Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Kimi no Symphony - Chapter 2



Gadis itu melangkah kearah mereka sambil tersenyum lebar. Rambutnya yang panjang sepunggung dan berwarna coklat dibiarkan tergerai dan hanya ditutupi oleh sebuah topi lebar. Tubuhnya yang tinggi langsing dibalut dress berwarna hijau pastel yang kelihatan serasi dengan kulitnya yang putih. Matanya tertutup oleh kacamata hitam, dan sepertinya, gadis itu tidak ambil pusing kalau dia menjadi pusat perhatian para penumpang di bandara yang sedang menatap kearahnya. Tangannya mendorong sebuah troli barang yang memuat tiga koper besar berwarna biru tua, serta satu kotak biola.

“Keiko!”
Henny menghampiri gadis bernama Keiko itu dan memeluknya. Rion sendiri tidak bergerak dari tempatnya. Matanya menatap lekat-lekat sosok yang sedang dipeluk oleh Henny.
“Kukira aku akan menunggu lama, rupanya kamu sudah menunggu di sini.” kata Keiko sambil melepas kacamatanya. “Kau tidak menunggu lama, kan?”
“Tidak, kok. Aku baru saja datang.” kata Henny, “Ah, ayo, ikut aku.”
Mereka berdua berjalan mendekati Rion. Dan setelah mendekat, Rion bisa melihat wajah gadis itu.
Wajah mungil berbentuk hati, bibir berwarna pink yang menekuk membentuk seulas senyum lembut, hidung mancung dan kecil, serta kedua bola mata berwarna hazel yang tampak seperti mata boneka.
“Keiko, perkenalkan, ini temanku, Rion. Rion, ini Keiko, teman lama yang kubicarakan itu.” Kata
Henny memperkenalkan mereka berdua.
“Aku Keiko, salam kenal, ya?” kata Keiko membungkuk sebelum mengulurkan tangannya. Senyum manis tersungging di wajahnya.
Rion mengerjapkan mata lagi, dan menyambut uluran tangan Keiko.
“Rion Hadi Brawijaya.” Kata Rion.
“Brawijaya? Kamu putra almarhum Handoko Brawijaya?”
Entah kenapa, Rion merasa risih ditatap sepasang mata bak boneka itu. Namun, ia mengangguk menjawab pertanyaan Keiko.
“Wah… aku penggemar berat lukisan ayahmu.” Kata Keiko, kali ini senyumnya makin melebar, “Aku mendapat hadiah lukisan ‗Angel Tears‘ dari Papa saat aku ulang tahun kemarin. Dan katanya itu buatan putra Brawijaya, si pelukis terkenal dari Indonesia. Rupanya itu kamu, ya?”
Lagi-lagi Rion merasa risih. Kali ini, mendengar nada suara Keiko yang terdengar seperti anak kecil.
“Eh… biasa saja.” jawab Rion.
Henny yang melihat sikap Rion yang risih hanya menggeleng-gelengkan kepala. Sepertinya dia harus bekerja keras agar Rion mau menerima Keiko menjadi teman mereka.
◊◊◊
Dalam perjalanan pulang dari bandara, Henny dan Keiko tidak henti-hentinya mengobrol. Mereka mengobrolkan banyak hal, hingga melupakan kalau Rion juga ada di antara mereka. Itu membuat Rion agak keki dan cemberut sepanjang perjalanan.
Kalau begini, untuk apa aku dipaksa ikut? Gerutu Rion dalam hati sambil melirik kearah Henny yang tertawa bersama Keiko yang duduk di kursi penumpang.
Henny mengemudikan mobil sambil terus bicara dengan Keiko, tidak mengindahkan keberadaan Rion di dekatnya.
“Oh ya, Rion tinggal di mansion besar, ya?”
Pertanyaan yang terlontar dari mulut Keiko mau tidak mau membuat Rion menoleh.
“Hah?”
“Kamu tinggal di mansion besar? Kata Henny, mansion tempat tinggalmu sangat besar dan indah. Penuh dengan barang antic.” Kata Keiko.
“Tidak hanya besar, Keiko, tapi juga yang paling tua. Di daerah tempat tinggal kami, hanya mansion Rion yang paling tua. Menurut Bibi Jessica, mansion itu adalah warisan turun-temurun keluarga beliau sejak jaman Belanda.” Kata Henny.
“Heee… aku suka melihat benda-benda antic, selain tua, mereka juga memiliki nilai artistic tersendiri.” Kata Keiko. Pipnya memerah dan itu membuatnya semakin manis.
