Sudah sebulan Keiko bersekolah di akademi,
dan selama itu, dia mendapatkan pengalaman yang menarik. Yah… kalau godaan dan
rayuan dari Pak Gunawan yang kebetulan mengajar kelas music, dan tatapan sinis
penuh ancaman dari Melissa dan teman-temannya memang sering dia rasakan. Tapi,
Keiko tidak pernah ambil pusing. Dia lebih sering mengajak bicara Henny dan
teman-temannya yang lain, sambil sesekali membantu mereka memahami pelajaran
yang tidak mereka mengerti. Rupanya otak Keiko encer juga. Dia bahkan bisa
menjawab soal matematika yang menurut teman-temannya bagai peringatan untuk
segera dihukum mati (eh?).
Tapi, pengalaman yang paling menarik
menurut Keiko adalah memperhatikan Rion melukis. Dia sempat beberapa kali
melihat cowok itu di ruang kesenian, melukis sesuatu sebentar, kemudian
menghapusnya, lalu mengulang lagi dari awal. Kegiatan itu jadi keasyikan
tersendiri bagi Keiko di sela-sela latihan biolanya sebelum konser biola
tunggalnya bulan depan.
Kadang, Keiko masuk ke dalam ruang
kesenian dan memperhatikan cowok itu dari dekat, walau itu berarti ada jarak
sekitar 6 meter diantara mereka. Lagipula, Rion terlalu serius memperhatikan
lukisannya, jadi Keiko bisa dengan puas menatap Rion dari dekat.
Tapi, rupanya, kegiatan ini diketahui
oleh Henny. Dan temannya itu memperingatkan Keiko kalau Melissa and the gang
melabraknya lagi.
“Kamu tidak takut kalau mereka
melabrakmu lagi?” tanya Henny sambil mencomot sepotong kue coklat yang
disediakan pelayan Keiko.
Sekarang mereka sedang di kamar Keiko.
Henny datang karena ingin menginap di rumahnya, dan Keiko sama sekali tidak
keberatan. Di samping ayahnya pasti akan pulang larut malam, Keiko juga senang
malam ini ada yang menjadi penonton pertamanya sebelum konsernya digelar bulan
depan.
Keiko yang sedang asyik memainkan game di ponselnya mendongak.
“Memangnya ada kemungkinan mereka
melabrakku lagi?” tanya Keiko balik.
“Ya… tidak, sih. Tapi, kan jaga-jaga
saja.” kata Henny, “Lagipula, kamu itu sudah dikenal sejak pertama kali masuk,
dan semakin terkenal setelah berhasil mengajak Rion bicara di kelas. Kamu
bahkan disebut malaikat karena hal itu.”
Keiko terkekeh geli dan kembali
melanjutkan permainannya.
Henny minum jus lecinya dan duduk di
sebelah Keiko. Dia memperhatikan Keiko lama, sebelum akhirnya menanyakan
sesuatu yang mengganjal pikirannya akhir-akhir ini.
“Keiko, apa kamu suka dengan Rion?”
“Hah?”
“Jangan salah paham dulu. Aku hanya
melihat akhir-akhir ini Rion mulai bisa menerima kehadiranmu.” Kata Henny.
“Rion yang kukenal itu sangat tertutup dan nyaris tidak pernah bicara
panjang-lebar pada siapa pun kecuali aku. Tapi, ketika kamu mengajaknya bicara,
dia mulai bisa… membuka diri.”
“Itu pengaruh yang bagus, atau buruk?”
tanya Keiko.
“Pengaruh bagus, sebenarnya.” Jawab
Henny, “Tapi, aku penasaran. Beredar gossip kalau kamu mulai suka pada Rion.
Makanya aku bertanya padamu apa kamu suka padanya, atau tidak.”
Keiko memiringkan kepalanya. Rasanya
dia tidak pernah tertarik pada cowok manapun. Sejak dia mulai dijodohkan oleh
ibunya, Keiko agak anti dengan cowok. Tapi, saat bersama Rion, Keiko merasa
bebas berbicara mengenai apa saja. Rion selalu bisa diajak mengobrol banyak
hal, mulai dari pelajaran, sampai urusan social.
Tapi, apa itu bisa disebut cinta?
Perasaan nyaman mengobrol apa adanya dengan orang lain, apa itu bisa disebut
cinta?
“Keiko?”
“Aku tidak tahu,” kata Keiko
menggeleng, “Aku hanya merasa Rion adalah teman yang baik. Itu saja.”
“Benar?”
“Iya… kalau misalkan aku benar-benar
jatuh cinta padanya, aku akan memberitahumu lebih dulu.” Kata Keiko bercanda.
