Rei’s Side
Aku
sampai di rumah sakit tepat waktu dan langsung menyuruh para perawat yang
berjaga di sana untuk segera merawat si gadis. Mereka tampak panic, dan
berusaha melakukan yang terbaik. Seorang dokter datang tergopoh-gopoh karena
mendengar teriakan tegasku untuk segera merawat gadis itu.
Aku menunggu di luar ruang operasi, karena
menurut dokter yang memeriksanya sekilas, ada dua peluru yang bersarang di
tubuhnya dan cukup dalam hingga mereka harus melakukan operasi. Aku duduk di
kursi yang ada di sana dan menunggu.
Ponselku tiba-tiba bergetar, dan aku menerima
telepon yang masuk.
“Siapa ini?”
“Rei, kau
tadi disuruh Alex menuju mansion Handerson, kan?” suara Leon terdengar di
seberang telepon, “Apakah ada yang
selamat?”
“Umm…” aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak
gatal sebelum menjawabnya, “Ya. Tapi dia terluka parah. Dan aku sudah di rumah
sakit, menungguinya sampai selesai dioperasi.”
“Kenapa
dia harus dioperasi?”
“Dia tertembak di bahu kanan dan juga perut.
Juga, kelihatannya dia salah seorang penjaga yang bertugas di mansion itu.”
ujarku lagi, “Leon, ada apa?”
“Tidak
ada. Hanya memastikan kau melakukan pekerjaan dengan benar.” dia terkekeh,
“Ngomong-ngomong, Rei, kau bisa menampung
saksi itu di apartemenmu selama beberapa hari, kan? Fasilitas ruangan bagi
saksi mata hidup yang ada di markas sudah penuh, dan kita tidak mungkin
mengeluarkan mereka tanpa memberikan mereka jaminan hidup layak sementara para
pekerja sedang membuat ruangan tambahan untuk fasilitas tersebut.”
“Tentu saja.” kataku, “Lagipula apartemenku
memiliki dua kamar.”
“Bagus.
Aku akan ke sana besok bersama Leia. Pastikan saksi mata itu sadar besok pagi.”
“Baiklah.”
Aku menutup telepon dan memasukkan benda mungil
itu ke dalam saku jaketku tepat ketika dokter yang menangani operasi si gadis
keluar dari ruang operasi.
“Anda…” beliau tampak bingung ingin memanggilku
apa.
“Aku anggota Raven, Kujo Rei.” kataku sambil
menunjukkan tato berbentuk burung hitam yang ada di punggung tangan kiriku,
“Bagaimana keadaan gadis itu?”
“Ah, ya…” kini beliau mengangguk, “Kami sudah
mengeluarkan dua butir peluru yang bersarang di bahu kanan dan perutnya. Dan
secara fisik, dia baik-baik saja. Tapi…”
“Tapi? Kenapa ada ‘tapi’?” tanyaku.
“Seluruh tubuhnya penuh bekas luka.” Ujar si
dokter, “Kami sudah meneliti darimana asal luka-luka itu, dan kami menemukan
ada beberapa bekas luka akibat cambuk dan sengatan dari alat kejut listrik
bertegangan tinggi.”
Aku melebarkan mataku mendengar informasi itu.
Wow. Penjaga mana yang memiliki banyak bekas luka di sekujur tubuh, seorang
gadis pula?
“Tapi kami sudah melakukan yang terbaik untuk
mengobati luka tembak dan juga luka dalam tubuhnya.” kata dokter lagi. “Kami
sarankan agar dia dirawat di rumah sakit, tapi bila Anda tidak menginginkan hal
itu, maka Anda bisa membawanya pulang dan melakukan rawat jalan saja.”
“Aku akan mengambil pilihan kedua.” kataku, “Di
mana gadis itu?”
“Ikut saya.”
Aku mengikuti dokter itu ke dalam ruang
operasi. Di sana aku melihat gadis itu terbaring di sebuah meja operasi. Jas
yang dipakainya ditanggalkan dan aku bisa melihat lengannya yang putih dan
juga… benar. Ada beberapa bekas parut luka di sana.
