Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Farewell Rain - Chapter 16

Regina?
Regina berdiri di hadapan Reina dengan senyum manis tersungging di bibirnya. Reina awalnya tidak percaya sosok yang berdiri di hadapannya adalah Regina. Tapi suaranya tadi… Reina hafal suara Regina dan dia tidak mungkin salah.
“Rupanya kamu masih mengenalku, ya? Kukira tadi kamu tidak mengenaliku.” Ujar Regina ketika melihat tatapan Reina yang tampaknya mengenalinya. “Senang sekali melihatmu tidak berdaya seperti ini.”

Reina ingin bertanya kenapa Regina menyuruh orang untuk menculiknya tapi dia tidak mungkin bisa melakukannya karena mulutnya yang dilakban. Reina hanya bisa menatap Regina lekat-lekat dan mencoba mencari tahu sendiri alasan wanita itu menculiknya.
“Kalian memperlakukannya dengan baik, kan?” tanya Regina pada para penculik Reina, “Aku tidak mau dia terluka sampai besok siang, sesuai perjanjian yang kalian buat dengan Kay.”
“Tentu saja tidak, Bos. Kami melaksanakan perintah Bos dengan baik.” kata mereka.
“Bagus, bagus…” Regina manggut-manggut, “Sebenarnya aku ingin sekali melihatnya tidak bernyawa lagi, andai saja Tante Maria tidak menyuruhku untuk menahan diri. Katanya gadis ini tidak lebih berharga daripada Kay.”
Tante Maria? Apa hubungannya ibu Kay dengan semua ini? tanya Reina dalam hati.
“Bayaran kalian akan kutransfer malam ini juga. Kuperingatkan sekali lagi, jangan coba-coba membuatnya terluka sampai besok siang.”
“Beres, Bos…”
Regina berjongkok di hadapan Reina, “Sayang sekali aku tidak bisa membunuhmu kali ini. Tapi tidak apa… setidaknya aku mendapat restu dari Tante Maria untuk memperlakukanmu sesukaku.” Katanya, “Kamu mungkin tidak tahu, Reina sayang, tapi baik aku maupun Tante Maria punya dendam tersendiri padamu.”
Reina mengerjapkan matanya bingung mendengar ucapan Regina. Namun wanita itu tidak menjelaskan lebih jauh.
Wanita itu berdiri dan mengenakan kembali kacamatanya, “Kalian jaga dia, jangan sampai di kabur atau kalian akan mendapatkan hukuman!”
“Baik, Bos!”
Reina menatap kepergian Regina dengan kening berkerut. Dia tidak mengerti apa maksud Regina soal Tante Maria juga memiliki dendam padanya.
Memangnya… dia salah apa pada Tante Maria?

