Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

RE - Chapter 6



Rei’s Side
Ketika pagi benar-benar datang, aku langsung melakukan kegiatanku di pagi hari. Mandi, membersihkan apartemen, dan memasak untuk sarapan. Gadis yang sekarang kupanggil Runa itu kini duduk di kursi dapur, memperhatikanku yang sedang memasak. Sebenarnya aku sudah memaksanya untuk tetap tinggal di kamar, tapi dia memaksa ingin keluar dari kamar karena katanya dia masih takut kutinggalkan sendiri.

“Apakah kamu tinggal sendirian?” tanyanya ketika aku menghidangkan telur orak-arik dan roti bakar isi daging di hadapannya.
“Aku tinggal sendirian.” Jawabku. “Memangnya kenapa?”
“Tidak banyak benda di tempat ini.” katanya, “Kukira kamu tinggal bersama seseorang, karena di sini ada dua kamar.”
“Apartemen ini kupesan khusus, karena itulah memiliki dua kamar.” ujarku sambil duduk di seberangnya dan meletakkan sarapan pagiku di hadapanku, “Dan aku sering kedatangan tamu yang kadang-kadang menginap, jadi kamar yang sekarang kamu tempati itu adalah kamar tamu sebenarnya.”
“Sekarang makanlah dulu, setelah ini aku akan membantumu membersihkan diri. Teman-temanku akan datang ke sini dalam waktu kurang dari dua jam.”
Dia mengangguk paham dan memakan sarapannya pelan-pelan. Gerakannya sangat pelan karena bahu kanannya belum sembuh benar.
Kami lalu makan dalam diam. Sesekali aku melirik kearah jendela yang menampilkan pemandangan Distrik Tiga yang luar biasa, lalu melirik kearah Runa. Dia tampak menikmati makanannya dan diam.
Setelah selesai sarapan, aku langsung memasukkan piring-piring kotor kami ke dalam mesin pencuci piring dan membawa Runa ke kamar mandi. Di sana aku langsung menyiapkan bak mandi dengan air hangat agar dia bisa berendam tanpa perlu merasa sakit dengan luka di tubuhnya. Aku juga menambahkan bubuk obat yang pernah diberitahu Alex mampu menutup luka secara perlahan. Untunglah dia memberikan lima kotak berisi bubuk obat ini untukku ketika dia berkunjung ke Distrik Lima yang memang distrik penghasil obat-obatan dan ramuan.
“Kamu mandilah duluan. Aku akan mencarikan pakaian ganti untukmu.” Kataku saat kulihat dia berdiri di belakangku sambil menatap bak mandi yang kusiapkan untuknya.
“Apakah… aku harus berendam di sana?” tanyanya sedikit takut.
“Ini hanya bak mandi, tidak akan membuatmu tenggelam.” Kataku lagi.
“Terakhir kali aku mandi di dalam bak mandi seperti ini, aku hampir…” kata-katanya tiba-tiba menghilang dan dia mulai gemetar lagi.
“Jangan memikirkan hal-hal yang membangkitkan traumamu.” Kataku menyentuh tangannya dan menggenggamnya erat-erat, “Kalau kamu terus seperti ini, kamu tidak akan bisa pulih dari traumamu.”
“Ah, eh… iya…” dia membuat gerakan menahan ludah dan mengangguk, “Aku… aku akan mencobanya. Terima kasih karena sudah… memperhatikanku.”
“Sama-sama. Sekarang mandilah, aku akan berada di luar. Dan jika kamu sudah selesai, segera beritahu aku untuk mengganti perban lukamu. Handuk dan kimono ada di lemari putih itu.”
“Baik.”
Aku lalu keluar dan kembali ke kamarku. Mencari sesuatu yang bisa dia pakai untuk sementara sampai… yah… aku membeli pakaian untuknya. Mungkin aku harus minta tolong pada Leia untuk urusan ini karena jujur saja, aku tidak tahu seperti apa selera wanita dalam berpakaian.
Memang Leia sering menginap di apartemenku, tapi dia membawa sendiri perlengkapan mandi dan pakaiannya sehingga aku tidak perlu repot-repot membeli persedian kebutuhan mandi dan kosmetik wanita. Dan karena sekarang ada Runa di sini… mau tidak mau aku harus meminta tolong pada Leia.
