Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Kimi no Symphony - chapter 8



Hari Minggu pagi, Rion sudah siap dengan kemeja lengan panjang berwarna hitam dan celana jins. Hari ini, ia dan ibunya akan pergi ke panti asuhan bersama keluarga Henny, merayakan hari ulang tahunnya. Saat dia bangun tidur tadi, ibunya sudah ada di dalam kamarnya bersama para pelayan dan menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Sebuah tradisi yang selalu ditekankan ibunya untuk dilakukan setiap kali diantara mereka ada yang berulang tahun.
Rion sendiri hanya tersenyum lebar, masih setengah mengantuk saat ia terbangun dengan suara para pelayan menyanyikan lagu selamat ulang tahun dan ibunya membawa chocolate cake yang dihiasi lilin dengan bentuk angka 19.

“Selamat ulang tahun, Rion.” Ucap ibunya sambil mencium pipi Rion setelah putranya itu meniup lilin di atas kue ulang tahunnya.
Thanks, Ma.” Kata Rion.
Ibunya tersenyum dan mengacak-acak rambut Rion penuh sayang, “Sekarang, kamu mandi dan bersiap-siap. Kita akan berangkat ke panti asuhan setelah sarapan. Kamu sudah mengemas barang-barang tidak terpakai milikmu yang masih bagus, kan?”
Rion mengangguk dan melirik kearah dua kotak kardus besar di samping meja belajarnya. Kardus-kardus itu berisi barang-barangnya yang sudah tidak terpakai lagi dan akan disumbangkan ke panti asuhan.
“Sudah, kok.” Jawab Rion.
Ibunya mengangguk dan tersenyum lagi. Setelah mencium pipi putranya untuk yang kedua kali, beliau segera keluar kamar, untuk kemudian bersiap-siap. Rion sendiri langsung menuju kamar mandi.
Sekarang, dia sedang menunggu Henny dan kedua orangtuanya datang. Rion membuka ponselnya dan mulai memainkan game.
Suara mobil di depan menarik perhatiannya. Rion menoleh ke lantai dua. Sepertinya ibunya belum juga keluar dari kamar. Entah apa yang dilakukan ibunya itu di kamarnya.
Rion lalu berdiri dan bermaksud menyambut tamu di luar. Siapa tahu itu Henny dan kedua orangtuanya.
Namun, ketika sampai di luar, rupanya yang datang di luar dugaannya.

◊◊◊

“Apa di sini rumah temanmu itu?” tanya Rafael pada putrinya yang sedang membalas pesan dari temannya di ponselnya.
Keiko mendongak melihat mansion besar keluarga Rion dan mengangguk.
“Iya, yang itu, Pa.” jawabnya.
“Mansion yang megah, ya?” ujar ibunya yang duduk di samping suaminya. “Kamu tidak pernah cerita kalau rumah temanmu sebesar ini.”
Keiko hanya nyengir mendengar ucapan ibunya.
Ibunya itu baru pulang kemarin, saat dia sendiri baru pulang dari mal. Ibunya memberi kejutan dengan pulang tanpa memberitahu Keiko. Dan pada awalnya, Keiko terkejut, tapi kemudian tersenyum lebar dan memeluk ibunya penuh kerinduan. Di saat bersamaan, ayahnya juga pulang cepat dari kantor. Dan Keiko merasakan kegembiraan luar biasa, karena jarang sekali keluarganya berkumpul bersama-sama.
Keiko langsung meminta izin pada orangtuanya ketika makan malam bersama Jason, kalau dia ingin ikut Henny dan Rion pergi ke panti asuhan.
Dan rupanya dia diizinkan, dengan mudah. Keiko sempat berpikir mungkin karena Jason ikut membantunya berbicara dan meminta izin. Namun, ketika melihat tatapan ibunya, Keiko tahu, ibunyalah yang membuat ayahnya berubah pikiran.
Mobil yang dikemudikan ayahnya memasuki halaman mansion Rion yang dibelah oleh jalan berbatu yang bisa dilewati satu mobil menuju pintu depan mansion.
Keiko baru turun dari mobil ketika pintu mansion terbuka dan Rion berdiri di sana. Sesaat, mereka saling tatap. Rion menatap Keiko dengan kening berkerut bingung dan heran. Tapi, dia segera mengalihkan perhatiannya pada pakaian yang dikenakan gadis itu. Gaun putih tanpa lengan yang dipadukan dengan jaket jins, serta syal berwarna kotak-kotak hitam dan putih. Sepintas, penampilan itu mengingatkan Rion pada saat pertama kali mereka bertemu.
