Hari Minggu pagi, Rion sudah siap
dengan kemeja lengan panjang berwarna hitam dan celana jins. Hari ini, ia dan
ibunya akan pergi ke panti asuhan bersama keluarga Henny, merayakan hari ulang
tahunnya. Saat dia bangun tidur tadi, ibunya sudah ada di dalam kamarnya
bersama para pelayan dan menyanyikan lagu selamat ulang tahun. Sebuah tradisi
yang selalu ditekankan ibunya untuk dilakukan setiap kali diantara mereka ada
yang berulang tahun.
Rion sendiri hanya tersenyum lebar,
masih setengah mengantuk saat ia terbangun dengan suara para pelayan
menyanyikan lagu selamat ulang tahun dan ibunya membawa chocolate cake yang dihiasi lilin dengan bentuk angka 19.
“Selamat ulang tahun, Rion.” Ucap
ibunya sambil mencium pipi Rion setelah putranya itu meniup lilin di atas kue
ulang tahunnya.
“Thanks,
Ma.” Kata Rion.
Ibunya tersenyum dan mengacak-acak
rambut Rion penuh sayang, “Sekarang, kamu mandi dan bersiap-siap. Kita akan
berangkat ke panti asuhan setelah sarapan. Kamu sudah mengemas barang-barang
tidak terpakai milikmu yang masih bagus, kan?”
Rion mengangguk dan melirik kearah dua
kotak kardus besar di samping meja belajarnya. Kardus-kardus itu berisi
barang-barangnya yang sudah tidak terpakai lagi dan akan disumbangkan ke panti
asuhan.
“Sudah, kok.” Jawab Rion.
Ibunya mengangguk dan tersenyum lagi.
Setelah mencium pipi putranya untuk yang kedua kali, beliau segera keluar
kamar, untuk kemudian bersiap-siap. Rion sendiri langsung menuju kamar mandi.
Sekarang, dia sedang menunggu Henny dan
kedua orangtuanya datang. Rion membuka ponselnya dan mulai memainkan game.
Suara mobil di depan menarik
perhatiannya. Rion menoleh ke lantai dua. Sepertinya ibunya belum juga keluar
dari kamar. Entah apa yang dilakukan ibunya itu di kamarnya.
Rion lalu berdiri dan bermaksud
menyambut tamu di luar. Siapa tahu itu Henny dan kedua orangtuanya.
Namun, ketika sampai di luar, rupanya
yang datang di luar dugaannya.
◊◊◊
“Apa di sini rumah temanmu itu?” tanya
Rafael pada putrinya yang sedang membalas pesan dari temannya di ponselnya.
Keiko mendongak melihat mansion besar
keluarga Rion dan mengangguk.
“Iya, yang itu, Pa.” jawabnya.
“Mansion yang megah, ya?” ujar ibunya
yang duduk di samping suaminya. “Kamu tidak pernah cerita kalau rumah temanmu
sebesar ini.”
Keiko hanya nyengir mendengar ucapan
ibunya.
Ibunya itu baru pulang kemarin, saat
dia sendiri baru pulang dari mal. Ibunya memberi kejutan dengan pulang tanpa
memberitahu Keiko. Dan pada awalnya, Keiko terkejut, tapi kemudian tersenyum
lebar dan memeluk ibunya penuh kerinduan. Di saat bersamaan, ayahnya juga
pulang cepat dari kantor. Dan Keiko merasakan kegembiraan luar biasa, karena
jarang sekali keluarganya berkumpul bersama-sama.
Keiko langsung meminta izin pada
orangtuanya ketika makan malam bersama Jason, kalau dia ingin ikut Henny dan
Rion pergi ke panti asuhan.
Dan rupanya dia diizinkan, dengan
mudah. Keiko sempat berpikir mungkin karena Jason ikut membantunya berbicara
dan meminta izin. Namun, ketika melihat tatapan ibunya, Keiko tahu, ibunyalah
yang membuat ayahnya berubah pikiran.
