Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

RE - Chapter 13



Rei’s Side
Aku membuka mataku ketika seberkas cahaya mengenai mataku. Aku mengerjap-ngerjap dan menguap. Rasa kantuk masih menghantuiku, tapi aku tidak boleh tidur lagi sekarang. Leon dan Alex akan datang kemari untuk meminta penjelasan tentang sikapku kemarin. Aku tidak tahu apakah mereka juga akan mengajak Leia. Tapi kali ini, aku tidak akan membiarkan siapapun merebut Runa dariku.

Ngomong-ngomong soal Runa… rasanya kemarin malam kami ketiduran di sofa, dengan aku masih memeluknya. Tapi sekarang dia tidak ada.
Aku langsung terduduk tegak dan benar-benar baru sadar kalau Runa tidak ada.
“Runa?” aku berdiri dan berjalan ke kamarnya.
Dia juga tidak ada di sana. Lalu, dia ada di mana?
“Runa? Kamu di mana?”
Aku berjalan menuju dapur dan melihat Runa ada di sana. Dia menoleh dan tersenyum ketika melihatku.
“Selamat pagi, Rei.” dia mematikan kompor dan berjalan kearahku, “Tidurmu nyenyak? Maaf, aku tadi bangun duluan, dan aku ingin memasakkan sarapan untukmu. Jadi…”
“Kukira kamu menghilang entah ke mana.” kataku sambil menghembuskan nafas, “Lain kali, tolong bangunkan aku juga kalau kamu terbangun.”
Dia mengerjap dan tertawa kecil, “Baiklah… aku janji.” Katanya.
Aku mengangguk dan melihat kearah meja makan.
“Kamu masak apa tadi?”
“Hanya membuat sandwich isi kalkun dan ayam.” Jawabnya, “Aku cepat belajar setelah melihatmu memasak setiap hari. Kemampuan otakku tidak boleh dianggap remeh walau aku masih mengalami amnesia.”
“Iya, iya…” aku tertawa, “Kalau begitu aku mandi dulu. Apa kamu sudah mandi?”
“Kalau aku bangun lebih dulu darimu, tentu saja aku sudah mandi, kan?” dia membalas sambil tertawa, “Cepat mandi, deh. Setelah itu kita sarapan bersama.”

