Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Kimi no Symphony - Chapter 17



Rion merasa seluruh darahnya tersedot keluar ketika menyaksikan sebuah mobil melaju kencang kearah Keiko yang berusaha mengejar syalnya yang diterbangkan angin. Kejadian itu seperti adegan yang diperlambat. Rion merasakan kedua kakinya berlari menghampiri Keiko, berusaha menarik gadis itu ke tepi jalan, namun terlambat.

Suara berdecit ban yang keras, dan suara bedebum yang tak kalah keras ketika tubuh Keiko bertabrakan dengan sisi depan mobil membuat rasa horror yang dulu pernah dirasakannya kembali.
“KEIKO!!!”
Jason yang pertama berlari menghampiri Keiko yang sekarang tergeletak penuh darah di jalan. Mobil yang menabraknya meluncur pergi dengan cepat, seolah pengemudinya ketakutan menyadari bahwa ia telah menabrak seseorang.
“Hei, kembali!!” Henny berteriak sia-sia pada mobil yang menabrak Keiko, yang sudah meluncur jauh.
Mereka bertiga menghampiri tubuh Keiko. Jason berlutut dan membalikkan tubuh Keiko. Kepala gadis itu berdarah. Begitu pula kedua kakinya. Mata Keiko terpejam, dan yang membuat mereka terpekik ngeri adalah luka di dada Keiko.
Luka itu mengeluarkan darah yang cukup banyak dan membasahi sweater yang dikenakan gadis itu. Kedua kakinya juga mengeluarkan darah yang tidak kalah banyak.
“Cepat telepon ambulans!” kata Henny, “Di mana ponselmu? Aku akan menelepon ambulans.”
Rion berlutut di sisi Keiko dan memegang kepala gadis itu. Dia merasakan cairan hangat membasahi tangannya. Dan dia menyadari, kepala Keiko mengalami pendarahan hebat.
Jason mengambil ponselnya dengan gemetar dan memberikannya pada Henny. Cowok itu menepuk-nepuk pipi Keiko.
“Keiko, bangun, Keiko!”
“Ambulans akan datang sepuluh menit lagi.” kata Henny, “Aku juga sudah menghubungi Paman dan Bibi Stanley.”
Jason mengangguk. Tapi tidak dengan Rion. Cowok itu membeku menatap Keiko yang matanya terpejam. Dia merasakan sebuah perasaan horror yang pernah dia rasakan. Ya… dia pernah merasakan hal ini sebelumnya.
Ini sama seperti saat dia mendengar berita kematian ayahnya. Ini semua sama persis seperti perasaan yang pernah dia rasakan saat dia masih kecil dan mendengar bahwa ayahnya sudah tidak ada lagi…
Suara mobil ambulans yang mendekat membuat Rion makin kelihatan linglung. Cowok itu dipaksa mundur sementara petugas paramedic memeriksa keadaan Keiko.
“Terluka parah di bagian kepala, kaki, dan dada! Kelihatannya ada tulang rusuk yang patah! Bawakan tandu dan segera kita bawa ke rumah sakit!”
Rion menatap Keiko yang dibawa dengan tandu ke dalam ambulans. Jason dan Henny menaiki mobil ambulans. Rion melangkahkan kakinya menuju ke dalam mobil ambulans dan ikut mereka. Mata Rion tidak lepas dari sosok Keiko yang sedang diurusi oleh petugas paramedic.
Saat itulah Rion merasakan tangannya gemetar. Dia menggenggam tangan Keiko dengan tangannya yang gemetar itu dan mendekatkannya ke wajahnya.
Ya Tuhan… jangan ambil Keiko… jangan ambil dia dari sisiku!

