Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Angel's Lullaby - Chapter 3



Haruto mengabaikan lengkingan pertanyaan yang cukup membuat telinganya agak berdenging. Dia menatap Arisa dan mengangguk mantap atas pertanyaannya barusan.
“Aku ingin kamu menjadi penyanyiku.” Katanya lagi. “Lagu-lagu yang sekarang sedang berseliweran di kepalaku hanya cocok untuk suaramu. Dan aku ingin kamu menjadi penyanyiku, menyanyikan lagu yang kubuat.”

“Ap—kenapa harus aku?” tanya Arisa. “Aku tidak bisa. Kenapa tidak mencari orang lain saja?”
“Tapi, aku lebih menyukai suaramu.” Ujar Haruto, “Suaramu sangat cocok untuk menjadi penyanyi, bahkan kamu bisa menjadi pengisi suara laki-laki dalam sebuah animasi TV.”
“Tapi…” Arisa menggeleng, “Aku tidak bisa. Masih banyak orang yang lebih hebat dariku, dan lebih berbakat.”
“Kenapa sepertinya kamu menolak permintaanku dengan keras?”
“Karena aku tidak mau menjadi penghalang orang yang lebih berbakat dari diriku untuk berkembang.” Ujar Arisa, “Lagipula aku…”
Arisa tiba-tiba terdiam, membuat Haruto mengerutkan kening.
“Lagipula kamu apa?” tanya Haruto.
“Bukan hal penting.” Kata Arisa. “Yang jelas, aku tidak bisa menjadi penyanyimu. Cari saja orang lain.”
“Tapi, bagaimana kalau aku hanya mau kamu yang menjadi penyanyiku?” tanya Haruto lagi.
“Kenapa sepertinya kamu bersikeras agar aku menjadi penyanyimu?” tanya Arisa balik.
“Karena kamu adalah batu berlian yang perlu diasah.” Kata Haruto, “Aku ingin menjadi orang pertama yang mengasah kemampuanmu lebih dalam lagi. Kalau benar-benar diasah dan dipermak dengan cantik, pasti hasilnya akan sangat membanggakan. Kamu mengerti maksudku, kan?”
Tentu saja Arisa mengerti. Lagipula dia sudah pernah merasakan apa yang dikatakan oleh Haruto barusan.
Arisa menghela nafas pelan, “Sudah kubilang, aku tidak—”
“Bagaimana kalau begini, tunjukkan bakatmu di depan ayahku. Aku yakin ia juga akan setuju dengan pilihanku.” Kata Haruto, “Aku belum pernah merasakan ketertarikan yang sangat besar seperti ini hanya karena suara, dan sialnya, atau malah beruntungnya, kamulah yang terpilih.”
Haruto berdiri dan menggenggam tangan Arisa.
“Ayo, kita pergi ke aula, dan tunjukkan bakatmu di hadapan Liam Kirishima.” Ujar Haruto.
“Ap—tapi, aku…”
Tapi, Haruto sudah keburu menariknya dan mengajaknya berlari menuju aula. Arisa menatap tangannya yang digenggam oleh Haruto, kemudian wajah laki-laki itu.
Entah kenapa, dia merasa familier jika Haruto menggenggam tangannya dan mengajaknya berlari seperti sekarang.

***

Suasana di aula sudah ramai ketika Tami, Debby, dan Mina sampai di sana. Beberapa orang sudah menduduki kursi yang tersedia dan sebagian lagi asyik berkumpul dan membentuk kelompok kecil.
“Kukira kita terlambat, ternyata tidak.” ujar Tami.
“Tidak mungkin kita terlambat, lagipula Liam Kirishima dan para guru belum datang.” kata Mina.
“Sayang sekali Arisa tidak mau ikut. Coba lihat dekorasi panggungnya. Benar-benar cantik, ya?” kata Tami sambil menunjuk kearah panggung.
Mina hendak menjawab ketika seseorang menyenggol bahunya dengan kasar dan hampir membuatnya terjatuh.
“Oh, maaf.” ujar orang yang menabraknya.
