Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Kimi no Symphony - Chapter 20 & Epilogue



Satu tahun kemudian…
Rion melangkah dengan membawa seikat bunga di tangannya. Bunga mawar putih yang pernah dia berikan pada Keiko sebelum konser setahun yang lalu. Kakinya melangkah menyusuri pemakaman yang sore itu tampak lengang. Angin sepoi berhembus dan membuat rambutnya yang panjang mencapai kerah kemeja hitamnya agak berkibar.
Dari kejauhan, Rion melihat seorang laki-laki dan perempuan sedang duduk bersimpuh di samping sebuah makam. Rion mengenali laki-laki itu adalah Jason, kakak Keiko. Di sebelahnya pastilah tunangan Jason, Miranda.

Jason menyadari kedatangan Rion dan tersenyum. Dia melambai pada cowok itu yang dibalas oleh Rion dengan anggukan.
“Kau datang.” kata Jason.
“Tentu saja aku datang.” jawab Rion tersenyum, “Hari ini adalah hari ulang tahunnya. Tentu saja aku akan datang.”
Jason tersenyum. Pandangan mereka lalu tertuju pada makam di dekat mereka. Makam itu dihiasi rumput dan bunga-bunga geranium merah muda yang tumbuh indah. Pada nisannya tertulis nama seseorang.
Keiko Rachelia Stanley – 14 Februari 1996 - 07 Februari 2015
Sebuah foto Keiko yang diambil sesaat sebelum konser setahun lalu terpasang di batu nisannya.
Jason menatap foto Keiko dan tersenyum tipis, “Keiko pasti senang kamu selalu mengunjunginya.” Katanya pada Rion.

Mereka sekarang duduk di sebuah kafe yang terletak tidak jauh dari makam. Miranda, tunangan Jason, sudah pulang karena masih harus mengurus kepindahannya dari Indonesia ke Jepang karena mereka akan berencana menikah bulan depan.
Jason menyesap kopi yang dipesannya. Ditatapnya Rion dan melihat sedikit perubahan dari pacar Keiko itu, terutama sinar mata cowok itu. Sinar mata Rion sekarang lebih dewasa, begitu juga sikapnya. Sepertinya sejak kematian Keiko yang mendadak setahun lalu setelah konser gadis itu, Rion berubah menjadi pribadi yang lebih pendiam daripada yang pernah dikenal Jason.
“Lalu,” Rion menatap cappuccino di hadapannya, “Apa yang ingin kamu bicarakan?”
Jason meletakkan cangkir kopinya dan berdeham.
“Sebelumnya, aku ingin mengucapkan selamat atas pameran lukisanmu yang sudah sukses menembus dunia internasional sekali lagi.” kata Jason, “Aku sudah melihat semuanya ketika kebetulan pameran itu diadakan di Berlin. Aku turut bangga kamu bisa sukses seperti sekarang.”
“Terima kasih,” Rion mengangguk.
“Dan alasan kenapa aku memanggilmu kemari adalah ini.”
Jason mengambil tas coklat yang dibawanya dan mengeluarkan isinya. Dua buah kotak kardus kecil masing-masing dinamai dengan nama Jason dan Rion.
“Ini…”
“Ini peninggalan terakhir dari Keiko.” Kata Jason, membuat Rion terbelalak. “Sehari setelah kematian Keiko, seorang kurir barang datang dan memberikan ini padaku beserta sepucuk surat yang mengatakan aku harus memberikan salah satu kotak, yang ditulisi namamu padamu.”
Jason menatap kotak di tangannya, “Aku juga mendapat kotak yang sama, tapi aku yakin isinya berbeda.” katanya bergurau, “Aku baru berani memberikan ini padamu karena aku tahu, masa-masa awal Keiko tidak ada benar-benar menguras tenaga dan pikiran kita, iya, kan?”
Rion tidak menjawab, tidak juga mengangguk mengiyakan pertanyaan Jason. Matanya terpaku pada kotak yang bertuliskan namanya. Tulisan Keiko… tulisan tangan Keiko yang menulis namanya.
Jason menyorongkan kotak milik Rion, “Ini, ambillah. Sekarang sudah satu tahun sejak kematian Keiko, aku yakin kamu bisa membuka kotak ini tanpa terbayang-bayang kenangan pahit itu, kan?”
“Kau yakin aku boleh mengambilnya?” tanya Rion.
“Tentu saja. Kotak itu bertuliskan namamu. Selain itu…” Jason menghela nafas. “… ini adalah salah satu permintaan Keiko padaku saat dia dirawat di rumah sakit waktu itu.”

