Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Hunter Academy ~ Bloodline - Prologue & Chapter 1



~PROLOGUE~

Matanya menatap lurus kearah orang itu. Orang yang selalu dia percayai selama ini. Orang yang menjadi alasan kenapa dia hidup selama ini.
“Aku tidak bisa percaya kamulah orang yang kucari…” katanya, “Kenapa? Kenapa harus kamu!?”
“Aku tidak mungkin memberitahumu yang sebenarnya, dan aku terlalu takut bahwa suatu hari kamu akan membenciku dan menatapku… seperti itu.”

Ia memejamkan matanya, menahan airmata yang akan keluar dari pelupuk matanya.
Hujan turun deras membasahi bumi, begitu pula mereka. Rambutnya yang panjang basah karena hujan yang turun. Pakaiannya juga kotor terkena lumpur.
Dia mengacungkan bowgun yang dibawanya pada orang itu. Kedua matanya terbuka, dan kali ini tatapan matanya begitu dingin dan datar.
“Dan sayangnya, kali ini, aku benar-benar akan membunuhmu.” Ujarnya penuh kemarahan.





~CHAPTER 1~

Menjadi seorang yang terkenal, populer di sekolah mungkin menjadi pilihan dan keinginan semua orang, apalagi jika mereka adalah anak orang penting, pejabat daerah, dan sebagainya. Tapi, tidak semua itu terasa indah. Sungguh. Aku selalu merasakannya, dan aku jenuh. Benar-benar jenuh.
Namaku Ilana. Hanya Ilana, tidak ada embel-embel lain. Usiaku 18 tahun, dan aku adalah murid senior tingkat ketiga di Hunters Academy, sebuah akademi yang mengajarkan kami agar bisa menjadi Hunter dan Huntress, pemburu Shadow yang berkeliaran diantara manusia.
Akan kujelaskan sedikit. Shadow, bisa diartikan bayangan. Tapi, yang kumaksud bukan bayangan yang selalu mengekori kita setiap saat. Shadow yang kumaksud adalah makhluk berwujud mirip manusia (mungkin semacam peri, kalau kalian ingin membayangkan) yang memakan energy kehidupan manusia. Shadow lahir dari seseorang yang telah mati. Tubuh mereka yang masih ada di dunia ini masih menyimpan emosi semacam amarah, dendam, dan kesedihan. Emosi-emosi itulah yang melahirkan Shadow. Dan, umumnya, para Shadow ini mengambil bentuk fisik yang luar biasa sempurna untuk memikat mangsanya—ya… seperti bunga pemakan serangga yang memikat mangsanya dengan bau manis nectar yang dihasilkannya. Dan ketika saatnya sang mangsa terpikat, mereka akan memakan energy mereka sampai habis dan kering, meninggalkan mayat yang walau tidak terluka dan bertubuh segar, mata mereka menjadi kelabu dan begitu pula bibir mereka. Tanda bahwa seseorang dimangsa Shadow adalah bekas luka bakar seukuran sidik jari di leher mereka, karena di sanalah biasa para Shadow menekan energy manusia untuk dihisap.
Jadi, jika kamu bertemu dengan seseorang yang terlalu sempurna secara fisik, bisa jadi dia adalah Shadow. Cirri-ciri mereka yang lain selain fisik yang terlampau sempurna adalah, mereka memiliki bola mata berwarna biru bening seperti kaca.
Dan tugas para Hunter, dan Huntress, adalah mencegah hal itu terjadi. Secara kasar, tugas kami adalah membunuh Shadow. Tugas yang cukup berat, mengingat Shadow tidak bisa dibunuh, karena mereka adalah makhluk abadi (semacam vampire, kalau menurut otak para remaja jaman sekarang) yang walaupun sudah ditebas berkali-kali, mereka akan dengan cepat beregenerasi dan semakin kuat. Memang ada titik kelemahan mereka, namun itulah tugas yang paling utama dalam setiap perburuan Shadow. Kami harus menemukan kelemahan Shadow, kemudian membunuhnya dengan kelamahannya itu.
Nah, di Hunters Academy, kami dilatih untuk memburu dan membunuh Shadow. Mulai dari melacak keberadaan mereka dengan kemampuan sixth sense kami, serta bertarung melawan mereka.
Tentu saja murid-murid akademi ini memiliki sixth sense dan kemampuan yang beragam. Contohnya, ada yang bisa bertelepati, telekinesis, kemampuan untuk mengendalikan api, air, dan sebagainya. Semua kemampuan itu sangat berguna bagi kami untuk melacak dan membunuh Shadow. Beberapa diantara kami yang sudah lulus dari akademi bahkan sudah menjadi Hunter dan Huntress profesional.
Apa? Kalian bertanya apa peranku di Hunters Academy?
Oke. Aku ini bukan orang yang suka membesar-besarkan kemampuan, atau keahlian bertarung dan semacamnya, karena aku lebih suka menyendiri. Aku tidak suka keramaian. Aku bahkan membenci kenyataan bahwa aku adalah anak yatim-piatu yang mendapat kesempatan belajar di sini tanpa harus mengikuti tes dan semacamnya.
Aku serius, kok! Aku mungkin tidak terlalu berbakat bertarung, walau orang-orang bilang aku mampu melacak keberadaan Shadow lebih cepat daripada orang lain dan memiliki kemampuan sixth sense yang tidak biasa (aku tidak mau membicarakannya). Di samping itu, banyak yang mengatakan aku memiliki cirri-ciri yang selalu ada pada Shadow :
Terlihat sempurna secara fisik.
Memang, penampilanku secara fisik sangat sempurna. Tinggiku 163 senti. Kulitku putih seperti patung porselen. Wajahku dihiasi bola mata berwarna biru bening (dan kadang bisa kuubah menjadi coklat gelap ketika berada di tengah banyak orang) dan alis yang cukup tebal membingkai wajahku dengan sempurna, bulu mataku bahkan sangat lentik. Bibirku berwarna mawar pink pucat, dan hidungku kecil dan mancung. Secara fisik, penampilanku nyaris mirip Shadow perempuan pada umumnya, terlalu cantik dan seakan seperti patung yang berjalan dari toko pakaian. Tapi, aku memang memiliki kesempurnaan fisik yang membuat orang lain iri. Dan, jujur saja, aku tidak bangga dengan itu semua.
Dan… aku tidak tahu siapa yang mewariskan kesempurnaan fisik ini padaku. Yup, aku tidak mengenal kedua orangtuaku. Sejak kecil, aku dibesarkan di panti asuhan di dekat akademi ini, sebelum akhirnya ditemukan oleh seseorang yang kemudian menawariku untuk bersekolah di akademi ini. Melatih kemampuan bertarungku dan kemampuan sixth sense-ku. Andai aku tahu siapa kedua orangtuaku, tentu aku tidak akan selalu bertanya-tanya apakah aku dibuang ke panti asuhan karena aku seperti Shadow, atau karena orangtuaku tidak memiliki biaya yang cukup untuk merawatku. Tapi, yang jelas, aku bersyukur mereka membuangku ke panti asuhan. Aku tidak berani membayangkan kalau mereka nekat merawatku, mereka akan disangka Shadow, dan dibunuh, walau mereka adalah manusia biasa sekalipun.
Dan, kalian tahu, menjadi seseorang sepertiku, cukup untuk membuat kalian berpikir dua kali apakah kalian ingin menjadi Hunter, atau mati dan menjadi Shadow.
Kalian akan tahu apa maksudku. Nanti.

