Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Re - Chapter 4



Rei’s Side
Aku sampai di rumah sakit tepat waktu dan langsung menyuruh para perawat yang berjaga di sana untuk segera merawat si gadis. Mereka tampak panic, dan berusaha melakukan yang terbaik. Seorang dokter datang tergopoh-gopoh karena mendengar teriakan tegasku untuk segera merawat gadis itu.
Aku menunggu di luar ruang operasi, karena menurut dokter yang memeriksanya sekilas, ada dua peluru yang bersarang di tubuhnya dan cukup dalam hingga mereka harus melakukan operasi. Aku duduk di kursi yang ada di sana dan menunggu.
Ponselku tiba-tiba bergetar, dan aku menerima telepon yang masuk.

“Siapa ini?”
Rei, kau tadi disuruh Alex menuju mansion Handerson, kan?” suara Leon terdengar di seberang telepon, “Apakah ada yang selamat?
“Umm…” aku menggaruk-garuk kepalaku yang tidak gatal sebelum menjawabnya, “Ya. Tapi dia terluka parah. Dan aku sudah di rumah sakit, menungguinya sampai selesai dioperasi.”
Kenapa dia harus dioperasi?
“Dia tertembak di bahu kanan dan juga perut. Juga, kelihatannya dia salah seorang penjaga yang bertugas di mansion itu.” ujarku lagi, “Leon, ada apa?”
Tidak ada. Hanya memastikan kau melakukan pekerjaan dengan benar.” dia terkekeh, “Ngomong-ngomong, Rei, kau bisa menampung saksi itu di apartemenmu selama beberapa hari, kan? Fasilitas ruangan bagi saksi mata hidup yang ada di markas sudah penuh, dan kita tidak mungkin mengeluarkan mereka tanpa memberikan mereka jaminan hidup layak sementara para pekerja sedang membuat ruangan tambahan untuk fasilitas tersebut.
“Tentu saja.” kataku, “Lagipula apartemenku memiliki dua kamar.”
Bagus. Aku akan ke sana besok bersama Leia. Pastikan saksi mata itu sadar besok pagi.
“Baiklah.”
Aku menutup telepon dan memasukkan benda mungil itu ke dalam saku jaketku tepat ketika dokter yang menangani operasi si gadis keluar dari ruang operasi.
“Anda…” beliau tampak bingung ingin memanggilku apa.
“Aku anggota Raven, Kujo Rei.” kataku sambil menunjukkan tato berbentuk burung hitam yang ada di punggung tangan kiriku, “Bagaimana keadaan gadis itu?”
“Ah, ya…” kini beliau mengangguk, “Kami sudah mengeluarkan dua butir peluru yang bersarang di bahu kanan dan perutnya. Dan secara fisik, dia baik-baik saja. Tapi…”
“Tapi? Kenapa ada ‘tapi’?” tanyaku.
“Seluruh tubuhnya penuh bekas luka.” Ujar si dokter, “Kami sudah meneliti darimana asal luka-luka itu, dan kami menemukan ada beberapa bekas luka akibat cambuk dan sengatan dari alat kejut listrik bertegangan tinggi.”
Aku melebarkan mataku mendengar informasi itu. Wow. Penjaga mana yang memiliki banyak bekas luka di sekujur tubuh, seorang gadis pula?
“Tapi kami sudah melakukan yang terbaik untuk mengobati luka tembak dan juga luka dalam tubuhnya.” kata dokter lagi. “Kami sarankan agar dia dirawat di rumah sakit, tapi bila Anda tidak menginginkan hal itu, maka Anda bisa membawanya pulang dan melakukan rawat jalan saja.”
“Aku akan mengambil pilihan kedua.” kataku, “Di mana gadis itu?”
“Ikut saya.”
Aku mengikuti dokter itu ke dalam ruang operasi. Di sana aku melihat gadis itu terbaring di sebuah meja operasi. Jas yang dipakainya ditanggalkan dan aku bisa melihat lengannya yang putih dan juga… benar. Ada beberapa bekas parut luka di sana.
