Satu tahun kemudian…
Rion melangkah dengan membawa seikat
bunga di tangannya. Bunga mawar putih yang pernah dia berikan pada Keiko
sebelum konser setahun yang lalu. Kakinya melangkah menyusuri pemakaman yang
sore itu tampak lengang. Angin sepoi berhembus dan membuat rambutnya yang
panjang mencapai kerah kemeja hitamnya agak berkibar.
Dari kejauhan, Rion melihat seorang
laki-laki dan perempuan sedang duduk bersimpuh di samping sebuah makam. Rion
mengenali laki-laki itu adalah Jason, kakak Keiko. Di sebelahnya pastilah
tunangan Jason, Miranda.
Jason menyadari kedatangan Rion dan
tersenyum. Dia melambai pada cowok itu yang dibalas oleh Rion dengan anggukan.
“Kau datang.” kata Jason.
“Tentu saja aku datang.” jawab Rion
tersenyum, “Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Tentu saja aku akan datang.”
Jason tersenyum. Pandangan mereka lalu
tertuju pada makam di dekat mereka. Makam itu dihiasi rumput dan bunga-bunga
geranium merah muda yang tumbuh indah. Pada nisannya tertulis nama seseorang.
Keiko Rachelia Stanley – 14 Februari 1996 - 07 Februari 2015
Sebuah foto Keiko yang diambil sesaat
sebelum konser setahun lalu terpasang di batu nisannya.
Jason menatap foto Keiko dan tersenyum
tipis, “Keiko pasti senang kamu selalu mengunjunginya.” Katanya pada Rion.
Mereka sekarang duduk di sebuah kafe
yang terletak tidak jauh dari makam. Miranda, tunangan Jason, sudah pulang
karena masih harus mengurus kepindahannya dari Indonesia ke Jepang karena
mereka akan berencana menikah bulan depan.
Jason menyesap kopi yang dipesannya.
Ditatapnya Rion dan melihat sedikit perubahan dari pacar Keiko itu, terutama
sinar mata cowok itu. Sinar mata Rion sekarang lebih dewasa, begitu juga
sikapnya. Sepertinya sejak kematian Keiko yang mendadak setahun lalu setelah
konser gadis itu, Rion berubah menjadi pribadi yang lebih pendiam daripada yang
pernah dikenal Jason.
“Lalu,” Rion menatap cappuccino di hadapannya, “Apa yang
ingin kamu bicarakan?”
Jason meletakkan cangkir kopinya dan berdeham.
“Sebelumnya, aku ingin mengucapkan
selamat atas pameran lukisanmu yang sudah sukses menembus dunia internasional
sekali lagi.” kata Jason, “Aku sudah melihat semuanya ketika kebetulan pameran
itu diadakan di Berlin. Aku turut bangga kamu bisa sukses seperti sekarang.”
“Terima kasih,” Rion mengangguk.
“Dan alasan kenapa aku memanggilmu
kemari adalah ini.”
Jason mengambil tas coklat yang
dibawanya dan mengeluarkan isinya. Dua buah kotak kardus kecil masing-masing
dinamai dengan nama Jason dan Rion.
“Ini…”
“Ini peninggalan terakhir dari Keiko.”
Kata Jason, membuat Rion terbelalak. “Sehari setelah kematian Keiko, seorang
kurir barang datang dan memberikan ini padaku beserta sepucuk surat yang
mengatakan aku harus memberikan salah satu kotak, yang ditulisi namamu padamu.”
Jason menatap kotak di tangannya, “Aku
juga mendapat kotak yang sama, tapi aku yakin isinya berbeda.” katanya
bergurau, “Aku baru berani memberikan ini padamu karena aku tahu, masa-masa
awal Keiko tidak ada benar-benar menguras tenaga dan pikiran kita, iya, kan?”
Rion tidak menjawab, tidak juga
mengangguk mengiyakan pertanyaan Jason. Matanya terpaku pada kotak yang
bertuliskan namanya. Tulisan Keiko… tulisan tangan Keiko yang menulis namanya.
Jason menyorongkan kotak milik Rion,
“Ini, ambillah. Sekarang sudah satu tahun sejak kematian Keiko, aku yakin kamu
bisa membuka kotak ini tanpa terbayang-bayang kenangan pahit itu, kan?”
