Rei’s Side
Ketika pagi benar-benar datang, aku langsung
melakukan kegiatanku di pagi hari. Mandi, membersihkan apartemen, dan memasak
untuk sarapan. Gadis yang sekarang kupanggil Runa itu kini duduk di kursi
dapur, memperhatikanku yang sedang memasak. Sebenarnya aku sudah memaksanya
untuk tetap tinggal di kamar, tapi dia memaksa ingin keluar dari kamar karena
katanya dia masih takut kutinggalkan sendiri.
“Apakah kamu tinggal sendirian?”
tanyanya ketika aku menghidangkan telur orak-arik dan roti bakar isi daging di
hadapannya.
“Aku tinggal sendirian.” Jawabku.
“Memangnya kenapa?”
“Tidak banyak benda di tempat ini.”
katanya, “Kukira kamu tinggal bersama seseorang, karena di sini ada dua kamar.”
“Apartemen ini kupesan khusus,
karena itulah memiliki dua kamar.” ujarku sambil duduk di seberangnya dan
meletakkan sarapan pagiku di hadapanku, “Dan aku sering kedatangan tamu yang
kadang-kadang menginap, jadi kamar yang sekarang kamu tempati itu adalah kamar
tamu sebenarnya.”
“Sekarang makanlah dulu, setelah
ini aku akan membantumu membersihkan diri. Teman-temanku akan datang ke sini
dalam waktu kurang dari dua jam.”
Dia mengangguk paham dan memakan
sarapannya pelan-pelan. Gerakannya sangat pelan karena bahu kanannya belum
sembuh benar.
Kami lalu makan dalam diam.
Sesekali aku melirik kearah jendela yang menampilkan pemandangan Distrik Tiga
yang luar biasa, lalu melirik kearah Runa. Dia tampak menikmati makanannya dan
diam.
Setelah selesai sarapan, aku
langsung memasukkan piring-piring kotor kami ke dalam mesin pencuci piring dan
membawa Runa ke kamar mandi. Di sana aku langsung menyiapkan bak mandi dengan
air hangat agar dia bisa berendam tanpa perlu merasa sakit dengan luka di
tubuhnya. Aku juga menambahkan bubuk obat yang pernah diberitahu Alex mampu
menutup luka secara perlahan. Untunglah dia memberikan lima kotak berisi bubuk
obat ini untukku ketika dia berkunjung ke Distrik Lima yang memang distrik
penghasil obat-obatan dan ramuan.
“Kamu mandilah duluan. Aku akan
mencarikan pakaian ganti untukmu.” Kataku saat kulihat dia berdiri di
belakangku sambil menatap bak mandi yang kusiapkan untuknya.
“Apakah… aku harus berendam di
sana?” tanyanya sedikit takut.
“Ini hanya bak mandi, tidak akan
membuatmu tenggelam.” Kataku lagi.
“Terakhir kali aku mandi di dalam
bak mandi seperti ini, aku hampir…” kata-katanya tiba-tiba menghilang dan dia
mulai gemetar lagi.
“Jangan memikirkan hal-hal yang
membangkitkan traumamu.” Kataku menyentuh tangannya dan menggenggamnya
erat-erat, “Kalau kamu terus seperti ini, kamu tidak akan bisa pulih dari traumamu.”
“Ah, eh… iya…” dia membuat gerakan
menahan ludah dan mengangguk, “Aku… aku akan mencobanya. Terima kasih karena
sudah… memperhatikanku.”
“Sama-sama. Sekarang mandilah, aku
akan berada di luar. Dan jika kamu sudah selesai, segera beritahu aku untuk mengganti
perban lukamu. Handuk dan kimono ada di lemari putih itu.”
“Baik.”
Aku lalu keluar dan kembali ke
kamarku. Mencari sesuatu yang bisa dia pakai untuk sementara sampai… yah… aku
membeli pakaian untuknya. Mungkin aku harus minta tolong pada Leia untuk urusan
ini karena jujur saja, aku tidak tahu seperti apa selera wanita dalam
berpakaian.
Memang Leia sering menginap di
apartemenku, tapi dia membawa sendiri perlengkapan mandi dan pakaiannya
sehingga aku tidak perlu repot-repot membeli persedian kebutuhan mandi dan
kosmetik wanita. Dan karena sekarang ada Runa di sini… mau tidak mau aku harus
meminta tolong pada Leia.