Mobil yang dikemudikan ayahnya memasuki
halaman mansion Rion yang dibelah oleh jalan berbatu yang bisa dilewati satu
mobil menuju pintu depan mansion.
Keiko baru turun dari mobil ketika
pintu mansion terbuka dan Rion berdiri di sana. Sesaat, mereka saling tatap.
Rion menatap Keiko dengan kening berkerut bingung dan heran. Tapi, dia segera
mengalihkan perhatiannya pada pakaian yang dikenakan gadis itu. Gaun putih
tanpa lengan yang dipadukan dengan jaket jins, serta syal berwarna kotak-kotak
hitam dan putih. Sepintas, penampilan itu mengingatkan Rion pada saat pertama
kali mereka bertemu.
Keiko tersenyum pada Rion. “Hai.
Selamat pagi,” sapa Keiko.
“Ah, eh… pagi juga.” Balas Rion,
“Kenapa kamu di sini?”
“Henny memberitahuku kalau hari ini
kalian akan pegi ke panti asuhan.” Ujar Keiko, “Dan dia mengajakku, aku sudah
berkata akan ikut, jadi dia menyuruhku untuk langsung ke rumahmu saja hari
ini.”
“Oh…”
Keiko menghampiri Rion dan mengulurkan
tangannya, “Selamat ulang tahun, ya? Henny bilang hari ini ulang tahunmu.”
Katanya.
Rion mengangguk dan membalas uluran
tangan Keiko. Dia menyadari kalau tangan Keiko lentik dan jari-jarinya begitu
tegas dan rapuh di saat bersamaan.
Perasaan asing itu tiba-tiba datang
lagi. Rion nyaris merengut kecewa ketika Keiko melepas genggaman tangannya.
“Oh ya, ini hadiah untukmu.” Keiko
merogoh tas birunya—sepertinya gadis itu sangat suka warna biru. Hampir semua
benda milik gadis itu berwarna biru, kalau tidak berwarna ungu lavender.
Keiko menyerahkan sebuah kantong kertas
coklat dengan pita berwarna putih pada Rion yang menerimanya dengan perasaan
senang yang datang entah dari mana.
“Apa ini?” tanya Rion. Baru kali ini
dia mendapat hadiah dari orang lain.
Memang dia selalu mendapat hadiah dari
ibu maupun Henny. Tapi, tidak dari orang lain selain mereka. Dan Keiko adalah
orang pertama yang memberinya hadiah di hari ulang tahunnya.
“Buka saja. Tapi, itu bukan barang
buatan sendiri. Mungkin agak kurang berkesan…” kata Keiko malu-malu. “Ini
pertama kalinya aku memberikan hadiah pada orang lain selain kedua orangtuaku.
Kuharap kamu suka pilihanku.”
Rion jadi semakin penasaran. Dia
melepas pita di kantong kertas itu dan membukanya. Isinya sebuah syal bermotif
kotak-kotak seperti milik Keiko. Tapi yang ini lebih panjang dari milik Keiko.
“Sebenarnya syal itu sepasang dengan
syal ini.” kata Keiko malu. Pipinya merona, “Aku tidak tahu apa kesukaanmu.
Jadi, ketika aku melihat syal ini, aku jatuh cinta dengan motifnya, juga
kehangatannya. Kurasa itu juga cocok untukmu. Tapi, kalau kamu tidak suka, kamu
tidak perlu memakainya—”
“Aku, kan belum bilang aku suka syal
ini atau tidak.” ujar Rion. Dia meletakkan kantong kertas itu di dekat kakinya
dan memakai syal tersebut.
“Menurutmu cocok?” tanyanya.
Keiko mengerjap dan harus menahan diri
untuk mengangguk kuat-kuat melihat betapa pasnya syal itu di leher Rion. Dia
akhirnya hanya mengangguk pelan sambil tersenyum.
“Cocok, kok.” Katanya sambil tersenyum.