“Kau yakin aku boleh mengambilnya?”
tanya Rion.
“Tentu saja. Kotak itu bertuliskan
namamu. Selain itu…” Jason menghela nafas. “… ini adalah salah satu permintaan
Keiko padaku saat dia dirawat di rumah sakit waktu itu.”
◊◊◊
Begitu pulang ke mansion, Rion langsung
menuju studio lukisnya dan mengurung diri di sana. Dia bahkan tidak
mengindahkan pelayan yang memberitahu kalau Henny akan datang ke mansion.
Rion duduk di kursi yang menghadap
lukisan Keiko yang dibuatnya. Lukisan Keiko yang menampakkan gadis itu sedang
memainkan biola dengan latar belakang kebun bunga dan sepasang sayap di
punggung gadis itu. Ia lalu menatap kotak di tangannya. Dia masih ingat apa
kata-kata Jason sesaat sebelum mereka berpisah dari kafe.
“Keiko
menitipkan sesuatu yang berharga untukmu. Dan aku yakin, kamu menyadarinya.”
Kata Jason waktu itu diiringi dengan senyum misterius. Entah apa maksud ucapan
laki-laki itu.
Rion mengelus kotak itu dan menatap
tulisan tangan Keiko yang menuliskan namanya.
Dia menelan ludah dan mulai melepas
perekat kotak itu. Ketika dia membukanya, dia menemukan alat perekam suara, dan
sebuah amplop putih. Rion menatap perekam suara itu dengan kening berkerut. Dia
pernah melihat perekam suara itu ketika mengunjungi Keiko di rumah sakit saat
gadis itu berlatih biola di sela-sela perawatannya.
Rion mengambil amplop di dalam kotak
itu dan merobeknya. Di dalamnya ada empat lembar kertas berwarna biru muda.
Surat dari Keiko.
Dear Rion,
di manapun kamu berada
Mungkin saat
kamu membaca surat ini, aku tidak ada disampingmu lagi. Sebelumnya, aku minta
maaf, karena meninggalkanmu begitu cepat. Aku yakin, kamu marah padaku karena
aku meninggalkanmu, iya, kan?
Apakah kamu
sudah menemukan hati yang lain? Apakah gadis yang menjadi kekasihmu sekarang
menyayangimu sepenuh hatinya? Kalau iya, aku turut senang. Karena itu berarti,
gadis itu bisa menggantikanku untuk mengobati luka hatimu setelah aku pergi.
Aku menulis
surat ini, karena ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu. Aku tidak sempat
mengatakannya di setiap kita bertemu, tapi, di sini, aku akan mengatakannya.
Kau tahu,
sejak pertama kali kita bertemu di bandara waktu itu, aku selalu merasa pernah
mengenalmu. Ada suatu perasaan aneh yang mengatakan dan berteriak kalau kita
saling mengenal. Apa kamu merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan? Kalau
iya, mungkin benar. Karena saat aku menatap matamu, aku baru sadar siapa kamu.
Kamu adalah
Pangeran Tampan di masa kecilku. Aku ingat, kamu adalah anak laki-laki kecil
yang menolongku menolong kucing di taman. Aku juga ingat kamu adalah anak
laki-laki yang sering menghabiskan waktu untuk bermain bersamaku, sebelum
akhirnya kamu menghilang dan membuatku menangis berhari-hari(aku serius!).
Kau tahu,
aku selalu mencarimu sejak kau menghilang dari Jepang waktu itu. Saat aku
mendengar kau pergi dari Jepang dan tidak akan pernah kembali, aku menangis
berhari-hari dan menyebabkan aku demam parah beberapa hari setelahnya. Dan
sejak itulah kesehatanku memburuk. Saat itu adalah saat-saat terberat dalam
hidupku, karena sejak hari itulah, aku harus mengikuti saran dokter untuk
menjalani diet ketat, meminum obat-obatan yang sudah tidak terhitung jumlahnya,
bahkan mencoba untuk mengikuti terapi yang selalu membuatku kesakitan dan ingin
menangis.
