Sudah tiga minggu Keiko berlatih biola
bersama Jason, dan permainannya semakin hari semakin bagus. Koridor lantai tiga
rumah sakit tempatnya dirawat tidak pernah mengeluhkan suara permainan biola
mereka, malahan, ada beberapa pasien yang sengaja datang untuk mendengarkan
permainan biola yang menurut mereka bahkan lebih manjur dari obat-obatan itu.
Sudah tiga minggu juga Keiko merekam
permainan biolanya dengan Jason. Bagian dari rencana, katanya, ketika ditanya
oleh Henny yang kebetulan selalu menemani mereka bermain biola bersama Rion.
Perekam suara itu sudah memuat lebih dari 30 lagu yang dimainkan oleh Keiko dan
Jason, baik itu lagu buatan Keiko, Jason, atau lagu-lagu klasik yang biasa
mereka mainkan dalam konser atau sebagai violinis
tamu di berbagai orchestra.
Dan hari ini, Keiko akan terbang ke
Indonesia. Setelah mendapat izin dari Dokter Iwasaki yang menanganinya, Keiko
langsung meminta untuk pulang ke Indonesia. Konsernya tinggal lima hari lagi,
dan tentu saja dia harus mempersiapkan diri. Jason dan ibu angkatnya sudah
mempersiapkan segalanya hingga hanya tinggal detil-detil kecil saja yang harus
diurus seperti urusan gaun yang akan dikenakan Keiko, penataan panggung, dan
sebagainya.
Keiko sudah berpakaian rapi dan sedang
duduk di kursi rodanya, menunggu orangtuanya menjemputnya agar bisa sama-sama
pergi ke bandara.
“Aku tidak sabar untuk segera
menyelenggarakan konser itu.” kata Keiko sambil melihat-lihat sketsa lukisan
Rion yang baru.
“Memangnya kamu tidak kelelahan, ya?”
tanya Rion yang saat itu bertugas menjaga Keiko. “Kamu berlatih terlalu keras
selama tiga minggu ini. Hari ini kamu harus istirahat penuh seharian.”
“Aku tahu…” Keiko tersenyum, “Tapi aku
tidak sabar ingin memainkan biolaku di hadapan semua orang. Kamu sudah
memberitahu teman-teman sekelas kita untuk datang, kan? Aku sudah memesankan
kursi VIP paling depan untuk mereka dan yang lain.”
Rion mengangguk. Konser Keiko adalah
konser yang juga sangat ditunggu teman-teman sekelas mereka. Tentu saja mereka
tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
“Aku sudah mengancam mereka, dan Henny
juga melakukan hal yang sama. Pokoknya semua teman-teman kita akan datang ke
konsermu.”
Keiko tersenyum dan mengangguk. Gadis
itu mengambil buku sketsa lain di dekatnya dan membukanya. Isinya adalah
rancangan gaun-gaun buatan Keiko yang belum sempat dibuat. Ia melihat-lihat
sebentar semua sketsa itu dan menandai beberapa dengan tanda check berwarna merah.
“Apa itu?” tanya Rion.
“Sketsa rancangan gaun-gaunku yang
terbaru. Kamu tahu, kan kalau aku juga pandai mendesain pakaian?”
“Ah, ya… benar juga.” Rion mengangguk,
“Apa kamu akan mengenakan salah satunya?”
“Ya. Aku akan meminta Mama membawakan
beberapa sketsa ini ke penjahit langganan kami. Aku sudah sering bekerja sama
dengan beliau untuk membuat gaun-gaunku. Dan aku ingin gaun-gaun ini dibuat
untuk konserku nanti.”
Rion tersenyum dan memeluk Keiko.
“Aku bangga menjadi pacarmu. Kamu
benar-benar gadis yang penuh semangat.” Kata Rion.
“Sudah seharusnya,” Keiko tertawa,
“Kalau tidak, mana mungkin aku bisa bertahan sampai sekarang, kan? Energi
posistif itu diperlukan untuk memperpanjang hidup.”
“Jangan mengatakan hal-hal yang
membuatku merinding.”
“Maaf…” Keiko tersenyum dan mencium
pipi Rion.