Nah, lho, kenapa dia menganggap Keiko manis?
Rion menghela nafas dan memijat pelipisnya.
“Kamu kenapa? Sakit?”
Sebuah tangan yang dingin tiba-tiba menyentuh keningnya. Rion sempat terperanjat ketika menyadari tangan dingin itu adalah tangan Keiko. Wajah gadis itu begitu dekat dan membuat Rion bisa mencium wangi parfum beraroma peach dan jeruk yang dipakai oleh gadis itu.
“Aku tidak apa-apa,” kata Rion sambil menepis tangan Keiko dari keningnya, “Aku hanya merasa menjadi kambing congek di sini karena kalian berdua terus berbicara dan melupakan aku.”
“Maafkan aku.” kata Keiko dengan nada bersalah yang nyata. “Aku tidak tahu kalau kamu juga ingin mengobrol dengan kmai. Aku terlalu asyik mengobrol sampai melupakanmu.”
Rion yakin dia tersentuh dengan nada bersalah Keiko, tapi lalu dia mendengus dan menatap keluar jendela. Pikirannya mulai kacau, dan ini bahkan lebih parah daripada dia tidak mendapat ide untuk melukis.
“Jangan merasa bersalah kalau kamu tidak melakukan kesalahan apapun.” Kata Rion datar. “Dan bisakah kita cepat pulang? Aku mulai lapar lagi.”
Henny dan Keiko saling berpandangan bingung, kemudian Henny tersenyum penuh arti pada Keiko yang masih menatap dengan ekspresi bingung.
◊◊◊
Rion menyapukan kuasnya keatas kanvas. Kali ini, dia berusaha membuat lukisan yang menggambarkan seorang wanita yang berada di dalam dunia fantasinya. Dengan gaun biru muda dan sedang memeluk boneka berbentuk kelinci, alih-alih adalah makhluk fantasi yang ada di dunia tersebut.
Pagi ini, Rion terbangun dengan sebuah ide yang tercetus dalam kepalanya. Setelah mengantarkan teman Henny, Keiko, ke kediamannya yang ternyata hanya beberapa blok dari perumahan tempat mereka tinggal, entah kenapa Rion seolah ‗tercerahkan‘. Dia mendapat ide luar biasa yang masih tertutup oleh kabut di kepalanya. Dan pagi ini ide itu langsung menyeruak dalam otaknya dan mendesak ingin dilukiskan.
Ia menatap hasil karyanya setelah selesai, kemudian menggeleng pelan.
Lagi-lagi salah! katanya dalam hati, bersiap mengambil botol alcohol di dekatnya.
Pintu studionya tiba-tiba diketuk. Walau ketukannya pelan, Rion bisa mendengarnya. Dia berpikir pasti Henny yang bertandang ke rumahnya. Hanya Henny yang selalu datang pagi-pagi hanya untuk mengingatkannya untuk mandi maupun makan.
“Masuklah, pintunya tidak dikunci, kok!” seru Rion sambil menyiramkan alcohol ke lukisannya.
Suara pintu terbuka tidak menarik perhatian Rion. Matanya tetap focus pada kanvas di hadapannya. Dengan cepat ia menyingkirkan sisa-sisa cat di kanvas dan mulai melukis laki.
“Jadi begini, ya, penampilanmu ketika sedang berkonsentrasi melukis?”
Suara itu membuat Rion menghentikan kegiatannya. Kepalanya menoleh dan dia berhadapan dengan Keiko yang berdiri di sampingnya sambil tersenyum. Rambut gadis itu dikepang dan dibiarkan jatuh menjuntai di bahu kirinya. Penampilannya pun masih sama seperti yang dilihat Rion ketika menjemputnya di bandara bersama Henny. Dress putih yang dikenakannya dipadukan dengan jaket jins berwarna biru dan juga flat shoes berwarna hitam.
Secara keseluruhan, gadis itu terlihat cantik, tentu saja. Tapi, Rion hanya menghembuskan nafas dan kembali meneruskan kegiatannya.
Keiko duduk di samping Rion dan ikut memerhatikan lukisan yang dibuat oleh cowok itu. Matanya memperhatikan tangan Rion yang dengan luwes namun cekatan menggoreskan warna-warna indah pada kanvas putih di hadapannya.
“Bagaimana kamu tahu rumahku?” tanya Rion setelah terdiam sekian lama dan merasa jengah ditatap Keiko dari dekat.