Tapi, aku
punya motivasi, seperti semua orang yang ingin sembuh dan kembali lagi bersama
orang-orang yang dicintainya. Akupun memiliki impian, motivasi, dan segala hal
yang ingin kulakukan ketika aku sembuh.
Dan kamulah
motivasiku hingga bisa terus bertahan, bisa bertemu denganmu lagi. Kamulah
orang yang menjadi motivasiku agar bisa sembuh dan bisa menghadapi dunia sekali
lagi dengan kepala tegak.
Saat kamu
menyatakan perasaanmu padaku di ruang kesenian waktu itu, aku tidak bisa
berpikir jernih. Tatapanmu itu benar-benar membuatku gugup dan salah tingkah.
Dari mana, sih kamu belajar menatap dengan tatapan dalam seperti itu? Tapi, aku
tidak pernah menyalahkan hal itu. Malah, hal itulah yang kusuka darimu. Dan
ciuman pertama kita saat itu… aku tidak bisa berhenti memikirkannya bahkan
untuk sedetik saja.
Tapi, aku
tahu, aku tidak mungkin bersanding denganmu. Saat kamu menyatakan perasaanmu
padaku, aku berpikir, apakah kamu mau menerimaku yang sakit-sakitan seperti
ini, walau saat itu aku belum memberitahumu, tapi cepat atau lambat, kamu pasti
akan tahu. Dan ketika aku memikirkan, tidak ada salahnya untuk mencoba
berharap, aku menerima cintamu, dengan sepenuh hati karena aku sudah
mencintaimu sejak lama.
Rion, kau
tahu…
Terkadang,
aku marah pada takdirku yang menderita penyakit mengerikan ini. Aku bahkan
sempat berniat bunuh diri ketika aku tahu aku memiliki penyakit yang tidak bisa
disembuhkan. Kadang aku berharap aku mempunyai tubuh yang sehat, dan tanpa
beban bisa melihat dunia untuk waktu yang lama. Takdir tidak pernah memandang
bulu siapapun yang ditemuinya. Mungkin, ini juga berlaku bagiku, bagimu, dan
bagi kita berdua. Namun, jangan pernah menyalahkan takdir, karena dengan adanya
takdirlah, kita bisa bertemu lagi.
Karena
takdirlah, aku bisa mengenalmu, dan mengajariku perasaan hangat yang kusebut
cinta seorang kekasih.
Selama ini, aku
selalu menyalahkan diri sendiri, karena akulah, Papa sampai harus meninggalkan
dunia music yang disukainya. Karena penyakitkulah, Papa meninggalkan karirnya
di dunia music dan mencurahkan perhatiannya pada perusahaan property yang
diwarisi beliau dari Kakek. Selama ini juga, aku berusaha membayar kesedihan
beliau dengan menggantikan beliau memegang dan memainkan Stradivarius beliau. Menggantikan nada-nada indah yang selalu
beliau mainkan untukku di kala aku kecil. Dan ketika Papa, dan Mama tersenyum,
semua kerja kerasku rasanya terbayarkan.
Mungkin itu
hanya semacam pelarian, tapi aku tidak pernah menyangka bisa sukses dalam
bidang music, yang awalnya tidak pernah kupikirkan, padahal aku lebih memilih
menjadi perancang busana, seperti ibu kandungku, Oda Maya.
Rion, maukah
kamu menyampaikan pada Papa bahwa aku minta maaf karena membuat beliau
meninggalkan dunia music yang menjadi hidupnya? Tolong sampaikan pada Papa
kalau aku sangat menyayangi beliau dan minta maaf sebesar-besarnya karena aku
selalu merepotkan beliau dan juga Mama, yang melimpahiku dengan kasih sayang
layaknya ibu kandung sejati selama ini.
Rion, aku
juga tidak pernah menyesal bisa bertemu denganmu lagi, malah, aku bersyukur
karenanya. Aku bersyukur aku bisa bertemu denganmu lagi, berbicara denganmu,
bahkan bisa melewatkan waktu bersamamu. Semua itu adalah hal yang sangat berarti
bagiku.