Rion balas mencium pipi Keiko dan
mereka sama-sama mendiskusikan sketsa gaun mana yang cocok untuk dikenakan
Keiko saat konser nanti.
◊◊◊
Sampai di Indonesia, Keiko melonjak
senang dan tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Saat sampai di rumahnya
pun, Keiko seperti tidak kehilangan tenaganya. Gadis itu terus berceloteh riang
dan membuat ramai suasana. Rion bahkan tertawa ketika dia menggoda Keiko dan berhasil
membuat pipi gadis itu merona merah seperti biasanya.
Ketika malam tiba, setelah pengecekan
kondisi gedung konser, penataan panggung, serta kursi-kursi yang telah tertata
rapi, Keiko merasakan lelah luar biasa. Tapi dia tidak merasakan kantuk, justru
sebaliknya, dia merasa ingin meluapkan perasaannya dengan bermain biola.
Gadis itu melihat jam beker di dekat
meja di samping tempat tidurnya. Sudah jam Sembilan malam. Kedua orangtuanya
mungkin sudah tidur, mengingat mereka menemaninya berkeliling seharian dari
gedung konser, tempat penjahit langganan Keiko, dan toko bunga untuk membeli
rangkaian bunga segar yang akan dikirimkan besok ke gedung konser.
Keiko mengambil buku-buku partiturnya
dan mendorong kursi rodanya menuju ruangan tempat ia biasa berlatih biola.
Dibukanya pintu di samping lemari kaca yang berisi tropi serta penghargaan
akademiknya dan menyalakan lampu. Ia menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum
lebar. Empat hari lagi dia akan mengadakan konser, dan dia sudah merasa ingin
meledak saking gugup dan gembira di saat bersamaan.
Ia menuju tempat kotak biolanya berada
dan membukanya. Diambilnya biola Stradivarius-nya
dan meletakkan buku partitur di hadapannya. Keiko mengambil penggesek biolanya
dan memainkan lagu tersulit yang pernah ia mainkan.
Permainannya begitu memukau dan indah.
Siapa pun yang mendengarnya pasti akan langsung terbuai ke dalam pusaran
perasaan yang menenangkan dan membuat hati berbunga-bunga.
Namun, tiba-tiba permainan Keiko
berhenti. Gadis itu mengerutkan kening dan menatap tangannya yang memegang
penggesek biola. Tangan itu tidak bergerak, berapa kali pun Keiko berusaha
untuk menggerakkan penggeseknya untuk menggesek biola.
“Kenapa…?”
Gadis itu berusaha makin keras, mencoba
menggesek biolanya, namun yang ada, Keiko merasakan kesakitan luar biasa dan
tubuhnya berkeringat.
Apa ini? Kenapa? Tanyanya dalam hati.
Keiko menurunkan tangannya dan berusaha
mengatur detak jantungnya yang berdebar, ketakutan. Ia teringat perkataan
Dokter Iwasaki, serta vonis penyakitnya. Wajah Keiko berubah pucat dan merasa
horror.
“Tidak…” Keiko menggeleng, “Ini tidak
mungkin…”
Sekali lagi gadis itu mencoba
menggerakkan tangannya, tapi tidak ada perubahan. Tangan itu tetap tidak
bergerak.
“Kumohon… jangan sekarang… aku tidak
bisa kehilangan semua ini sekarang. Masih ada… masih ada satu konser lagi yang
harus kulakukan.” Kata Keiko dengan gemetar, “Kumohon… kamu tanganku, kan? Kamu
harus bergerak… kamu harus bergerak!!!”
Keiko menatap tangannya dengan
pandangan yang mengabur karena airmata. Keiko tahu berteriak pun sia-sia.
Airmatanya mengalir keluar dan dia memeluk biolanya dengan sebelah tangan.
Tangisannya berubah menjadi isakan keras. Dan dia menangisi keadaannya,
berharap ada setitik saja keajaiban…
◊◊◊
Rion berhasil menyelesaikan lebih dari
lima lukisan dari sketsa yang berhasil dibuatnya selama ini. Dan Rion merasa
senang sekaligus bangga. Kali ini dia menggunakan warna-warna cerah, tidak lagi
menggunakan warna hitam seperti biasanya.
