Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

RE - Chapter 10



Runa’s Side
Di pusat perbelanjaan, Rei mengajakku, mengajak kami semua, pergi menuju lantai atas salah satu gedung tertinggi di sana. Rei mengajak kami menaiki sebuah lift yang sepertinya diperuntukkan untuk orang-orang yang memiliki akses khusus ke gedung ini.
“Rei, memangnya kita mau ke mana?” tanya Alex, “Bukankah ini gedung pusat perbelanjaan yang lama?”

“Memang. Tapi kita kemari bukan untuk berbelanja.” Kata Rei, lalu menoleh kearah Leia. “Kamu sudah membawa semua yang kuminta, kan?”
“Tentu saja.” Leia menunjukkan keranjang besar yang dibawanya. “Semuanya ada di dalam sini.”
Aku menatap bingung keranjang besar di tangannya, tapi tidak bertanya apa-apa.
Pintu lift terbuka dan kami semua keluar. Ketika itulah mataku menangkap warna hijau di hadapan kami, dan aku terkejut melihat ada sebuah lapangan rumput hijau terbentang di hadapanku. Ada beberapa bangku di lapangan ini, dan pohon-pohon yang rindang.
“Wow,” Leon bersiul di sebelahku, “Tempat ini keren!”
“Dari mana kamu tahu tempat seperti ini, Rei?” tanya Alex.
“Kebetulan aku pernah mendengar kalau atap gedung ini dijadikan sebuah taman.” kata Rei, “Dan aku sudah beberapa kali berkunjung ke sini.”
“Kau selalu bisa menemukan tempat yang bagus di semua distrik. Pasti karena koneksimu, kan?” ujar Leon, “Lalu, sebenarnya apa yang kamu bawa dalam keranjang itu, Leia?”
“Bekal makanan.” Leia tersenyum lebar, “Kemarin malam Rei meneleponku dan menyuruhku untuk membuat bekal makanan yang cukup untuk kita berlima. Dan aku membawa tikar juga, jadi tidak perlu khawatir kita akan duduk di mana.”
Jadi itu sebabnya kemarin malam Rei menelepon ketika Leia baru saja pulang?
“Dingin-dingin begini kita piknik?” Alex mengangkat sebelah alisnya kearah Rei, “Kadang kalau kau berkemauan memang tidak main-main, ya?”
Rei hanya tersenyum lebar dan menggamit tanganku, “Kalau begitu, silakan kalian mencari tempat yang cocok untuk piknik kita sementara aku mau menunjukkan sesuatu pada Runa.”
“Memangnya kita akan ke mana?”
“Rahasia. Ikut saja aku.” katanya.
“Hei, Rei, boleh aku ikut?” tanya Leon.
“Sebaiknya kau bantu Leia dan jangan mengikuti kami.” Balas Rei, “Ayo, Runa, sebelum playboy ini mengikuti kita.”
Rei langsung membawaku menjauh dari mereka bertiga. Aku menatap tanganku yang digenggamnya dan merasakan pipiku memanas.
Dia membawaku ke sisi atap gedung yang berpagarkan teralis setinggi pinggangku. Aku agak menjauh dari tepi atap karena aku takut dengan ketinggian. Memang selama aku menjadi Claydoll aku tidak memiliki perasaan apapun kecuali kesenangan membunuh, dan itupun karena pengaruh obat. Kalau dalam keadaan sadar sepenuhnya seperti ini?
Tentu saja aku takut.
“Rei, aku takut ketinggian.” Kataku memegang tangannya erat-erat.
“Tidak perlu takut. Lagipula yang mau kutunjukkan bukan ketinggian ini, tapi itu.”
Aku menatap kearah yang ditunjuknya dan terpana melihat pemandangan di semua distrik. Gedung-gedung di Distrik Tiga seakan bercampur dengan padang rumput di perbatasan dan walau dibatasi garis tipis yang aku tahu sebagai dinding pembatas semua distrik, semuanya tampak menyatu. Aku bahkan bisa melihat kabut awan yang menyelimuti Distrik Enam yang dikenal sebagai distrik penghasil bahan dan kain terbaik.
“Wah…”
“Keren, kan? Dari sini kita bisa melihat semua distrik tanpa terhalangi apapun. Mungkin sedikit terhalangi karena awan kabut ini, tapi setidaknya kita bisa melihat pemandangan ini tanpa terhalangi apapun.” Ujar Rei, “Ini adalah salah satu tempat favoritku.”