Latihan macam apa sebenarnya yang diterima gadis ini sebelum menjadi seorang penjaga? Dan kata dokter tadi dia juga memiliki bekas luka cambuk?
“Saya sudah menuliskan resep obat yang harus diminumnya ketika ia sudah sadar.” dokter menyerahkan secarik kertas berisi resep obat. “Apa perlu saya panggilkan taksi?”
‘Tidak perlu. Aku bisa melakukannya sendiri.” kataku, “Terima kasih atas kerja keras Anda, Dokter.”
“Sudah menjadi kewajiban saya untuk mengobati orang-orang yang datang ke rumah sakit ini.” ujar dokter, “Kalau ia sudah sadar, pastikan dia meminum obatnya dan ganti perban dengan yang baru setiap dua malam sekali.”
“Baik,” aku mengangguk.
Aku mengambil jas dan juga sabuk senjata milik gadis itu, kemudian mengangkatnya dari meja operasi. Aku membungkuk dan keluar dari ruang operasi. Beberapa orang yang berada di koridor sempat menatapku. Mungkin mereka merasa bingung kenapa aku menggendong gadis yang berpakaian sangat ketat, terluka, dan aku tampak seperti…
Oh, sudahlah. Aku tidak mau mengatakannya.
Aku memanggil taksi yang melaju pelan dan masuk ke dalamnya.
“Apartemen Ichizuku.” Kataku pada sopirnya.
Ia mengangguk dan langsung mengantarku ke apartemenku.
Setelah membayar taksi aku menaiki lift dan menuju kamar apartemenku berada.
Kubuka pintu apartemenku dan langsung menuju kamar kosong di samping kamar yang kutempati. Aku menghela gadis itu di atas ranjang putih di kamar itu dan meletakkan jas serta sabuk senjatanya di atas meja di dekat tempat tidur. Aku lalu menuju kamarku dan kembali beberapa saat kemudian dengan kemeja longgar yang biasa kupakai untuk tidur.
Oke. Sekarang yang harus kulakukan adalah mengganti pakaian kotornya. Masalahnya adalah, dia ini perempuan, sementara aku laki-laki. Aku belum pernah mengganti pakaian perempuan sebelumnya. Dan ini benar-benar masalah bagiku. Leia tidak mungkin bisa dihubungi saat ini, dia pasti sedang mengadakan pesta di rumahnya bersama teman-teman wanitanya yang lain. Aku merasa tidak enak jika harus mengganggu pestanya.
Ketika aku tengah memikirkan bagaimana cara mengganti pakaiannya, kedua mata gadis itu terbuka perlahan, dan sebelum sempat mengatakan sesuatu, dia terduduk dan menjerit keras.

***

Runa’s Side
Hal yang pertama kulakukan ketika terbangun adalah menjerit ketakutan karena mimpi yang baru saja kudapat. Mimpi itu mengenai masa laluku yang kulupakan. Masa lalu di mana aku diubah menjadi Claydoll untuk pertama kalinya.
Mimpi itu sangat menghantuiku, hingga ketika sepasang tangan menyentuh bahuku, aku langsung menepisnya dan mencekik lehernya. Mataku menatap nanar kearah sepasang mata biru yang menatapku kaget. Dan rambut perak…
… astaga. Ini laki-laki yang tadi kulihat di hutan!
“A, ah… eh… aku…”
Aku buru-buru melepaskan tanganku dari lehernya dan merasakan nyeri yang amat sangat berasal dari bahu kananku.
“M, maaf… aku… aku tidak sengaja.” Kataku menatap laki-laki—tidak, pemuda itu, yang menatapku dengan kening berkerut kali ini.
“Tidak apa-apa. Reaksimu sedikit berlebihan untuk seorang gadis yang terluka tembak.” Katanya, “Bahumu sakit? Kamu bergerak terlalu keras, kan tadi?”
Pemuda itu memeriksa bahuku dan kudengar dia menghela nafas.
“Lukanya tidak terbuka. Syukurlah.” katanya.
