Haruto
mengabaikan lengkingan pertanyaan yang cukup membuat telinganya agak
berdenging. Dia menatap Arisa dan mengangguk mantap atas pertanyaannya barusan.
“Aku
ingin kamu menjadi penyanyiku.” Katanya lagi. “Lagu-lagu yang sekarang sedang
berseliweran di kepalaku hanya cocok untuk suaramu. Dan aku ingin kamu menjadi
penyanyiku, menyanyikan lagu yang kubuat.”
“Ap—kenapa
harus aku?” tanya Arisa. “Aku tidak bisa. Kenapa tidak mencari orang lain
saja?”
“Tapi,
aku lebih menyukai suaramu.” Ujar Haruto, “Suaramu sangat cocok untuk menjadi
penyanyi, bahkan kamu bisa menjadi pengisi suara laki-laki dalam sebuah animasi
TV.”
“Tapi…”
Arisa menggeleng, “Aku tidak bisa. Masih banyak orang yang lebih hebat dariku,
dan lebih berbakat.”
“Kenapa
sepertinya kamu menolak permintaanku dengan keras?”
“Karena
aku tidak mau menjadi penghalang orang yang lebih berbakat dari diriku untuk
berkembang.” Ujar Arisa, “Lagipula aku…”
Arisa
tiba-tiba terdiam, membuat Haruto mengerutkan kening.
“Lagipula
kamu apa?” tanya Haruto.
“Bukan
hal penting.” Kata Arisa. “Yang jelas, aku tidak bisa menjadi penyanyimu. Cari
saja orang lain.”
“Tapi,
bagaimana kalau aku hanya mau kamu yang menjadi penyanyiku?” tanya Haruto lagi.
“Kenapa
sepertinya kamu bersikeras agar aku menjadi penyanyimu?” tanya Arisa balik.
“Karena
kamu adalah batu berlian yang perlu diasah.” Kata Haruto, “Aku ingin menjadi
orang pertama yang mengasah kemampuanmu lebih dalam lagi. Kalau benar-benar
diasah dan dipermak dengan cantik, pasti hasilnya akan sangat membanggakan.
Kamu mengerti maksudku, kan?”
Tentu
saja Arisa mengerti. Lagipula dia sudah pernah merasakan apa yang dikatakan
oleh Haruto barusan.
Arisa
menghela nafas pelan, “Sudah kubilang, aku tidak—”
“Bagaimana
kalau begini, tunjukkan bakatmu di depan ayahku. Aku yakin ia juga akan setuju
dengan pilihanku.” Kata Haruto, “Aku belum pernah merasakan ketertarikan yang
sangat besar seperti ini hanya karena suara, dan sialnya, atau malah
beruntungnya, kamulah yang terpilih.”
Haruto
berdiri dan menggenggam tangan Arisa.
“Ayo,
kita pergi ke aula, dan tunjukkan bakatmu di hadapan Liam Kirishima.” Ujar
Haruto.
“Ap—tapi,
aku…”
Tapi,
Haruto sudah keburu menariknya dan mengajaknya berlari menuju aula. Arisa
menatap tangannya yang digenggam oleh Haruto, kemudian wajah laki-laki itu.
Entah
kenapa, dia merasa familier jika Haruto menggenggam tangannya dan mengajaknya
berlari seperti sekarang.
***
Suasana
di aula sudah ramai ketika Tami, Debby, dan Mina sampai di sana. Beberapa orang
sudah menduduki kursi yang tersedia dan sebagian lagi asyik berkumpul dan
membentuk kelompok kecil.
“Kukira
kita terlambat, ternyata tidak.” ujar Tami.
“Tidak
mungkin kita terlambat, lagipula Liam Kirishima dan para guru belum datang.”
kata Mina.
“Sayang
sekali Arisa tidak mau ikut. Coba lihat dekorasi panggungnya. Benar-benar
cantik, ya?” kata Tami sambil menunjuk kearah panggung.
Mina
hendak menjawab ketika seseorang menyenggol bahunya dengan kasar dan hampir
membuatnya terjatuh.
“Oh,
maaf.” ujar orang yang menabraknya.