“Henny mengajakku kemari. Katanya dia mau membangunkanmu karena menurutnya kamu adalah orang yang paling susah bangun pagi.” jawab Keiko, “Sekarang Henny sedang menyuruh pelayan untuk menyiapkan sarapan, dan aku disuruh kemari untuk memanggilmu.”
Rion hanya manggut-manggut sambil terus melukis.
“Ini lukisan tentang apa?” tanya Keiko.
“Dunia fantasi.”
“Dunia fantasi? Seperti Harry Potter?”
“Kira-kira begitulah…”
Keiko manggut-manggut. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru studio.
Secara keseluruhan, studio ini sangat nyaman. Dengan lantai yang terbuat dari kayu yang dipelitur hingga halus, dinding-dindingnya yang dilapisi bambu berwarna hijau, serta jendela-jendela kaca besar yang dihiasi tirai tipis berwarna putih. Tidak ketinggalan pula berbagai macam tanaman dalam pot yang diletakkan hampir di setiap sisi ruangan. Menjadikan tempat ini begitu asri dan menenangkan.
Keiko tersenyum lebar. Dia sangat menyukai tempat ini. Matanya lalu menatap Rion lagi, yang masih terus berkonsentrasi pada lukisan di hadapannya. Dia ikut memperhatikan lukisan yang sudah setengah jadi itu dan mengerutkan kening.
“Apakah warnanya tidak terlalu berani?” tanya Keiko, “Warna pada bunga yang ini terlalu cerah. Seharusnya warna pada bunga ini menyamakan dengan warna bunga yang satu ini, lalu—”
“Aku tidak butuh komentarmu.”
Keiko mengerjap dan menatap Rion dengan mata dibelalakkan, sementara cowok itu kelihatannya tidak terlalu memperhatikan pelototan dari Keiko.
“Tapi, lukisan ini pasti akan lebih indah kalau warna bunga-bunga ini disesuaikan. Warna yang terlalu berani dan mencolok tidak cocok dengan gaun biru muda yang dikenakan wanita dalam lukisanmu.” Kata Keiko lagi.
“Aku tidak butuh komentarmu.” Kata Rion lagi, kali ini dia memandang tajam pada Keiko, “Hanya aku yang boleh menentukan apa yang cocok untuk lukisanku, dan aku tidak suka orang lain mengomentari lukisan ini sebelum selesai.”
Nada tajam penuh kemarahan itu membuat Keiko mengkeret takut. Dia kembali diam dan memperhatikan Rion yang kembali tenggelam dalam kegiatannya.
Pintu studio sekali lagi terbuka, kali ini dengan suara yang keras dan membuat mereka berdua terkejut. Rion sendiri sempat salah menempatkan sapuan cat pada lukisannya dan membuat cowok itu menggeram frustasi.
“Rion!! Jauhkan tanganmu dari semua peralatan lukismu dan segera mandi!!” kata Henny sambil mendekati Rion, lalu mulai melaksanakan kata-katanya sendiri.
“Hei, aku belum selesai melukis!” ujar Rion tidak rela ketika kuas dan tempat catnya diambil dari tangannya.
Henny meletakkan kedua benda itu jauh-jauh dari jangkauan tangan Rion dan berkacak pinggang.
“Seharusnya kau berterima kasih aku dan Keiko mengunjungimu pagi ini.” kata Henny mendelik pada Rion, seperti kebiasaannya, “Cepat kamu mandi, lalu sarapan! Hari ini kita harus pergi ke akademi untuk mengambil buku-buku pelajaran untuk semester baru, tahu!”
Rion menggerutu panjang-pendek sementara Keiko hanya memandang mereka berdua dengan takjub. Dia tidak menyangka Henny bisa membuat Rion menurut hanya dengan kata-kata tegas dan menurutnya… sedikit kasar.
“Ayo, cepat angkat pantatmu itu dari sini dan segera mandi! Go! Go!”
Henny menarik lengan Rion dan setengah menyeret cowok itu keluar dari studio. Keiko mengikuti mereka di belakang dengan perasaan cemas. Takut kalau Rion tiba-tiba jatuh dan terluka.
“Henny, apa kamu tidak terlalu kasar?” tanya Keiko ketika Rion sudah masuk ke kamar mandi.
“Tidak, tuh. Dia memang perlu diperlakukan seperti itu, karena kalau tidak, dia tidak akan mau keluar dari tempat bertapanya itu.” kata Henny yang disambut tawa geli Keiko.
“Tapi, kurasa kamu terlalu kasar.” Ujar Keiko, “Ingat, Henny, kamu itu perempuan. Jangan terlalu kasar begitu pada laki-laki.”