Ditatapnya kelima lukisan itu dengan
tatapan senang. Semua itu adalah potret diri Keiko. Ada yang menunjukkan Keiko
sedang berlatih biola bersama Jason, sedang makan, dan tertawa riang. Rion
tidak pernah bisa sebahagia ini ketika melukis. Ini bahkan lebih membahagiakan
daripada sebelum-sebelumnya.
“Akhirnya semua ini selesai juga,”
gumamnya sambil membereskan peralatan melukisnya, lalu pergi dari studio menuju
mansionnya.
Dia sudah lelah, tapi tidak bisa
berhenti tersenyum karena berhasil melukis semua lukisan itu dalam waktu
singkat. Dia ingin sekali memberitahu Keiko, tapi tidak ingin mengganggu gadis
itu, yang mungkin saja sudah tidur. Mengingat ini sudah menjelang tengah malam,
sudah pukul setengah dua belas.
Rion membersihkan diri dan memakai baju
tidurnya secepat yang dia bisa. Dia benar-benar lelah, dan setelah mandi air
hangat tadi, dia mulai menguap. Saat dia baru akan merebahkan kepalanya di atas
bantal, sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Rion mengambil ponsel yang dia
letakkan di meja di dekatnya dan melihat pesan itu dari Keiko.
From : Keiko ♪
Selamat tidur, Rion. Kuharap kamu mimpi
indah. J
Maaf aku mengirimimu pesan malam-malam
begini. Aku Cuma ingin tahu kalau kamu sudah tidur atau belum. Empat hari lagi,
pastikan kamu berada di kursi paling depan untuk melihat konserku.
Aku akan memainkan satu lagu untuk
taruhan kita waktu itu. Besok pembagian rapor, kan? Jadi tidak sabar untuk
melihat siapa diantara kita yang mendapat nilai tertinggi. Aku yakin aku yang
akan menang, tapi aku akan tetap memainkan lagu untukmu nanti seandainya aku
memang benar-benar menang. Hehehe…
Jangan sampai lupa besok, ya!
Rion menatap pesan itu sejenak,
kemudian terkekeh. Dasar Keiko!
“Tenang saja… aku tidak akan lupa,
kok.” Katanya. Kemudian meletakkan ponsel di meja dan bersiap-siap tidur.
◊◊◊
Esoknya, semua siswa akademi mendapat
rapor mereka untuk satu semester kemarin. Banyak yang kecewa karena nilai
mereka tidak sesuai harapan. Kebanyakan mereka mendapat nilai rendah pada
pelajaran ilmu pasti, tapi tidak sedikit yang mendapat nilai rendah karena ada
yang membolos atau tidak ikut pelajaran tertentu selama tiga kali
berturut-turut.
Rion menatap rapor di tangannya dan
tersenyum senang. Hampir semua mata pelajarannya mendapat nilai A+. Hanya mata
pelajaran Biologi saja dia mendapat nilai B, tapi itu lumayan. Rion kembali
mendapat peringkat tiga besar di kelasnya.
“Aku heran, otakmu itu terbuat dari
apa.” kata Henny cemberut menatap rapornya. Banyak nilainya yang mendapat B.
Dan pelajaran Bahasa Inggris saja dia mendapat nilai A.
“Otakku terbuat dari jutaan sel yang membentuk
kecerdasan yang kupunya sekarang ini.” kata Rion sambil terkekeh.
Henny mencibir pelan tanpa suara.
“Ngomong-ngomong, di mana Keiko?” tanya
Rion. “Dari tadi aku tidak melihatnya.”
“Keiko tidak bisa hadir hari ini. Jadi
Bibi Helena yang mengambil rapornya.” Kata Henny. “Aku sudah melihat nilainya,
dan aku yakin, kamu tidak akan percaya.”
“Apa? Dia mendapat nilai berapa?” tanya
Rion penasaran.
“Aku tidak mau memberitahumu. Tanya
saja padanya sendiri!” kata Henny tertawa, lalu cepat-cepat kabur sebelum Rion
sempat mengacak rambutnya atau mencubit pipinya.
Ponsel yang dia taruh di saku blazernya
tiba-tiba berbunyi. Rion mengambil ponselnya dan melihat nama Keiko di layar.
“Ya, Keiko?”