Aku mengambil sebuah kaus berkerah berwarna hijau tosca yang ada di lemariku dan juga celana panjang. Lalu aku kembali ke kamar mandi di kamar Runa dan menaruh pakaian itu di atas tempat tidur. Samar-samar aku mendengar Runa bersenandung. Entah lagu apa yang dia nyanyikan, tapi aku merasa mengenal nadanya.
Mungkin hanya perasaanku saja. aku berkata dalam hati dan membuka gorden yang menutupi jendela kamar dan kembali keluar .
Aku baru akan keluar ketika aku mendengar suara pintu kamar mandi yang terbuka. Runa keluar dari kamar mandi dengan mengenakan kimono handuk berwarna biru tua. Dan aku sempat tidak bisa berkedip melihatnya tampak… berkilau? Mungkin itu kata yang tepat untuk menggambarkan rambutnya yang memang berkilau karena air.
Hei… bukan berarti aku mulai tertular sifat playboy dan cari perhatian dari Leon. Aku hanya… oh, okelah kalau kalian menganggapku mulai menggombal.
Dia menoleh dan sempat terkejut melihatku.
“Kamu sudah selesai mandi?” tanyaku tidak memperdulikan keterkejutannya, kemudian mengerutkan kening ketika teringat dia sedang terluka, “Apa kamu membalut lukamu sendiri?”
“Err… ya. Aku membalut lukaku sendiri. Aku sudah terbiasa merawat lukaku sendirian.” katanya dengan pipi memerah.
“Baiklah… aku sudah menaruh pakaian gantimu di kamarmu yang kemarin kamu tempati. Kalau kamu mencari pakaian dalammu, kamu bisa mengambilnya di keranjang pakaian bersih di dekat mesin cuci di sebelah toilet.” Kataku.
Dia mengangguk mengiyakan perkataanku.
“Dan… aku minta kamu tidak membuka identitasmu sebagai Claydoll di hadapan teman-temanku yang akan menginterogasimu. Kamu mengerti maksudku, kan?”
Lagi-lagi dia mengangguk.
“Oke.” aku lalu berjalan melewatinya menuju kamar mandi ketika aku mencium wangi sampo milikku dari rambutnya.
Dan kalian tahu, aku merasa itu adalah tindakan yang cukup… intim.
“Aku tadi memakai peralatan mandimu.” Kata Runa seakan-akan mengatakan apa yang hendak kukatakan. “Tapi aku memakai sikat gigi baru yang ada di kotak obat di kamar mandi, jadi kamu tidak perlu khawatir aku mengotori sikat gigimu.”
“Ah, ya… tidak masalah.” Jawabku. “Kalau begitu aku mandi dulu.”

***

Runa’s Side
Aku masuk ke dalam kamar yang kemarin kutempati setelah terlebih dulu mengambil pakaian dalamku di keranjang yang dimaksud Rei sebelumnya.
Aku menutup pintu di belakang punggungku dan melirik kearah tempat tidur. Di sana ada sebuah kemeja berwarna hijau pucat dan juga celana panjang berwarna hitam. Aku menghampiri tempat tidur dan mulai mengeringkan tubuhku. Rasanya segar sekali mandi di air panas barusan. Luka-lukaku rasanya seperti direndam dengan air lembut yang nyaman dan tidak menyakitkan seperti yang biasa kurasakan di tempat itu, tempatku dibuat.
Kuhembuskan nafas dan duduk di sisi tempat tidur setelah selesai mengganti pakaian. Mataku tertuju pada sabuk senjataku, pedang dan juga pistolku. Aku mengambil pistol hitam itu dan menimang-nimangnya di tanganku.
“Aku… bebas…” gumamku, “Aku tidak percaya aku tidak berada di tempat itu lagi…”
Seulas senyum tipis terbentuk di bibirku dan aku menaruh kembali pistol itu di atas meja.
Aku menggunakan jari-jariku untuk menyisiri rambutku. Aku tidak tahu di mana Rei meletakkan sisir rambut dan aku sungkan untuk pergi ke kamarnya. Juga karena bahu kananku masih terasa sakit. Walau berendam di air hangat tadi sangat membuatku nyaman, tapi itu tidak menutup kenyataan bahwa bahuku masih terluka.