Seorang gadis sebaya mereka dengan rambut yang dicat pirang dan memakai make-up yang membuat para guru harus mengelus dada ketika melihatnya. Wajahnya memang cantik, terkesan eksotis, namun raut wajahnya sangat angkuh, seolah yang ada di hadapannya adalah sampah atau wabah penyakit yang harus dihindari.
“Aku tidak sengaja menyenggolmu, Mina. Tapi… memang kamu pantas jatuh tadi, kalau saja tidak ditolong oleh Tami.” Katanya lagi dengan nada angkuh.
Mina menatap tajam pada gadis itu sebelum menjawab, “Dan kurasa kamu memang ingin membuatku terjatuh, ya, Lisa?”
“Memang begitu, tapi… aku tidak melihat si anak tukang kue. Di mana dia?”
“Kalau yang kamu maksud adalah Arisa, sayang sekali, kamu tidak akan menemukannya untuk dihina.” Ujar Tami, “Lebih baik kamu mengurusi dirimu sendiri daripada mengejek dan mencemooh orang lain.”
“Kalian anak-anak kampung tidak akan bisa melawanku dalam event kali ini.” ujar Lisa, “Liam Kirishima akan mencari calon artis baru, dan aku yakin, aku yang akan terpilih. Sayang sekali anak tukang kue itu tidak datang untuk bersaing denganku. Dia terlalu pengecut!”
Lisa Miller tersenyum mencemooh dan kemudian berlalu dengan angkuh.
Tami mendecak kesal, “Rasanya aku ingin sekali memukul kepalanya dengan palu besi.” Katanya, “Dia benar-benar membuatku kesal!”
“Kamu jangan melawannya, Tami.” Kata Debby, “Dia putri pemilik label rekaman yang terkenal dan punya banyak koneksi untuk menjatuhkan seseorang yang tidak ia senangi. Jangan sampai kamu menjadi korbannya selanjutnya.”
Tami mendengus, memperhatikan Lisa yang berkumpul dengan teman-temannya yang menurut Lisa ‘berkelas’ seperti dirinya.
“Aku benar-benar berharap Arisa ada di sini untuk membalas kata-katanya.” Kata Mina, “Arisa punya ketenangan luar biasa menghadapi orang seperti Lisa, seandainya dia di sini…”
“Sudahlah, jangan terlalu kesal begitu.” sela Debby, “Lebih baik kita mencari tempat duduk yang kosong. Siapa tahu kita mendapat kursi di barisan depan.”
Ide itu disambut anggukan oleh kedua temannya. Mereka bertiga mencari tempat duduk yang kosong, dan ketika baru saja duduk di kursi, pintu aula terbuka. Kepala sekolah dan para guru masuk bersama seorang pria yang mengenakan setelan jas abu-abu dan memiliki wajah yang terlihat ramah, Liam Kirishima.
Tepuk tangan mengiringi mereka ke panggung. Kepala sekolah menuju podium untuk memberikan sambutan. Beberapa patah kata dari beliau disambut tepuk tangan oleh para siswanya. Kemudian, setelah itu, event-pun dimulai.

***

Liam memperhatikan para peserta yang mengikuti event. Dia sudah memiliki nama beberapa orang yang akan diseleksinya untuk menjadi trainee di bawah manajemen artisnya. Dia memilih beberapa orang yang menurutnya pantas untuk dikembangkan bakatnya. Bahkan walau hanya bakat kecil seperti bermain biola, dia tetap akan memastikan kesuksesan orang itu di kemudian hari.
Namun, Liam juga memikirkan masalah lain. Haruto terlambat datang. Ia tidak tahu apakah putranya itu keasyikan berjalan-jalan dan lupa tujuan mereka kemari, atau tersesat. Padahal anak itu sudah berjanji padanya untuk ikut menyeleksi para peserta yang ikut event ini.
Ketika seorang gadis berambut pirang maju ke panggung, keningnya berkerut.
“Apa gadis itu adalah Lisa Miller?” tanya Liam pada salah seorang guru di dekatnya.