Rion… jangan
pernah menyesali apa yang sudah terjadi. Aku tahu kamu marah kalau aku
mengatakan hal-hal seperti ini. Tapi, percayalah,
Rion…
Mungkin kamu
membenci semua yang terjadi pada dirimu, tapi tolong jangan menyalahkan dirimu
sendiri. Semua sudah digariskan oleh-Nya, dan kita hanya bisa menerimanya walau
sudah merencanakan apa yang sudah kita inginkan sebaik mungkin. Kita hanya bisa
menerima, pasrah, dan berserah pada-Nya, agar semua yang kita inginkan
setidaknya bisa dicapai oleh orang yang akan menggantikan kita seandainya kita
tidak ada lagi di dunia.
Aku bisa
merasakan kemarahan, kesedihan, dan ketakutanmu ketika kamu menceritakan
peristiwa bunuh diri ayahmu. Aku juga bisa merasakan apa yang kamu rasakan,
walau kamu tidak mengatakannya, seolah kita sudah terhubung sejak lama.
Aneh, ya?
Apa kamu menganggapnya aneh juga?
Namun, aku
benar-benar bersyukur semua itu terjadi pada kita. Aku bahkan tidak peduli jika
ternyata kamu memiliki orang lain yang mampu membuatmu tersenyum dan melupakanku.
Menjadi pengagum rahasiamu saja sudah membuatku senang.
Rion,
Apa kamu
tahu, dunia ini tidak seperti warna hitam-putih. Banyak sekali warna-warna yang
menghiasi dunia ini. Karena itulah, aku ingin menunjukkanmu warna-warna itu
dengna caraku sendiri. Dalam kotak yang kuberikan padamu terdapat alat perekam
suara, kan? Dalam perekam suara itu, aku sudah merekam lebih dari 30 lagu yang
kumainkan selama aku dirawat di rumah sakit di Tokyo. Aku juga sedikit
bernyanyi di beberapa lagu, dan kuharap kamu mau menyimpannya, mendengarkannya,
atau kalau perlu, bisa kamu berikan pada kekasihmu yang baru. Aku juga
memberikan salinan rekaman itu pada Kak Jason untuk diserahkan pada label
rekaman yang selama ini bekerja sama denganku untuk dibuat dalam bentuk album baru.
Kamu adalah
orang pertama yang mendengarkan lagu-lagu baruku. Dan dengan lagu-lagu itu, aku
berharap bisa menunjukkan sisi dunia yang penuh warna dan tidak membuatmu
bersedih lagi.
Apakah aku
berhasil? Apakah aku bisa menunjukkan semua warna itu padamu?
Dari dulu,
aku selalu berandai-andai. Andai kita tidak pernah bertemu sejak awal, apakah
kamu memiliki perasaan cinta pada pandangan pertama ketika kita bertemu di
bandara waktu itu? Jujur, kalau itu benar-benar terjadi, kurasa aku akan jatuh
cinta pada pandangan pertama. Bukan karena kamu dingin atau jutek, apalagi
cuek. Tapi, karena aku bisa merasakan bahwa aku akan jatuh cinta padamu juga
pada akhirnya.
Aku bukannya
ge-er, tapi, aku yakin hal itu akan terjadi.
Kalau waktu kecil
kita tidak pernah bertemu, apa kamu akan merasakan hal yang sama seperti yang
kurasakan?
Kalau dulu
kita tidak pernah bertemu, apa kamu menyadari bahwa dunia tidak hanya hitam dan
putih?
Bila saat itu
aku tidak menyapamu lebih dulu di bandara, apa kamu akan menoleh kearahku?
Ketika dunia
monoton-mu menghilang dan berubah menjadi penuh warna, warna apa yang kau
lihat? Apakah warna-warna itu sama dengan yang pernah menghiasi hari-harimu
saat bertemu denganku?
Aku tahu aku
tidak punya banyak waktu untuk mengungkapkan semuanya. Aku bahkan tahu, waktuku
di dunia ini tidak akan lama, seolah semuanya sudah menjadi takdirku…
Tapi, kumohon
jangan pernah lupakan apa arti warna-warna dalam hidupmu. Warna-warna itu akan
menuntunmu kearah yang lebih baik, yang lebih indah daripada yang pernah
kutunjukkan padamu. Kuharap aku tidak berpikiran muluk ketika aku memikirkan
kau sedang tersenyum, menahan tangis yang sedang menggenang di kedua matamu.