Rion menatap syal yang sekarang melilit
lehernya dan balas tersenyum.
“Terima kasih atas hadiahnya.” Ujarnya.
“S, sama-sama.”
Keiko menunduk malu ketika Rion
memain-mainkan ujung syalnya.
“Keiko,”
Gadis itu menoleh dan baru menyadari
kedua orangtuanya sudah berdiri di belakangnya. Menatapnya dengan pandangan
penuh arti. Keiko langsung menepuk keningnya.
“Astaga… aku lupa memperkenalkan,”
katanya, “Rion. Ini kedua orangtuaku, Rafael dan Helena Stanley. Dan itu Jason.
Dia pasangan duetku nanti di konser tunggalku.”
Rion menatap pasangan suami-istri di
belakang Keiko dengan senyum, lalu matanya beralih pada Jason. Rion mengerutkan
kening. Entah kenapa, dia tidak menyukai kehadiran Jason di sana, berdiri di
samping Keiko dan memeluk bahu gadis itu dengan sedikit protektif.
“Salam kenal, Tuan dan Nyonya Stanley.
Saya Rion Hadi Brawijaya.” Ujar Rion memperkenalkan diri.
“Salam kenal juga, Nak Rion. Apa kau
putra dari Handoko Brawijaya dan Jessica Amanda?” tanya ibu Keiko.
Rion mengangguk mengiyakan.
“Pantas saja… kau benar-benar mirip
almarhum ayahmu.” Wanita itu tersenyum, “Keiko sering menatap lukisan karya
ayahmu yang berjudul ‘Angel Tears’. Keiko penggemar berat lukisan beliau.”
“Benar-benar suatu kehormatan.” Kata
Rion tersenyum.
Nyonya Stanley tersenyum. Dia lalu
melirik putrinya yang menunduk malu dan tersenyum simpul.
Mobil lain memasuki halaman mansion.
Semua orang langsung menoleh saat mobil itu berhenti di samping mobil ayah
Keiko. Henny keluar dari pintu penumpang dan menyapa semua orang dengan riang.
Kedua orangtuanya menyusul kemudian.
“Halo, semuanya. Kami tidak terlambat,
kan?” sapa Henny riang.
“Kau ini… keceriaanmu itu bisa tidak
jangan disebarkan seperti itu?” kata Rion sambil geleng-geleng kepala.
Henny hanya tersenyum lebar. Dia
menyapa kedua orangtua Keiko dan Jason. Rion melihat gadis itu kelihatan gugup
di hadapan Jason ketika ia menyapa cowok itu. Membuat Rion terkekeh geli.
“Kenapa kamu tertawa?” tanya Henny
mendelik.
“Tidak… tidak ada apa-apa.” jawab Rion.
Henny mencibir tanpa suara. Lalu
tatapannya tertuju pada syal yang melingkari leher Rion dan Keiko. Lalu
tersenyum lebar dan menaikkan alisnya.
“Aku tidak tahu kalian janjian memakai
syal yang sama.” Godanya. “Katakan padaku, apa kalian sudah setingkat lebih
maju dari label ‘teman’?”
“Apaan, sih?” kata Rion menaikkan
sebelah alisnya sementara dia melihat pipi Keiko semakin memerah.
Henny terkekeh, “Katakan sajalah, Rion…
jangan-jangan kamu mulai menaruh perhatian padanya, ya?” godanya lagi.
Rion mendecak dan mengacak-acak rambut
Henny.
“Hei! Kamu merusak rambut indahku ini,
tahu!” kata Henny sambil tertawa.
“Henny, jangan sering-sering menggoda
Rion.” Tegur ibunya, “Halo, Rafael. Kau datang juga bersama istrimu.”
“Keiko mengajak kami semua untuk ikut.”
Ujar Rafael tersenyum dan menepuk kepala putrinya, “Dia ingin mengunjungi panti
asuhan bersama Henny dan Rion. Dan dia membujuk dengan manis, bagaimana kami
bisa menolak?”