Lagipula aku tidak ingin lebih merepotkannya. Masih untung dia tidak membunuhku dan mau menampungku di sini walau aku adalah Claydoll.
Kudengar suara pintu kamar mandi yang terbuka dan aku tahu kalau Rei sudah selesai mandi. Aku beranjak ke pintu dan melihatnya masuk ke pintu kamar yang ada di sebelah kamarku. Aku keluar dari kamar dan duduk di ruang tamu, memperhatikan semua benda yang ada di sana.
Sepertinya Rei senang dengan segala hal berwarna putih atau biru. Nyaris semua benda di sini memiliki dua warna itu.
Mataku kemudian tertuju pada rak kecil yang memuat beberapa bingkai foto. Aku mendekat kearah rak itu dan melihat foto-foto Rei di sana. Ada fotonya bersama dua orang laki-laki dan perempuan yang memakai pakaian organisasi Raven, foto dirinya sendiri yang kemungkinan diambil di apartemen ini, dan…
“Ini…”
Tanganku menggapai bingkai foto yang memuat foto seorang gadis kecil berambut coklat dan diikat twintail. Senyumnya tampak menawan dan matanya memancarkan kehangatan seperti matahari. Kemudian aku melihat bingkai foto berikutnya yang kali ini memuat foto Rei saat masih kecil bersama gadis itu. Mereka saling berangkulan di sebuah taman sambil mengenakan mahkota bunga. Aku menatap kedua foto itu lekat-lekat dan merasakan perasaan aneh saat menatap kedua foto itu.
Tiba-tiba sekelebat gambar muncul di kepalaku dan menghantam pikiranku nyaris seperti palu. Tubuhku lagi-lagi menggigil.
“…na, lari! Selamatkan diri kalian!”
“Tapi aku tidak mau meninggalkanmu, Rei!”
“Lari! Mereka akan segera kemari!”
Sosok anak kecil di hadapannya tiba-tiba terjatuh dan dia menjerit. Bersamaan dengan itu, sepasang tangan membekapnya dari belakang.
“Rei! Tolong, Rei!!” ia berusaha menggapai tubuh anak kecil yang tampak diam tidak bergerak di tanah.
“Ukh…”
Aku menggapai pinggiran rak dan berusaha untuk tidak kehilangan keseimbangan. Kepalaku terasa sakit, dan gambar-gambar itu terus muncul dalam kepalaku.
“Hei,”
Aku tersentak kaget ketika sebuah tangan menepuk bahuku dan membuatku menoleh. Rei berdiri di belakang dengan rambut yang masih basah dan meneteskan air. Pakaiannya juga sudah berganti dengan kemeja lengan panjang berwarna putih, dasi berwarna biru gelap, dan celana panjang berwarna hitam.
“R, Rei?”
“Kamu kenapa? Tubuhmu menggigil.” Katanya.
“Aku tidak apa-apa, hanya…”
Tangannya menyentuh lenganku dan keningnya berkerut samar. Matanya menatap lekat-lekat bekas-bekas lukaku yang ada di sana.
“Dokter mengatakan kalau kamu punya banyak bekas luka,” ujarnya, “Tapi tidak kusangka di lenganmu ada banyak. Kemarin malam aku memang sudah melihatnya, tapi aku tidak tahu bekas luka di lenganmu semengerikan ini.”
Aku hanya diam sementara dia memeriksa lenganku yang lain.
“Apa ini bekas cambuk?” tanyanya. “Orang-orang Clematis yang melakukannya padamu?”
“Y, ya.”
Sekilas matanya menyiratkan kemarahan. Tapi itu hanya sekilas. Menurutku, sih…
Dia lalu mengajakku duduk di sofa dan dia sendiri duduk di hadapanku. Tidak ada yang bicara diantara kami berdua. Dan aku merasa sedikit gelisah dengan suasana seperti ini.
“Runa,”
“Ya?”
“Aku… ingin menanyakan sesuatu padamu,” katanya, “Saat kamu di tempat itu, markas Clematis, maksudku, apa kamu pernah bertemu seorang gadis berambut coklat?”
“Hah?”
