Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Kimi no Symphony - Chapter 19



Sudah tiga minggu Keiko berlatih biola bersama Jason, dan permainannya semakin hari semakin bagus. Koridor lantai tiga rumah sakit tempatnya dirawat tidak pernah mengeluhkan suara permainan biola mereka, malahan, ada beberapa pasien yang sengaja datang untuk mendengarkan permainan biola yang menurut mereka bahkan lebih manjur dari obat-obatan itu.
Sudah tiga minggu juga Keiko merekam permainan biolanya dengan Jason. Bagian dari rencana, katanya, ketika ditanya oleh Henny yang kebetulan selalu menemani mereka bermain biola bersama Rion. Perekam suara itu sudah memuat lebih dari 30 lagu yang dimainkan oleh Keiko dan Jason, baik itu lagu buatan Keiko, Jason, atau lagu-lagu klasik yang biasa mereka mainkan dalam konser atau sebagai violinis tamu di berbagai orchestra.

Dan hari ini, Keiko akan terbang ke Indonesia. Setelah mendapat izin dari Dokter Iwasaki yang menanganinya, Keiko langsung meminta untuk pulang ke Indonesia. Konsernya tinggal lima hari lagi, dan tentu saja dia harus mempersiapkan diri. Jason dan ibu angkatnya sudah mempersiapkan segalanya hingga hanya tinggal detil-detil kecil saja yang harus diurus seperti urusan gaun yang akan dikenakan Keiko, penataan panggung, dan sebagainya.
Keiko sudah berpakaian rapi dan sedang duduk di kursi rodanya, menunggu orangtuanya menjemputnya agar bisa sama-sama pergi ke bandara.
“Aku tidak sabar untuk segera menyelenggarakan konser itu.” kata Keiko sambil melihat-lihat sketsa lukisan Rion yang baru.
“Memangnya kamu tidak kelelahan, ya?” tanya Rion yang saat itu bertugas menjaga Keiko. “Kamu berlatih terlalu keras selama tiga minggu ini. Hari ini kamu harus istirahat penuh seharian.”
“Aku tahu…” Keiko tersenyum, “Tapi aku tidak sabar ingin memainkan biolaku di hadapan semua orang. Kamu sudah memberitahu teman-teman sekelas kita untuk datang, kan? Aku sudah memesankan kursi VIP paling depan untuk mereka dan yang lain.”
Rion mengangguk. Konser Keiko adalah konser yang juga sangat ditunggu teman-teman sekelas mereka. Tentu saja mereka tidak akan menyia-nyiakan kesempatan ini.
“Aku sudah mengancam mereka, dan Henny juga melakukan hal yang sama. Pokoknya semua teman-teman kita akan datang ke konsermu.”
Keiko tersenyum dan mengangguk. Gadis itu mengambil buku sketsa lain di dekatnya dan membukanya. Isinya adalah rancangan gaun-gaun buatan Keiko yang belum sempat dibuat. Ia melihat-lihat sebentar semua sketsa itu dan menandai beberapa dengan tanda check berwarna merah.
“Apa itu?” tanya Rion.
“Sketsa rancangan gaun-gaunku yang terbaru. Kamu tahu, kan kalau aku juga pandai mendesain pakaian?”
“Ah, ya… benar juga.” Rion mengangguk, “Apa kamu akan mengenakan salah satunya?”
“Ya. Aku akan meminta Mama membawakan beberapa sketsa ini ke penjahit langganan kami. Aku sudah sering bekerja sama dengan beliau untuk membuat gaun-gaunku. Dan aku ingin gaun-gaun ini dibuat untuk konserku nanti.”
Rion tersenyum dan memeluk Keiko.
“Aku bangga menjadi pacarmu. Kamu benar-benar gadis yang penuh semangat.” Kata Rion.
“Sudah seharusnya,” Keiko tertawa, “Kalau tidak, mana mungkin aku bisa bertahan sampai sekarang, kan? Energi posistif itu diperlukan untuk memperpanjang hidup.”
“Jangan mengatakan hal-hal yang membuatku merinding.”
“Maaf…” Keiko tersenyum dan mencium pipi Rion.
Rion balas mencium pipi Keiko dan mereka sama-sama mendiskusikan sketsa gaun mana yang cocok untuk dikenakan Keiko saat konser nanti.

