Rei’s Side
Aku membuka mataku ketika seberkas cahaya
mengenai mataku. Aku mengerjap-ngerjap dan menguap. Rasa kantuk masih
menghantuiku, tapi aku tidak boleh tidur lagi sekarang. Leon dan Alex akan
datang kemari untuk meminta penjelasan tentang sikapku kemarin. Aku tidak tahu
apakah mereka juga akan mengajak Leia. Tapi kali ini, aku tidak akan membiarkan
siapapun merebut Runa dariku.
Ngomong-ngomong soal Runa… rasanya
kemarin malam kami ketiduran di sofa, dengan aku masih memeluknya. Tapi
sekarang dia tidak ada.
Aku langsung terduduk tegak dan
benar-benar baru sadar kalau Runa tidak ada.
“Runa?” aku berdiri dan berjalan ke
kamarnya.
Dia juga tidak ada di sana. Lalu,
dia ada di mana?
“Runa? Kamu di mana?”
Aku berjalan menuju dapur dan
melihat Runa ada di sana. Dia menoleh dan tersenyum ketika melihatku.
“Selamat pagi, Rei.” dia mematikan
kompor dan berjalan kearahku, “Tidurmu nyenyak? Maaf, aku tadi bangun duluan,
dan aku ingin memasakkan sarapan untukmu. Jadi…”
“Kukira kamu menghilang entah ke
mana.” kataku sambil menghembuskan nafas, “Lain kali, tolong bangunkan aku juga
kalau kamu terbangun.”
Dia mengerjap dan tertawa kecil,
“Baiklah… aku janji.” Katanya.
Aku mengangguk dan melihat kearah
meja makan.
“Kamu masak apa tadi?”
“Hanya membuat sandwich isi kalkun dan ayam.” Jawabnya, “Aku cepat belajar setelah
melihatmu memasak setiap hari. Kemampuan otakku tidak boleh dianggap remeh
walau aku masih mengalami amnesia.”
“Iya, iya…” aku tertawa, “Kalau
begitu aku mandi dulu. Apa kamu sudah mandi?”
“Kalau aku bangun lebih dulu
darimu, tentu saja aku sudah mandi, kan?” dia membalas sambil tertawa, “Cepat
mandi, deh. Setelah itu kita sarapan bersama.”
***
Setelah aku mandi, aku langsung pergi ke dapur
dan sarapan bersama Runa. Harus kuakui, kehidupan seperti ini sudah terbiasa
kujalani selama tiga minggu terakhir ini. Bahkan setelah aku tahu kalau Runa di
hadapanku ini adalah Runa yang selama ini kucari, rasanya aku tidak ingin semua
ini berakhir.
Tapi…
“Runa,”
“Ya?”
“Hari ini… Leon dan Alex akan
datang.” kataku, “Dan kami… akan membicarakan pekerjaan. Apa kamu tidak
keberatan?”
“Mereka sering datang ke sini untuk
membicarakan hal pekerjaan juga, kan? Kenapa Rei harus minta izin seperti itu?”
tanyanya balik.
“Karena… karena mereka mulai curiga
kalau kamu adalah Claydoll.”
Aku mendongak dan melihat ekspresi wajahnya
sedikit berubah.
“Mereka… curiga padaku?”
“Kemarin malam Clematis mengirimkan
Claydoll mereka untuk menyerang kota
di perbatasan distrik. Salah seorang dari Claydoll
itu membawa fotomu. Sepertinya para Claydoll
itu mencarimu untuk dibawa lagi ke Clematis.”
“Seperti apa ciri-ciri Claydoll itu? Yang membawa fotoku?”
“Seorang gadis dengan rambut kemerahan.”
Kataku, “Kamu mengenalnya?”
Runa menggeleng, “Aku tidak tahu
ada Claydoll lain selain aku.”
ujarnya. “Rasanya aneh mendengar ada Claydoll
lain selain diriku.”
“Tapi…” dia mengerutkan kening,
“Aku pernah mendengar dari Profesor Diva kalau dia sedang membuat eksperimen
baru yang berhubungan dengan tubuhku. Aku tidak tahu apa maksudnya karena saat
itu masih dalam pengaruh obat.”
“Profesor Diva?”