Aku menatapnya sebentar, kemudian menatap ruangan tempatku berada. Ini bukan ruangan tempatku biasa dikurung. Ruangan ini berwarna biru tua, dan semua benda-benda di sini kebanyakan berwarna biru atau putih.
“Aku… aku di mana? Ini bukan tempat itu, kan?”
“Tempat itu? Apa maksudmu?” tanyanya bingung, “Ini adalah apartemenku. Aku menemukanmu pingsan di hutan karena luka tembak di bahu kanan dan perutmu. Kamu tidak ingat kamu kabur dari pembantaian di mansion Handerson?”
Aku mengerutkan kening mendengarnya. Kabur dari pembantaian di mansion? Apa dia mengira aku adalah korban selamat dari pembantaian yang kulakukan?
“Hei, karena kamu sudah bangun, bisakah kamu berganti pakaian dengan kemeja ini? Aku akan mencucikan pakaianmu.”
Dia menyodorkan sebuah kemeja longgar berwarna putih padaku. Aku menerimanya dengan sedikit ragu.
“Aku akan berbalik, dan kamu bisa mengganti pakaianmu. Bilang padaku kalau kamu sudah selesai.” Katanya, lalu membalikkan badannya.
Aku menatap punggungnya, kemudian kemeja longgar di tanganku. Dengan perlahan, aku menanggalkan pakaianku dan menggantinya dengan kemeja longgar itu. Setelah selesai mengganti pakaianku, aku menyentuh bahunya pelan dan dia berbalik hingga membuatku terkejut.
“Kenapa kamu terkejut seperti itu?”
“T, tidak… aku…” aku tidak bisa menjawabnya dan menyodorkan pakaian kotorku, “Ini… pakaianku.”
“Oh, ya.”
Dia mengambil pakaian kotorku dan pergi keluar. Aku menggunakan kesempatan itu untuk meneliti ruangan ini lebih dalam. Tapi, selain tempat tidur, lemari pakaian yang cukup besar, dan sebuah meja di dekat tempat tidur, tidak ada yang lain lagi. Seperti yang kubilang tadi, ruangan ini memiliki warna biru, seperti warna langit, dan semua benda di sini warnanya putih.
Aku tidak tahu apakah ini kamar pemuda itu atau bukan. Yang jelas, aku berusaha untuk tidak gemetar, mengingat mimpi yang barusan kudapat.
Beberapa menit kemudian pemuda itu kembali dengan sebuah nampan di tangannya. Di atas nampan itu ada sebuah mangkuk berisi bubur, segelas air putih, dan piring kecil berisi obat-obatan.
Melihat obat-obatan aku langsung merasa mual. Aku benci obat. Aku tidak ingin meminum benda pahit itu.
“Kamu harus makan dulu sebelum kembali beristirahat.” Katanya, mengatur bantal-bantal di dinding di atas tempat tidur dan menyandarkan punggungku di sana.
“Aku… aku tidak mau minum obat.” Kataku menatap obat-obatan di piring kecil di atas nampan. “Aku benci obat.”
“Semua orang juga benci obat, tapi terkadang kau harus menahan rasa tidak suka terhadap obat agar bisa sembuh.” Kata pemuda itu lagi. “Aku akan menyuapimu, karena tidak mungkin kamu makan sendiri dengan bahu terluka seperti itu.”
Aku melirik bahu kananku yang terluka dan mengakui kalau dia memang benar.
Ia menyendok sesendok bubur ke dalam mulutku dan aku menerimanya. Rasa hangat dan tekstur bubur yang gurih menyeruak di dalam mulutku dan aku hanya bisa mendesah menikmati rasa gurih yang dirasakan lidahku.
“Kuharap rasa bubur ini tidak terlalu buruk.” Katanya, “Aku membuatnya sendiri, dan karena keahlian memasakku tidak cukup baik, aku tidak menjamin rasa kari bubur ini enak atau tidak.”
“Rasanya enak.” kataku, “Sangat enak dan lezat.”
“Benarkah?” dia tersenyum tipis dan kembali menyuapiku.
