Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Kimi no Symphony - chapter 5



Sudah sebulan Keiko bersekolah di akademi, dan selama itu, dia mendapatkan pengalaman yang menarik. Yah… kalau godaan dan rayuan dari Pak Gunawan yang kebetulan mengajar kelas music, dan tatapan sinis penuh ancaman dari Melissa dan teman-temannya memang sering dia rasakan. Tapi, Keiko tidak pernah ambil pusing. Dia lebih sering mengajak bicara Henny dan teman-temannya yang lain, sambil sesekali membantu mereka memahami pelajaran yang tidak mereka mengerti. Rupanya otak Keiko encer juga. Dia bahkan bisa menjawab soal matematika yang menurut teman-temannya bagai peringatan untuk segera dihukum mati (eh?).

Tapi, pengalaman yang paling menarik menurut Keiko adalah memperhatikan Rion melukis. Dia sempat beberapa kali melihat cowok itu di ruang kesenian, melukis sesuatu sebentar, kemudian menghapusnya, lalu mengulang lagi dari awal. Kegiatan itu jadi keasyikan tersendiri bagi Keiko di sela-sela latihan biolanya sebelum konser biola tunggalnya bulan depan.
Kadang, Keiko masuk ke dalam ruang kesenian dan memperhatikan cowok itu dari dekat, walau itu berarti ada jarak sekitar 6 meter diantara mereka. Lagipula, Rion terlalu serius memperhatikan lukisannya, jadi Keiko bisa dengan puas menatap Rion dari dekat.
Tapi, rupanya, kegiatan ini diketahui oleh Henny. Dan temannya itu memperingatkan Keiko kalau Melissa and the gang melabraknya lagi.
“Kamu tidak takut kalau mereka melabrakmu lagi?” tanya Henny sambil mencomot sepotong kue coklat yang disediakan pelayan Keiko.
Sekarang mereka sedang di kamar Keiko. Henny datang karena ingin menginap di rumahnya, dan Keiko sama sekali tidak keberatan. Di samping ayahnya pasti akan pulang larut malam, Keiko juga senang malam ini ada yang menjadi penonton pertamanya sebelum konsernya digelar bulan depan.
Keiko yang sedang asyik memainkan game di ponselnya mendongak.
“Memangnya ada kemungkinan mereka melabrakku lagi?” tanya Keiko balik.
“Ya… tidak, sih. Tapi, kan jaga-jaga saja.” kata Henny, “Lagipula, kamu itu sudah dikenal sejak pertama kali masuk, dan semakin terkenal setelah berhasil mengajak Rion bicara di kelas. Kamu bahkan disebut malaikat karena hal itu.”
Keiko terkekeh geli dan kembali melanjutkan permainannya.
Henny minum jus lecinya dan duduk di sebelah Keiko. Dia memperhatikan Keiko lama, sebelum akhirnya menanyakan sesuatu yang mengganjal pikirannya akhir-akhir ini.
“Keiko, apa kamu suka dengan Rion?”
“Hah?”
“Jangan salah paham dulu. Aku hanya melihat akhir-akhir ini Rion mulai bisa menerima kehadiranmu.” Kata Henny. “Rion yang kukenal itu sangat tertutup dan nyaris tidak pernah bicara panjang-lebar pada siapa pun kecuali aku. Tapi, ketika kamu mengajaknya bicara, dia mulai bisa… membuka diri.”
“Itu pengaruh yang bagus, atau buruk?” tanya Keiko.
“Pengaruh bagus, sebenarnya.” Jawab Henny, “Tapi, aku penasaran. Beredar gossip kalau kamu mulai suka pada Rion. Makanya aku bertanya padamu apa kamu suka padanya, atau tidak.”
Keiko memiringkan kepalanya. Rasanya dia tidak pernah tertarik pada cowok manapun. Sejak dia mulai dijodohkan oleh ibunya, Keiko agak anti dengan cowok. Tapi, saat bersama Rion, Keiko merasa bebas berbicara mengenai apa saja. Rion selalu bisa diajak mengobrol banyak hal, mulai dari pelajaran, sampai urusan social.
Tapi, apa itu bisa disebut cinta? Perasaan nyaman mengobrol apa adanya dengan orang lain, apa itu bisa disebut cinta?
“Keiko?”
“Aku tidak tahu,” kata Keiko menggeleng, “Aku hanya merasa Rion adalah teman yang baik. Itu saja.”
“Benar?”
“Iya… kalau misalkan aku benar-benar jatuh cinta padanya, aku akan memberitahumu lebih dulu.” Kata Keiko bercanda.
Henny terdiam mendengar jawaban Keiko. Dia tidak membalasnya. Pikirannya tiba-tiba berkelana ke tempat lain sementara Keiko kembali sibuk dengan game-nya.