◊◊◊

Keiko langsung dibawa ke ruang operasi. Rion, Jason, dan Henny yang ikut mengantar terpaksa harus menunggu di luar karena diusir oleh salah seorang suster yang segera menutup pintu operasi/
Jason terduduk lemas di bangku di dekatnya dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tidak peduli bahwa tangannya bernoda darah. Henny tidak henti-hentinya menangis dan berusaha menghentikan tangisannya walau merasa hal itu sia-sia.
Dan Rion, cowok itu berdiri terdiam memandang pintu ruang operasi. Matanya menatap nanar lampu yang menunjukkan bahwa operasi sedang dilakukan.
Seharusnya tidak seperti ini… tadi dia masih melihat Keiko tertawa senang. Dia tadi masih melihat Keiko berlari-lari sambil menatap salju. Dia tadi…
Rion tiba-tiba jatuh terduduk di lantai. Punggungnya bersandar pada dinding dan dia menutupi wajahnya dengan kedua tangan.
Pintu ruang operasi tiba-tiba dibuka dan seorang dokter berkacamata dan mengenakan pakaian khusus operasi keluar.
“Diantara kalian, adakah keluarga Nona itu?” tanya si dokter.
“Saya kakaknya.” Ucap Jason sambil berdiri, “Bagaimana—”
“Kami belum tahu pasti, tapi adik Anda harus segera dioperasi. Pendarahannya cukup dalam…” dokter itu mengerutkan kening. “Di mana kedua orangtua Anda?”
“Sedang… dalam perjalanan kemari.” kata Jason, “Selamatkan adik saya, Dokter. Saya mohon.”
“Akan kami usahakan. Sekarang, saya permisi dulu.”
Dokter itu lalu kembali masuk ke dalam ruang operasi. Beberapa saat kemudian, Rafael dan Helena Stanley, serta ibunya datang ke rumah sakit dengan tergopoh-gopoh.
“Di mana Keiko? Apa yang terjadi padanya?” tanya ibunya.
Jason melirik kearah Rion, yang masih terduduk di lantai dan berusaha menjelaskan sedetail mungkin pada Rafael dan Helena Stanley dan ibunya apa yang terjadi.
“Sekarang dokter sedang mengoperasi Keiko,” kata Jason menelan ludah dengan susah payah. “Dokter bilang… Keiko mengalami pendarahan dalam.”
“Ya Tuhan…” Helena menutup mulutnya dengan sebelah tangan dan menangis. “Ya Tuhan, Keiko…”
Ibunya juga menangis. Jason harus memeluk ibunya untuk menenangkan beliau, dan juga, dirinya sendiri.
Berjam-jam mereka menunggu operasi selesai. Dan Rion yakin, semua orang merasakan perasaan yang sama seperti dirinya. Rasa cemas yang amat sangat dan juga kekhawatiran, terutama mengingat Keiko memiliki penyakit parah, dan dia mengalami kecelakaan fatal.
Setelah menunggu selama lebih dari 4 jam, lampu ruang operasi dimatikan, dan pintu menjeblak terbuka. Semua orang langsung menatap Keiko yang terbaring di atas tempat tidur jalan dengan infuse di punggung tangannya, serta beberapa bagian tubuhnya yang dibalut perban.
Dokter berkacamata yang menangani Keiko melepas masker yang menutupi mulutnya dan menatap keluarga pasien.
“Di mana orangtua pasien?” tanyanya lagi.
“Kami,” jawab Rafael dan Oda Maya bersamaan. “Kami… kami orangtua angkatnya, dia ibu kandungnya.”
“Ah, ya, saya mengerti,” dokter itu mengangguk, “Saya Dokter Iwasaki. Ada yang ingin saya bicaran mengenai kondisi pasien, silakan ikut ke ruangan saya.”
“Putri saya bisa diselamatkan, Dokter?” tanya Oda Maya tiba-tiba. “Putri saya baik-baik saja, kan?”
“Keadaannya cukup sulit. Saya ingin membicarakan mengenai kondisi pasien, terutama kesehatan sebelum pasien kecelakaan.” Ujar Dokter Iwasaki, “Kita akan membicarakan mengenai hal itu di ruangan saya. Mari.”
Pasangan Stanley dan Oda Maya mengikuti Dokter Iwasaki menuju ruangannya.
Henny menghampiri Rion yang masih terduduk di lantai. Matanya masih basah oleh airmata, tapi dia sudah lebih tenang dan tidak menangis lagi.
“Rion, ayo, kita jaga Keiko di ruangannya.” Kata Henny, suaranya agak bergetar, “Suster tadi bilang kita boleh menungguinya.”
Rion bagai robot yang mematuhi perintah. Mereka, bertiga dengan Jason menuju ruangan di mana Keiko ditempatkan. Sebuah ruangan di ujung koridor.
Henny membuka pintu. Dan tatapan mereka langsung tertuju pada Keiko yang ada di hadapan mereka. Setelah dilihat dengan lebih seksama, tidak hanya kepala Keiko yang dibalut perban, tapi dada dan juga kedua kakinya. Rion bisa melihat sekilas perban yang menutupi dada gadis itu.
Mata Keiko terpejam dan di wajahnya dipasangi alat bantu oksigen. Beberapa kabel penunjang kehidupan juga terpasang di beberapa bagian tubuh gadis itu. Alat pemonitor jantung memperlihatkan garis tidak rata, menandakan kalau Keiko masih hidup.
Rion langsung menghampiri sisi tempat tidur Keiko. Dan tiba-tiba saja, dia menangis tanpa suara. Henny yang berada di belakangnya juga ikut menangis lagi, bukan hanya karena melihat kondisi Keiko yang begitu parah, tapi karena Rion. Ini kedua kalinya Rion menangis seperti ini, menangis tanpa suara seperti ini…
Henny memeluk Rion dari belakang, mencoba menenangkan cowok itu, sementara Jason hanya bisa memalingkan wajahnya agar tidak seorangpun yang melihat bahwa dia juga ikut menangis.

