~PROLOGUE~
Matanya menatap lurus kearah orang itu. Orang
yang selalu dia percayai selama ini. Orang yang menjadi alasan kenapa dia hidup
selama ini.
“Aku tidak bisa percaya kamulah
orang yang kucari…” katanya, “Kenapa? Kenapa harus kamu!?”
“Aku tidak mungkin memberitahumu
yang sebenarnya, dan aku terlalu takut bahwa suatu hari kamu akan membenciku dan
menatapku… seperti itu.”
Ia memejamkan matanya, menahan
airmata yang akan keluar dari pelupuk matanya.
Hujan turun deras membasahi bumi,
begitu pula mereka. Rambutnya yang panjang basah karena hujan yang turun.
Pakaiannya juga kotor terkena lumpur.
Dia mengacungkan bowgun yang dibawanya pada orang itu.
Kedua matanya terbuka, dan kali ini tatapan matanya begitu dingin dan datar.
“Dan sayangnya, kali ini, aku
benar-benar akan membunuhmu.” Ujarnya penuh kemarahan.
~CHAPTER
1~
Menjadi seorang yang terkenal, populer di sekolah
mungkin menjadi pilihan dan keinginan semua orang, apalagi jika mereka adalah
anak orang penting, pejabat daerah, dan sebagainya. Tapi, tidak semua itu
terasa indah. Sungguh. Aku selalu merasakannya, dan aku jenuh. Benar-benar
jenuh.
Namaku Ilana. Hanya Ilana, tidak
ada embel-embel lain. Usiaku 18 tahun, dan aku adalah murid senior tingkat
ketiga di Hunters Academy, sebuah akademi yang mengajarkan kami agar bisa
menjadi Hunter dan Huntress, pemburu Shadow yang berkeliaran diantara manusia.
Akan kujelaskan sedikit. Shadow,
bisa diartikan bayangan. Tapi, yang
kumaksud bukan bayangan yang selalu mengekori kita setiap saat. Shadow yang
kumaksud adalah makhluk berwujud mirip manusia (mungkin semacam peri, kalau
kalian ingin membayangkan) yang memakan energy kehidupan manusia. Shadow lahir
dari seseorang yang telah mati. Tubuh mereka yang masih ada di dunia ini masih
menyimpan emosi semacam amarah, dendam, dan kesedihan. Emosi-emosi itulah yang
melahirkan Shadow. Dan, umumnya, para Shadow ini mengambil bentuk fisik yang
luar biasa sempurna untuk memikat mangsanya—ya… seperti bunga pemakan serangga
yang memikat mangsanya dengan bau manis nectar yang dihasilkannya. Dan ketika
saatnya sang mangsa terpikat, mereka akan memakan energy mereka sampai habis
dan kering, meninggalkan mayat yang walau tidak terluka dan bertubuh segar,
mata mereka menjadi kelabu dan begitu pula bibir mereka. Tanda bahwa seseorang
dimangsa Shadow adalah bekas luka bakar seukuran sidik jari di leher mereka,
karena di sanalah biasa para Shadow menekan energy manusia untuk dihisap.
Jadi, jika kamu bertemu dengan
seseorang yang terlalu sempurna
secara fisik, bisa jadi dia adalah Shadow. Cirri-ciri mereka yang lain selain
fisik yang terlampau sempurna adalah, mereka memiliki bola mata berwarna biru
bening seperti kaca.
Dan tugas para Hunter, dan
Huntress, adalah mencegah hal itu terjadi. Secara kasar, tugas kami adalah
membunuh Shadow. Tugas yang cukup berat, mengingat Shadow tidak bisa dibunuh,
karena mereka adalah makhluk abadi (semacam vampire, kalau menurut otak para
remaja jaman sekarang) yang walaupun sudah ditebas berkali-kali, mereka akan
dengan cepat beregenerasi dan semakin kuat. Memang ada titik kelemahan mereka,
namun itulah tugas yang paling utama dalam setiap perburuan Shadow. Kami harus
menemukan kelemahan Shadow, kemudian membunuhnya dengan kelamahannya itu.
Nah, di Hunters Academy, kami
dilatih untuk memburu dan membunuh Shadow. Mulai dari melacak keberadaan mereka
dengan kemampuan sixth sense kami,
serta bertarung melawan mereka.
Tentu saja murid-murid akademi ini
memiliki sixth sense dan kemampuan
yang beragam. Contohnya, ada yang bisa bertelepati, telekinesis, kemampuan
untuk mengendalikan api, air, dan sebagainya. Semua kemampuan itu sangat
berguna bagi kami untuk melacak dan membunuh Shadow. Beberapa diantara kami
yang sudah lulus dari akademi bahkan sudah menjadi Hunter dan Huntress
profesional.
