Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Angel's Lullaby - Chapter 6



Malam harinya, orangtuanya mengatakan pembicaraan mereka dengan Liam dan Haruto tadi siang pada Yuya dan Kenta saat mereka makan malam. Arisa melihat kakaknya sedikit terkejut, tapi cepat-cepat menguasai diri, sementara Kenta berseru kagum padanya.
“Kak Arisa akan jadi artis? Keren!” ucap Kenta.

“Tapi… apa kamu akan baik-baik saja?” tanya Yuya, kemudian menatap kedua orangtuanya, “Papa dan Mama tentu tahu sendiri trauma Arisa masih belum pulih. Kalau dia harus terjun ke dunia itu lagi…”
“Kami sudah memikirkannya masak-masak, Yuya.” Ujar ibunya, “Mama yakin, ini jalan terbaik agar Arisa bisa melepaskan diri dari traumanya. Seseorang yang pernah mengalami trauma akan sesuatu harus berani untuk menghadapinya suatu hari nanti, apalagi jika trauma itu cukup menyakitkan.
“Semakin menyakitkan trauma itu, semakin kita harus melawannya. Itulah tantangan dalam melenyapkan trauma yang ada pada diri kita.”
Yuya hanya diam mendengar ucapan ibunya. Dalam hati, ia membenarkan ucapan beliua. Matanya lalu menatap Arisa yang duduk di sebelahnya.
“Apa Arisa siap?” tanyanya, ditujukan pada Arisa.
“Arisa siap, Kak. Mama juga menyakinkan Arisa bahwa Arisa harus menghadapi ketakutan Arisa sendiri.” jawab Arisa, “Kak Yuya tidak perlu khawatir. Arisa pasti baik-baik saja.”
Yuya menatap Arisa dalam-dalam sementara adiknya itu tersenyum tipis.
“Aku serius, Kak. Aku akan baik-baik saja.” kata Arisa menyadari tatapan tajam kakaknya.
“Baiklah…” Yuya mengalah, dan melanjutkan kegiatan makannya.
Keluarga itu kemudian membahas apa saja yang terjadi hari ini. Kenta menceritakan pengalamannya mengikuti lomba yang diadakan di sekolahnya, sementara Yuya menceritakan perkembangan proyek yang sedang dikerjakannya. Hanya Arisa yang tetap diam dan tenang mendengarkan cerita keluarganya. Gadis itu mendengarkan dengan tekun, sambil sesekali menanggapi seperlunya. Orangtuanya, maupun kakak dan adiknya paham betul dengan sifat Arisa yang pendiam itu sehingga mereka tidak mempermasalahkannya.
Setelah makan malam selesai, Arisa masuk ke kamarnya dan menghampiri meja belajarnya. Ketika ia baru saja duduk, seseorang mengetuk pintu kamarnya.
“Ya, tunggu sebentar.” seru Arisa.
Ia berjalan menghampiri pintu dan membukanya. Yuya berdiri di samping pintu kamarnya dan tengah bersandar sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Kak Yuya, ada apa?” tanya Arisa.
Yuya menatap Arisa, “Aku masih tidak percaya kamu mau menerima tawaran untuk kembali ke dunia entertainment.” Katanya, “Apa kamu yakin kamu baik-baik saja?”
“Aku baik-baik saja, kok, Kak…” ujar Arisa, “Kak Yuya tidak perlu khawatir. Lagipula, mungkin memang sudah saatnya aku menghadapi ketakutanku.”
“Kamu masih sering bermimpi buruk di malam hari, kan?”
“Iya, memang… tapi, tidak apa. Aku sudah terbiasa—”
“Dan beberapa kali kamu terkena serangan yang membuatmu mual dan pingsan?” tanya Yuya lagi, “Arisa, Kakak rasa, kamu harus memikirkan lagi tentang tawaran itu… Kakak tidak mau kamu kembali diserang rasa takut itu lagi.”
“Aku tahu, Kak…” kata Arisa mengangguk, “Sejujurnya, aku masih takut, traumaku belum sembuh, dan tawaran itu datang secara tiba-tiba.”