◊◊◊

Begitu pulang ke mansion, Rion langsung menuju studio lukisnya dan mengurung diri di sana. Dia bahkan tidak mengindahkan pelayan yang memberitahu kalau Henny akan datang ke mansion.
Rion duduk di kursi yang menghadap lukisan Keiko yang dibuatnya. Lukisan Keiko yang menampakkan gadis itu sedang memainkan biola dengan latar belakang kebun bunga dan sepasang sayap di punggung gadis itu. Ia lalu menatap kotak di tangannya. Dia masih ingat apa kata-kata Jason sesaat sebelum mereka berpisah dari kafe.
Keiko menitipkan sesuatu yang berharga untukmu. Dan aku yakin, kamu menyadarinya.” Kata Jason waktu itu diiringi dengan senyum misterius. Entah apa maksud ucapan laki-laki itu.
Rion mengelus kotak itu dan menatap tulisan tangan Keiko yang menuliskan namanya.
Dia menelan ludah dan mulai melepas perekat kotak itu. Ketika dia membukanya, dia menemukan alat perekam suara, dan sebuah amplop putih. Rion menatap perekam suara itu dengan kening berkerut. Dia pernah melihat perekam suara itu ketika mengunjungi Keiko di rumah sakit saat gadis itu berlatih biola di sela-sela perawatannya.
Rion mengambil amplop di dalam kotak itu dan merobeknya. Di dalamnya ada empat lembar kertas berwarna biru muda. Surat dari Keiko.
Dear Rion, di manapun kamu berada
Mungkin saat kamu membaca surat ini, aku tidak ada disampingmu lagi. Sebelumnya, aku minta maaf, karena meninggalkanmu begitu cepat. Aku yakin, kamu marah padaku karena aku meninggalkanmu, iya, kan?
Apakah kamu sudah menemukan hati yang lain? Apakah gadis yang menjadi kekasihmu sekarang menyayangimu sepenuh hatinya? Kalau iya, aku turut senang. Karena itu berarti, gadis itu bisa menggantikanku untuk mengobati luka hatimu setelah aku pergi.
Aku menulis surat ini, karena ada sesuatu yang ingin kusampaikan padamu. Aku tidak sempat mengatakannya di setiap kita bertemu, tapi, di sini, aku akan mengatakannya.
Kau tahu, sejak pertama kali kita bertemu di bandara waktu itu, aku selalu merasa pernah mengenalmu. Ada suatu perasaan aneh yang mengatakan dan berteriak kalau kita saling mengenal. Apa kamu merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan? Kalau iya, mungkin benar. Karena saat aku menatap matamu, aku baru sadar siapa kamu.
Kamu adalah Pangeran Tampan di masa kecilku. Aku ingat, kamu adalah anak laki-laki kecil yang menolongku menolong kucing di taman. Aku juga ingat kamu adalah anak laki-laki yang sering menghabiskan waktu untuk bermain bersamaku, sebelum akhirnya kamu menghilang dan membuatku menangis berhari-hari(aku serius!).
Kau tahu, aku selalu mencarimu sejak kau menghilang dari Jepang waktu itu. Saat aku mendengar kau pergi dari Jepang dan tidak akan pernah kembali, aku menangis berhari-hari dan menyebabkan aku demam parah beberapa hari setelahnya. Dan sejak itulah kesehatanku memburuk. Saat itu adalah saat-saat terberat dalam hidupku, karena sejak hari itulah, aku harus mengikuti saran dokter untuk menjalani diet ketat, meminum obat-obatan yang sudah tidak terhitung jumlahnya, bahkan mencoba untuk mengikuti terapi yang selalu membuatku kesakitan dan ingin menangis.
Tapi, aku punya motivasi, seperti semua orang yang ingin sembuh dan kembali lagi bersama orang-orang yang dicintainya. Akupun memiliki impian, motivasi, dan segala hal yang ingin kulakukan ketika aku sembuh.
Dan kamulah motivasiku hingga bisa terus bertahan, bisa bertemu denganmu lagi. Kamulah orang yang menjadi motivasiku agar bisa sembuh dan bisa menghadapi dunia sekali lagi dengan kepala tegak.
