Gadis itu melangkah kearah mereka sambil tersenyum lebar. Rambutnya
yang panjang sepunggung dan berwarna coklat dibiarkan tergerai dan hanya
ditutupi oleh sebuah topi lebar. Tubuhnya yang tinggi langsing dibalut dress
berwarna hijau pastel yang kelihatan serasi dengan kulitnya yang putih. Matanya
tertutup oleh kacamata hitam, dan sepertinya, gadis itu tidak ambil pusing
kalau dia menjadi pusat perhatian para penumpang di bandara yang sedang menatap
kearahnya. Tangannya mendorong sebuah troli barang yang memuat tiga koper besar
berwarna biru tua, serta satu kotak biola.
“Keiko!”
Henny menghampiri gadis bernama Keiko itu dan memeluknya. Rion
sendiri tidak bergerak dari tempatnya. Matanya menatap lekat-lekat sosok yang
sedang dipeluk oleh Henny.
“Kukira aku akan menunggu lama, rupanya kamu sudah menunggu di
sini.” kata Keiko sambil melepas kacamatanya. “Kau tidak menunggu lama, kan?”
“Tidak, kok. Aku baru saja datang.” kata Henny, “Ah, ayo, ikut aku.”
Mereka berdua berjalan mendekati Rion. Dan setelah mendekat, Rion
bisa melihat wajah gadis itu.
Wajah mungil berbentuk hati, bibir berwarna pink yang menekuk
membentuk seulas senyum lembut, hidung mancung dan kecil, serta kedua bola mata
berwarna hazel yang tampak seperti mata boneka.
“Keiko, perkenalkan, ini temanku, Rion. Rion, ini Keiko, teman lama
yang kubicarakan itu.” Kata
Henny memperkenalkan mereka berdua.
“Aku Keiko, salam kenal, ya?” kata Keiko membungkuk sebelum
mengulurkan tangannya. Senyum manis tersungging di wajahnya.
Rion mengerjapkan mata lagi, dan menyambut uluran tangan Keiko.
“Rion Hadi Brawijaya.” Kata Rion.
“Brawijaya? Kamu putra almarhum Handoko Brawijaya?”
Entah kenapa, Rion merasa risih ditatap sepasang mata bak boneka itu.
Namun, ia mengangguk menjawab pertanyaan Keiko.
“Wah… aku penggemar berat lukisan ayahmu.” Kata Keiko, kali ini
senyumnya makin melebar, “Aku mendapat hadiah lukisan ‗Angel Tears‘ dari Papa
saat aku ulang tahun kemarin. Dan katanya itu buatan putra Brawijaya, si
pelukis terkenal dari Indonesia. Rupanya itu kamu, ya?”
Lagi-lagi Rion merasa risih. Kali ini, mendengar nada suara Keiko
yang terdengar seperti anak kecil.
“Eh… biasa saja.” jawab Rion.
Henny yang melihat sikap Rion yang risih hanya menggeleng-gelengkan
kepala. Sepertinya dia harus bekerja keras agar Rion mau menerima Keiko menjadi
teman mereka.
◊◊◊
Dalam perjalanan pulang dari bandara, Henny dan Keiko tidak
henti-hentinya mengobrol. Mereka mengobrolkan banyak hal, hingga melupakan
kalau Rion juga ada di antara mereka. Itu membuat Rion agak keki dan cemberut
sepanjang perjalanan.
Kalau begini, untuk apa aku dipaksa ikut? Gerutu Rion dalam hati
sambil melirik kearah Henny yang tertawa bersama Keiko yang duduk di kursi
penumpang.
Henny mengemudikan mobil sambil terus bicara dengan Keiko, tidak
mengindahkan keberadaan Rion di dekatnya.
“Oh ya, Rion tinggal di mansion besar, ya?”
Pertanyaan yang terlontar dari mulut Keiko mau tidak mau membuat
Rion menoleh.
