Rion merasa seluruh darahnya tersedot
keluar ketika menyaksikan sebuah mobil melaju kencang kearah Keiko yang
berusaha mengejar syalnya yang diterbangkan angin. Kejadian itu seperti adegan
yang diperlambat. Rion merasakan kedua kakinya berlari menghampiri Keiko,
berusaha menarik gadis itu ke tepi jalan, namun terlambat.
Suara berdecit ban yang keras, dan
suara bedebum yang tak kalah keras ketika tubuh Keiko bertabrakan dengan sisi
depan mobil membuat rasa horror yang dulu pernah dirasakannya kembali.
“KEIKO!!!”
Jason yang pertama berlari menghampiri
Keiko yang sekarang tergeletak penuh darah di jalan. Mobil yang menabraknya
meluncur pergi dengan cepat, seolah pengemudinya ketakutan menyadari bahwa ia
telah menabrak seseorang.
“Hei, kembali!!” Henny berteriak
sia-sia pada mobil yang menabrak Keiko, yang sudah meluncur jauh.
Mereka bertiga menghampiri tubuh Keiko.
Jason berlutut dan membalikkan tubuh Keiko. Kepala gadis itu berdarah. Begitu
pula kedua kakinya. Mata Keiko terpejam, dan yang membuat mereka terpekik ngeri
adalah luka di dada Keiko.
Luka itu mengeluarkan darah yang cukup
banyak dan membasahi sweater yang dikenakan gadis itu. Kedua kakinya juga
mengeluarkan darah yang tidak kalah banyak.
“Cepat telepon ambulans!” kata Henny,
“Di mana ponselmu? Aku akan menelepon ambulans.”
Rion berlutut di sisi Keiko dan
memegang kepala gadis itu. Dia merasakan cairan hangat membasahi tangannya. Dan
dia menyadari, kepala Keiko mengalami pendarahan hebat.
Jason mengambil ponselnya dengan
gemetar dan memberikannya pada Henny. Cowok itu menepuk-nepuk pipi Keiko.
“Keiko, bangun, Keiko!”
“Ambulans akan datang sepuluh menit
lagi.” kata Henny, “Aku juga sudah menghubungi Paman dan Bibi Stanley.”
Jason mengangguk. Tapi tidak dengan
Rion. Cowok itu membeku menatap Keiko yang matanya terpejam. Dia merasakan
sebuah perasaan horror yang pernah dia rasakan. Ya… dia pernah merasakan hal
ini sebelumnya.
Ini sama seperti saat dia mendengar
berita kematian ayahnya. Ini semua sama persis seperti perasaan yang pernah dia
rasakan saat dia masih kecil dan mendengar bahwa ayahnya sudah tidak ada lagi…
Suara mobil ambulans yang mendekat
membuat Rion makin kelihatan linglung. Cowok itu dipaksa mundur sementara
petugas paramedic memeriksa keadaan Keiko.
“Terluka parah di bagian kepala, kaki,
dan dada! Kelihatannya ada tulang rusuk yang patah! Bawakan tandu dan segera
kita bawa ke rumah sakit!”
Rion menatap Keiko yang dibawa dengan
tandu ke dalam ambulans. Jason dan Henny menaiki mobil ambulans. Rion
melangkahkan kakinya menuju ke dalam mobil ambulans dan ikut mereka. Mata Rion
tidak lepas dari sosok Keiko yang sedang diurusi oleh petugas paramedic.
Saat itulah Rion merasakan tangannya
gemetar. Dia menggenggam tangan Keiko dengan tangannya yang gemetar itu dan
mendekatkannya ke wajahnya.
Ya Tuhan… jangan ambil Keiko… jangan ambil dia dari sisiku!
◊◊◊
Keiko langsung dibawa ke ruang operasi.