“Dia wanita yang membuatku menjadi Claydoll. Professor Diva adalah
satu-satunya wanita di sana. Karena itu dia sering mendapatkan perlakuan khusus
dari orang-orang di sana.” jawab Runa, “Selain itu… dia juga bilang kalau aku juga
istimewa. Katanya di dalam tubuhku ada sebuah rahasia yang akan dibongkarnya
ketika saatnya tiba.”
Aku manggut-manggut mendengar
ceritanya.
“Lalu… apa alasan Leon dan Alex
datang kemari karena ingin menanyaiku soal itu?”
“Ya. Selain itu mereka sepertinya
juga curiga dengan sikapku kemarin.” kataku sambil menghela nafas. “Aku sempat
emosi dan… melakukan hal yang tidak seharusnya kulakukan.”
Kulihat Runa menatapku bingung,
tapi kemudian dia tersenyum dan menggenggam tanganku dari seberang meja.
“Rei, jangan pasang wajah seperti
itu.” katanya, “Aku tidak apa-apa, kok kalau mereka ingin menanyaiku apakah aku
Claydoll atau bukan. Walau kadang aku
takut dan was-was kalau Profesor Diva dan Clematis mencariku… tapi aku tidak
apa-apa jika ditanyai.”
“Tapi mereka mungkin saja akan
membawamu ke Raven dan memintamu dieksekusi.” Kataku. “Aku tidak mau hal itu
terjadi.”
“Kalaupun mereka ingin
mengeksekusiku… kurasa itu tidak masalah. Lagipula dosaku sangat besar. Aku
membunuh orang, aku menghancurkan satu kota hanya demi perintah Profesor Diva…
dan aku mungkin tidak berharga jika dibandingkan dengan kesedihan dan kemarahan
yang dirasakan oleh orang-orang yang kerabat atau orang terdekatnya kubunuh.”
Runa memasang senyum sedih dan
hatiku langsung berdenyut sakit melihatnya.
“Aku tidak akan membiarkan hal itu
terjadi. Aku sudah berjanji akan melindungimu, dan aku akan melakukannya bahkan
walau itu artinya aku harus menjadi pemberontak dalam Raven.”
Runa membuka mulutnya ingin
mengatakan sesuatu, tapi aku menggeleng, mengisyaratkannya agar tidak bicara
lagi.
“Kita akan bicarakan itu nanti.
Kalaupun Leon dan Alex ingin membawamu ke Raven dan membunuhmu, aku akan
menghentikannya. Bahkan jika taruhannya nyawaku sendiri.”
***
Runa’s Side
Rei menyuruhku menunggu di kamar setelah kami
selesai sarapan. Dia sendiri masih berada di dapur, mencuci piring dan baju,
yang sebenarnya ingin kulakukan sendiri.
Aku duduk termenung di tepi kasur
dan menatap pemandangan Distrik Tiga di hadapanku yang hanya terhalang oleh
kaca besar jendela.
Selama di sini, aku memang nyaris
lupa kalau aku adalah seorang Claydoll.
Selama di sini, aku tidak ingat lagi dulunya aku adalah pembunuh. Dan aku tidak
ingin menjadi pembunuh lagi.
Aku menatap ke lemari tempat sabuk
senjata dan pedangku kusimpan. Aku berjalan kearah lemari itu dan membukanya.
Kuambil pedangku dan menimangnya pelan-pelan. Samar-samar aku bisa merasakan
pedang ini seakan memanggilku untuk menggunakannya, dan… membunuh.
Ingatan akan semua jeritan
kesakitan dan teriakan minta tolong orang-orang yang sudah kubunuh selama ini
menyeruak dan aku meletakkan kembali pedang itu ke tempatnya.
“Kau
itu boneka kesayanganku, Fuyuki… jangan pernah coba-coba untuk kabur, dan jika
kau melakukannya, maka hidupmu akan berakhir di tanganku sendiri…”
Kata-kata Profesor Diva menyeruak
dalam ingatanku dan membuatku menggigil ketakutan.
“Yang perlu kau lakukan Cuma satu, Fuyuki. Turuti perintahku dan bunuh
semua orang yang menggangguku. Hanya itu, dan aku tidak akan membiarkanmu
terluka…”
“Hentikan!!”