“Hah?”
“Kamu tinggal di mansion besar? Kata Henny, mansion tempat
tinggalmu sangat besar dan indah. Penuh dengan barang antic.” Kata Keiko.
“Tidak hanya besar, Keiko, tapi juga yang paling tua. Di daerah
tempat tinggal kami, hanya mansion Rion yang paling tua. Menurut Bibi Jessica,
mansion itu adalah warisan turun-temurun keluarga beliau sejak jaman Belanda.”
Kata Henny.
“Heee… aku suka melihat benda-benda antic, selain tua, mereka juga
memiliki nilai artistic tersendiri.” Kata Keiko. Pipnya memerah dan itu membuatnya
semakin manis.
Nah, lho, kenapa dia menganggap Keiko manis?
Rion menghela nafas dan memijat pelipisnya.
“Kamu kenapa? Sakit?”
Sebuah tangan yang dingin tiba-tiba menyentuh keningnya. Rion
sempat terperanjat ketika menyadari tangan dingin itu adalah tangan Keiko.
Wajah gadis itu begitu dekat dan membuat Rion bisa mencium wangi parfum
beraroma peach dan jeruk yang dipakai oleh gadis itu.
“Aku tidak apa-apa,” kata Rion sambil menepis tangan Keiko dari
keningnya, “Aku hanya merasa menjadi kambing congek di sini karena kalian
berdua terus berbicara dan melupakan aku.”
“Maafkan aku.” kata Keiko dengan nada bersalah yang nyata. “Aku
tidak tahu kalau kamu juga ingin mengobrol dengan kmai. Aku terlalu asyik
mengobrol sampai melupakanmu.”
Rion yakin dia tersentuh dengan nada bersalah Keiko, tapi lalu dia
mendengus dan menatap keluar jendela. Pikirannya mulai kacau, dan ini bahkan
lebih parah daripada dia tidak mendapat ide untuk melukis.
“Jangan merasa bersalah kalau kamu tidak melakukan kesalahan
apapun.” Kata Rion datar. “Dan bisakah kita cepat pulang? Aku mulai lapar lagi.”
Henny dan Keiko saling berpandangan bingung, kemudian Henny
tersenyum penuh arti pada Keiko yang masih menatap dengan ekspresi bingung.
◊◊◊
Rion menyapukan kuasnya keatas kanvas. Kali ini, dia berusaha
membuat lukisan yang menggambarkan seorang wanita yang berada di dalam dunia
fantasinya. Dengan gaun biru muda dan sedang memeluk boneka berbentuk kelinci,
alih-alih adalah makhluk fantasi yang ada di dunia tersebut.
Pagi ini, Rion terbangun dengan sebuah ide yang tercetus dalam
kepalanya. Setelah mengantarkan teman Henny, Keiko, ke kediamannya yang
ternyata hanya beberapa blok dari perumahan tempat mereka tinggal, entah kenapa
Rion seolah ‗tercerahkan‘. Dia mendapat ide luar biasa yang masih tertutup oleh
kabut di kepalanya. Dan pagi ini ide itu langsung menyeruak dalam otaknya dan
mendesak ingin dilukiskan.
Ia menatap hasil karyanya setelah selesai, kemudian menggeleng
pelan.
Lagi-lagi salah! katanya dalam hati, bersiap mengambil botol
alcohol di dekatnya.
Pintu studionya tiba-tiba diketuk. Walau ketukannya pelan, Rion
bisa mendengarnya. Dia berpikir pasti Henny yang bertandang ke rumahnya. Hanya
Henny yang selalu datang pagi-pagi hanya untuk mengingatkannya untuk mandi
maupun makan.
“Masuklah, pintunya tidak dikunci, kok!” seru Rion sambil
menyiramkan alcohol ke lukisannya.
