Hari terakhir ujian semester, hanya ada
satu mata pelajaran yang diujikan, dan setelahnya semua siswa terbebas dari
keharusan menjawab soal-soal atau belajar dengan buku di bawah hidung mereka
menghafal rumus-rumus Fisika, Kimia, atau Matematika yang kadang bisa membuat
rambut mengalami kebotakan dini.
Keiko dan Henny baru saja kembali dari
kantin, membeli sekotak nasi goreng dan sebotol jus jambu. Keiko membeli dua
kotak karena dia dan Rion berencana akan piknik di taman bunga akademi.
“Aku boleh ikut? Dulu-dulu aku tidak
sempat ke taman itu. Sekarang, aku ingin ke sana. Dan aku berjanji tidak akan
mengganggu kalian berdua pacaran dan menjadi obat nyamuk.” Ujar Henny dengan
senyum lebar.
Rion sendiri tidak menolak ketika Henny
ikut mereka piknik di taman. Mereka bertiga malah asyik membahas ujian yang
mana yang sukses membuat mereka kepala mereka pusing tujuh keliling,
dilanjutkan dengan tujuan liburan semester nanti.
“Aku akan ke Jepang dengan kedua
orangtuaku dan Kak Jason.” Kata Keiko, “Kami… akan menemui seseorang di sana.”
“Kenapa kamu menyebut Jason dengan
sebutan kakak?” tanya Henny, “Ngomong-ngomong, Jason juga pernah menyebutmu
dengan sebutan ‘adik kecil’.”
Keiko hanya tersenyum lebar mendengar
pertanyaan Henny.
“Sebenarnya apa hubunganmu dengan
Jason, sih? Aku jadi penasaran.” ujar Henny.
“Aku dan Jason itu…”
“Di sini kamu rupanya.”
Mereka bertiga menoleh dan melihat
orang yang mereka bicarakan berjalan menghampiri mereka.
Jason mendekati mereka dan sempat
tersenyum pada Rion, yang membalas dengan anggukan kaku.
“Aku mencarimu kemana-mana, dan
ternyata kamu ada di sini.” ujar Jason sambil duduk di sebelah Henny,
“Persiapan sudah beres. Tinggal menunggu waktu kapan kita akan berangkat.”
Wajah Keiko semakin cerah mendengar
ucapan Jason, “Benarkah?”
“Yup. Kita tinggal berangkat saja.”
kata Jason, lalu melirik Henny dan Rion, “Kalian juga boleh ikut kalau mau.”
“Hah? Ke mana?” tanya Henny.
“Ke Jepang.” jawab Jason, “Kalau kalian
tidak keberatan untuk menemani Keiko di sana. Aku sudah pasti akan sibuk
mengurus beberapa hal lain yang belum selesai. Dan aku yakin, selain kedua
orangtuanya, Keiko pasti akan membutuhkan teman.”
Lalu matanya melirik Rion, “Terutama
kamu.” katanya. Membuat pipi Keiko memerah dan Rion memandang kearah lain,
berpura-pura menatap air kolam yang jernih.
Henny terkekeh melihat sikap malu-malu
Rion.
“Sepertinya bakal menyenangkan. Tapi,
kami harus bilang dulu pada orangtua kami.” Ujar Henny.
“Tentu saja. Bisa-bisa nanti aku malah
dikira penculik kalau kalian tidak memberitahu orangtua kalian terlebih dulu.”
Canda Jason.
“Oke, aku Cuma ingin menyampaikan itu.
Silakan teruskan pembicaraan kalian.” kata Jason sambil berdiri, “Aku harus
menemui orangua Keiko dulu. Sampai nanti.”
Jason melangkah pergi. Dan Keiko
merasakan hatinya berdebar-debar. Dia sudah tidak sabar ingin pergi ke Jepang
dan bertemu ibu kandungnya.
“Sepertinya kamu tidak sabar ingin
pergi ke Jepang.” ujar Rion yang melihat binar gembira di mata Keiko.
“Memangnya ada apa di Jepang sampai-sampai kamu bersemangat seperti itu?”
“Hah? Eh… ada deh. Nanti juga kalian
tahu.” kata Keiko sambil tersenyum, “Yang jelas, kalau kamu mengira aku akan
berkencan dengan Jason, itu tidak akan terjadi. Aku, kan sudah memiliki kamu.”
Rion mengerjap dan menggaruk-garuk
kepalanya. Wajahnya agak memerah mendengar ucapan Keiko barusan.
Sementara itu, Henny tertawa melihat
rona merah di wajah Rion.