◊◊◊

Nona Keiko mengalami pendarahan yang cukup parah di dada dan kakinya. Ada beberapa tulang rusuk yang patah. Luka pada kepalanya untungnya tidak fatal. Namun, kita perlu memantau kondisinya sampai dia sadar.
Saya menemukan kalau kedua keki Nona Keiko mengalami lumpuh syaraf. Ketika operasi, saya menyadari bahwa Nona Keiko juga mengalami kelainan sumsum tulang. Apakah keluarga sudah tahu? Oh ya… mungkin itu penyebab kecelakaan, karena menurut kakak Nona Keiko, ia sempat limbung dan nyaris jatuh sebelum mengalami kecelakaan.
Ada yang ingin saya sampaikan, bahwa kedua kaki Nona Keiko dinyatakan lumpuh. Syaraf-syaraf motoriknya telah berhenti bekerja bahkan sebelum ia dioperasi tadi. Namun, disitulah letak kekhawatirannya…

◊◊◊

Hampir seminggu sejak kecelakaan itu, dan Keiko masih belum sadar dan masih berada pada kondisi koma. Keluarganya secara bergantian menungguinya. Rion dan Henny juga ikut menunggui. Untunglah saat ini sedang liburan semester. Kalau tidak, mungkin mereka nekat membolos hanya demi menunggu Keiko sampai gadis itu sadar.
Sekarang Keiko di tempatkan di ruangan VIP, yang berada di lantai tiga gedung rumah sakit tersebut.
Semua orang sangat khawatir dan menanti dengan cemas kapan Keiko terbangun. Oda Maya tidak bisa meninggalkan putrinya begitu saja dan ikut menunggui, bahkan dia membatalkan perjalanannya ke Korea hanya untuk menunggui Keiko. Jason tidak bisa mencegah ibunya karena dia juga mencemaskan keadaan Keiko.
Pasangan Stanley juga ikut menunggui, dan yang paling cemas adalah Helena. Wanita itu sering menangis ketika melihat putri angkatnya itu belum juga sadar.
Semua sudah tahu kondisi Keiko, dan mereka menantikan Keiko terbangun dengan penuh harap, juga kecemasan. Jika Keiko terbangun dan mengetahui kondisi tubuhnya, gadis itu tentu saja akan sedih.
Tapi, mereka tidak menutup harapan untuk melihat Keiko segera sadar, terutama Rion. Diantara semua orang, Rion-lah yang lebih sering menjaga Keiko, sampai nyaris tidak pernah tidur kalau tidak disuruh oleh Henny yang mulai cemas dengan kesehatan cowok itu.
Rion selalu duduk di bangku di sebelah tempat tidur Keiko, menggenggam tangan gadis itu dan berdoa agar Keiko cepat sadar.
Tidak ada yang bisa membuat cowok itu tenang selain gadis itu terbangun dari tidur panjangnya. Dan semua orang juga mengharapkan demikian.