Keiko tersenyum pada Rion. “Hai. Selamat pagi,” sapa Keiko.
“Ah, eh… pagi juga.” Balas Rion, “Kenapa kamu di sini?”
“Henny memberitahuku kalau hari ini kalian akan pegi ke panti asuhan.” Ujar Keiko, “Dan dia mengajakku, aku sudah berkata akan ikut, jadi dia menyuruhku untuk langsung ke rumahmu saja hari ini.”
“Oh…”
Keiko menghampiri Rion dan mengulurkan tangannya, “Selamat ulang tahun, ya? Henny bilang hari ini ulang tahunmu.” Katanya.
Rion mengangguk dan membalas uluran tangan Keiko. Dia menyadari kalau tangan Keiko lentik dan jari-jarinya begitu tegas dan rapuh di saat bersamaan.
Perasaan asing itu tiba-tiba datang lagi. Rion nyaris merengut kecewa ketika Keiko melepas genggaman tangannya.
“Oh ya, ini hadiah untukmu.” Keiko merogoh tas birunya—sepertinya gadis itu sangat suka warna biru. Hampir semua benda milik gadis itu berwarna biru, kalau tidak berwarna ungu lavender.
Keiko menyerahkan sebuah kantong kertas coklat dengan pita berwarna putih pada Rion yang menerimanya dengan perasaan senang yang datang entah dari mana.
“Apa ini?” tanya Rion. Baru kali ini dia mendapat hadiah dari orang lain.
Memang dia selalu mendapat hadiah dari ibu maupun Henny. Tapi, tidak dari orang lain selain mereka. Dan Keiko adalah orang pertama yang memberinya hadiah di hari ulang tahunnya.
“Buka saja. Tapi, itu bukan barang buatan sendiri. Mungkin agak kurang berkesan…” kata Keiko malu-malu. “Ini pertama kalinya aku memberikan hadiah pada orang lain selain kedua orangtuaku. Kuharap kamu suka pilihanku.”
Rion jadi semakin penasaran. Dia melepas pita di kantong kertas itu dan membukanya. Isinya sebuah syal bermotif kotak-kotak seperti milik Keiko. Tapi yang ini lebih panjang dari milik Keiko.
“Sebenarnya syal itu sepasang dengan syal ini.” kata Keiko malu. Pipinya merona, “Aku tidak tahu apa kesukaanmu. Jadi, ketika aku melihat syal ini, aku jatuh cinta dengan motifnya, juga kehangatannya. Kurasa itu juga cocok untukmu. Tapi, kalau kamu tidak suka, kamu tidak perlu memakainya—”
“Aku, kan belum bilang aku suka syal ini atau tidak.” ujar Rion. Dia meletakkan kantong kertas itu di dekat kakinya dan memakai syal tersebut.
“Menurutmu cocok?” tanyanya.
Keiko mengerjap dan harus menahan diri untuk mengangguk kuat-kuat melihat betapa pasnya syal itu di leher Rion. Dia akhirnya hanya mengangguk pelan sambil tersenyum.
“Cocok, kok.” Katanya sambil tersenyum.
Rion menatap syal yang sekarang melilit lehernya dan balas tersenyum.
“Terima kasih atas hadiahnya.” Ujarnya.
“S, sama-sama.”
Keiko menunduk malu ketika Rion memain-mainkan ujung syalnya.
“Keiko,”
Gadis itu menoleh dan baru menyadari kedua orangtuanya sudah berdiri di belakangnya. Menatapnya dengan pandangan penuh arti. Keiko langsung menepuk keningnya.
“Astaga… aku lupa memperkenalkan,” katanya, “Rion. Ini kedua orangtuaku, Rafael dan Helena Stanley. Dan itu Jason. Dia pasangan duetku nanti di konser tunggalku.”
Rion menatap pasangan suami-istri di belakang Keiko dengan senyum, lalu matanya beralih pada Jason. Rion mengerutkan kening. Entah kenapa, dia tidak menyukai kehadiran Jason di sana, berdiri di samping Keiko dan memeluk bahu gadis itu dengan sedikit protektif.
“Salam kenal, Tuan dan Nyonya Stanley. Saya Rion Hadi Brawijaya.” Ujar Rion memperkenalkan diri.