***

Aku membuka mata dan memicingkan mata menatap jam beker di atas meja di dekat tempat tidurku.
Oh, sial. Sudah jam tujuh pagi!
Aku langsung menyingkap selimutku, berlari mengambil handuk dan menuju kamar mandi. Hari ini adalah hari pertama masuk sekolah setelah libur panjang musim panas. Kemarin malam aku terlalu sibuk latihan di hutan akademi hingga larut malam dan akhirnya bangun kesiangan sekarang.
Harusnya aku menyetel jam bekerku seperti biasa karena kemarin malam setelah latihan aku lupa menyetel bekerku berbunyi pada jam enam tepat.
Sekali lagi, sial.
Setelah mandi dengan terburu-buru, aku segera mengeringkan rambutku dan menyambar pakaian dalam dan seragam akademi. Setelan blazer berwarna biru gelap sampai kelihatan nyaris hitam, kemeja lengan panjang berwarna putih, rok lipit hitam dengan motif kotak-kotak biru tua dengan panjang lima senti diatas lutut. Aku mengeringkan rambut hitam panjangku sebisaku karena waktu sudah sangat sedikit. Lima belas menit lagi upacara pembukaan tahun ajaran baru, dan aku tidak bisa terlambat.
Alasannya? Hari ini adalah giliranku mempersiapkan murid-murid baru bersama sebelas orang senior lainnya dengan tingkat yang berbeda dariku.
Aku menatap pantulan diriku di cermin. Aku menyerah untuk mengatur rambutku setelah selama sepuluh menit tidak bisa membuatnya terikat cukup bagus menjadi buntut kuda. Kulepaskan ikat rambut di rambutku dan membiarkannya tergerai. Rambutku yang panjangnya mencapai punggung ini agak menyulitkanku di hari-hari yang panas, tapi, karena sekarang sudah menjelang akhir musim panas, aku tidak terlalu khawatir kepanasan.
Aku ambil badge untuk senior tingkat dua berwarna merah dengan lambang burung phoenix di tengahnya, serta ban lengan berwarna putih, yang menandakan aku adalah ‘petugas lapangan’ yang tergeletak di atas meja riasku.
Kutatap lagi penampilanku di cermin dan mataku masih berwarna biru bening. Aku memejamkan mataku sejenak dan membukanya kembali, warna mataku sudah berubah menjadi coklat gelap.
Oke, aku sudah siap.