◊◊◊

Putih. Itu yang pertama kali dilihat Keiko ketika dia membuka matanya. Dia memicingkan matanya, mencoba menyesuaikan dengan cahaya di sekitarnya.
Keiko tidak bisa menggerakkan tubuhnya, terlalu kaku. Dia yakin, dia tertidur cukup lama setelah dia kehilangan kesadaran waktu itu.
Kecelakaan… benar-benar tidak kusangka. Kata Keiko meringis dalam hati. Dia yakin dia tertabrak salah satu mobil yang meluncur di jalan raya ketika dia berusaha menjangkau syalnya yang diterbangkan angin.
Gerakan di sebelahnya membuat gadis itu melirik ke kanan. Dilihatnya Rion tertidur dengan beralaskan tangannya yang menutupi sebagian wajah cowok itu. Keiko bisa merasakan tangannya digenggam oleh Rion.
“Ri… on…” suaranya serak, dan dia menelan ludah, yang terasa menyakitkan di tenggorokannya.
Tapi, Rion mendengarnya. Cowok itu langsung tergeragap bangun dan menatap Keiko.
“Keiko? Keiko, kamu sudah sadar?” tanya Rion.
Keiko menjawab dengan isyarat matanya. Dilihatnya wajah Rion agak kurus. Dia ingin bertanya kenapa, tapi tidak bisa karena tenggorokannya sakit dan mulutnya terasa kering.
“Tunggu sebentar, aku akan memanggil suster untuk memeriksa kondisimu.” Kata Rion, menekan sebuah tombol di atas tempat tidur Keiko dan menunggu.
Mata cowok itu menatap lekat-lekat Keiko yang balas menatapnya. Dan setitik airmata membasahi pipi Keiko. Airmata yang berasal dari mata Rion.
“Ri… on… kenapa…?” tanya Keiko dengan susah payah.
Rion menghapus airmatanya dengan tergesa-gesa dan menggeleng, “Tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya senang kamu sudah sadar.” ujarnya.
Para suster datang dan Rion langsung menepi memberi mereka jalan untuk memeriksa keadaan Keiko. Rion mencoba menahan tangis bahagianya karena melihat Keiko sudah sadar. Dia berusaha keras agar dia tidak terdengar menangis terlalu keras dan membuat dirinya malu.
Ketika melihat Keiko menatapnya sementara dia diperiksa, hati Rion langsung merasakan lega luar biasa.

◊◊◊

Rion langsung menelepon semua orang bahwa Keiko sudah sadar. Dan mereka datang dengan cepat. Sekarang mereka semua mengelilingi Keiko, yang alat bantu oksigen di wajahnya telah dilepas dan gadis itu sudah minum beberapa teguk air hingga bisa berbicara walau pelan dan lemah.
“Kamu baik-baik saja, kan, Keiko?” tanya Helena sambil mengelus kepala Keiko yang masih dibebat perban.
“Tidak apa-apa, Ma. Keiko baik-baik saja…” jawab Keiko sambil tersenyum lemah. “Buktinya Keiko masih ada di sini, kan?”
Helena tersenyum dengan mata berair dan harus mundur untuk mencegah airmata keluar lagi dari matanya.
“Mama benar-benar mencemaskanmu. Kita semua mencemaskanmu.” Kata Jason, “Kamu tidak sadarkan diri selama seminggu. Bersyukurlah kamu tidak mengalami gegar otak atau apa…”
Keiko tertawa lemah mendengarnya, “Aku, kan kuat, Kak. Aku tidak akan mudah gegar otak dengan luka kecil begini.”
Jason ingin membalas gurauan Keiko, tapi tidak bisa. Dia terlalu cemas dan bahagia melihat Keiko sadar.
Mata Keiko menatap Rion yang duduk di dekatnya dan menggenggam tangannya. Hatinya menghangat ketika menatap mata Rion yang menatapnya balik dengan tatapan lembut.
“Baiklah, Keiko harus istirahat. Kita harus meninggalkan Keiko untuk membiarkannya memulihkan kondisi tubuhnya.” ujar Oda Maya. “Sayang, kalau kamu memerlukan apa-apa, panggil saja Rion atau Jason, oke? Mereka akan menjagamu hari ini.”
Keiko mengangguk.
Semua orang satu-persatu meninggalkan ruangannya, namun, hanya Rion yang belum beranjak dari tempatnya.
“Rion, ada apa?” tanya Keiko.
“Kamu benar-benar membuatku khawatir.” Kata Rion dengan suara serak, “Kalau saja waktu itu kamu tidak mengejar syalmu… aku tidak berani membayangkannya lagi. Kamu tidak akan tahu bagaimana cemas dan takutny aku kehilanganmu.”
Keiko tertawa lemah lagi dan mengelus pipi Rion.
“Tapi, aku di sini dan masih bisa kamu lihat dan sentuh, kan? Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Katanya.
Rion memaksakan sebuah senyum dan mencium punggung tangan Keiko yang mengelus pipinya.
“Aku akan keluar sebentar untuk membeli makan siang. Kamu istirahat yang cukup, mengerti?”
“Iya, aku tahu, kok.” Keiko tersenyum.
Rion mendekatkan wajahnya dan ragu sejenak. Tapi, kemudian bibirnya menyentuh bibir Keiko dan mengecupnya. Dia lalu pergi dari kamar rawat Keiko untuk membeli makanan bersama Jason yang akan bertugas menjaga Keiko bersamanya.
Setelah Rion pergi, wajah Keiko langsung berubah mendung. Dia melirik kedua kakinya dan menghela nafas berat. Walau orang-orang berusaha menyembunyikannya darinya, namun sekali lihat, Keiko sudah tahu, salah satu bagian tubuhnya mengalami luka yang cukup parah. Dari cerita Jason, dia tahu kecelakaan yang menimpanya sangat parah dan membuatnya tertidur selama seminggu.
 Bibirnya agak bergetar sesaat, tapi tidak ada airmata di wajahnya. Dengan susah payah, dia menekan tombol untuk memanggil seorang perawat ke kamarnya.
Ketika perawat itu datang, Keiko menghela nafas lagi dan menatap si perawat.
“Tolong panggilkan Dokter Iwasaki yang menangani operasiku kemarin.” Katanya parau.