“Ya. Dia putri Tuan Miller, pemilik label rekaman 4Sen. Inc.” jawab si guru, “Ada masalah, Tuan Liam?”
“Tidak… tidak apa.” Liam menggeleng pelan dan kembali memusatkan perhatiannya pada Lisa Miller yang telah berdiri di atas panggung.
Lisa tampak percaya diri. Dia meraih mikrofon yang ada di dekatnya dan memperkenalkan diri.
“Nama saya Lisa Miller. Saya akan mempertunjukkan keahlian saya dalam bernyanyi.” Kata gadis itu.
Liam mengangguk-angguk. Kepercayaan diri gadis itu sangat besar, dan Liam sangat menyukai orang yang sangat percaya diri dengan kemampuan yang dimilikinya.
Lisa bersiap akan menyanyi ketika pintu aula menjeblak terbuka dan membuat semua orang kaget dan menoleh.
“Maaf, aku terlambat.” Kata Haruto sambil menebarkan senyumnya pada semua orang yang memandangnya.
Liam hanya menggeleng-gelengkan kepalanya melihat kelakuan Haruto, namun ia segera mengerutkan kening. Siapa gadis yang dibawa oleh Haruto itu?

***

Arisa yakin semua orang tengah memandangnya, dan itu membuatnya sedikit malu. Dia sudah tidak terbiasa ditatap oleh orang-orang seperti ini sejak… entah sejak kapan, dia lupa, karena itu adalah pengalaman yang tidak ingin dia ingat lagi.
Haruto mengajaknya duduk di kursi paling depan. Ia terus menundukkan wajahnya karena tidak ingin menghadapi tatapan ingin tahu dari semua orang.
“Arisa?”
Arisa mendongak dan melihat Tami ternyata duduk di sebelahnya. Tidak hanya Tami, tapi juga Debby dan Mina. Mereka bertiga tampak terkejut dengan kedatangannya, terutama dia datang bersama Haruto.
“Kamu akhirnya datang!” kata Tami, “Tapi… dengan Haruto Kirishima? Bagaimana bisa?”
“Jangan Tanya itu dulu sekarang.” Kata Arisa, “Dia memaksaku datang kemari ketika dia menemukanku di taman belakang sekolah.”
“Dia menemukanmu di taman belakang sekolah?” Tami membelalak dan menatap Debby dan Mina, “Bagaimana—”
“Nanti saja.” Kata Arisa lagi, kemudian kembali menunduk.
Tami tidak bias bertanya-tanya lagi dan menatap ke panggung, ketika Lisa sedang menunjukkan bakatnya dalam bernyanyi.
Haruto menepuk tangan Arisa dan mendapatkan perhatian gadis itu.
“Aku akan berbicara dengan ayahku sebentar. Kamu tunggu di sini, dan jangan kemana-mana.” Ujarnya.
Tanpa disuruh pun, Arisa tidak akan kemana-mana. Lagipula, kalau dia kabur, pasti Haruto akan mencarinya lagi. Entah menyuruh orang lain atau melakukannya sendiri.
Haruto berjalan kearah ayahnya, seorang laki-laki yang mengenakan setelan abu-abu. Arisa mengenal laki-laki itu, Liam Kirishima. Dia melihat mereka berdua berbicara sebentar. Sesekali mata Haruto melirik kearah Arisa, lalu pada ayahnya lagi. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Arisa harap, dia tidak harus menghadapi orang-orang yang menatapnya…
Mungkin sebaiknya dia mengatakan pada Haruto kalau dia tidak bisa maju ke panggung, dan—
Suara tepuk tangan di sekitarnya membuatnya terkejut. Arisa mendongak menatap panggung dan melihat Lisa Miller sedang tersenyum penuh kemenangan ke semua orang, dan kelihatannya, termasuk padanya juga. Tapi, Arisa merasa tidak perlu membalas senyuman itu. masih ada hal lain yang mengganjal di pikirannya.
Ia melihat kearah Haruto lagi, dan melihat laki-laki itu tidak kembali ke tempat duduknya di sebelah Arisa, tapi menuju kearah keyboard di tengah panggung kecil di aula itu.