“Gadis yang memiliki nama sepertimu. Rupa kalian juga sedikit mirip.” Ujarnya lagi, “Sepuluh tahun yang lalu dia diculik dari panti asuhan, dan sampai sekarang tidak diketahui keberadaannya. Aku menduga kamu juga diculik pada yang waktu yang sama, jadi…”
“Aku tidak tahu,” kataku. “Selama ini aku tidak pernah keluar, kecuali… menjalankan tugas. Setelahnya aku dikurung di tempat gelap.”
“Begitukah?” dia tampak kecewa dan menyandarkan punggungnya di punggung sofa, “Begitu…”
“Memangnya… dia diculik oleh mereka? Gadis bernama Runa itu?” tanyaku.
Rei mengangguk dan tatapannya kali ini berubah sedih.
“Mereka menculik satu-satunya orang yang mau menerimaku apa adanya.” Katanya sambil tertawa lemah, “Dulu aku menjadi yatim-piatu karena kedua orangtuaku diduga sebagai mata-mata Clematis dan dibunuh oleh warga setempat. Semua orang lalu menyebutku sebagai anak teroris dan aku dikirim ke panti asuhan di pinggir Distrik Enam. Di sana, semua orang memang menyambutku dengan tangan terbuka, tapi para anak-anak… mereka tidak menyukaiku dan mengerjaiku di setiap ada kesempatan. Hanya Runa saja yang tidak pernah mengerjai atau mengejekku. Dia adalah teman pertama sekaligus orang yang paling aku sayangi setelah kedua orangtuaku yang meninggal.”
Aku mendengarkan ceritanya dan merasakan kalau aku pernah mendengar cerita seperti ini.
“Lalu… ia diculik oleh Clematis?”
“Begitulah.” Rei mengedikkan bahu, “Dan sekarang aku sedang berusaha mencarinya. Dan karena kamu adalah seorang Claydoll dari Clematis, kukira kamu mengetahui keberadaannya.”
“Maafkan aku, aku tidak tahu dia ada di mana.” kataku sedih.
“Tidak perlu meminta maaf,” Rei tersenyum, “Ngomong-ngomong, aku merasa kamu mirip dengan Runa. Karena itulah aku memberimu nama Runa.”
“Karena… aku mirip dengannya?”
“Ya. Warna bola mata dan juga rambutmu mirip dia.”
Aku hanya tersenyum canggung mendengarnya dan mengalihkan wajahku kearah lain.
Aneh. Kenapa tiba-tiba saja hatiku terasa sakit seperti ini?
“Kamu tidak menyisir rambutmu?”
“Ya?” aku berbalik menatapnya.
“Kamu tidak menyisir rambutmu?” tanyanya lagi. “Rambutmu akan menjadi kusut kalau tidak segera disisir atau disikat.”
Aku menyentuh rambutku yang sudah setengah kering, “Aku tidak tahu di mana sisir atau sikat rambut. Lagipula aku tidak tahu apakah kamu punya sisir atau tidak.” kataku.
“Tunggu sebentar.”
Dia berdiri dan menuju kamarnya. Beberapa saat kemudian dia kembali dengan sebuah sikat rambut berwarna hitam di tangannya.
“Ini milik temanku yang ketinggalan. Dan kurasa dia tidak akan keberatan kalau kamu memakainya.”
Dia lalu duduk di sampingku dan mendekatkan tangannya padaku.
“Kamu mau apa?” tanyaku ketika dia menyentuh rambutku.
“Menyikat rambutmu. Bahumu masih terluka dan kita tidak mau mengambil resiko lukamu kembali terbuka, kan?” katanya, “Berbaliklah. Aku akan menyikat rambutmu.”
Aku menatapnya sebentar kemudian berbalik membelakanginya. Tangannya lalu menyentuh rambutku dan sikat rambut di tangannya bekerja. Sekali lagi aku merasakan perasaan familiar namun asing kalau aku pernah diperlakukan seperti ini sebelumnya.
“Rambutmu panjang juga, ya? Lebih panjang daripada Leia.”
“Leia? Siapa itu?”
“Salah seorang temanku di organisasi Raven. Dia wanita yang cantik dan sering gonta-ganti pacar.” kata Rei.
“Oh…”
Rei terus menyikat rambutku dan setelah selesai, dia meletakkan sikat rambut itu diatas meja. Aku berbalik menghadapnya dan langsung bertatapan dengan bola mata birunya yang tampak… menawan.