Rion, Jason, dan Henny yang ikut mengantar terpaksa harus menunggu di luar
karena diusir oleh salah seorang suster yang segera menutup pintu operasi/
Jason terduduk lemas di bangku di
dekatnya dan menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tidak peduli bahwa tangannya
bernoda darah. Henny tidak henti-hentinya menangis dan berusaha menghentikan
tangisannya walau merasa hal itu sia-sia.
Dan Rion, cowok itu berdiri terdiam
memandang pintu ruang operasi. Matanya menatap nanar lampu yang menunjukkan
bahwa operasi sedang dilakukan.
Seharusnya tidak seperti ini… tadi dia
masih melihat Keiko tertawa senang. Dia tadi masih melihat Keiko berlari-lari
sambil menatap salju. Dia tadi…
Rion tiba-tiba jatuh terduduk di
lantai. Punggungnya bersandar pada dinding dan dia menutupi wajahnya dengan
kedua tangan.
Pintu ruang operasi tiba-tiba dibuka
dan seorang dokter berkacamata dan mengenakan pakaian khusus operasi keluar.
“Diantara kalian, adakah keluarga Nona
itu?” tanya si dokter.
“Saya kakaknya.” Ucap Jason sambil
berdiri, “Bagaimana—”
“Kami belum tahu pasti, tapi adik Anda
harus segera dioperasi. Pendarahannya cukup dalam…” dokter itu mengerutkan
kening. “Di mana kedua orangtua Anda?”
“Sedang… dalam perjalanan kemari.” kata
Jason, “Selamatkan adik saya, Dokter. Saya mohon.”
“Akan kami usahakan. Sekarang, saya
permisi dulu.”
Dokter itu lalu kembali masuk ke dalam
ruang operasi. Beberapa saat kemudian, Rafael dan Helena Stanley, serta ibunya
datang ke rumah sakit dengan tergopoh-gopoh.
“Di mana Keiko? Apa yang terjadi
padanya?” tanya ibunya.
Jason melirik kearah Rion, yang masih
terduduk di lantai dan berusaha menjelaskan sedetail mungkin pada Rafael dan
Helena Stanley dan ibunya apa yang terjadi.
“Sekarang dokter sedang mengoperasi
Keiko,” kata Jason menelan ludah dengan susah payah. “Dokter bilang… Keiko
mengalami pendarahan dalam.”
“Ya Tuhan…” Helena menutup mulutnya
dengan sebelah tangan dan menangis. “Ya Tuhan, Keiko…”
Ibunya juga menangis. Jason harus
memeluk ibunya untuk menenangkan beliau, dan juga, dirinya sendiri.
Berjam-jam mereka menunggu operasi
selesai. Dan Rion yakin, semua orang merasakan perasaan yang sama seperti
dirinya. Rasa cemas yang amat sangat dan juga kekhawatiran, terutama mengingat
Keiko memiliki penyakit parah, dan dia mengalami kecelakaan fatal.
Setelah menunggu selama lebih dari 4
jam, lampu ruang operasi dimatikan, dan pintu menjeblak terbuka. Semua orang
langsung menatap Keiko yang terbaring di atas tempat tidur jalan dengan infuse
di punggung tangannya, serta beberapa bagian tubuhnya yang dibalut perban.
Dokter berkacamata yang menangani Keiko
melepas masker yang menutupi mulutnya dan menatap keluarga pasien.
“Di mana orangtua pasien?” tanyanya
lagi.
“Kami,” jawab Rafael dan Oda Maya
bersamaan. “Kami… kami orangtua angkatnya, dia ibu kandungnya.”
“Ah, ya, saya mengerti,” dokter itu
mengangguk, “Saya Dokter Iwasaki. Ada yang ingin saya bicaran mengenai kondisi
pasien, silakan ikut ke ruangan saya.”
“Putri saya bisa diselamatkan, Dokter?”
tanya Oda Maya tiba-tiba. “Putri saya baik-baik saja, kan?”