Mungkin hanya itu yang bisa kutuliskan dalam surat ini. Aku tidak
tahu apakah kamu membacanya sampai akhir, atau bahkan tidak melirik surat ini
sama sekali. Namun, setidaknya, aku sudah mengatakan secara jelas dalam surat
ini, bahwa apapun yang terjadi di kemudian hari, aku akan mencintaimu apa
adanya. Bahkan semua kekuranganmu. Sama seperti rasa cintaku pada kedua
orangtuaku dan juga orang-orang yang kusayangi, dan itu termasuk dirimu.
Kuharap kamu tidak marah bahwa aku mencintaimu tanpa kusadari sejak
aku kecil. Aku berharap kamu mau mengabulkan permintaanku yang egois ini.
Dan aku punya
satu permintaan lagi, satu-satunya permintaan yang kuingin kamu terus ingat,
dan tidak akan pernah kamu lupakan.
Cintai aku
seperti kau mencintai lukisan-lukisanmu…
Cintai aku
seperti aku tidak pernah merasakan kesakitan apa pun…
Dan cintai apa
yang kau punya, walau itu berarti tanpa adanya diriku di sisimu…
Keiko
Mata Rion basah oleh air mata setelah
dia membaca surat itu. Airmatanya tidak bisa dibendung lagi. Dia memeluk surat
itu erat-erat, membayangkan bahwa itu adalah Keiko. Membayangkan gadis itu ada
dalam pelukannya.
◊◊◊
Rion menghubungi Jason setelah dia bisa
mengendalikan tangisnya. Sesuai isi surat Keiko, Jason juga menerima salinan
rekaman lagu-lagu Keiko dalam bentuk memory
card yang sudah dipindahkan Jason ke dalam bentuk CD dan siap untuk dikirim
ke studio label rekaman yang pernah mengontrak Keiko sebagai pemain biola
mereka.
“Aku akan memastikan album ini terbit.
Jadi, tunggu saja tanggal mainnya.” Janji Jason. “Ini adalah kenang-kenangan
terakhir Keiko. Dan aku yakin, semua fans
Keiko akan senang menerima kenang-kenangan ini.”
Dan enam bulan kemudian. Album baru
Keiko terbit dan sukses menembus pasaran internasional. Album yang diberi judul
The Last Melody of Keiko (Jason yang
memilih nama itu) tersebut laku keras tidak hanya di Indonesia, tapi juga di
berbagai negara, di manapun fans-fans
Keiko tersebar. Jason yang menangani proses penerbitan album itu mengadakan
konser untuk mengenang Keiko dengan memainkan lagu-lagu dalam album itu di
Indonesia, di gedung tempat Keiko dulu juga mengadakan konser.
Rion mendapatkan undangannya. Begitu
juga Henny dan keluarganya, serta orangtua angkat Keiko, Rafael dan Helena
Stanley. Ibu kandung Keiko, yang juga ibu Jason juga mendapatkan undangan. Rion
sempat beberapa kali berkunjung menemui mereka, sekedar menanyakan kabar dan
bertukar cerita. Helena, ibu angkat Keiko tampak tegar dan sudah bisa menerima
putri kesayangannya meninggal begitu cepat. Begitu juga Oda Maya, ibu kandung
Keiko yang baru beberapa hari bertemu putrinya, harus menerima kenyataan bahwa
putrinya itu meninggal sebelum sempat menghabiskan waktu bersamanya. Tapi,
seiring waktu, luka itu telah pulih, dan semua orang sudah bisa menerima bahwa
Keiko sudah tidak ada.
Ketika malam datang, Rion mengambil
perekam suara yang diberikan Keiko padanya dan memasang earphone di sana. Dia lalu menekan tombol play dan lagu Keiko yang berjudul Your Symphony – Paint Your World, terdengar di telinganya. Dia
ingat lagu itu adalah lagu yang dimainkan serta dinyanyikan Keiko ketika malam
konser itu, di mana Keiko meninggal.
Cowok itu teringat permintaan terakhir
Keiko dalam suratnya. Permintaan agar Rion tetap mengingat Keiko, permintaan
agar Rion tetap menatap dunia walau gadis itu tidak ada lagi di sisinya.