“Tapi, kurasa Mama benar, Kak. Aku sudah lama bersembunyi dari hal yang paling kusuka, hanya karena trauma itu. Lebih dari 5 tahun aku terus bersembunyi dari kenyataan, dari masa lalu itu…”
Arisa memejamkan matanya, tubuhnya mendadak gemetar.
“Tapi, Kak, aku tidak mau selalu terkurung dalam penjara trauma. Penjara itu sudah lama mengurungku, dan aku ingin keluar dari sana, aku ingin merasakan lagi rasanya berdiri di depan orang-orang, tanpa takut akan gunjingan dan kata-kata yang mungkin saja akan menyakitiku. Aku ingin sembuh dari trauma ini.”
Awalnya Yuya tidak mengerti maksud ucapan Arisa, namun melihat keseriusan serta kesungguhan di mata gadis itu, Yuya menghela nafas. Berarti Arisa benar-benar sudah mantap dengan keputusannya. Saat makan malam tadi, ia masih tidak yakin Arisa menerima tawaran untuk menjadi trainee di manaejemen milik Liam Kirishima. Terutama karena trauma yang dialami Arisa…
Jangan tanya bagaimana perasaan Yuya ketika menemukan adiknya meringkuk dengan darah di sekujur tubuhnya dan sorot mata ketakutan yang memandang nanar pada siapa pun yang berusaha mendekatinya. Saat itu benar-benar saat yang paling membuat hati Yuya terasa diiris-iris dengan pisau yang sangat tajam.
“Kakak lega kamu benar-benar yakin dan tidak takut.” Kata Yuya, “Kakak sempat khawatir akan keputusanmu, terutama menyangkut traumamu… tapi, sekarang Kakak lega.”
Yuya bergerak mendekati adiknya dan memeluknya. Arisa balas memeluk Yuya sambil tersenyum.
Yuya melepaskan pelukannya dan mencium kening Arisa, “Beristirahatlah. Besok kamu sekolah, kan? Mau Kakak yang mengantar?”
“Boleh,” Arisa tersenyum manis. “Terima kasih, Kak.”
Arisa mencium pipi Yuya dan masuk ke kamar. Yuya menutup pintu kamar Arisa dan menghembuskan nafas lega. Sekali lagi, ia benar-benar merasa lega. Arisa mau melepaskan diri dari trauma yang didapatnya 6 tahun yang lalu, dan itu adalah hal yang benar-benar melegakannya.
Yuya memang sangat menyayangi Arisa. Sejak Arisa masih kecil, Yuya sangat menjaga Arisa. Tentu ia juga melakukan hal yang sama pada Kenta, namun, Arisa adalah anak perempuan. Anak perempuan tentu memerlukan perhatian yang lebih khusus daripada anak laki-laki. Yuya senang melihat wajah Arisa yang cantik dan senyumnya yang begitu manis. Tidak ada seorangpun yang tidak terpesona melihat Arisa. Sejak kecil, adiknya itu selalu mendapatkan perhatian dari orang-orang di sekitarnya, sampai akhirnya peristiwa itu terjadi…
“Mudah-mudahan semuanya akan baik-baik saja.” gumamnya, kemudian berjalan ke kamarnya.

***

Pagi harinya, Arisa bangun dengan perasaan heran. Baru kali ini dia benar-benar tidak bermimpi buruk sepanjang malam.
Tapi, Arisa tidak mau mengambil pusing masalah itu sekarang. Ia hampir terlambat, dan terburu-buru untuk menyiapkan diri.
Ketika ia baru saja akan mengikat rambutnya menjadi buntut kuda, seseorang mengetuk pintu.
“Tunggu sebentar!!”
Arisa mengikat rambutnya secepat yang ia bisa dan mematut dirinya di cermin, kemudian membuka pintu.
Kenta berdiri di depan pintu kamarnya. Senyum lebar tersungging di bibir adiknya itu.
“Ada apa, Ken?” tanya Arisa.