Latihan macam apa sebenarnya yang diterima
gadis ini sebelum menjadi seorang penjaga? Dan kata dokter tadi dia juga
memiliki bekas luka cambuk?
“Saya sudah menuliskan resep obat yang harus
diminumnya ketika ia sudah sadar.” dokter menyerahkan secarik kertas berisi
resep obat. “Apa perlu saya panggilkan taksi?”
‘Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri.”
kataku, “Terima kasih atas kerja keras Anda, Dokter.”
“Sudah menjadi kewajiban saya untuk mengobati
orang-orang yang datang ke rumah sakit ini.” ujar dokter, “Kalau ia sudah
sadar, pastikan dia meminum obatnya dan ganti perban dengan yang baru setiap
dua malam sekali.”
“Baik,” aku mengangguk.
Aku mengambil jas dan juga sabuk senjata milik
gadis itu, kemudian mengangkatnya dari meja operasi. Aku membungkuk dan keluar
dari ruang operasi. Beberapa orang yang berada di koridor sempat menatapku.
Mungkin mereka merasa bingung kenapa aku menggendong gadis yang berpakaian
sangat ketat, terluka, dan aku tampak seperti…
Oh, sudahlah. Aku tidak mau mengatakannya.
Aku memanggil taksi yang melaju pelan dan masuk
ke dalamnya.
“Apartemen Ichizuku.” Kataku pada sopirnya.
Ia mengangguk dan langsung mengantarku ke
apartemenku.
Setelah membayar taksi aku menaiki lift dan
menuju kamar apartemenku berada.
Kubuka pintu apartemenku dan langsung menuju
kamar kosong di samping kamar yang kutempati. Aku menghela gadis itu di atas
ranjang putih di kamar itu dan meletakkan jas serta sabuk senjatanya di atas
meja di dekat tempat tidur. Aku lalu menuju kamarku dan kembali beberapa saat
kemudian dengan kemeja longgar yang biasa kupakai untuk tidur.
Oke. Sekarang yang harus kulakukan adalah
mengganti pakaian kotornya. Masalahnya adalah, dia ini perempuan, sementara aku
laki-laki. Aku belum pernah mengganti pakaian perempuan sebelumnya. Dan ini
benar-benar masalah bagiku. Leia tidak mungkin bisa dihubungi saat ini, dia
pasti sedang mengadakan pesta di rumahnya bersama teman-teman wanitanya yang
lain. Aku merasa tidak enak jika harus mengganggu pestanya.
Ketika aku tengah memikirkan bagaimana cara
mengganti pakaiannya, kedua mata gadis itu terbuka perlahan, dan sebelum sempat
mengatakan sesuatu, dia terduduk dan menjerit keras.
***
Runa’s Side
Hal
yang pertama kulakukan ketika terbangun adalah menjerit ketakutan karena mimpi
yang baru saja kudapat. Mimpi itu mengenai masa laluku yang kulupakan. Masa
lalu di mana aku diubah menjadi Claydoll
untuk pertama kalinya.
Mimpi itu sangat menghantuiku, hingga ketika
sepasang tangan menyentuh bahuku, aku langsung menepisnya dan mencekik lehernya.
Mataku menatap nanar kearah sepasang mata biru yang menatapku kaget. Dan rambut
perak…
… astaga. Ini laki-laki yang tadi kulihat di
hutan!
“A, ah… eh… aku…”
Aku buru-buru melepaskan tanganku dari lehernya
dan merasakan nyeri yang amat sangat berasal dari bahu kananku.
“M, maaf… aku… aku tidak sengaja.” Kataku
menatap laki-laki—tidak, pemuda itu, yang menatapku dengan kening berkerut kali
ini.
“Tidak apa-apa. Reaksimu sedikit berlebihan
untuk seorang gadis yang terluka tembak.” Katanya, “Bahumu sakit? Kamu bergerak
terlalu keras, kan tadi?”
Pemuda itu memeriksa bahuku dan kudengar dia
menghela nafas.
“Lukanya tidak terbuka. Syukurlah.” katanya.