Aku mengambil sebuah kaus berkerah
berwarna hijau tosca yang ada di lemariku dan juga celana panjang. Lalu aku
kembali ke kamar mandi di kamar Runa dan menaruh pakaian itu di atas tempat
tidur. Samar-samar aku mendengar Runa bersenandung. Entah lagu apa yang dia
nyanyikan, tapi aku merasa mengenal nadanya.
Mungkin
hanya perasaanku saja. aku
berkata dalam hati dan membuka gorden yang menutupi jendela kamar dan kembali
keluar .
Aku baru akan keluar ketika aku
mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka. Runa keluar dari kamar mandi
dengan mengenakan kimono handuk berwarna biru tua. Dan aku sempat tidak bisa
berkedip melihatnya tampak… berkilau? Mungkin itu kata yang tepat untuk
menggambarkan rambutnya yang memang berkilau karena air.
Hei… bukan berarti aku mulai
tertular sifat playboy dan cari perhatian dari Leon. Aku hanya… oh, okelah kalau
kalian menganggapku mulai menggombal.
Dia menoleh dan sempat terkejut
melihatku.
“Kamu sudah selesai mandi?” tanyaku
tidak memperdulikan keterkejutannya, kemudian mengerutkan kening ketika
teringat dia sedang terluka, “Apa kamu membalut lukamu sendiri?”
“Err… ya. Aku membalut lukaku
sendiri. Aku sudah terbiasa merawat lukaku sendirian.” katanya dengan pipi
memerah.
“Baiklah… aku sudah menaruh pakaian
gantimu di kamarmu yang kemarin kamu tempati. Kalau kamu mencari pakaian
dalammu, kamu bisa mengambilnya di keranjang pakaian bersih di dekat mesin cuci
di sebelah toilet.” Kataku.
Dia mengangguk mengiyakan
perkataanku.
“Dan… aku minta kamu tidak membuka
identitasmu sebagai Claydoll di
hadapan teman-temanku yang akan menginterogasimu. Kamu mengerti maksudku, kan?”
Lagi-lagi dia mengangguk.
“Oke.” aku lalu berjalan
melewatinya menuju kamar mandi ketika aku mencium wangi sampo milikku dari
rambutnya.
Dan kalian tahu, aku merasa itu
adalah tindakan yang cukup… intim.
“Aku tadi memakai peralatan
mandimu.” Kata Runa seakan-akan mengatakan apa yang hendak kukatakan. “Tapi aku
memakai sikat gigi baru yang ada di kotak obat di kamar mandi, jadi kamu tidak
perlu khawatir aku mengotori sikat gigimu.”
“Ah, ya… tidak masalah.” Jawabku. “Kalau
begitu aku mandi dulu.”
***
Runa’s Side
Aku masuk ke dalam kamar yang kemarin kutempati
setelah terlebih dulu mengambil pakaian dalamku di keranjang yang dimaksud Rei
sebelumnya.
Aku menutup pintu di belakang
punggungku dan melirik kearah tempat tidur. Di sana ada sebuah kemeja berwarna
hijau pucat dan juga celana panjang berwarna hitam. Aku menghampiri tempat
tidur dan mulai mengeringkan tubuhku. Rasanya segar sekali mandi di air panas
barusan. Luka-lukaku rasanya seperti direndam dengan air lembut yang nyaman dan
tidak menyakitkan seperti yang biasa kurasakan di tempat itu, tempatku dibuat.
Kuhembuskan nafas dan duduk di sisi
tempat tidur setelah selesai mengganti pakaian. Mataku tertuju pada sabuk
senjataku, pedang dan juga pistolku. Aku mengambil pistol hitam itu dan
menimang-nimangnya di tanganku.
“Aku… bebas…” gumamku, “Aku tidak
percaya aku tidak berada di tempat itu lagi…”
Seulas senyum tipis terbentuk di
bibirku dan aku menaruh kembali pistol itu di atas meja.
Aku menggunakan jari-jariku untuk
menyisiri rambutku. Aku tidak tahu di mana Rei meletakkan sisir rambut dan aku
sungkan untuk pergi ke kamarnya. Juga karena bahu kananku masih terasa sakit.
Walau berendam di air hangat tadi sangat membuatku nyaman, tapi itu tidak
menutup kenyataan bahwa bahuku masih terluka.