“Ada kakak tampan datang menjemput Kak Arisa.” Ujar Kenta, “Kak Yuya dan Mama sekarang menemaninya di ruang tamu. Kak Yuya menyuruhku untuk memanggil kakak.”
Kakak tampan? Arisa mengerutkan kening mendengar ucapan Kenta. Siapa yang dimaksud Kenta dengan ‘Kakak tampan’?
“Err… ya, sebentar lagi Kakak akan siap. Bilang pada Kak Yuya dan Mama, Kakak akan segera turun ke bawah.” Kata Arisa.
“Memangnya Kakak sedang apa?”
“Berdandan.” Jawab Arisa asal, “Sudahlah… kamu turun saja ke bawah, Kakak akan berada di sana 10 menit lagi.”
Kenta manggut-manggut, kemudian berlari menuruni tangga. Arisa kembali ke dalam kamarnya dan mengambil sweater coklat yang diletakkannya di atas tempat tidur dan tas sekolahnya. Ia sudah memakai sepatu dan kaus kaki, dan dia hanya tinggal sarapan…
Arisa berjalan menuruni tangga. Ia bisa mendengar suara ibu dan kakaknya sedang berbincang dengan seseorang. Suara orang itu diredam oleh suara tawa ibunya, dan Arisa makin tidak bisa menebak siapa sebenarnya yang datang menjemputnya.
Ketika Arisa sudah turun, ia melihat seseorang duduk membelakanginya. Ibu dan kakaknya duduk menghadapnya, dan mengetahui kalau ia sudah berada di dekat mereka. Namun, dari rambutnya yang dipotong lurus dan dicat kecokelatan, Arisa rasa, ia tahu siapa orang itu.
“Itu dia Arisa.” Kata ibunya.
Orang itu menoleh, dan benar seperti dugaan Arisa. Dia adalah Haruto.
“Kenapa kamu ada di sini?” tanya Arisa.
“Menjemputmu.” Jawab Haruto polos dan cepat.
“Menjemputku? Rasanya aku tidak pernah mendengarmu akan menjemputku.” Ujar Arisa lagi.
Ia memang benar. Kemarin, setelah pembicaraan mengenai wawancara dan kesediaannya menjadi trainee, tidak ada seorangpun yang mengatakan bahwa Haruto akan menjemputnya. Bahkan laki-laki itu sendiri tidak mengatakannya!
“Haruto sudah mengatakannya pada Mama kemarin malam. Ia menelepon bahwa dia ingin menjemputmu hari ini.” kata ibunya.
“Apa!?”
Arisa mendelik pada Haruto dan melihat wajah Haruto yang menatapnya polos, atau sebenarnya, berpura-pura bersikap polos.
“Aku tidak mau dijemput dan diantar olehnya. Aku ingin diantar Kak Yuya saja.” kata Arisa, “Aku tidak suka orang asing yang mengantarku ke sekolah.”
“Tapi, kan, aku bukan orang asing lagi bagimu.” Kata Haruto.
“Aku tetap tidak suka.” Kata Arisa.
Ia kemudian menghampiri kakaknya dan menarik tangannya, “Ayo, Kak, antar aku ke sekolah.”
Yuya hanya bisa mengikuti Arisa yang menarik tangannya kuat-kuat.
“Arisa, kamu tidak sarapan dulu?” tanya ibunya.
“Aku akan sarapan di kantin sekolah.” Kata Arisa, “Aku berangkat dulu, Ma. Ayo, Kak Yuya, aku sudah terlambat, nih.”
Ibunya dan Haruto hanya bisa menatap Arisa yang menarik Yuya masuk ke dalam mobil dan memperhatikan mobil tersebut berjalan keluar dari garasi dan menuju jalan raya.
“Duh… Arisa itu,” keluh ibu Arisa. “Maafkan dia, ya, Nak Haruto. Dia tidak biasanya manja seperti itu.”
“Manja?” Haruto mengerutkan kening. Baginya, sikap Arisa barusan lebih bisa dikategorikan sebagai sikap malu ketimbang manja.
