Semuanya, bagaimana cerbung Kimi no Symphony? Menarik? Seru? Apapun pendapat kalian, aku berterima kasih karena kalian menyempatkan di sela-sela waktu kalian untuk membaca postingan cerbungku. (^ ^)
Dan setelah Kimi no Symphony akhirnya tamat, aku akan memposting cerbung berikutnya. Kali ini ada dua cerbung yang akan kuposting per-chapter di setiap aku ada kesempatan, berhubung kegiatan perkuliahan sudah dimulai, jadi aku tidak bisa secara leluasa untuk surfing di internet sesuka hati.
Ngomong-ngomong, di posting kali ini, aku akan memperlihatkan preview dua cerbung yang akan menghiasi Aria's Journal nantinya. Kalian boleh menebak genre cerita apa yang kuusung pada dua cerita ini, dan juga mengomentari preview ini. Aku harap, kalian akan menyukai dua cerbung terbaru ini.
Dan untuk diingat, bila ada kesamaan nama tokoh pada dua cerbung baru ini, semuanya tidak ada sangkut-pautnya dengan cerbung sebelumnya.
Happy reading,
Angelia Putri
PREVIEW CERBUNG PERTAMA
“Kay…, bangun, dong…”
Seorang gadis berambut panjang melebih
bahu duduk di samping tempat tidur sambil menggelitiki hidung cowok yang masih
asyik tidur pulas di balik selimutnya dengan bulu angsa di tangannya.
Kay mengerutkan kening merasakan
geli di hidungnya sementara si gadis tertawa tertahan melihat ekspresi Kay yang
kelihatannya terganggu. Mata cowok itu lalu terbuka dan dia kerutan di
keningnya makin dalam ketika melihat si gadis yang membangunkannya dengan
menggelitikinya dengan bulu tadi tersenyum lebar.
“Rei… na?”
“Selamat pagi!” sapa Reina riang,
“Ayo, cepat bangun. Ini sudah jam enam pagi, tahu! Hari ini kita, kan masuk
sekolah.”
Kay hanya manggut-manggut dan
duduk. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya. Nyawanya masih tertinggal setengahnya
di alam mimpi. Dia hampir saja tertidur lagi ketika dia merasakan sesuatu yang
lembut menyentuh pipi kanannya. Ketika dia benar-benar sadar, Kay mengerjap
kaget ketika tahu Reina sedang mencium pipinya.
Gadis itu menjauhkan wajahnya dari
Kay dan tersenyum lebar.
“Ciuman selamat pagi dari calon
istrimu yang cantik ini.” katanya sedikit tersipu, lalu segera berlari
meninggalkan Kay yang masih bingung dengan ciuman barusan.
Dan saat tersadar, Kay langsung
berteriak memanggil Reina karena gadis itu hanya menggodanya.
“REINA!!!!”
***
Setengah jam kemudian, Kay dan Reina sudah
duduk manis di dalam bus sekolah yang akan mengantarkan mereka sampai di
sekolah mereka, SMA Harapan. Kay memilih duduk di kursi paling belakang dan
langsung mengambil tempat di dekat jendela, sementara Reina mengikutinya. Cowok
itu membuang muka ketika Reina duduk di sampingnya. Dia masih kesal dengan ulah
Reina ketika membangunkannya tadi.
“Kay, marah, ya?” tanya Reina,
walau senyum tidak meninggalkan bibir gadis itu.
“Kalau iya, kenapa?” balas Kay
sambil membuka kaca jendela di sampingnya dan merasakan udara pagi menerpa
wajahnya.
“Yah… jangan marah, dong, Kay. Aku,
kan Cuma mau berangkat bersamamu.” Kata Reina, “Jangan marah, ya? Ya? Ya?”
Kay melirik sekilas pada Reina dari
sudut matanya dan kembali membuang muka. Dia menekan tombol play pada MP3 Player yang dibawanya dan memasang earphone ke kedua telinganya agar tidak mendengar permintaan maaf dari
Reina.
Sebenarnya, Kay tidak benar-benar
marah pada Reina. Malah, dia sudah terbiasa dengan kebiasaan Reina mencium
pipinya ketika dia bangun tidur, seperti yang selalu dilakukan mereka berdua
ketika masih kecil. Tapi… mereka, kan sudah besar. Sudah kelas 2 SMA. Rasanya
risih juga kalau kebiasaan itu masih berlangsung sampai sekarang. Terutama
karena Reina…
Suara lagu yang diputar Kay agak
melemah, dan dia membelalak ketika dilihatnya Reina mengambil salah satu earphone yang terpasang di telinganya
dan menempelkannya di telinga kananya.
“Wah… lagu Mirai dari GARNiDELiA!”
seru gadis itu riang, “Kamu suka lagu ini juga, ya? Eh, ada lagu Kimi He no
Uso-nya VALSHE di MP3 Player kamu?”
Kay hanya menatap Reina dengan mata
masih membelalak sementara gadis itu terus berbicara, kemudian menghela nafas.
Dia mungkin bisa marah pada Reina,
tapi dia tidak mungkin marah jika gadis itu selalu tersenyum manis dan bersikap
riang seperti itu di hadapannya.
PREVIEW CERBUNG KEDUA
PREVIEW CERBUNG KEDUA
Aku sudah berulang kali mengawasi akademi ini.