Ibu Henny hanya terkekeh mendengarnya.
“Selamat pagi, Paman, Bibi.” Sapa Rion.
“Selamat pagi juga Rion. Di mana
ibumu?”
“Sedang bersiap-siap, kurasa.” Jawab
Rion, “Mungkin sebentar lagi beliau akan turun dari kamarnya.”
Benar saja. Beberapa saat kemudian ibu
Rion turun dari kamarnya dan menuju pintu depan dengan gaun santai yang ditutupi
dengan jaket panjang.
“Oh, semua sudah berkumpul.” Ujar
beliau, “Halo, Diana, Tom. Halo, Henny sayang.”
“Halo juga, Mama Jessica.” Sapa Henny.
Pandangan ibu Rion tertuju pada kedua
orangtua Keiko, “Selamat pagi. Kalian pasti orangtua Keiko, ya?”
“Ya. Saya Rafael dan ini istri saya,
Helena.”
“Senang berkenalan dengan kalian. Dan
siapa ini? Apa dia pacar Keiko?” tanya ibu Rion menatap Jason.
“Bukan, dia salah seorang kenalanku di
Jepang. Namanya Jason.” Ujar ibu Keiko.
“Ah… Jason? Jason si pemain biola itu?”
“Betul. Saya Jason.” Ujar Jason
memperkenalkan diri.
“Salam kenal juga.” Beliau tersenyum,
lalu menoleh pada Rion dan menatap syal di leher putranya, “Kamu pakai syal?”
“Hadiah dari Keiko.” Jawab Rion.
“Cocok sekali dengan kemejamu. Dan
mengingat kamu masih dalam proses penyembuhan setelah sakit, Mama rasa kamu
memang memerlukan sesuatu yang menghangatkan tubuh.” Ujar ibunya.
Rion mengedikkan bahu.
“Semua sudah dimasukkan ke dalam
mobil?” tanya ibu Rion pada pelayan di dekatnya.
“Sudah, Nyonya.”
“Bagus.” Beliau mengangguk, “Ayo, kita
berangkat, semuanya.”
◊◊◊
Panti asuhan yang mereka tuju berada di
pinggir kota. Keiko sempat melihat panti asuhan itu. Gedungnya dicat hijau
muda. Dengan taman hijau yang indah dan juga sebuah lapangan bermain. Ada sekitar
4 gazebo di sekitar gedung utama. Panti asuhan itu kelihatannya kecil, tapi
memiliki lapangan yang luas dan hijau membuat tempat tersebut terlihat asri.
Kerumunan anak-anak kecil sudah
menunggu di depan gedung panti bersama beberapa orang dewasa lain. Ketika tiga
mobil itu mendekat, mereka berseru ceria. Keiko merasakan perasaan hangat
melihat mereka. Tawa riang mereka menyeruak ke dalam hatinya.
“Sambutannya meriah, ya?” bisik Jason
yang duduk di sebelahnya.
Keiko mengangguk.
Mobil-mobil itu berhenti, dan para
penumpangnya keluar. Salah seorang dewasa diantara kerumunan anak-anak itu maju
mendekat.
“Selamat pagi, Bu Farah.” Sapa ibu Rion
sambil tersenyum.
“Selamat pagi juga, Nyonya Jessica.”
Sapa wanita yang dipanggil Bu Farah tersebut, “Dan selamat ulang tahun untuk
Nak Rion. Selamat, ya, sekarang usianya sudah 19 tahun.”
“Terima kasih, Bu Farah.” Rion
tersenyum, lalu melirik kerumunan anak-anak di belakang beliau, “Sepertinya
mereka sudah menanti kami, ya? Sambutannya heboh sekali.”
Bu Farah tersenyum, “Anak-anak tidak
sabar ingin melihat penampilan Henny bermain piano, juga kamu. Mereka sudah
tidak sabar ingin diajari menggambar olehmu.”
Rion tersenyum mendengarnya. Dia
membalas sapaan anak-anak itu dengan lembut.