Setelah bubur itu habis, dia membantuku meminum obat, yang walaupun sudah kutolak berkali-kali, tetap dia minumkan padaku.
“Sekarang, saatnya kamu beristirahat.” Dia menaruh mangkuk dan gelas yang sudah kosong di atas nampan. “Besok pagi, teman-temanku akan datang menemuimu untuk dimintai keterangan soal pembantaian di mansion malam ini. Jadi kamu harus mempersiapkan diri, setidaknya untuk tidak pingsan atau ketiduran selama mereka memberikan pertanyaan padamu.”
“Pertanyaan?”
“Kamu satu-satunya saksi yang selamat dari pembantaian itu. Kamu pasti salah satu penjaga di mansion itu, kan?”
Aku mengerutkan kening, ragu apakah aku harus jujur atau tidak kalau aku bukanlah korban yang selamat dari kejadian yang kubuat sendiri. Namun, aku tidak mau jika aku sampai ditangkap oleh Raven, atau orang-orang dari tempat di mana aku dijadikan Claydoll. Aku tidak mau ditangkap oleh mereka, dan kalau pemuda ini seorang anggota Raven, maka…
… aku tidak punya pilihan lain selain berbohong dan menunggu hingga luka-lukaku pulih dan memilih waktu yang tepat untuk kabur dari sini.
Memang kejam jika aku berbohong, tapi aku tidak punya pilihan lain.
“Nah, aku akan meninggalkanmu untuk beristirahat.” Katanya, “Selamat beristirahat.”
“Ya, terima kasih…” aku mengerutkan kening, bingung memanggilnya dengan sebutan apa. Lalu aku teringat sesuatu yang pernah kuimpikan di malam hari.
“… Hero-kun[1].”

***
Rei’s Side
Aku menatap gadis itu lekat-lekat ketika dia menyebutku dengan sebutan Hero-kun. Namun, sebelum aku sempat bertanya, gadis itu sudah kembali terlelap.
Tidak pernah ada yang menyebutku seperti itu sebelumnya. Bahkan Leia atau Leon tidak pernah menyebutku demikian. Hanya ada satu orang yang pernah menyebutku dengan sebutan itu, dan ketika mengingatnya, dadaku mulai terasa sesak dengan perasaan yang tidak bisa kulukiskan dengan kata-kata.
Aku berbalik dan berjalan menuju dapur untuk mencuci mangkuk dan gelas kotor di nampan yang kubawa. Setelahnya, aku memeriksa pakaian gadis itu yang kucuci. Aku menghampiri robot pembantu yang ada di dekat mesin cuci dan memprogramnya untuk menjemur pakaian-pakaian itu setelah mesin cucinya berhenti.
Kemudian aku kembali ke kamar gadis itu dan membuka jendela. Aku tidak pernah menyalakan pendingin ruangan di malam hari dan lebih memilih membuka jendela. Lagipula angin segar baik untuk kesehatan, dan aku menerapkan pola hidup sehat untuk menjaga fisik dan mentalku agar tetap bisa focus bekerja.
Tapi aku tidak yakin kalau membiarkan angin di pertengahan musim gugur seperti ini bisa dikatakan pola hidup sehat.
Aku duduk di kursi di samping tempat tidur dan mengamati gadis itu. Dia tampak pulas dan terlihat polos. Rambut sewarna mahoninya yang panjang tersebar di kedua bahunya.
Aku mengamati wajahnya selama beberapa saat sebelu mengalihkan tatapanku pada sabuk senjata milik gadis itu. Ada sepucuk pistol dan juga pedang katana panjang dengan sarungnya yang berwarna hitam. Aku meraih pistol di sabuk senjata itu dan menimangnya. Cukup berat. Kubuka selongsong pelurunya dan melihat masih ada beberapa butir peluru di sana. Ketika aku mengamati pelurunya, mataku sedikit membelalak ketika melihat ukiran bunga berkelopak banyak dan memiliki warna ungu samar.
Itu lambang organisasi Clematis.