◊◊◊
Liburan semester dimulai seminggu
kemudian. Rapor akan diberikan pada para siswa setelah liburan semester
berakhir, tepatnya pada semester ajaran baru. Dan Rion serta Keiko yang sudah
bertaruh siapa yang nilainya lebih tinggi diantara mereka terpaksa mengurungkan
niat untuk menunjukkan lagu dan lukisan terbaru mereka.
Henny dan Rion mendapat izin untuk ikut
ke Jepang bersama keluarga Keiko dan Jason. Mereka memakai alasan kalau mereka
ingin melepas stress setelah selama seminggu berkutat dengan buku-buku pelajaran
dan soal-soalnya yang membingungkan dan membuat semangat hidupnya memudar(kalau
ini alasan Henny).
Keiko senang sekali mereka berdua mau
ikut. Kedua orangtua Keiko pun juga turut senang. Mengingat Keiko akhir-akhir
ini sering tersenyum dan tertawa semenjak berteman dengan Henny dan Rion.
Mereka menganggap kehadiran kedua teman Keiko itu bisa menghilangkan rasa sepi
Keiko ketika di Jepang nanti.
Perjalanan menuju Negeri Sakura itu
memakan waktu seharian. Rion merasakan dia mengalami jet-lag parah, tapi berhasil diatasi dengan obat yang dibawa Keiko.
Saat sampai di bandara, ayah Keiko
membawa mereka menuju mobil yang sudah dipesannya untuk digunakan selama mereka
berada di Jepang. Kebetulan pusat perusahaan property beliau berada di Jepang,
dan beliau memutuskan untuk menggunakan fasilitas perusahaan berupa mobil yang
cukup memuat mereka semua.
Mobil meluncur menembus hawa dingin
kota Tokyo yang saat itu sedang mengalami musim dingin. Sepanjang perjalanan,
mereka melihat trotoar dan toko-toko dihiasi hiasan natal. Ini bulan Desember.
Semua orang tentu sedang menyambut Natal yang akan datang kurang dari beberapa
hari lagi.
Mereka memasuki kawasan perumahan yang
terletak tidak jauh dari real estate
kota Tokyo. Mereka melewati jalan yan lengang, karena salju perlahan mulai
turun.
“Salju!” pekik Keiko gembira, “Ini
pertama kalinya aku melihat salju di Tokyo.”
“Memangnya dulu tidak pernah turun
salju?” tanya Rion. Keningnya berkerut samar ketika melihat sebuah taman
bermain dengan tiga ayunan dan permainan jungkat-jungkit di sana.
“Jarang turun salju di Tokyo.” Kata
Keiko, “Terakhir kali aku melihat salju adalah saat aku bertemu Pangeran
Tampan.”
“Pangeran Tampan? Ah, maksudmu anak
kecil yang menolongmu membantu kucing yang tidak bisa turun dari pohon?” tanya
Henny.
“Iya. Pangeran Tampan sangat baik, dan
dia bermain denganku setiap hari.” Keiko tersenyum lebar, “Dan dia juga cinta
pertamaku. Tapi, tentu saja aku sudah melupakannya. Mengingat kejadiannya sudah
lebih dari sepuluh tahun lalu.”
Rion agak tertarik mendengar cerita
Keiko. Benaknya tiba-tiba merasakan kalau dia pernah mendengar cerita itu
sebelumnya.
Mobil mendekati pagar besi sebuah rumah
putih megah di ujung jalan. Ayah Keiko turun sebentar dari mobil untuk membuka
gembok pagar dan setelahnya kembali masuk ke dalam mobil untuk membawa mereka
ke rumah putih itu.
“Lho, rumah ini, kan…” Rion mendadak
teringat sesuatu. Sesuatu yang sudah lama dilupakannya.
“Kenapa, Rion?” tanya Henny, “Rumah
Keiko bagus, ya?”
Rion tidak menjawab. Matanya menatap
rumah itu lekat-lekat, kemudian melirik kearah Keiko. Tatapannya kini berganti
lagi kearah rumah itu.
Perasaan asing yang pernah dirasakannya
pertama kali ketika bertemu Keiko sudah menemui jawabannya!
◊◊◊
Rumah itu luas. Dengan warna putih yang
seakan menyatu dengan warna putih salju. Pasangan Stanley membuka semua kain
yang menutupi perabotan dan mengantarkan mereka ke kamar yang akan mereka
tempati masing-masing.