◊◊◊

Sampai di Indonesia, Keiko melonjak senang dan tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Saat sampai di rumahnya pun, Keiko seperti tidak kehilangan tenaganya. Gadis itu terus berceloteh riang dan membuat ramai suasana. Rion bahkan tertawa ketika dia menggoda Keiko dan berhasil membuat pipi gadis itu merona merah seperti biasanya.
Ketika malam tiba, setelah pengecekan kondisi gedung konser, penataan panggung, serta kursi-kursi yang telah tertata rapi, Keiko merasakan lelah luar biasa. Tapi dia tidak merasakan kantuk, justru sebaliknya, dia merasa ingin meluapkan perasaannya dengan bermain biola.
Gadis itu melihat jam beker di dekat meja di samping tempat tidurnya. Sudah jam Sembilan malam. Kedua orangtuanya mungkin sudah tidur, mengingat mereka menemaninya berkeliling seharian dari gedung konser, tempat penjahit langganan Keiko, dan toko bunga untuk membeli rangkaian bunga segar yang akan dikirimkan besok ke gedung konser.
Keiko mengambil buku-buku partiturnya dan mendorong kursi rodanya menuju ruangan tempat ia biasa berlatih biola. Dibukanya pintu di samping lemari kaca yang berisi tropi serta penghargaan akademiknya dan menyalakan lampu. Ia menarik nafas dalam-dalam dan tersenyum lebar. Empat hari lagi dia akan mengadakan konser, dan dia sudah merasa ingin meledak saking gugup dan gembira di saat bersamaan.
Ia menuju tempat kotak biolanya berada dan membukanya. Diambilnya biola Stradivarius-nya dan meletakkan buku partitur di hadapannya. Keiko mengambil penggesek biolanya dan memainkan lagu tersulit yang pernah ia mainkan.
Permainannya begitu memukau dan indah. Siapa pun yang mendengarnya pasti akan langsung terbuai ke dalam pusaran perasaan yang menenangkan dan membuat hati berbunga-bunga.
Namun, tiba-tiba permainan Keiko berhenti. Gadis itu mengerutkan kening dan menatap tangannya yang memegang penggesek biola. Tangan itu tidak bergerak, berapa kali pun Keiko berusaha untuk menggerakkan penggeseknya untuk menggesek biola.
“Kenapa…?”
Gadis itu berusaha makin keras, mencoba menggesek biolanya, namun yang ada, Keiko merasakan kesakitan luar biasa dan tubuhnya berkeringat.
Apa ini? Kenapa? Tanyanya dalam hati.
Keiko menurunkan tangannya dan berusaha mengatur detak jantungnya yang berdebar, ketakutan. Ia teringat perkataan Dokter Iwasaki, serta vonis penyakitnya. Wajah Keiko berubah pucat dan merasa horror.
“Tidak…” Keiko menggeleng, “Ini tidak mungkin…”
Sekali lagi gadis itu mencoba menggerakkan tangannya, tapi tidak ada perubahan. Tangan itu tetap tidak bergerak.
“Kumohon… jangan sekarang… aku tidak bisa kehilangan semua ini sekarang. Masih ada… masih ada satu konser lagi yang harus kulakukan.” Kata Keiko dengan gemetar, “Kumohon… kamu tanganku, kan? Kamu harus bergerak… kamu harus bergerak!!!”
Keiko menatap tangannya dengan pandangan yang mengabur karena airmata. Keiko tahu berteriak pun sia-sia. Airmatanya mengalir keluar dan dia memeluk biolanya dengan sebelah tangan. Tangisannya berubah menjadi isakan keras. Dan dia menangisi keadaannya, berharap ada setitik saja keajaiban…