Suara pintu terbuka tidak menarik perhatian Rion. Matanya tetap
focus pada kanvas di hadapannya. Dengan cepat ia menyingkirkan sisa-sisa cat di
kanvas dan mulai melukis laki.
“Jadi begini, ya, penampilanmu ketika sedang berkonsentrasi
melukis?”
Suara itu membuat Rion menghentikan kegiatannya. Kepalanya menoleh
dan dia berhadapan dengan Keiko yang berdiri di sampingnya sambil tersenyum.
Rambut gadis itu dikepang dan dibiarkan jatuh menjuntai di bahu kirinya.
Penampilannya pun masih sama seperti yang dilihat Rion ketika menjemputnya di
bandara bersama Henny. Dress putih yang dikenakannya dipadukan dengan jaket
jins berwarna biru dan juga flat shoes berwarna hitam.
Secara keseluruhan, gadis itu terlihat cantik, tentu saja. Tapi,
Rion hanya menghembuskan nafas dan kembali meneruskan kegiatannya.
Keiko duduk di samping Rion dan ikut memerhatikan lukisan yang
dibuat oleh cowok itu. Matanya memperhatikan tangan Rion yang dengan luwes
namun cekatan menggoreskan warna-warna indah pada kanvas putih di hadapannya.
“Bagaimana kamu tahu rumahku?” tanya Rion setelah terdiam sekian
lama dan merasa jengah ditatap Keiko dari dekat.
“Henny mengajakku kemari. Katanya dia mau membangunkanmu karena
menurutnya kamu adalah orang yang paling susah bangun pagi.” jawab Keiko, “Sekarang
Henny sedang menyuruh pelayan untuk menyiapkan sarapan, dan aku disuruh kemari
untuk memanggilmu.”
Rion hanya manggut-manggut sambil terus melukis.
“Ini lukisan tentang apa?” tanya Keiko.
“Dunia fantasi.”
“Dunia fantasi? Seperti Harry Potter?”
“Kira-kira begitulah…”
Keiko manggut-manggut. Dia mengedarkan pandangannya ke seluruh
penjuru studio.
Secara keseluruhan, studio ini sangat nyaman. Dengan lantai yang
terbuat dari kayu yang dipelitur hingga halus, dinding-dindingnya yang dilapisi
bambu berwarna hijau, serta jendela-jendela kaca besar yang dihiasi tirai tipis
berwarna putih. Tidak ketinggalan pula berbagai macam tanaman dalam pot yang
diletakkan hampir di setiap sisi ruangan. Menjadikan tempat ini begitu asri dan
menenangkan.
Keiko tersenyum lebar. Dia sangat menyukai tempat ini. Matanya lalu
menatap Rion lagi, yang masih terus berkonsentrasi pada lukisan di hadapannya.
Dia ikut memperhatikan lukisan yang sudah setengah jadi itu dan mengerutkan
kening.
“Apakah warnanya tidak terlalu berani?” tanya Keiko, “Warna pada
bunga yang ini terlalu cerah. Seharusnya warna pada bunga ini menyamakan dengan
warna bunga yang satu ini, lalu—”
“Aku tidak butuh komentarmu.”
Keiko mengerjap dan menatap Rion dengan mata dibelalakkan,
sementara cowok itu kelihatannya tidak terlalu memperhatikan pelototan dari
Keiko.
“Tapi, lukisan ini pasti akan lebih indah kalau warna bunga-bunga
ini disesuaikan. Warna yang terlalu berani dan mencolok tidak cocok dengan gaun
biru muda yang dikenakan wanita dalam lukisanmu.” Kata Keiko lagi.
“Aku tidak butuh komentarmu.” Kata Rion lagi, kali ini dia
memandang tajam pada Keiko, “Hanya aku yang boleh menentukan apa yang cocok
untuk lukisanku, dan aku tidak suka orang lain mengomentari lukisan ini sebelum
selesai.”