“Salam kenal juga, Nak Rion. Apa kau putra dari Handoko Brawijaya dan Jessica Amanda?” tanya ibu Keiko.
Rion mengangguk mengiyakan.
“Pantas saja… kau benar-benar mirip almarhum ayahmu.” Wanita itu tersenyum, “Keiko sering menatap lukisan karya ayahmu yang berjudul ‘Angel Tears’. Keiko penggemar berat lukisan beliau.”
“Benar-benar suatu kehormatan.” Kata Rion tersenyum.
Nyonya Stanley tersenyum. Dia lalu melirik putrinya yang menunduk malu dan tersenyum simpul.
Mobil lain memasuki halaman mansion. Semua orang langsung menoleh saat mobil itu berhenti di samping mobil ayah Keiko. Henny keluar dari pintu penumpang dan menyapa semua orang dengan riang. Kedua orangtuanya menyusul kemudian.
“Halo, semuanya. Kami tidak terlambat, kan?” sapa Henny riang.
“Kau ini… keceriaanmu itu bisa tidak jangan disebarkan seperti itu?” kata Rion sambil geleng-geleng kepala.
Henny hanya tersenyum lebar. Dia menyapa kedua orangtua Keiko dan Jason. Rion melihat gadis itu kelihatan gugup di hadapan Jason ketika ia menyapa cowok itu. Membuat Rion terkekeh geli.
“Kenapa kamu tertawa?” tanya Henny mendelik.
“Tidak… tidak ada apa-apa.” jawab Rion.
Henny mencibir tanpa suara. Lalu tatapannya tertuju pada syal yang melingkari leher Rion dan Keiko. Lalu tersenyum lebar dan menaikkan alisnya.
“Aku tidak tahu kalian janjian memakai syal yang sama.” Godanya. “Katakan padaku, apa kalian sudah setingkat lebih maju dari label ‘teman’?”
“Apaan, sih?” kata Rion menaikkan sebelah alisnya sementara dia melihat pipi Keiko semakin memerah.
Henny terkekeh, “Katakan sajalah, Rion… jangan-jangan kamu mulai menaruh perhatian padanya, ya?” godanya lagi.
Rion mendecak dan mengacak-acak rambut Henny.
“Hei! Kamu merusak rambut indahku ini, tahu!” kata Henny sambil tertawa.
“Henny, jangan sering-sering menggoda Rion.” Tegur ibunya, “Halo, Rafael. Kau datang juga bersama istrimu.”
“Keiko mengajak kami semua untuk ikut.” Ujar Rafael tersenyum dan menepuk kepala putrinya, “Dia ingin mengunjungi panti asuhan bersama Henny dan Rion. Dan dia membujuk dengan manis, bagaimana kami bisa menolak?”
Ibu Henny hanya terkekeh mendengarnya.
“Selamat pagi, Paman, Bibi.” Sapa Rion.
“Selamat pagi juga Rion. Di mana ibumu?”
“Sedang bersiap-siap, kurasa.” Jawab Rion, “Mungkin sebentar lagi beliau akan turun dari kamarnya.”
Benar saja. Beberapa saat kemudian ibu Rion turun dari kamarnya dan menuju pintu depan dengan gaun santai yang ditutupi dengan jaket panjang.
“Oh, semua sudah berkumpul.” Ujar beliau, “Halo, Diana, Tom. Halo, Henny sayang.”
“Halo juga, Mama Jessica.” Sapa Henny.
Pandangan ibu Rion tertuju pada kedua orangtua Keiko, “Selamat pagi. Kalian pasti orangtua Keiko, ya?”
“Ya. Saya Rafael dan ini istri saya, Helena.”
“Senang berkenalan dengan kalian. Dan siapa ini? Apa dia pacar Keiko?” tanya ibu Rion menatap Jason.
“Bukan, dia salah seorang kenalanku di Jepang. Namanya Jason.” Ujar ibu Keiko.
“Ah… Jason? Jason si pemain biola itu?”
“Betul. Saya Jason.” Ujar Jason memperkenalkan diri.
“Salam kenal juga.” Beliau tersenyum, lalu menoleh pada Rion dan menatap syal di leher putranya, “Kamu pakai syal?”
“Hadiah dari Keiko.” Jawab Rion.
“Cocok sekali dengan kemejamu. Dan mengingat kamu masih dalam proses penyembuhan setelah sakit, Mama rasa kamu memang memerlukan sesuatu yang menghangatkan tubuh.” Ujar ibunya.