Mereka lalu menurunkan kotak-kotak
kardus yang mereka bawa. Beberapa pengurus panti juga ikut membantu mereka
mengangkut semua kotak itu ke dalam gedung. Rion dan Henny lalu mengajak
anak-anak itu bermain di dekat gazebo.
“Keiko, kau mau ikut?” tanya Henny,
“Kita akan ke gazebo, melihat Rion mengajari anak-anak ini menggambar.”
“Memangnya… boleh?” tanya Keiko balik,
agak ragu.
“Tentu saja boleh.” Kata Henny,
“Tinggalkan kotak-kotak itu dan ikutlah bersama kami. Oh, kamu juga membawa
biolamu?”
Keiko melirik kotak biola yang
dibawanya dan mengangguk.
“Kalau begitu, ikut saja! Anak-anak
pasti senang mendengarkan permainan biolamu.” Ujar Henny.
Rion melihat Keiko masih agak ragu.
Tapi, ketika Jason menepuk pundaknya dan berbisik pada Keiko, yang disambut
anggukan oleh gadis itu, akhirnya ia mau ikut juga. Entah apa yang dibisikkan
cowok itu pada Keiko, tapi Rion merasakan setitik perasaan asing itu kembali
mengusik hatinya.
Keiko berjalan di belakang anak-anak
yang mengikuti mereka berdua. Saat sampai di gazebo, Keiko merasakan perasaan
damai di sana. Seolah ada sesuatu yang membuat perasaannya damai seketika.
Rion dan Henny menghampiri salah satu
gazebo, yang sudah dipenuhi dengan buku gambar, pensil warna, crayon, dan juga berbagai peralatan
menggambar lainnya.
Tanpa banyak bicara, anak-anak itu
langsung masuk ke gazebo dan mengambil peralatan menggambar untuk mereka
sendiri. Sementara Rion mengambil satu buku gambar dan pensil.
“Kalian boleh menggambar apa yang
kalian suka.” Ujar Rion, “Nanti, biar Kak Rion dan Kak Henny yang memeriksa
gambar buatan kalian.”
Anak-anak itu langsung mengerjakan, dan
mereka berceloteh ria pada teman di kiri-kanan mereka. Keiko menatap semua itu
dengan kagum. Anak-anak itu memang ribut dan berisik, tapi mereka tetap menjaga
ketertiban mereka. Sesekali Rion dan Henny menghampiri satu anak, mengamati
gambar buatan mereka, dan kemudian memuji. Tidak ada yang dibedakan, dan semua
anak langsung akrab dengan mereka berdua.
Keiko melihat mereka berdua kompak, dan
dia merasa dia menjadi orang asing di tempat itu. Dia juga ingin ikut mereka
memeriksa gambar buatan anak-anak, tapi dia terlalu takut. Dia takut malah
merusak kesenangan mereka…
“Keiko, sedang apa kamu di situ?” Rion
menyadari Keiko masih terdiam di depan gazebo, “Kemarilah.”
Keiko melangkah ragu kearah Rion dan
seorang anak yang dengan senyum lebar memperlihatkan gambar buatannya.
“Coba lihat, dia menggambarmu.” Kata
Rion menunjuk anak di dekatnya.
Keiko mengamati gambar buatan anak itu.
Itu memang gambar yang khas untuk anak kecil tersebut. Masih berantakan,
memang. Tapi gambar itu menunjukkan Keiko yang sedang berdiri di depan gazebo
tadi. Gadis itu kembali didera perasaan haru dan senang menyadari bahwa ada
seorang yang menggambarnya.
“Bagus, tidak, Kakak Cantik?” tanya
anak itu.
“Hah? Eh… bagus, kok.” Kata Keiko
tersenyum, “Gambarmu bagus sekali.”
Anak itu tersenyum makin lebar. Dan
tiba-tiba saja banyak anak yang mengerumuni Keiko, meminta pendapatnya. Keiko
sempat kewalahan menangani mereka semua, sementara Rion yang berdiri di
dekatnya tersenyum geli.