“Keadaannya cukup sulit. Saya ingin
membicarakan mengenai kondisi pasien, terutama kesehatan sebelum pasien
kecelakaan.” Ujar Dokter Iwasaki, “Kita akan membicarakan mengenai hal itu di
ruangan saya. Mari.”
Pasangan Stanley dan Oda Maya mengikuti
Dokter Iwasaki menuju ruangannya.
Henny menghampiri Rion yang masih
terduduk di lantai. Matanya masih basah oleh airmata, tapi dia sudah lebih
tenang dan tidak menangis lagi.
“Rion, ayo, kita jaga Keiko di
ruangannya.” Kata Henny, suaranya agak bergetar, “Suster tadi bilang kita boleh
menungguinya.”
Rion bagai robot yang mematuhi
perintah. Mereka, bertiga dengan Jason menuju ruangan di mana Keiko
ditempatkan. Sebuah ruangan di ujung koridor.
Henny membuka pintu. Dan tatapan mereka
langsung tertuju pada Keiko yang ada di hadapan mereka. Setelah dilihat dengan
lebih seksama, tidak hanya kepala Keiko yang dibalut perban, tapi dada dan juga
kedua kakinya. Rion bisa melihat sekilas perban yang menutupi dada gadis itu.
Mata Keiko terpejam dan di wajahnya
dipasangi alat bantu oksigen. Beberapa kabel penunjang kehidupan juga terpasang
di beberapa bagian tubuh gadis itu. Alat pemonitor jantung memperlihatkan garis
tidak rata, menandakan kalau Keiko masih hidup.
Rion langsung menghampiri sisi tempat
tidur Keiko. Dan tiba-tiba saja, dia menangis tanpa suara. Henny yang berada di
belakangnya juga ikut menangis lagi, bukan hanya karena melihat kondisi Keiko
yang begitu parah, tapi karena Rion. Ini kedua kalinya Rion menangis seperti
ini, menangis tanpa suara seperti ini…
Henny memeluk Rion dari belakang,
mencoba menenangkan cowok itu, sementara Jason hanya bisa memalingkan wajahnya
agar tidak seorangpun yang melihat bahwa dia juga ikut menangis.
◊◊◊
“Nona
Keiko mengalami pendarahan yang cukup parah di dada dan kakinya. Ada beberapa
tulang rusuk yang patah. Luka pada kepalanya untungnya tidak fatal. Namun, kita
perlu memantau kondisinya sampai dia sadar.
Saya menemukan kalau kedua keki Nona Keiko mengalami lumpuh
syaraf. Ketika operasi, saya menyadari bahwa Nona Keiko juga mengalami kelainan
sumsum tulang. Apakah keluarga sudah tahu? Oh ya… mungkin itu penyebab
kecelakaan, karena menurut kakak Nona Keiko, ia sempat limbung dan nyaris jatuh
sebelum mengalami kecelakaan.
Ada yang ingin saya sampaikan, bahwa kedua kaki Nona Keiko
dinyatakan lumpuh. Syaraf-syaraf motoriknya telah berhenti bekerja bahkan
sebelum ia dioperasi tadi. Namun, disitulah letak kekhawatirannya…”
◊◊◊
Hampir seminggu sejak kecelakaan itu,
dan Keiko masih belum sadar dan masih berada pada kondisi koma. Keluarganya
secara bergantian menungguinya. Rion dan Henny juga ikut menunggui. Untunglah
saat ini sedang liburan semester. Kalau tidak, mungkin mereka nekat membolos
hanya demi menunggu Keiko sampai gadis itu sadar.
Sekarang Keiko di tempatkan di ruangan
VIP, yang berada di lantai tiga gedung rumah sakit tersebut.
Semua orang sangat khawatir dan menanti
dengan cemas kapan Keiko terbangun. Oda Maya tidak bisa meninggalkan putrinya
begitu saja dan ikut menunggui, bahkan dia membatalkan perjalanannya ke Korea
hanya untuk menunggui Keiko. Jason tidak bisa mencegah ibunya karena dia juga
mencemaskan keadaan Keiko.