***

Setelah aku mandi, aku langsung pergi ke dapur dan sarapan bersama Runa. Harus kuakui, kehidupan seperti ini sudah terbiasa kujalani selama tiga minggu terakhir ini. Bahkan setelah aku tahu kalau Runa di hadapanku ini adalah Runa yang selama ini kucari, rasanya aku tidak ingin semua ini berakhir.
Tapi…
“Runa,”
“Ya?”
“Hari ini… Leon dan Alex akan datang.” kataku, “Dan kami… akan membicarakan pekerjaan. Apa kamu tidak keberatan?”
“Mereka sering datang ke sini untuk membicarakan hal pekerjaan juga, kan? Kenapa Rei harus minta izin seperti itu?” tanyanya balik.
“Karena… karena mereka mulai curiga kalau kamu adalah Claydoll.”
Aku mendongak dan melihat ekspresi wajahnya sedikit berubah.
“Mereka… curiga padaku?”
“Kemarin malam Clematis mengirimkan Claydoll mereka untuk menyerang kota di perbatasan distrik. Salah seorang dari Claydoll itu membawa fotomu. Sepertinya para Claydoll itu mencarimu untuk dibawa lagi ke Clematis.”
“Seperti apa ciri-ciri Claydoll itu? Yang membawa fotoku?”
“Seorang gadis dengan rambut kemerahan.” Kataku, “Kamu mengenalnya?”
Runa menggeleng, “Aku tidak tahu ada Claydoll lain selain aku.” ujarnya. “Rasanya aneh mendengar ada Claydoll lain selain diriku.”
“Tapi…” dia mengerutkan kening, “Aku pernah mendengar dari Profesor Diva kalau dia sedang membuat eksperimen baru yang berhubungan dengan tubuhku. Aku tidak tahu apa maksudnya karena saat itu masih dalam pengaruh obat.”
“Profesor Diva?”
“Dia wanita yang membuatku menjadi Claydoll. Professor Diva adalah satu-satunya wanita di sana. Karena itu dia sering mendapatkan perlakuan khusus dari orang-orang di sana.” jawab Runa, “Selain itu… dia juga bilang kalau aku juga istimewa. Katanya di dalam tubuhku ada sebuah rahasia yang akan dibongkarnya ketika saatnya tiba.”
Aku manggut-manggut mendengar ceritanya.
“Lalu… apa alasan Leon dan Alex datang kemari karena ingin menanyaiku soal itu?”
“Ya. Selain itu mereka sepertinya juga curiga dengan sikapku kemarin.” kataku sambil menghela nafas. “Aku sempat emosi dan… melakukan hal yang tidak seharusnya kulakukan.”
Kulihat Runa menatapku bingung, tapi kemudian dia tersenyum dan menggenggam tanganku dari seberang meja.
“Rei, jangan pasang wajah seperti itu.” katanya, “Aku tidak apa-apa, kok kalau mereka ingin menanyaiku apakah aku Claydoll atau bukan. Walau kadang aku takut dan was-was kalau Profesor Diva dan Clematis mencariku… tapi aku tidak apa-apa jika ditanyai.”
“Tapi mereka mungkin saja akan membawamu ke Raven dan memintamu dieksekusi.” Kataku. “Aku tidak mau hal itu terjadi.”
“Kalaupun mereka ingin mengeksekusiku… kurasa itu tidak masalah. Lagipula dosaku sangat besar. Aku membunuh orang, aku menghancurkan satu kota hanya demi perintah Profesor Diva… dan aku mungkin tidak berharga jika dibandingkan dengan kesedihan dan kemarahan yang dirasakan oleh orang-orang yang kerabat atau orang terdekatnya kubunuh.”
Runa memasang senyum sedih dan hatiku langsung berdenyut sakit melihatnya.
“Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi. Aku sudah berjanji akan melindungimu, dan aku akan melakukannya bahkan walau itu artinya aku harus menjadi pemberontak dalam Raven.”
Runa membuka mulutnya ingin mengatakan sesuatu, tapi aku menggeleng, mengisyaratkannya agar tidak bicara lagi.
“Kita akan bicarakan itu nanti. Kalaupun Leon dan Alex ingin membawamu ke Raven dan membunuhmu, aku akan menghentikannya. Bahkan jika taruhannya nyawaku sendiri.”

