakura terduduk tegak dan
membuatnya tubuhnya kesakitan.
“Akh!”
“Hei, apa yang kau lakukan?”
Sakura mendongak dan melihat Minato
berdiri di depan pintu kamar. Pemuda itu segera mendekatinya dan mendecak melihat
luka Sakura semakin bertambah parah.
“Seharusnya kau tetap berbaring dan
tidak membuat lukamu bertambah parah seperti ini.” ujar pemuda itu.
“D-di mana… ini…?”
“Apartemenku. Saat kamu berhasil
menusukku tepat di dada, justru kamu yang terluka dan akhirnya pingsan.”
“A-apa?”
“Sekarang, berbaringlah sementara
aku membersihkan lukamu… tunggu, apa tidak masalah kalau aku melepas kimonomu?”
tanya Minato.
Sakura mendelik mendengar
pertanyaan Minato dan melirik kotak obat yang dibawa pemuda itu bersama pakaian
ganti.
“Biar aku sendiri saja. Aku bisa
merawat lukaku sendiri.” kata Sakura.
“Tapi kamu—oh, baiklah. Jangan
menatapku dengan tatapan seperti itu. Aku hanya ingin membantumu.” Kata Minato
melihat tatapan Sakura seperti bersiap-siap ingin membunuhnya.
“Ini pakaian ganti untukmu. Aku
akan berganti pakaian di kamar mandi.” Ujar Minato menunjuk pakaian kering di
samping Sakura, “Setelah ini, kamu harus istirahat, untuk memulihkan
kondisimu.”
“Dan setelah itu, aku boleh
membunuhmu?” kata Sakura.
“Bisa tidak jangan membicarakan
tentang bunuh-membunuh saat kamu terluka? Asal tahu saja, aku tidak suka
melihat seorang gadis terluka, apalagi gadis itu adalah kamu.”
Sakura mengerutkan kening mendengar
ucapan Minato. Tapi dia tidak sempat menanyakan lebih jauh karena pemuda itu
sudah berjalan ke kamar mandi dan meninggalkannya sendirian di sana.
Sakura segera melepas kimononya
yang terkena darah dan mengobati lukanya. Beberapa kali dia harus berusaha
untuk tidak mengernyit kesakitan ketika membasuh lukanya dengan cairan
antiseptic atau membalut lukanya. Ini baru pertama kalinya sejak tiga tahun
lalu dia mendapat luka seserius ini. Dan anehnya, dia terluka di saat dia
menusukkan senjatanya pada Minato. Lebih anehnya lagi, pemuda itu bahkan tidak
terluka sedikitpun setelah ditusuk dengan senjata tajam tepat di jantung!
Memang seorang yang terlibat dalam
permainan ini tidak bisa dibunuh dengan mudah, apalagi mereka menjadi semacam
makhluk… immortal, abadi. Ditusuk di jantung pun pasti tidak akan terasa sakit
jika tidak dengan senjata khusus…
Dia tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi, tapi Sakura berjanji dia akan mencari tahu kenapa dia bisa terluka
seperti tadi. Dia yakin ada penjelasan tentang hal itu. Atau mungkin dia bisa
menanyai Manami… tapi, tidak. Itu adalah hal terakhir yang akan dilakukannya
jika tidak ada cara lain untuk mendapatkan jawaban dari pertanyaannya.
“Aduh!”
Dia meringis ketika mendapati jari
telunjuknya terkena jarum yang ada di dalam kotak obat. Sakura menatap
jemarinya yang terluka dan mengerjap ketika mendapati tidak ada satupun luka di
sana, padahal jelas-jelas tadi dia merasakan rasa sakit di jari telunjuknya!
“Apa…”
Pintu kamar mandi terbuka dan
Sakura buru-buru mengenakan kemeja putih besar yang ada di sampingnya dan
melihat Minato membuka kotak obat.
“A-apa yang kamu lakukan?”
“Jari telunjukku berdarah.” Kata
Minato sambil mencari sesuatu di kotak obat, “Padahal tadi aku tidak menyentuh
benda tajam, sama sekali.”
Ucapan Minato membuat Sakura
kembali terbelalak.
“Kamu bilang… jari telunjukmu
terluka?”
“Ya. Aku sudah mengatakan itu
padamu tadi, kan?” ujar Minato, “Duh… di mana plester luka yang baru kubeli
kemarin?”