“Kamu
dapat nilai berapa?” tanya Keiko tanpa basa-basi. “Aku yakin kamu mendapat nilai yang lebih tinggi dariku, ya?”
“Aku tidak akan memberitahumu sebelum
kamu memberitahu berapa nilaimu.” Ujar Rion.
“Aku…
aku tidak tahu apa kamu mau mendengarnya…” kata Keiko, suaranya terdengar
sedih.
“Keiko, kamu tidak apa-apa?” tanya Rion,
dia berpikir suara Keiko terdengar sedih pastilah karena nilainya tidak
memuaskan. Wajar kalau mengingat bahwa Keiko sebelumnya menjalani home-schooling.
“Kamu baik-baik saja, kan?”
“Ya.
Tentu. Aku baik-baik saja.”
“Jadi…”
“Jadi
apa?”
“Berapa nilaimu?”
“Memangnya
kamu mau mendengarnya?”
“Tentu saja. Taruhan kita masih
berlaku, tahu.” kata Rion tertawa, “Berapa nilaimu? Jangan membuatku
penasaran.”
Rion mendengar suara Keiko menghela
nafas di seberang telepon.
“Semuanya…”
“Semuanya?”
“Semuanya…
dapat nilai sempurna!” Suara Keiko tiba-tiba berubah riang, “Aku mendapat nilai A+ pada setiap mata
pelajaran!”
“Apa!?
Jangan bohong kamu. Serius?” tanya Rion tidak percaya.
“Tentu
saja. Kamu bisa melihatnya nanti kalau ke rumahku.” Kata Keiko sambil
tertawa. “Dan sesuai perjanjian taruhan
kita, kamu akan mempersembahkan padaku lukisanmu yang terbaik pada semua orang.”
“Kamu yakin kamu tidak mengada-ada
kalau kamu mendapat nilai sempurna?” tanya Rion curiga, walau di bibirnya
tersungging senyuman.
“Tentu
saja!” suara Keiko mulai merajuk, “Kamu
tidak percaya, ya? Kamu jahat…”
“Aku percaya, aku percaya…” Rion
tertawa lagi. “Oke. Aku akan mempersembahkan padamu lukisan terbaikku. Tapi,
aku akan memperlihatkannya nanti.”
“Kapan?”
Sebuah ide terlintas dalam kepala Rion,
dan dia tersenyum sendiri memikirkan idenya.
“Kamu akan tahu nanti.” Katanya lagi.
◊◊◊
Keiko menutup ponselnya dan tersenyum.
Dia tahu Rion pasti akan mendapatkan nilai yang tinggi dalam ujian, dan dia
tidak menyangsikan hal itu. Matanya lalu menatap rapor di tangannya yang tadi
diserahkan oleh ibunya. Rapor itu menunjukkan nilainya jauh berbeda dari apa
yang diucapkannya pada Rion tadi. Hampir di semua mata pelajaran dia mendapat
nilai B. Hanya Bahasa Inggris dan Kesenian saja dia mendapat nilai A+.
Untuk sekali ini saja aku ingin egois, berbohong… katanya dalam hati.
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dan
ibunya masuk sambil membawa nampan berisi sepiring biscuit coklat dan segelas
susu hangat. Juga segelas air putih dan piring kecil berisi obat-obatannya.
“Ini cemilanmu, sayang.” Kata beliau
sambil meletakkan nampan itu di meja di dekat Keiko.
“Terima kasih, Ma. Wah… biscuit chocochip favoritku!”
Ibunya tertawa melihat putrinya memakan
biskuitnya dengan lahap.
“Mama akan pergi sebentar, melihat
apakah gaun-gaunmu sudah jadi atau belum.” Ujar beliau, “Apa kamu mau Mama
membelikan sesuatu untukmu?”
“Hmm…” Keiko menelan biskuitnya dan
meminum susunya pelan-pelan, “Tidak perlu, Ma. Aku tidak membutuhkan apa-apa
saat ini.”
“Yang benar?” tanya ibunya lagi.
Keiko mengangguk.
“Ya sudah. Mama berangkat dulu. Kalau
kamu mau latihan biola, pastikan kamu tidak sampai kelelahan, oke?”
“Oke, Ma.”