Oh Tuhan… inikah rasanya ketika bertatapan dengan mata yang berwarna biru bening seperti milik Rei? Aku merasa bisa merasakan dinginnya gunung es dan langit biru di saat bersamaan ketika menatap matanya.
“R, Rei,”
“Hm?”
Belum sempat aku mengatakan sesuatu, tiba-tiba pintu terbuka diikuti suara nyaring seorang wanita.
“Rei!! Kami datang!!”
Kami berdua menoleh kearah pintu yang terbuka, tepat kearah seorang wanita berambut merah dan laki-laki yang datang bersamanya.

***
Rei’s Side
Ketika aku menatap mata ungu Runa, aku merasa seperti menatap mata Runa kesayanganku yang sama. Mata itu juga memancarkan sinar yang nyaris sama. Bedanya, mata Runa yang ini tampak lebih lebar daripada mata Runa yang kuingat.
“R, Rei,”
“Hm?”
Bibirnya terbuka hendak mengatakan sesuatu. Tapi belum sempat dia mengatakannya, pintu apartemenku tiba-tiba terbuka dan suara cempreng Leia langsung menggelegar di seluruh penjuru apartemenku.
Oke, aku tahu itu sedikit melebih-lebihkan, tapi kalian tidak tahu bagaimana kerasnya suara Leia kalau sedang berteriak.
“Rei!! Kami datang!!”
Aku langsung menoleh kearah pintu dan melihat Leia, dalam balutan dress ketat berwarna hijau daun yang dipadukan dengan cardigan berwarna putih serta sepatu bot berwarna senada dengan dress-nya. Leia datang bersama Leon, yang tampak sedikit menderita karena tangannya ditarik oleh Leia.
Apakah Leia menargetkan Leon sebagai ‘sasaran’nya kali ini?
Tidak… Leia jelas-jelas tidak tertarik pada playboy seperti Leon. Walau terkadang Leia memang mencari mangsa yang sedikit mirip seperti Leon, tapi Leia masih tahu diri kalau dia sudah berusia kepala empat.
“Kalian rupanya,” kataku sambil menyambut mereka.
“Begitu mendengar ada saksi hidup dari insiden kemarin malam dari Leon aku langsung merasa penasaran.” kata Leia sambil melepas sepatunya dan langsung menghampiri Runa di ruang tamu.
“Hei, jangan sembarangan masuk, Leia!!”
Aku mengikuti wanita itu bersama Leon ke ruang tamu dan melihat Leia sudah duduk di samping Runa, yang kulihat tampak gugup dan sedikit takut.
“Dia manis sekali!” kata Leia, “Rambutnya juga halus. Oh, astaga… ini pakaianmu, kan Rei? Kamu tidak melakukan apa pun padanya, kan kemarin malam?”
“Simpan pikiran kotormu itu, Leia. Aku meminjaminya pakaian karena aku tidak memiliki pakaian wanita untuk dipinjamkan padanya.” Sahutku jengkel. “Lagipula, jangan asal mengambil kesimpulan dengan pikiran kotormu itu, dong!”
Leia terkikik dan kemudian menoleh kearah Runa.
“Maaf, aku belum memperkenalkan diri. Aku Hirano Leia dan cowok tampan di belakang Rei itu adalah Sam Leon. Kami adalah anggota Raven seperti Rei, dan kamilah yang akan menanyaimu tentang insiden pembantaian di mansion Handerson kemarin malam.”
“Siapa namamu?” tanya Leon yang sekarang duduk di seberang Runa.
“Ah, eh… aku…”
Runa melirik kearahku dan tampak gelisah.
“Aku…”
“Runa. Namanya Runa.” Kataku.
“Runa? Nama yang sangat manis!” kata Leia.
“Rei, bukankah nama itu…” Leon menatapku dengan kening berkerut.
“Dia hilang ingatan. Sepertinya pembantaian kemarin membuatnya trauma dan menyebabkannya kehilangan sebagian ingatannya.” Kataku mencoba berbohong sebisaku, “Karena dia tidak bisa mengingat namanya, jadi aku memanggilnya Runa.”
“Begitu…”
“Kasihan sekali kamu sampai hilang ingatan.” Leia mengusap rambut Runa, “Tapi, tidak apa. Kami tidak akan menanyakan secara detil apa yang terjadi. Kami hanya mengunjungimu saja hari ini.”