Pasangan Stanley juga ikut menunggui,
dan yang paling cemas adalah Helena. Wanita itu sering menangis ketika melihat
putri angkatnya itu belum juga sadar.
Semua sudah tahu kondisi Keiko, dan
mereka menantikan Keiko terbangun dengan penuh harap, juga kecemasan. Jika
Keiko terbangun dan mengetahui kondisi tubuhnya, gadis itu tentu saja akan
sedih.
Tapi, mereka tidak menutup harapan
untuk melihat Keiko segera sadar, terutama Rion. Diantara semua orang, Rion-lah
yang lebih sering menjaga Keiko, sampai nyaris tidak pernah tidur kalau tidak
disuruh oleh Henny yang mulai cemas dengan kesehatan cowok itu.
Rion selalu duduk di bangku di sebelah
tempat tidur Keiko, menggenggam tangan gadis itu dan berdoa agar Keiko cepat
sadar.
Tidak ada yang bisa membuat cowok itu
tenang selain gadis itu terbangun dari tidur panjangnya. Dan semua orang juga
mengharapkan demikian.
◊◊◊
Putih. Itu yang pertama kali dilihat
Keiko ketika dia membuka matanya. Dia memicingkan matanya, mencoba menyesuaikan
dengan cahaya di sekitarnya.
Keiko tidak bisa menggerakkan tubuhnya,
terlalu kaku. Dia yakin, dia tertidur cukup lama setelah dia kehilangan
kesadaran waktu itu.
Kecelakaan… benar-benar tidak kusangka. Kata Keiko meringis dalam hati. Dia
yakin dia tertabrak salah satu mobil yang meluncur di jalan raya ketika dia
berusaha menjangkau syalnya yang diterbangkan angin.
Gerakan di sebelahnya membuat gadis itu
melirik ke kanan. Dilihatnya Rion tertidur dengan beralaskan tangannya yang
menutupi sebagian wajah cowok itu. Keiko bisa merasakan tangannya digenggam
oleh Rion.
“Ri… on…” suaranya serak, dan dia
menelan ludah, yang terasa menyakitkan di tenggorokannya.
Tapi, Rion mendengarnya. Cowok itu
langsung tergeragap bangun dan menatap Keiko.
“Keiko? Keiko, kamu sudah sadar?” tanya
Rion.
Keiko menjawab dengan isyarat matanya.
Dilihatnya wajah Rion agak kurus. Dia ingin bertanya kenapa, tapi tidak bisa
karena tenggorokannya sakit dan mulutnya terasa kering.
“Tunggu sebentar, aku akan memanggil suster
untuk memeriksa kondisimu.” Kata Rion, menekan sebuah tombol di atas tempat
tidur Keiko dan menunggu.
Mata cowok itu menatap lekat-lekat
Keiko yang balas menatapnya. Dan setitik airmata membasahi pipi Keiko. Airmata
yang berasal dari mata Rion.
“Ri… on… kenapa…?” tanya Keiko dengan
susah payah.
Rion menghapus airmatanya dengan
tergesa-gesa dan menggeleng, “Tidak. Tidak apa-apa. Aku hanya senang kamu sudah
sadar.” ujarnya.
Para suster datang dan Rion langsung
menepi memberi mereka jalan untuk memeriksa keadaan Keiko. Rion mencoba menahan
tangis bahagianya karena melihat Keiko sudah sadar. Dia berusaha keras agar dia
tidak terdengar menangis terlalu keras dan membuat dirinya malu.
Ketika melihat Keiko menatapnya
sementara dia diperiksa, hati Rion langsung merasakan lega luar biasa.