Ibu Arisa tersenyum, “Tidak apa-apa, Nak Haruto. Mungkin lain kali kamu bisa mencairkan sikap manjanya.” Ujar beliau, “Arisa itu sebenarnya anak baik, hanya saja karena peristiwa 6 tahun lalu…”
Haruto sudah mendengarnya kemarin. Alasan kenapa Arisa bersikap dingin pada setiap orang yang tidak dan belum dikenalnya. Haruto juga mengerti Arisa menamengi dirinya sendiri dengan perisai sikap dinginnya itu.
“Tidak masalah, Nyonya. Saya akan berusaha agar Arisa mau menerima saya.” Haruto tersenyum, “Sebaiknya saya juga berangkat. Saya tidak mau terlambat ke sekolah.”
“Ya, ya, tentu—ah, tunggu sebentar.”
Ibu Arisa masuk ke dalam dapur, beberapa saat kemudian, beliau datang kembali sambil membawa sebuah kotak bekal berwarna biru dan juga sebotol air.
“Tolong berikan ini pada Arisa.” Ujar beliau. “Anak itu suka lupa makan. Bisa-bisa bukannya pergi ke kantin untuk sarapan, dia malah hanya duduk di kelas dan melamun.”
Haruto menerima kotak bekal dan botol air itu.
“Ini…”
“Roti isi. Arisa suka makan roti kalau pagi, karena kalau pagi, perutnya tidak bisa mencerna nasi dan makanan berat lainnya,” ibu Arisa tersenyum, “Seperti almarhumah Keiko.”
Mendengar nama bibinya disebut, mau tidak mau Haruto juga ikut tersenyum.
“Baiklah, saya akan memberikan ini pada Arisa ketika tiba di sekolah.” Ujar Haruto, “Saya berangkat dulu, Nyonya.”
“Hati-hari di jalan.”
Haruto mengangguk dan melangkah menuju mobilnya. Diletakkannya kotak bekal dan botol air itu di atas dasbor mobil dan duduk di kursi pengemudi.

***

“Kenapa kamu menolak jemputan darinya?” tanya Yuya ketika mereka sudah setengah jalan menuju sekolah Arisa.
“Sudah kubilang, aku tidak suka kalau orang asing yang menjemputku.” Kata Arisa. “Kakak tahu sendiri aku masih… yah, pokoknya aku tidak suka kalau dia menjemputku.”
Yuya mengangkat sebelah alisnya. Ditatapnya Arisa lewat cermin kaca di atas dasbor dan melihat wajah adiknya itu sedikit memerah. Yuya hafal kebiasaan Arisa yang kalau berbohong pasti wajahnya akan sedikit memerah dan pandangannya sedikit menerawang. Dari situ, Yuya tahu kalau Arisa berbohong, tapi dia tidak menanyakan lebih jauh.
“Tapi, Kakak lihat Haruto itu anak yang baik.” kata Yuya. “Tadi Kakak mengobrol dengannya, dan anaknya cukup mengerti soal program game.”
Yuya melirik kearah Arisa. Tidak ada respon dari gadis itu.
“Bukannya Kakak membela Haruto, tapi, sebaiknya kamu mengubah sedikit sifat pendiammu itu, Arisa.”
“Eh?”
“Sejak 6 tahun lalu, kamu menamengi dirimu sendiri dengan sikap diammu itu. Bahkan ketika kamu meminta Kakek Yasawa melatihmu agar lebih kuat… kamu semakin diam dan mendadak saja menjadi orang yang tidak dikenali lagi sebagai Arisa yang periang.”
Yuya menghela nafas, sementara Arisa menatapnya dengan kening berkerut bingung.
“Kakak tidak mau kamu menamengi dirimu dengan sikap itu lagi. Kakak lebih senang kamu menampakkan semua emosimu walau sekecil apa pun, seperti saat kamu masih kecil dulu… Kakak juga dengar dari Mina, katanya kamu sering membuang dan membakar surat-surat dari fans kamu di sekolah. Kata-kata yang kamu lontarkan pada orang lain juga terkesan tajam dan pedas.”