Apa yang akan dilakukan Haruto? Tanya Arisa dalam hati.
Liam Kirishima berdiri sambil memegang mikrofon di tangannya.
“Maaf, atas gangguan yang dibuat putraku, Haruto, tadi.” Ujar beliau, “Tapi, aku tertarik ketika dia mengatakan ada satu lagi peserta yang ingin menunjukkan bakatnya padaku…”
Mata Liam tertuju padanya dan membuat Arisa gugup. Dia buru-buru menundukkan wajahnya untuk menghindari tatapan tersebut, yang walaupun ramah, kelihatan mengimintidasi.
“Siapa yang bernama Arisa di sini?”
Lagi-lagi Arisa terkejut ketika namanya dipanggil. Dia menoleh-noleh, memastikan bahwa memang dialah yang dipanggil, kemudian menunjuk dirinya sendiri.
Liam tersenyum melihat keluguan Arisa dan mengisyaratkan agar gadis itu maju ke depan.
“Kata Haruto, suaramu unik. Aku ingin tahu, seunik apa suaramu.” Kata Liam, “Apa kamu bersedia menunjukkannya pada paman tua ini?”
Arisa hanya terbengong-bengong sementara para penonton tertawa. Tapi, kemudian Tami mendesaknya agar maju ke panggung. Dengan sedikit takut, Arisa maju dan berhadapan dengan Liam Kirishima. Ia sempat melihat Haruto tersenyum padanya, entah karena alas an apa.
“Kamu yang bernama Arisa?”
“Ya.” Kata Arisa, “Arisa… Kunisada.”
“Kunisada?” kening Liam sedikit berkerut walau tidak kentara. “Apa kamu tadi bertemu dengan Haruto secara tidak sengaja?”
Arisa mengangguk.
“Menurut Haruto, suaramu sangat unik. Kamu bisa bernyanyi dalam nada rendah dan tinggi dengan sangat baik, bahkan bisa menirukan suara laki-laki. Apa benar?”
“Mungkin dia hanya mendengarnya sekilas.” Kata Arisa mengedikkan bahu.
Liam mengangguk, “Karena itu, aku ingin membuktikan apa ucapan Haruto benar atau tidak.” Katanya. “Bisakah kamu menyanyikan satu lagu favoritmu? Jangan khawatir, Haruto akan mengiringimu dengan permainan pianonya.”
Arisa hanya diam. Bahkan ketika Liam memberikan mikrofon di tangannya pada Arisa.
Arisa menatap Liam yang kembali duduk, lalu Haruto yang kelihatannya sudah sangat siap dengan keyboard-nya.
Arisa menatap para siswa yang sedang menatapnya. Rasa takut di masa lalunya mendadak menyerangnya. Dia menutup matanya erat-erat dan berusaha menekan rasa takutnya. Tangannya menyentuh kerah seragamnya dan merasakan rasa dingin dari rantai kalung yang selalu ia pakai. Setelah mengheka nafas dan menyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja, Arisa membuka matanya dan menatap kearah penonton dan mulai bernyanyi.

“Astaga…” Tami menutup mulutnya, “Aku tidak pernah tahu Arisa bisa bernyanyi sebagus ini!”
Di panggung, Arisa menyanyikan lagu Ding Dong Merrily On High. Suaranya benar-benar indah dan memukau semua orang yang mendengarnya. Arisa menyanyikan lagu itu dengan nada yang riang, tidak kelihatan bahwa beberapa saat lalu dia sangat gugup dan ketakutan. Arisa ingat lagu yang selalu ia nyanyikan ketika Natal bersama kakaknya, Yuya. Dan hanya itu satu-satunya lagu yang cukup pas untuk saat ini, walau memang sekarang bukan suasana Natal.
Haruto yang mengiringi lagu Arisa juga kagum dengan kemampuan bernyanyi gadis itu. Dia tahu Arisa tidak sembarangan dalam bernyanyi. Gadis itu menyanyikan lagu itu dengan suara yang benar-benar memukau, kalau tidak mau dibilang seperti suara malaikat. Suara gadis itu sangat mendekati sempurna, dan Haruto yakin, jika dia menyanyi dengan suara  laki-laki, orang-orang akan mengira ia adalah laki-laki jika tidak melihat penyanyinya secara langsung.