◊◊◊
Rion langsung menelepon semua orang
bahwa Keiko sudah sadar. Dan mereka datang dengan cepat. Sekarang mereka semua
mengelilingi Keiko, yang alat bantu oksigen di wajahnya telah dilepas dan gadis
itu sudah minum beberapa teguk air hingga bisa berbicara walau pelan dan lemah.
“Kamu baik-baik saja, kan, Keiko?”
tanya Helena sambil mengelus kepala Keiko yang masih dibebat perban.
“Tidak apa-apa, Ma. Keiko baik-baik
saja…” jawab Keiko sambil tersenyum lemah. “Buktinya Keiko masih ada di sini,
kan?”
Helena tersenyum dengan mata berair dan
harus mundur untuk mencegah airmata keluar lagi dari matanya.
“Mama benar-benar mencemaskanmu. Kita
semua mencemaskanmu.” Kata Jason, “Kamu tidak sadarkan diri selama seminggu.
Bersyukurlah kamu tidak mengalami gegar otak atau apa…”
Keiko tertawa lemah mendengarnya, “Aku,
kan kuat, Kak. Aku tidak akan mudah gegar otak dengan luka kecil begini.”
Jason ingin membalas gurauan Keiko,
tapi tidak bisa. Dia terlalu cemas dan bahagia melihat Keiko sadar.
Mata Keiko menatap Rion yang duduk di
dekatnya dan menggenggam tangannya. Hatinya menghangat ketika menatap mata Rion
yang menatapnya balik dengan tatapan lembut.
“Baiklah, Keiko harus istirahat. Kita
harus meninggalkan Keiko untuk membiarkannya memulihkan kondisi tubuhnya.” ujar
Oda Maya. “Sayang, kalau kamu memerlukan apa-apa, panggil saja Rion atau Jason,
oke? Mereka akan menjagamu hari ini.”
Keiko mengangguk.
Semua orang satu-persatu meninggalkan
ruangannya, namun, hanya Rion yang belum beranjak dari tempatnya.
“Rion, ada apa?” tanya Keiko.
“Kamu benar-benar membuatku khawatir.”
Kata Rion dengan suara serak, “Kalau saja waktu itu kamu tidak mengejar syalmu…
aku tidak berani membayangkannya lagi. Kamu tidak akan tahu bagaimana cemas dan
takutny aku kehilanganmu.”
Keiko tertawa lemah lagi dan mengelus
pipi Rion.
“Tapi, aku di sini dan masih bisa kamu
lihat dan sentuh, kan? Jadi, tidak ada yang perlu dikhawatirkan.” Katanya.
Rion memaksakan sebuah senyum dan
mencium punggung tangan Keiko yang mengelus pipinya.
“Aku akan keluar sebentar untuk membeli
makan siang. Kamu istirahat yang cukup, mengerti?”
“Iya, aku tahu, kok.” Keiko tersenyum.
Rion mendekatkan wajahnya dan ragu
sejenak. Tapi, kemudian bibirnya menyentuh bibir Keiko dan mengecupnya. Dia
lalu pergi dari kamar rawat Keiko untuk membeli makanan bersama Jason yang akan
bertugas menjaga Keiko bersamanya.
Setelah Rion pergi, wajah Keiko
langsung berubah mendung. Dia melirik kedua kakinya dan menghela nafas berat.
Walau orang-orang berusaha menyembunyikannya darinya, namun sekali lihat, Keiko
sudah tahu, salah satu bagian tubuhnya mengalami luka yang cukup parah. Dari
cerita Jason, dia tahu kecelakaan yang menimpanya sangat parah dan membuatnya
tertidur selama seminggu.
Bibirnya agak bergetar sesaat, tapi tidak ada
airmata di wajahnya. Dengan susah payah, dia menekan tombol untuk memanggil
seorang perawat ke kamarnya.
Ketika perawat itu datang, Keiko
menghela nafas lagi dan menatap si perawat.
“Tolong panggilkan Dokter Iwasaki yang
menangani operasiku kemarin.” Katanya parau.