Lagipula aku tidak ingin lebih
merepotkannya. Masih untung dia tidak membunuhku dan mau menampungku di sini
walau aku adalah Claydoll.
Kudengar suara pintu kamar mandi
yang terbuka dan aku tahu kalau Rei sudah selesai mandi. Aku beranjak ke pintu
dan melihatnya masuk ke pintu kamar yang ada di sebelah kamarku. Aku keluar
dari kamar dan duduk di ruang tamu, memperhatikan semua benda yang ada di sana.
Sepertinya Rei senang dengan segala
hal berwarna putih atau biru. Nyaris semua benda di sini memiliki dua warna
itu.
Mataku kemudian tertuju pada rak
kecil yang memuat beberapa bingkai foto. Aku mendekat kearah rak itu dan
melihat foto-foto Rei di sana. Ada fotonya bersama dua orang laki-laki dan
perempuan yang memakai pakaian organisasi Raven, foto dirinya sendiri yang kemungkinan
diambil di apartemen ini, dan…
“Ini…”
Tanganku menggapai bingkai foto
yang memuat foto seorang gadis kecil berambut coklat dan diikat twintail. Senyumnya tampak menawan dan
matanya memancarkan kehangatan seperti matahari. Kemudian aku melihat bingkai
foto berikutnya yang kali ini memuat foto Rei saat masih kecil bersama gadis
itu. Mereka saling berangkulan di sebuah taman sambil mengenakan mahkota bunga.
Aku menatap kedua foto itu lekat-lekat dan merasakan perasaan aneh saat menatap
kedua foto itu.
Tiba-tiba sekelebat gambar muncul
di kepalaku dan menghantam pikiranku nyaris seperti palu. Tubuhku lagi-lagi
menggigil.
“…na,
lari! Selamatkan diri kalian!”
“Tapi
aku tidak mau meninggalkanmu, Rei!”
“Lari!
Mereka akan segera kemari!”
Sosok
anak kecil di hadapannya tiba-tiba terjatuh dan dia menjerit. Bersamaan dengan
itu, sepasang tangan membekapnya dari belakang.
“Rei!
Tolong, Rei!!” ia berusaha menggapai tubuh anak kecil yang tampak diam tidak
bergerak di tanah.
“Ukh…”
Aku menggapai pinggiran rak dan berusaha
untuk tidak kehilangan keseimbangan. Kepalaku terasa sakit, dan gambar-gambar
itu terus muncul dalam kepalaku.
“Hei,”
Aku tersentak kaget ketika sebuah
tangan menepuk bahuku dan membuatku menoleh. Rei berdiri di belakang dengan
rambut yang masih basah dan meneteskan air. Pakaiannya juga sudah berganti
dengan kemeja lengan panjang berwarna putih, dasi berwarna biru gelap, dan
celana panjang berwarna hitam.
“R, Rei?”
“Kamu kenapa? Tubuhmu menggigil.”
Katanya.
“Aku tidak apa-apa, hanya…”
Tangannya menyentuh lenganku dan
keningnya berkerut samar. Matanya menatap lekat-lekat bekas-bekas lukaku yang
ada di sana.
“Dokter mengatakan kalau kamu punya
banyak bekas luka,” ujarnya, “Tapi tidak kusangka di lenganmu ada banyak.
Kemarin malam aku memang sudah melihatnya, tapi aku tidak tahu bekas luka di
lenganmu semengerikan ini.”
Aku hanya diam sementara dia
memeriksa lenganku yang lain.
“Apa ini bekas cambuk?” tanyanya.
“Orang-orang Clematis yang melakukannya padamu?”
“Y, ya.”
Sekilas matanya menyiratkan kemarahan.
Tapi itu hanya sekilas. Menurutku, sih…
Dia lalu mengajakku duduk di sofa
dan dia sendiri duduk di hadapanku. Tidak ada yang bicara diantara kami berdua.
Dan aku merasa sedikit gelisah dengan suasana seperti ini.
“Runa,”
“Ya?”
“Aku… ingin menanyakan sesuatu
padamu,” katanya, “Saat kamu di tempat itu, markas Clematis, maksudku, apa kamu
pernah bertemu seorang gadis berambut coklat?”
“Hah?”