“I, iya…” Runa mengangguk.
“Aku akan membuatkan kopi.” Kataku sambil beranjak menuju dapur.
Aku melirik sekilas kearah Runa yang tampak ketakutan kutinggalkan sendirian bersama mereka berdua.
Sambil membuat kopi, aku mendengar suara Leia yang mendominasi percakapan dan suara Leon yang sesekali menengahi. Suara Runa tidak terdengar dan kuduga dia tidak tahu harus menjawab atau mengatakan apa.
Aku mengangkat nampan berisi tiga cangkir kopi dan secangkir susu hangat. Karena aku tidak tahu apakah Runa suka minum kopi atau tidak, untuk jaga-jaga aku membuatkannya susu hangat. Dan karena dia masih terluka, aku tidak boleh memberikannya minuman yang kemungkinan bisa membuatnya tidak bisa istirahat setelah minum obat.
Ketika kembali ke ruang tamu, aku melihat Leia sedang mengobrol, atau lebih tepatnya bercerita pada Runa. Gadis itu tampak diam dan mendengarkan dengan tekun dan sesekali kulihat pandangan matanya tampak menerawang.
“Minuman sudah datang,” kataku sambil membagikan minuman yang kubawa.
“Akhirnya, aku sudah sangat menantikan kopi buatanmu, Rei.” Leia mengambil cangkir kopi dan menghirup aromanya, “Rasanya kalau aku minum kopi buatanmu, aku serasa berada di surga.”
“Simpan rayuanmu itu pada pria lain, Leia. Aku tidak tertarik dengan rayuanmu.” Ujarku dan duduk di sebelah Leon yang dengan tenang meminum kopinya.
Leia tertawa dan menoleh kearah Runa, “Lho, kamu memberinya susu hangat?”
“Aku tidak tahu kesukaannya apa. Jadi aku membuatkannya itu. Lagipula kalau dia meminum sesuatu yang bisa membuatnya susah istirahat, itu akan merepotkan.” jawabku, “Runa, kamu suka susu hangat?”
“Hah? Eh… iya, suka kok.” Dia tersenyum canggung dan meminum susu hangatnya perlahan, “Rasanya segar dan manis.”
“Hmm… Rei ini adalah peracik minuman paling handal diantara kami semua, Runa.” Kata Leon, “Hanya saja, kemampuan meracik minumannya tidak sebanding dengan kemampuan memasaknya. Dulu dia sering membuat masakan hangus, kalau saja tidak diajari olehku dan Leia.”
“Jangan membuka aib orang lain, Leon…” kataku sambil memukul bahunya.
Dia terkekeh dan meminum lagi kopinya.
“Oh ya, Leia, kamu bisa meminjamkan beberapa potong pakaian untuk Runa? Atau kalau kamu ada waktu luang hari ini, kamu bisa menemaninya pergi berbelanja pakaian dan perlengkapan lain. Soal biaya, kamu bisa mengirimkan tagihannya padaku setelah kamu selesai berbelanja.”
“Kau yakin mau menanggung semua biayanya?” tanya Leon kaget.
“Karena kalau kupikir-pikir, jika Leia meminjamkan pakaiannya, aku tidak yakin Runa akan menyukainya. Selera Leia dalam fashion, kan terlalu tinggi.” Balasku.
“Oh, tentu saja aku akan melakukannya dengan senang hati!” Leia bertepuk tangan senang, “Kita akan berbelanja hari ini, Runa-chan[1]. Aku tahu toko dan butik pakaian yang memiliki koleksi pakaian paling cantik di Edenia.”
“Tapi, jangan membawanya pergi jauh-jauh dari sekitar sini. Dia masih dalam masa pemulihan.” Kataku lagi.
“Aku tahu, Rei sayang. Jangan khawatir, biar Okaasan[2] yang mengatasinya!” Leia berkedip, “Nah, Runa-chan, setelah ini kita akan pergi ke butik langgananku. Di sana ada banyak model pakaian yang sedang tren sekarang ini, dan…”
Aku menyesap kopiku dan membiarkan Leia ‘berkicau’. Baik aku atau Leon tidak akan bisa menghentikan Leia kalau dia sudah berbicara. Leia bisa berbicara selama berjam-jam kalau dia tidak dihentikan.
