Regina?
Regina berdiri di hadapan Reina
dengan senyum manis tersungging di bibirnya. Reina awalnya tidak percaya sosok
yang berdiri di hadapannya adalah Regina. Tapi suaranya tadi… Reina hafal suara
Regina dan dia tidak mungkin salah.
“Rupanya kamu masih mengenalku, ya?
Kukira tadi kamu tidak mengenaliku.” Ujar Regina ketika melihat tatapan Reina
yang tampaknya mengenalinya. “Senang sekali melihatmu tidak berdaya seperti
ini.”
Reina ingin bertanya kenapa Regina
menyuruh orang untuk menculiknya tapi dia tidak mungkin bisa melakukannya
karena mulutnya yang dilakban. Reina hanya bisa menatap Regina lekat-lekat dan
mencoba mencari tahu sendiri alasan wanita itu menculiknya.
“Kalian memperlakukannya dengan
baik, kan?” tanya Regina pada para penculik Reina, “Aku tidak mau dia terluka
sampai besok siang, sesuai perjanjian yang kalian buat dengan Kay.”
“Tentu saja tidak, Bos. Kami
melaksanakan perintah Bos dengan baik.” kata mereka.
“Bagus, bagus…” Regina
manggut-manggut, “Sebenarnya aku ingin sekali melihatnya tidak bernyawa lagi,
andai saja Tante Maria tidak menyuruhku untuk menahan diri. Katanya gadis ini
tidak lebih berharga daripada Kay.”
Tante
Maria? Apa hubungannya ibu Kay dengan semua ini? tanya Reina dalam hati.
“Bayaran kalian akan kutransfer
malam ini juga. Kuperingatkan sekali lagi, jangan coba-coba membuatnya terluka
sampai besok siang.”
“Beres, Bos…”
Regina berjongkok di hadapan Reina,
“Sayang sekali aku tidak bisa membunuhmu kali ini. Tapi tidak apa… setidaknya
aku mendapat restu dari Tante Maria untuk memperlakukanmu sesukaku.” Katanya,
“Kamu mungkin tidak tahu, Reina sayang, tapi baik aku maupun Tante Maria punya
dendam tersendiri padamu.”
Reina mengerjapkan matanya bingung
mendengar ucapan Regina. Namun wanita itu tidak menjelaskan lebih jauh.
Wanita itu berdiri dan mengenakan
kembali kacamatanya, “Kalian jaga dia, jangan sampai di kabur atau kalian akan
mendapatkan hukuman!”
“Baik, Bos!”
Reina menatap kepergian Regina
dengan kening berkerut. Dia tidak mengerti apa maksud Regina soal Tante Maria
juga memiliki dendam padanya.
Memangnya… dia salah apa pada Tante
Maria?
***
Kay sampai di rumah Reina tepat ketika dia
melihat mobil polisi ada di sana. Kay langsung masuk ke dalam setelah memarkir
motornya di belakang mobil polisi dan melihat Tante Renata sedang ditanyai oleh
petugas polisi.
“Tante,”
Renata menoleh kearah Kay dan
menghela nafas lega.
“Kay,”
Kay menghampiri Renata dan
memandang beliau, “Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana Reina bisa diculik?”
“Tante tidak tahu, Kay. Saat Tante
keluar karena mendengar teriakan Reina, para penculik itu sudah membawa Reina
pergi dengan mobil mereka. Tante nggak sempat menyelamatkan Reina dari para
penculik itu.”
Kay duduk di samping Renata dan
menepuk punggung beliau untuk menenangkannya.
“Kami akan mengurus kasus ini dan
mengembalikan putri Ibu,” kata polisi di hadapan mereka, “Untuk saat ini, Anda
tunggulah di sini dan kami akan menghubungi jika ada perkembangan lebih
lanjut.”
“Iya. Terima kasih, Pak.” Renata
mengangguk. Ia lalu berdiri dan mengantarkan petugas polisi itu ke depan rumah.
Kay menghembuskan nafas dan
menumpukan dagunya di kedua tangannya, menghembuskan nafas sekali lagi.
Kenapa Reina yang harus diculik? Apa para penculik itu tahu
kalau Kay adalah cucu milyuner kaya? Tapi... kalau mereka tahu dia adalah putra artis
terkenal? Mungkinkah mereka adalah para penggemar ibunya dan ingin memerasnya?
Renata kembali ke dalam dan duduk di kursi di hadapan Kay. Wajah wanita itu
tampak pucat dan cemas. Jelas saja. Putrinya diculik di depan matanya dan
sekarang tidak diketahui bagaimana keadaannya.