Aku menutup kedua mata dan
telingaku. Ketakutan menjalari seluruh tubuhku. Airmata mulai membasahi sudut
mataku.
“Turuti
perintahku, Fuyuki. Dan aku akan membuatmu tidak merasakan apa pun selain
kesenangan yang kau dapatkan saat satu nyawa melayang karena tanganmu…”
“Hentikan… aku tidak mau…”
“Runa?”
Aku mendongak dan melihat pintu
kamarku terbuka. Rei berdiri di depan pintu kamar dan berjalan menghampiriku.
“Kamu kenapa? Kenapa kamu
menangis?”
“Rei… jangan sampai…” aku memegang
tangannya, “… jangan sampai Profesor Diva menangkapku. Aku takut, Rei…”
“Kamu teringat masa lalumu sebagai Claydoll?” tanyanya.
Aku mengangguk menjawab
pertanyaannya.
Rei menarikku ke dalam pelukannya
dan aku meringkuk di sana. Masih ketakutan karena wajah Profesor Diva masih
melekat dalam otakku. Wajahnya yang selalu tersenyum namun matanya menatap
rendah pada diriku, aku masih mengingatnya bahkan dengan sangat jelas.
Aku menutup mataku erat-erat,
mencoba mengenyahkan wajah Profesor Diva yang melekat dalam otakku.
“Runa, tidak perlu takut. Aku ada
di sini.” katanya.
“Un…” aku mengangguk, “Jangan… jangan tinggalkan aku.”
“Aku tidak akan pernah
melakukannya.” Katanya lagi, “Ngomong-ngomong, Leon dan Alex, juga Leia sudah
datang.”
Aku mendongak, “Apa… apa mereka
mendengar teriakanku tadi?” tanyaku.
“Kurasa tidak. Mereka kusuruh
menunggu di bar mini di dekat balkon.” Ujarnya, “Ayo. Tidak apa-apa…”
Rei membantuku berdiri dan
mengajakku ke bar mini yang ada di dekat balkon apartemen. Aku terus
menggenggam bajunya dan menundukkan wajahku.
“Runa-chan? Kamu kenapa?”
Aku mendongak dan melihat Leia
menghampiri kami.
“Dia kenapa, Rei? Kamu apakan dia?”
Leia menatpa Rei dengan tatapan menyelidik.
“Jangan berpikiran yang
tidak-tidak. Dia teringat masa lalunya sebagai Claydoll.” Jawab Rei, “Kamu pasti sudah tahu dari Leon kalau mereka
curiga pada Runa bahwa dia adalah Claydoll,
kan?”
“Ya,” Leia menatapku, “Tapi aku
tidak merasa dia adalah Claydoll. Dia
terlalu manis untuk menjadi mesin pembunuh organisasi itu.”
Aku sedikit tersentak mendengar
ucapan itu dan beringsut semakin dekat pada Rei.
“Runa, tidak apa-apa. Leia hanya
bercanda.” Kata Rei, “Hei, kamu membuatya ketakutan, nih.”
“Runa-chan, jangan takut… aku tidak akan menyakitimu, kok.” Kata Leia,
“Aku masih tidak tahu apa kamu memang Claydoll
atau bukan. Jadi… tolong jangan takut, ya?”
Aku hanya mengangguk pelan
menjawabnya.
Kami lalu menuju bar mini. Di sana
aku melihat Leon dan Alex sedang mengobrol, dan begitu kami datang, mereka
langsung menatapku terang-terangan.
Aku duduk di samping Rei, masih
menundukkan wajahku karena takut dengan tatapan mereka.
“Runa, tidak perlu takut. Kami
tidak akan melakukan apa-apa padamu, kok.” Suara Alex terdengar di telingaku,
“Kami hanya ingin tahu apakah kamu benar dulunya adalah Claydoll atau bukan, karena sikap Rei kemarin malam saat melihat
fotomu dibawa oleh seorang Claydoll
yang menyerang kota di perbatasan distrik, sangat aneh.”
Aku mendongakkan kepalaku perlahan
dan menatap wajah mereka satu-persatu.