Arisa hanya diam. Yuya memang sering menanyakan apa saja yang terjadi di sekolah ketika teman-temannya berkunjung ke rumah. Mina sering berkunjung ke rumahnya karena rumah mereka hanya berjarak tiga rumah.
“Yah… aku tidak suka dengan perhatian mereka. Dan aku tidak suka dengan cara mereka mencoba mendekatiku.” Kata Arisa, “Mereka tidak mengerti apa-apa tentangku, dan aku tidak mau ada orang lain yang mencoba mengorek kehidupanku…”
“Tapi, kamu menerima tawaran kontrak itu, dan itu berarti, kamu harus mengubah sifat diammu.” Sela Yuya.
“Memang benar…” Arisa menghembuskan nafas, “Aku akan berusaha. Lagipula, aku sudah bosan juga selalu diam seperti ini.”
Yuya tersenyum kecil. Dia menepuk kepala Arisa pelan dan membuat rambut Arisa yang diikat buntut kuda agak bergetar.
“Bagus. Itu baru namanya adik Yuya Kunisada.” ujar Yuya, “Sekarang… kita sudah sampai. Kamu yakin akan sarapan di kantin sekolah? Jangan-jangan kamu malah duduk melamun di kelas sampai bel masuk berbunyi?”
“Kakak  tahu dari mana?” tanya Arisa heran, tapi kemudian dia mengerjap, “Pasti Mina yang memberitahu Kakak, ya?”
Bingo.” Yuya tersenyum lebar. “Kalau bukan dia, siapa lagi?”
Arisa hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia lalu mencium pipi kakaknya dan keluar dari mobil.
“Ingat, kamu harus sarapan, kalau tidak mau penyakit maag-mu kambuh lagi.” pesan Yuya ketika membuka kaca jendela mobilnya.
“Iya, Kak… aku akan ingat, kok.”
Mobil Yuya lalu pergi meninggalkan Arisa yang berdiri di depan gerbang sekolahnya. Ketika mobil Yuya benar-benar menghilang dari pandangannya, Arisa menghembuskan nafas.
Benar apa yang dikatakan kakaknya kalau ia sudah menyetujui untuk menerima kontrak menjadi trainee itu, ia harus mengubah sifat diamnya, kalau tidak itu akan menjadi boomerang fatal ketika ia kembali terjun ke dunia entertainment. Namun, hal itu mungkin akan sulit, mengingat sifat diam di dirinya sudah melekat sejak 6 tahun lalu. Akan sangat sulit untuk mengubahnya lagi.
Arisa membalikkan badannya dan berjalan pelan menuju gedung sekolahnya. Ia benar-benar berharap hari ini ia tidak mendapatkan surat-surat dari para penggemarnya di lokernya.

***

“Ah, itu dia datang!”
Tami dan Debby langsung menoleh kearah pintu masuk kelas ketika Mina menunjuk ke satu arah, tepatnya kearah Arisa yang bersungut-sungut membawa dua kotak kardus berisi amplop surat dan berbagai macam hadiah lainnya.
“Dapat hadiah lagi?” goda Debby, melongok ke dalam salah satu kotak kardus yang dibawa Arisa.
Arisa hanya mengangguk dan menghempaskan tasnya di atas meja. Ia lalu duduk dan menghela nafas.
“Apa mereka tidak bosan, ya, mengirimiku hadiah seperti ini?” tanya Arisa, lebih pada diri sendiri.
“Yah… mungkin karena kamu itu sudah terkenal sejak kecil?” timpal Tami, “Oh ya, apa benar tadi pagi kamu dijemput oleh Haruto?”
Arisa langsung duduk tegak mendengar pertanyaan Tami. Matanya menyipit, “Darimana kamu tahu?”
“Mina yang bilang.” Jawab Tami, “Sebelum berangkat tadi, dia melihat mobil sedan putih di depan pintu pagar rumahmu. Dan karena Mina ingat jenis mobil yang dikendarai Liam Kirishima dan Haruto kemarin, dia berasumsi bahwa mobil di depan rumahmu itu milik Haruto.”