Apa? Kalian bertanya apa peranku di
Hunters Academy?
Oke. Aku ini bukan orang yang suka
membesar-besarkan kemampuan, atau keahlian bertarung dan semacamnya, karena aku
lebih suka menyendiri. Aku tidak suka keramaian. Aku bahkan membenci kenyataan
bahwa aku adalah anak yatim-piatu yang mendapat kesempatan belajar di sini
tanpa harus mengikuti tes dan semacamnya.
Aku serius, kok! Aku mungkin tidak
terlalu berbakat bertarung, walau orang-orang bilang aku mampu melacak
keberadaan Shadow lebih cepat daripada orang lain dan memiliki kemampuan sixth sense yang tidak biasa (aku tidak
mau membicarakannya). Di samping itu, banyak yang mengatakan aku memiliki
cirri-ciri yang selalu ada pada Shadow :
Terlihat sempurna secara fisik.
Memang, penampilanku secara fisik
sangat sempurna. Tinggiku 163 senti. Kulitku putih seperti patung porselen.
Wajahku dihiasi bola mata berwarna biru bening (dan kadang bisa kuubah menjadi
coklat gelap ketika berada di tengah banyak orang) dan alis yang cukup tebal
membingkai wajahku dengan sempurna, bulu mataku bahkan sangat lentik. Bibirku
berwarna mawar pink pucat, dan hidungku kecil dan mancung. Secara fisik,
penampilanku nyaris mirip Shadow perempuan pada umumnya, terlalu cantik dan
seakan seperti patung yang berjalan dari toko pakaian. Tapi, aku memang
memiliki kesempurnaan fisik yang membuat orang lain iri. Dan, jujur saja, aku
tidak bangga dengan itu semua.
Dan… aku tidak tahu siapa yang
mewariskan kesempurnaan fisik ini padaku. Yup, aku tidak mengenal kedua
orangtuaku. Sejak kecil, aku dibesarkan di panti asuhan di dekat akademi ini,
sebelum akhirnya ditemukan oleh seseorang yang kemudian menawariku untuk
bersekolah di akademi ini. Melatih kemampuan bertarungku dan kemampuan sixth sense-ku. Andai aku tahu siapa
kedua orangtuaku, tentu aku tidak akan selalu bertanya-tanya apakah aku dibuang
ke panti asuhan karena aku seperti Shadow, atau karena orangtuaku tidak
memiliki biaya yang cukup untuk merawatku. Tapi, yang jelas, aku bersyukur
mereka membuangku ke panti asuhan. Aku tidak berani membayangkan kalau mereka
nekat merawatku, mereka akan disangka Shadow, dan dibunuh, walau mereka adalah
manusia biasa sekalipun.
Dan, kalian tahu, menjadi seseorang
sepertiku, cukup untuk membuat kalian berpikir dua kali apakah kalian ingin menjadi
Hunter, atau mati dan menjadi Shadow.
Kalian akan tahu apa maksudku.
Nanti.
***
Aku membuka mata dan memicingkan mata menatap
jam beker di atas meja di dekat tempat tidurku.
Oh, sial. Sudah jam tujuh pagi!
Aku langsung menyingkap selimutku,
berlari mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Hari ini adalah hari pertama
masuk sekolah setelah libur panjang musim panas. Kemarin malam aku terlalu
sibuk latihan di hutan akademi hingga larut malam dan akhirnya bangun kesiangan
sekarang.
Harusnya aku menyetel jam bekerku
seperti biasa karena kemarin malam setelah latihan aku lupa menyetel bekerku
berbunyi pada jam enam tepat.
Sekali lagi, sial.
Setelah mandi dengan terburu-buru,
aku segera mengeringkan rambutku dan menyambar pakaian dalam dan seragam
akademi. Setelan blazer berwarna biru gelap sampai kelihatan nyaris hitam,
kemeja lengan panjang berwarna putih, rok lipit hitam dengan motif kotak-kotak
biru tua dengan panjang lima senti diatas lutut. Aku mengeringkan rambut hitam
panjangku sebisaku karena waktu sudah sangat sedikit. Lima belas menit lagi
upacara pembukaan tahun ajaran baru, dan aku tidak bisa terlambat.
Alasannya? Hari ini adalah
giliranku mempersiapkan murid-murid baru bersama sebelas orang senior lainnya
dengan tingkat yang berbeda dariku.
