“Hayo!! Lagi memikirkan apa?”
Rion
nyaris meloncat dari tempat duduknya ketika Henny secara tidak
berperi-kemanusiaan mengejutkannya dari belakang. Untung saja dia tidak sedang
melukis atau sedang menyiramkan alcohol pada hasil lukisan yang gagal dan
sedang merenung di kamarnya. Kalau tidak, mungkin dia bakal lebih bete dari
sekarang.
“Hei,
kamu itu tidak punya kerjaan lain, ya? Bikin kaget orang saja.” gerutu Rion.
Henny
terkekeh dan duduk di sebelah Rion, lalu mencomot keripik kentang yang dipegang
cowok itu.
“Tumben
sekali kamu tidak berada di studio. Biasanya setiap pulang sekolah kamu pasti
mengurung diri di studio sampai larut malam.” Ujar Henny, “Ada angin apa ini?”
“Apa-apaan
sih?” Rion mengerutkan kening.
“Habisnya,
kamu bertingkah aneh.” Kata Henny, “Sejak pulang sekolah tadi kamu terus
senyum-senyum seperti orang gila. Apa Keiko yang membuatmu begitu?”
Rion
tidak menjawab. Dia hanya tersenyum tipis dan kembali memakan keripik
kentangnya.
Melihat
senyum Rion itu, yang jarang sekali ditunjukkan pada orang lain apalagi
padanya, membuat Henny langsung memekik, mengguncang-guncang tubuh Rion meminta
penjelasan.
“Apa
yang dilakukan Keiko padamu? Dia tidak membuatmu kerepotan, kan? Dia tidak
jatuh atau apa, kan?” tanya Henny.
“Kamu
ini sebenarnya khawatir pada Keiko atau padaku, sih?”
“Kalian
berdua, tentu saja.” kata Henny, “Jadi, jawab pertanyaanku atau aku akan
mengadu pada Mama Jessica kalau kamu makan sembarangan setelah sembuh dari
sakit.”
“Aish…
kau ini benar-benar menyebalkan, ya?”
“Tapi,
karena itu juga kita berteman, kan?” Henny tersenyum lebar, “So?”
“Iya…”
Rion menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal, “Sebenarnya aku…”
“Oh,
begitu. Bagus sekali.” Kata Henny.
“Kau ini
mau mendengarkan atau tidak?” sungut Rion mendelik pada Henny yang menyela
ucapannya.
“Hehehe…
aku hanya bercanda, kok. Lanjutkan.” Kata Henny terkekeh.
“Aku
menembak Keiko.”
“Kau…
APA!!?”
“Aku
mengatakan aku suka pada Keiko.” Kata Rion lagi. Kali ini dengan senyuman.
Henny
menganga mendengar pernyataan itu. Dia menatap lekat-lekat wajah Rion dan
berusaha menemukan sedikit saja kebohongan di sana. Tapi, Henny melihat wajah
Rion tersenyum lebar. Tatapan matanya menerawang seperti orang yang sedang
mabuk cinta.
Oh,
memang Rion sedang jatuh cinta, kalau benar apa yang diucapkan cowok itu
barusan.
“Kamu
mengatakan suka pada Keiko? Itukah alasan kenapa dari tadi kamu senyum-senyum
seperti orang gila?”
“Siapa
yang senyum-senyum seperti orang gila?”
“Ya
kamu, masa orang lain?”
Rion
hendak membantah, tapi kemudian sadar apa yang dikatakan Henny benar. Dia hanya
mengedikkan bahu dan mengunyah keripik kentangnya. Sementara Henny terkekeh
melihat reaksinya.
“Lalu,
apa jawaban Keiko?” tanya Henny penasaran.
“Dia
menerimaku.”
“Serius?”
“Memangnya
kalau dia tidak menerimaku, bagaimana mungkin aku senyum-senyum sendiri seperti
orang gila seperti katamu tadi?”
Henny
lagi-lagi terkekeh.
“Aku
tidak menyangka, Rion Hadi Brawijaya ternyata bisa jatuh cinta juga.” Katanya.
“Memangnya
kamu kira aku apa?”
“Robot
yang selalu melukis tanpa kenal waktu.” ujar Henny, yang langsung disambut
jitakan oleh Rion.
◊◊◊
Henny menatap Rion yang tertawa lebar.