Ketika lagu itu berakhir, nafas Arisa terengah-engah. Dia menatap para penonton yang menatapnya balik. Dan tatapan mata mereka mengingatkan Arisa dengan ketakutannya lagi. Ia baru akan berbalik ketika terdengar suara tepuk tangan.
Ia menoleh lagi dan melihat semua orang memberikannya tepuk tangan, bahkan standing ovation.
“Suaramu benar-benar indah, Arisa!” seru Debby sambil bertepuk tangan.
“Suaranya benar-benar seperti malaikat.”
“Aku yakin, dia bisa mengalahkan Lisa Miller. Voice pitch-nya benar-benar tinggi!”
“Arisa, kamu keren sekali!!”
“Nyanyikan satu lagu lagi untuk kami, dong!”
Dan masih banyak seruan-seruan lain yang membuat Arisa hanya bisa terbengong-bengong.
Liam bertepuk tangan dan mendekati Arisa. Ia melirik sekilas kearha Haruto yang tersenyum penuh kemenangan, seakan mengatakan ‘Aku benar, kan?’ padanya. Liam hanya terkekeh menanggapinya.
“Suaramu benar-benar merdu, nak.” Ujar salah seorang guru yang tadi duduk di sebelah Liam, mendekati Arisa. “Aku tidak pernah menduga suaramu bisa sebagus ini. Dari mana kamu mempelajarinya?”
“Err… itu…”
“Suaramu memang sangat indah.” Kata Liam. “Nada suaramu tinggi, dan aku samar-samar memang mendengar kalau kamu bisa menggunakan suara laki-laki.”
Arisa hanya diam. Dia tidak tahu harus menjawab apa.
“Kurasa aku akan menawari kontrak kerja sama, Arisa.” Kata Liam, “Aku ingin sekali kamu bergabung dengan manajemen artis yang kubangun. Bagaimana?”
“Eh, tapi itu…”
“Apa kamu keberatan?”
Suara di belakangnya membuat Arisa menoleh. Haruto sudah berdiri di belakangnya dan membuatnya nyaris melompat kaget untuk ke sekian kalinya.
“Apa kamu keberatan bergabung dengan manajemen artis yang dikelola ayahku?” tanya Haruto lagi.
“Aku bukannya keberatan, tapi… aku harus minta izin pada orangtuaku.” Kata Arisa.
“Kami bisa mengaturnya.” Ujar Liam, “Kita bisa bertemu kedua orangtuamu sepulang sekolah ini. Bagaimana?”
Arisa kelihatan ingin menolak, tapi, dia juga tahu, kalau kedua orangtuanya mendengar bahwa dia ditawari kontrak menyanyi… mungkin kedua orangtuanya tidak akan terlalu senang, tapi, mungkin juga mereka akan setuju, mengingat Arisa harus melawan masa lalunya yang berhubungan dengan dunia entertainment
“Bagaimana, Arisa? Kamu mau, kan?” tanya Haruto.
Arisa menatap Haruto beberapa saat, sebelum akhirnya mengangguk pelan.

***

Dari event tersebut, Liam memilih beberapa orang yang akan ia panggil untuk wawancara, setelahnya, apabila cocok dengan sifat manajemen yang dikelolanya, mereka akan menanda-tangani kontrak kerja sama dan akan menjadi trainee atau siswa pelatihan sebelum menjadi seorang entertainer yang sesungguhnya.
Namun, untuk Arisa, sepertinya ia diperlakukan sedikit istimewa. Arisa sendiri menyadarinya. Entah kenapa, Liam bersikeras bahwa ia inign berbicara dengan kedua orangtuanya sepulang sekolah nanti.
Teman-temannya memberinya ucapan selamat karena dipilih oleh Liam Kirishima dalam event itu. Ketiga temannya malah lebih bahagia. Mereka bertiga benar-benar memuji suaranya, bahkan mengatakan kalau dia lebih baik dari Lisa Miller.