“Gadis yang memiliki nama
sepertimu. Rupa kalian juga sedikit mirip.” Ujarnya lagi, “Sepuluh tahun yang
lalu dia diculik dari panti asuhan, dan sampai sekarang tidak diketahui
keberadaannya. Aku menduga kamu juga diculik pada yang waktu yang sama, jadi…”
“Aku tidak tahu,” kataku. “Selama
ini aku tidak pernah keluar, kecuali… menjalankan tugas. Setelahnya aku
dikurung di tempat gelap.”
“Begitukah?” dia tampak kecewa dan
menyandarkan punggungnya di punggung sofa, “Begitu…”
“Memangnya… dia diculik oleh
mereka? Gadis bernama Runa itu?” tanyaku.
Rei mengangguk dan tatapannya kali
ini berubah sedih.
“Mereka menculik satu-satunya orang
yang mau menerimaku apa adanya.” Katanya sambil tertawa lemah, “Dulu aku
menjadi yatim-piatu karena kedua orangtuaku diduga sebagai mata-mata Clematis
dan dibunuh oleh warga setempat. Semua orang lalu menyebutku sebagai anak
teroris dan aku dikirim ke panti asuhan di pinggir Distrik Enam. Di sana, semua
orang memang menyambutku dengan tangan terbuka, tapi para anak-anak… mereka
tidak menyukaiku dan mengerjaiku di setiap ada kesempatan. Hanya Runa saja yang
tidak pernah mengerjai atau mengejekku. Dia adalah teman pertama sekaligus
orang yang paling aku sayangi setelah kedua orangtuaku yang meninggal.”
Aku mendengarkan ceritanya dan
merasakan kalau aku pernah mendengar cerita seperti ini.
“Lalu… ia diculik oleh Clematis?”
“Begitulah.” Rei mengedikkan bahu,
“Dan sekarang aku sedang berusaha mencarinya. Dan karena kamu adalah seorang Claydoll dari Clematis, kukira kamu
mengetahui keberadaannya.”
“Maafkan aku, aku tidak tahu dia
ada di mana.” kataku sedih.
“Tidak perlu meminta maaf,” Rei
tersenyum, “Ngomong-ngomong, aku merasa kamu mirip dengan Runa. Karena itulah
aku memberimu nama Runa.”
“Karena… aku mirip dengannya?”
“Ya. Warna bola mata dan juga
rambutmu mirip dia.”
Aku hanya tersenyum canggung
mendengarnya dan mengalihkan wajahku kearah lain.
Aneh. Kenapa tiba-tiba saja hatiku
terasa sakit seperti ini?
“Kamu tidak menyisir rambutmu?”
“Ya?” aku berbalik menatapnya.
“Kamu tidak menyisir rambutmu?”
tanyanya lagi. “Rambutmu akan menjadi kusut kalau tidak segera disisir atau
disikat.”
Aku menyentuh rambutku yang sudah
setengah kering, “Aku tidak tahu di mana sisir atau sikat rambut. Lagipula aku
tidak tahu apakah kamu punya sisir atau tidak.” kataku.
“Tunggu sebentar.”
Dia berdiri dan menuju kamarnya.
Beberapa saat kemudian dia kembali dengan sebuah sikat rambut berwarna hitam di
tangannya.
“Ini milik temanku yang
ketinggalan. Dan kurasa dia tidak akan keberatan kalau kamu memakainya.”
Dia lalu duduk di sampingku dan
mendekatkan tangannya padaku.
“Kamu mau apa?” tanyaku ketika dia
menyentuh rambutku.
“Menyikat rambutmu. Bahumu masih
terluka dan kita tidak mau mengambil resiko lukamu kembali terbuka, kan?”
katanya, “Berbaliklah. Aku akan menyikat rambutmu.”
Aku menatapnya sebentar kemudian
berbalik membelakanginya. Tangannya lalu menyentuh rambutku dan sikat rambut di
tangannya bekerja. Sekali lagi aku merasakan perasaan familiar namun asing
kalau aku pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya.
“Rambutmu panjang juga, ya? Lebih
panjang daripada Leia.”
“Leia? Siapa itu?”
“Salah seorang temanku di
organisasi Raven. Dia wanita yang cantik dan sering gonta-ganti pacar.” kata
Rei.
“Oh…”
Rei terus menyikat rambutku dan
setelah selesai, dia meletakkan sikat rambut itu diatas meja. Aku berbalik
menghadapnya dan langsung bertatapan dengan bola mata birunya yang tampak…
menawan.