Baru kali ini dia melihat sahabatnya itu tertawa seriang ini. Cowok itu tertawa
karena lelucon yang dilontarkan Henny. Dan, sebenarnya, lelucon yang
dilontarkannya tadi tidak terlalu lucu, tapi Rion bereaksi dan cowok itu
tertawa terbahak-bahak setelahnya.
Keiko ternyata membawa perubahan besar pada Rion. Batin Henny dengan mata berkaca-kaca.
Wajar
jika dia merasa terharu. Sejak ayahnya meninggal, Rion seolah menutup diri dari
orang lain kecuali ibunya dan dirinya. Sejak ayahnya meninggal pula, gaya
melukis Rion sedikit berubah, walau tidak disadari banyak orang dan penggemarnya,
tapi Henny yang tahu tentang kebiasaan Rion dalam melukis, tahu apa yang
berubah.
Cowok
itu lebih memilih menggunakan warna hitam dan putih pada setiap lukisannya.
Kalau dulu, Rion selalu menggunakan warna-warna cerah dan membuat semua orang
merasa tertarik melihat lukisannya. Sekarang mungkin Rion menggunakan kembali
warna-warna cerah pada lukisannya, tapi hanya sekilas, seperti warna hijau,
biru, dan kuning yang kadang-kadang tertutupi oleh warna hitam putih yang
mendominasi.
“Semuanya monoton dan membosankan. Seperti
warna hitam-putih.” ujar Rion ketika ditanya kenapa dia selalu menggunakan
warna hitam dan putih pada setiap lukisannya.
Namun,
sejak Keiko datang, Rion mulai… membuka diri. Gaya lukisannya pun entah
bagaimana kembali pada gaya lamanya. Penuh warna cerah dan memikat hati.
Dia
tentu saja senang dengan perubahan ini. Dia senang Rion kembali ceria seperti
dulu. Tapi, Henny lalu memikirkan Keiko. Dia teringat tentang kondisi Keiko
yang sebenarnya, dan itu membuatnya merasa sedih.
Kalau Rion tahu tentang Keiko yang sebenarnya, apa yang akan
dia lakukan?
Henny bertanya-tanya dalam hati.
“Oh ya,
Rion, jangan hanya melukis kali ini. Sebentar lagi kita akan menghadapi ujian
semester, kuharap kamu belajar lebih giat karena dalam dua minggu kemarin kamu
tidak masuk sekolah dan ketinggalan beberapa pelajaran.” Kata Henny.
“Iya,
aku tahu kok…” Rion mengangguk-angguk.
Henny
tidak bisa merusak kebahagiaan Rion karena Keiko menerima cintanya. Tapi, Henny
juga memikirkan kondisi Keiko. Jika Rion sampai tahu, dia takut Rion akan
kembali terpuruk dalam kesedihan.
Karena
Keiko tidak akan mungkin bisa bersama Rion sampai mereka tua.
◊◊◊
Keesokan harinya, semuanya berjalan
biasa, kalau tidak mau disebut normal. Keiko masih tetap Keiko yang ceria, yang
menyapa siapa saja yang ditemuinya. Tapi, sikap gadis itu pada Rion sedikit
berbeda. Walau tidak ada yang menyadari hal itu, namun Henny menyadarinya.
Gadis itu lebih perhatian pada Rion. Bahkan, tanpa disangka-sangka, Rion
menggamit tangan Keiko dan mengajak gadis itu pergi entah ke mana. Kemungkinan
besar ke ruang kesenian. Dan Henny tidak punya kesempatan untuk berbicara
dengan Keiko.
“Kau
lihat bagaimana Rion menggamit tangan Keiko tadi?” bisik salah seorang teman
sekelasnya.
“Ya?”
Henny mengerutkan kening. Dia menoleh pada segerombol siswi yang sepertinya
sedang asyik bergosip.
“Kami
sedang membicarakan perubahan Rion.” Kata salah seorang diantara mereka. “Rion
tadi menyapa kami, dan tersenyum!
Bayangkan, Henny! Dia tersenyum pada kami!”
“Kurasa
dia selalu tersenyum pada siapa pun.” Kata Henny mengerutkan kening.
“Tapi,
tidak dengan senyuman yang tadi.” sahut yang lain. “Dia tersenyum dan menyapa
ramah semua orang. Kau lihat tadi, dia bahkan menyapa Keyna yang duduk di
depannya!”