“Jangan melebih-lebihkan, suaraku tidak sebagus itu.” kata Arisa, “Aku yakin suaraku membuat telinga orang berdenging.”
“Jangan bercanda, Arisa! Suaramu itu benar-benar bagus!” ujar Debby, “Aku hanya pernah mendengar suara sepertimu di TV, tapi, kamu… astaga! Aku bahkan masih tidak percaya kamu mempunyai voice pitch tinggi seperti itu.”
Arisa tidak tahu bagaimana menghentikan pujian teman-temannya. Tapi, dia tahu memang tidak bisa menghentikan itu semua, terutama karena mereka sudah tahu dari beberapa orang kalau dulu dia sering menjuarai lomba-lomba ketika ia masih kecil. Heran, padahal dulu, orang-orang tidak mau repot-repot mencari tahu tentang dirinya. Namun sekarang…
Arisa menghembuskan nafas dan meminum air putih yang dibelikan Haruto untuknya. Mereka masih berada di aula, menikmati pertunjukan lain dari band sekolah dan yang lain. Arisa menatap panggung dengan tatapan setengah kosong. Dia memikirkan apa yang akan dikatakan orangtuanya kalau ia ditawari kontrak kerja sama dengan pemilik Mirai Entertainment.
Mungkin ini kesempatan yang bagus. Katanya dalam hati, Sudah terlalu lama juga aku meninggalkan hal yang paling kusuka… selama ini selalu bersembunyi.
“Arisa?”
Arisa mengerjapkan mata dan mendongak. Dia menoleh kearah Tami yang tadi memanggilnya.
“Kamu belum menceritakan bagaimana Haruto Kirishima menemukanmu di taman belakang sekolah.” Ujar Tami. “Bagaimana ceritanya dia bisa menemukanmu di sana?”
“Katanya dia mendengar suaraku… saat aku bernyanyi.” Kata Arisa.
“Dia mendengarmu bernyanyi? Jangan-jangan selama ini kamu selalu pergi ke taman belakang sekolah hanya untuk… menyanyi?”
“Aku tidak terlalu sering bernyanyi… hanya saja, hanya tempat itu yang menurutku bisa menenangkan pikiranku dari beberapa hal yang… membuatku gelisah.”
“Hal-hal seperti apa?” tanya Mina ikut nimbrung.
“Bukan apa-apa.” jawab Arisa cepat. “Tapi, yah… katanya dia tertarik dengan suaraku, terutama karena aku bisa menirukan suara laki-laki.”
“Yah… kalau kamu bernyanyi, mungkin samar-samar terdengar seperti suara laki-laki, tapi kalau berbicara normal, suaramu malah terdengar kekanakan.” Kata Tami.
“Ap—jangan mulai menggodaku, deh, Tami.” Gerutu Arisa.
Tami tertawa geli.
“Kamu beruntung sekali, Arisa. Diminta secara khusus oleh Liam dan Haruto Kirishima.” Ujar Debby, “Kamu dan Mina sangat beruntung bisa terpilih. Mina menunjukkan bakatnya dalam bermain biola, dan dia juga mendapat tawaran wawancara.”
“Benarkah?” Arisa terbelalak, “Apa itu benar, Mina?”
“Bukankah tadi namaku juga disebutkan dalam daftar yang dipilih oleh Liam Kirishima? Apa kamu tidak mendengarkan?” tanya Mina.
Arisa menggeleng pelan. Saat penyebutan siapa saja yang terpilih untuk wawancara, Arisa masih terbuai dalam alam lamunannya tentang bagaimana kedua orangtuanya akan bereaksi.
“Aku terlalu sibuk melamun saat itu.” kata Arisa.
“Kamu ini…” Mina hanya geleng-geleng kepala sambil tersenyum, “Apa kamu melamun karena Haruto meminta nomor ponselmu?”
“Hah?”
“Jangan mengelak, deh, Arisa. Kami bertiga tahu sebelum kamu turun dari panggung, dia meminta nomor ponselmu. Dia bahkan mengeluarkan ponselnya hanya untuk mengetik nomor ponselmu.”
