Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

New Story : Kimi no Symphony - Prologue & Chapter 1

Oke... ini cerbung baru yang prolog dan bab pertamanya sudah ku-upload di Facebook. Di sini, aku juga akan memposting cerbung ini sebisaku ^_^) (berhubung aku tidak punya koneksi internet di rumah, jadi harus keluar atau pergi ke tempat yang ada Wifi-nya...)
Anyway, cerbung ini kuselesaikan dalam waktu 8 hari. Iya... Delapan hari sebelum lebaran kemarin, tepat pada malam hari tanggal 16 Juli 2015, cerbung ini kuselesaikan --dengan wajah kucel dan mata mengantuk lantaran begadang selama hampir seminggu penuh. Tapi, aku senang cerbung ini selesai tanpa hambatan apapun.

Dan, para pembaca, tolong berikan komentar dan saran kalian pada semua karyaku yang ada di blog ini =). Komentar, kritik, maupun dukungan kalian sangat berarti untukku agar tetap berkarya. Dan aku mohon maaf jika aku selalu lama memposting cerbung baik di blog, atau di Facebook.
Dan juga, bagi kalian yang mempunyai akun Facebook, tolong Like fans page-ku di Facebook dengan nama Angelia's Corner (link fans page-nya menyusul nanti ya~)

And, here it is, Kimi no Symphony =))
==========================================================================
~PROLOGUE~
Kalau waktu itu kita tidak pernah bertemu, apa kamu akan merasakan hal yang sama seperti yang kurasakan?
Kalau dulu kita tidak pernah bertemu, apa kamu menyadari bahwa dunia tidak hanya hitam dan putih?
Bila saat itu aku tidak menyapamu lebih dulu, apa kamu akan menoleh kearahku?
Ketika dunia monoton-mu menghilang dan berubah menjadi penuh warna, warna apa yang kau lihat? Apakah warna-warna itu sama dengan yang pernah menghiasi hari-harimu saat bertemu denganku?
Aku tahu aku tidak punya banyak waktu untuk mengungkapkan semuanya. Aku bahkan tahu, waktuku di dunia ini tidak akan lama, seolah semuanya sudah menjadi takdirku…
Tapi, kumohon jangan pernah lupakan apa arti warna-warna dalam hidupmu. Warna-warna itu akan menuntunmu kearah yang lebih baik, yang lebih indah daripada yang pernah kutunjukkan padamu. Kuharap aku tidak berpikiran muluk ketika aku memikirkan kau sedang tersenyum, menahan tangis yang sedang menggenang di kedua matamu.
Dan aku punya satu permintaan lagi, satu-satunya permintaan yang kuingin kamu terus ingat, dan tidak akan pernah kamu lupakan.
Cintai aku seperti kau mencintai lukisan-lukisanmu…
Cintai aku seperti aku tidak pernah merasakan kesakitan apa pun…
Dan cintai apa yang kau punya, walau itu berarti tanpa adanya diriku di sisimu…