***

Kay sampai di rumah Reina tepat ketika dia melihat mobil polisi ada di sana. Kay langsung masuk ke dalam setelah memarkir motornya di belakang mobil polisi dan melihat Tante Renata sedang ditanyai oleh petugas polisi.
“Tante,”
Renata menoleh kearah Kay dan menghela nafas lega.
“Kay,”
Kay menghampiri Renata dan memandang beliau, “Apa yang sebenarnya terjadi? Bagaimana Reina bisa diculik?”
“Tante tidak tahu, Kay. Saat Tante keluar karena mendengar teriakan Reina, para penculik itu sudah membawa Reina pergi dengan mobil mereka. Tante nggak sempat menyelamatkan Reina dari para penculik itu.”
Kay duduk di samping Renata dan menepuk punggung beliau untuk menenangkannya.
“Kami akan mengurus kasus ini dan mengembalikan putri Ibu,” kata polisi di hadapan mereka, “Untuk saat ini, Anda tunggulah di sini dan kami akan menghubungi jika ada perkembangan lebih lanjut.”
“Iya. Terima kasih, Pak.” Renata mengangguk. Ia lalu berdiri dan mengantarkan petugas polisi itu ke depan rumah.
Kay menghembuskan nafas dan menumpukan dagunya di kedua tangannya, menghembuskan nafas sekali lagi.
Kenapa Reina yang harus diculik? Apa para penculik itu tahu kalau Kay adalah cucu milyuner kaya? Tapi... kalau mereka tahu dia adalah putra artis terkenal? Mungkinkah mereka adalah para penggemar ibunya dan ingin memerasnya?
Renata kembali ke dalam dan duduk di kursi di hadapan Kay. Wajah wanita itu tampak pucat dan cemas. Jelas saja. Putrinya diculik di depan matanya dan sekarang tidak diketahui bagaimana keadaannya.
“Nak Kay,”
“Ya, Tante?”
“Kamu... apa kamu tahu siapa para penculik itu?” tanya Renata, “Apa para penculik itu menghubungimu atau bagaimana?”
“Mereka memang menghubungi saya, tapi mereka tidak menjelaskan di mana mereka menyekap Reina.”
“Oh...” Renata manggut-manggut, “Apa... ini ada hubungannya dengan teman sekolah? Apa Reina punya musuh di sekolah?”
“Saya rasa tidak. Reina tidak pernah punya musuh di sekolah. Dia tidak pernah bermasalah.” Jawab Kay.
“Lalu... kenapa mereka menculik Reina? Ada apa ini sebenarnya?”
Kay sebenarnya juga ingin menanyakan hal yang sama. Namun dia tidak ingin membuat Renata bertambah khawatir. Lagipula, para penculik itu mengatakan akan melakukan sesuatu pada Reina jika dia berani bertindak gegabah. Dan memberitahu apa yang sebenarnya dikatakan para penculik itu pada Renata bukanlah ide yang bagus untuk saat ini.
Kalau ini ada hubungannya denganku, maka aku harus menyelesaikannya sendiri. Kata Kay dalam hati.
“Nak Kay?”
“Ya?”
“Kalau kamu lelah, sebaiknya kamu pulang ke rumahmu yang ada di sebelah rumah ini.” Kata Renata, “Tante ingin kamu menemani Tante besok pagi ke kantor polisi. Sekedar menanyakan apakah ada perkembangan mengenai penculikan Reina.”
“Ah, ya...” Kay mengangguk, “Saya akan pulang ke rumah di sebelah. Lagipula aku juga kangen dengan Bi Ijah dan masakannya. Besok pagi aku akan menemani Tante ke kantor polisi.”
“Iya. Terima kasih banyak, ya Kay.”
Kay mengangguk dan tersenyum. Ia lalu berpamitan pada Renata dan menuntun motornya kearah pagar rumahnya.
Dia melihat pintu pagar tidak terkunci dan Kay dengan mudah masuk ke dalam halaman rumahnya. Matanya menangkap mobil sedan yang sering dipakai ibunya ada di garasi dan dia menghela nafas.
Sepertinya dia tidak akan tidur nyenyak malam ini.

***

Kay memasuki rumah dengan perasaan malas dan menyalakan lampu. Keadaan rumahnya tidak berubah sama sekali. Memang dia baru pergi beberapa hari, tapi rasanya dia sudah lama sekali tidak menginjakkan kaki ke rumah ini.
“Bi Ijah!!”
Kay mendengar suara langkah kaki tergopoh-gopoh, dan dia melihat wanita tua yang selama ini merawatnya terkejut melihatnya.
“Lho? Tuan Kay, kapan pulang? Bukannya katanya mau menginap di rumah pantai?” tanya beliau.
“Err... ada sedikit masalah, jadi untuk hari ini aku mau tidur di sini saja dulu.” Kata Kay, “Mama sudah pulang, ya?”
“Sudah dari tadi, Tuan.”
“Begitu...” Kay manggut-manggut. “Kalau begitu aku mau istirahat dulu—”
“Untuk apa lagi kamu ke sini?”
Kay dan Bi Ijah sama-sama menoleh kearah tangga, tepat kearah Maria, ibu Kay, yang berdiri dengan pakaian tidurnya.
“Setelah kamu pergi begitu saja dan sekarang kamu pulang, mau apa kamu ke sini?” tanya beliau lagi.
“Ini rumahku juga, jadi tidak ada salahnya aku pulang ke sini, kan?” balas Kay dengan nada berbahaya.
“Baru beberapa hari kamu pergi dan cara bicaramu sudah sekasar itu.” Maria menggeleng-gelengkan kepalanya, “Kau benar-benar kurang ajar.”
“Aku tidak punya urusan denganmu, Ma. Aku hanya ingin tidur dan berangkat ke sekolah besok pagi.” Kata Kay, “Bi, nanti antarkan makanan ke kamarku, ya? Aku agak lapar.”
“Baik, Tuan.”
“Kudengar Reina diculik, ya?” kata Maria, menarik perhatian kay, “Kasihan sekali anak itu. Aku yakin ibunya khawatir sekali dengan nasibnya.”
Darimana ibunya tahu soal itu?
Mungkin di luar ada keributan karena aksi penculikan itu dan Mama tahu. Kata Kay dalam hati.
“Lalu? Apa urusannya denganmu?” tanya Kay.
“Aku hanya ingin mengatakan, kasihan sekali nasibnya. Dia benar-benar anak yang selalu diikuti kesialan, ya? Dulu ibunya, sekarang dirinya sendiri.”
“Ibunya?”
Maria tersenyum mengejek pada Kay dan kemudian berjalan kembali ke kamarnya.
Apa maksudnya ibu Reina pernah terkena kesialan juga? Tanya Kay dalam hati, Apa mungkin... Mama terlibat dengan semua ini?