◊◊◊

“Kapan kita akan memberitahunya?” tanya Helena pada Rafael. “Kapan kita akan memberitahu tentang kondisi tubuhnya?”
Rafael menghela nafas berat dan menggeleng, “Aku tidak tahu, Helena. Keiko baru sadar dari koma. Kita tidak boleh membebaninya dengan mengatakan kondisi tubuhnya yang sebenarnya.”
Helena tahu suaminya benar. Tapi, dia takut kalau Keiko tidak senang, atau bahkan marah karena tidak diberitahu tentang kondisi tubuhnya.
Oda Maya yang duduk di sebelah mereka hanya menghela nafas dan mencoba menahan tangis yang akan keluar.
“Kita harus menunggu Keiko cukup sehat dulu.” Kata Oda Maya, “Baru kita bisa memikirkan bagaimana mengatakan tentang kondisi tubuhnya.”
“Kau benar,” kata Helena. Lalu menghela nafas sedih.
Oda Maya juga merasakan kesedihan yang sama. Matanya menerawang menatap keluar kearah taman yang ditutupi salju. Tangannya menggenggam cangkir kertas berisi kopi panas, yang tidak terasa panas lagi di tangannya yang dingin terkena embusan angin musim dingin yang beku.
“Keiko,” gumamnya lirih, “Mama benar-benar minta maaf karena kamu harus mengalami semua ini…”