Aku menatap pantulan diriku di
cermin. Aku menyerah untuk mengatur rambutku setelah selama sepuluh menit tidak
bisa membuatnya terikat cukup bagus menjadi buntut kuda. Kulepaskan ikat rambut
di rambutku dan membiarkannya tergerai. Rambutku yang panjangnya mencapai
punggung ini agak menyulitkanku di hari-hari yang panas, tapi, karena sekarang
sudah menjelang akhir musim panas, aku tidak terlalu khawatir kepanasan.
Aku ambil badge untuk senior tingkat dua berwarna merah dengan lambang burung
phoenix di tengahnya, serta ban lengan berwarna putih, yang menandakan aku
adalah ‘petugas lapangan’ yang tergeletak di atas meja riasku.
Kutatap lagi penampilanku di cermin
dan mataku masih berwarna biru bening. Aku memejamkan mataku sejenak dan
membukanya kembali, warna mataku sudah berubah menjadi coklat gelap.
Oke, aku sudah siap.
***
“Kemana saja kamu? Para senior sudah berada di
lapangan sejak tadi!”
Aku mengernyit mendengar suara
cempreng itu, kemudian mendengus melihat Neil sedang berdiri di depan pintu
gerbang di depan asrama.
“Aku hanya berharap aku tidak
terlalu terlambat.” Kataku sambil memperlihatkan kartu identitasku padanya.
Dia memeriksa kartu identitasku dan
menyerahkannya kembali padaku sembari mencatat sesuatu pada kertas yang
dibawanya.
“Hanya beberapa menit. Sebaiknya
cepat pergi ke sana, Ketua Senior.” Ujarnya dengan nada menyindir.
Aku tidak memperdulikan nada
menyindirnya dan segera berlari secepat mungkin ke lapangan rumput hijau luas
di tengah-tengah akademi, tempat penyambutan murid baru dan pembukaan tahun
ajaran dibuka.
Dan, yang kumaksud dengan berlari secepat mungkin memang
benar-benar berlari sangat cepat.
Kecepatan lariku berada di atas rata-rata semua murid akademi. Dan aku punya keuntungan
tersendiri dengan kemampuan lariku.
Ketika aku berhasil berhenti
berlari, tepat di samping cewek senior tingkat empat, Melissa Vanders, dia
mengernyit melihat kedatanganku yang tiba-tiba di dekatnya.
“Kenapa kamu terlambat? Kau
ketuanya, seharusnya memberi contoh pada yang lain.” ujarnya.
“Aku terlalu asyik berlatih
semalaman.” Kataku sambil merapikan rambutku, “Semua murid baru sudah siap?”
Dia mengedikkan kepalanya pada
segerombolan besar murid-murid baru dengan blazer hijau muda, pakaian untuk dua
tahun pertama mereka. Wajah-wajah mereka tampak gugup dan bersemangat, khas
murid baru. Bahkan beberapa diantara mereka seperti akan pingsan saking
gugupnya.
Aku menatap mereka semua. Jumlah
mereka cukup banyak. Seribu, kah? Atau dua ribu?
“Tiga ribu.” Sahut suara di
sebelahku.
Seorang cowok berambut perak dan
memiliki mata kelabu berdiri di sebelahku sambil melipat tangannya di depan
dada. Tubuhnya lebih tinggi dariku. Dan kalau kalian ingin tahu, dia adalah
orang kedua yang menjabat sebagai bagian dari perhimpunan senior tingkat ketiga
dan keempat. Nama cowok ini adalah Michael.
“Jumlah mereka tiga ribu.” Katanya
sambil tersenyum padaku. “Lebih tepatnya, tiga ribu lima ratus lima puluh
orang.”
“Lumayan banyak juga…” aku
bergumam, “Kau bawa apa yang kusuruh untuk kau bawa hari ini?”
Michael melambaikan sebuah kertas
di tangannya dan menyerahkannya padaku. Perlakuannya padaku cukup ramah,
mengingat nyaris semua murid yang seangkatan denganku atau yang lebih tinggi
membenciku karena aku mengingatkan mereka pada Shadow (ingat soal fisikku yang
terlalu sempurna? Yah, walau bukan berarti kami para Hunter tidak cantik atau
tampan…). Hanya beberapa orang yang bersikap ramah, salah satunya adalah Michael.
“Terima kasih.” Aku menyambut
kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku blazerku. Aku menatap jam tangan di
pergelangan tangan kiriku dan mendongak.
“Sudah waktunya mereka
bersiap-siap,” kataku, “Semua senior, laksanakan tugas kalian!!”