Henny hanya mengedikkan bahu. Dia memang sudah terbiasa bersikap seperti layaknya lelaki pada Rion. Dan dia tidak berniat mengubah kebiasaannya itu, terutama karena mereka sudah berteman sejak kecil.
Henny lalu mengajak Keiko ke ruang makan dan menunggu Rion di sana. Berbagai macam hidangan lezat sudah tersedia di sana ketika mereka datang. Keiko hanya terkekeh geli mendengar Henny lebih menyukai makan di mansion Rion daripada di rumahnya sendiri.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Rion masuk ke ruang makan dan langsung duduk di kursi di hadapan Keiko. Beberapa pelayan langsung melayani mereka dan suasana sarapan pagi itu terasa lain dari biasanya.
Rion menyadari hal itu. Tapi, dia tidak tahu apa yang membuat suasana pagi itu terasa berbeda.
“Jadi, kita akan pergi ke akademi untuk mengambil buku-buku pelajaran untuk semester baru, juga seragam untuk Keiko.” Kata Henny sambil mengunyah sayuran di dalam mulutnya, “Keiko akan bersekolah di akademi yang sama dengan kita. Aku pernah mengatakan hal itu padamu, kan?”
Rion hanya mengangguk dalam diam. Sesekali matanya melirik Keiko yang memakan makanannya sedikit demi sedikit, seolah mencoba memaksakan diri untuk menelan makanan yang disajikan untuknya.
“Rion, kau mendengarkan aku?” tanya Henny kesal, karena sepertinya Rion tidak mendengarkan ucapannya.
“Aku dengar…” jawab Rion, “Apa kamu tidak suka masakan buatan koki mansionku?”
Awalnya Henny tidak mengerti pada siapa Rion mengajukan pertanyaan itu. Namun, ketika melihat lirikan sekilas Rion, dia baru menyadari kalau cowok itu menanyakan hal tersebut pada Keiko.
“Hei, Keiko,”
Keiko mengerjapkan mata kaget dan mendongak dari makanan di hadapannya.
“Ya?”
“Kamu tidak suka dengan masakan buatan koki mansion ini?” tanya Henny, “Kelihatannya kamu tidak berselera makan. Kamu sakit?”
“Tidak, kok…” Keiko menggeleng sambil tersenyum, “Aku hanya tidak terbiasa makan pagi. Biasanya aku baru sarapan pada jam sepuluh.”
“Maksudmu brunch? Kenapa begitu?”
“Err… tidak ada apa-apa. Hanya saja beberapa hari ini aku makan tidak teratur.” kata Keiko, “Tapi, tidak apa. Aku sudah terbiasa, kok.”
Henny manggut-manggut mengerti, sementara Rion menatapnya dengan tatapan aneh.
◊◊◊
Kali ini, Rion yang menyetir mobil. Dia membiarkan kedua cewek yang menjadi penumpangnya itu mengobrol tanpa henti di kursi belakang. Sesekali dia melirik melalui kaca di tengah dasbor. Tatapannya kadang tertuju pada Keiko, yang menanggapi dengan ceria setiap cerita yang diceritakan Henny. Dia juga melihat gadis itu tertawa lebar, dan rona merah pada pipinya membuatnya tampak lebih cantik.
Mobil memasuki lingkungan akademi seni yang menjadi tempat Rion dan Henny menuntut ilmu. Gedung bertingkat 5 itu tampak megah, dengan dinding berwarna coklat tua dan kaca-kaca jendela yang membentuk nama akademi tersebut.
Akademi itu adalah akademi seni pertama di Indonesia yang merangkap sebagai SD, SMP, dan SMA. Dengan luas yang nyaris mencapai setengah lapangan sepak bola, lapangan bola basket, taman mini yang merangkap sebagai area hijau dalam akademi itu, serta sarana dan prasarana yang lengkap. Juga para guru yang berpendidikan tinggi dan kompeten, menjadikan akademi itu sebagai akademi terbaik sekaligus akademi tersulit untuk dimasuki tanpa standar yang tinggi. Setiap lulusan dari akademi itu banyak yang sukses di bidang seni, sebut saja sebagai pelukis, penyanyi, atau actor.
Mereka bertiga keluar dari mobil dan memasuki gedung akademi. Keiko sempat berseru kagum melihat lobi yang dilapisi keramik berwarna hitam dan lampu Kristal yang menggantung di langit-langit.
“Akademi ini indah sekali.” Kata Keiko. “Aku tidak yakin aku pantas berada di akademi ini. Papa dan Mama memaksaku untuk masuk ke sini, padahal aku ingin ditempatkan di sekolah biasa.”