Aku menatapnya sebentar, kemudian menatap
ruangan tempatku berada. Ini bukan ruangan tempatku biasa dikurung. Ruangan ini
berwarna biru tua, dan semua benda-benda di sini kebanyakan berwarna biru atau
putih.
“Aku… aku di mana? Ini bukan tempat itu, kan?”
“Tempat itu? Apa maksudmu?” tanyanya bingung,
“Ini adalah apartemenku. Aku menemukanmu pingsan di hutan karena luka tembak di
bahu kanan dan perutmu. Kamu tidak ingat kamu kabur dari pembantaian di mansion
Handerson?”
Aku mengerutkan kening mendengarnya. Kabur dari
pembantaian di mansion? Apa dia mengira aku adalah korban selamat dari
pembantaian yang kulakukan?
“Hei, karena kamu sudah bangun, bisakah kamu
berganti pakaian dengan kemeja ini? Aku akan mencucikan pakaianmu.”
Dia menyodorkan sebuah kemeja longgar berwarna
putih padaku. Aku menerimanya dengan sedikit ragu.
“Aku akan berbalik, dan kamu bisa mengganti
pakaianmu. Bilang padaku kalau kamu sudah selesai.” Katanya, lalu membalikkan
badannya.
Aku menatap punggungnya, kemudian kemeja
longgar di tanganku. Dengan perlahan, aku menanggalkan pakaianku dan
menggantinya dengan kemeja longgar itu. Setelah selesai mengganti pakaianku,
aku menyentuh bahunya pelan dan dia berbalik hingga membuatku terkejut.
“Kenapa kamu terkejut seperti itu?”
“T, tidak… aku…” aku tidak bisa menjawabnya dan
menyodorkan pakaian kotorku, “Ini… pakaianku.”
“Oh, ya.”
Dia mengambil pakaian kotorku dan pergi keluar.
Aku menggunakan kesempatan itu untuk meneliti ruangan ini lebih dalam. Tapi,
selain tempat tidur, lemari pakaian yang cukup besar, dan sebuah meja di dekat
tempat tidur, tidak ada yang lain lagi. Seperti yang kubilang tadi, ruangan ini
memiliki warna biru, seperti warna langit, dan semua benda di sini warnanya
putih.
Aku tidak tahu apakah ini kamar pemuda itu atau
bukan. Yang jelas, aku berusaha untuk tidak gemetar, mengingat mimpi yang
barusan kudapat.
Beberapa menit kemudian pemuda itu kembali
dengan sebuah nampan di tangannya. Di atas nampan itu ada sebuah mangkuk berisi
bubur, segelas air putih, dan piring kecil berisi obat-obatan.
Melihat obat-obatan aku langsung merasa mual.
Aku benci obat. Aku tidak ingin meminum benda pahit itu.
“Kamu harus makan dulu sebelum kembali
beristirahat.” Katanya, mengatur bantal-bantal di dinding di atas tempat tidur
dan menyandarkan punggungku di sana.
“Aku… aku tidak mau minum obat.” Kataku menatap
obat-obatan di piring kecil di atas nampan. “Aku benci obat.”
“Semua orang juga benci obat, tapi terkadang
kau harus menahan rasa tidak suka terhadap obat agar bisa sembuh.” Kata pemuda
itu lagi. “Aku akan menyuapimu, karena tidak mungkin kamu makan sendiri dengan
bahu terluka seperti itu.”
Aku melirik bahu kananku yang terluka dan
mengakui kalau dia memang benar.
Ia menyendok sesendok bubur ke dalam mulutku
dan aku menerimanya. Rasa hangat dan tekstur bubur yang gurih menyeruak di
dalam mulutku dan aku hanya bisa mendesah menikmati rasa gurih yang dirasakan
lidahku.
“Kuharap rasa bubur ini tidak terlalu buruk.”
Katanya, “Aku membuatnya sendiri, dan karena keahlian memasakku tidak cukup
baik, aku tidak menjamin rasa kari bubur ini enak atau tidak.”
“Rasanya enak.” kataku, “Sangat enak dan
lezat.”
“Benarkah?” dia tersenyum tipis dan kembali
menyuapiku.