***
Hari pertama kulalui dengan cukup… baik. Aku
membimbing murid-murid baru—yang jumlahnya tiga ribu lima ratus lima puluh
orang—untuk membentuk barisan panjang dan kelihatan tidak ada akhirnya di
lapangan rumput hijau ini. Walau ada sedikit
masalah, tapi semuanya teratasi dengan baik.
Sekarang, setelah mengantarkan para
murid baru ke aula makan, aku langsung pergi ke taman di dekat sana. Aku punya
janji dengan Michael untuk menemuinya di taman sebelum jam makan siang.
Taman di dekat aula adalah salah
satu taman yang sering dikunjungi murid-murid akademi. Di akademi ini ada lima
taman, yang semuanya dibangun di lima titik yang kalau dihubungkan, menjadi
lambang bintang. Masing-masing taman itu mempunyai cirri khas tersendiri.
Seperti taman di dekat aula. Taman itu dibuat dengan unsure… yang berhubungan
dengan air. Sesuai dengan legenda yang ada di akademi sejak lama.
Aku akan menceritakannya nanti.
Sekarang, di mana cowok sok cool itu?
“Di sini,”
Aku menoleh dan melihat Michael
duduk di salah satu gazebo yang berada di atas danau buatan. Dia melambai
kearahku dan aku bergegas kearahnya.
“Hei, Beib.” Katanya sambil mencium pipiku, “Aku kangen padamu.”
Aku meringis mendengar nada
suaranya, “Sudah kukatakan padamu, jangan pernah memanggilku beib, sayang, atau panggilan yang
bernada menggombal. Kau tahu aku tidak suka itu, terutama aku tidak suka
padamu.”
Dia terkekeh dan menawarkan tempat
duduk di sebelahnya. Aku hanya mendelik padanya sebelum mengambil tempat yang
cukup jauh darinya.
“Jadi… apa yang akan kita
bicarakan?” tanyanya.
“Ini.” aku mengeluarkan kertas yang
diberikannya padaku tadi pagi, “Kau yakin informasi dalam kertas ini benar?”
“Memang benar, kok.” Ujarnya, “Kamu
tidak percaya?”
“Sulit percaya pada penggoda
sepertimu.” Dengusku, yang dibalasnya dengan kekehan rendah.
“Serius, Mike. Aku tidak suka
main-main dan mengulur waktu seperti ini. Usiaku sudah 18 tahun, dan kurasa aku
sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi di akademi ini.”
kataku lagi. “Apalagi kalau itu menyangkut… diriku.”
“Aku tidak bilang kalau aku tidak
serius.” Balasnya, “Apa yang tertulis dalam kertas itu benar. Aku
mendapatkannya dari informan terpercaya.”
“Siapa?”
“Kamu akan bertemu dengannya,
nanti.” Katanya sambil tersenyum.
Aku memutar bola mataku dan menatap
kertas itu lagi. Menatap sebaris kalimat yang membuatku kepikiran selama 4 jam
terakhir ini.
Serahkan gadis bermata biru itu, atau kalian akan
merasakan kemarahan kami.
“Kamu memiliki mata biru, meski
kamu menutupinya dengan menggelapkan warna matamu.” Kata Michael. “Hanya ada
beberapa orang yang tahu tentang warna asli matamu, termasuk kepala akademi.
Benar, kan?”
Aku hanya diam mendengarnya.
Memang, selain Michael yang mengetahui warna asli mataku(dia mengetahuinya
secara tidak sengaja), hanya kepala Hunters Acaedemy saja yang tahu warna asli
mataku.
“Kamu yakin dulu kamu tidak punya
musuh? Maksudku, saat kamu di panti asuhan,” kata Michael.
“Tidak. kamu tahu sendiri kalau aku
tidak pernah menampakkan diri di depan orang lain kecuali memang sangat
diperlukan. Seperti sekarang.” kataku.
“Oh, oke.” katanya, kemudian menatap
danau.
Aku sendiri masih menatap kertas di
tanganku, dan kemudian menghela nafas.
“Kurasa aku akan berbicara dengan
kepala akademi.” Kataku, “Masalah ini lebih serius daripada yang kuduga.
Beberapa hari lalu terjadi penyusupan, kan?”
“Ya. Dan yang menjadi targetnya
adalah kamu.” ujar Michael, “Sebenarnya kamu berarti apa bagi orang yang
mengirim surat itu, sih?”
Aku menatapnya, “Aku juga tidak
tahu.” kataku, “Tapi… mungkin ada hubungannya dengan masa laluku. Kedua
orangtua kandungku.”
0 komentar:
Posting Komentar