Akademi para pemburu kami, kaum Shadow. Aku cukup banyak melihat para remaja
dilatih di sini. Dan fokusku di sini adalah mengawasi Ilana, gadis yang menjadi
target untuk kutemukan, dan kulindungi.
Aku bersandar pada batang pohon di dekat
lapangan dengan rumput hijau segar, tempat para murid akademi berkumpul dan
berbaris seperti semut yang diperintah. Aku sempat geli melihat hal itu, yang
jarang terjadi di tempat tinggalku. Dan… kemudian aku melihatnya. Ilana datang
dengan kecepatan yang luar biasa dan membuat rambut hitamnya agak berantakan.
Kulihat dia berbicara pada temannya, dan kemudian berteriak-teriak memerintah
para murid baru.
Harus kuakui, sebenarnya ini pekerjaan
yang membosankan. Tapi, demi pangeran kami, sekaligus teman akrabku, Raven, aku
tidak bisa menolaknya. Apalagi kalau ini menyangkut keselamatan kami dan umat
manusia.
Dan, kuberitahu, perang sedang
berlangsung di sini.
Ponsel di saku mantelku bergetar. Dan
aku tidak perlu repot-repot untuk memikirkan siapa yang meneleponku sekarang.
“Ya, Raven,” aku menjawab sambil menatap
kearah lapangan hijau, “Aku sedang menjalankan tugasmu di sini.”
“Aku
tahu, dan karena itulah aku perlu memberitahumu sesuatu,” suara Raven yang
terdengar aneh.
“Oke… kuharap itu bukan berita buruk.”
Kataku sambil menguap.
“Kamu
ini terlalu santai, Gabby. Berhentilah untuk menguap dan menganggap semua ini
main-main.”
“Aku tidak pernah menganggap semua ini
main-main, kawan.” Kataku lagi, “Oke, apa beritanya?”
“Keadaan
semakin buruk. Kamu harus cepat-cepat meyakinkan Ilana agar tidak sampai diburu
oleh Verilo.” Katanya, “Verilo mulai
bertindak. Dia nyaris membunuh setengah dari orang-orang yang ikut dengan kita.”
“Lalu, bagaimana keadaan di sana?”
“Baik-baik
saja, tapi…”
“Apa? Apa yang terjadi, Raven, beritahu
aku.”
Raven diam di seberang telepon, dan aku
menunggu apa yang akan dikatakannya.
“Sekitar
15 orang sudah… tewas, tapi kita bukan lagi manusia, jadi…”
“Raven, kali ini kamu yang main-main.”
Selaku.
“Oh,
oh ya, maaf.” lalu jeda lagi, “Bella…
dia tewas.”
Aku yakin bulu kudukku meremang
mendengar Raven menyebut nama itu. Aku langsung terduduk tegak dan berusaha
untuk mencerna apa yang baru saja kudengar.
“Maaf, Raven, kamu bilang apa tadi?
Bella tewas? Bella-ku?!”
“Ya,
Gabby. Dia tewas. Dia bertarung melawan anak buah Verilo, Marcius.”
“Oh, tidak…” gumamku.
“Gabriel,
aku turut berduka cita. Tapi, kita tidak boleh menyerah sekarang.” kata Raven,
“Ilana adalah satu-satunya harapan kita.
Adikku itu akan membalaskan dendam Bella untukmu.”
Aku hanya diam, tidak mengatakan
apa-apa. Aku memikirkan Bella, sepupu sekaligus tunanganku yang seharusnya
kunikahi tidak lama lagi. Bella adalah gadis manis yang cantik, dan dia menjadi
salah satu pencetus sumber makanan baru bagi kami bersama Raven, yang menemukan
lebih dulu sumber tersebut. Bella adalah… orang kedua yang menerimaku tanpa
memerdulikan masa laluku.
Tapi, sekarang dia sudah tidak ada.
Tewas, dibunuh. Oleh Verilo dan antek-anteknya. Shadow pengkhianat yang mengkudeta
Raven dari tahtanya sebagai pangeran.
“Gabby,
kau masih di sana?”
“Ya. Aku masih di sini.” kataku sambil
menghela nafas, “Lalu, di mana kalian…”
“Menguburkannya?
Kami menguburkannya di dekat kuburan pengawalku, Dorian. Setidaknya, kami sudah
melakukan hal yang bisa kami lakukan untuk memberikan penghormatan terakhir…
aku minta maaf, Gabriel.”
“Tidak. tidak apa-apa. Kamu mau mengurus
penguburannya pun aku sudah bersyukur.” Kataku, “Terima kasih, Raven.”
“Sama-sama.
Baiklah, aku tidak akan mengganggu tugasmu lagi. Jika ada sesuatu, segera
hubungi aku.”
“Baiklah,”
Aku menutup telepon dan menghela nafas
sekali lagi. Aku masih memikirkan Bella. Seolah ada bagian dari diriku yang
ikut menghilang. Rasanya sakit…
Tidak.
Aku tidak boleh begini. Aku sedang dalam tugas. Kataku dalam hati. Kutekan daerah diantara kedua
mataku dan mengangguk pelan. Aku harus focus pada tugasku, karena kalau tidak,
pikiranku akan terus teralihkan pada Bella.
0 komentar:
Posting Komentar