Arisa hanya diam. Memang tadi sebelum mereka turun dari panggung, Haruto meminta nomor ponselnya. Walau agak sedikit ragu, Arisa memberikan nomor ponselnya, dan bahkan Haruto memberikan nomor ponselnya pada Arisa. Jadi, dia juga memiliki nomor ponsel Haruto.
“Itu hanya basa-basi. Selain itu…” Arisa melirik ke belakang melewati bahunya, “Sepertinya ada yang tidak senang aku dekat dengan Haruto.”
“Siapa? Lisa maksudmu?” tanya Debby, “Dia memang suka iri dengan orang lain! Tahu tidak, Mina hampir saja terjatuh karena dia sengaja menabrak dari belakang. Dia bahkan sempat menjelek-jelekkan pekerjaan ibumu!”
Arisa menghela nafas lagi dan menatap ke depan, “Biarkan saja dia mengatakan apa pun yang dia suka. Toh, semua itu tidak akan berpengaruh padaku.” katanya.
“Kamu tidak berniat membalasnya?”
“Untuk apa aku membalasnya? Kalau aku membalas celaan Lisa, sama saja aku mencela orang lain. Dan itu artinya, aku sama sombongnya dengan dirinya.” kata Arisa.
Debby mendecak pelan sambil memandang Arisa yang kelihatan tenang-tenang saja.
“Aku heran, kamu tetap bisa tenang menghadapi celaan yang bahkan sudah membawa nama orangtuamu sendiri.” katanya. “Kalau aku, mungkin akan melabraknya balik, karena dia berani menyebut pekerjaan orangtuaku seolah-olah pekerjaan itu adalah pekerjaan hina.”
Arisa hanya tersenyum kecil.
“Jika ingin membalasnya, balaslah secara halus. Itu yang selalu diajarkan oleh Mama.” Kata Arisa. “Karena itu, aku tidak berniat membalas celaan Lisa dengan celaan juga. Ada cara lain untuk membalasnya.”
“Oh ya? Bagaimana?” tanya Tami tertarik.
“Itu…”
Arisa belum sempat menyelesaikan kata-katanya ketika seorang guru maju ke atas panggung dan memberitahu para siswa agar menikmati jam istirahat di luar aula. Karena masih ada beberapa lagi yang akan tampil, sementara jam istirahat sudah tiba, guru tersebut meminta para siswa untuk kembali lagi setelah jam istirahat berakhir.
Arisa dan ketiga temannya berdiri dan berjalan keluar dari aula. Mereka mengobrolkan macam-macam hal sambil berjalan ke kantin.
“Hei, tunggu!!”
Seseorang menarik bahu Arisa dan membuat gadis itu hampir terjatuh. Namun, Arisa cepat menguasai diri. Dia melihat Lisa menatapnya dengan sengit. Mata Lisa menunjukkan amarah yang sangat jelas.
“Ada apa?” tanya Arisa.
“Kamu jangan sombong hanya karena dipilih secara khusus oleh Liam Kirishima!” kata Lisa, “Harusnya aku yang dipilih secara khusus oleh beliau, dan bukannya kamu, anak tukang kue biasa!”
Arisa menatap Lisa seolah-olah gadis itu sudah gila.
“Apa!? Kamu tidak bisa membalas, ya? Dasar pengecut!”
“Wow, wow… apa kamu bilang? Pengecut?” Arisa mengangkat sebelah alis, “Bukannya kamu sendiri yang merasa begitu? Seseorang yang menyebut orang lain pengecut adalah si pengecut itu sendiri.”
“Hei, pernah dengar kalau kata-kata yang diucapkan suatu saat akan berbalik pada diri sendiri?” kata Arisa lagi, “Sebaiknya, jaga kata-katamu itu, Lady, atau kamu akan menyesal nantinya.”
Wajah Lisa kentara sekali memerah karena ucapan Arisa. Dia menahan geram ketika Arisa berbalik.
“Jangan kabur kamu!”