“Nak Kay,”
“Ya, Tante?”
“Kamu... apa kamu tahu siapa para penculik itu?” tanya Renata, “Apa para
penculik itu menghubungimu atau bagaimana?”
“Mereka memang menghubungi saya, tapi mereka tidak menjelaskan di mana
mereka menyekap Reina.”
“Oh...” Renata manggut-manggut, “Apa... ini ada hubungannya dengan teman
sekolah? Apa Reina punya musuh di sekolah?”
“Saya rasa tidak. Reina tidak pernah punya musuh di sekolah. Dia tidak
pernah bermasalah.” Jawab Kay.
“Lalu... kenapa mereka menculik Reina? Ada apa ini sebenarnya?”
Kay sebenarnya juga ingin menanyakan hal yang sama. Namun dia tidak ingin
membuat Renata bertambah khawatir. Lagipula, para penculik itu mengatakan akan
melakukan sesuatu pada Reina jika dia berani bertindak gegabah. Dan memberitahu
apa yang sebenarnya dikatakan para penculik itu pada Renata bukanlah ide yang
bagus untuk saat ini.
Kalau ini ada hubungannya denganku, maka aku harus
menyelesaikannya sendiri. Kata Kay dalam hati.
“Nak Kay?”
“Ya?”
“Kalau kamu lelah, sebaiknya kamu pulang ke rumahmu yang ada di sebelah
rumah ini.” Kata Renata, “Tante ingin kamu menemani Tante besok pagi ke kantor
polisi. Sekedar menanyakan apakah ada perkembangan mengenai penculikan Reina.”
“Ah, ya...” Kay mengangguk, “Saya akan pulang ke rumah di sebelah. Lagipula
aku juga kangen dengan Bi Ijah dan masakannya. Besok pagi aku akan menemani
Tante ke kantor polisi.”
“Iya. Terima kasih banyak, ya Kay.”
Kay mengangguk dan tersenyum. Ia lalu berpamitan pada Renata dan menuntun
motornya kearah pagar rumahnya.
Dia melihat pintu pagar tidak terkunci dan Kay dengan mudah masuk ke dalam
halaman rumahnya. Matanya menangkap mobil sedan yang sering dipakai ibunya ada
di garasi dan dia menghela nafas.
Sepertinya dia tidak akan tidur nyenyak malam ini.
***
Kay memasuki rumah dengan
perasaan malas dan menyalakan lampu. Keadaan rumahnya tidak berubah sama
sekali. Memang dia baru pergi beberapa hari, tapi rasanya dia sudah lama sekali
tidak menginjakkan kaki ke rumah ini.
“Bi Ijah!!”
Kay mendengar suara langkah kaki tergopoh-gopoh, dan dia melihat wanita tua
yang selama ini merawatnya terkejut melihatnya.
“Lho? Tuan Kay, kapan pulang? Bukannya katanya mau menginap di rumah
pantai?” tanya beliau.
“Err... ada sedikit masalah, jadi untuk hari ini aku mau tidur di sini saja
dulu.” Kata Kay, “Mama sudah pulang, ya?”
“Sudah dari tadi, Tuan.”
“Begitu...” Kay manggut-manggut. “Kalau begitu aku mau istirahat dulu—”
“Untuk apa lagi kamu ke sini?”
Kay dan Bi Ijah sama-sama menoleh kearah tangga, tepat kearah Maria, ibu
Kay, yang berdiri dengan pakaian tidurnya.
“Setelah kamu pergi begitu saja dan sekarang kamu pulang, mau apa kamu ke
sini?” tanya beliau lagi.
“Ini rumahku juga, jadi tidak ada salahnya aku pulang ke sini, kan?” balas
Kay dengan nada berbahaya.
“Baru beberapa hari kamu pergi dan cara bicaramu sudah sekasar itu.” Maria
menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kau benar-benar kurang ajar.”
“Aku tidak punya urusan denganmu, Ma. Aku hanya ingin tidur dan berangkat
ke sekolah besok pagi.” Kata Kay, “Bi, nanti antarkan makanan ke kamarku, ya?
Aku agak lapar.”
“Baik, Tuan.”
“Kudengar Reina diculik, ya?” kata Maria, menarik perhatian kay, “Kasihan
sekali anak itu. Aku yakin ibunya khawatir sekali dengan nasibnya.”
Darimana ibunya tahu soal itu?
Mungkin di luar ada keributan karena aksi penculikan itu
dan Mama tahu. Kata Kay dalam hati.
“Lalu? Apa urusannya denganmu?” tanya Kay.