◊◊◊

Rion berhasil menyelesaikan lebih dari lima lukisan dari sketsa yang berhasil dibuatnya selama ini. Dan Rion merasa senang sekaligus bangga. Kali ini dia menggunakan warna-warna cerah, tidak lagi menggunakan warna hitam seperti biasanya.
Ditatapnya kelima lukisan itu dengan tatapan senang. Semua itu adalah potret diri Keiko. Ada yang menunjukkan Keiko sedang berlatih biola bersama Jason, sedang makan, dan tertawa riang. Rion tidak pernah bisa sebahagia ini ketika melukis. Ini bahkan lebih membahagiakan daripada sebelum-sebelumnya.
“Akhirnya semua ini selesai juga,” gumamnya sambil membereskan peralatan melukisnya, lalu pergi dari studio menuju mansionnya.
Dia sudah lelah, tapi tidak bisa berhenti tersenyum karena berhasil melukis semua lukisan itu dalam waktu singkat. Dia ingin sekali memberitahu Keiko, tapi tidak ingin mengganggu gadis itu, yang mungkin saja sudah tidur. Mengingat ini sudah menjelang tengah malam, sudah pukul setengah dua belas.
Rion membersihkan diri dan memakai baju tidurnya secepat yang dia bisa. Dia benar-benar lelah, dan setelah mandi air hangat tadi, dia mulai menguap. Saat dia baru akan merebahkan kepalanya di atas bantal, sebuah pesan masuk ke dalam ponselnya. Rion mengambil ponsel yang dia letakkan di meja di dekatnya dan melihat pesan itu dari Keiko.
From : Keiko ♪
Selamat tidur, Rion. Kuharap kamu mimpi indah. J
Maaf aku mengirimimu pesan malam-malam begini. Aku Cuma ingin tahu kalau kamu sudah tidur atau belum. Empat hari lagi, pastikan kamu berada di kursi paling depan untuk melihat konserku.
Aku akan memainkan satu lagu untuk taruhan kita waktu itu. Besok pembagian rapor, kan? Jadi tidak sabar untuk melihat siapa diantara kita yang mendapat nilai tertinggi. Aku yakin aku yang akan menang, tapi aku akan tetap memainkan lagu untukmu nanti seandainya aku memang benar-benar menang. Hehehe…
Jangan sampai lupa besok, ya!
Rion menatap pesan itu sejenak, kemudian terkekeh. Dasar Keiko!
“Tenang saja… aku tidak akan lupa, kok.” Katanya. Kemudian meletakkan ponsel di meja dan bersiap-siap tidur.