“Kakak Cantik, Kakak pemain biola, ya?”
tanya seorang anak yang dari tadi terus mengamati kotak biola di tangan Keiko.
“Iya, Kakak seorang pemain biola.”
Jawab Keiko, “Kamu suka biola?”
Anak itu mengangguk, “Aku sering
mendengar Bu Farah memutar music klasik saat kami akan tidur, dan aku menyukai
permainan music biola. Suaranya juga bagus seperti permainan piano.”
Keiko tersenyum dan menepuk kepala anak
itu dengan lembut.
“Kakak Cantik, mainkan biola itu,
dong.” pinta anak itu, “Aku ingin mendengarkan permainan biola dari seorang
pemain biola asli.”
“Aku juga mau dengar!”
“Aku juga! Aku juga!”
“Mainkan untuk kami, Kakak Cantik!”
Keiko menatap kearah Rion dan Henny
yang tersenyum melihatnya. Gadis itu juga balas tersenyum, dan menyanggupi
keinginan anak-anak itu.
Sorakan gembira mereka membuat Keiko
ingin meneteskan airmata. Seumur hidupnya, baru pertama kali dia merasakan
perasaan seperti ini. Haru dan senang bercampur jadi satu. Ini bahkan berbeda
dari perasaannya setiap kali menyelesaikan konser atau menjadi pemusik tamu
dalam sebuah orchestra.
Keiko membuka tutup kotak biolanya dan
mengeluarkan biola kesayangannya, biola Stradivarius
warisan dari ayahnya. Gadis itu meletakkan biola itu di pundaknya dan mengambil
penggesek.
“Lagu apa yang ingin kalian dengar?”
tanya gadis itu.
“Aku mau dengar lagu Lullaby!”
“Twinkle
Twinkle Little Star!”
Keiko tersenyum lagi menanggapi seruan
anak-anak itu.
“Nah, bagaimana kalau kalian
mendengarkan lagu ini?” kata Keiko, lalu memainkan sebuah melodi ceria.
Lagu yang dimainkannya adalah salah
satu karya ciptaannya, ‘Joyful’, yang
diciptakannya saat dia berusia 10 tahun, tepat sebelum dia menjadi seorang violinis tamu di salah satu orchestra
besar di Italia. Lagu itu menceritakan pengalamannya ke Italia untuk pertama kalinya.
Perasaan senang dan gembira seorang anak kecil yang pertama kali melihat salju,
indahnya musim dingin di luar negeri, juga keindahan bangunan-bangunan yang ada
di sana. Semua tertuang pada lagu itu.
Keiko memainkannya dengan penuh
perasaan. Dalam imajinasinya, ia melihat dirinya di masa kecil asyik menjelajah
di sebuah taman yang dipenuhi salju putih bersama ibunya. Bermain lempar bola
salju dengan gembira dan membuat boneka salju. Wajah ceria dan senyum lebar
ketika ia masih kecil bisa ia lihat dalam pikirannya.
Rion mendengarkan permainan biola
Keiko, dan ikut terhanyut dalam permainan biola Keiko. Dia bisa melihat seorang
anak perempuan kecil yang dengan gembira berlari di tengah salju, dengan pipi
memerah dan senyum lebar. Permainan Keiko membuai Rion melihat kota Italia dari
sudut pandang si gadis kecil. Henny juga larut dalam permainan Keiko. Gadis itu
meletakkan sebelah tangannya di depan dada, merasakan perasaan ceria yang
disampaikan Keiko.
Ketika Keiko selesai memainkan
biolanya, anak-anak bertepuk tangan dan berseru gembira, memintanya memainkan
lagu itu lagi.
“Lagu itu indah sekali.” Puji Henny,
“Kamu benar-benar sudah berhasil merebut hati anak-anak ini.”