Setelah bubur itu habis, dia membantuku meminum
obat, yang walaupun sudah kutolak berkali-kali, tetap dia minumkan padaku.
“Sekarang, saatnya kamu beristirahat.” Dia
menaruh mangkuk dan gelas yang sudah kosong di atas nampan. “Besok pagi,
teman-temanku akan datang menemuimu untuk dimintai keterangan soal pembantaian
di mansion malam ini. Jadi kamu harus mempersiapkan diri, setidaknya untuk
tidak pingsan atau ketiduran selama mereka memberikan pertanyaan padamu.”
“Pertanyaan?”
“Kamu satu-satunya saksi yang selamat dari
pembantaian itu. Kamu pasti salah satu penjaga di mansion itu, kan?”
Aku mengerutkan kening, ragu apakah aku harus
jujur atau tidak kalau aku bukanlah korban yang selamat dari kejadian yang
kubuat sendiri. Namun, aku tidak mau jika aku sampai ditangkap oleh Raven, atau
orang-orang dari tempat di mana aku dijadikan Claydoll. Aku tidak mau ditangkap oleh mereka, dan kalau pemuda ini
seorang anggota Raven, maka…
… aku tidak punya pilihan lain selain berbohong
dan menunggu hingga luka-lukaku pulih dan memilih waktu yang tepat untuk kabur
dari sini.
Memang kejam jika aku berbohong, tapi aku tidak
punya pilihan lain.
“Nah, aku akan meninggalkanmu untuk
beristirahat.” Katanya, “Selamat beristirahat.”
“Ya, terima kasih…” aku mengerutkan kening,
bingung memanggilnya dengan sebutan apa. Lalu aku teringat sesuatu yang pernah
kuimpikan di malam hari.
“… Hero-kun[1].”
***
Rei’s Side
Aku
menatap gadis itu lekat-lekat ketika dia menyebutku dengan sebutan Hero-kun. Namun, sebelum aku sempat
bertanya, gadis itu sudah kembali terlelap.
Tidak pernah ada yang menyebutku seperti itu
sebelumnya. Bahkan Leia atau Leon tidak pernah menyebutku demikian. Hanya ada
satu orang yang pernah menyebutku dengan sebutan itu, dan ketika mengingatnya,
dadaku mulai terasa sesak dengan perasaan yang tidak bisa kulukiskan dengan
kata-kata.
Aku berbalik dan berjalan menuju dapur untuk
mencuci mangkuk dan gelas kotor di nampan yang kubawa. Setelahnya, aku memeriksa
pakaian gadis itu yang kucuci. Aku menghampiri robot pembantu yang ada di dekat
mesin cuci dan memprogramnya untuk menjemur pakaian-pakaian itu setelah mesin
cucinya berhenti.
Kemudian aku kembali ke kamar gadis itu dan
membuka jendela. Aku tidak pernah menyalakan pendingin ruangan di malam hari
dan lebih memilih membuka jendela. Lagipula angin segar baik untuk kesehatan,
dan aku menerapkan pola hidup sehat untuk menjaga fisik dan mentalku agar tetap
bisa focus bekerja.
Tapi aku tidak yakin kalau membiarkan angin di
pertengahan musim gugur seperti ini bisa dikatakan pola hidup sehat.
Aku duduk di kursi di samping tempat tidur dan
mengamati gadis itu. Dia tampak pulas dan terlihat polos. Rambut sewarna
mahoninya yang panjang tersebar di kedua bahunya.
Aku mengamati wajahnya selama beberapa saat
sebelu mengalihkan tatapanku pada sabuk senjata milik gadis itu. Ada sepucuk
pistol dan juga pedang katana panjang dengan sarungnya yang berwarna hitam. Aku
meraih pistol di sabuk senjata itu dan menimangnya. Cukup berat. Kubuka
selongsong pelurunya dan melihat masih ada beberapa butir peluru di sana.
Ketika aku mengamati pelurunya, mataku sedikit membelalak ketika melihat ukiran
bunga berkelopak banyak dan memiliki warna ungu samar.
Itu lambang organisasi Clematis.