“Ini rumah pertama kami.” Kata ibu
Keiko, “Di sini banyak kenangannya. Kami tidak bisa menjualnya walau sudah
banyak yang ingin membeli rumah ini dengan harga tinggi.”
Rion menempati kamar di ujung di dekat
tangga di lantai dua, sementara Henny menempati kamar di tengah, dan Keiko di
kamar paling ujung, yang jendela berhadapan langsung dengan halaman belakang
yang mulai diselimuti salju. Jason hanya mengantarkan mereka. Laki-laki itu
mengatakan kalau ia mempunyai apartemen di dekat situ, jadi tidak perlu
menginap di rumah tersebut.
Setelah menaruh barang-barang mereka,
Keiko mengajak Rion dan Henny turun ke dapur, membuat coklat panas untuk mereka
semua, sementara ayah dan ibunya berbicara sebentar dengan Jason.
“Mama sering bilang coklat panas
buatanku adalah yang paling enak.” kata Keiko, “Aku ingin kalian berdua juga
mencicipinya. Tunggu sebentar, ya?”
Gadis itu dengan lincah berputar-putar
di dapur, membuat coklat panas. Rion duduk di salah satu kursi tinggi di dapur
dan memperhatikan Keiko, yang pipinya merona merah dan kelihatan gembira.
“Sepertinya ada yang kamu pikirkan.”
Bisik Henny yang duduk di sebelahnya. “Apa ada masalah?”
“Tidak ada,” Rion menggeleng, kemudian
terdiam, “Tapi, mungkin memang ada. Kau tahu, aku selalu merasa pernah melihat
Keiko sebelumnya. Dan baru saja kutemukan jawabannya kenapa aku merasa pernah
melihat Keiko sebelum ini.”
“Oh ya? Kamu tidak pernah bercerita
tentang itu padaku.” ujar Henny.
“Karena aku masih ragu. Dan aku tidak
mau menjejali otakmu yang kecil itu dengan perkiraanku yang masih kuragukan.”
Kata Rion terkekeh, sementara Henny cemberut dan misuh-misuh.
“Nah, ini dia!”
Keiko meletakkan dua cangkir coklat
panas yang mengepulkan asap. Gadis itu juga membawa nampan berisi tiga cangkir
coklat yang sudah jadi.
“Cobalah, aku menambahkan gula dan
sedikit krim, kalau-kalau kalian suka yang lebih manis.” ujar Keiko.
Rion mengambil cangkirnya dan
menyesapnya. Rasa coklat yang manis berpadu dengan krim segar. Rasanya enak.
“Enak sekali.” Kata Rion. “Jauh lebih
enak daripada coklat buatan kafe coklat yang pernah kukunjungi bersama Henny.”
“Benarkah?” pipi Keiko makin merona, “Bagaimana
rasanya, Henny.”
“Luar biasa.” kata Henny sambil
tersenyum lebar, “Kurasa aku akan ketagihan coklat panasmu.”
Keiko tertawa, “Aku akan membawa coklat
panas ini untuk Papa dan Mama, kalian tunggu di sini sebentar, dan—”
“Biar aku saja yang membawanya.” Kata
Henny. “Kalian berdua, kan ingin menghabiskan waktu berdua. Silakan kalian
bermesraan dan melampiaskan kerinduan kalian selama ujian kemarin.”
“Henny!”
Henny tertawa dan membawa nampan berisi
tiga cangkir coklat itu keluar dari dapur. Keiko sendiri menatap kearah Rion.
“Duduklah.” Kata Rion, menunjuk kursi
yang tadi diduduki Henny.
Gadis itu menurut dan duduk di sebelah
Rion. Dia memperhatikan Rion meminum coklatnya pelan-pelan.
“Hmm… Keiko,”
“Ya?”
“Tadi saat di mobil, kamu bercerita
tentang Pangeran Tampan.” Rion agak mengernyit menyebut nama itu, “Apa kamu
masih ingat siapa Pangeran Tampan yang kamu maksud?”
“Kenapa kamu menanyakan itu?” tanya
Keiko balik, kemudian menatapnya menggoda, “Kamu cemburu, ya?”
“Tidak… aku tidak cemburu. Aku hanya
ingin tahu.” kata Rion.
“Bilang saja kamu cemburu.” Keiko
tertawa kecil, “Pangeran Tampan itu… pertama kali aku bertemu dengannya saat
aku berusia 7 tahun. Saat itu aku melihat kucing di dekat ayunan dan bermaksud
mendekatinya. Tapi, tiba-tiba kucing itu berjengit dan mulai mendaki pohon
tinggi di dekatnya.”