***

“Kemana saja kamu? Para senior sudah berada di lapangan sejak tadi!”
Aku mengernyit mendengar suara cempreng itu, kemudian mendengus melihat Neil sedang berdiri di depan pintu gerbang di depan asrama.
“Aku hanya berharap aku tidak terlalu terlambat.” Kataku sambil memperlihatkan kartu identitasku padanya.
Dia memeriksa kartu identitasku dan menyerahkannya kembali padaku sembari mencatat sesuatu pada kertas yang dibawanya.
“Hanya beberapa menit. Sebaiknya cepat pergi ke sana, Ketua Senior.” Ujarnya dengan nada menyindir.
Aku tidak memperdulikan nada menyindirnya dan segera berlari secepat mungkin ke lapangan rumput hijau luas di tengah-tengah akademi, tempat penyambutan murid baru dan pembukaan tahun ajaran dibuka.
Dan, yang kumaksud dengan berlari secepat mungkin memang benar-benar berlari sangat cepat. Kecepatan lariku berada di atas rata-rata semua murid akademi. Dan aku punya keuntungan tersendiri dengan kemampuan lariku.
Ketika aku berhasil berhenti berlari, tepat di samping cewek senior tingkat empat, Melissa Vanders, dia mengernyit melihat kedatanganku yang tiba-tiba di dekatnya.
“Kenapa kamu terlambat? Kau ketuanya, seharusnya memberi contoh pada yang lain.” ujarnya.
“Aku terlalu asyik berlatih semalaman.” Kataku sambil merapikan rambutku, “Semua murid baru sudah siap?”
Dia mengedikkan kepalanya pada segerombolan besar murid-murid baru dengan blazer hijau muda, pakaian untuk dua tahun pertama mereka. Wajah-wajah mereka tampak gugup dan bersemangat, khas murid baru. Bahkan beberapa diantara mereka seperti akan pingsan saking gugupnya.
Aku menatap mereka semua. Jumlah mereka cukup banyak. Seribu, kah? Atau dua ribu?
“Tiga ribu.” Sahut suara di sebelahku.
Seorang cowok berambut perak dan memiliki mata kelabu berdiri di sebelahku sambil melipat tangannya di depan dada. Tubuhnya lebih tinggi dariku. Dan kalau kalian ingin tahu, dia adalah orang kedua yang menjabat sebagai bagian dari perhimpunan senior tingkat ketiga dan keempat. Nama cowok ini adalah Michael.
“Jumlah mereka tiga ribu.” Katanya sambil tersenyum padaku. “Lebih tepatnya, tiga ribu lima ratus lima puluh orang.”
“Lumayan banyak juga…” aku bergumam, “Kau bawa apa yang kusuruh untuk kau bawa hari ini?”
Michael melambaikan sebuah kertas di tangannya dan menyerahkannya padaku. Perlakuannya padaku cukup ramah, mengingat nyaris semua murid yang seangkatan denganku atau yang lebih tinggi membenciku karena aku mengingatkan mereka pada Shadow (ingat soal fisikku yang terlalu sempurna? Yah, walau bukan berarti kami para Hunter tidak cantik atau tampan…). Hanya beberapa orang yang bersikap ramah, salah satunya adalah Michael.
“Terima kasih.” Aku menyambut kertas itu dan memasukkannya ke dalam saku blazerku. Aku menatap jam tangan di pergelangan tangan kiriku dan mendongak.
“Sudah waktunya mereka bersiap-siap,” kataku, “Semua senior, laksanakan tugas kalian!!”