Setelah mencium pipi putrinya, beliau
segera keluar kamar.
Keiko meminum lagi susu hangatnya. Lalu
dia mendorong kursi rodanya menuju ruang latihannya. Di sana, Keiko
menghembuskan nafas dan menatap kedua tangannya. Kedua tangannya itu mulai
susah digerakkan sekarang. Tapi, Keiko tidak ingin menyerah. Dia tidak mau
membuat semua orang lagi-lagi khawatir padanya.
Keiko menghembuskan nafas lagi, lalu
menghampiri biolanya. Dia akan mencoba berlatih sekali lagi, walaupun itu akan
menguras banyak tenaga dan airmatanya.
◊◊◊
Hari yang dinantikan itu akhirnya tiba!
Gedung konser itu sudah ramai dpenuhi
oleh para penonton, kebanyakan dari orang-orang yang hebat dalam dunia music
baik dalam negeri maupun luar negeri. Mereka tidak sabar untuk melihat
penampilan Keiko Rachelia, violinis
termuda yang mampu mengguncang dunia music dengan permainan biolanya dan
lagu-lagu gubahannya yang membuat semua orang terbuai ke dalam kisahnya.
Orang-orang ramai membicarakan
lagu-lagu apa saja yang akan dimainkan oleh sang violinis muda seperti yang
tertera dalam booklet yang dibagikan
pada mereka.
Beberapa wartawan juga tampak dalam
kerumunan penonton yang masuk ke dalam gedung. Mereka juga tidak sabar bisa
melihat permainan Keiko Rachelia dan mewawancarai gadis itu secara eksklusif.
Sementara itu di ruang ganti, orang
yang dibicarakan sedang mempersiapkan diri.
Malam ini, Keiko mengenakan gaun
berwarna pink nyaris putih yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Sebuah bros
kupu-kupu berwarna putih tersemat di pinggangnya bersama dengan pita yang
dibuat menyerupai seperti bunga mawar. Rambut gadis itu dibiarkan tergerai dan
diberi jepit rambut bunga yang sama seperti pita di gaunnya. Mata bonekanya
tampak menonjol setelah didandani oleh ibu angkatnya. Keiko benar-benar tampak
cantik seperti bidadari.
Semua orang ada di sana. Keluarga
angkatnya, ibu kandungnya, Henny dan keluarganya, dan juga Rion dan ibunya.
Mereka semua datang untuk memberikan dukungan pada Keiko dan Jason yang akan
tampil duet malam itu.
“Semoga berhasil, ya.” kata Henny
sambil memeluk Keiko, “Dan aku harus mengatakan, kamu benar-benar cantik dengan
gaun ini.”
“Terima kasih. Kalau kamu mau, aku bisa
membuatkan gaun seperti ini lagi untukmu, supaya kita seperti anak kembar.”
Ujar Keiko sambil tertawa.
“Semoga berhasil, Keiko. Paman dan Bibi
akan berada di kursi paling depan untuk menontonmu.” Kata ibu Henny.
“Terima kasih, Bi.”
Rion mendekat dan memberikan seikat
bunga mawar putih pada Keiko, “Semoga berhasil. Dan pastikan lagumu akan
membuatku terpesona.” Katanya.
“Rion!!”
“Aku janji,” kata Keiko tertawa lagi,
“Kan, ak usudah bilang, menang atau tidak taruhan, aku akan memainkan lagu
istimewa untukmu.”
Rion tersenyum dan mencium kening
Keiko. Tidak memerdulikan orang-orang di sekitar mereka.
Seorang kru masuk dan memberitahu bahwa
sebentar lagi Keiko dan Jason harus segera naik ke panggung.
“Nah, itu panggilan untuk tampil.” Kata
Keiko, “Rion, kamu bisa menolongku?”
“Apa yang bisa kubantu?”
Keiko menjulurkan tangannya dan
tersenyum manja, “Gendong aku sampai ke atas panggung.”
“Apa?”
“Oh, ayolah… aku, kan Cuma minta
digendong.” Kata Keiko, “Kamu tidak mau?”
Rion menatap Keiko, lalu kedua orangtua
angkat Keiko dan kemudian Jason dan ibu kandung Keiko, seolah meminta
persetujuan.