Seorang
gadis sebaya mereka dengan rambut yang dicat pirang dan memakai make-up yang membuat para guru harus
mengelus dada ketika melihatnya. Wajahnya memang cantik, terkesan eksotis,
namun raut wajahnya sangat angkuh, seolah yang ada di hadapannya adalah sampah
atau wabah penyakit yang harus dihindari.
“Aku
tidak sengaja menyenggolmu, Mina. Tapi… memang kamu pantas jatuh tadi, kalau
saja tidak ditolong oleh Tami.” Katanya lagi dengan nada angkuh.
Mina
menatap tajam pada gadis itu sebelum menjawab, “Dan kurasa kamu memang ingin
membuatku terjatuh, ya, Lisa?”
“Memang
begitu, tapi… aku tidak melihat si anak tukang kue. Di mana dia?”
“Kalau
yang kamu maksud adalah Arisa, sayang sekali, kamu tidak akan menemukannya
untuk dihina.” Ujar Tami, “Lebih baik kamu mengurusi dirimu sendiri daripada
mengejek dan mencemooh orang lain.”
“Kalian
anak-anak kampung tidak akan bisa melawanku dalam event kali ini.” ujar Lisa, “Liam Kirishima akan mencari calon
artis baru, dan aku yakin, aku yang akan terpilih. Sayang sekali anak tukang
kue itu tidak datang untuk bersaing denganku. Dia terlalu pengecut!”
Lisa
Miller tersenyum mencemooh dan kemudian berlalu dengan angkuh.
Tami
mendecak kesal, “Rasanya aku ingin sekali memukul kepalanya dengan palu besi.”
Katanya, “Dia benar-benar membuatku kesal!”
“Kamu
jangan melawannya, Tami.” Kata Debby, “Dia putri pemilik label rekaman yang
terkenal dan punya banyak koneksi untuk menjatuhkan seseorang yang tidak ia
senangi. Jangan sampai kamu menjadi korbannya selanjutnya.”
Tami
mendengus, memperhatikan Lisa yang berkumpul dengan teman-temannya yang menurut
Lisa ‘berkelas’ seperti dirinya.
“Aku
benar-benar berharap Arisa ada di sini untuk membalas kata-katanya.” Kata Mina,
“Arisa punya ketenangan luar biasa menghadapi orang seperti Lisa, seandainya
dia di sini…”
“Sudahlah,
jangan terlalu kesal begitu.” sela Debby, “Lebih baik kita mencari tempat duduk
yang kosong. Siapa tahu kita mendapat kursi di barisan depan.”
Ide
itu disambut anggukan oleh kedua temannya. Mereka bertiga mencari tempat duduk
yang kosong, dan ketika baru saja duduk di kursi, pintu aula terbuka. Kepala
sekolah dan para guru masuk bersama seorang pria yang mengenakan setelan jas
abu-abu dan memiliki wajah yang terlihat ramah, Liam Kirishima.
Tepuk
tangan mengiringi mereka ke panggung. Kepala sekolah menuju podium untuk
memberikan sambutan. Beberapa patah kata dari beliau disambut tepuk tangan oleh
para siswanya. Kemudian, setelah itu, event-pun
dimulai.
***
Liam
memperhatikan para peserta yang mengikuti event.
Dia sudah memiliki nama beberapa orang yang akan diseleksinya untuk menjadi trainee di bawah manajemen artisnya. Dia
memilih beberapa orang yang menurutnya pantas untuk dikembangkan bakatnya.
Bahkan walau hanya bakat kecil seperti bermain biola, dia tetap akan memastikan
kesuksesan orang itu di kemudian hari.
Namun,
Liam juga memikirkan masalah lain. Haruto terlambat datang. Ia tidak tahu
apakah putranya itu keasyikan berjalan-jalan dan lupa tujuan mereka kemari,
atau tersesat. Padahal anak itu sudah berjanji padanya untuk ikut menyeleksi
para peserta yang ikut event ini.
Ketika
seorang gadis berambut pirang maju ke panggung, keningnya berkerut.
“Apa
gadis itu adalah Lisa Miller?” tanya Liam pada salah seorang guru di dekatnya.
“Ya.