Pandanganku kemudian tertuju pada gadis yang kini tengah tidur di tempat tidur. Mataku menatapnya dengan pandangan curiga.
Apa gadis ini… Claydoll dan bukan penjaga seperti dugaanku?
Setahuku, Claydoll adalah mesin pembunuh milik Clematis yang tidak memiliki perasaan selain kesenangan membunuh. Mereka adalah kelinci percobaan yang tidak memiliki hati…
… tapi gadis ini tampak lemah ketika aku menemukannya di hutan. Matanya juga memancarkan ketakutan ketika dia mendadak terbangun tadi. Dan tindakannya yang mencoba mencekikku dengan tatapan mata nanar itu hampir seperti sikap seseorang yang memiliki trauma parah dan berusaha melindungi diri.
“Rei…”
Aku mendengar bibirnya menyebut namaku lirih, dan lagi-lagi aku terkejut. Bukankah aku tadi belum memberitahu namaku? Dia juga menyebut namaku saat dia pingsan di hutan…
“Jangan… pergi…” bibirnya bergumam lagi, dan kali ini keningnya berkerut, “Jangan… tinggalkan aku… kembalilah…”
Dia pasti bermimpi buruk. Dan aku yakin dia bukannya menyebut namaku. Nama Rei cukup umum di Edenia dan aku bukanlah satu-satunya yang memiliki nama Rei. Gadis ini pasti sedang memimpikan orang lain yang memiliki nama yang sama denganku.
“Rei, jangan pergi…” tangannya terangkat dan menggapai-gapai di udara.
“Rei… jangan tinggalkan… aku…”
Tanganku refleks menyentuh tangannya dan menggenggamnya. Aku mendekatkan kursiku lebih dekat ke samping tempat tidur dan mengelus rambutnya. Aku tidak tahu kenapa aku bereaksi seperti ini, tapi mungkin itu karena aku tidak ingin melihat wajah gadis itu tersiksa. Dan… kulihat-lihat lagi, wajahnya sedikit mirip dengan Runa.
Tapi, aku tidak yakin gadis ini adalah Runa. Bisa saja, kan kalau gadis ini hanya kebetulan mirip dengan Runa kesayanganku?
“Rei…”
“Sssh… aku di sini.” bisikku pelan, “Kau aman. Tidak akan ada orang yang bisa melukaimu.”
Gadis itu seakan merespon perkataanku dan kembali tenang. Aku hendak menarik tanganku kembali, namun kurasakan tangan gadis itu menggenggam tanganku erat-erat. Sepertinya dia takut aku akan meninggalkannya. Sempat kulihat dahinya dipenuhi oleh keringat dingin. Dengan perlahan kuseka keringat di dahinya dan merasakan garis halus luka di pelipisnya.
Dokter di rumah sakit bilang kalau gadis ini memiliki banyak bekas luka di sekujur tubuhnya. Dan ini mengingatkanku, kalau gadis ini memang bukan seorang penjaga keamanan, apakah ia adalah seorang Claydoll? Jika benar… tentu dia tahu Runa ada di mana. Waktu itu Runa juga diculik oleh Clematis, dan aku yakin, gadis ini juga diculik oleh Clematis sebelum diubah menjadi Claydoll.
Aku akan menanyakannya nanti, tapi aku tidak akan melibatkan Leon, Leia, atau siapapun dari Raven untuk hal ini.
Seperti yang pernah kukatakan dulu. Ini adalah masalah pribadi. Dendampribadi.
Dan bila gadis ini tidak mau bicara? Aku akan melakukan apapun untuk membuatnya bicara. Begini-begini, aku tahu berbagai cara agar seseorang yang tidak ingin bicara menjadi mau bicara. Jadi jangan menganggapku seakan aku adalah remaja ingusan yang baru mencapai usia menuju kedewasaan.


[1] Tuan pahlawan. Hero dalam bahasa inggris artinya pahlawan. Sedangkan –kun adalah akhiran yang digunakan setelah nama dalam bahasa Jepang dan biasa digunakan untuk laki-laki.

0 komentar:

Posting Komentar