◊◊◊

Esoknya, semua siswa akademi mendapat rapor mereka untuk satu semester kemarin. Banyak yang kecewa karena nilai mereka tidak sesuai harapan. Kebanyakan mereka mendapat nilai rendah pada pelajaran ilmu pasti, tapi tidak sedikit yang mendapat nilai rendah karena ada yang membolos atau tidak ikut pelajaran tertentu selama tiga kali berturut-turut.
Rion menatap rapor di tangannya dan tersenyum senang. Hampir semua mata pelajarannya mendapat nilai A+. Hanya mata pelajaran Biologi saja dia mendapat nilai B, tapi itu lumayan. Rion kembali mendapat peringkat tiga besar di kelasnya.
“Aku heran, otakmu itu terbuat dari apa.” kata Henny cemberut menatap rapornya. Banyak nilainya yang mendapat B. Dan pelajaran Bahasa Inggris saja dia mendapat nilai A.
“Otakku terbuat dari jutaan sel yang membentuk kecerdasan yang kupunya sekarang ini.” kata Rion sambil terkekeh.
Henny mencibir pelan tanpa suara.
“Ngomong-ngomong, di mana Keiko?” tanya Rion. “Dari tadi aku tidak melihatnya.”
“Keiko tidak bisa hadir hari ini. Jadi Bibi Helena yang mengambil rapornya.” Kata Henny. “Aku sudah melihat nilainya, dan aku yakin, kamu tidak akan percaya.”
“Apa? Dia mendapat nilai berapa?” tanya Rion penasaran.
“Aku tidak mau memberitahumu. Tanya saja padanya sendiri!” kata Henny tertawa, lalu cepat-cepat kabur sebelum Rion sempat mengacak rambutnya atau mencubit pipinya.
Ponsel yang dia taruh di saku blazernya tiba-tiba berbunyi. Rion mengambil ponselnya dan melihat nama Keiko di layar.
“Ya, Keiko?”
Kamu dapat nilai berapa?” tanya Keiko tanpa basa-basi. “Aku yakin kamu mendapat nilai yang lebih tinggi dariku, ya?
“Aku tidak akan memberitahumu sebelum kamu memberitahu berapa nilaimu.” Ujar Rion.
Aku… aku tidak tahu apa kamu mau mendengarnya…” kata Keiko, suaranya terdengar sedih.
“Keiko, kamu tidak apa-apa?” tanya Rion, dia berpikir suara Keiko terdengar sedih pastilah karena nilainya tidak memuaskan. Wajar kalau mengingat bahwa Keiko sebelumnya menjalani home-schooling.
“Kamu baik-baik saja, kan?”
Ya. Tentu. Aku baik-baik saja.
“Jadi…”
Jadi apa?
“Berapa nilaimu?”
Memangnya kamu mau mendengarnya?
“Tentu saja. Taruhan kita masih berlaku, tahu.” kata Rion tertawa, “Berapa nilaimu? Jangan membuatku penasaran.”
Rion mendengar suara Keiko menghela nafas di seberang telepon.
Semuanya…
“Semuanya?”
Semuanya… dapat nilai sempurna!” Suara Keiko tiba-tiba berubah riang, “Aku mendapat nilai A+ pada setiap mata pelajaran!
“Apa!?  Jangan bohong kamu. Serius?” tanya Rion tidak percaya.
Tentu saja. Kamu bisa melihatnya nanti kalau ke rumahku.” Kata Keiko sambil tertawa. “Dan sesuai perjanjian taruhan kita, kamu akan mempersembahkan padaku lukisanmu yang terbaik pada semua orang.
“Kamu yakin kamu tidak mengada-ada kalau kamu mendapat nilai sempurna?” tanya Rion curiga, walau di bibirnya tersungging senyuman.
Tentu saja!” suara Keiko mulai merajuk, “Kamu tidak percaya, ya? Kamu jahat…
“Aku percaya, aku percaya…” Rion tertawa lagi. “Oke. Aku akan mempersembahkan padamu lukisan terbaikku. Tapi, aku akan memperlihatkannya nanti.”
Kapan?
Sebuah ide terlintas dalam kepala Rion, dan dia tersenyum sendiri memikirkan idenya.
“Kamu akan tahu nanti.” Katanya lagi.

◊◊◊

Keiko menutup ponselnya dan tersenyum. Dia tahu Rion pasti akan mendapatkan nilai yang tinggi dalam ujian, dan dia tidak menyangsikan hal itu. Matanya lalu menatap rapor di tangannya yang tadi diserahkan oleh ibunya. Rapor itu menunjukkan nilainya jauh berbeda dari apa yang diucapkannya pada Rion tadi. Hampir di semua mata pelajaran dia mendapat nilai B. Hanya Bahasa Inggris dan Kesenian saja dia mendapat nilai A+.
Untuk sekali ini saja aku ingin egois, berbohong… katanya dalam hati.
Pintu kamarnya tiba-tiba terbuka dan ibunya masuk sambil membawa nampan berisi sepiring biscuit coklat dan segelas susu hangat. Juga segelas air putih dan piring kecil berisi obat-obatannya.
“Ini cemilanmu, sayang.” Kata beliau sambil meletakkan nampan itu di meja di dekat Keiko.
“Terima kasih, Ma. Wah… biscuit chocochip favoritku!”
Ibunya tertawa melihat putrinya memakan biskuitnya dengan lahap.
“Mama akan pergi sebentar, melihat apakah gaun-gaunmu sudah jadi atau belum.” Ujar beliau, “Apa kamu mau Mama membelikan sesuatu untukmu?”
“Hmm…” Keiko menelan biskuitnya dan meminum susunya pelan-pelan, “Tidak perlu, Ma. Aku tidak membutuhkan apa-apa saat ini.”
“Yang benar?” tanya ibunya lagi.
Keiko mengangguk.
“Ya sudah. Mama berangkat dulu. Kalau kamu mau latihan biola, pastikan kamu tidak sampai kelelahan, oke?”
“Oke, Ma.”
Setelah mencium pipi putrinya, beliau segera keluar kamar.
Keiko meminum lagi susu hangatnya. Lalu dia mendorong kursi rodanya menuju ruang latihannya. Di sana, Keiko menghembuskan nafas dan menatap kedua tangannya. Kedua tangannya itu mulai susah digerakkan sekarang. Tapi, Keiko tidak ingin menyerah. Dia tidak mau membuat semua orang lagi-lagi khawatir padanya.
Keiko menghembuskan nafas lagi, lalu menghampiri biolanya. Dia akan mencoba berlatih sekali lagi, walaupun itu akan menguras banyak tenaga dan airmatanya.