Dia putri Tuan Miller, pemilik label rekaman 4Sen. Inc.” jawab si guru, “Ada
masalah, Tuan Liam?”
“Tidak…
tidak apa.” Liam menggeleng pelan dan kembali memusatkan perhatiannya pada Lisa
Miller yang telah berdiri di atas panggung.
Lisa
tampak percaya diri. Dia meraih mikrofon yang ada di dekatnya dan
memperkenalkan diri.
“Nama
saya Lisa Miller. Saya akan mempertunjukkan keahlian saya dalam bernyanyi.”
Kata gadis itu.
Liam
mengangguk-angguk. Kepercayaan diri gadis itu sangat besar, dan Liam sangat
menyukai orang yang sangat percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya.
Lisa
bersiap akan menyanyi ketika pintu aula menjeblak terbuka dan membuat semua
orang kaget dan menoleh.
“Maaf,
aku terlambat.” Kata Haruto sambil menebarkan senyumnya pada semua orang yang
memandangnya.
Liam
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Haruto, namun ia segera
mengerutkan kening. Siapa gadis yang dibawa oleh Haruto itu?
***
Arisa
yakin semua orang tengah memandangnya, dan itu membuatnya sedikit malu. Dia
sudah tidak terbiasa ditatap oleh orang-orang seperti ini sejak… entah sejak
kapan, dia lupa, karena itu adalah pengalaman yang tidak ingin dia ingat lagi.
Haruto
mengajaknya duduk di kursi paling depan. Ia terus menundukkan wajahnya karena
tidak ingin menghadapi tatapan ingin tahu dari semua orang.
“Arisa?”
Arisa
mendongak dan melihat Tami ternyata duduk di sebelahnya. Tidak hanya Tami, tapi
juga Debby dan Mina. Mereka bertiga tampak terkejut dengan kedatangannya, terutama
dia datang bersama Haruto.
“Kamu
akhirnya datang!” kata Tami, “Tapi… dengan Haruto Kirishima? Bagaimana bisa?”
“Jangan
Tanya itu dulu sekarang.” Kata Arisa, “Dia memaksaku datang kemari ketika dia
menemukanku di taman belakang sekolah.”
“Dia
menemukanmu di taman belakang sekolah?” Tami membelalak dan menatap Debby dan
Mina, “Bagaimana—”
“Nanti
saja.” Kata Arisa lagi, kemudian kembali menunduk.
Tami
tidak bias bertanya-tanya lagi dan menatap ke panggung, ketika Lisa sedang
menunjukkan bakatnya dalam bernyanyi.
Haruto
menepuk tangan Arisa dan mendapatkan perhatian gadis itu.
“Aku
akan berbicara dengan ayahku sebentar. Kamu tunggu di sini, dan jangan
kemana-mana.” Ujarnya.
Tanpa
disuruh pun, Arisa tidak akan kemana-mana. Lagipula, kalau dia kabur, pasti
Haruto akan mencarinya lagi. Entah menyuruh orang lain atau melakukannya
sendiri.
Haruto
berjalan kearah ayahnya, seorang laki-laki yang mengenakan setelan abu-abu.
Arisa mengenal laki-laki itu, Liam Kirishima. Dia melihat mereka berdua
berbicara sebentar. Sesekali mata Haruto melirik kearah Arisa, lalu pada
ayahnya lagi. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Arisa harap, dia tidak
harus menghadapi orang-orang yang menatapnya…
Mungkin
sebaiknya dia mengatakan pada Haruto kalau dia tidak bisa maju ke panggung,
dan—
Suara
tepuk tangan di sekitarnya membuatnya terkejut. Arisa mendongak menatap
panggung dan melihat Lisa Miller sedang tersenyum penuh kemenangan ke semua
orang, dan kelihatannya, termasuk padanya juga. Tapi, Arisa merasa tidak perlu
membalas senyuman itu. masih ada hal lain yang mengganjal di pikirannya.
Ia
melihat kearah Haruto lagi, dan melihat laki-laki itu tidak kembali ke tempat
duduknya di sebelah Arisa, tapi menuju kearah keyboard di tengah
panggung kecil di aula itu.
Apa
yang akan dilakukan Haruto? Tanya Arisa dalam hati.