Oh Tuhan… inikah rasanya ketika
bertatapan dengan mata yang berwarna biru bening seperti milik Rei? Aku merasa
bisa merasakan dinginnya gunung es dan langit biru di saat bersamaan ketika
menatap matanya.
“R, Rei,”
“Hm?”
Belum sempat aku mengatakan
sesuatu, tiba-tiba pintu terbuka diikuti suara nyaring seorang wanita.
“Rei!! Kami datang!!”
Kami berdua menoleh kearah pintu
yang terbuka, tepat kearah seorang wanita berambut merah dan laki-laki yang
datang bersamanya.
***
Rei’s Side
Ketika aku menatap mata ungu Runa, aku merasa
seperti menatap mata Runa kesayanganku yang sama. Mata itu juga memancarkan
sinar yang nyaris sama. Bedanya, mata Runa yang ini tampak lebih lebar daripada
mata Runa yang kuingat.
“R, Rei,”
“Hm?”
Bibirnya terbuka hendak mengatakan
sesuatu. Tapi belum sempat dia mengatakannya, pintu apartemenku tiba-tiba
terbuka dan suara cempreng Leia langsung menggelegar di seluruh penjuru
apartemenku.
Oke, aku tahu itu sedikit
melebih-lebihkan, tapi kalian tidak tahu bagaimana kerasnya suara Leia kalau
sedang berteriak.
“Rei!! Kami datang!!”
Aku langsung menoleh kearah pintu
dan melihat Leia, dalam balutan dress
ketat berwarna hijau daun yang dipadukan dengan cardigan berwarna putih serta
sepatu bot berwarna senada dengan dress-nya.
Leia datang bersama Leon, yang tampak sedikit menderita karena tangannya
ditarik oleh Leia.
Apakah Leia menargetkan Leon
sebagai ‘sasaran’nya kali ini?
Tidak… Leia jelas-jelas tidak
tertarik pada playboy seperti Leon.
Walau terkadang Leia memang mencari mangsa yang sedikit mirip seperti Leon,
tapi Leia masih tahu diri kalau dia sudah berusia kepala empat.
“Kalian rupanya,” kataku sambil
menyambut mereka.
“Begitu mendengar ada saksi hidup
dari insiden kemarin malam dari Leon aku langsung merasa penasaran.” kata Leia
sambil melepas sepatunya dan langsung menghampiri Runa di ruang tamu.
“Hei, jangan sembarangan masuk,
Leia!!”
Aku mengikuti wanita itu bersama
Leon ke ruang tamu dan melihat Leia sudah duduk di samping Runa, yang kulihat
tampak gugup dan sedikit takut.
“Dia manis sekali!” kata Leia,
“Rambutnya juga halus. Oh, astaga… ini pakaianmu, kan Rei? Kamu tidak melakukan
apa pun padanya, kan kemarin malam?”
“Simpan pikiran kotormu itu, Leia.
Aku meminjaminya pakaian karena aku tidak memiliki pakaian wanita untuk dipinjamkan
padanya.” Sahutku jengkel. “Lagipula, jangan asal mengambil kesimpulan dengan
pikiran kotormu itu, dong!”
Leia terkikik dan kemudian menoleh
kearah Runa.
“Maaf, aku belum memperkenalkan
diri. Aku Hirano Leia dan cowok tampan di belakang Rei itu adalah Sam Leon.
Kami adalah anggota Raven seperti Rei, dan kamilah yang akan menanyaimu tentang
insiden pembantaian di mansion Handerson kemarin malam.”
“Siapa namamu?” tanya Leon yang
sekarang duduk di seberang Runa.
“Ah, eh… aku…”
Runa melirik kearahku dan tampak
gelisah.
“Aku…”
“Runa. Namanya Runa.” Kataku.
“Runa? Nama yang sangat manis!”
kata Leia.
“Rei, bukankah nama itu…” Leon
menatapku dengan kening berkerut.
“Dia hilang ingatan. Sepertinya
pembantaian kemarin membuatnya trauma dan menyebabkannya kehilangan sebagian
ingatannya.” Kataku mencoba berbohong sebisaku, “Karena dia tidak bisa
mengingat namanya, jadi aku memanggilnya Runa.”
“Begitu…”
“Kasihan sekali kamu sampai hilang
ingatan.” Leia mengusap rambut Runa, “Tapi, tidak apa. Kami tidak akan menanyakan
secara detil apa yang terjadi. Kami hanya mengunjungimu saja hari ini.”