Arisa menoleh kearah Mina yang nyengir tanpa rasa bersalah padanya.
“Jadi…” kata Tami, “Benar, nggak, sih, cerita Mina?”
“Iya…”
“Serius!!?”
“Aduh… kalian jangan teriak-teriak begitu, dong.” sungut Arisa sambil menutup telinganya, “Telingaku jadi sakit, nih…”
“Kamu benar dijemput Haruto Kirishima? Iih… enak banget!” ujar Debby.
“Dia memang datang menjemputku, tapi aku tidak ikut dengannya.” Kata Arisa cepat, “Aku diantar Kak Yuya.”
“Lho? Kenapa kamu nggak mau?” tanya Mina.
“Dia orang asing. Dan aku tidak suka ada orang asing yang menjemputku tiba-tiba di pagi hari.” jawab Arisa.
“Tapi, kan, dia bukan orang asing.” Kata Mina, “Dia itu Haruto, lho! Haruto Kirishima yang itu!”
“Aku tahu…” ujar Arisa, “Tapi, aku masih belum siap untuk menerima orang lain…”
Arisa tiba-tiba memejamkan matanya. Mendadak ia teringat lagi peristiwa yang dialaminya ketika masih kecil. Serangan itu datang begitu saja dan membuatnya panas-dingin.
“Arisa, kamu kenapa?” tanya Debby, “Wajahmu pucat. Kamu belum sarapan?”
Arisa tidak sempat menjawab. Tiba-tiba saja dia merasa mual. Ia cepat berdiri dan menuju keluar kelas. Teman-temannya yang kaget, langsung mengikuti Arisa. Mereka mengikuti Arisa sampai ke toilet dan melihat teman mereka itu muntah-muntah di wastafel.
“Arisa?”
“Arisa, kamu kenapa!?”
Mina dan Tami langsung berdiri di sisi Arisa. Mina yang pertama kali menyentuh bahu Arisa langsung kaget merasakan tubuh Arisa gemetar hebat.
“Arisa, tubuh kamu gemetar!” kata Mina.
Arisa menyeka sisa muntahan di mulutnya dan terbatuk-batuk. Nafasnya tersengal-sengal, dan dia berusaha untuk berdiri tegak.
“Arisa, kamu baik-baik saja, kan?” tanya Debby.
Arisa baru akan menjawab ketika pandangannya mengabur dan benda-benda di sekelilingnya ditelan kegelapan.

“Arisa!!”
Teman-temannya kaget ketika Arisa jatuh pingsan. Mina dan Debby yang berdiri di dekat Arisa buru-buru menahan tubuh gadis itu agar tidak terjatuh.
“Arisa? Arisa?”
Mina menepuk-nepuk pipi Arisa yang pucat dan putih seperti kertas. Tubuh Arisa masih gemetar, bahkan sepertinya gemetaran di tubuh Arisa kian terasa.
“Ya ampun… wajahnya pucat sekali.” Kata Tami, “Kita bawa dia ke ruang UKS. Aku akan mencari bantuan untuk membawanya ke sana.”
“Iya, tolong, ya?”
Tami mengangguk dan berlari ke luar toilet, sementara Mina dan Debby mencoba membangunkan Arisa.
“Aku punya minyak kayu putih. Oleskan ke kening dan lehernya.” Kata Debby sambil mengeluarkan botol kecil minyak kayu putih dari saku roknya.
Mina dengan cepat membubuhkan minyak kayu putih ke tangannya dan menggosokkannya di kening dan leher Arisa. Dilihatnya bibir Arisa bergetar dan dia tidak tahu harus berbuat apa agar Arisa siuman.
“Ja… ngan…”
“Eh?” Mina mengerutkan kening, “Debby, apa kamu yang tadi berbicara?”
“Aku tidak mengatakan apa pun.” Kata Debby.