Liam
Kirishima berdiri sambil memegang mikrofon di tangannya.
“Maaf,
atas gangguan yang dibuat putraku, Haruto, tadi.” Ujar beliau, “Tapi, aku
tertarik ketika dia mengatakan ada satu lagi peserta yang ingin menunjukkan
bakatnya padaku…”
Mata
Liam tertuju padanya dan membuat Arisa gugup. Dia buru-buru menundukkan
wajahnya untuk menghindari tatapan tersebut, yang walaupun ramah, kelihatan
mengimintidasi.
“Siapa
yang bernama Arisa di sini?”
Lagi-lagi
Arisa terkejut ketika namanya dipanggil. Dia menoleh-noleh, memastikan bahwa
memang dialah yang dipanggil, kemudian menunjuk dirinya sendiri.
Liam
tersenyum melihat keluguan Arisa dan mengisyaratkan agar gadis itu maju ke
depan.
“Kata
Haruto, suaramu unik. Aku ingin tahu, seunik apa suaramu.” Kata Liam, “Apa kamu
bersedia menunjukkannya pada paman tua ini?”
Arisa
hanya terbengong-bengong sementara para penonton tertawa. Tapi, kemudian Tami
mendesaknya agar maju ke panggung. Dengan sedikit takut, Arisa maju dan
berhadapan dengan Liam Kirishima. Ia sempat melihat Haruto tersenyum padanya,
entah karena alas an apa.
“Kamu
yang bernama Arisa?”
“Ya.”
Kata Arisa, “Arisa… Kunisada.”
“Kunisada?”
kening Liam sedikit berkerut walau tidak kentara. “Apa kamu tadi bertemu dengan
Haruto secara tidak sengaja?”
Arisa
mengangguk.
“Menurut
Haruto, suaramu sangat unik. Kamu bisa bernyanyi dalam nada rendah dan tinggi dengan
sangat baik, bahkan bisa menirukan suara laki-laki. Apa benar?”
“Mungkin
dia hanya mendengarnya sekilas.” Kata Arisa mengedikkan bahu.
Liam
mengangguk, “Karena itu, aku ingin membuktikan apa ucapan Haruto benar atau
tidak.” Katanya. “Bisakah kamu menyanyikan satu lagu favoritmu? Jangan
khawatir, Haruto akan mengiringimu dengan permainan pianonya.”
Arisa
hanya diam. Bahkan ketika Liam memberikan mikrofon di tangannya pada Arisa.
Arisa
menatap Liam yang kembali duduk, lalu Haruto yang kelihatannya sudah sangat
siap dengan keyboard-nya.
Arisa
menatap para siswa yang sedang menatapnya. Rasa takut di masa lalunya mendadak
menyerangnya. Dia menutup matanya erat-erat dan berusaha menekan rasa takutnya.
Tangannya menyentuh kerah seragamnya dan merasakan rasa dingin dari rantai
kalung yang selalu ia pakai. Setelah mengheka nafas dan menyakinkan diri bahwa
semuanya akan baik-baik saja, Arisa membuka matanya dan menatap kearah penonton
dan mulai bernyanyi.
“Astaga…”
Tami menutup mulutnya, “Aku tidak pernah tahu Arisa bisa bernyanyi sebagus
ini!”
Di
panggung, Arisa menyanyikan lagu Ding Dong Merrily On High. Suaranya
benar-benar indah dan memukau semua orang yang mendengarnya. Arisa menyanyikan
lagu itu dengan nada yang riang, tidak kelihatan bahwa beberapa saat lalu dia
sangat gugup dan ketakutan. Arisa ingat lagu yang selalu ia nyanyikan ketika
Natal bersama kakaknya, Yuya. Dan hanya itu satu-satunya lagu yang cukup pas
untuk saat ini, walau memang sekarang bukan suasana Natal.
Haruto
yang mengiringi lagu Arisa juga kagum dengan kemampuan bernyanyi gadis itu. Dia
tahu Arisa tidak sembarangan dalam bernyanyi. Gadis itu menyanyikan lagu itu
dengan suara yang benar-benar memukau, kalau tidak mau dibilang seperti suara
malaikat. Suara gadis itu sangat mendekati sempurna, dan Haruto yakin, jika dia
menyanyi dengan suara laki-laki,
orang-orang akan mengira ia adalah laki-laki jika tidak melihat penyanyinya
secara langsung.