“Kurasa
itu sudah biasa.” kata Henny lagi.
“Tapi,
yang ini benar-benar lain! Senyumannya itu… lebih tulus. Dia lebih sering
tersenyum tipis, tapi tatapannya sangat dingin. Uh… aku tidak suka dengan
tatapannya yang dingin itu. Tapi, tadi… huwaa!! Kurasa aku mulai menyukainya!”
“Aku
juga! Dia ganteng sekali saat tersenyum, iya, kan?”
Henny
hanya meringis mendengarnya. Dia tidak menghiraukan lagi gossip teman-temannya
dan berjalan keluar kelas.
Di
koridor, dia berpapasan dengan Melissa dan dua dayang-dayangnya. Tapi, sebelum
Henny mendekat, mereka bertiga sudah melengos pergi dengan wajah pucat dan
takut. Henny mengerutkan kening melihat tingkah mereka bertiga, tapi tidak
mencoba untuk memikirkan lebih jauh.
Dari
kejauhan, tampak seseorang berjalan mendekat. Dan setelah diperhatikan dengan
seksama, rupanya sosok itu adalah Jason. Henny mengerjap. Rasanya Jason makin
hari makin tampan saja. Tapi, yah… sayang dia sudah punya pacar. Kalau belum,
tentu dia akan mencoba menarik perhatian Jason. Hihihi…
“Hei,”
sapa Jason sambil tersenyum.
“Hai
juga. Mencari Keiko, ya?” tanya Henny.
“Ya.”
Jason mengangguk, “Kamu tahu di mana adik kecilku itu?”
Henny
sempat mengerutkan keningnya (lagi) mendengar Jason menyebut Keiko ‘adik
kecilnya’.
“Adik
kecil?” tanya Henny tanpa sadar.
“Err…
bukan apa-apa.” Jason menggeleng, “Apa kamu melihat Keiko?”
“Keiko
tadi diajak Rion pergi entah ke mana.” kata Henny. “Dan kusarankan, jangan
mengganggu mereka kalau kau menemukan mereka. Rion tidak akan suka kalau waktu
pribadinya terusik.”
Jason
terkekeh mendengarnya. Henny sendiri sudah tertawa, menertawakan ucapannya
sendiri.
“Aku
tidak akan meruska waktu pribadi mereka juga.” Kata Jason, “Aku hanya ingin
memberitahu kalau aku akan ke Jepang untuk beberapa lama mempersiapkan…
sesuatu.”
“Apakah
itu kejutan?” tanya Henny penasaran.
Jason
hanya tersenyum simpul, “Tidak. Bukan kejutan untuk Keiko. Tapi, untuk orang
lain.” jawabnya.
“Siapa?”
“Err…
ini bukan untuk disebar luaskan. Jadi, maaf, aku tidak bisa memberitahumu.”
“Yah…”
Henny mengerucutkan bibirnya, “Kukira aku akan mengetahuinya.”
“Tidak
bisa, tapi…” Jason mengerutkan kening, “… kalau aku menginginkan kalian berdua
ikut, tentu dia akan senang karena dia bisa berbagi hal ini pada orang lain.”
“Hal
apa?”
Jason
lagi-lagi tersenyum. Namun senyumnya terkesan mengandung misteri.
“Kamu
akan tahu nanti.” Ujarnya.
◊◊◊
Keiko menatap lukisan yang sedang
dikerjakan Rion. Lukisan itu menggambarkan pemandangan taman bunga akademi.
Tapi, Keiko merasa Rion selalu melukis dengan warna hitam dan membiarkan warna
putih kanvas pada bagian tertentu.
“Kenapa
kamu selalu menggunakan warna hitam? Kenapa tidak menggunakan warna lain?”
tanya Keiko.
“Aku
suka warna hitam. Menurut Bangsa Mesir, warna hitam adalah warna yang dipenuhi
oleh hal-hal baik.” jawab Rion.
“Tapi,
budaya Mesir berbeda dengan budaya di sini, Rion.” Ujar Keiko, “Kenapa kamu
tidak melukis dengan warna-warna yang cerah? Kalau warna hitam terus, kesannya
suram,”
Rion
terkekeh dan menyelesaikan satu bagian akhir. Dia mengerutkan kening, dan
seperti kebiasaannya, mengamati sejenak hasil lukisannya. Lalu menghela nafas.