“Aku hanya ingin mengatakan, kasihan sekali nasibnya. Dia benar-benar anak
yang selalu diikuti kesialan, ya? Dulu ibunya, sekarang dirinya sendiri.”
“Ibunya?”
Maria tersenyum mengejek pada Kay dan kemudian berjalan kembali ke
kamarnya.
Apa maksudnya ibu Reina pernah terkena kesialan juga? Tanya Kay
dalam hati, Apa mungkin... Mama terlibat
dengan semua ini?
***
Ucapan ibunya sukses membuat Kay tidak bisa
memejamkan matanya semalaman. Tapi, dia tidak mungkin bisa tidur pagi ini
karena dia harus pergi ke sekolah. Dia tidak mungkin membolos, karena itu
berarti akan merusak reputasinya yang walaupun dikenal sebagai trouble-maker, tapi dia selalu masuk
sekolah dan bahkan tidak pernah absen sedikitpun. Dan juga, dia harus mengantar
ibu Reina ke kantor polisi untuk menanyakan perkembangan kasus penculikan
Reina.
Kay berjalan dengan langkah berat
menuju kelasnya. Kecemasan masih melanda pikirannya. Dai ingat para penculik
Reina akan memberikan detail di mana mereka menyekap Reina hari ini, tapi itu
tidak membuat pikirannya menjadi lebih tenang.
“Kay,”
Kay menoleh dan melihat Prita
berlari kearahnya dari koridor.
“Hei,”
“Lo lihat Reina? Dia berangkat
bareng lo, kan?” tanya Prita.
“Err… Reina lagi sakit.”
“Sakit?”
“Iya. Dari kemarin dia mengeluh
sakit kepala. Kayaknya penyakit anemianya kambuh lagi.” kata Kay mencoba
berbohong.
Dia tidak mungkin memberitahu Prita
kalau Reina diculik kemarin malam. Berita itu akan tersebar di seluruh sekolah
dan itu malah akan membuat Kay pusing memikirkan apa yang akan terjadi.
“Dia memang punya penyakit anemia,
sih…” kata Prita manggut-manggut, “Tapi bukan karena elo mengajak dia ke tempat
aneh, kan? Lo nggak membawa dia ke tempat yang aneh-aneh, kan kemarin?”
“Lo kira gue cowok apaan?” kata
Kay, “Gue nggak bakal—”
Bunyi ponsel membuat ucapan Kay
terhenti. Dia merogoh saku celananya dan melihat ada pesan masuk di layar
ponselnya. Dari nomor tidak dikenal.
Raut wajah Kay langsung berubah
melihat nomor tidak dikenal itu dan menduga itu pasti pesan dari para penculik
Reina.
“Kay, kenapa wajah lo murung
begitu?” tanya Prita yang melihat perubahan raut wajah Kay.
“Hah? Nggak apa-apa, kok.” Kay
menggeleng, “Eh, gue ke kelas dulu, ya. Gue mau mengerjakan PR gue dulu.”
“Oh, ya…”
Prita melihat Kay berjalan cepat
kearah kelas, dan kemudian mengerutkan kening.
“Sejak kapan tuh anak peduli dengan
PR?”
***
Pelajaran sedang berlangsung, dan Kay sedang
asyik melamun sambil menatap buku di hadapannya tanpa sedikit pun tertarik pada
apa yang sedang dipelajarinya. Pikirannya tertuju pada pesan yang tadi
dikirimkan penculik Reina.
Kay menghembuskan nafas dan
memejamkan matanya. Pikiran tentang bagaimana keadaan Reina sekarang memenuhi
pikirannya.
Tenang.
Aku harus tenang. kata Kay
dalam hati, Aku tidak boleh kacau begini.
Para penculik itu sudah mengirimkan di mana mereka menyekap Reina. Aku hanya
perlu menyusun rencana agar aku bisa menyelamatkannya tanpa dicurigai…
“—Alfatio! Kay Alfatio!!”
Kay tersentak kaget dan menatap ke
depan, tepat kearah guru yang balas menatapnya dengan pandangan marah.
“Ah, eh… iya, Pak?”
“Coba kamu jelaskan kembali apa
yang baru saja Bapak jelaskan.” Ujar gurunya, “Dan tanpa melihat buku
catatanmu!”
Kay menoleh-noleh kearah
teman-temannya, tapi kemudian mengeluh panjang.
Pertama-tama dia harus bisa
menjawab pertanyaan guru di depan kelasnya sebelum memikirkan hal lain.
0 komentar:
Posting Komentar