“M-Minato,”
Minato mendongak dan melihat Sakura
sedang menatapnya dengan wajah sedikit pucat.
“H-hei, wajahmu pucat. Apa lukamu
bertambah parah—tunggu, apa yang kamu lakukan!?”
Minato terkejut melihat Sakura
mengambil sebuah jarum panjang dan menusukkannya ke jarinya sendiri. Gadis itu
menusukkan jarum itu cukup dalam ke jarinya, dan Minato yakin dia melihat wajah
kesakitan Sakura, namun…
“Aduh!!”
Minato merasakan nyeri yang amat
sangat dari jarinya yang tadi terluka dan melihat ke bawah. Rasa sakit yang
tadi dirasakannya menghilang dan diganti dengan keterkejutan ketika melihat
darah mengalir dari luka yang sangat mirip dengan tusukan jarum di jari
telunjuk Sakura. Ia menatap luka itu dan jari Sakura yang tidak mengeluarkan
darah dengan mata sedikit terbelalak.
“A-apa yang…”
“Ini tidak mungkin.” Kata Sakura,
“Apa… apa ini alasanku tidak bisa mati?”
“Hah?”
“Manami… dia pernah mengatakan padaku
kalau aku tidak akan bisa dibunuh dengan mudah.” Ujar Sakura, “Dia bilang aku
abadi. Tapi aku tidak pernah memercayai perkataannya. Jadi… oh Tuhan…”
Sakura menutup wajahnya dengan
kedua tangan dan menghela nafas berat.
“Sakura, apa maksudmu? Kamu benar-benar…
tidak bisa mati? Abadi?”
“Ya.” Sakura mengangguk, “Tapi
kurasa sekarang aku tahu kenapa aku tidak bisa mati. Semuanya bukan karena
kejadian tiga tahun lalu.”
“Maksudmu?”
Sakura mendongak dan menatap Minato
yang balas menatapnya kebingungan.
“Kamu pernah bertanya, apa alasanku
membunuh Senshu… iya, kan?” kata
gadis itu, “Salah satu alasan dari seribu alasan yang bisa kukatakan padamu
kenapa aku membunuh mereka adalah… aku mencari ‘jiwa’ku yang hilang.”
“Apa?”
“Sejak kecil aku adalah seorang Senshu, tapi bukan Senshu salah satu dari empat kelompok Shigi sekarang. Aku… aku berasal dari kelompok lain.”
“Kelompok… lain?” tanya Minato,
“Apa namanya?”
“Blue Phoenix.” Kata Sakura, “Itu adalah nama kelompokku. Dan… dan
kelompok itu sudah menghilang sejak sepuluh tahun yang lalu.”
“Sepuluh tahun yang lalu…” Minato
mengerutkan kening, “Apa kamu tahu kenapa kelompok itu bisa menghilang?”
“Kak Setsuna bilang kelompok Blue Phoenix menghilang karena Senshu dari kelompok itu mencoba
menghapus permainan Shigi. Tapi
sebelum mereka sempat melakukannya, kelompok itu sudah lebih dulu dihancurkan
oleh para Master.”
Minato manggut-manggut
mendengarnya. Tapi kemudian raut wajahnya sedikit berubah.
“Tadi kamu bilang… Kak Setsuna?
Siapa dia?”
“Kak Setsuna adalah orang yang merawatku
sejak kecil.” Jawab Sakura. “Memangnya kenapa?”
Minato merasakan keinginan yang
kuat untuk menanyakan tentang Setsuna yang disebut Sakura.
Setsuna… dia merasa pernah
mendengar nama itu sebelumnya.
“Dia… cirri-ciri Kak Setsuna yang
kamu bilang tadi, seperti apa?”
“Kenapa kamu ingin tahu?” tanya
Sakura. “Dia sudah meninggal, dan aku tidak mau membicarakannya.”
“A-aku hanya ingin tahu karena…
namanya sama dengan keluargaku.” Kata Minato, “Bisakah kamu memberitahuku
seperti apa cirri-ciri Setsuna itu?”
“Aku tidak mau membicarakannya.
Itu… itu… aku tidak mau mengingatnya.” Kata Sakura lagi.
“Sakura, aku hanya ingin tahu,”
“Tidak.”