“Tidak apa-apa. Gendong dia.” kata
Jason.
Rion menghela nafas dan mendekati
Keiko. Dia lalu mengangkat tubuh Keiko dan merasakan tubuh gadis itu sangat
ringan.
Terlalu ringan…
Keiko melingkarkan kedua lengannya di
leher Rion dan tersenyum lebar.
“Nah, ayo kita ke panggung Tuan Putri.”
Kata Rion.
Aksi Rion menggendong Keiko ke atas
panggung tentu saja menarik perhatian para penonton yang telah menempati kursi
mereka. Mereka menatap penuh minat pada Rion yang menggendong Keiko sampai ke
tempat duduknya di tengah panggung.
Rion mendudukkan Keiko dengan
hati-hati, seolah gadis itu bisa saja hancur karena gerakan yang tiba-tiba.
“Terima kasih, Rion,” bisik Keiko, “Aku
tidak akan melupakan malam ini.”
Rion mengerutkan kening mendengar nada
suara Keiko yang mengatakan kalimat itu dengan nada sedih.
Tapi, dia tidak sempat bertanya karena
salah seorang kru mengisyaratkannya agar segera turun dari panggung.
“Perlihatkan kemampuanmu yang terbaik.”
Kata Rion memberi semangat, lalu turun dari panggung.
Keiko tersenyum mendengar kalimat penuh
dukungan itu dan kemudian menoleh kearah Jason yang memegang biolanya.
“Ini,” Jason menyerahkan biola Stradivarius-nya.
“Terima kasih,” Keiko mengambil biola
itu dan penggeseknya. Sesaat, dia menatap kedua tangannya dan menghela nafas.
Untuk hari ini saja, kumohon, Tuhan… biarkan aku memainkan
nada-nada indah itu lagi sebelum semuanya berakhir. Katanya dalam hati.
Dengan keyakinan itu, Keiko meletakkan
biola di pundaknya, lalu mengisyaratkan Jason bahwa dia siap.
Kemudian, mereka mulai memainkan lagu Violin Romance karya Beethoven.
◊◊◊
Permainan biola mereka benar-benar
menyentuh hati. Setiap penonton yang mendengarkan terbawa suasana lagu yang
mereka berdua mainkan. Keiko memainkan biolanya dengan segenap jiwa dan
raganya. Perasaan yang ingin disampaikan Keiko dalam lagu-lagu buatannya
menyentuh hati setiap para penonton. Iringan dari Jason menambah arti dan kesan
dalam lagu yang dimainkan gadis itu.
Rion mendengarkan permainan biola itu
dan merasakan emosinya diaduk-aduk. Namun, dia merasakan perasaan hangat ketika
Keiko sesekali menatapnya dan tersenyum.
Selama lebih dari dua jam, Keiko dan
Jason memainkan biola mereka. Dan ketika lagu berakhir, semua orang bertepuk
tangan.
Keiko menatap para penonton yang
bertepuk tangan.
“Terima kasih,” ujar Keiko, “Terima
kasih karena sudah datang ke konser ini, yang pertama kali kuadakan di
Indonesia. Aku senang sekali semua orang menikmati lagu-lagu yang aku, dan
Jason mainkan. Kepada para penggemarku, aku mengucapkan terima kasih karena
mereka menyukaiku, menyukai permainan biolaku, tanpa paksaan apalagi dipaksa.
“Sebagai hadiah, aku akan memainkan
satu lagu yang istimewa. Lagu ini kubuat dua bulan yang lalu, dan akan
kumasukkan ke dalam album terbaruku bersama lagu-lagu baru lainnya. Aku harap
kalian menyukai lagu ini.”
Keiko memosisikan biolanya lagi,
“Selamat menikmati.” Katanya, lalu mengisyaratkan Jason agar mulai memainkan
biolanya bersama-sama.
Lagu yang dimainkan kali ini mengandung
perasaan cinta yang begitu lembut, manis, dan indah. Sebuah perasaan cinta yang
pada awalnya tidak disadari sebagai perasaan kagum dan pertemanan yang indah,
lalu berakhir menjadi cinta yang penuh keindahan, harmoni yang manis dan
memikat.