Ketika
lagu itu berakhir, nafas Arisa terengah-engah. Dia menatap para penonton yang
menatapnya balik. Dan tatapan mata mereka mengingatkan Arisa dengan
ketakutannya lagi. Ia baru akan berbalik ketika terdengar suara tepuk tangan.
Ia
menoleh lagi dan melihat semua orang memberikannya tepuk tangan, bahkan standing ovation.
“Suaramu
benar-benar indah, Arisa!” seru Debby sambil bertepuk tangan.
“Suaranya
benar-benar seperti malaikat.”
“Aku
yakin, dia bisa mengalahkan Lisa Miller. Voice
pitch-nya benar-benar tinggi!”
“Arisa,
kamu keren sekali!!”
“Nyanyikan
satu lagu lagi untuk kami, dong!”
Dan
masih banyak seruan-seruan lain yang membuat Arisa hanya bisa
terbengong-bengong.
Liam
bertepuk tangan dan mendekati Arisa. Ia melirik sekilas kearha Haruto yang
tersenyum penuh kemenangan, seakan mengatakan ‘Aku benar, kan?’ padanya. Liam
hanya terkekeh menanggapinya.
“Suaramu
benar-benar merdu, nak.” Ujar salah seorang guru yang tadi duduk di sebelah
Liam, mendekati Arisa. “Aku tidak pernah menduga suaramu bisa sebagus ini. Dari
mana kamu mempelajarinya?”
“Err…
itu…”
“Suaramu
memang sangat indah.” Kata Liam. “Nada suaramu tinggi, dan aku samar-samar
memang mendengar kalau kamu bisa menggunakan suara laki-laki.”
Arisa
hanya diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa.
“Kurasa
aku akan menawari kontrak kerja sama, Arisa.” Kata Liam, “Aku ingin sekali kamu
bergabung dengan manajemen artis yang kubangun. Bagaimana?”
“Eh,
tapi itu…”
“Apa
kamu keberatan?”
Suara
di belakangnya membuat Arisa menoleh. Haruto sudah berdiri di belakangnya dan
membuatnya nyaris melompat kaget untuk ke sekian kalinya.
“Apa
kamu keberatan bergabung dengan manajemen artis yang dikelola ayahku?” tanya
Haruto lagi.
“Aku
bukannya keberatan, tapi… aku harus minta izin pada orangtuaku.” Kata Arisa.
“Kami
bisa mengaturnya.” Ujar Liam, “Kita bisa bertemu kedua orangtuamu sepulang
sekolah ini. Bagaimana?”
Arisa
kelihatan ingin menolak, tapi, dia juga tahu, kalau kedua orangtuanya mendengar
bahwa dia ditawari kontrak menyanyi… mungkin kedua orangtuanya tidak akan
terlalu senang, tapi, mungkin juga mereka akan setuju, mengingat Arisa harus
melawan masa lalunya yang berhubungan dengan dunia entertainment…
“Bagaimana,
Arisa? Kamu mau, kan?” tanya Haruto.
Arisa
menatap Haruto beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk pelan.
***
Dari
event tersebut, Liam memilih beberapa
orang yang akan ia panggil untuk wawancara, setelahnya, apabila cocok dengan
sifat manajemen yang dikelolanya, mereka akan menanda-tangani kontrak kerja
sama dan akan menjadi trainee atau
siswa pelatihan sebelum menjadi seorang entertainer
yang sesungguhnya.
Namun,
untuk Arisa, sepertinya ia diperlakukan sedikit istimewa. Arisa sendiri
menyadarinya. Entah kenapa, Liam bersikeras bahwa ia inign berbicara dengan
kedua orangtuanya sepulang sekolah nanti.
Teman-temannya
memberinya ucapan selamat karena dipilih oleh Liam Kirishima dalam event itu. Ketiga temannya malah lebih
bahagia. Mereka bertiga benar-benar memuji suaranya, bahkan mengatakan kalau
dia lebih baik dari Lisa Miller.