Rion tentu saja tidak akan melupakan
Keiko. Tidak akan pernah, karena nama gadis itu sudah terpahat kuat di dalam
hati Rion, selamanya.
~EPILOGUE~
Rion
menggigil kedinginan. Musim dingin di Tokyo ternyata lebih dingin dari
dugaannya. Dia menghembuskan nafas dan hembusan nafasnya berubah menjadi
seperti asap rokok putih. Seharusnya sebelum memutuskan berjalan-jalan dia
membawa syal. Sekarang dia kedinginan, dan dia tidak berniat untuk mengambil
syalnya yang ketinggalan di rumah teman ibunya. Dia tahu ibunya sudah lama
tidak bertemu dengan temannya yang tinggal di komplek perumahan ini dan Rion
memilih untuk menghabiskan waktu di luar, walau itu berarti dia harus tahan
dengan udara dingin yang menusuk tulang.
Sayup-sayup dia mendengar suara isak tangis. Rion
mengerutkan kening, mengira-ngira siapa yang sedang menangis. Teman ibunya
bilang di dekat sini ada taman bermain untuk anak-anak komplek. Dan Rion cukup
yakin suara tangis itu berasal dari sana.
Penasaran, Rion melangkahkan kakinya yang beralaskan sepatu
bot tebal menuju asal suara tersebut. Ketika dia sampai di taman itu, dia
melihat seorang anak perempuan kecil menangis di bawah sebatang pohon. Pipi
gadis kecil itu memerah entah karena menangis atau terkena angin musim dingin
atau dua-duanya.
Rion mendekati gadis kecil itu. Si gadis kecil menyadari
kedatangannya dan menatap kearahnya. Gadis kecil itu sangat cantik, dengan mata
seperti boneka dan rambutnya panjang berwarna coklat. Di pipi gadis itu
terdapat jelas bekas aliran airmata yang masih mengalir.
“Kenapa kamu menangis?” tanya Rion.
Gadis kecil itu, masih dengan terisak-isak, menunjuk keatas
pohon. Rion tidak mengerti maksud gadis kecil itu, dan awalnya berpendapat
bahwa gadis itu menangis karena tersesat.
Tapi, kemudian dia mendengar suara kucing dan dia menoleh
keatas, tepat kearah seekor kucing berwarna kelabu yang kelihatannya ketakutan
untuk turun. Rion menatap gadis kecil yang masih menangis itu dan kucing di
atas pohon, dan mengerti apa yang terjadi.
Rion mendekati pohon itu dan memanjatnya. Agak sulit, karena
pohon itu kering dan dingin walau batangnya besar. Tapi, Rion berhasil memanjat
sampai ke dahan tempat kucing itu berada dan mengangkat lembut kucing itu ke
dalam pelukannya. Rion melompat ke bawah dengan mudah dan masih melihat gadis
kecil itu menangis.
Rion menunggu sampai gadis kecil itu berhenti menangis, dan
ketika gadis kecil itu menoleh, matanya terbelalak melihat Rion dan kucing di
tangannya.
“Ini,” kata Rion, “Kucingnya berhasil kuselamatkan.”
Rona merah di pipi gadis itu makin terang dan senyum lebar
tersungging di wajahnya yang manis. Gadis kecil itu langsung memeluk si kucing
ketika sudah berada di tangannya dan mengelus-elus bulunya.
“Terima kasih… Pangeran Tampan.” Kata gadis kecil itu.
Rion mengerjap, agak kaget. Dia tidak menyangka gadis kecil
itu akan memanggilnya Pangeran Tampan. Seperti dongeng-dongeng cengeng saja!
Tapi… entah kenapa Rion tidak keberatan. Sebaliknya, dia
malah merasa senang gadis kecil itu memanggilnya demikian.
“Siapa namamu?” tanya Rion, membuat gadis kecil itu
mendongak, “Kalau aku Pangeran Tampan, berarti aku harus tahu namamu agar aku
bisa memanggilmu Tuan Putri.”
Pipi gadis kecil itu merona lagi. Dia menundukkan kepalanya
dan terlihat malu karena Rion menanyakan namanya.
“Keiko,” kata gadis kecil itu lirih. “Namaku… Keiko.”
♪♪♪♪♪
0 komentar:
Posting Komentar