Keiko hanya tersenyum. Keringat
membanjiri keningnya karena dia terlalu bersemangat memainkan lagu itu.
“Kuharap aku tidak merebut perhatian
mereka pada kalian juga.” Kata Keiko.
Henny menggeleng, “Tidak… kami malah
senang kamu juga disenangi oleh mereka. Iya, kan, Rion?”
Keiko menoleh kearah Rion yang
tersenyum padanya. Dan senyum itu sukses membuat hati Keiko berbunga-bunga
bahagia.
◊◊◊
Keiko mengamati anak-anak bermain
dengan Henny, yang mengajaknya bermain kejar-kejaran. Dia tidak ikut karena
merasa lelah, setelah memainkan lebih dari 8 lagu, dia perlu istirahat.
Lagipula kakinya sudah terasa sakit walau seharusnya dia tidak merasakan sakit
apa pun sekarang ini.
Keiko menatap kedua kakinya dan
menghela nafas sedih. Diurutnya kedua kakinya dan merenung.
“Capek?”
Keiko mendongak dan melihat Rion
berdiri di sampingnya dengan membawa dua botol minuman dingin. Cowok itu lalu
duduk di sampingnya dan memberikan satu botol itu pada Keiko.
“Terima kasih,” Keiko tersenyum dan
menerima botol itu.
Rion ikut memperhatikan Henny yang
asyik bermain dengan anak-anak. Matanya lalu melirik Keiko yang meminum
minumannya sedikit demi sedikit sambil sebelah tangannya memijat kakinya.
“Kakimu sakit?” tanya Rion.
“Tidak juga, hanya kelelahan.” Keiko
tersenyum. “Dipijat sedikit pasti sembuh.”
Rion manggut-manggut. Matanya kemudian
melihat para orangtua sedang asyik mengobrol. Dia sempat melihat Jason menatap
kearah mereka, tapi kemudian mengalihkan pandangannya.
“Aku ke sana sebentar, ya?” kata Keiko
sambil berdiri dan berjalan kearah Jason.
Tapi, baru beberapa langkah, gadis itu
terjerembab jatuh dan lututnya menyentuh tanah. Membuat semua orang terkejut
dan menoleh kearah gadis itu.
“Keiko!!”
Keiko meringis kesakitan dan melihat
lututnya lecet. Wajahnya langsung berubah pucat dan dia membeku di tempatnya,
bahkan ketika Rion dan Jason berlari kearahnya.
Jason yang pertama kali sampai. Dia
langsung berlutut di samping gadis itu.
“Keiko, kamu tidak apa-apa?”
Rion melihat cowok itu menatap cemas
kearah Keiko. Perasaan asing itu lagi-lagi menyerbu hatinya. Dia menatap tidak
suka pada Jason. Tapi, dia ikut berlutut di samping Keiko.
Wajah Keiko masih pucat ketika Jason
mengangkat tubuhnya dan menggendongnya. Para orangtua menghampiri mereka
khawatir, terutama karena luka lecet di lutut Keiko mulai mengeluarkan darah.
“Apa yang terjadi?” tanya ibu Keiko
cemas.
“Dia terjatuh. Mungkin tersandung
batu.” Kata Jason, “Maaf, di mana ruang kesehatan di sini?”
“Bawa dia ke kamar saya. Di sana ada
kotak P3K.” ujar Bu Farah.
Jason langsung mengikuti Bu Farah ke
kamar beliau. Sesampainya di sana, Keiko langsung didudukkan di sisi tempat
tidur, sementara Bu Farah mengambil kotak pertolongan pertama. Beliau lalu
memberikannya pada Jason.
“Terima kasih, Bu.” Ucap Jason sambil
tersenyum.
“Apa perlu bantuan Ibu untuk merawat
lukanya?” tanya Bu Farah.
“Tidak perlu, Bu. Ibu bisa kembali ke
luar bersama para orangtua.” Kata Jason, “Saya akan merawatnya.”
“Baiklah kalau begitu. Kalau ada yang
diperlukan, panggil saja Ibu.”