***
Runa’s Side
Rei menyuruhku menunggu di kamar setelah kami selesai sarapan. Dia sendiri masih berada di dapur, mencuci piring dan baju, yang sebenarnya ingin kulakukan sendiri.
Aku duduk termenung di tepi kasur dan menatap pemandangan Distrik Tiga di hadapanku yang hanya terhalang oleh kaca besar jendela.
Selama di sini, aku memang nyaris lupa kalau aku adalah seorang Claydoll. Selama di sini, aku tidak ingat lagi dulunya aku adalah pembunuh. Dan aku tidak ingin menjadi pembunuh lagi.
Aku menatap ke lemari tempat sabuk senjata dan pedangku kusimpan. Aku berjalan kearah lemari itu dan membukanya. Kuambil pedangku dan menimangnya pelan-pelan. Samar-samar aku bisa merasakan pedang ini seakan memanggilku untuk menggunakannya, dan… membunuh.
Ingatan akan semua jeritan kesakitan dan teriakan minta tolong orang-orang yang sudah kubunuh selama ini menyeruak dan aku meletakkan kembali pedang itu ke tempatnya.
“Kau itu boneka kesayanganku, Fuyuki… jangan pernah coba-coba untuk kabur, dan jika kau melakukannya, maka hidupmu akan berakhir di tanganku sendiri…”
Kata-kata Profesor Diva menyeruak dalam ingatanku dan membuatku menggigil ketakutan.
Yang perlu kau lakukan Cuma satu, Fuyuki. Turuti perintahku dan bunuh semua orang yang menggangguku. Hanya itu, dan aku tidak akan membiarkanmu terluka…
“Hentikan!!”
Aku menutup kedua mata dan telingaku. Ketakutan menjalari seluruh tubuhku. Airmata mulai membasahi sudut mataku.
“Turuti perintahku, Fuyuki. Dan aku akan membuatmu tidak merasakan apa pun selain kesenangan yang kau dapatkan saat satu nyawa melayang karena tanganmu…”
“Hentikan… aku tidak mau…”
“Runa?”
Aku mendongak dan melihat pintu kamarku terbuka. Rei berdiri di depan pintu kamar dan berjalan menghampiriku.
“Kamu kenapa? Kenapa kamu menangis?”
“Rei… jangan sampai…” aku memegang tangannya, “… jangan sampai Profesor Diva menangkapku. Aku takut, Rei…”
“Kamu teringat masa lalumu sebagai Claydoll?” tanyanya.
Aku mengangguk menjawab pertanyaannya.
Rei menarikku ke dalam pelukannya dan aku meringkuk di sana. Masih ketakutan karena wajah Profesor Diva masih melekat dalam otakku. Wajahnya yang selalu tersenyum namun matanya menatap rendah pada diriku, aku masih mengingatnya bahkan dengan sangat jelas.
Aku menutup mataku erat-erat, mencoba mengenyahkan wajah Profesor Diva yang melekat dalam otakku.
“Runa, tidak perlu takut. Aku ada di sini.” katanya.
Un…” aku mengangguk, “Jangan… jangan tinggalkan aku.”
“Aku tidak akan pernah melakukannya.” Katanya lagi, “Ngomong-ngomong, Leon dan Alex, juga Leia sudah datang.”
Aku mendongak, “Apa… apa mereka mendengar teriakanku tadi?” tanyaku.
“Kurasa tidak. Mereka kusuruh menunggu di bar mini di dekat balkon.” Ujarnya, “Ayo. Tidak apa-apa…”
Rei membantuku berdiri dan mengajakku ke bar mini yang ada di dekat balkon apartemen. Aku terus menggenggam bajunya dan menundukkan wajahku.
“Runa-chan? Kamu kenapa?”
Aku mendongak dan melihat Leia menghampiri kami.
“Dia kenapa, Rei? Kamu apakan dia?” Leia menatpa Rei dengan tatapan menyelidik.
“Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Dia teringat masa lalunya sebagai Claydoll.” Jawab Rei, “Kamu pasti sudah tahu dari Leon kalau mereka curiga pada Runa bahwa dia adalah Claydoll, kan?”
“Ya,” Leia menatapku, “Tapi aku tidak merasa dia adalah Claydoll. Dia terlalu manis untuk menjadi mesin pembunuh organisasi itu.”
Aku sedikit tersentak mendengar ucapan itu dan beringsut semakin dekat pada Rei.
“Runa, tidak apa-apa. Leia hanya bercanda.” Kata Rei, “Hei, kamu membuatya ketakutan, nih.”
“Runa-chan, jangan takut… aku tidak akan menyakitimu, kok.” Kata Leia, “Aku masih tidak tahu apa kamu memang Claydoll atau bukan. Jadi… tolong jangan takut, ya?”
Aku hanya mengangguk pelan menjawabnya.
Kami lalu menuju bar mini. Di sana aku melihat Leon dan Alex sedang mengobrol, dan begitu kami datang, mereka langsung menatapku terang-terangan.
Aku duduk di samping Rei, masih menundukkan wajahku karena takut dengan tatapan mereka.
“Runa, tidak perlu takut. Kami tidak akan melakukan apa-apa padamu, kok.” Suara Alex terdengar di telingaku, “Kami hanya ingin tahu apakah kamu benar dulunya adalah Claydoll atau bukan, karena sikap Rei kemarin malam saat melihat fotomu dibawa oleh seorang Claydoll yang menyerang kota di perbatasan distrik, sangat aneh.”
Aku mendongakkan kepalaku perlahan dan menatap wajah mereka satu-persatu.
“Dan kalaupun benar kamu dulunya seorang Claydoll, kami janji kami tidak akan mengatakannya pada siapapun.” Tambah Leon, “Kami tahu kamu bukan lagi boneka mereka, tapi kami hanya meminta kepastian.”
“Jadi…?”
Aku menatap Rei kali ini, dan dia menggenggam tanganku.
“Aku… aku memang Claydoll,” kataku, “Tapi, aku tidak ingin menjadi Claydoll lagi. Selama di sana, aku selalu diikat, diperlakukan dengan kasar, dan diperintahkan untuk membunuh. Aku bahkan selalu… selalu…”
“Selalu?” tanya Leon.
Aku menggelengkan kepala kuat-kuat. “T, tidak bisa mengatakannya…” kataku, “Aku tidak bisa mengatakannya.”
“Runa punya beberapa pengalaman yang traumatic. Dan ketika dia mengingat itu semua, dia akan ketakutan.” kata Rei, “Karena itu, sudah cukup, kan? Sekarang apa yang akan kalian lakukan padanya? Kalau kalian ingin membawanya dan membunuhnya, aku akan—”
“Tunggu dulu, Rei. Biarkan kami berpikir sebentar.” Leia mengangkat tangannya, “Runa-chan, aku ingin menanyakan sesuatu. Jika kamu benar-benar Claydoll, kamu pasti punya tato lambang organisasi Clematis, kan?”
“Eh?”
“Setiap Claydoll yang kami periksa, termasuk Claydoll kemarin malam memiliki tato bunga Clematis di salah satu bagian tubuh mereka. Kalau kamu juga Claydoll, tentu kamu punya tato itu, kan?”
Aku mencoba mengingat-ingat apakah aku punya tato seperti itu atau tidak di salah satu bagian tubuhku.
“Aku tidak pernah punya tato seperti itu.” kataku, “Tapi aku pernah menemukan tanda berbentuk seperti bunga di tubuhku.”
Aku menyibak rambut yang menutupi tengkukku dan memperlihatkannya pada mereka.
“Tanda itu ada di sini.” ujarku, “Aku tidak tahu apakah ini adalah tato atau sesuatu yang lain…”
“Itu… tanda lahir.” kudengar suara Leon, “Tapi…”
“Apa, Leon?” tanya Leia.
“Aku pernah melihat tanda lahir seperti itu di tubuh seseorang.” Kata Leon, “Katanya, setiap orang yang memiliki tanda lahir seperti itu adalah Ragnarok berikutnya, pemimpin Clematis berikutnya. Orang yang memiliki tanda lahir seperti itu dulunya pernah ditunjuk menjadi Ragnarok, tapi ia meninggalkannya dan pergi dari Clematis.”
“Jadi… tanda lahir milik Runa-chan itu…”
“Entah ini kebetulan atau tidak, tapi sepertinya situasimu lebih buruk sekarang, Rei.” Leon menatap Rei, “Kamu sedang menyembunyikan pewaris Clematis jauh dari organisasi itu sendiri.”