“Dan kalaupun benar kamu dulunya
seorang Claydoll, kami janji kami
tidak akan mengatakannya pada siapapun.” Tambah Leon, “Kami tahu kamu bukan
lagi boneka mereka, tapi kami hanya meminta kepastian.”
“Jadi…?”
Aku menatap Rei kali ini, dan dia
menggenggam tanganku.
“Aku… aku memang Claydoll,” kataku, “Tapi, aku tidak
ingin menjadi Claydoll lagi. Selama
di sana, aku selalu diikat, diperlakukan dengan kasar, dan diperintahkan untuk
membunuh. Aku bahkan selalu… selalu…”
“Selalu?” tanya Leon.
Aku menggelengkan kepala kuat-kuat.
“T, tidak bisa mengatakannya…” kataku, “Aku tidak bisa mengatakannya.”
“Runa punya beberapa pengalaman
yang traumatic. Dan ketika dia mengingat itu semua, dia akan ketakutan.” kata
Rei, “Karena itu, sudah cukup, kan? Sekarang apa yang akan kalian lakukan
padanya? Kalau kalian ingin membawanya dan membunuhnya, aku akan—”
“Tunggu dulu, Rei. Biarkan kami
berpikir sebentar.” Leia mengangkat tangannya, “Runa-chan, aku ingin menanyakan sesuatu. Jika kamu benar-benar Claydoll, kamu pasti punya tato lambang
organisasi Clematis, kan?”
“Eh?”
“Setiap Claydoll yang kami periksa, termasuk Claydoll kemarin malam memiliki tato bunga Clematis di salah satu
bagian tubuh mereka. Kalau kamu juga Claydoll,
tentu kamu punya tato itu, kan?”
Aku mencoba mengingat-ingat apakah
aku punya tato seperti itu atau tidak di salah satu bagian tubuhku.
“Aku tidak pernah punya tato
seperti itu.” kataku, “Tapi aku pernah menemukan tanda berbentuk seperti bunga
di tubuhku.”
Aku menyibak rambut yang menutupi
tengkukku dan memperlihatkannya pada mereka.
“Tanda itu ada di sini.” ujarku,
“Aku tidak tahu apakah ini adalah tato atau sesuatu yang lain…”
“Itu… tanda lahir.” kudengar suara
Leon, “Tapi…”
“Apa, Leon?” tanya Leia.
“Aku pernah melihat tanda lahir
seperti itu di tubuh seseorang.” Kata Leon, “Katanya, setiap orang yang memiliki
tanda lahir seperti itu adalah Ragnarok berikutnya, pemimpin Clematis
berikutnya. Orang yang memiliki tanda lahir seperti itu dulunya pernah ditunjuk
menjadi Ragnarok, tapi ia meninggalkannya dan pergi dari Clematis.”
“Jadi… tanda lahir milik Runa-chan itu…”
“Entah ini kebetulan atau tidak,
tapi sepertinya situasimu lebih buruk sekarang, Rei.” Leon menatap Rei, “Kamu
sedang menyembunyikan pewaris Clematis jauh dari organisasi itu sendiri.”
***
Rei’s Side
Aku nyaris tidak mempercayai apa yang baru saja
kudengar. Runa adalah pewaris Ragnarok, pemimpin organisasi Clematis. Aku dan
Runa saling berpandangan bingung ketika mendengarnya.
“T, tapi, masa hanya karena dia
punya tanda lahir seperti itu?” tanya Alex, seolah menyuarakan pertanyaan yang
ingin kutanyakan. “Tahu darimana kamu kalau dia adalah pewaris Ragnarok?”
“Karena aku pernah bertemu dengan
orang yang memiliki tanda lahir seperti itu.” ujar Leon, “Kau ingat pria yang
kita tangkap setahun lalu? Dia ternyata adalah pelayan Ragnarok yang membelot
dari organisasinya sendiri dan membawa kabur seorang bayi yang seharusnya
menjadi pewaris kepemimpinan organisasi itu.”
“Apa… apa yang kamu maksud aku
adalah bayi itu?” tanya Runa.
“Kemungkinan besar demikian.” Jawab
Leon, “Tapi karena kamu dijadikan Claydoll,
kemungkinan orang yang mengubahmu menjadi Claydoll
tahu identitas aslimu dan berusaha memanfaatkanmu.”