◊◊◊
“Kapan kita akan memberitahunya?” tanya
Helena pada Rafael. “Kapan kita akan memberitahu tentang kondisi tubuhnya?”
Rafael menghela nafas berat dan
menggeleng, “Aku tidak tahu, Helena. Keiko baru sadar dari koma. Kita tidak
boleh membebaninya dengan mengatakan kondisi tubuhnya yang sebenarnya.”
Helena tahu suaminya benar. Tapi, dia
takut kalau Keiko tidak senang, atau bahkan marah karena tidak diberitahu
tentang kondisi tubuhnya.
Oda Maya yang duduk di sebelah mereka hanya
menghela nafas dan mencoba menahan tangis yang akan keluar.
“Kita harus menunggu Keiko cukup sehat
dulu.” Kata Oda Maya, “Baru kita bisa memikirkan bagaimana mengatakan tentang
kondisi tubuhnya.”
“Kau benar,” kata Helena. Lalu menghela
nafas sedih.
Oda Maya juga merasakan kesedihan yang
sama. Matanya menerawang menatap keluar kearah taman yang ditutupi salju.
Tangannya menggenggam cangkir kertas berisi kopi panas, yang tidak terasa panas
lagi di tangannya yang dingin terkena embusan angin musim dingin yang beku.
“Keiko,” gumamnya lirih, “Mama
benar-benar minta maaf karena kamu harus mengalami semua ini…”
◊◊◊
Rion kembali ke kamar Keiko sendirian.
Jason tadi ditelepon oleh manajernya yang menanyakan tentang kecelakaan yang
menimpa Keiko. Henny sedang berada di rumah, mengambil pakaian ganti untuk
Keiko.
Ketika Rion datang, Keiko sudah
tertidur. Cowok itu lalu duduk di kursi di samping tempat tidur Keiko dan
memandangi wajah gadis itu yang tidur dengan tenang.
Samar-samar, Rion melihat ada bekas
airmata di pipi Keiko. Apakah gadis itu tadi menangis? Tapi, karena apa?
“Rion…”
Keiko bergumam dalam tidurnya. Suaranya
terdengar sedih dan ketakutan. Apa yang sedang dimimpikan gadis itu?
“Rion…” sebelah tangan Keiko sedikit
terangkat, dan kelopak mata gadis itu membuka perlahan.
Rion langsung mengecup dahi Keiko yang
ditutupi perban dan mendapat perhatian gadis itu.
“Hai,” kata Keiko sambil tersenyum,
“Aku… aku tadi tidak mengigau, kan?”
“Tidak,” kata Rion berbohong. Dia tidak
mau mengatakan kalau dia mendengar igauan Keiko yang memanggil namanya dengan
nada ketakutan.
Keiko tersenyum lagi dan menghembuskan
nafas.
“Rasanya aku seperti boneka saja.
Berbaring seperti ini membuat tubuhku kaku.” Kata Keiko.
“Itu karena kamu koma selama seminggu
dan baru sadar sekarang.” kata Rion terkekeh, “Istirahat, deh. Biar kamu cepat
sembuh.”
“Aku sudah banyak istirahat…” kata
Keiko mengerutkan kening, “Dan aku ingin mengobrol.”
“Jangan bandel, deh. Kamu itu masih
sakit, belum boleh banyak bicara dulu.” Ujar Rion.
“Tapi, aku mau melakukan sesuatu…
setidaknya, aku tidak akan bosan.”
“Tidak boleh. Suster sudah menyuruhmu
untuk istirahat, kan?” kata Rion dengan tatapan menegur. “Bersikaplah yang
manis dan beristirahat. Kalau tidak, aku akan menghubungi Jason atau orangtuamu
dan mengatakan kalau kamu susah disuruh istirahat.”
Keiko terkekeh mendengar nada penuh
teguran dari Rion. Gadis itu menyentuh tangan Rion dan membawanya ke pipinya.