“Sakura,”
“Aku bilang tidak, ya tetap tidak!”
kata Sakura, “Tolong jangan memaksaku. Aku… aku…”
Sakura meringis kesakitan dan
memegangi kepalanya. Tubuh gadis itu limbung dan nyaris terjatuh namun Minato
berhasil mencegahnya.
“S-Sakura? Kamu tidak apa-apa?”
Minato terkejut merasakan tubuh
Sakura gemetar. Tubuh gadis itu gemetar hebat sampai-sampai Minato khawatir
luka Sakura bertambah parah.
Sakura merasa memori menyakitkan
yang sudah ia lupakan, kembali. Ia mencoba menahan jeritan yang hendak keluar
dari bibirnya, dia mencoba untuk tidak terdengar ketakutan. Tapi…
“Sakura, lari! Kamu harus pergi dari sini secepatnya!”
“T-tapi—”
“Tidak apa-apa. Aku akan menahan mereka. Sekarang, cepat lari! LARI!!”
“Hhh…”
Minato meraskaan ketegangan pada
tubuh Sakura meningkat dan gadis itu mulai menangis tanpa suara.
“Sakura? Hei, Sakura?”
Sebutir airmata mengalir di pipi
gadis itu dan membuat Minato tertegun. Dia menatap wajah Sakura yang pucat dan
dihiasi airmata. Dan airmata itu…
Tiba-tiba mata Minato melihat
sesuatu. Di leher Sakura tergantung sebuah kalung dengan bandul bunga lili
berwarna putih. Dia mengerjap beberapa kali untuk memastikan dia tidak salah
lihat. Namun kalung yang melingkari leher Sakura masih ada di sana dan bersinar
terkena cahaya dari lampu apartemennya.
Kalung itu… kalung itu, kan…
“Kakak…” suara Sakura terdengar
lirih, “Ka… kak…”
“Sakura, kamu tidak apa-apa?”
Minato mendongakkan wajah Sakura
dan menghapus airmata gadis itu dengan jarinya. Sakura mengerjap bingung
menatap wajah Minato yang sangat dekat dengan wajahnya.
“…”
Mata biru Sakura yang berair
membuat Minato merasa kembali ke masa lalu. Adegan sekarang ini… persis sama
seperti sepuluh tahun lalu. Ketika dia berusaha menenangkan gadis
kesayangannya, Keiko, saat gadis itu ketakutan karena takut sendirian.
Mungkin… mungkin Minato tahu cara
menenangkan Sakura.
“Sakura,” panggil Minato lembut,
“Tidak ada yang perlu dikhawatirkan. Semuanya akan baik-baik saja.”
“T-tapi… Kak Setsuna…” bibir Sakura
mencoba mengucapkan kata-kata, namun tangis gadis itu pecah.
Entah kenapa Sakura terlihat sangat
ketakutan.
“Kak Setsuna… Kak Setsuna…” gadis
itu memanggil nama Setsuna berkali-kali. “Aku tidak mau… di… ditinggal…
sendirian…”
Sekarang, entah bagaimana Minato
mengerti siapa yang dibicarakan Sakura. Setsuna yang dimaksud oleh gadis itu…
dia tahu orang itu.
“Kakak… aku… aku tidak mau…
ditinggal sendiri…” Sakura masih menangis, “Aku takut…”
Sakura menangis sambil menunduk
hingga kedua bahu gadis itu berguncang.
Minato mengulurkan tangannya hendak
memeluk Sakura, tapi kemudian dia ingat, Sakura mungkin akan marah dan bisa
saja membunuhnya. Bukankah gadis itu ingin membunuhi semua Senshu yang ada di dalam permainan Shigi?
Karena itu Minato hanya memegang
tangan Sakura, sekedar menenangkan gadis itu. Dan dia tidak melakukan lebih
dari itu.
----------
Sakura tidak tahu berapa lama dia menangis.
Yang dia tahu matanya terasa berat dan bengkak. Dan dia tidak merasa harus malu
karena menangis seperti itu…
… terutama karena sudah lama sejak
dia menangis seperti tadi.
Minato, laki-laki yang tadinya
bertarung melawannya, sekarang duduk di sampingnya dan menggenggam tangannya.
Biasanya Sakura akan marah dan membentak siapapun yang berani menyentuhnya.