Pandanganku kemudian tertuju pada gadis yang
kini tengah tidur di tempat tidur. Mataku menatapnya dengan pandangan curiga.
Apa gadis ini… Claydoll dan bukan penjaga seperti dugaanku?
Setahuku, Claydoll
adalah mesin pembunuh milik Clematis yang tidak memiliki perasaan selain
kesenangan membunuh. Mereka adalah kelinci percobaan yang tidak memiliki hati…
… tapi gadis ini tampak lemah ketika aku
menemukannya di hutan. Matanya juga memancarkan ketakutan ketika dia mendadak
terbangun tadi. Dan tindakannya yang mencoba mencekikku dengan tatapan mata
nanar itu hampir seperti sikap seseorang yang memiliki trauma parah dan
berusaha melindungi diri.
“Rei…”
Aku mendengar bibirnya menyebut namaku lirih,
dan lagi-lagi aku terkejut. Bukankah aku tadi belum memberitahu namaku? Dia
juga menyebut namaku saat dia pingsan di hutan…
“Jangan… pergi…” bibirnya bergumam lagi, dan
kali ini keningnya berkerut, “Jangan… tinggalkan aku… kembalilah…”
Dia pasti bermimpi buruk. Dan aku yakin dia
bukannya menyebut namaku. Nama Rei cukup umum di Edenia dan aku bukanlah satu-satunya
yang memiliki nama Rei. Gadis ini pasti sedang memimpikan orang lain yang
memiliki nama yang sama denganku.
“Rei, jangan pergi…” tangannya terangkat dan
menggapai-gapai di udara.
“Rei… jangan tinggalkan… aku…”
Tanganku refleks menyentuh tangannya dan
menggenggamnya. Aku mendekatkan kursiku lebih dekat ke samping tempat tidur dan
mengelus rambutnya. Aku tidak tahu kenapa aku bereaksi seperti ini, tapi
mungkin itu karena aku tidak ingin melihat wajah gadis itu tersiksa. Dan…
kulihat-lihat lagi, wajahnya sedikit mirip dengan Runa.
Tapi, aku tidak yakin gadis ini adalah Runa.
Bisa saja, kan kalau gadis ini hanya kebetulan mirip dengan Runa kesayanganku?
“Rei…”
“Sssh… aku di sini.” bisikku pelan, “Kau aman.
Tidak akan ada orang yang bisa melukaimu.”
Gadis itu seakan merespon perkataanku dan
kembali tenang. Aku hendak menarik tanganku kembali, namun kurasakan tangan
gadis itu menggenggam tanganku erat-erat. Sepertinya dia takut aku akan
meninggalkannya. Sempat kulihat dahinya dipenuhi oleh keringat dingin. Dengan
perlahan kuseka keringat di dahinya dan merasakan garis halus luka di
pelipisnya.
Dokter di rumah sakit bilang kalau gadis ini
memiliki banyak bekas luka di sekujur tubuhnya. Dan ini mengingatkanku, kalau
gadis ini memang bukan seorang penjaga keamanan, apakah ia adalah seorang Claydoll? Jika benar… tentu dia tahu
Runa ada di mana. Waktu itu Runa juga diculik oleh Clematis, dan aku yakin,
gadis ini juga diculik oleh Clematis sebelum diubah menjadi Claydoll.
Aku akan menanyakannya nanti, tapi aku tidak
akan melibatkan Leon, Leia, atau siapapun dari Raven untuk hal ini.
Seperti yang pernah kukatakan dulu. Ini adalah
masalah pribadi. Dendampribadi.
Dan bila gadis ini tidak mau bicara? Aku akan
melakukan apapun untuk membuatnya bicara. Begini-begini, aku tahu berbagai cara
agar seseorang yang tidak ingin bicara menjadi mau bicara. Jadi jangan
menganggapku seakan aku adalah remaja ingusan yang baru mencapai usia menuju
kedewasaan.
[1] Tuan pahlawan. Hero dalam bahasa
inggris artinya pahlawan. Sedangkan –kun
adalah akhiran yang digunakan setelah nama dalam bahasa Jepang dan biasa
digunakan untuk laki-laki.
0 komentar:
Posting Komentar