Pandangan Mina langsung tertuju pada Arisa. Bibir Arisa bergerak-gerak, dan suara lirih nyaris seperti bisikan terdengar dari bibirnya.
“Arisa? Kamu sudah sadar?” tanya Debby.
Mina mendekatkan telinganya ke bibir Arisa yang bergerak-gerak. Nafas Arisa yang tersengal-sengal bersahutan dengan suara lirih yang keluar dari bibir Arisa.
“Ja… ngan...”
“Jangan?” Mina mengerutkan kening.
“Jangan… tolong… jangan…”
“Apa maksudnya ‘jangan’?” tanya Mina tidak mengerti.
“Aku juga tidak tahu.” kata Debby menggeleng.
Keadaan Arisa makin parah. Keringat dingin mulai keluar dari kening gadis itu. Mina segera menyekanya dengan saputangan miliknya.
“Di mana Tami? Apa dia belum kembali juga?” keluh Debby.
Tepat ketika Debby selesai mengeluh, Tami muncul di depan pintu toilet dan dia tidak sendriian. Haruto berdiri di belakang Tami, dan membuat Mina dan Debby tercengang selama beberapa saat.
“Maaf, aku lama.” kata Tami, menyerbu masuk. “Sekolah masih sepi, dan aku tidak tahu pada siapa harus minta tolong. Untung ada Haruto.”
Haruto menatap kedua gadis yang mengurus Arisa, lalu pada Arisa yang wajahnya pucat dan putih seperti kertas. Ia cepat-cepat masuk ke dalam toilet, tidak peduli bahwa yang dimasukinya adalah toilet wanita.
“Dia tidak apa-apa?” tanya Haruto.
“Dia tiba-tiba pingsan…” kata Mina, pulih dari keterkejutannya. “Dan dia menggumamkan kata-kata aneh…”
Haruto menatap Arisa. Keringat dingin mengalir dari kening gadis itu dan membuatnya tampak menyedihkan. Haruto sudah diberitahu oleh ibu dan kakak Arisa kalau gadis itu sering mendapat serangan dan pingsan ketika hal itu terjadi.
Haruto menggendong Arisa. Ditepisnya rambut yang menempel di kening gadis itu karena keringat.
“Di mana letak ruang UKS?” tanya Haruto.
Tami menunjukkan jalan menuju ruang UKS. Mina dan Debby mengikuti. Ketika sampai di sana, ruangan itu masih sepi. Tidak kelihatan petugas kesehatan yang biasa berjaga di sana.
Haruto menghampiri salah satu tempat tidur dan merebahkan Arisa di sana. Mina dengan cepat berdiri di sisi lain tempat tidur dan menyeka keringat yang mengalir di dahi Arisa. Debby dan Tami mengambil baskom kecil dan sebuah kain untuk mengelap keringat di dahi Arisa.
“Dia masih belum sadar.” kata Mina, “Bagaimana cara kita membangunkannya?”
Seperti mendengar suara Mina yang sarat akan kekhawatiran, kedua mata Arisa terbuka perlahan. Ia sempat terkejut dan terduduk tegak.
“Arisa, kamu akhirnya sadar!” kata Mina lega.
“D, di mana ini?” tanya Arisa dengan suara bergetar, “Ini… ini bukan di tempat itu, kan? Ini bukan… bukan…”
Arisa meringis ketika kepalanya berdenyut sakit. Debby cepat-cepat mengambil sebuah kain yang sudah dibasahinya dengan air dingin pada Arisa.
“Terima kasih…”
Arisa menempelkan kain itu ke keningnya dan mengernyit. Walau tidak kentara, ia menyentuh sebuah garis kasar yang ada di atas alisnya.
“Kamu tiba-tiba pingsan dan membuat kami khawatir.” Ujar Mina, “Untunglah kami mengikutimu ke toilet dan Tami mencari bantuan untuk membawamu kemari, kalau tidak… mungkin kamu akan terus berkeringat dingin seperti saat kamu pingsan tadi.”