Saat kamu menyatakan perasaanmu padaku di ruang kesenian waktu itu, aku tidak bisa berpikir jernih. Tatapanmu itu benar-benar membuatku gugup dan salah tingkah. Dari mana, sih kamu belajar menatap dengan tatapan dalam seperti itu? Tapi, aku tidak pernah menyalahkan hal itu. Malah, hal itulah yang kusuka darimu. Dan ciuman pertama kita saat itu… aku tidak bisa berhenti memikirkannya bahkan untuk sedetik saja.
Tapi, aku tahu, aku tidak mungkin bersanding denganmu. Saat kamu menyatakan perasaanmu padaku, aku berpikir, apakah kamu mau menerimaku yang sakit-sakitan seperti ini, walau saat itu aku belum memberitahumu, tapi cepat atau lambat, kamu pasti akan tahu. Dan ketika aku memikirkan, tidak ada salahnya untuk mencoba berharap, aku menerima cintamu, dengan sepenuh hati karena aku sudah mencintaimu sejak lama.
Rion, kau tahu…
Terkadang, aku marah pada takdirku yang menderita penyakit mengerikan ini. Aku bahkan sempat berniat bunuh diri ketika aku tahu aku memiliki penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Kadang aku berharap aku mempunyai tubuh yang sehat, dan tanpa beban bisa melihat dunia untuk waktu yang lama. Takdir tidak pernah memandang bulu siapapun yang ditemuinya. Mungkin, ini juga berlaku bagiku, bagimu, dan bagi kita berdua. Namun, jangan pernah menyalahkan takdir, karena dengan adanya takdirlah, kita bisa bertemu lagi.
Karena takdirlah, aku bisa mengenalmu, dan mengajariku perasaan hangat yang kusebut cinta seorang kekasih.
Selama ini, aku selalu menyalahkan diri sendiri, karena akulah, Papa sampai harus meninggalkan dunia music yang disukainya. Karena penyakitkulah, Papa meninggalkan karirnya di dunia music dan mencurahkan perhatiannya pada perusahaan property yang diwarisi beliau dari Kakek. Selama ini juga, aku berusaha membayar kesedihan beliau dengan menggantikan beliau memegang dan memainkan Stradivarius beliau. Menggantikan nada-nada indah yang selalu beliau mainkan untukku di kala aku kecil. Dan ketika Papa, dan Mama tersenyum, semua kerja kerasku rasanya terbayarkan.
Mungkin itu hanya semacam pelarian, tapi aku tidak pernah menyangka bisa sukses dalam bidang music, yang awalnya tidak pernah kupikirkan, padahal aku lebih memilih menjadi perancang busana, seperti ibu kandungku, Oda Maya.
Rion, maukah kamu menyampaikan pada Papa bahwa aku minta maaf karena membuat beliau meninggalkan dunia music yang menjadi hidupnya? Tolong sampaikan pada Papa kalau aku sangat menyayangi beliau dan minta maaf sebesar-besarnya karena aku selalu merepotkan beliau dan juga Mama, yang melimpahiku dengan kasih sayang layaknya ibu kandung sejati selama ini.
Rion, aku juga tidak pernah menyesal bisa bertemu denganmu lagi, malah, aku bersyukur karenanya. Aku bersyukur aku bisa bertemu denganmu lagi, berbicara denganmu, bahkan bisa melewatkan waktu bersamamu. Semua itu adalah hal yang sangat berarti bagiku.
Rion… jangan pernah menyesali apa yang sudah terjadi. Aku tahu kamu marah kalau aku mengatakan hal-hal seperti ini. Tapi, percayalah,
Rion…
Mungkin kamu membenci semua yang terjadi pada dirimu, tapi tolong jangan menyalahkan dirimu sendiri. Semua sudah digariskan oleh-Nya, dan kita hanya bisa menerimanya walau sudah merencanakan apa yang sudah kita inginkan sebaik mungkin. Kita hanya bisa menerima, pasrah, dan berserah pada-Nya, agar semua yang kita inginkan setidaknya bisa dicapai oleh orang yang akan menggantikan kita seandainya kita tidak ada lagi di dunia.
Aku bisa merasakan kemarahan, kesedihan, dan ketakutanmu ketika kamu menceritakan peristiwa bunuh diri ayahmu. Aku juga bisa merasakan apa yang kamu rasakan, walau kamu tidak mengatakannya, seolah kita sudah terhubung sejak lama.
Aneh, ya? Apa kamu menganggapnya aneh juga?
Namun, aku benar-benar bersyukur semua itu terjadi pada kita. Aku bahkan tidak peduli jika ternyata kamu memiliki orang lain yang mampu membuatmu tersenyum dan melupakanku. Menjadi pengagum rahasiamu saja sudah membuatku senang.