Tapi entah kenapa dia tidak
melakukannya pada Minato. Dia hanya membiarkan laki-laki itu memegang
tangannya, dan entah kenapa juga, Sakura merasakan perasaan asing namun
familiar di saat bersamaan ketika pemuda itu menggenggam tangannya.
Setelah merasa lebih baik, Sakura
melepaskan tangannya dari genggaman Minato dan sedikit menjauh dari pemuda itu.
“Maaf. Aku sedikit… emosional. Aku
teringat masa laluku.” Kata gadis itu.
“Tidak apa-apa.”
Baik Sakura dan Minato sama-sama
terdiam. Tidak ada yang berbicara diantara mereka, dan Sakura merasa keheningan
tersebut sangat canggung.
“Canggung, ya?”
“Eh?”
“Sejujurnya, aku tidak pernah
seperti ini pada perempuan.” Kata Minato sambil tersenyum kecil, “Aku tidak
pernah membiarkan perempuan masuk ke dalam apartemenku dan mencegah mereka
mendekatiku.”
“K-kenapa?”
“Karena aku takut mereka terluka.”
“Ter… luka…?”
Sakura mengerutkan kening mendengar
satu kata itu dan dia merasa seperti dilempar ke masa lalu. Dia juga merasa
mendengar suara seseorang yang berbicara padanya.
Tapi Sakura tahu itu hanya
halusinasinya saja.
“Hei, aku ingin bertanya padamu,”
kata Sakura, “Bagaimana bisa kamu… memiliki jiwaku?”
“He?”
Minato mengerutkan kening mendengar
pertanyaan Sakura. Dia melipat kedua tangannya di depan dada dan memiringkan
kepala.
“Aku juga tidak tahu kenapa aku
bisa memiliki jiwamu.” Ujar Minato. “Tapi… kalau aku memiliki ‘jiwa’mu, itu
artinya ‘jiwa’ku ada di dalam dirimu, kan?”
Sakura mengerjap dan mengangguk.
“Aku tadi berusaha melukai diriku
sendiri dan malah kamu yang terluka, kan? Berarti… ya. Jiwamu ada padaku.”
“Kenapa itu bisa terjadi?”
“Entahlah. Karena itu tadi aku
bertanya!”
“Ah, ya benar… maaf.”
Mereka berdua terdiam lagi.
“Kalau benar jiwa kita tertukar… penyebabnya
apa?” tanya Sakura, “Aku tidak pernah mengharapkan takdirku seperti ini.”
Minato menatap Sakura yang mengomel
sendiri dengan kening berkerut.
“Aku tidak tahu kenapa aku harus
bernasib seperti ini. Andai saja waktu bisa diulang… tapi itu tidak mungkin.
Aku tidak mau mengalami hal yang sama lagi.”
“Hal yang sama?”
“Bukan urusanmu.”
“Apa itu pantas diucapkan pada
orang yang sudah menolongmu?”
Sakura hendak membalas ucapan
Minato, tapi tidak tahu apa yang ingin dikatakannya hingga dia lebih memilih memalingkan
wajahnya kearah lain.
“Kamu… marah?”
“Tidak.” kata Sakura, “Untuk apa
aku marah?”
“Baguslah kalau kamu tidak marah.”
kata Minato, “Aku akan mencuci pakaianmu dulu. Kamu bisa beristirahat di sini
sampai kondisimu pulih, setidaknya malam ini kamu harus beristirahat cukup.”
“Aku tahu…” kata Sakura, “… terima
kasih.”
“Apa?” tanya Minato yang tidak
mendengar suara Sakura yang terlalu lirih.
“Apa aku harus mengulangi ucapanku
barusan?” Sakura menatapnya dengan tatapan menantang.
“Ah, ya… tidak apa.” ujar Minato,
“Kalau mau, kamu bisa tidur di kamarku, aku akan tidur di sofa ini.”
“Aku bisa tidur di mana saja.”
balas Sakura, “Aku sudah terbiasa—tunggu, kamu sedang apa!?”
Sakura panic ketika Minato
tahu-tahu saja menggendongnya. Pemuda itu dengan mudah mengangkatnya dengan
gaya menggendong seorang putri atau yang biasa disebut bridal-style. Sakura mau tidak mau melingkarkan kedua lengannya di
leher Minato dan menatapnya kaget sekaligus bingung.
“Aku tidak suka kalau seorang
perempuan tidur di sofa. Itu namanya tidak sopan.” Kata Minato.