◊◊◊

Hari yang dinantikan itu akhirnya tiba!
Gedung konser itu sudah ramai dpenuhi oleh para penonton, kebanyakan dari orang-orang yang hebat dalam dunia music baik dalam negeri maupun luar negeri. Mereka tidak sabar untuk melihat penampilan Keiko Rachelia, violinis termuda yang mampu mengguncang dunia music dengan permainan biolanya dan lagu-lagu gubahannya yang membuat semua orang terbuai ke dalam kisahnya.
Orang-orang ramai membicarakan lagu-lagu apa saja yang akan dimainkan oleh sang violinis muda seperti yang tertera dalam booklet yang dibagikan pada mereka.
Beberapa wartawan juga tampak dalam kerumunan penonton yang masuk ke dalam gedung. Mereka juga tidak sabar bisa melihat permainan Keiko Rachelia dan mewawancarai gadis itu secara eksklusif.
Sementara itu di ruang ganti, orang yang dibicarakan sedang mempersiapkan diri.
Malam ini, Keiko mengenakan gaun berwarna pink nyaris putih yang membalut tubuhnya dengan sempurna. Sebuah bros kupu-kupu berwarna putih tersemat di pinggangnya bersama dengan pita yang dibuat menyerupai seperti bunga mawar. Rambut gadis itu dibiarkan tergerai dan diberi jepit rambut bunga yang sama seperti pita di gaunnya. Mata bonekanya tampak menonjol setelah didandani oleh ibu angkatnya. Keiko benar-benar tampak cantik seperti bidadari.
Semua orang ada di sana. Keluarga angkatnya, ibu kandungnya, Henny dan keluarganya, dan juga Rion dan ibunya. Mereka semua datang untuk memberikan dukungan pada Keiko dan Jason yang akan tampil duet malam itu.
“Semoga berhasil, ya.” kata Henny sambil memeluk Keiko, “Dan aku harus mengatakan, kamu benar-benar cantik dengan gaun ini.”
“Terima kasih. Kalau kamu mau, aku bisa membuatkan gaun seperti ini lagi untukmu, supaya kita seperti anak kembar.” Ujar Keiko sambil tertawa.
“Semoga berhasil, Keiko. Paman dan Bibi akan berada di kursi paling depan untuk menontonmu.” Kata ibu Henny.
“Terima kasih, Bi.”
Rion mendekat dan memberikan seikat bunga mawar putih pada Keiko, “Semoga berhasil. Dan pastikan lagumu akan membuatku terpesona.” Katanya.
“Rion!!”
“Aku janji,” kata Keiko tertawa lagi, “Kan, ak usudah bilang, menang atau tidak taruhan, aku akan memainkan lagu istimewa untukmu.”
Rion tersenyum dan mencium kening Keiko. Tidak memerdulikan orang-orang di sekitar mereka.
Seorang kru masuk dan memberitahu bahwa sebentar lagi Keiko dan Jason harus segera naik ke panggung.
“Nah, itu panggilan untuk tampil.” Kata Keiko, “Rion, kamu bisa menolongku?”
“Apa yang bisa kubantu?”
Keiko menjulurkan tangannya dan tersenyum manja, “Gendong aku sampai ke atas panggung.”
“Apa?”
“Oh, ayolah… aku, kan Cuma minta digendong.” Kata Keiko, “Kamu tidak mau?”
Rion menatap Keiko, lalu kedua orangtua angkat Keiko dan kemudian Jason dan ibu kandung Keiko, seolah meminta persetujuan.
“Tidak apa-apa. Gendong dia.” kata Jason.
Rion menghela nafas dan mendekati Keiko. Dia lalu mengangkat tubuh Keiko dan merasakan tubuh gadis itu sangat ringan.
Terlalu ringan…
Keiko melingkarkan kedua lengannya di leher Rion dan tersenyum lebar.
“Nah, ayo kita ke panggung Tuan Putri.” Kata Rion.