Sekali lagi Lisa menarik bahunya. Kali ini lebih keras sampai-sampai kalung yang melingkari leher Arisa terlepas dan membuat kalung itu terjatuh dengan suara yang cukup nyaring.
Arisa terkesiap ketika menyadari kalungnya terjatuh dan hendak mengambilnya. Namun, Lisa melihat kalung itu dan segera menginjaknya. Arisa menatap kalungnya yang diinjak dan wajah Lisa yang tersenyum dengan sebelah bibir.
“Jauhkan kakimu dari liontinku, Lisa.” Kata Arisa.
“Apa? Ini kalung kesayanganmu, ya? Sampai suaramu terdengar lebih marah dari biasanya?” ejek Lisa.
“Jangan coba-coba menguji kesabaranku.” Kata Arisa lagi.
Diancam seperti itu, Lisa bukannya takut, malah semakin menginjak kalung liontin Arisa. Melihat itu, Arisa hanya menghela nafas.
“A, Arisa, sebaiknya hentikan saja,” bisik Debby, “Semua orang sedang menonton kalian bertengkar.”
Arisa tahu para siswa yang lewat di koridor itu tengah menatap mereka dan membuat semacam lingkaran hanya untuk menonton pertengkarannya dengan Lisa. Tapi, toh, Arisa tidak terlalu peduli dengan semua itu.
Yang dipedulikannya sekarang adalah kalung yang sedang diinjak oleh Lisa.
“Kalau kamu mau aku mengembalikan kalung ini, kamu harus mengatakan padaku bahwa aku lebih baik darimu, dan mengatakan pada Liam Kirishima kalau kamu menolak diwawancarai untuk penandatanganan kontrak.” Kata Lisa. “Ayo, katakan sekarang.”
“Arisa…” Tami menatap wajah Arisa yang masih tetap tenang.
Entah apa yang akan dilakukan Arisa pada Lisa. Kedua temannya juga tidak ada yang tahu ketika Tami menoleh kearah mereka.
Arisa menatap Lisa dengan tatapan yang mungkin bisa membunuh seseorang. Tapi, kemudian, dia menghembuskan nafas.
“Apa? Kamu menolak?!” tanya Lisa sambil menunjuk kearah Arisa.
Tiba-tiba tangan Arisa bergerak cepat menangkap tangan Lisa dan memitingnya ke belakang. Gerakannya sangat cepat hingga beberapa orang hanya bisa melongo melihat apa yang dilakukan Arisa. Lisa mengaduh kesakitan karena kuatnya cekalan tangan Arisa. Arisa mendorong Lisa dari kalungnya dan segera mengambilnya.
“Apa-apan kamu!? Mulai main kasar, ya??” kata Lisa sambil mengelus tangannya yang tadi dicekal. “Dasar pengecut!”
“Ya… aku memang akan menjadi pengecut kalau saja kamu tidak menginjak kalung ini.” kata Arisa, “Kuperingatkan agar jangan pernah menyentuh kalung ini. Kalau tidak, mungkin tanganmu akan patah, atau salah satu anggota tubuhmu ada yang rusak.”
Arisa mengucapkannya dengan wajah datar, membuat Lisa tertegun dan diam.
Arisa mengenakan kembali kalungnya.
“Sebenarnya aku tidak mau membentakmu, Lisa. Aku masih menghormatimu sebagai teman, walau kurasa kamu tidak menganggapku demikian.” Kata Arisa, “Tapi, aku tidak suka jika ada seseorang yang seenaknya mengambil apalagi menginjak kalung liontin ini.”
“Ini satu-satunya peninggalan seseorang yang berharga bagiku, dan aku tidak akan memaafkan siapapun yang merusaknya.” Katanya lagi, “Dan ngomong-ngomong, kalau tanganmu masih terasa sakit, aku minta maaf. Kuharap tidak membengkak.”
Arisa berbalik dan pergi. Tami, Debby, dan Mina segera mengikuti. Meninggalkan Lisa yang wajahnya memerah karena amarah yang siap meledak.

0 komentar:

Posting Komentar