“Jangan
melebih-lebihkan, suaraku tidak sebagus itu.” kata Arisa, “Aku yakin suaraku
membuat telinga orang berdenging.”
“Jangan
bercanda, Arisa! Suaramu itu benar-benar bagus!” ujar Debby, “Aku hanya pernah
mendengar suara sepertimu di TV, tapi, kamu… astaga! Aku bahkan masih tidak
percaya kamu mempunyai voice pitch tinggi seperti itu.”
Arisa
tidak tahu bagaimana menghentikan pujian teman-temannya. Tapi, dia tahu memang
tidak bisa menghentikan itu semua, terutama karena mereka sudah tahu dari
beberapa orang kalau dulu dia sering menjuarai lomba-lomba ketika ia masih
kecil. Heran, padahal dulu, orang-orang tidak mau repot-repot mencari tahu
tentang dirinya. Namun sekarang…
Arisa
menghembuskan nafas dan meminum air putih yang dibelikan Haruto untuknya.
Mereka masih berada di aula, menikmati pertunjukan lain dari band sekolah dan
yang lain. Arisa menatap panggung dengan tatapan setengah kosong. Dia
memikirkan apa yang akan dikatakan orangtuanya kalau ia ditawari kontrak kerja
sama dengan pemilik Mirai Entertainment.
Mungkin ini
kesempatan yang bagus. Katanya dalam hati, Sudah terlalu lama juga aku meninggalkan hal
yang paling kusuka… selama ini selalu bersembunyi.
“Arisa?”
Arisa
mengerjapkan mata dan mendongak. Dia menoleh kearah Tami yang tadi
memanggilnya.
“Kamu
belum menceritakan bagaimana Haruto Kirishima menemukanmu di taman belakang
sekolah.” Ujar Tami. “Bagaimana ceritanya dia bisa menemukanmu di sana?”
“Katanya
dia mendengar suaraku… saat aku bernyanyi.” Kata Arisa.
“Dia
mendengarmu bernyanyi? Jangan-jangan selama ini kamu selalu pergi ke taman
belakang sekolah hanya untuk… menyanyi?”
“Aku
tidak terlalu sering bernyanyi… hanya saja, hanya tempat itu yang menurutku
bisa menenangkan pikiranku dari beberapa hal yang… membuatku gelisah.”
“Hal-hal
seperti apa?” tanya Mina ikut nimbrung.
“Bukan
apa-apa.” jawab Arisa cepat. “Tapi, yah… katanya dia tertarik dengan suaraku,
terutama karena aku bisa menirukan suara laki-laki.”
“Yah…
kalau kamu bernyanyi, mungkin samar-samar terdengar seperti suara laki-laki,
tapi kalau berbicara normal, suaramu malah terdengar kekanakan.” Kata Tami.
“Ap—jangan
mulai menggodaku, deh, Tami.” Gerutu Arisa.
Tami
tertawa geli.
“Kamu
beruntung sekali, Arisa. Diminta secara khusus oleh Liam dan Haruto Kirishima.”
Ujar Debby, “Kamu dan Mina sangat beruntung bisa terpilih. Mina menunjukkan bakatnya
dalam bermain biola, dan dia juga mendapat tawaran wawancara.”
“Benarkah?”
Arisa terbelalak, “Apa itu benar, Mina?”
“Bukankah
tadi namaku juga disebutkan dalam daftar yang dipilih oleh Liam Kirishima? Apa
kamu tidak mendengarkan?” tanya Mina.
Arisa
menggeleng pelan. Saat penyebutan siapa saja yang terpilih untuk wawancara,
Arisa masih terbuai dalam alam lamunannya tentang bagaimana kedua orangtuanya
akan bereaksi.
“Aku
terlalu sibuk melamun saat itu.” kata Arisa.
“Kamu
ini…” Mina hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum, “Apa kamu melamun
karena Haruto meminta nomor ponselmu?”
“Hah?”
“Jangan
mengelak, deh, Arisa. Kami bertiga tahu sebelum kamu turun dari panggung, dia
meminta nomor ponselmu. Dia bahkan mengeluarkan ponselnya hanya untuk mengetik nomor
ponselmu.”