Ditempelkannya tangan itu di pipinya dan memejamkan matanya. Rion tidak
keberatan tangannya menyentuh pipi Keiko. Sebenarnya, itulah yang akan
dilakukannya tadi untuk membujuk Keiko agar mau istirahat.
“Aku senang kamu ada di sini.” kata
Keiko, “Ada kamu di sini sudah cukup menjadi obatku.”
“Jangan mulai menggodaku.” Kata Rion,
“Kamu harus istirahat, Keiko.”
“Oke, oke…” Keiko memeluk tangan Rion,
“Nanti kalau aku sembuh, kita jalan-jalan, ya? Aku belum puas menjelajahi
toko-toko kemarin.”
“Kamu kecelakaan parah karena tidak
hati-hati dan masih ingin jalan-jalan?” Rion melotot, namun senyuman
tersungging di bibirnya. “Kamu ini benar-benar bandel, terlalu aktif…”
“Tapi, kamu sayang aku karena itu,
kan?” kata Keiko.
Rion hanya menghela nafas dan mencubit
pipi Keiko. “Aku akan mengabulkan permintaanmu asal kamu mau istirahat.”
Katanya.
Keiko menjauhkan pipinya dari tangan
Rion yang mencubit pipinya.
“Jahat sekali kamu mencubit pipi orang
yang sedang sakit.”
“Kalau kamu tidak mau istirahat, aku
akan mencubitmu lagi.”
Keiko mengerucutkan bibirnya, tapi
menurut ketika Rion menghadiahinya cubitan lagi.
Rion memperhatikan Keiko mulai terbawa
kealam mimpi. Pelukan pada lengannya mulai mengendur, dan Rion menggunakan
kesempatan itu untuk mengelus pipi Keiko. Tangannya kemudian mengambil sejumput
rambut Keiko dan memainkannya.
Rion sempat meringis ketika Keiko meminta
untuk jalan-jalan lagi ketika gadis itu sudah sembuh. Tapi… bagaimana dia bisa
melaksanakan hal itu setelah mengetahui kondisi Keiko yang semakin memburuk
setelah dioperasi? Mata Rion melirik kearah kaki Keiko yang tertutup selimut.
Hatinya tiba-tiba berdenyut sakit mengingat ucapan yang disampaikan kedua
orangtua angkat Keiko.
Rion menghela nafas dan merebahkan
kepalanya di sebelah kepala Keiko. Diciumnya pipi Keiko dan menutup matanya.
Lagi-lagi merasakan airmata siap mengalir dari matanya.
◊◊◊
Henny baru saja sampai di rumah sakit
ketika dia melihat Jason datang dari arah berlawanan, dengan wajah lesu khas
orang kurang tidur. Memang, selain Rion, Jason juga menjaga Keiko sampai nyaris
tidak pernah tidur.
“Hei,” sapa Henny.
“Hai, Henny. Baru datang?” sapa Jason
sambil tersenyum lelah. “Kamu membawa pakaian ganti untuk Keiko?”
Henny menunjukkan tas yang dibawanya.
Henny kemudian menatap Jason, dan menyadari wajah Jason tidak hanya lesu, tapi
kelihatan seperti…
“Apa ada berita buruk?” tanya Henny.
“Apa? Tidak ada… tidak ada berita
buruk, kalau yang kamu maksud adalah tentang Keiko.” Kata Jason cepat.
“Lalu, kenapa wajahmu kelihatan seperti
baru menghabiskan masa hukuman berat di penjara dengan tidak sukarela?” kata
Henny. “Apa ada sesuatu yang terjadi?”
“Err… tidak juga.” Kata Jason
menggeleng, “Yah… sebenarnya ada sedikit masalah.”
“Apa? Apa ada yang terjadi?” tanya
Henny cemas. “Apa Keiko baik-baik saja?”