◊◊◊

Rion kembali ke kamar Keiko sendirian. Jason tadi ditelepon oleh manajernya yang menanyakan tentang kecelakaan yang menimpa Keiko. Henny sedang berada di rumah, mengambil pakaian ganti untuk Keiko.
Ketika Rion datang, Keiko sudah tertidur. Cowok itu lalu duduk di kursi di samping tempat tidur Keiko dan memandangi wajah gadis itu yang tidur dengan tenang.
Samar-samar, Rion melihat ada bekas airmata di pipi Keiko. Apakah gadis itu tadi menangis? Tapi, karena apa?
“Rion…”
Keiko bergumam dalam tidurnya. Suaranya terdengar sedih dan ketakutan. Apa yang sedang dimimpikan gadis itu?
“Rion…” sebelah tangan Keiko sedikit terangkat, dan kelopak mata gadis itu membuka perlahan.
Rion langsung mengecup dahi Keiko yang ditutupi perban dan mendapat perhatian gadis itu.
“Hai,” kata Keiko sambil tersenyum, “Aku… aku tadi tidak mengigau, kan?”
“Tidak,” kata Rion berbohong. Dia tidak mau mengatakan kalau dia mendengar igauan Keiko yang memanggil namanya dengan nada ketakutan.
Keiko tersenyum lagi dan menghembuskan nafas.
“Rasanya aku seperti boneka saja. Berbaring seperti ini membuat tubuhku kaku.” Kata Keiko.
“Itu karena kamu koma selama seminggu dan baru sadar sekarang.” kata Rion terkekeh, “Istirahat, deh. Biar kamu cepat sembuh.”
“Aku sudah banyak istirahat…” kata Keiko mengerutkan kening, “Dan aku ingin mengobrol.”
“Jangan bandel, deh. Kamu itu masih sakit, belum boleh banyak bicara dulu.” Ujar Rion.
“Tapi, aku mau melakukan sesuatu… setidaknya, aku tidak akan bosan.”
“Tidak boleh. Suster sudah menyuruhmu untuk istirahat, kan?” kata Rion dengan tatapan menegur. “Bersikaplah yang manis dan beristirahat. Kalau tidak, aku akan menghubungi Jason atau orangtuamu dan mengatakan kalau kamu susah disuruh istirahat.”
Keiko terkekeh mendengar nada penuh teguran dari Rion. Gadis itu menyentuh tangan Rion dan membawanya ke pipinya. Ditempelkannya tangan itu di pipinya dan memejamkan matanya. Rion tidak keberatan tangannya menyentuh pipi Keiko. Sebenarnya, itulah yang akan dilakukannya tadi untuk membujuk Keiko agar mau istirahat.
“Aku senang kamu ada di sini.” kata Keiko, “Ada kamu di sini sudah cukup menjadi obatku.”
“Jangan mulai menggodaku.” Kata Rion, “Kamu harus istirahat, Keiko.”
“Oke, oke…” Keiko memeluk tangan Rion, “Nanti kalau aku sembuh, kita jalan-jalan, ya? Aku belum puas menjelajahi toko-toko kemarin.”
“Kamu kecelakaan parah karena tidak hati-hati dan masih ingin jalan-jalan?” Rion melotot, namun senyuman tersungging di bibirnya. “Kamu ini benar-benar bandel, terlalu aktif…”
“Tapi, kamu sayang aku karena itu, kan?” kata Keiko.
Rion hanya menghela nafas dan mencubit pipi Keiko. “Aku akan mengabulkan permintaanmu asal kamu mau istirahat.” Katanya.
Keiko menjauhkan pipinya dari tangan Rion yang mencubit pipinya.
“Jahat sekali kamu mencubit pipi orang yang sedang sakit.”
“Kalau kamu tidak mau istirahat, aku akan mencubitmu lagi.”
Keiko mengerucutkan bibirnya, tapi menurut ketika Rion menghadiahinya cubitan lagi.
Rion memperhatikan Keiko mulai terbawa kealam mimpi. Pelukan pada lengannya mulai mengendur, dan Rion menggunakan kesempatan itu untuk mengelus pipi Keiko. Tangannya kemudian mengambil sejumput rambut Keiko dan memainkannya.
Rion sempat meringis ketika Keiko meminta untuk jalan-jalan lagi ketika gadis itu sudah sembuh. Tapi… bagaimana dia bisa melaksanakan hal itu setelah mengetahui kondisi Keiko yang semakin memburuk setelah dioperasi? Mata Rion melirik kearah kaki Keiko yang tertutup selimut. Hatinya tiba-tiba berdenyut sakit mengingat ucapan yang disampaikan kedua orangtua angkat Keiko.
Rion menghela nafas dan merebahkan kepalanya di sebelah kepala Keiko. Diciumnya pipi Keiko dan menutup matanya. Lagi-lagi merasakan airmata siap mengalir dari matanya.

◊◊◊

Henny baru saja sampai di rumah sakit ketika dia melihat Jason datang dari arah berlawanan, dengan wajah lesu khas orang kurang tidur. Memang, selain Rion, Jason juga menjaga Keiko sampai nyaris tidak pernah tidur.
“Hei,” sapa Henny.
“Hai, Henny. Baru datang?” sapa Jason sambil tersenyum lelah. “Kamu membawa pakaian ganti untuk Keiko?”
Henny menunjukkan tas yang dibawanya. Henny kemudian menatap Jason, dan menyadari wajah Jason tidak hanya lesu, tapi kelihatan seperti…
“Apa ada berita buruk?” tanya Henny.
“Apa? Tidak ada… tidak ada berita buruk, kalau yang kamu maksud adalah tentang Keiko.” Kata Jason cepat.
“Lalu, kenapa wajahmu kelihatan seperti baru menghabiskan masa hukuman berat di penjara dengan tidak sukarela?” kata Henny. “Apa ada sesuatu yang terjadi?”
“Err… tidak juga.” Kata Jason menggeleng, “Yah… sebenarnya ada sedikit masalah.”
“Apa? Apa ada yang terjadi?” tanya Henny cemas. “Apa Keiko baik-baik saja?”
“Kita bicara di tempat lain saja.” kata Jason, “Bagaimana kalau kita bicara di kantin rumah sakit? Aku traktir kopi, deh.”