Arisa
hanya diam. Memang tadi sebelum mereka turun dari panggung, Haruto meminta
nomor ponselnya. Walau agak sedikit ragu, Arisa memberikan nomor ponselnya, dan
bahkan Haruto memberikan nomor ponselnya pada Arisa. Jadi, dia juga memiliki nomor
ponsel Haruto.
“Itu
hanya basa-basi. Selain itu…” Arisa melirik ke belakang melewati bahunya,
“Sepertinya ada yang tidak senang aku dekat dengan Haruto.”
“Siapa?
Lisa maksudmu?” tanya Debby, “Dia memang suka iri dengan orang lain! Tahu
tidak, Mina hampir saja terjatuh karena dia sengaja menabrak dari belakang. Dia
bahkan sempat menjelek-jelekkan pekerjaan ibumu!”
Arisa
menghela nafas lagi dan menatap ke depan, “Biarkan saja dia mengatakan apa pun
yang dia suka. Toh, semua itu tidak akan berpengaruh padaku.” katanya.
“Kamu
tidak berniat membalasnya?”
“Untuk
apa aku membalasnya? Kalau aku membalas celaan Lisa, sama saja aku mencela
orang lain. Dan itu artinya, aku sama sombongnya dengan dirinya.” kata Arisa.
Debby
mendecak pelan sambil memandang Arisa yang kelihatan tenang-tenang saja.
“Aku
heran, kamu tetap bisa tenang menghadapi celaan yang bahkan sudah membawa nama
orangtuamu sendiri.” katanya. “Kalau aku, mungkin akan melabraknya balik,
karena dia berani menyebut pekerjaan orangtuaku seolah-olah pekerjaan itu
adalah pekerjaan hina.”
Arisa
hanya tersenyum kecil.
“Jika
ingin membalasnya, balaslah secara halus. Itu yang selalu diajarkan oleh Mama.”
Kata Arisa. “Karena itu, aku tidak berniat membalas celaan Lisa dengan celaan
juga. Ada cara lain untuk membalasnya.”
“Oh
ya? Bagaimana?” tanya Tami tertarik.
“Itu…”
Arisa
belum sempat menyelesaikan kata-katanya ketika seorang guru maju ke atas
panggung dan memberitahu para siswa agar menikmati jam istirahat di luar aula.
Karena masih ada beberapa lagi yang akan tampil, sementara jam istirahat sudah
tiba, guru tersebut meminta para siswa untuk kembali lagi setelah jam istirahat
berakhir.
Arisa
dan ketiga temannya berdiri dan berjalan keluar dari aula. Mereka mengobrolkan
macam-macam hal sambil berjalan ke kantin.
“Hei,
tunggu!!”
Seseorang
menarik bahu Arisa dan membuat gadis itu hampir terjatuh. Namun, Arisa cepat
menguasai diri. Dia melihat Lisa menatapnya dengan sengit. Mata Lisa
menunjukkan amarah yang sangat jelas.
“Ada
apa?” tanya Arisa.
“Kamu
jangan sombong hanya karena dipilih secara khusus oleh Liam Kirishima!” kata
Lisa, “Harusnya aku yang dipilih secara khusus oleh beliau, dan bukannya kamu,
anak tukang kue biasa!”
Arisa
menatap Lisa seolah-olah gadis itu sudah gila.
“Apa!?
Kamu tidak bisa membalas, ya? Dasar pengecut!”
“Wow,
wow… apa kamu bilang? Pengecut?” Arisa mengangkat sebelah alis, “Bukannya kamu
sendiri yang merasa begitu? Seseorang yang menyebut orang lain pengecut adalah
si pengecut itu sendiri.”
“Hei,
pernah dengar kalau kata-kata yang diucapkan suatu saat akan berbalik pada diri
sendiri?” kata Arisa lagi, “Sebaiknya, jaga kata-katamu itu, Lady, atau kamu akan menyesal nantinya.”
Wajah
Lisa kentara sekali memerah karena ucapan Arisa. Dia menahan geram ketika Arisa
berbalik.
“Jangan
kabur kamu!”