Rion mengedikkan bahu.
“Semua sudah dimasukkan ke dalam mobil?” tanya ibu Rion pada pelayan di dekatnya.
“Sudah, Nyonya.”
“Bagus.” Beliau mengangguk, “Ayo, kita berangkat, semuanya.”

◊◊◊

Panti asuhan yang mereka tuju berada di pinggir kota. Keiko sempat melihat panti asuhan itu. Gedungnya dicat hijau muda. Dengan taman hijau yang indah dan juga sebuah lapangan bermain. Ada sekitar 4 gazebo di sekitar gedung utama. Panti asuhan itu kelihatannya kecil, tapi memiliki lapangan yang luas dan hijau membuat tempat tersebut terlihat asri.
Kerumunan anak-anak kecil sudah menunggu di depan gedung panti bersama beberapa orang dewasa lain. Ketika tiga mobil itu mendekat, mereka berseru ceria. Keiko merasakan perasaan hangat melihat mereka. Tawa riang mereka menyeruak ke dalam hatinya.
“Sambutannya meriah, ya?” bisik Jason yang duduk di sebelahnya.
Keiko mengangguk.
Mobil-mobil itu berhenti, dan para penumpangnya keluar. Salah seorang dewasa diantara kerumunan anak-anak itu maju mendekat.
“Selamat pagi, Bu Farah.” Sapa ibu Rion sambil tersenyum.
“Selamat pagi juga, Nyonya Jessica.” Sapa wanita yang dipanggil Bu Farah tersebut, “Dan selamat ulang tahun untuk Nak Rion. Selamat, ya, sekarang usianya sudah 19 tahun.”
“Terima kasih, Bu Farah.” Rion tersenyum, lalu melirik kerumunan anak-anak di belakang beliau, “Sepertinya mereka sudah menanti kami, ya? Sambutannya heboh sekali.”
Bu Farah tersenyum, “Anak-anak tidak sabar ingin melihat penampilan Henny bermain piano, juga kamu. Mereka sudah tidak sabar ingin diajari menggambar olehmu.”
Rion tersenyum mendengarnya. Dia membalas sapaan anak-anak itu dengan lembut.
Mereka lalu menurunkan kotak-kotak kardus yang mereka bawa. Beberapa pengurus panti juga ikut membantu mereka mengangkut semua kotak itu ke dalam gedung. Rion dan Henny lalu mengajak anak-anak itu bermain di dekat gazebo.
“Keiko, kau mau ikut?” tanya Henny, “Kita akan ke gazebo, melihat Rion mengajari anak-anak ini menggambar.”
“Memangnya… boleh?” tanya Keiko balik, agak ragu.
“Tentu saja boleh.” Kata Henny, “Tinggalkan kotak-kotak itu dan ikutlah bersama kami. Oh, kamu juga membawa biolamu?”
Keiko melirik kotak biola yang dibawanya dan mengangguk.
“Kalau begitu, ikut saja! Anak-anak pasti senang mendengarkan permainan biolamu.” Ujar Henny.
Rion melihat Keiko masih agak ragu. Tapi, ketika Jason menepuk pundaknya dan berbisik pada Keiko, yang disambut anggukan oleh gadis itu, akhirnya ia mau ikut juga. Entah apa yang dibisikkan cowok itu pada Keiko, tapi Rion merasakan setitik perasaan asing itu kembali mengusik hatinya.
Keiko berjalan di belakang anak-anak yang mengikuti mereka berdua. Saat sampai di gazebo, Keiko merasakan perasaan damai di sana. Seolah ada sesuatu yang membuat perasaannya damai seketika.
Rion dan Henny menghampiri salah satu gazebo, yang sudah dipenuhi dengan buku gambar, pensil warna, crayon, dan juga berbagai peralatan menggambar lainnya.
Tanpa banyak bicara, anak-anak itu langsung masuk ke gazebo dan mengambil peralatan menggambar untuk mereka sendiri. Sementara Rion mengambil satu buku gambar dan pensil.
“Kalian boleh menggambar apa yang kalian suka.” Ujar Rion, “Nanti, biar Kak Rion dan Kak Henny yang memeriksa gambar buatan kalian.”