Rion,
Apa kamu tahu, dunia ini tidak seperti warna hitam-putih. Banyak sekali warna-warna yang menghiasi dunia ini. Karena itulah, aku ingin menunjukkanmu warna-warna itu dengna caraku sendiri. Dalam kotak yang kuberikan padamu terdapat alat perekam suara, kan? Dalam perekam suara itu, aku sudah merekam lebih dari 30 lagu yang kumainkan selama aku dirawat di rumah sakit di Tokyo. Aku juga sedikit bernyanyi di beberapa lagu, dan kuharap kamu mau menyimpannya, mendengarkannya, atau kalau perlu, bisa kamu berikan pada kekasihmu yang baru. Aku juga memberikan salinan rekaman itu pada Kak Jason untuk diserahkan pada label rekaman yang selama ini bekerja sama denganku untuk dibuat dalam bentuk album baru.
Kamu adalah orang pertama yang mendengarkan lagu-lagu baruku. Dan dengan lagu-lagu itu, aku berharap bisa menunjukkan sisi dunia yang penuh warna dan tidak membuatmu bersedih lagi.
Apakah aku berhasil? Apakah aku bisa menunjukkan semua warna itu padamu?
Dari dulu, aku selalu berandai-andai. Andai kita tidak pernah bertemu sejak awal, apakah kamu memiliki perasaan cinta pada pandangan pertama ketika kita bertemu di bandara waktu itu? Jujur, kalau itu benar-benar terjadi, kurasa aku akan jatuh cinta pada pandangan pertama. Bukan karena kamu dingin atau jutek, apalagi cuek. Tapi, karena aku bisa merasakan bahwa aku akan jatuh cinta padamu juga pada akhirnya.
Aku bukannya ge-er, tapi, aku yakin hal itu akan terjadi.
Kalau waktu kecil kita tidak pernah bertemu, apa kamu akan merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan?
Kalau dulu kita tidak pernah bertemu, apa kamu menyadari bahwa dunia tidak hanya hitam dan putih?
Bila saat itu aku tidak menyapamu lebih dulu di bandara, apa kamu akan menoleh kearahku?
Ketika dunia monoton-mu menghilang dan berubah menjadi penuh warna, warna apa yang kau lihat? Apakah warna-warna itu sama dengan yang pernah menghiasi hari-harimu saat bertemu denganku?
Aku tahu aku tidak punya banyak waktu untuk mengungkapkan semuanya. Aku bahkan tahu, waktuku di dunia ini tidak akan lama, seolah semuanya sudah menjadi takdirku…
Tapi, kumohon jangan pernah lupakan apa arti warna-warna dalam hidupmu. Warna-warna itu akan menuntunmu kearah yang lebih baik, yang lebih indah daripada yang pernah kutunjukkan padamu. Kuharap aku tidak berpikiran muluk ketika aku memikirkan kau sedang tersenyum, menahan tangis yang sedang menggenang di kedua matamu.
Mungkin hanya itu yang bisa kutuliskan dalam surat ini. Aku tidak tahu apakah kamu membacanya sampai akhir, atau bahkan tidak melirik surat ini sama sekali. Namun, setidaknya, aku sudah mengatakan secara jelas dalam surat ini, bahwa apapun yang terjadi di kemudian hari, aku akan mencintaimu apa adanya. Bahkan semua kekuranganmu. Sama seperti rasa cintaku pada kedua orangtuaku dan juga orang-orang yang kusayangi, dan itu termasuk dirimu.
Kuharap kamu tidak marah bahwa aku mencintaimu tanpa kusadari sejak aku kecil. Aku berharap kamu mau mengabulkan permintaanku yang egois ini.
Dan aku punya satu permintaan lagi, satu-satunya permintaan yang kuingin kamu terus ingat, dan tidak akan pernah kamu lupakan.
Cintai aku seperti kau mencintai lukisan-lukisanmu…
Cintai aku seperti aku tidak pernah merasakan kesakitan apa pun…
Dan cintai apa yang kau punya, walau itu berarti tanpa adanya diriku di sisimu…
Keiko
Mata Rion basah oleh air mata setelah dia membaca surat itu. Airmatanya tidak bisa dibendung lagi. Dia memeluk surat itu erat-erat, membayangkan bahwa itu adalah Keiko. Membayangkan gadis itu ada dalam pelukannya.