“Aku sudah bilang aku bisa tidur di
man saja.” kata Sakura, “Aku sudah terbiasa sejak kecil.”
“Sejak kecil?”
Sakura tersadar dia nyaris
kelepasan bicara dan memilih diam. Pendar-pendar cahaya kembali muncul dan
menyelubungi gadis itu tanpa mereka sadari.
“Baiklah, aku tidak akan memaksamu
menceritakan masa lalumu. Tapi, jika seandainya aku ingin tahu lebih banyak
tentang dirimu… apa boleh?”
“Aku akan membunuhmu sebelum itu
terjadi.”
“Duh… bisa tidak sih, jangan
katakan ‘membunuh’ sekali saja. Aku jadi merinding mendengarnya.”
Sakura hanya diam dan
menyembunyikan wajahnya di lekukan leher Minato hingga membuat pemuda itu
terdiam.
“S-Sakura?”
“Aku tidak pernah ingat lagi
caranya untuk tidak mengatakan satu kata itu.” kata gadis itu pelan, “Aku sudah
membuat janji pada diri sendiri untuk membunuh semua Senshu… menyelamatkan mereka agar tidak sepertiku.”
“Eh?”
Sakura kembali diam, tapi tidak
benar-benar diam karena gadis itu menangis tanpa suara.
Sekali lagi Minato dibuat bingung
dan tertegun dengan sikap Sakura yang berubah-ubah.
****
Mayumi mencoba menghubungi Minato, tapi tidak
bisa tersambung dengan alat komunikasi pemuda itu, padahal ada hal yang sangat
penting yang ingin dikatakannya.
“Tidak bisa dihubungi?” tanya
seseorang yang duduk di hadapannya.
“Tidak. Sepertinya alat
komunikasinya mati.”
“Hmm…”
Mayumi menatap orang itu dengan
tatapan bingung. Ia lalu duduk di kursi di depan orang itu dan melipat kedua
tangannya di depan dada.
“Aku ingin bertanya sesuatu.”
“Silakan,” kata orang itu.
“Kenapa kamu tidak memperbolehkanku
memperlihatkan apa yang kutemukan dari data Miko itu pada Minato?” tanya
Mayumi, “Dari data tersebut, Miko itu adalah—”
“Belum waktunya. Aku tidak ingin
semua ini merusak rencanaku.” Sela orang itu, “Kuharap kamu mengerti, Mayumi.
Aku tidak ingin semua yang kulakukan selama ini sia-sia.”
“Kamu mengatakannya seolah-olah
rencanamu sudah sangat sempurna.” Ujar Mayumi dengan nada sarkastik.
“Tidak ada yang sempurna dalam
setiap rencana. Kadang di tengah jalan, rencana kita bisa hancur dalam sekejap.
Dan kamu hampir saja menghancurkan rencanaku.”
“Terima kasih atas peringatannya.
Tapi, serius. Kenapa aku tidak boleh memperlihatkan data itu pada Minato, Ace?”
Ace yang duduk di depan Mayumi
hanya memilin anak rambutnya yang berwarna kehitaman.
“Ace, jawab aku.” kata Mayumi.
“Maaf, untuk saat ini aku tidak
bisa menjawabnya.” Ujar Ace, “Tapi kumohon Mayumi, jangan sampai ada orang lain
yang tahu tentang Miko itu termasuk Manami.”
“Master itu?”
“Ya. Jika Manami tahu siapa Miko
itu sebenarnya, aku tidak akan bisa menjamin kita tidak akan bisa bebas dari
permainan kematian ini.”
“Kamu masih berusaha untuk
menghancurkan permainan Shigi ini?!”
“Aku berusaha memberikan masa depan
yang cerah untuk semua Senshu dalam
permainan ini: kebebasan.”
“Tapi kamu tahu peraturan permainan
ini adalah absolute, mutlak.” Ujar Mayumi, “Tidak mungkin membuat permainan ini
‘lenyap’ seperti yang kita inginkan!”
Ace menatap Mayumi lekat-lekat,
seulas senyum sedih terukir di wajahnya.
“Karena itulah aku mengorbankan
diriku sendiri, bahkan aku juga harus mengorbankan segala yang kupunyai
termasuk kepercayaan seseorang padaku.” kata Ace dengan nada sedih.
0 komentar:
Posting Komentar