Keiko tersenyum mengingat memori itu.
Dia masih ingat dia menangis karena tidak bisa menolong kucing itu, yang
setelah beberapa saat berada di dahan tertinggi mulai menyadari bahwa dia tidka
bisa turun sendiri.
“Aku menangis karena tidak bisa
menolong kucing itu.” kata Keiko, “Kalau dipikir-pikir, dari dulu aku memang
cengeng. Aku selalu menangis pada setiap hal, termasuk kucing itu.”
Rion hanya tersenyum simpul
mendengarnya.
“Lalu, apa yang terjadi?” tanyanya.
“Dia datang menghampiriku yang menangis
tidak tahu harus berbuat apa.” Keiko tersenyum, “Dia bertanya ‘kenapa kamu
menangis?’. Tapi, aku tidak bisa menjawabnya dan hanya menunjuk-nunjuk keatas
pohon, kearah kucing itu. Dia sempat melirik sekilas keatas pohon, tapi tidak
berbuat apa-apa. Aku menangis lebih kencang ketika itu.
“Lalu, tahu- tahu saja aku mendengar
sesuatu bergerak di dekatku. Ketika membuka mata, aku melihat kucing yang tadi
ada di atas pohon sudah menggeliat di kakiku. Anak itu menyelamatkan kucing itu
dari pohon, dan sejak itulah aku terpesona olehnya.”
“Hmmm…” kali ini senyum Rion
mengembang, “Apa kamu berpikir ingin menemui Pangeran Tampan itu lagi?”
Keiko memiringkan kepalanya.
“Aku mau, tapi itu tentu tidak mungkin.
Setelah berminggu-minggu kami bermain bersama, dia tiba-tiba menghilang. Aku
berpikir dia pergi sebentar karena kudengar keluarganya berada di luar negeri.
Tapi, ketika keesokan harinya dia tidak datang lagi, aku mulai cemas. Dan
setelah berbulan-bulan, aku baru sadar dia tidak akan kembali.”
Keiko lalu mengedikkan bahunya, “Kalau
dipikir-pikir, itu hanya kenangan masa kecil. Ya… walau itu membuatku merasa
bahagia. Tapi, tetap saja…”
“Intinya, kamu ingin bertemu lagi
dengan si Pangeran Tampan?” tanya Rion.
“Hmm… iya.” kata Keiko, “Tapi, kenapa
kamu menanyakan hal itu?”
Senyum Rion sekarang lebih lebar,
“Karena aku mengenal Pangeran Tampan itu.”
“Benarkah?” mata Keiko membulat dan
membuatnya benar-benar mirip boneka. “Kamu tahu siapa dia? Dia ada di mana?”
Rion terkekeh melihat antusias Keiko.
“Pangeran Tampan-mu itu…” kata Rion,
“Hampir saja melupakan kenangan itu. Tapi, ketika dia mendengar seseorang
menceritakan hal itu, dia teringat kembali. Dan juga, dia mulai mengingat,
kalau dia pernah berjanji pada seorang anak perempuan kecil yang selalu
menungguinya di taman untuk bermain bersama.”
Rion menghentikan kata-katanya,
menunggu reaksi Keiko.
“Mendengar seseorang menceritakan hal
itu? Bagaimana bisa?” tanya Keiko.
“Tentu saja bisa.” Jawab Rion, “Karena
Pangeran Tampan itu ternyata sudah bertemu dengan anak perempuan kecil itu,
yang sekarang sedang menatapnya dengan pandangan ingin tahu.”
Keiko mengerutkan kening dan lama ia
berpikir apa maksud ucapan Rion. Tapi, kemudian, kerutan di keningnya memudar
dan dia menatap Rion dengan tatapan tidak percaya.
“Rion, kamu tidak akan bilang kalau…
kalau Pangeran Tampan di masa kecilku itu…”
“Yup. Itu aku.” ujar Rion. “Awalnya aku
juga terkejut. Sejak awal, aku selalu merasa aku pernah bertemu denganmu.
Sifatmu yang ceria dan juga cengeng itu membuatku semakin curiga. Terutama
tadi, ketika kamu menceritakan Pangeran Tampan-mu itu…”
Keiko yakin pipinya memerah mendengar
Rion tertawa geli.
“Jadi… jadi, kamu Pangeran Tampan?”
tanya Keiko, “Tapi, kenapa bisa? Ah, ya… aku jura merasa pernah bertemu
denganmu. Tapi, perasaan itu hanya sekilas, dan setelahnya tidak pernah
kupikirkan lagi. Aku tidak menyangka kalau kamu adalah Pangeran Tampan.”