***

Ucapan ibunya sukses membuat Kay tidak bisa memejamkan matanya semalaman. Tapi, dia tidak mungkin bisa tidur pagi ini karena dia harus pergi ke sekolah. Dia tidak mungkin membolos, karena itu berarti akan merusak reputasinya yang walaupun dikenal sebagai trouble-maker, tapi dia selalu masuk sekolah dan bahkan tidak pernah absen sedikitpun. Dan juga, dia harus mengantar ibu Reina ke kantor polisi untuk menanyakan perkembangan kasus penculikan Reina.
Kay berjalan dengan langkah berat menuju kelasnya. Kecemasan masih melanda pikirannya. Dai ingat para penculik Reina akan memberikan detail di mana mereka menyekap Reina hari ini, tapi itu tidak membuat pikirannya menjadi lebih tenang.
“Kay,”
Kay menoleh dan melihat Prita berlari kearahnya dari koridor.
“Hei,”
“Lo lihat Reina? Dia berangkat bareng lo, kan?” tanya Prita.
“Err… Reina lagi sakit.”
“Sakit?”
“Iya. Dari kemarin dia mengeluh sakit kepala. Kayaknya penyakit anemianya kambuh lagi.” kata Kay mencoba berbohong.
Dia tidak mungkin memberitahu Prita kalau Reina diculik kemarin malam. Berita itu akan tersebar di seluruh sekolah dan itu malah akan membuat Kay pusing memikirkan apa yang akan terjadi.
“Dia memang punya penyakit anemia, sih…” kata Prita manggut-manggut, “Tapi bukan karena elo mengajak dia ke tempat aneh, kan? Lo nggak membawa dia ke tempat yang aneh-aneh, kan kemarin?”
“Lo kira gue cowok apaan?” kata Kay, “Gue nggak bakal—”
Bunyi ponsel membuat ucapan Kay terhenti. Dia merogoh saku celananya dan melihat ada pesan masuk di layar ponselnya. Dari nomor tidak dikenal.
Raut wajah Kay langsung berubah melihat nomor tidak dikenal itu dan menduga itu pasti pesan dari para penculik Reina.
“Kay, kenapa wajah lo murung begitu?” tanya Prita yang melihat perubahan raut wajah Kay.
“Hah? Nggak apa-apa, kok.” Kay menggeleng, “Eh, gue ke kelas dulu, ya. Gue mau mengerjakan PR gue dulu.”
“Oh, ya…”
Prita melihat Kay berjalan cepat kearah kelas, dan kemudian mengerutkan kening.
“Sejak kapan tuh anak peduli dengan PR?”

***

Pelajaran sedang berlangsung, dan Kay sedang asyik melamun sambil menatap buku di hadapannya tanpa sedikit pun tertarik pada apa yang sedang dipelajarinya. Pikirannya tertuju pada pesan yang tadi dikirimkan penculik Reina.
Kay menghembuskan nafas dan memejamkan matanya. Pikiran tentang bagaimana keadaan Reina sekarang memenuhi pikirannya.
Tenang. Aku harus tenang. kata Kay dalam hati, Aku tidak boleh kacau begini. Para penculik itu sudah mengirimkan di mana mereka menyekap Reina. Aku hanya perlu menyusun rencana agar aku bisa menyelamatkannya tanpa dicurigai…
“—Alfatio! Kay Alfatio!!”
Kay tersentak kaget dan menatap ke depan, tepat kearah guru yang balas menatapnya dengan pandangan marah.
“Ah, eh… iya, Pak?”
“Coba kamu jelaskan kembali apa yang baru saja Bapak jelaskan.” Ujar gurunya, “Dan tanpa melihat buku catatanmu!”
Kay menoleh-noleh kearah teman-temannya, tapi kemudian mengeluh panjang.
Pertama-tama dia harus bisa menjawab pertanyaan guru di depan kelasnya sebelum memikirkan hal lain.

0 komentar:

Posting Komentar