◊◊◊

Sudah tengah malam, tapi Keiko belum bisa memejamkan mata. Pembicaraannya dengan Henny mengenai rasa suka itu mau tidak mau mengusiknya juga. Dia masih memikirkan, apa benar dia jatuh cinta pada Rion? Semudah membalikkan telapak tangan?
Keiko menghembuskan nafas dan duduk. Dia melirik kearah Henny yang sudah tertidur pulas.
Dengan perlahan, ia bangkit dari tempat tidur dan berjalan keluar dari kamarnya. Entah kenapa, tiba-tiba di haus, dan ingin minum.
Keiko melangkah pelan menyusuri koridor lantai tiga, lantai di mana hanya ada kamarnya saja di rumah megahnya ini. Koridor itu sepi, dan hanya beberapa lampu saja yang dinyalakan. Dia menggigil ketika merasakan hawa dingin menerpa tubuhnya. Aneh. Padahal tidak ada jendela di koridor kecual di kamarnya. Kenapa dia bisa menggigil?
“Keiko?”
Gadis itu mendongak dan melihat siluet seorang pria melangkah mendekatinya.
“Papa? Papa sudah pulang?”
Rafael Stanley berjalan mendekati putrinya yang memeluk dirinya sendiri seolah sedang kedinginan. Laki-laki paruh baya itu masih kelihatan bugar, muda, dan tampan. Rambutnya yang berwarna coklat dengan sulur emas dan bentuk wajahnya yang kokoh dan tegas membuat penampilan beliau terlihat sempurna. Darah bangsawan Inggris di dalam tubuh beliau mengalir kental pada wajah beliau.
Keiko menghampiri papanya dan memeluknya.
“Baru kali ini aku melihat Papa sudah di rumah.” Kata Keiko, “Pulang cepat?”
“Kamu tidak senang Papa pulang cepat?” tanya Papanya pura-pura cemberut.
Keiko terkekeh melihat raut wajah cemberut papanya.
“Kamu sendiri kenapa keluar kamar? Sekarang sudah tengah malam, kan?”
“Aku haus, makanya mau ke dapur.” jawab Keiko.
“Kamu ini…” Papanya mengacak-acak rambut putrinya, “Kamu, kan bisa minta tolong pelayan untuk mengambilkan air untukmu? Kenapa kamu malah memaksakan diri untuk turun ke lantai bawah?”
“Aku tidak memaksakan diri, kok.” Keiko tersenyum, “Justru dengan sering bergerak, aku merasa lebih sehat.”
Ucapan Keiko membuat papanya agak merenung. Beliau menatap putri semata wayangnya itu dengan tatapan sedih. Dan Keiko tahu papanya menatapnya.
“Pa…”
“Papa minta maaf, tidak menyadari penyakitmu lebih cepat.” ujar beliau, “Papa tidak pernah bisa memaafkan diri Papa melihatmu kesakitan setiap kali serangan itu datang.”
“Pa… sudahlah. Hal itu nggak usah diungkit lagi.” kata Keiko, “Harusnya Keiko yang minta maaf sama Papa. Karena Keiko, Papa harus meninggalkan dunia music.”
Papanya menggeleng pelan, “Tidak… itu bukan salahmu, sayang.” Katanya.
Keiko tersenyum kecil dan kemudian kembali berjalan.
“Kamu mau ke mana?”
“Kan, Keiko mau ke dapur. Haus, Pa…” kata Keiko sambil nyengir.
Pria setengah baya itu mengerjapkan mata dan geleng-geleng kepala. Beliau lalu menghampiri Keiko dan mengangkat tubuhnya, membuat Keiko terpekik kaget dan langsung melingkarkan lengannya di leher ayahnya.
“Papa?”
“Papa akan membawamu turun ke bawah. Kamu tidak perlu berjalan.” Kata Papanya, “Lain kali, minta pelayan untuk menyediakan seteko air di kamarmu untuk jaga-jaga kalau kamu kehausan di tengah malam.”
“Iya, Pa…” Keiko terkekeh, “Eh, Pa, kenapa sekalian nggak digendong di pundak?”
“Memangnya kamu masih kecil, sudah besar begini. Bisa-bisa bahu Papa pegal-pegal, lagi.”
Kini Keiko tertawa terbahak-bahak bersama ayahnya.

0 komentar:

Posting Komentar