Aksi Rion menggendong Keiko ke atas panggung tentu saja menarik perhatian para penonton yang telah menempati kursi mereka. Mereka menatap penuh minat pada Rion yang menggendong Keiko sampai ke tempat duduknya di tengah panggung.
Rion mendudukkan Keiko dengan hati-hati, seolah gadis itu bisa saja hancur karena gerakan yang tiba-tiba.
“Terima kasih, Rion,” bisik Keiko, “Aku tidak akan melupakan malam ini.”
Rion mengerutkan kening mendengar nada suara Keiko yang mengatakan kalimat itu dengan nada sedih.
Tapi, dia tidak sempat bertanya karena salah seorang kru mengisyaratkannya agar segera turun dari panggung.
“Perlihatkan kemampuanmu yang terbaik.” Kata Rion memberi semangat, lalu turun dari panggung.
Keiko tersenyum mendengar kalimat penuh dukungan itu dan kemudian menoleh kearah Jason yang memegang biolanya.
“Ini,” Jason menyerahkan biola Stradivarius-nya.
“Terima kasih,” Keiko mengambil biola itu dan penggeseknya. Sesaat, dia menatap kedua tangannya dan menghela nafas.
Untuk hari ini saja, kumohon, Tuhan… biarkan aku memainkan nada-nada indah itu lagi sebelum semuanya berakhir. Katanya dalam hati.
Dengan keyakinan itu, Keiko meletakkan biola di pundaknya, lalu mengisyaratkan Jason bahwa dia siap.
Kemudian, mereka mulai memainkan lagu Violin Romance karya Beethoven.

◊◊◊

Permainan biola mereka benar-benar menyentuh hati. Setiap penonton yang mendengarkan terbawa suasana lagu yang mereka berdua mainkan. Keiko memainkan biolanya dengan segenap jiwa dan raganya. Perasaan yang ingin disampaikan Keiko dalam lagu-lagu buatannya menyentuh hati setiap para penonton. Iringan dari Jason menambah arti dan kesan dalam lagu yang dimainkan gadis itu.
Rion mendengarkan permainan biola itu dan merasakan emosinya diaduk-aduk. Namun, dia merasakan perasaan hangat ketika Keiko sesekali menatapnya dan tersenyum.
Selama lebih dari dua jam, Keiko dan Jason memainkan biola mereka. Dan ketika lagu berakhir, semua orang bertepuk tangan.
Keiko menatap para penonton yang bertepuk tangan.
“Terima kasih,” ujar Keiko, “Terima kasih karena sudah datang ke konser ini, yang pertama kali kuadakan di Indonesia. Aku senang sekali semua orang menikmati lagu-lagu yang aku, dan Jason mainkan. Kepada para penggemarku, aku mengucapkan terima kasih karena mereka menyukaiku, menyukai permainan biolaku, tanpa paksaan apalagi dipaksa.
“Sebagai hadiah, aku akan memainkan satu lagu yang istimewa. Lagu ini kubuat dua bulan yang lalu, dan akan kumasukkan ke dalam album terbaruku bersama lagu-lagu baru lainnya. Aku harap kalian menyukai lagu ini.”
Keiko memosisikan biolanya lagi, “Selamat menikmati.” Katanya, lalu mengisyaratkan Jason agar mulai memainkan biolanya bersama-sama.
Lagu yang dimainkan kali ini mengandung perasaan cinta yang begitu lembut, manis, dan indah. Sebuah perasaan cinta yang pada awalnya tidak disadari sebagai perasaan kagum dan pertemanan yang indah, lalu berakhir menjadi cinta yang penuh keindahan, harmoni yang manis dan memikat.
Semua penonton merasa berada di dalam pusaran perasaan cinta yang tidak henti-hentinya membuat hati menghangat dan dipenuhi euphoria yang menyenangkan. Rion sendiri juga terhanyut dalam permainan biola Keiko.
Lalu, terdengar suara nyanyian yang lirih. Awalnya para penonton tidak menyadarinya. Namun, ketika mereka melihat ke depan, kearah panggung, barulah mereka sadar, bibir Keiko bergerak, menyanyikan nada lirih yang hampir tidak terdengar tadi. Semua orang langsung menajamkan telinga mereka mendengarkan suara Keiko yang bernyanyi lirih.
Kuberikan segalanya untukmu,
Warna-warna indah penuh kenangan yang akan selalu kau ingat
Angin yang berhembus, bunga yang bergerak seiring gerakan angin…
Air yang tenang dan memantulkan indahnya sinar matahari…
Tidakkah kau sadari bahwa dunia ini penuh dengan warna,
Yang indah dan memukau jiwa kita tanpa kita inginkan?
Sadarkah bahwa semua itu akan selalu terkenang dalam hati kita
Sebuah lukisan alam indah…