◊◊◊

Rion menghubungi Jason setelah dia bisa mengendalikan tangisnya. Sesuai isi surat Keiko, Jason juga menerima salinan rekaman lagu-lagu Keiko dalam bentuk memory card yang sudah dipindahkan Jason ke dalam bentuk CD dan siap untuk dikirim ke studio label rekaman yang pernah mengontrak Keiko sebagai pemain biola mereka.
“Aku akan memastikan album ini terbit. Jadi, tunggu saja tanggal mainnya.” Janji Jason. “Ini adalah kenang-kenangan terakhir Keiko. Dan aku yakin, semua fans Keiko akan senang menerima kenang-kenangan ini.”
Dan enam bulan kemudian. Album baru Keiko terbit dan sukses menembus pasaran internasional. Album yang diberi judul The Last Melody of Keiko (Jason yang memilih nama itu) tersebut laku keras tidak hanya di Indonesia, tapi juga di berbagai negara, di manapun fans-fans Keiko tersebar. Jason yang menangani proses penerbitan album itu mengadakan konser untuk mengenang Keiko dengan memainkan lagu-lagu dalam album itu di Indonesia, di gedung tempat Keiko dulu juga mengadakan konser.
Rion mendapatkan undangannya. Begitu juga Henny dan keluarganya, serta orangtua angkat Keiko, Rafael dan Helena Stanley. Ibu kandung Keiko, yang juga ibu Jason juga mendapatkan undangan. Rion sempat beberapa kali berkunjung menemui mereka, sekedar menanyakan kabar dan bertukar cerita. Helena, ibu angkat Keiko tampak tegar dan sudah bisa menerima putri kesayangannya meninggal begitu cepat. Begitu juga Oda Maya, ibu kandung Keiko yang baru beberapa hari bertemu putrinya, harus menerima kenyataan bahwa putrinya itu meninggal sebelum sempat menghabiskan waktu bersamanya. Tapi, seiring waktu, luka itu telah pulih, dan semua orang sudah bisa menerima bahwa Keiko sudah tidak ada.
Ketika malam datang, Rion mengambil perekam suara yang diberikan Keiko padanya dan memasang earphone di sana. Dia lalu menekan tombol play dan lagu Keiko yang berjudul Your Symphony – Paint Your World, terdengar di telinganya. Dia ingat lagu itu adalah lagu yang dimainkan serta dinyanyikan Keiko ketika malam konser itu, di mana Keiko meninggal.
Cowok itu teringat permintaan terakhir Keiko dalam suratnya. Permintaan agar Rion tetap mengingat Keiko, permintaan agar Rion tetap menatap dunia walau gadis itu tidak ada lagi di sisinya.
Rion tentu saja tidak akan melupakan Keiko. Tidak akan pernah, karena nama gadis itu sudah terpahat kuat di dalam hati Rion, selamanya.