Anak-anak itu langsung mengerjakan, dan mereka berceloteh ria pada teman di kiri-kanan mereka. Keiko menatap semua itu dengan kagum. Anak-anak itu memang ribut dan berisik, tapi mereka tetap menjaga ketertiban mereka. Sesekali Rion dan Henny menghampiri satu anak, mengamati gambar buatan mereka, dan kemudian memuji. Tidak ada yang dibedakan, dan semua anak langsung akrab dengan mereka berdua.
Keiko melihat mereka berdua kompak, dan dia merasa dia menjadi orang asing di tempat itu. Dia juga ingin ikut mereka memeriksa gambar buatan anak-anak, tapi dia terlalu takut. Dia takut malah merusak kesenangan mereka…
“Keiko, sedang apa kamu di situ?” Rion menyadari Keiko masih terdiam di depan gazebo, “Kemarilah.”
Keiko melangkah ragu kearah Rion dan seorang anak yang dengan senyum lebar memperlihatkan gambar buatannya.
“Coba lihat, dia menggambarmu.” Kata Rion menunjuk anak di dekatnya.
Keiko mengamati gambar buatan anak itu. Itu memang gambar yang khas untuk anak kecil tersebut. Masih berantakan, memang. Tapi gambar itu menunjukkan Keiko yang sedang berdiri di depan gazebo tadi. Gadis itu kembali didera perasaan haru dan senang menyadari bahwa ada seorang yang menggambarnya.
“Bagus, tidak, Kakak Cantik?” tanya anak itu.
“Hah? Eh… bagus, kok.” Kata Keiko tersenyum, “Gambarmu bagus sekali.”
Anak itu tersenyum makin lebar. Dan tiba-tiba saja banyak anak yang mengerumuni Keiko, meminta pendapatnya. Keiko sempat kewalahan menangani mereka semua, sementara Rion yang berdiri di dekatnya tersenyum geli.
“Kakak Cantik, Kakak pemain biola, ya?” tanya seorang anak yang dari tadi terus mengamati kotak biola di tangan Keiko.
“Iya, Kakak seorang pemain biola.” Jawab Keiko, “Kamu suka biola?”
Anak itu mengangguk, “Aku sering mendengar Bu Farah memutar music klasik saat kami akan tidur, dan aku menyukai permainan music biola. Suaranya juga bagus seperti permainan piano.”
Keiko tersenyum dan menepuk kepala anak itu dengan lembut.
“Kakak Cantik, mainkan biola itu, dong.” pinta anak itu, “Aku ingin mendengarkan permainan biola dari seorang pemain biola asli.”
“Aku juga mau dengar!”
“Aku juga! Aku juga!”
“Mainkan untuk kami, Kakak Cantik!”
Keiko menatap kearah Rion dan Henny yang tersenyum melihatnya. Gadis itu juga balas tersenyum, dan menyanggupi keinginan anak-anak itu.
Sorakan gembira mereka membuat Keiko ingin meneteskan airmata. Seumur hidupnya, baru pertama kali dia merasakan perasaan seperti ini. Haru dan senang bercampur jadi satu. Ini bahkan berbeda dari perasaannya setiap kali menyelesaikan konser atau menjadi pemusik tamu dalam sebuah orchestra.
Keiko membuka tutup kotak biolanya dan mengeluarkan biola kesayangannya, biola Stradivarius warisan dari ayahnya. Gadis itu meletakkan biola itu di pundaknya dan mengambil penggesek.
“Lagu apa yang ingin kalian dengar?” tanya gadis itu.
“Aku mau dengar lagu Lullaby!”
Twinkle Twinkle Little Star!”
Keiko tersenyum lagi menanggapi seruan anak-anak itu.
“Nah, bagaimana kalau kalian mendengarkan lagu ini?” kata Keiko, lalu memainkan sebuah melodi ceria.
Lagu yang dimainkannya adalah salah satu karya ciptaannya, ‘Joyful’, yang diciptakannya saat dia berusia 10 tahun, tepat sebelum dia menjadi seorang violinis tamu di salah satu orchestra besar di Italia. Lagu itu menceritakan pengalamannya ke Italia untuk pertama kalinya. Perasaan senang dan gembira seorang anak kecil yang pertama kali melihat salju, indahnya musim dingin di luar negeri, juga keindahan bangunan-bangunan yang ada di sana. Semua tertuang pada lagu itu.