Sekali
lagi Lisa menarik bahunya. Kali ini lebih keras sampai-sampai kalung yang
melingkari leher Arisa terlepas dan membuat kalung itu terjatuh dengan suara
yang cukup nyaring.
Arisa
terkesiap ketika menyadari kalungnya terjatuh dan hendak mengambilnya. Namun,
Lisa melihat kalung itu dan segera menginjaknya. Arisa menatap kalungnya yang
diinjak dan wajah Lisa yang tersenyum dengan sebelah bibir.
“Jauhkan
kakimu dari liontinku, Lisa.” Kata Arisa.
“Apa?
Ini kalung kesayanganmu, ya? Sampai suaramu terdengar lebih marah dari
biasanya?” ejek Lisa.
“Jangan
coba-coba menguji kesabaranku.” Kata Arisa lagi.
Diancam
seperti itu, Lisa bukannya takut, malah semakin menginjak kalung liontin Arisa.
Melihat itu, Arisa hanya menghela nafas.
“A,
Arisa, sebaiknya hentikan saja,” bisik Debby, “Semua orang sedang menonton
kalian bertengkar.”
Arisa
tahu para siswa yang lewat di koridor itu tengah menatap mereka dan membuat
semacam lingkaran hanya untuk menonton pertengkarannya dengan Lisa. Tapi, toh,
Arisa tidak terlalu peduli dengan semua itu.
Yang
dipedulikannya sekarang adalah kalung yang sedang diinjak oleh Lisa.
“Kalau
kamu mau aku mengembalikan kalung ini, kamu harus mengatakan padaku bahwa aku
lebih baik darimu, dan mengatakan pada Liam Kirishima kalau kamu menolak diwawancarai
untuk penandatanganan kontrak.” Kata Lisa. “Ayo, katakan sekarang.”
“Arisa…”
Tami menatap wajah Arisa yang masih tetap tenang.
Entah
apa yang akan dilakukan Arisa pada Lisa. Kedua temannya juga tidak ada yang
tahu ketika Tami menoleh kearah mereka.
Arisa
menatap Lisa dengan tatapan yang mungkin bisa membunuh seseorang. Tapi,
kemudian, dia menghembuskan nafas.
“Apa?
Kamu menolak?!” tanya Lisa sambil menunjuk kearah Arisa.
Tiba-tiba
tangan Arisa bergerak cepat menangkap tangan Lisa dan memitingnya ke belakang.
Gerakannya sangat cepat hingga beberapa orang hanya bisa melongo melihat apa
yang dilakukan Arisa. Lisa mengaduh kesakitan karena kuatnya cekalan tangan
Arisa. Arisa mendorong Lisa dari kalungnya dan segera mengambilnya.
“Apa-apan
kamu!? Mulai main kasar, ya??” kata Lisa sambil mengelus tangannya yang tadi
dicekal. “Dasar pengecut!”
“Ya…
aku memang akan menjadi pengecut kalau saja kamu tidak menginjak kalung ini.”
kata Arisa, “Kuperingatkan agar jangan pernah menyentuh kalung ini. Kalau
tidak, mungkin tanganmu akan patah, atau salah satu anggota tubuhmu ada yang
rusak.”
Arisa
mengucapkannya dengan wajah datar, membuat Lisa tertegun dan diam.
Arisa
mengenakan kembali kalungnya.
“Sebenarnya
aku tidak mau membentakmu, Lisa. Aku masih menghormatimu sebagai teman, walau
kurasa kamu tidak menganggapku demikian.” Kata Arisa, “Tapi, aku tidak suka
jika ada seseorang yang seenaknya mengambil apalagi menginjak kalung liontin
ini.”
“Ini
satu-satunya peninggalan seseorang yang berharga bagiku, dan aku tidak akan
memaafkan siapapun yang merusaknya.” Katanya lagi, “Dan ngomong-ngomong, kalau
tanganmu masih terasa sakit, aku minta maaf. Kuharap tidak membengkak.”
Arisa
berbalik dan pergi. Tami, Debby, dan Mina segera mengikuti. Meninggalkan Lisa
yang wajahnya memerah karena amarah yang siap meledak.
0 komentar:
Posting Komentar