Nada tajam penuh kemarahan itu membuat Keiko mengkeret takut. Dia
kembali diam dan memperhatikan Rion yang kembali tenggelam dalam kegiatannya.
Pintu studio sekali lagi terbuka, kali ini dengan suara yang keras
dan membuat mereka berdua terkejut. Rion sendiri sempat salah menempatkan
sapuan cat pada lukisannya dan membuat cowok itu menggeram frustasi.
“Rion!! Jauhkan tanganmu dari semua peralatan lukismu dan segera
mandi!!” kata Henny sambil mendekati Rion, lalu mulai melaksanakan kata-katanya
sendiri.
“Hei, aku belum selesai melukis!” ujar Rion tidak rela ketika kuas
dan tempat catnya diambil dari tangannya.
Henny meletakkan kedua benda itu jauh-jauh dari jangkauan tangan
Rion dan berkacak pinggang.
“Seharusnya kau berterima kasih aku dan Keiko mengunjungimu pagi
ini.” kata Henny mendelik pada Rion, seperti kebiasaannya, “Cepat kamu mandi,
lalu sarapan! Hari ini kita harus pergi ke akademi untuk mengambil buku-buku
pelajaran untuk semester baru, tahu!”
Rion menggerutu panjang-pendek sementara Keiko hanya memandang
mereka berdua dengan takjub. Dia tidak menyangka Henny bisa membuat Rion
menurut hanya dengan kata-kata tegas dan menurutnya… sedikit kasar.
“Ayo, cepat angkat pantatmu itu dari sini dan segera mandi! Go! Go!”
Henny menarik lengan Rion dan setengah menyeret cowok itu keluar
dari studio. Keiko mengikuti mereka di belakang dengan perasaan cemas. Takut
kalau Rion tiba-tiba jatuh dan terluka.
“Henny, apa kamu tidak terlalu kasar?” tanya Keiko ketika Rion
sudah masuk ke kamar mandi.
“Tidak, tuh. Dia memang perlu diperlakukan seperti itu, karena
kalau tidak, dia tidak akan mau keluar dari tempat bertapanya itu.” kata Henny
yang disambut tawa geli Keiko.
“Tapi, kurasa kamu terlalu kasar.” Ujar Keiko, “Ingat, Henny, kamu
itu perempuan. Jangan terlalu kasar begitu pada laki-laki.”
Henny hanya mengedikkan bahu. Dia memang sudah terbiasa bersikap
seperti layaknya lelaki pada Rion. Dan dia tidak berniat mengubah kebiasaannya
itu, terutama karena mereka sudah berteman sejak kecil.
Henny lalu mengajak Keiko ke ruang makan dan menunggu Rion di sana.
Berbagai macam hidangan lezat sudah tersedia di sana ketika mereka datang.
Keiko hanya terkekeh geli mendengar Henny lebih menyukai makan di mansion Rion
daripada di rumahnya sendiri.
Sekitar dua puluh menit kemudian, Rion masuk ke ruang makan dan
langsung duduk di kursi di hadapan Keiko. Beberapa pelayan langsung melayani
mereka dan suasana sarapan pagi itu terasa lain dari biasanya.
Rion menyadari hal itu. Tapi, dia tidak tahu apa yang membuat
suasana pagi itu terasa berbeda.
“Jadi, kita akan pergi ke akademi untuk mengambil buku-buku
pelajaran untuk semester baru, juga seragam untuk Keiko.” Kata Henny sambil
mengunyah sayuran di dalam mulutnya, “Keiko akan bersekolah di akademi yang
sama dengan kita. Aku pernah mengatakan hal itu padamu, kan?”
Rion hanya mengangguk dalam diam. Sesekali matanya melirik Keiko
yang memakan makanannya sedikit demi sedikit, seolah mencoba memaksakan diri
untuk menelan makanan yang disajikan untuknya.
“Rion, kau mendengarkan aku?” tanya Henny kesal, karena sepertinya
Rion tidak mendengarkan ucapannya.