“Itu artinya, kedua orangtuamu sayang padamu.” Ujar Henny.
Keiko tersenyum mendengar ucapan itu.
Rion sendiri langsung menuju pintu lift dan menekan tombol untuk membuka pintu.
“Gedung SMA memangnya ada di mana?” tanya Keiko, “Kulihat akademi ini hanya satu gedung ini saja.”
“Gedung ini ada lima lantai, dan lantai empat dan lima adalah area SMA.” Jelas Rion, “Lantai satu dan dua adalah area SD, dan lantai tiga adalah area SMP. Kantor administrasi ada di lantai empat. Karena itu kita akan ke sana.”
“Ooo…” Keiko manggut-manggut.
Mereka sampai di lantai empat, dan segera menuju kantor administrasi yang dimaksud. Selama berjalan, Keiko memperhatikan setiap pintu yang terhubung dengan ruang kelas. Dia
tersenyum kecil melihat salah satu ruang kelas yang penuh warna dengan berbagai macam hiasan dari kertas karton warna-warni dan lampion yang terbuat dari botol bekas.
Aku akan berusaha menyesuaikan diri di sini. kata Keiko dalam hati.
◊◊◊
Rion meminum soda yang dibelinya dari mesin penjual minuman otomatis sambil bersandar di dinding. Ia sedang menunggu Keiko dan Henny yang menyelesaikan administrasi pendaftaran Keiko. Rupanya gadis itu sudah terlalu lama menjalani home-schooling dan agak kagok ketika berurusan dengan segala hal yang memusingkan seperti urusan administrasi pendaftaran.
Rion sebenarnya ingin membantu juga, tapi tidak jadi karena dia mendapat telepon dari salah seorang promoter pameran lukisannya. Ketika telepon itu selesai, ia merasa sangat haus dan memutuskan untuk membeli minuman.
Cowok itu melirik jam tangan digitalnya. Sudah hampir satu jam, tapi Henny dan Keiko belum juga keluar dari kantor administrasi. Apakah mengurus berkas-berkas dokumen bisa sebegitu lamanya seperti sekarang?
Ketika dia memutuskan untuk menjemput dua gadis itu, ia melihat Henny berlari kearahnya. Keiko tidak bersamanya, dan itu membuat kening Rion berkerut.
Yah… akhir-akhir ini dia sering sekali mengerutkan kening untuk masalah yang tidak berhubungan dengan lukisan. Banyak masalah yang sedang melandangnya sekarang ini. Tapi, dia berusaha untuk tidak mengambil pusing.
“Kau tahu di mana Keiko?” tanya Henny setelah sampai di hadapan Rion.
“Kamu yang dari tadi bersamanya, kok.” Jawab Rion, “Bukannya tadi dia bersamamu terus?”
Henny menggeleng pelan, “Sebenarnya kami sudah selesai di Kantor Administrasi setengah jam yang lalu. Tapi, salah seorang guru mengajak kami mengobrol dan meminta Keiko untuk
bermain biola. Nah, pada saat itulah kami terpisah. Saat itu aku sedang berada di toilet ketika ternyata Keiko sudah menghilang bersama guru itu.”
“Guru? Siapa?”
“Pak Gunawan.” Jawab Henny.
Rion menghela nafas mendengar nama guru itu. Gunawan Herlangga adalah salah satu guru music dan juga pelajaran matematika di akademi ini, tapi sifatnya tidak mencerminkan seorang guru yang baik. Beliau bahkan mempunyai reputasi buruk sebagi perayu wanita, tidak peduli berapa usia wanita yang ia rayu. Rion tahu itu karena dia pernah melihat beberapa teman perempuannya dirayu oleh guru yang baru berusia 25 tahun itu. Rion tidak pernah suka dengan Pak Gunawan karena… alasan khusus.
“Kau membiarkannya dibawa oleh Pak Gunawan? Belum tahu reputasinya yang buruk, ya?” kata Rion setengah menyindir.
“Aku tahu reputasi beliau, tapi saat itu aku benar-benar kebelet dan tidak bisa menahan untuk pergi ke toilet.” Kata Henny tersinggung, “Jangan pandang aku seolah telah memasukkan Keiko ke dalam mulut singa, Rion. Aku tahu kau memandangku begitu.”
“Kenyataannya memang begitu, kan?” kata Rion mengangkat sebelah alisnya. “Ayo, kita cari dia. Kuharap dia tidak diterkam oleh singa lapar itu.

0 komentar:

Posting Komentar