“Aku lihat kamu memperhatikan gadis itu terus.” Bisik Leon yang duduk di sebelahku.
“Siapa?”
“Kamu memperhatikan gadis itu dari tadi.” katanya lagi, “Tapi, memang tidak heran, sih. Gadis itu, kan cantik, kulitnya putih, punya tubuh yang langsing pula. Dan biar kutebak, lingkar dadanya 81, pinggang 60, dan pinggulnya… 87.”
Aku langsung tersedak minumanku mendengar deskripsinya soal ukuran lingkar tubuh Runa dan membuat kedua wanita di depan kami menoleh.
“Rei, kamu kenapa?” tanya Runa.
“Hah? Eh… tidak apa-apa. aku hanya tersedak kopiku. Kopiku masih panas.” Kataku terbatuk-batuk dan mengerling sebal pada Leon yang dengan wajah tidak bersalah meminum kopinya.
“Tapi kamu sampai  batuk-batuk begitu…” Runa menyodorkan cangkirnya, “Apa kamu mau minum susu hangat milikku?”
“Tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa…” kataku.
Runa mengangguk-angguk, dan Leia kembali mengajaknya bicara.
“Aku tidak tahu kamu sensitif pada ukuran tubuh wanita.” Kata Leon sambil terkekeh.
“Leon, sekali lagi kamu mengatakan hal seperti tadi, aku bakal menghajarmu sampai mati.” Ancamku. “Lagipula, bisa tidak sih jangan bawa-bawa sifat playboy-mu itu di sini?”
“Sifat itu sudah mendarah daging di tubuhku, dan aku tidak mungkin bisa membuangnya.” Ujar Leon, “Tapi, Rei, kalau kamu mengincarnya, aku mendukungmu.”
Aku mendelik padanya dan dia terkekeh lagi.
Setelah Leia mengobrol panjang-lebar, akhirnya wanita itu memutuskan sudah saatnya dia pergi bersama Runa untuk membeli pakaian dan beberapa perlengkapan lainnya. Menurut Leia, penambahan ruangan di fasilitas penampungan saksi hidup akan berlangsung selama kurang lebih dua atau tiga bulan. Jadi selama itu pula Runa akan tinggal bersamaku.
“Kalau begitu, aku dan Leon akan pergi ke markas, melaporkan kejadian kemarin malam dan mengisi surat-surat yang harus diurus.” Kataku sambil memakai jas hitamku.
Kuambil sabuk senjataku dan memakainya di luar jas. Kusampirkan katana yang biasa kubawa dan juga pistolku di sana.
“Oke,” Leia mengangguk.
“Kamu akan pergi?” tanya Runa.
“Hanya mengurus beberapa hal, dan aku akan pulang.” kataku, “Kenapa?”
“Aku…” Runa menundukkan wajahnya dan aku tidak yakin aku melihat semburat merah di pipinya barusan.
Dia terus menundukkan kepalanya dan aku langsung mendapat pelototan peringatan dari Leia, yang kubalas dengan pelototan yang sama.
“Aku akan ada di rumah pada jam 5 sore.” Kataku, “Kalau kamu sudah pulang dari belanja sebelum aku pulang, kamu bisa melakukan apa pun yang ingin kamu lakukan.”
“Baiklah,” dia mengangguk, “Hati-hati… di jalan.”
Aku yakin Leon terbatuk-batuk dengan sengaja sementara Leia pura-pura memperhatikan ponselnya ketika Runa mengatakan hal itu dengan wajah yang… tampak manis?
Sial. Sepertinya aku mulai lemah hanya dengan melihat wajahnya.
“Ah… baiklah. Kalau begitu, aku berangkat dulu.” Kataku lalu menarik tangan Leon, “Ayo Leon. Kita punya banyak pekerjaan hari ini.”


[1] Akhiran kecil, di Jepang, secara umum digunakan untuk bayi, anak kecil, dan gadis remaja. –chan jarang digunakan untuk anak laki-laki kecuali jika namanya tidak cocok menggunakan akhiran –kun. Penggunaan –chan biasanya dilakukan dengan penyingkatan nama kecil yang bersangkutan.
[2] Sebutan untuk ibu dalam bahasa Jepang.

0 komentar:

Posting Komentar