“I, iya…” Runa mengangguk.
“Aku akan membuatkan kopi.” Kataku
sambil beranjak menuju dapur.
Aku melirik sekilas kearah Runa
yang tampak ketakutan kutinggalkan sendirian bersama mereka berdua.
Sambil membuat kopi, aku mendengar
suara Leia yang mendominasi percakapan dan suara Leon yang sesekali menengahi.
Suara Runa tidak terdengar dan kuduga dia tidak tahu harus menjawab atau
mengatakan apa.
Aku mengangkat nampan berisi tiga cangkir
kopi dan secangkir susu hangat. Karena aku tidak tahu apakah Runa suka minum
kopi atau tidak, untuk jaga-jaga aku membuatkannya susu hangat. Dan karena dia
masih terluka, aku tidak boleh memberikannya minuman yang kemungkinan bisa
membuatnya tidak bisa istirahat setelah minum obat.
Ketika kembali ke ruang tamu, aku
melihat Leia sedang mengobrol, atau lebih tepatnya bercerita pada Runa. Gadis
itu tampak diam dan mendengarkan dengan tekun dan sesekali kulihat pandangan
matanya tampak menerawang.
“Minuman sudah datang,” kataku
sambil membagikan minuman yang kubawa.
“Akhirnya, aku sudah sangat
menantikan kopi buatanmu, Rei.” Leia mengambil cangkir kopi dan menghirup
aromanya, “Rasanya kalau aku minum kopi buatanmu, aku serasa berada di surga.”
“Simpan rayuanmu itu pada pria
lain, Leia. Aku tidak tertarik dengan rayuanmu.” Ujarku dan duduk di sebelah
Leon yang dengan tenang meminum kopinya.
Leia tertawa dan menoleh kearah
Runa, “Lho, kamu memberinya susu hangat?”
“Aku tidak tahu kesukaannya apa.
Jadi aku membuatkannya itu. Lagipula kalau dia meminum sesuatu yang bisa
membuatnya susah istirahat, itu akan merepotkan.” jawabku, “Runa, kamu suka
susu hangat?”
“Hah? Eh… iya, suka kok.” Dia
tersenyum canggung dan meminum susu hangatnya perlahan, “Rasanya segar dan
manis.”
“Hmm… Rei ini adalah peracik
minuman paling handal diantara kami semua, Runa.” Kata Leon, “Hanya saja,
kemampuan meracik minumannya tidak sebanding dengan kemampuan memasaknya. Dulu
dia sering membuat masakan hangus, kalau saja tidak diajari olehku dan Leia.”
“Jangan membuka aib orang lain,
Leon…” kataku sambil memukul bahunya.
Dia terkekeh dan meminum lagi
kopinya.
“Oh ya, Leia, kamu bisa meminjamkan
beberapa potong pakaian untuk Runa? Atau kalau kamu ada waktu luang hari ini,
kamu bisa menemaninya pergi berbelanja pakaian dan perlengkapan lain. Soal
biaya, kamu bisa mengirimkan tagihannya padaku setelah kamu selesai
berbelanja.”
“Kau yakin mau menanggung semua
biayanya?” tanya Leon kaget.
“Karena kalau kupikir-pikir, jika
Leia meminjamkan pakaiannya, aku tidak yakin Runa akan menyukainya. Selera Leia
dalam fashion, kan terlalu tinggi.”
Balasku.
“Oh, tentu saja aku akan
melakukannya dengan senang hati!” Leia bertepuk tangan senang, “Kita akan
berbelanja hari ini, Runa-chan[1].
Aku tahu toko dan butik pakaian yang memiliki koleksi pakaian paling cantik di
Edenia.”
“Tapi, jangan membawanya pergi
jauh-jauh dari sekitar sini. Dia masih dalam masa pemulihan.” Kataku lagi.
“Aku tahu, Rei sayang. Jangan
khawatir, biar Okaasan[2]
yang mengatasinya!” Leia berkedip, “Nah, Runa-chan, setelah ini kita akan pergi ke butik langgananku. Di sana ada
banyak model pakaian yang sedang tren sekarang ini, dan…”
Aku menyesap kopiku dan membiarkan
Leia ‘berkicau’. Baik aku atau Leon tidak akan bisa menghentikan Leia kalau dia
sudah berbicara. Leia bisa berbicara selama berjam-jam kalau dia tidak
dihentikan.