“Karena itukah aku disebut
istimewa?” Runa tampak merenung, “Semua orang di sana menyebutku istimewa. Aku
tidak tahu kenapa mereka menyebutku demikian, tapi kalau aku benar seorang yang
harusnya mewarisi gelar Ragnarok…”
Runa terdiam dan dia menggenggam
tanganku lebih erat tanpa dia sadari.
“Berarti… berarti aku…”
“Kita belum tahu pasti,” kataku,
“Belum tentu kamu Ragnarok berikutnya. Pasti tanda lahirmu hanya kebetulan
mirip seperti bentuk bunga.”
“Tapi, Rei—”
“Memang kita belum tahu pasti. Tapi
bagaimana kalau besok kita menemui orang yang kumaksud?” kata Leon, “Orang itu
masih ada di pusat perlindungan di markas. Aku yakin kita bisa menanyainya
sedikit tentang bayi yang dibawa bersamanya waktu itu.”
Aku melirik kearah Runa yang
menatapku, “Aku ingin tahu…” katanya.
“Kurasa aku setuju.” Kataku, “Lalu,
apa lagi yang ingin kalian bicarakan selain topic ini?”
***
Rei’s Side
Setelah kami mengobrol—sebenarnya tidak tepat
disebut mengobrol, karena mereka menanyai Runa dengan beberapa pertanyaan yang
harus kutangani karena Runa tidak bisa mengingat semua masa lalunya sepenuhnya.
Ketika mereka semua pergi (dengan
Leia yang berjanji besok setelah kami pergi ke markas, akan mengajak Runa pergi
ke café favoritnya) sudah jam satu siang. Aku menutup pintu apartemen dan
kembali ke ruang tengah di mana Runa sedang duduk di sana.
Aku duduk di sampingnya dan
melihatnya menunduk.
“Ada apa?” tanyaku.
“Tidak… aku hanya memikirkan
sesuatu,” katanya, “Kalau aku benar seorang pewaris organisasi Clematis,
Ragnarok, itu artinya… aku musuhmu, kan?”
“Kita sudah membahasnya tadi. Aku
tidak peduli kalau kamu musuh atau bukan. Yang jelas, perasaanku tidak berubah
padamu.”
“Tapi, Rei, aku…”
“Tidak perlu dibahas lagi. Sekarang
aku tanyakan sesuatu padamu.” Kataku, “Apa kamu memiliki perasaan yang sama
denganku?”
“Perasaan yang… sama?”
“Aku mencintaimu. Apa aku harus
mengatakannya berkali-kali untukmu?”
Dia mengerjap dan pipinya dihiasi
warna merah muda yang membuatnya kembali menunduk, bahkan lebih dalam. Aku
menyentuh dagunya dan mendongakkan wajahnya.
“Perasaanku tidak pernah berubah,
Runa. Aku mencarimu sejak lama karena aku yakin kamu masih hidup di suatu
tempat, dan ketika aku berhasil menemukanmu, aku akan mengungkapkan semua
perasaanku padamu dan tidak ada rahasia yang kusembunyikan darimu.”
“Rei…”
“Dan aku ingin kamu melakukan hal
yang sama. Tidak perlu memaksakan diri, tapi aku ingin kamu berterus terang
padaku. Seperti apa perasaanmu padaku?”
Dia melirik kearah lain, mungkin
malu, dan sedikit gelisah.
“Aku…” dia menatapku malu-malu, “…
juga suka…”
“Aku tidak mendengarmu.” Ujarku.
“Aku juga… aku juga mencintaimu,
Rei.” katanya agak keras.
“Aku masih belum mendengarmu.”
“Rei!!”
Aku tertawa dan mencium keningnya,
“Aku dengar, kok.” Kataku, “Aku juga mencintaimu, Runa.”
Aku menariknya ke dalam pelukanku
dan mencium puncak kepalanya. Wajahnya bersandar pada dadaku dan aku
membiarkannya balas memelukku.
“Kalau begitu, pembicaraan tadi
sudah berakhir. Sekarang…”
“Sekarang?”
“Aku ingin mengajakmu ke suatu
tempat.” Kataku, “Jadi sekarang kamu harus berganti pakaian. Ayo!”
0 komentar:
Posting Komentar