“Aku dengar…” jawab Rion, “Apa kamu tidak suka masakan buatan koki
mansionku?”
Awalnya Henny tidak mengerti pada siapa Rion mengajukan pertanyaan
itu. Namun, ketika melihat lirikan sekilas Rion, dia baru menyadari kalau cowok
itu menanyakan hal tersebut pada Keiko.
“Hei, Keiko,”
Keiko mengerjapkan mata kaget dan mendongak dari makanan di
hadapannya.
“Ya?”
“Kamu tidak suka dengan masakan buatan koki mansion ini?” tanya
Henny, “Kelihatannya kamu tidak berselera makan. Kamu sakit?”
“Tidak, kok…” Keiko menggeleng sambil tersenyum, “Aku hanya tidak
terbiasa makan pagi. Biasanya aku baru sarapan pada jam sepuluh.”
“Maksudmu brunch? Kenapa begitu?”
“Err… tidak ada apa-apa. Hanya saja beberapa hari ini aku makan
tidak teratur.” kata Keiko, “Tapi, tidak apa. Aku sudah terbiasa, kok.”
Henny manggut-manggut mengerti, sementara Rion menatapnya dengan
tatapan aneh.
◊◊◊
Kali ini, Rion yang menyetir mobil. Dia membiarkan kedua cewek yang
menjadi penumpangnya itu mengobrol tanpa henti di kursi belakang. Sesekali dia
melirik melalui kaca di tengah dasbor. Tatapannya kadang tertuju pada Keiko,
yang menanggapi dengan ceria setiap cerita yang diceritakan Henny. Dia juga
melihat gadis itu tertawa lebar, dan rona merah pada pipinya membuatnya tampak
lebih cantik.
Mobil memasuki lingkungan akademi seni yang menjadi tempat Rion dan
Henny menuntut ilmu. Gedung bertingkat 5 itu tampak megah, dengan dinding
berwarna coklat tua dan kaca-kaca jendela yang membentuk nama akademi tersebut.
Akademi itu adalah akademi seni pertama di Indonesia yang merangkap
sebagai SD, SMP, dan SMA. Dengan luas yang nyaris mencapai setengah lapangan
sepak bola, lapangan bola basket, taman mini yang merangkap sebagai area hijau
dalam akademi itu, serta sarana dan prasarana yang lengkap. Juga para guru yang
berpendidikan tinggi dan kompeten, menjadikan akademi itu sebagai akademi
terbaik sekaligus akademi tersulit untuk dimasuki tanpa standar yang tinggi.
Setiap lulusan dari akademi itu banyak yang sukses di bidang seni, sebut saja
sebagai pelukis, penyanyi, atau actor.
Mereka bertiga keluar dari mobil dan memasuki gedung akademi. Keiko
sempat berseru kagum melihat lobi yang dilapisi keramik berwarna hitam dan
lampu Kristal yang menggantung di langit-langit.
“Akademi ini indah sekali.” Kata Keiko. “Aku tidak yakin aku pantas
berada di akademi ini. Papa dan Mama memaksaku untuk masuk ke sini, padahal aku
ingin ditempatkan di sekolah biasa.”
“Itu artinya, kedua orangtuamu sayang padamu.” Ujar Henny.
Keiko tersenyum mendengar ucapan itu.
Rion sendiri langsung menuju pintu lift dan menekan tombol untuk
membuka pintu.
“Gedung SMA memangnya ada di mana?” tanya Keiko, “Kulihat akademi
ini hanya satu gedung ini saja.”
“Gedung ini ada lima lantai, dan lantai empat dan lima adalah area
SMA.” Jelas Rion, “Lantai satu dan dua adalah area SD, dan lantai tiga adalah
area SMP. Kantor administrasi ada di lantai empat. Karena itu kita akan ke
sana.”
“Ooo…” Keiko manggut-manggut.