Keiko memainkannya dengan penuh perasaan. Dalam imajinasinya, ia melihat dirinya di masa kecil asyik menjelajah di sebuah taman yang dipenuhi salju putih bersama ibunya. Bermain lempar bola salju dengan gembira dan membuat boneka salju. Wajah ceria dan senyum lebar ketika ia masih kecil bisa ia lihat dalam pikirannya.
Rion mendengarkan permainan biola Keiko, dan ikut terhanyut dalam permainan biola Keiko. Dia bisa melihat seorang anak perempuan kecil yang dengan gembira berlari di tengah salju, dengan pipi memerah dan senyum lebar. Permainan Keiko membuai Rion melihat kota Italia dari sudut pandang si gadis kecil. Henny juga larut dalam permainan Keiko. Gadis itu meletakkan sebelah tangannya di depan dada, merasakan perasaan ceria yang disampaikan Keiko.
Ketika Keiko selesai memainkan biolanya, anak-anak bertepuk tangan dan berseru gembira, memintanya memainkan lagu itu lagi.
“Lagu itu indah sekali.” Puji Henny, “Kamu benar-benar sudah berhasil merebut hati anak-anak ini.”
Keiko hanya tersenyum. Keringat membanjiri keningnya karena dia terlalu bersemangat memainkan lagu itu.
“Kuharap aku tidak merebut perhatian mereka pada kalian juga.” Kata Keiko.
Henny menggeleng, “Tidak… kami malah senang kamu juga disenangi oleh mereka. Iya, kan, Rion?”
Keiko menoleh kearah Rion yang tersenyum padanya. Dan senyum itu sukses membuat hati Keiko berbunga-bunga bahagia.

◊◊◊

Keiko mengamati anak-anak bermain dengan Henny, yang mengajaknya bermain kejar-kejaran. Dia tidak ikut karena merasa lelah, setelah memainkan lebih dari 8 lagu, dia perlu istirahat. Lagipula kakinya sudah terasa sakit walau seharusnya dia tidak merasakan sakit apa pun sekarang ini.
Keiko menatap kedua kakinya dan menghela nafas sedih. Diurutnya kedua kakinya dan merenung.
“Capek?”
Keiko mendongak dan melihat Rion berdiri di sampingnya dengan membawa dua botol minuman dingin. Cowok itu lalu duduk di sampingnya dan memberikan satu botol itu pada Keiko.
“Terima kasih,” Keiko tersenyum dan menerima botol itu.
Rion ikut memperhatikan Henny yang asyik bermain dengan anak-anak. Matanya lalu melirik Keiko yang meminum minumannya sedikit demi sedikit sambil sebelah tangannya memijat kakinya.
“Kakimu sakit?” tanya Rion.
“Tidak juga, hanya kelelahan.” Keiko tersenyum. “Dipijat sedikit pasti sembuh.”
Rion manggut-manggut. Matanya kemudian melihat para orangtua sedang asyik mengobrol. Dia sempat melihat Jason menatap kearah mereka, tapi kemudian mengalihkan pandangannya.
“Aku ke sana sebentar, ya?” kata Keiko sambil berdiri dan berjalan kearah Jason.
Tapi, baru beberapa langkah, gadis itu terjerembab jatuh dan lututnya menyentuh tanah. Membuat semua orang terkejut dan menoleh kearah gadis itu.
“Keiko!!”
Keiko meringis kesakitan dan melihat lututnya lecet. Wajahnya langsung berubah pucat dan dia membeku di tempatnya, bahkan ketika Rion dan Jason berlari kearahnya.
Jason yang pertama kali sampai. Dia langsung berlutut di samping gadis itu.
“Keiko, kamu tidak apa-apa?”
Rion melihat cowok itu menatap cemas kearah Keiko. Perasaan asing itu lagi-lagi menyerbu hatinya. Dia menatap tidak suka pada Jason. Tapi, dia ikut berlutut di samping Keiko.
Wajah Keiko masih pucat ketika Jason mengangkat tubuhnya dan menggendongnya. Para orangtua menghampiri mereka khawatir, terutama karena luka lecet di lutut Keiko mulai mengeluarkan darah.
“Apa yang terjadi?” tanya ibu Keiko cemas.
“Dia terjatuh. Mungkin tersandung batu.” Kata Jason, “Maaf, di mana ruang kesehatan di sini?”
“Bawa dia ke kamar saya. Di sana ada kotak P3K.” ujar Bu Farah.