“Ini keren sekali.” Kataku, “Aku belum pernah berada di tempat setinggi ini dan melihat pemandangan seluruh distrik.”
“Jadi, ini pengalaman baru yang menyenangkan atau tidak?”
“Tentu saja ini menyenangkan.” Aku tersenyum lebar, “Kurasa kamu akan menang dari pertandinganmu dengan Leia-san.”
Dia tertawa dan merengkuh bahuku, “Kuharap demikian.” Katanya.
Aku yakin pipiku kembali memanas ketika Rei menyandarkan pipinya di atas kepalaku. Dan rengkuhannya di bahuku…
Tiba-tiba angin berhembus kencang dan membuatku harus menutup mata karena takut ada sesuatu yang masuk ke mataku. Topiku tiba-tiba ikut terbang bersama angin dan aku refleks mencoba menangkapnya. Namun, tanpa sengaja aku tersandung sesuatu dan kehilangan keseimbanganku dan jatuh keatas rumput.
“Kyaa!!”
“Runa!”
Kami berdua terjatuh, dengan tangan Rei menahan kepalaku agar tidak terantuk tanah. Sebelah tangannya memeluk pinggangku.
“Kenapa kamu—”
“Topiku diterbangkan angin…” kataku sambil menatapnya.
Dan saat itulah aku melakukan kesalahan. Aku menatap mata birunya dan lagi-lagi merasa terbius dengan warna matanya yang sewarna langit biru. Mataku nyaris tidak berkedip menatap matanya yang balas menatapku balik.
Jantungku berdebar keras ketika merasakan hembusan nafasnya di pipiku. Astaga… wajah kami bahkan sangat dekat!
Sebelah tangan Rei yang tadi memeluk pinggangku kini menyentuh wajahku dan mengelusnya perlahan. Matanya tidak lepas dari wajahku dan ini membuatku bertambah gugup. Dia mengelus wajahku dengan lembut dan aku tidak kuasa menahan diri untuk menutup mata dan membiarkan sensasi yang ditimbulkan oleh sentuhannya padaku.
“Runa,”
Aku membuka mataku dan melihat Rei mendekatkan wajahnya lebih padaku.
Dan entah siapa yang memulai, bibir kami berdua sudah bertaut. Awalnya aku terkejut dan hendak melepaskan diri, namun tangannya yang menyangga kepalaku menahanku dan dia memiringkan kepalanya, menciumku lebih dalam. Aku hanya bisa pasrah dan membiarkannya.
Lama bibir kami bertaut, dan ketika Rei melepaskan ciumannya, dia tersenyum dan membuat pipiku merah.
“Manis,” katanya sambil mencium singkat bibirku dan menjilat bibirnya sendiri, “Bibirmu rasanya manis.”
Ucapan itu malah makin membuat pipiku memanas. Dan aku yakin wajahku sudah sewarna merah tomat.
Rei tertawa kecil menatap wajahku, “Aku tidak tahu kamu bisa malu juga.” Katanya.
“T, tentu saja aku bisa malu!” balasku, “Dan tadi itu…”
“Ciuman pertamamu? Kalau begitu sama denganku.” katanya lagi, membuatku sedikit terbelalak, “Aku tidak pernah mencium seseorang sebelumnya, setidaknya sampai saat ini. Dan tadi aku tidak tahan untuk menggodamu.”
“Apa kamu mulai tertular sifat Leon?” tanyaku. “Kamu sekarang mirip penggoda wanita.”
“Benarkah?” dia tersenyum lebar, “Tapi kurasa aku hanya bisa menggodamu. Kalau dengan gadis lain… kurasa tidak.”
Jantungku melonjak ketika mendengarnya. Rei mencium pipiku dan kemudian membantuku duduk. Kami duduk saling berhadapan dan aku tidak bisa menahan diri untuk tidak menunduk karena malu.
“Jangan menundukkan wajahmu seperti itu.” Rei mendongakkan wajahku, “Aku suka melihat wajahmu yang memerah.”
“Kenapa?”
“Kenapa apanya?”
“Kenapa… kamu hanya bisa menggodaku sementara tidak pada gadis lain?” tanyaku.
“Hmm… mungkin karena aku suka melihat pipimu memerah seperti ini?” katanya sambil tersenyum lebar.
“Kamu benar-benar menjadi seorang penggoda, Rei.” kataku gugup.
“Hanya untukmu.” Dia lagi-lagi mencium bibirku dan kali ini aku tidak menolak.