Henny terdiam mendengar jawaban Keiko.
Dia tidak membalasnya. Pikirannya tiba-tiba berkelana ke tempat lain sementara
Keiko kembali sibuk dengan game-nya.
◊◊◊
Sudah tengah malam, tapi Keiko belum
bisa memejamkan mata. Pembicaraannya dengan Henny mengenai rasa suka itu mau
tidak mau mengusiknya juga. Dia masih memikirkan, apa benar dia jatuh cinta
pada Rion? Semudah membalikkan telapak tangan?
Keiko menghembuskan nafas dan duduk. Dia
melirik kearah Henny yang sudah tertidur pulas.
Dengan perlahan, ia bangkit dari tempat
tidur dan berjalan keluar dari kamarnya. Entah kenapa, tiba-tiba di haus, dan
ingin minum.
Keiko melangkah pelan menyusuri koridor
lantai tiga, lantai di mana hanya ada kamarnya saja di rumah megahnya ini.
Koridor itu sepi, dan hanya beberapa lampu saja yang dinyalakan. Dia menggigil ketika
merasakan hawa dingin menerpa tubuhnya. Aneh. Padahal tidak ada jendela di
koridor kecual di kamarnya. Kenapa dia bisa menggigil?
“Keiko?”
Gadis itu mendongak dan melihat siluet
seorang pria melangkah mendekatinya.
“Papa? Papa sudah pulang?”
Rafael Stanley berjalan mendekati
putrinya yang memeluk dirinya sendiri seolah sedang kedinginan. Laki-laki paruh
baya itu masih kelihatan bugar, muda, dan tampan. Rambutnya yang berwarna
coklat dengan sulur emas dan bentuk wajahnya yang kokoh dan tegas membuat
penampilan beliau terlihat sempurna. Darah bangsawan Inggris di dalam tubuh
beliau mengalir kental pada wajah beliau.
Keiko menghampiri papanya dan
memeluknya.
“Baru kali ini aku melihat Papa sudah
di rumah.” Kata Keiko, “Pulang cepat?”
“Kamu tidak senang Papa pulang cepat?”
tanya Papanya pura-pura cemberut.
Keiko terkekeh melihat raut wajah
cemberut papanya.
“Kamu sendiri kenapa keluar kamar?
Sekarang sudah tengah malam, kan?”
“Aku haus, makanya mau ke dapur.” jawab
Keiko.
“Kamu ini…” Papanya mengacak-acak
rambut putrinya, “Kamu, kan bisa minta tolong pelayan untuk mengambilkan air
untukmu? Kenapa kamu malah memaksakan diri untuk turun ke lantai bawah?”
“Aku tidak memaksakan diri, kok.” Keiko
tersenyum, “Justru dengan sering bergerak, aku merasa lebih sehat.”
Ucapan Keiko membuat papanya agak
merenung. Beliau menatap putri semata wayangnya itu dengan tatapan sedih. Dan
Keiko tahu papanya menatapnya.
“Pa…”
“Papa minta maaf, tidak menyadari
penyakitmu lebih cepat.” ujar beliau, “Papa tidak pernah bisa memaafkan diri
Papa melihatmu kesakitan setiap kali serangan itu datang.”
“Pa… sudahlah. Hal itu nggak usah
diungkit lagi.” kata Keiko, “Harusnya Keiko yang minta maaf sama Papa. Karena
Keiko, Papa harus meninggalkan dunia music.”
Papanya menggeleng pelan, “Tidak… itu
bukan salahmu, sayang.” Katanya.
Keiko tersenyum kecil dan kemudian
kembali berjalan.
“Kamu mau ke mana?”
“Kan, Keiko mau ke dapur. Haus, Pa…”
kata Keiko sambil nyengir.
Pria setengah baya itu mengerjapkan
mata dan geleng-geleng kepala. Beliau lalu menghampiri Keiko dan mengangkat
tubuhnya, membuat Keiko terpekik kaget dan langsung melingkarkan lengannya di
leher ayahnya.
“Papa?”
“Papa akan membawamu turun ke bawah.
Kamu tidak perlu berjalan.” Kata Papanya, “Lain kali, minta pelayan untuk
menyediakan seteko air di kamarmu untuk jaga-jaga kalau kamu kehausan di tengah
malam.”
“Iya, Pa…” Keiko terkekeh, “Eh, Pa,
kenapa sekalian nggak digendong di pundak?”
“Memangnya kamu masih kecil, sudah
besar begini. Bisa-bisa bahu Papa pegal-pegal, lagi.”
Kini Keiko tertawa terbahak-bahak
bersama ayahnya.
0 komentar:
Posting Komentar