Jason langsung mengikuti Bu Farah ke kamar beliau. Sesampainya di sana, Keiko langsung didudukkan di sisi tempat tidur, sementara Bu Farah mengambil kotak pertolongan pertama. Beliau lalu memberikannya pada Jason.
“Terima kasih, Bu.” Ucap Jason sambil tersenyum.
“Apa perlu bantuan Ibu untuk merawat lukanya?” tanya Bu Farah.
“Tidak perlu, Bu. Ibu bisa kembali ke luar bersama para orangtua.” Kata Jason, “Saya akan merawatnya.”
“Baiklah kalau begitu. Kalau ada yang diperlukan, panggil saja Ibu.”
“Baik, Bu. Sekali lagi terima kasih.”
Jason menatap wajah Keiko yang masih pucat, “Tenang, Keiko. Kamu tidak akan kenapa-kenapa.” Ujarnya.
Keiko mengangguk, walau wajahnya masih menunjukkan rasa takut.
Rion ikut masuk ke kamar itu dan melihat Jason dengan telaten membersihkan luka lecet di lutut Keiko dengan antiseptic dan obat merah, lalu membalutnya dengan perban. Lagi-lagi perasaan asing itu membuat hatinya jengkel.
“Kamu tunggu di sini, biar aku ambilkan obat-obatmu.” Kata Jason, dia kemudian melihat kearah Rion. “Bisakah kamu menjaganya sebentar?”
“Te, tentu.” Kata Rion kaget mengetahui Jason berbicara padanya.
Jason berdiri dan menepuk pundak Rion, kemudian berbisik lirih, “Aku bergantung padamu.”
Rion mengangguk dan duduk di samping Keiko. Dilihatnya gadis itu gemetar menatap kakinya.
“Kenapa kamu bisa jatuh tadi?” tanya Rion.
“A, aku tidak tahu. Tiba-tiba saja kakiku tidak bisa digerakkan…” kata Keiko.
Rion melihat ketakutan masih tidak meninggalkan gadis itu. Dia lalu menggenggam tangan gadis itu dan membuatnya menoleh kearahnya.
“Jangan takut. Itu hanya luka kecil.” Ujar Rion, “Kamu akan baik-baik saja. Percaya, deh.”
Keiko tahu kalimat itu hanya untuk menghiburnya. Namun, genggaman tangan Rion yang besar pada tangannya, serta tatapan cowok itu yang menyiratkan kalau semuanya memang akan baik-baik saja, membuat suatu pikiran bahwa dia memang akan baik-baik saja.
“Jangan takut lagi.” kata Rion.
Keiko mengangguk dan membalas genggaman tangan Rion. Dia ragu-ragu sejenak, sebelum akhirnya menyandarkan kepalanya di bahu Rion.
Rion sendiri tampak tidak keberatan. Dengan sebelah tangannya yang tidak menggenggam tangan gadis itu, ia mengelus rambut Keiko yang menutupi sebagian wajah gadis itu.

Saat Jason kembali ke kamar Bu Farah, dia melihat Rion menenangkan Keiko. Gadis itu memejamkan matanya dan membiarkan Rion membelai kepalanya. Melihat pemandangan itu, Jason tersenyum kecil. Perkiraannya memang tidak salah.
“Bagaimana keadaan Keiko?”
Henny tiba-tiba berdiri di samping Jason. Dan dia kemudian melihat pemandangan di hadapan mereka, dan tersenyum kecil.
“Kelihatannya sesuai perkiraanku.” Katanya pelan.
“Sesuai perkiraanmu?”
Henny mengangguk. “Rion tertarik pada Keiko.” Katanya lagi. “Aku tidak pernah melihat dia memperhatikan orang lain sebesar dia memperhatikan ibunya dan juga aku. Jadi, kusimpulkan Rion mulai tertarik pada Keiko.”
Jason menatap Henny yang tersenyum melihat pemandangan di hadapan mereka.
“Kamu tidak merasa cemburu?” tanya Jason.
“Untuk apa aku cemburu?” Henny balik bertanya, “Aku menginginkan kebahagiaan Rion. Sejak kecil, aku sudah menganggapnya sebagai saudara sendiri. Lagipula…”
Henny menunjukkan tangan kirinya, di jari manisnya terdapat sebuah cincin perak.
“Aku sudah punya pacar. Dan kalau tahu aku menyukai cowok lain, pacarku itu bisa membunuhku.” Kata Henny sambil terkekeh.

0 komentar:

Posting Komentar