~CHAPTER 1~
Sapuan kuas dan bau cat yang agak menyengat membuat pikirannya tenang. Sambil sesekali menghembuskan nafas, dia melanjutkan kegiatan yang paling disukainya, melukis.
Namun, ketika lukisan itu—lukisan yang menggambarkan seorang wanita yang sedang memandangi bunga-bunga di sekitarnya—selesai, keningnya berkerut dan sambil mendesah keras mengambil botol alcohol di dekatnya.
"Salah… salah… salah…!!" gerutunya sambil menyiramkan cairan itu ke atas kanvasnya.
“Ah!! Apa yang kamu lakukan!?””
Suara itu membuatnya tersentak kaget dan nyaris saja membuatnya menyemburkan cairan keras itu ke tangannya. Matanya langsung menoleh kearah pintu ruang studio kesayangannya. Seorang gadis berambut pendek seperti laki-laki dan dicat warna pirang menyerbu masuk dengan wajah marah.
“Ah, halo, Henny. Baru datang dari London, ya?” tanyanya tenang.
“Rion Hadi Brawijaya, apa yang kamu lakukan pada lukisanmu ini!?” tanya Henny tidak terpengaruh pada nada tenang Rion. Dia menatap lekat-lekat lukisan yang mulai luntur itu dengan ekspresi ngeri.
“Astaga… ini lukisan terbarumu yang akan kau pamerkan di pameran lukisanmu berikutnya, kan? Kenapa kamu hapus?”
“Lukisan itu salah, makanya kuhapus.” Jawab Rion, masih dengan ketenangannya.
Henny mendelik pada Rion, yang dengan tenang menyapu bersih cat yang masih menempel pada kanvas dan duduk kembali di bangkunya, bersiap-siap melukis lagi.
“Kau ini… bisa tidak, jangan langsung tidak puas pada karyamu? Kau belum memperlihatkannya pada orang lain, tapi langsung menghapusnya begitu saja.” keluh Henny, “Ayahmu pasti tidak senang dengan kebiasaanmu ini.”
Rion hanya mengedikkan bahu. Diraihnya kuas dan mulai menyapukan warna-warna ke atas kanvas.
Henny mengambil satu kursi di dekatnya dan duduk di samping Rion. Ditatapnya wajah cowok itu lekat-lekat dan menyadari bahwa ada cekungan yang tidak kentara di pipi Rion.
“Kau di sini sudah berapa lama?” tanya Henny.
“Hah?”
Henny memutar bola matanya tidak sabaran dan menyentil pelan kening Rion.
“Aduh! Apaan, sih?”
“Kau ini… pasti sudah berhari-hari di sini dan lupa untuk makan, ya? Dan lagi, tempat ini benar-benar suram! Seharusnya kau mengganti cat ruangan ini!”
Rion tidak terpengaruh dengan kerusuhan yang dibuat Henny dan terus melukis. Selang beberapa menit kemudian, lukisan yang baru setengah jadi itu lagi-lagi dihapus oleh Rion.
“Ini juga salah.” katanya.
Henny yang memperhatikan itu hanya bisa geleng-geleng kepala. Memang susah menghadapi Rion kalau sudah berada di studio lukisnya. Cowok itu bisa berhari-hari mengurung diri di tempat itu tanpa ingat makan, tidur, apalagi mandi!
“Sudah cukup! Sekarang, tinggalkan peralatan lukismu dan ikut aku!”
Henny dengan cepat mengambil kuas dan tempat cat di tangan Rion dan meletakkannya di meja paling jauh dari tempatnya. Ia juga menyingkirkan kanvas di hadapan Rion ke sudut ruangan dan menarik lengan Rion.
“Ada apa, sih? Aku sedang konsentrasi di sini.” gerutu Rion.
“Rion, kau perlu udara segar dan kalau kau tidak segera pergi dari tempat ini, aku yakin kepalamu akan meledak seperti gunung yang baru saja meletus.” Kata Henny. “Dan pertama-tama kau harus mandi dan berpakaian yang pantas. Kapan terakhir kali kau mandi?”
Rion mengerutkan kening. Seingatnya, sejak pulang dari pameran lukisan di New York, dia sudah mengurung diri di studio lukisnya dan mencoba mencari inspirasi baru. Dan… itu sudah berapa lama, Rion lupa.
“Err… mungkin dua hari?”
“Seminggu!” kata Henny, “Sejak kau pulang dari New York, kau mengurung diri di studio dan tidak pernah mau makan atau tidur. Itu yang kudengar dari Bibi Jessica.”
Rion mengangguk-angguk. Rupanya sudah seminggu dia mengurung diri di studio.