“Salah,
ya?” tanya Keiko menggoda.
Rion
mencibir pelan dan mengambil botol alcohol di dekatnya, menyiramkan cairan
keras itu ke kanvas.
“Makanya,
pakai warna-warna cerah untuk menggambarkan bunga-bunga itu.” kata Keiko sambil
terkekeh. “Kamu tidak mau menuruti saranku, sih…”
“Iya…
iya…” Rion mengangguk-angguk sambil tersenyum.
Tangannya
lalu menambahkan warna hijau, kuning, biru, dan merah pada tempat cat di
tangannya. Kemudian melukis kembali.
Selama
Rion melukis, Keiko memanfaatkan waktu itu untuk mengamati wajah Rion
lekat-lekat.
Sebelum
ini, Keiko sering merasa pernah melihat wajah Rion. Tapi, kapan dan di mana,
dia lupa. Dan hal itu selalu mengusiknya bahkan sampai sekarang.
“Sebentar
lagi ujian semester, apa kamu sudah belajar dengan baik?” tanya Keiko.
“Aku
belajar, walau aku sibuk melukis.” Kata Rion, “Kenapa pertanyaanmu sama seperti
Henny, sih?”
Keiko
hanya nyengir dan menyandarkan kepalanya di bahu Rion.
“Soalnya
aku tidak mau nilai pacarku jelek hanya karena dia sibuk melukis.” Katanya.
Rion
tertawa mendengarnya, “Asal tahu saja, aku selalu mendapat peringkat tiga besar
di kelas.” Katanya.
“Oh ya?
Kamu yakin kalau itu hasil kerja kerasmu atau hasil mencontek?”
Rion
menyentil kepala Keiko pelan dan membuat gadis itu tergelak.
“Aku
bercanda, Rion… jangan marah, dong.” katanya sambil menyentuh pipi Rion dengan
jarinya.
“Aku
tidak marah. Malah aku ingin tahu, apa kamu bisa menjadi peringkat tertinggi di
kelas.” Kata Rion, “Mau taruhan?”
“Taruhan
apa?”
“Nilaiku
pasti akan lebih tinggi darimu.”
“Itu,
kan sudah jelas karena kamu sering mendapat peringkat tiga besar.” Keiko
mengerucutkan bibirnya, “Selama ini aku menjalani home-schooling. Tidak mungkin aku bisa mengalahkanmu, apalagi
menang taruhan.”
“Tapi,
kalau berusaha, pasti kamu bisa.” Ujar Rion. “Bagaimana?”
Keiko
memiringkan kepalanya, kemudian mengedikkan bahu.
“Oke.
Aku akan berusaha.” Katanya, “Dan hadiah taruhannya apa?”
“Hmm…”
tangan Rion yang memegang kuas berhenti di tengah jalan, “Bagaimana kalau sebuah
perjanjian?”
“Perjanjian?”
“Kamu
bisa bermain music, sementara aku bisa melukis.” Kata Rion, “Bagaimana kalau
hadiah taruhannya, siapa pun yang menang akan menunjukkan karyanya
masing-masing di depan seluruh akademi?”
“Hanya
itu?”
“Ada
lagi…”
“Apa?”
“Dan
berjanji agar tidak ada kebohongan atau rahasia apa pun.” Ujar Rion. “Siapa pun
yang kalah, dia akan berjanji agar tidak merahasiakan apa pun dari yang menang.
Apa pun rahasia itu, entah rahasia buruk, lucu, atau memalukan sekalipun.”
Keiko
terdiam mendengarnya. Raut wajahnya langsung berubah.
“Bagaimana?”
tanya Rion lagi.
Keiko
menatap kedua tangannya yang ia letakkan di pangkuannya lama. Kemudian dia
mendongak dan mengangguk.
“Oke.
Aku akan menyanggupinya.” Ujarnya. “Aku akan membuat lagu yang akan membuatmu
semakin jatuh cinta padaku.”
“Percaya
diri sekali kamu.” kata Rion yang disambut tawa oleh Keiko.
“Sekarang,
selesaikan dulu lukisanmu ini, setelahnya kita pergi ke perpustakaan. Aku sudah
berjanji pada Henny akan belajar bersama di rumahnya sore ini dan kami
memerlukan buku-buku referensi yang bagus.”
0 komentar:
Posting Komentar