“Aku lihat kamu memperhatikan gadis
itu terus.” Bisik Leon yang duduk di sebelahku.
“Siapa?”
“Kamu memperhatikan gadis itu dari
tadi.” katanya lagi, “Tapi, memang tidak heran, sih. Gadis itu, kan cantik,
kulitnya putih, punya tubuh yang langsing pula. Dan biar kutebak, lingkar
dadanya 81, pinggang 60, dan pinggulnya… 87.”
Aku langsung tersedak minumanku
mendengar deskripsinya soal ukuran lingkar tubuh Runa dan membuat kedua wanita
di depan kami menoleh.
“Rei, kamu kenapa?” tanya Runa.
“Hah? Eh… tidak apa-apa. aku hanya
tersedak kopiku. Kopiku masih panas.” Kataku terbatuk-batuk dan mengerling
sebal pada Leon yang dengan wajah tidak bersalah meminum kopinya.
“Tapi kamu sampai batuk-batuk begitu…” Runa menyodorkan
cangkirnya, “Apa kamu mau minum susu hangat milikku?”
“Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa…”
kataku.
Runa mengangguk-angguk, dan Leia
kembali mengajaknya bicara.
“Aku tidak tahu kamu sensitif pada ukuran
tubuh wanita.” Kata Leon sambil terkekeh.
“Leon, sekali lagi kamu mengatakan
hal seperti tadi, aku bakal menghajarmu sampai mati.” Ancamku. “Lagipula, bisa
tidak sih jangan bawa-bawa sifat playboy-mu
itu di sini?”
“Sifat itu sudah mendarah daging di
tubuhku, dan aku tidak mungkin bisa membuangnya.” Ujar Leon, “Tapi, Rei, kalau
kamu mengincarnya, aku mendukungmu.”
Aku mendelik padanya dan dia
terkekeh lagi.
Setelah Leia mengobrol
panjang-lebar, akhirnya wanita itu memutuskan sudah saatnya dia pergi bersama
Runa untuk membeli pakaian dan beberapa perlengkapan lainnya. Menurut Leia,
penambahan ruangan di fasilitas penampungan saksi hidup akan berlangsung selama
kurang lebih dua atau tiga bulan. Jadi selama itu pula Runa akan tinggal bersamaku.
“Kalau begitu, aku dan Leon akan
pergi ke markas, melaporkan kejadian kemarin malam dan mengisi surat-surat yang
harus diurus.” Kataku sambil memakai jas hitamku.
Kuambil sabuk senjataku dan
memakainya di luar jas. Kusampirkan katana yang biasa kubawa dan juga pistolku
di sana.
“Oke,” Leia mengangguk.
“Kamu akan pergi?” tanya Runa.
“Hanya mengurus beberapa hal, dan
aku akan pulang.” kataku, “Kenapa?”
“Aku…” Runa menundukkan wajahnya
dan aku tidak yakin aku melihat semburat merah di pipinya barusan.
Dia terus menundukkan kepalanya dan
aku langsung mendapat pelototan peringatan dari Leia, yang kubalas dengan
pelototan yang sama.
“Aku akan ada di rumah pada jam 5
sore.” Kataku, “Kalau kamu sudah pulang dari belanja sebelum aku pulang, kamu
bisa melakukan apa pun yang ingin kamu lakukan.”
“Baiklah,” dia mengangguk,
“Hati-hati… di jalan.”
Aku yakin Leon terbatuk-batuk
dengan sengaja sementara Leia pura-pura memperhatikan ponselnya ketika Runa
mengatakan hal itu dengan wajah yang… tampak manis?
Sial. Sepertinya aku mulai lemah
hanya dengan melihat wajahnya.
“Ah… baiklah. Kalau begitu, aku
berangkat dulu.” Kataku lalu menarik tangan Leon, “Ayo Leon. Kita punya banyak
pekerjaan hari ini.”
[1] Akhiran kecil, di Jepang, secara
umum digunakan untuk bayi, anak kecil, dan gadis remaja. –chan jarang digunakan untuk anak laki-laki kecuali jika namanya
tidak cocok menggunakan akhiran –kun.
Penggunaan –chan biasanya dilakukan
dengan penyingkatan nama kecil yang bersangkutan.
0 komentar:
Posting Komentar