Henny menghela nafas dan menarik Rion keluar dari studio. Mereka segera menuju pintu kaca yang menghubungkan studio dengan bagian dalam rumah Rion, yang lebih tepat disebut mansion. Karena luasnya dua kali lipat dari rumah Henny.
Henny langsung menggiring Rion ke kamar mandi bawah dan menyuruhnya mandi. Ia juga memanggil pelayan untuk mengambilkan pakaian Rion di kamarnya. Setelah mandi, Henny langsung menggiring Rion ke ruang makan dan menyuruh cowok itu makan.
“Aku tidak lapar.” Kata Rion menatap makanan di hadapannya dengan kening berkerut tidak suka.
“Kau harus makan atau kau akan jadi seperti tengkorak berjalan di buku Skulduggery Pleasant yang pernah kubaca.” Kata Henny, “Makan saja, atau aku perlu menyuapimu seperti dulu?”
Kening Rion berkerut lebih dalam, tapi dia lalu mengambil sepiring nasi dan lauk, lalu mulai makan. Henny tersenyum puas dan duduk di sebelah Rion, menunggui cowok itu selesai memakan makanannya.
“Oh ya, kau baru pulang dari London?” tanya Rion sambil mengunyah.
“Aku memang baru pulang dari London, menengok Paman Julian di sana.” kata Henny. “Dan aku bertemu teman lama. Kau tahu, kan, aku pernah cerita kalau aku punya teman yang seorang violinis?”
“Err… ya, kurasa aku ingat.” Kata Rion sambil mengernyit, berusaha mengingat-ingat apakah mereka memang pernah membicarakan tentang teman lama Henny.
Henny tersenyum lebar sebelum kemudian melanjutkan, “Kami bertemu ketika dia berkunjung ke rumah Paman Julian. Kau tahu, dia ternyata sudah sangat terkenal di kalangan pemusik dunia! Dia menjadi violinis termuda yang mendapat kesempatan bermain bersama orchestra terkenal di usia 11 tahun, lho!”
Rion manggut-manggut sambil menyuap makanannya.
“Dan dia akan tinggal di Indonesia!” ujar Henny lagi, “Dia akan bersekolah di akademi seni tempat kita bersekolah. Duh… aku senang sekali dia akan pindah kemari dan bersekolah bersama kita. Ini benar-benar kebetulan yang sangat… aku tidak bisa mengungkapkannya. Tapi, aku senang sekali dia akan kemari!”
Rion manggut-manggut lagi.
“Hei, kau mendengarkanku atau tidak?”
“Aku mendengarkan, kok.” Jawab Rion, “Teman lamamu akan pindah ke Indonesia dan bersekolah di akademi seni yang sama dengan kita, kan? Aku tahu, kok…”
“Hee… kau tahu, ya? Kau juga tahu siapa namanya?”
“Untuk apa aku tahu?”
“Karena siapa tahu, kau juga senang berteman dengannya!” kata Henny, “Dia orang yang ramah, dan aku yakin kau akan senang bertemu dengannya.”
“Aku tidak yakin…”
Rion meletakkan sendok dan garpu di atas piringnya, kemudian meminum orange juice yang disediakan untuknya.
“Nah, aku sudah selesai makan, jadi sekarang aku—”
“Kau akan menemaniku menjemput teman lamaku itu di bandara sekarang.” sela Henny.
“Lho? Kenapa harus aku?” tanya Rion mengerutkan kening.
“Karena aku tidak punya orang lain yang bisa kumintai tolong untuk menemaniku?” kata Henny,
“Oh, ayolah, Rion. Kau sudah terlalu lama mendekam di studio lukismu, dan sudah saatnya kau mencari udara segar. Seperti kataku tadi, kalau kau tidak melepaskan pikiranmu sejenak dari lukisanmu, kepalamu akan meledak seperti gunung meletus.”
Rion hendak protes, tapi, Henny dengan cepat menyambar tangannya dan membawa Rion keluar.
“Bilang pada Mama Jessica, aku pinjam Rion sebentar hari ini!” kata Henny pada pelayan yang menanyakan ke mana mereka akan pergi.
“Baik, Nona Henny.”
“Woi, aku belum bilang setuju!” sungut Rion.
“Setuju atau tidak setuju, kau tetap akan ikut aku.” Henny tersenyum lebar. “Masuk ke dalam mobil.”
Dan tanpa ampun, Henny memasukkan Rion ke dalam mobilnya.
◊◊◊
“Kau ini ingin menculikku, ya?” gerutu Rion untuk ke sekian kalinya selama perjalanan mereka menuju bandara.
Henny yang menyetir mobil hanya mendecak sambil mengibaskan tangannya.
“Aku tidak berniat menculikmu, Rion sayang, tapi aku kasihan padamu karena kau begitu terpaku pada karya barumu selanjutnya sampai-sampai lupa pada kesehatanmu sendiri.” kata Henny,