***

Hari pertama kulalui dengan cukup… baik. Aku membimbing murid-murid baru—yang jumlahnya tiga ribu lima ratus lima puluh orang—untuk membentuk barisan panjang dan kelihatan tidak ada akhirnya di lapangan rumput hijau ini. Walau ada sedikit masalah, tapi semuanya teratasi dengan baik.
Sekarang, setelah mengantarkan para murid baru ke aula makan, aku langsung pergi ke taman di dekat sana. Aku punya janji dengan Michael untuk menemuinya di taman sebelum jam makan siang.
Taman di dekat aula adalah salah satu taman yang sering dikunjungi murid-murid akademi. Di akademi ini ada lima taman, yang semuanya dibangun di lima titik yang kalau dihubungkan, menjadi lambang bintang. Masing-masing taman itu mempunyai cirri khas tersendiri. Seperti taman di dekat aula. Taman itu dibuat dengan unsure… yang berhubungan dengan air. Sesuai dengan legenda yang ada di akademi sejak lama.
Aku akan menceritakannya nanti. Sekarang, di mana cowok sok cool itu?
“Di sini,”
Aku menoleh dan melihat Michael duduk di salah satu gazebo yang berada di atas danau buatan. Dia melambai kearahku dan aku bergegas kearahnya.
“Hei, Beib.” Katanya sambil mencium pipiku, “Aku kangen padamu.”
Aku meringis mendengar nada suaranya, “Sudah kukatakan padamu, jangan pernah memanggilku beib, sayang, atau panggilan yang bernada menggombal. Kau tahu aku tidak suka itu, terutama aku tidak suka padamu.”
Dia terkekeh dan menawarkan tempat duduk di sebelahnya. Aku hanya mendelik padanya sebelum mengambil tempat yang cukup jauh darinya.
“Jadi… apa yang akan kita bicarakan?” tanyanya.
“Ini.” aku mengeluarkan kertas yang diberikannya padaku tadi pagi, “Kau yakin informasi dalam kertas ini benar?”
“Memang benar, kok.” Ujarnya, “Kamu tidak percaya?”
“Sulit percaya pada penggoda sepertimu.” Dengusku, yang dibalasnya dengan kekehan rendah.
“Serius, Mike. Aku tidak suka main-main dan mengulur waktu seperti ini. Usiaku sudah 18 tahun, dan kurasa aku sudah cukup dewasa untuk tahu apa yang sebenarnya terjadi di akademi ini.” kataku lagi. “Apalagi kalau itu menyangkut… diriku.”
“Aku tidak bilang kalau aku tidak serius.” Balasnya, “Apa yang tertulis dalam kertas itu benar. Aku mendapatkannya dari informan terpercaya.”
“Siapa?”
“Kamu akan bertemu dengannya, nanti.” Katanya sambil tersenyum.
Aku memutar bola mataku dan menatap kertas itu lagi. Menatap sebaris kalimat yang membuatku kepikiran selama 4 jam terakhir ini.
Serahkan gadis bermata biru itu, atau kalian akan merasakan kemarahan kami.
“Kamu memiliki mata biru, meski kamu menutupinya dengan menggelapkan warna matamu.” Kata Michael. “Hanya ada beberapa orang yang tahu tentang warna asli matamu, termasuk kepala akademi. Benar, kan?”
Aku hanya diam mendengarnya. Memang, selain Michael yang mengetahui warna asli mataku(dia mengetahuinya secara tidak sengaja), hanya kepala Hunters Acaedemy saja yang tahu warna asli mataku.
“Kamu yakin dulu kamu tidak punya musuh? Maksudku, saat kamu di panti asuhan,” kata Michael.
“Tidak. kamu tahu sendiri kalau aku tidak pernah menampakkan diri di depan orang lain kecuali memang sangat diperlukan. Seperti sekarang.” kataku.
“Oh, oke.” katanya, kemudian menatap danau.
Aku sendiri masih menatap kertas di tanganku, dan kemudian menghela nafas.
“Kurasa aku akan berbicara dengan kepala akademi.” Kataku, “Masalah ini lebih serius daripada yang kuduga. Beberapa hari lalu terjadi penyusupan, kan?”
“Ya. Dan yang menjadi targetnya adalah kamu.” ujar Michael, “Sebenarnya kamu berarti apa bagi orang yang mengirim surat itu, sih?”
Aku menatapnya, “Aku juga tidak tahu.” kataku, “Tapi… mungkin ada hubungannya dengan masa laluku. Kedua orangtua kandungku.”

0 komentar:

Posting Komentar