“Kita bicara di tempat lain saja.” kata
Jason, “Bagaimana kalau kita bicara di kantin rumah sakit? Aku traktir kopi,
deh.”
Mereka berdua duduk berhadapan dengan
secangkir kopi panas di hadapan mereka. Henny menunggu Jason bercerita lebih
dulu.
“Manajerku tadi menelepon,” kata Jason,
“Kebetulan manajerku termasuk orang yang mencari promotor untuk konser tunggal
Keiko di Indonesia. Dia meminta konfirmasi apa yang terjadi pada Keiko, karena
Nyonya Helena yang merangkap sebagai asisten sekaligus manajer Keiko, sudah
mengabarinya bahwa Keiko tidak akan mungkin pulang ke Indonesia untuk waktu
yang cukup lama. Diperkirakan 2-3 bulan. Dan tentu kamu tahu kurang dari
sebulan lagi Keiko akan mengadakan konser.”
Henny mengangguk, dia mulai mengerti
arah pembicaraan Jason.
“Jadi, manajerku mengatakan kalau
seandainya kondisi Keiko belum pulih sampai konser tiba, dia dan para sponsor
terpaksa mengundurkan tanggal konser menjadi 4 bulan dari sekarang, tergantung
kesiapan dan kondisi Keiko. Waktu itu manajerku sudah memberitahuku bahwa lebih
baik membatalkannya daripada mengundur tanggalnya. Banyak orang yang sudah menanti
konser Keiko. Tapi, karena kondisinya…”
“Lalu, apa yang membuatmu kacau dan
gelisah seperti ini?” tanya Henny. “Apa… kamu tidak sanggup mengatakannya pada
Keiko?”
“Ya.” Jason mengangguk, “Konser ini
adalah konser pertama Keiko di Indonesia. Nyonya Helena bahkan mengatakan kalau
Keiko sangat bersemangat saat akan menyelenggarakan konser ini. Dia bahkan ikut
turun tangan mengurusi masalah panggung, orchestra, dan sebagainya… dan kalau
sampai semua ini berakhir sia-sia…”
Henny tahu. Keiko mungkin akan
mengalami depresi. Dia juga tahu Keiko sangat tidak sabar ingin mengadakan
konsernya di Indonesia. Itu impian Keiko sejak kecil, bisa mengadakan konser di
Indonesia untuk para penggemarnya di sana.
“Aku tidak tahu bagaimana harus
mengatakannya pada Keiko,” kata Jason, “Kita bahkan belum memberitahunya soal
keadaan tubuhnya, keadaan kakinya…”
“Aku yakin Keiko akan mengerti,” kata
Henny, “Keiko gadis yang kuat. Kita harus memberitahu segalanya pada Keiko jika
saatnya tepat. Dan aku yakin, Keiko akan mengerti.”
Jason menatap Henny, kemudian cangkir
kopinya, yang belum disentuh sama sekali, lalu menghela nafas.
“Kuharap begitu. Aku tidak tega
mengatakan hal yang bisa membuatnya sedih. Dia sudah terbebani dengan
penyakitnya, dan aku tidak mau membebaninya lebih dari ini.”
“Kita semua juga begitu. Paman dan Bibi
Stanley, juga Bibi Maya pasti juga begitu.” kata Henny bijak, “Tapi, kita tidak
mungkin menyembunyikan semuanya. Cepat atau lambat Keiko akan curiga, dan dia
akan tahu semuanya bahkan tanpa kita sadari.”
Jason mengangguk menatap Henny. Cowok
itu lalu tersenyum tipis.
“Ternyata benar kata Keiko, kamu
kadang-kadang bisa bijak juga.” Ujarnya.
“Memangnya aku harus selalu bertingkah
seperti anak kecil?” balas Henny sambil tersenyum, “Hanya pada saat-saat
tertentu saja aku menjadi bijak. Dan kurasa… sekarang juga memang saatnya aku
berpikiran bijak.”
0 komentar:
Posting Komentar