***
Rei’s Side
Aku nyaris tidak mempercayai apa yang baru saja kudengar. Runa adalah pewaris Ragnarok, pemimpin organisasi Clematis. Aku dan Runa saling berpandangan bingung ketika mendengarnya.
“T, tapi, masa hanya karena dia punya tanda lahir seperti itu?” tanya Alex, seolah menyuarakan pertanyaan yang ingin kutanyakan. “Tahu darimana kamu kalau dia adalah pewaris Ragnarok?”
“Karena aku pernah bertemu dengan orang yang memiliki tanda lahir seperti itu.” ujar Leon, “Kau ingat pria yang kita tangkap setahun lalu? Dia ternyata adalah pelayan Ragnarok yang membelot dari organisasinya sendiri dan membawa kabur seorang bayi yang seharusnya menjadi pewaris kepemimpinan organisasi itu.”
“Apa… apa yang kamu maksud aku adalah bayi itu?” tanya Runa.
“Kemungkinan besar demikian.” Jawab Leon, “Tapi karena kamu dijadikan Claydoll, kemungkinan orang yang mengubahmu menjadi Claydoll tahu identitas aslimu dan berusaha memanfaatkanmu.”
“Karena itukah aku disebut istimewa?” Runa tampak merenung, “Semua orang di sana menyebutku istimewa. Aku tidak tahu kenapa mereka menyebutku demikian, tapi kalau aku benar seorang yang harusnya mewarisi gelar Ragnarok…”
Runa terdiam dan dia menggenggam tanganku lebih erat tanpa dia sadari.
“Berarti… berarti aku…”
“Kita belum tahu pasti,” kataku, “Belum tentu kamu Ragnarok berikutnya. Pasti tanda lahirmu hanya kebetulan mirip seperti bentuk bunga.”
“Tapi, Rei—”
“Memang kita belum tahu pasti. Tapi bagaimana kalau besok kita menemui orang yang kumaksud?” kata Leon, “Orang itu masih ada di pusat perlindungan di markas. Aku yakin kita bisa menanyainya sedikit tentang bayi yang dibawa bersamanya waktu itu.”
Aku melirik kearah Runa yang menatapku, “Aku ingin tahu…” katanya.
“Kurasa aku setuju.” Kataku, “Lalu, apa lagi yang ingin kalian bicarakan selain topic ini?”