Mereka sampai di lantai empat, dan segera menuju kantor
administrasi yang dimaksud. Selama berjalan, Keiko memperhatikan setiap pintu
yang terhubung dengan ruang kelas. Dia
tersenyum kecil melihat salah satu ruang kelas yang penuh warna
dengan berbagai macam hiasan dari kertas karton warna-warni dan lampion yang
terbuat dari botol bekas.
Aku akan berusaha menyesuaikan diri di sini. kata Keiko dalam hati.
◊◊◊
Rion meminum soda yang dibelinya dari mesin penjual minuman
otomatis sambil bersandar di dinding. Ia sedang menunggu Keiko dan Henny yang
menyelesaikan administrasi pendaftaran Keiko. Rupanya gadis itu sudah terlalu
lama menjalani home-schooling dan agak kagok ketika berurusan dengan segala hal
yang memusingkan seperti urusan administrasi pendaftaran.
Rion sebenarnya ingin membantu juga, tapi tidak jadi karena dia
mendapat telepon dari salah seorang promoter pameran lukisannya. Ketika telepon
itu selesai, ia merasa sangat haus dan memutuskan untuk membeli minuman.
Cowok itu melirik jam tangan digitalnya. Sudah hampir satu jam,
tapi Henny dan Keiko belum juga keluar dari kantor administrasi. Apakah
mengurus berkas-berkas dokumen bisa sebegitu lamanya seperti sekarang?
Ketika dia memutuskan untuk menjemput dua gadis itu, ia melihat
Henny berlari kearahnya. Keiko tidak bersamanya, dan itu membuat kening Rion
berkerut.
Yah… akhir-akhir ini dia sering sekali mengerutkan kening untuk
masalah yang tidak berhubungan dengan lukisan. Banyak masalah yang sedang
melandangnya sekarang ini. Tapi, dia berusaha untuk tidak mengambil pusing.
“Kau tahu di mana Keiko?” tanya Henny setelah sampai di hadapan
Rion.
“Kamu yang dari tadi bersamanya, kok.” Jawab Rion, “Bukannya tadi
dia bersamamu terus?”
Henny menggeleng pelan, “Sebenarnya kami sudah selesai di Kantor
Administrasi setengah jam yang lalu. Tapi, salah seorang guru mengajak kami
mengobrol dan meminta Keiko untuk
bermain biola. Nah, pada saat itulah kami terpisah. Saat itu aku
sedang berada di toilet ketika ternyata Keiko sudah menghilang bersama guru
itu.”
“Guru? Siapa?”
“Pak Gunawan.” Jawab Henny.
Rion menghela nafas mendengar nama guru itu. Gunawan Herlangga
adalah salah satu guru music dan juga pelajaran matematika di akademi ini, tapi
sifatnya tidak mencerminkan seorang guru yang baik. Beliau bahkan mempunyai
reputasi buruk sebagi perayu wanita, tidak peduli berapa usia wanita yang ia
rayu. Rion tahu itu karena dia pernah melihat beberapa teman perempuannya
dirayu oleh guru yang baru berusia 25 tahun itu. Rion tidak pernah suka dengan
Pak Gunawan karena… alasan khusus.
“Kau membiarkannya dibawa oleh Pak Gunawan? Belum tahu reputasinya
yang buruk, ya?” kata Rion setengah menyindir.
“Aku tahu reputasi beliau, tapi saat itu aku benar-benar kebelet
dan tidak bisa menahan untuk pergi ke toilet.” Kata Henny tersinggung, “Jangan
pandang aku seolah telah memasukkan Keiko ke dalam mulut singa, Rion. Aku tahu
kau memandangku begitu.”
“Kenyataannya memang begitu, kan?” kata Rion mengangkat sebelah
alisnya. “Ayo, kita cari dia. Kuharap dia tidak diterkam oleh singa lapar itu.
0 komentar:
Posting Komentar