“Berterima kasihlah padaku karena aku sudah berbaik hati menawarkan bantuanku.”
“Bantuan apanya…”
Rion menyandarkan punggungnya di sandaran kursi dan menatap keluar jendela.
Henny menghembuskan nafas dan melirik kearah Rion, yang kelihatannya sibuk ‗melukis‘ dalam pikirannya. Henny tidak bisa menghentikan kebiasaan Rion yang ini. Cowok itu, kalau dia tidak sedang berada di studio lukisnya, dia pasti akan berada di kamar, melamun hingga berjam-jam hanya untuk mendapatkan ide baru untuk melukis.
Rion Hadi Brawijaya. Tidak ada yang tidak mengenal namanya, terutama karena Rion menggebrak dunia seni di Indonesia sejak dia berusia 8 tahun, dengan lukisan yang nyaris sempurna seperti lukisan profesional yang bahkan pelukis-pelukis Indonesia belum bisa membuatnya.
Kejeniusan Rion dalam hal melukis bukan tanpa alasan. Ia adalah putra dari Handoko Brawijaya, pelukis yang terkenal dengan lukisan ‗In The Hands of God‘ yang menembus dunia internasional, bahkan dibuat duplikasinya oleh orang-orang yang mengagumi keindahan sapuan warna dan makna yang terkandung dalam lukisan tersebut. Tidak hanya itu, Rion juga memiliki ibu seorang aktris senior terkenal, Jessica Amanda, yang tetap eksis di dunia entertainment dan memiliki kecantikan bak dewi walau sudah berusia kepala empat dan memiliki satu anak.
Dilahirkan dari keluarga yang dipenuhi dengan seni, membuat Rion juga mengikuti jejak kedua orangtuanya, menjadi pekerja seni. Rion memilih melukis, seperti sang ayah, yang sudah meninggal ketika ia berusia 12 tahun. Lukisan-lukisan Rion selalu menuai pujian dan decak kagum pengamat lukisan dan orang-orang yang mengerti seni lukis. Sapuan cat yang berani, namun mengandung makna yang dalam, menjadikan Rion sebagai pelukisa berbakat termuda yang hanya muncul beberapa tahun sekali di Indonesia. Rion bahkan sempat ditawari untuk masuk ke universitas jurusan seni di Amerika dan Inggris.
Namun, sayangnya, Rion punya satu sifat yang tidak disenangi oleh orang-orang. Dia gampang tidak puas.
Ya… seperti kejadian di studio tadi ketika Henny datang. Rion adalah orang yang tidak gampang puas. Dia selalu merasa ada yang kurang pada lukisannnya, dan kemudian menghapusnya, lalu mengulanginya lagi, sampai berulang kali hingga mendapatkan hasil yang diinginkannya.
Tidak ada yang tahan dengan sikap seperti itu, kecuali ibu Rion, Jessica, dan mungkin Henny. Hanya mereka berdua yang mengerti kenapa Rion bersikap seperti itu.
Henny sendiri mengenal Rion karena orangtua mereka—ibu mereka berdua, adalah sahabat sejak SMA. Henny yang bernama lengkap Henny Aluna Jonathan itu sudah mengenal Rion sejak mereka masih kecil, dan hafal dengan kebiasaan dan kelakuan Rion, berikut sifat-sifat buruk cowok itu. Ibunya yang seorang penyanyi bersahabat akrab dengan ibu Rion, dan menjadikan mereka berdua sama-sama akrab. Namun, mereka seperti langit dan bumi. Kalau Henny dikenal dengan sikapnya yang ceria dan bisa membuat suasana menjadi lebih ceria pula seperti sikapnya, Rion adalah orang yang cenderung tertutup, bahkan sejak ayahnya meninggal, sifat tertutup itu makin menjadi.
Mobil
“Kau tahu seperti apa tampang teman lamamu itu?” tanya Rion ketika mereka memasuki Ruang Kedatangan.
“Hm? Tentu saja aku tahu. Kami baru saja mengobrol lewat Skype kemarin malam.” Jawab Henny, lalu melirik jam tangannya, “Kurasa pesawatnya sudah datang, dan pasti ia sedang menuju kemari.”
“Oke… tapi, sebaiknya kita duduk dulu. Aku capek berdiri dari tadi.” kata Rion.
“Hei, kau itu baru berdiri tidak lebih dari lima menit saja sudah kecapekan. Dasar payah!” ledek Henny sambil terkekeh.
“Apa—”
“Henny!!”
Suara itu membuat mereka berdua menoleh. Dan Rion yakin dia mengerjap beberapa kali sebelum mempercayai apa yang dilihatnya.
Lho? Itu, kan…

0 komentar:

Posting Komentar