Mereka berdua duduk berhadapan dengan secangkir kopi panas di hadapan mereka. Henny menunggu Jason bercerita lebih dulu.
“Manajerku tadi menelepon,” kata Jason, “Kebetulan manajerku termasuk orang yang mencari promotor untuk konser tunggal Keiko di Indonesia. Dia meminta konfirmasi apa yang terjadi pada Keiko, karena Nyonya Helena yang merangkap sebagai asisten sekaligus manajer Keiko, sudah mengabarinya bahwa Keiko tidak akan mungkin pulang ke Indonesia untuk waktu yang cukup lama. Diperkirakan 2-3 bulan. Dan tentu kamu tahu kurang dari sebulan lagi Keiko akan mengadakan konser.”
Henny mengangguk, dia mulai mengerti arah pembicaraan Jason.
“Jadi, manajerku mengatakan kalau seandainya kondisi Keiko belum pulih sampai konser tiba, dia dan para sponsor terpaksa mengundurkan tanggal konser menjadi 4 bulan dari sekarang, tergantung kesiapan dan kondisi Keiko. Waktu itu manajerku sudah memberitahuku bahwa lebih baik membatalkannya daripada mengundur tanggalnya. Banyak orang yang sudah menanti konser Keiko. Tapi, karena kondisinya…”
“Lalu, apa yang membuatmu kacau dan gelisah seperti ini?” tanya Henny. “Apa… kamu tidak sanggup mengatakannya pada Keiko?”
“Ya.” Jason mengangguk, “Konser ini adalah konser pertama Keiko di Indonesia. Nyonya Helena bahkan mengatakan kalau Keiko sangat bersemangat saat akan menyelenggarakan konser ini. Dia bahkan ikut turun tangan mengurusi masalah panggung, orchestra, dan sebagainya… dan kalau sampai semua ini berakhir sia-sia…”
Henny tahu. Keiko mungkin akan mengalami depresi. Dia juga tahu Keiko sangat tidak sabar ingin mengadakan konsernya di Indonesia. Itu impian Keiko sejak kecil, bisa mengadakan konser di Indonesia untuk para penggemarnya di sana.
“Aku tidak tahu bagaimana harus mengatakannya pada Keiko,” kata Jason, “Kita bahkan belum memberitahunya soal keadaan tubuhnya, keadaan kakinya…”
“Aku yakin Keiko akan mengerti,” kata Henny, “Keiko gadis yang kuat. Kita harus memberitahu segalanya pada Keiko jika saatnya tepat. Dan aku yakin, Keiko akan mengerti.”
Jason menatap Henny, kemudian cangkir kopinya, yang belum disentuh sama sekali, lalu menghela nafas.
“Kuharap begitu. Aku tidak tega mengatakan hal yang bisa membuatnya sedih. Dia sudah terbebani dengan penyakitnya, dan aku tidak mau membebaninya lebih dari ini.”
“Kita semua juga begitu. Paman dan Bibi Stanley, juga Bibi Maya pasti juga begitu.” kata Henny bijak, “Tapi, kita tidak mungkin menyembunyikan semuanya. Cepat atau lambat Keiko akan curiga, dan dia akan tahu semuanya bahkan tanpa kita sadari.”
Jason mengangguk menatap Henny. Cowok itu lalu tersenyum tipis.
“Ternyata benar kata Keiko, kamu kadang-kadang bisa bijak juga.” Ujarnya.
“Memangnya aku harus selalu bertingkah seperti anak kecil?” balas Henny sambil tersenyum, “Hanya pada saat-saat tertentu saja aku menjadi bijak. Dan kurasa… sekarang juga memang saatnya aku berpikiran bijak.”

0 komentar:

Posting Komentar