Lalu, dengarkanlah melodi ini,
Melodi cinta yang kutulis ini…
Melodi yang akan selaras dengan cinta di hati kita
Melodi yang akan selaras dengan warna-warna yang menghiasi hari-hari kita
Dengarkanlan melodi cinta yang kubuat untukmu.

Mata Keiko sekilas melirik kearah Rion yang duduk di kursinya. Gadis itu tersenym manis dan membuat Rion tertegun. Cowok itu merasa kalau senyuman Keiko… seperti senyuman damai yang sama yang pernah ia lihat di wajah almarhum ayahnya dulu.
Gadis itu terus memainkan biolanya dengan penuh perasaan, diiringi oleh Jason, lagu itu lalu diakhiri dengan nada yang meninggi sebelum akhirnya menurun dengan dramatis.
Keiko membuka matanya dan menghela nafas. Keringat membanjiri tubuhnya, tapi dia merasa senang. Dia bisa memainkan lagu itu sebaik yang dia bisa. Dia lalu menatap Rion, yang menatapnya balik dengan senyuman. Gadis itu balas tersenyum pada Rion.
Suara tepuk tangan terdengar. Awalnya hanya satu orang, lalu lama-kelamaan semua orang bertepuk tangan riuh hingga menggema di gedung konser itu. Beberapa bahkan memberikan standing ovation.
Keiko menatap para penonton dengan senyum terkembang dan mata berkaca-kaca. Dia senang konsernya berhasil, sukses. Diantara para penonton, Keiko melihat seorang laki-laki yang mengenakan pakaian putih dan berambut coklat serta bermata coklat gelap seperti dirinya. Wajahnya tampan, dan berusia sekitar akhir 30 tahun. Laki-laki itu tersenyum pada Keiko, dan Keiko merasa bahwa hatinya berdesir melihat senyum laki-laki itu.
“Papa…” gumamnya tanpa sadar.
Sosok laki-laki itu mengangguk pelan sebelum kemudian menghilang perlahan. Keiko merasakan kesedihan menggelayut di hatinya. Kalau benar itu ayahnya, ayah kandungnya…
Keiko tersenyum. Dia mengerjap-ngerjapkan matanya, menahan airmata yang siap keluar.
Jason memeluk bahu Keiko dan mencium kening adiknya itu.
“Kamu berhasil,” kata Jason, “Selamat, Keiko.”
Keiko mengangguk sambil menatap kakaknya.
Tiba-tiba, Keiko merasakan sakit kepala luar biasa. Dia mencoba berpegangan pada lengan Jason yang memeluk bahunya, namun pandangannya mendadak mengabur. Keringat dingin mulai mengaliri tengkuknya.
Akan tetapi, Keiko merasakan perasaan damai. Perasaan itu begitu damai hingga dia tidak bisa menjelaskannya dengan kata-kata.
“Keiko, ada apa?” tanya Jason.
“A, aku…”
Keiko belum sempat mengatakan apa pun. Kegelapan merenggut kesadarannya.

0 komentar:

Posting Komentar