Rion terkekeh, “Dan aku juga tidak
menyangka rupanya anak perempuan kecil itu bisa berubah menjadi gadis cantik
yang ada di hadapanku.” Katanya.
“A, aku tidak merasa aku cantik…” kata
Keiko tertawa gugup, “Kurasa aku biasa-biasa saja.”
“Kamu cantik.” kata Rion, menyelipkan
rambut Keiko ke belakang telinga gadis itu. “Dan aku senang melihat pipimu
merona merah. Seperti buah apel yang siap digigit.”
Keiko memasang tampang pura-pura
cemberut dan tertawa bersama Rion.
“Jadi… yang kamu maksud jatuh cinta
pada pandangan pertama, pasti saat kita berdua masih kecil, kan?” kata Rion.
“Kurasa begitu.” Keiko membalas dengan
senyum lebar. “Dan aku senang bisa bertemu Pangeran Tampan lagi. Bahkan menjadi
pacarku.”
“Aku juga senang.” Ujar Rion.
Suasana diantara mereka lalu hening.
Keiko merasa ada atmosfer aneh diantara mereka yang membuatnya berdebar-debar.
Rion juga merasakannya. Dia menarik
Keiko mendekat dan memeluk gadis itu. Keiko bersandar nyaman pada dada Rion dan
memejamkan matanya.
Suara dehaman yang terdengar disengaja
membuat mereka berdua cepat-cepat melepaskan diri. Jason berdiri di sana dengan
senyum lebar.
“Kuharap aku tidak mengganggu waktu
pribadi kalian.” katanya masih tersenyum, “Tapi, Keiko, kita akan berangkat
sebentar lagi ke tempat tujuan kita.”
“Oh, oh iya…” Keiko mengangguk cepat.
“A, aku akan segera bersiap-siap. Kalian berdua tunggu saja dulu di ruang
tamu.”
Keiko buru-buru keluar dari dapur,
diiringi tawa kekeh pelan dari Jason. Cowok itu lalu duduk di hadapan Rion,
yang kelihatan tidak senang saat-saat dia berpelukan dengan Keiko diganggu.
“Jangan menatapku dengan tatapan marah
seperti itu, kawan.” Kata Jason, “Aku inginnya tidak mengganggu kalian. Tapi,
hanya hari ini saja Keiko bisa bertemu dengan beliau sebelum beliau pergi ke
Korea untuk menghadiri pesta peragaan busana di sana selama beberapa hari ke
depan.”
“Memangnya kalian akan bertemu dengan
siapa?” tanya Rion bingung, “Dan… pesta peragaan busana? Memangnya Keiko
ditawari jadi model, ya?”
Jason mengangguk-angguk, “Ah, ya… aku
lupa menceritakan kenapa kami harus pergi ke Jepang padamu dan Henny. Kami
hanya menjelaskan sepotong-sepotong.” Ujarnya.
“Kami akan menemui ibuku, Oda Maya,
yang tidak lain adalah ibu kandung Keiko.”
◊◊◊
“Oda Maya, perancang busana terkenal
itu ibu kandung Keiko!?” tanya Henny kaget. “Bagaimana bisa? Bukannya… bukannya
orangtua Keiko itu Paman dan Bibi Stanley? Lalu…”
“Itu… cerita yang cukup panjang.” Kata
Keiko, melirik kearah kedua orangtuanya, “Tapi, nanti aku akan menceritakannya.
Aku janji.”
Henny mengangguk-angguk bersemangat,
terus mengatakan pada Keiko agar menjelaskan padanya sedetail mungkin setelah
mereka pergi ke tempat Oda Maya. Rion sendiri sebenarnya juga menginginkan
penjelasan, tapi dia tidak seheboh Henny dan hanya menggenggam tangan Keiko
penuh perlindungan. Sementara Jason tidak tahu harus menengahi celotehan Henny
atau berpura-pura membaca buku yang dibawanya. Namun, cowok itu sempat
mengerling geli pada Keiko yang disambut pelotototan dengan ekspresi cemberut
samar.
Rafael dan Helena Stanley hanya
tersenyum kecil melihat kehebohan di kursi belakang. Mereka berdua tidak
terganggu dengan kehebohan itu dan malah menikmatinya.
“Mereka benar-benar heboh.” Bisik
Helena pada suaminya, “Tapi, ramai seperti ini menyenangkan juga.”
Rafael terkekeh dan menggenggam tangan
istrinya.
0 komentar:
Posting Komentar