“Baik, Bu. Sekali lagi terima kasih.”
Jason menatap wajah Keiko yang masih
pucat, “Tenang, Keiko. Kamu tidak akan kenapa-kenapa.” Ujarnya.
Keiko mengangguk, walau wajahnya masih
menunjukkan rasa takut.
Rion ikut masuk ke kamar itu dan
melihat Jason dengan telaten membersihkan luka lecet di lutut Keiko dengan
antiseptic dan obat merah, lalu membalutnya dengan perban. Lagi-lagi perasaan
asing itu membuat hatinya jengkel.
“Kamu tunggu di sini, biar aku ambilkan
obat-obatmu.” Kata Jason, dia kemudian melihat kearah Rion. “Bisakah kamu
menjaganya sebentar?”
“Te, tentu.” Kata Rion kaget mengetahui
Jason berbicara padanya.
Jason berdiri dan menepuk pundak Rion,
kemudian berbisik lirih, “Aku bergantung padamu.”
Rion mengangguk dan duduk di samping
Keiko. Dilihatnya gadis itu gemetar menatap kakinya.
“Kenapa kamu bisa jatuh tadi?” tanya
Rion.
“A, aku tidak tahu. Tiba-tiba saja
kakiku tidak bisa digerakkan…” kata Keiko.
Rion melihat ketakutan masih tidak
meninggalkan gadis itu. Dia lalu menggenggam tangan gadis itu dan membuatnya
menoleh kearahnya.
“Jangan takut. Itu hanya luka kecil.”
Ujar Rion, “Kamu akan baik-baik saja. Percaya, deh.”
Keiko tahu kalimat itu hanya untuk
menghiburnya. Namun, genggaman tangan Rion yang besar pada tangannya, serta
tatapan cowok itu yang menyiratkan kalau semuanya memang akan baik-baik saja,
membuat suatu pikiran bahwa dia memang akan baik-baik saja.
“Jangan takut lagi.” kata Rion.
Keiko mengangguk dan membalas genggaman
tangan Rion. Dia ragu-ragu sejenak, sebelum akhirnya menyandarkan kepalanya di
bahu Rion.
Rion sendiri tampak tidak keberatan.
Dengan sebelah tangannya yang tidak menggenggam tangan gadis itu, ia mengelus
rambut Keiko yang menutupi sebagian wajah gadis itu.
Saat Jason kembali ke kamar Bu Farah,
dia melihat Rion menenangkan Keiko. Gadis itu memejamkan matanya dan membiarkan
Rion membelai kepalanya. Melihat pemandangan itu, Jason tersenyum kecil.
Perkiraannya memang tidak salah.
“Bagaimana keadaan Keiko?”
Henny tiba-tiba berdiri di samping
Jason. Dan dia kemudian melihat pemandangan di hadapan mereka, dan tersenyum
kecil.
“Kelihatannya sesuai perkiraanku.”
Katanya pelan.
“Sesuai perkiraanmu?”
Henny mengangguk. “Rion tertarik pada
Keiko.” Katanya lagi. “Aku tidak pernah melihat dia memperhatikan orang lain
sebesar dia memperhatikan ibunya dan juga aku. Jadi, kusimpulkan Rion mulai
tertarik pada Keiko.”
Jason menatap Henny yang tersenyum
melihat pemandangan di hadapan mereka.
“Kamu tidak merasa cemburu?” tanya
Jason.
“Untuk apa aku cemburu?” Henny balik
bertanya, “Aku menginginkan kebahagiaan Rion. Sejak kecil, aku sudah
menganggapnya sebagai saudara sendiri. Lagipula…”
Henny menunjukkan tangan kirinya, di
jari manisnya terdapat sebuah cincin perak.
“Aku sudah punya pacar. Dan kalau tahu
aku menyukai cowok lain, pacarku itu bisa membunuhku.” Kata Henny sambil
terkekeh.
0 komentar:
Posting Komentar