***
Rei’s Side
Aku tidak tahu setan apa yang merasukiku untuk mencium Runa. Tapi aku harus mengakui, aku benar-benar tergoda melihat penampilannya, terutama ketika kami berdua terjatuh dan mata ungu lebarnya itu menatapku. Sial. Rasanya aku terbius dengan matanya yang seperti bola kaca itu, yang ngomong-ngomong, kuterima dengan senang hati.
Setelah menciumnya untuk yang… ketiga kali (atau empat?) aku tersenyum melihat pipinya memerah. Kuelus wajahnya dan dia memejamkan matanya.
Ketika aku menyentuh telinga kanannya, aku merasakan sesuatu yang mengganjal di sana. Kusibakkan sedikit rambutnya dan melihat ada sebuah anting bulat berwarna biru yang menempel di sana. Anting bulat itu tampak biasa, namun entah kenapa otakku langsung merespon sebuah ingatan di masa lalu ketika melihat anting itu.
Ini anting yang sama dengan anting yang kupakai di telinga kiriku.
“Anting ini…” aku menyentuh anting itu dan membuat Runa membuka matanya, “… darimana kamu mendapatkannya?”
“Anting ini sudah menempel di telinga kananku sejak lama.” katanya, “Bahkan mungkin sebelum aku menjadi Claydoll. Anting ini satu-satunya benda yang menghubungkanku dengan masa laluku yang tidak bisa kuingat.”
Aku tertegun mendengar ucapannya. Tanganku terdiam di telinganya sementara otakku berpikir keras.
Anting ini… anting yang sama dengan yang dipakai Runa waktu kecil. Anting yang diberikan oleh ibu panti asuhan tempat kami tinggal sebagai hadiah ulang tahun kami yang ke-8.
“Rei? Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa,” aku menggeleng, “Sebaiknya kita kembali ke tempat Leia dan yang lain. Mereka pasti sudah menunggu kita.”
Aku membantunya berdiri dan membersihkan rumput yang menempel di pakaiannya. Kemudian mencuri ciuman di pipinya hingga membuatnya tersentak kaget.
“R, Rei!”
“Hm? Kenapa tidak boleh? Tadi kita juga sudah berciuman, kan?”
“Iya, sih. Tapi, kan…” pipinya kembali memerah dan itu membuatku tidak bisa menahan diri untuk tertawa geli.
“Ayo, ohime-sama.” Kataku sambil menggamit lengannya.

***
Rei’s Side
Piknik kami siang itu cukup menyenangkan. Dan aku senang Runa banyak tertawa hari ini. Dia jadi tampak lebih manis kalau seperti itu.
Oke… bukan maksudku untuk menggombal, tapi kalau itu memang faktanya, ya… mau bagaimana lagi?
“Hari ini aku akan ke rumahmu lagi, Rei.” kata Leia sambil meminum tehnya, “Ada beberapa berkas laporan yang harus kita bicarakan.”
Aku mengangguk mengerti dan memakan onigiri[1] isi ayam goreng di tanganku.
Hmm… masakan Leia memang enak. Tidak salah aku memintanya menyiapkan bekal piknik kami hari ini. Daripada membeli di supermarket, lebih baik membuat sendiri, kan?
“Oh ya, setelah ini kita akan ke mana?” tanya Leon, “Bagaimana kalau kita pergi ke karaoke? Aku tahu tempat karaoke yang bagus di dekat sini.”
“Kurasa aku tidak bisa ikut. Aku harus mengantar keponakanku ke Distrik Dua untuk menemui pelatih yang melatihnya berenang.” Kata Alex.
“Sayang sekali kamu tidak bisa ikut, Lex.” Kata Leia, “Padahal aku ingin kamu mencicipi resep masakan terbaruku.”
“Lain kali saja,” Alex tertawa, kemudian melirik jam tangannya. “Kurasa aku harus pergi sekarang. Sampai jumpa besok di tempat kerja.”
Kami mengawasi kepergian Alex, dan ketika dia sudah menghilang di balik pintu lift, Leon tiba-tiba ‘berkicau’ lagi.
“Jadi… kita mau ke mana lagi setelah ini?”


[1] Nasi kepal. Biasanya diberi isian ayam, sayur, dan lain-lain sesuai selera dan dibungkus dengan rumput laut.

0 komentar:

Posting Komentar