***
Rei’s Side
Setelah kami mengobrol—sebenarnya tidak tepat disebut mengobrol, karena mereka menanyai Runa dengan beberapa pertanyaan yang harus kutangani karena Runa tidak bisa mengingat semua masa lalunya sepenuhnya.
Ketika mereka semua pergi (dengan Leia yang berjanji besok setelah kami pergi ke markas, akan mengajak Runa pergi ke café favoritnya) sudah jam satu siang. Aku menutup pintu apartemen dan kembali ke ruang tengah di mana Runa sedang duduk di sana.
Aku duduk di sampingnya dan melihatnya menunduk.
“Ada apa?” tanyaku.
“Tidak… aku hanya memikirkan sesuatu,” katanya, “Kalau aku benar seorang pewaris organisasi Clematis, Ragnarok, itu artinya… aku musuhmu, kan?”
“Kita sudah membahasnya tadi. Aku tidak peduli kalau kamu musuh atau bukan. Yang jelas, perasaanku tidak berubah padamu.”
“Tapi, Rei, aku…”
“Tidak perlu dibahas lagi. Sekarang aku tanyakan sesuatu padamu.” Kataku, “Apa kamu memiliki perasaan yang sama denganku?”
“Perasaan yang… sama?”
“Aku mencintaimu. Apa aku harus mengatakannya berkali-kali untukmu?”
Dia mengerjap dan pipinya dihiasi warna merah muda yang membuatnya kembali menunduk, bahkan lebih dalam. Aku menyentuh dagunya dan mendongakkan wajahnya.
“Perasaanku tidak pernah berubah, Runa. Aku mencarimu sejak lama karena aku yakin kamu masih hidup di suatu tempat, dan ketika aku berhasil menemukanmu, aku akan mengungkapkan semua perasaanku padamu dan tidak ada rahasia yang kusembunyikan darimu.”
“Rei…”
“Dan aku ingin kamu melakukan hal yang sama. Tidak perlu memaksakan diri, tapi aku ingin kamu berterus terang padaku. Seperti apa perasaanmu padaku?”
Dia melirik kearah lain, mungkin malu, dan sedikit gelisah.
“Aku…” dia menatapku malu-malu, “… juga suka…”
“Aku tidak mendengarmu.” Ujarku.
“Aku juga… aku juga mencintaimu, Rei.” katanya agak keras.
“Aku masih belum mendengarmu.”
“Rei!!”
Aku tertawa dan mencium keningnya, “Aku dengar, kok.” Kataku, “Aku juga mencintaimu, Runa.”
Aku menariknya ke dalam pelukanku dan mencium puncak kepalanya. Wajahnya bersandar pada dadaku dan aku membiarkannya balas memelukku.
“Kalau begitu, pembicaraan tadi sudah berakhir. Sekarang…”
“Sekarang?”
“Aku ingin mengajakmu ke suatu tempat.” Kataku, “Jadi sekarang kamu harus berganti pakaian. Ayo!”

0 komentar:

Posting Komentar