~EPILOGUE~

Rion menggigil kedinginan. Musim dingin di Tokyo ternyata lebih dingin dari dugaannya. Dia menghembuskan nafas dan hembusan nafasnya berubah menjadi seperti asap rokok putih. Seharusnya sebelum memutuskan berjalan-jalan dia membawa syal. Sekarang dia kedinginan, dan dia tidak berniat untuk mengambil syalnya yang ketinggalan di rumah teman ibunya. Dia tahu ibunya sudah lama tidak bertemu dengan temannya yang tinggal di komplek perumahan ini dan Rion memilih untuk menghabiskan waktu di luar, walau itu berarti dia harus tahan dengan udara dingin yang menusuk tulang.
Sayup-sayup dia mendengar suara isak tangis. Rion mengerutkan kening, mengira-ngira siapa yang sedang menangis. Teman ibunya bilang di dekat sini ada taman bermain untuk anak-anak komplek. Dan Rion cukup yakin suara tangis itu berasal dari sana.
Penasaran, Rion melangkahkan kakinya yang beralaskan sepatu bot tebal menuju asal suara tersebut. Ketika dia sampai di taman itu, dia melihat seorang anak perempuan kecil menangis di bawah sebatang pohon. Pipi gadis kecil itu memerah entah karena menangis atau terkena angin musim dingin atau dua-duanya.
Rion mendekati gadis kecil itu. Si gadis kecil menyadari kedatangannya dan menatap kearahnya. Gadis kecil itu sangat cantik, dengan mata seperti boneka dan rambutnya panjang berwarna coklat. Di pipi gadis itu terdapat jelas bekas aliran airmata yang masih mengalir.
“Kenapa kamu menangis?” tanya Rion.
Gadis kecil itu, masih dengan terisak-isak, menunjuk keatas pohon. Rion tidak mengerti maksud gadis kecil itu, dan awalnya berpendapat bahwa gadis itu menangis karena tersesat.
Tapi, kemudian dia mendengar suara kucing dan dia menoleh keatas, tepat kearah seekor kucing berwarna kelabu yang kelihatannya ketakutan untuk turun. Rion menatap gadis kecil yang masih menangis itu dan kucing di atas pohon, dan mengerti apa yang terjadi.
Rion mendekati pohon itu dan memanjatnya. Agak sulit, karena pohon itu kering dan dingin walau batangnya besar. Tapi, Rion berhasil memanjat sampai ke dahan tempat kucing itu berada dan mengangkat lembut kucing itu ke dalam pelukannya. Rion melompat ke bawah dengan mudah dan masih melihat gadis kecil itu menangis.
Rion menunggu sampai gadis kecil itu berhenti menangis, dan ketika gadis kecil itu menoleh, matanya terbelalak melihat Rion dan kucing di tangannya.
“Ini,” kata Rion, “Kucingnya berhasil kuselamatkan.”
Rona merah di pipi gadis itu makin terang dan senyum lebar tersungging di wajahnya yang manis. Gadis kecil itu langsung memeluk si kucing ketika sudah berada di tangannya dan mengelus-elus bulunya.
“Terima kasih… Pangeran Tampan.” Kata gadis kecil itu.
Rion mengerjap, agak kaget. Dia tidak menyangka gadis kecil itu akan memanggilnya Pangeran Tampan. Seperti dongeng-dongeng cengeng saja!
Tapi… entah kenapa Rion tidak keberatan. Sebaliknya, dia malah merasa senang gadis kecil itu memanggilnya demikian.
“Siapa namamu?” tanya Rion, membuat gadis kecil itu mendongak, “Kalau aku Pangeran Tampan, berarti aku harus tahu namamu agar aku bisa memanggilmu Tuan Putri.”
Pipi gadis kecil itu merona lagi. Dia menundukkan kepalanya dan terlihat malu karena Rion menanyakan namanya.
“Keiko,” kata gadis kecil itu lirih. “Namaku… Keiko.”

♪♪♪♪♪

0 komentar:

Posting Komentar