Semua penonton merasa berada di dalam
pusaran perasaan cinta yang tidak henti-hentinya membuat hati menghangat dan
dipenuhi euphoria yang menyenangkan. Rion sendiri juga terhanyut dalam
permainan biola Keiko.
Lalu, terdengar suara nyanyian yang
lirih. Awalnya para penonton tidak menyadarinya. Namun, ketika mereka melihat
ke depan, kearah panggung, barulah mereka sadar, bibir Keiko bergerak,
menyanyikan nada lirih yang hampir tidak terdengar tadi. Semua orang langsung
menajamkan telinga mereka mendengarkan suara Keiko yang bernyanyi lirih.
Kuberikan segalanya untukmu,
Warna-warna indah penuh kenangan yang akan selalu kau ingat
Angin yang berhembus, bunga yang bergerak seiring gerakan
angin…
Air yang tenang dan memantulkan indahnya sinar matahari…
Tidakkah kau sadari bahwa dunia ini penuh dengan warna,
Yang indah dan memukau jiwa kita tanpa kita inginkan?
Sadarkah bahwa semua itu akan selalu terkenang dalam hati
kita
Sebuah lukisan alam indah…
Lalu, dengarkanlah melodi ini,
Melodi cinta yang kutulis ini…
Melodi yang akan selaras dengan cinta di hati kita
Melodi yang akan selaras dengan warna-warna yang menghiasi
hari-hari kita
Dengarkanlan melodi cinta yang kubuat untukmu.
Mata Keiko sekilas melirik kearah Rion
yang duduk di kursinya. Gadis itu tersenym manis dan membuat Rion tertegun.
Cowok itu merasa kalau senyuman Keiko… seperti senyuman damai yang sama yang
pernah ia lihat di wajah almarhum ayahnya dulu.
Gadis itu terus memainkan biolanya
dengan penuh perasaan, diiringi oleh Jason, lagu itu lalu diakhiri dengan nada
yang meninggi sebelum akhirnya menurun dengan dramatis.
Keiko membuka matanya dan menghela
nafas. Keringat membanjiri tubuhnya, tapi dia merasa senang. Dia bisa memainkan
lagu itu sebaik yang dia bisa. Dia lalu menatap Rion, yang menatapnya balik
dengan senyuman. Gadis itu balas tersenyum pada Rion.
Suara tepuk tangan terdengar. Awalnya
hanya satu orang, lalu lama-kelamaan semua orang bertepuk tangan riuh hingga
menggema di gedung konser itu. Beberapa bahkan memberikan standing ovation.
Keiko menatap para penonton dengan
senyum terkembang dan mata berkaca-kaca. Dia senang konsernya berhasil, sukses.
Diantara para penonton, Keiko melihat seorang laki-laki yang mengenakan pakaian
putih dan berambut coklat serta bermata coklat gelap seperti dirinya. Wajahnya
tampan, dan berusia sekitar akhir 30 tahun. Laki-laki itu tersenyum pada Keiko,
dan Keiko merasa bahwa hatinya berdesir melihat senyum laki-laki itu.
“Papa…” gumamnya tanpa sadar.
Sosok laki-laki itu mengangguk pelan
sebelum kemudian menghilang perlahan. Keiko merasakan kesedihan menggelayut di
hatinya. Kalau benar itu ayahnya, ayah kandungnya…
Keiko tersenyum. Dia
mengerjap-ngerjapkan matanya, menahan airmata yang siap keluar.
Jason memeluk bahu Keiko dan mencium
kening adiknya itu.
“Kamu berhasil,” kata Jason, “Selamat,
Keiko.”
Keiko mengangguk sambil menatap
kakaknya.
Tiba-tiba, Keiko merasakan sakit kepala
luar biasa. Dia mencoba berpegangan pada lengan Jason yang memeluk bahunya,
namun pandangannya mendadak mengabur. Keringat dingin mulai mengaliri
tengkuknya.
Akan tetapi, Keiko merasakan perasaan
damai. Perasaan itu begitu damai hingga dia tidak bisa menjelaskannya dengan
kata-kata.
“Keiko, ada apa?” tanya Jason.
“A, aku…”
Keiko belum sempat mengatakan apa pun.
Kegelapan merenggut kesadarannya.
0 komentar:
Posting Komentar