Arisa diam. Dia mendengarkan perkataan Mina, namun tidak semuanya didengarkannya. Pikirannya tertuju pada kenangan buruk yang diingatnya sesaat sebelum ia berlari keluar.
“… dan untung saja ada Haruto yang datang untuk membantu.” Kata Tami, “Kamu harus berterima kasih padanya.”
“Eh?” Arisa mengerjapkan matanya, “Siapa?”
“Haruto Kirishima.” Ujar Tami, “Tuh, dia duduk di sebelahmu.”
Arisa langsung menoleh dan melihat Haruto duduk di sampingnya. Sesaat, mata Arisa membelalak kaget, namun dia cepat-cepat memasang wajah datar, dan sedikit kesal.
“Kau ke sini untuk mengantarkan kotak bekalku, kan?” tanya Arisa.
“Dari mana kamu tahu?”
Arisa tidak menjawab. Dia malah memalingkan wajahnya dan menghela nafas. Teman-temannya kini tahu ia pingsan dalam keadaan menyedihkan. Dia hanya berharap, tidak ada dari mereka yang tahu apa penyebab dirinya pingsan tadi, dan tidak berusaha untuk mencari tahu.
Mina menatap Haruto dan Arisa bergantian, kemudian menoleh pada Tami dan Debby yang juga bingung dengan suasana yang diciptakan dua orang itu.
“Sudahlah, sekarang kamu sudah sadar itu tidak masalah.” Kata Mina. “Apa kamu belum sarapan? Mungkin karena itulah kamu pingsan.”
“Aku membawakan kotak bekalmu tadi, tapi kutinggalkan di mobil.” ujar Haruto. “Aku akan segera mengambilkannya. Tolong kalian jaga dia, jangan sampai dia bangun dari tempat tidur. Dia bisa mual lagi karena bergerak tiba-tiba.”
“A, ah… baik.” Mina mengangguk.
Arisa menatap Haruto yang keluar dari ruang UKS. Mengapa laki-laki itu tahu setiap ia bergerak tiba-tiba setelah bangun dari pingsan dia akan mual?
Papa dan Mama pasti sudah memberitahunya… tidak, mungkin Kak Yuya yang memberitahunya saat ia datang ke rumah tadi. kata Arisa dalam hati.
“Kelihatannya dia perhatian sekali padamu.” Kata Debby sambil duduk di sebelah Mina.
“Hah?”
“Iya. Dia perhatian sekali padamu, Arisa.” Kata Debby lagi, “Kamu tidak lihat bagaimana dia menyikapi sikap dinginmu itu?”
“Kelihatannya ada lawan yang sepadan untuk sikap dingin Arisa, selain kita tentunya.” Kata Tami sambil tersenyum lebar.
“Apa yang kalian bicarakan?” kata Arisa menggeleng-gelengkan kepalanya, “Dia hanya merasa bertanggung jawab karena membuatku tidak sarapan pagi ini. Lagipula, Liam Kirishima mengenal Mama.”
“Liam Kirishima mengenal ibumu?”
“Ya. Kurasa mereka kenalan lama. Aku tidak terlalu tahu garis besarnya, tapi mereka berdua saling kenal ketika kupertemukan kemarin.”
“Hmmm… aneh juga, ya? Apa mungkin ibumu dan Liam Kirishima dulunya adalah mantan kekasih?” tanya Debby asal.
“Hush! Kamu ini bicaranya jangan kelewatan.” Tegur Mina.
“Maaf… tapi, itu, kan, kemungkinan yang terlintas di pikiranku.” Kata Debby.
Mina hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara Arisa hanya tertawa kecil.
Beberapa saat kemudian, Haruto datang kembali dengan membawa kotak bekal dan botol minum yang tadi diberikan oleh ibu Arisa saat dia akan pergi.
“Ini, ibumu menitipkan ini padaku.” katanya sambil menyerahkan dua benda itu pada Arisa, yang menerimanya dalam diam.
“Kamu harus makan sekarang, karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.” kata Haruto lagi.
“Aku tahu…” kata Arisa, kemudian menatap Haruto. “Terima kasih sudah mau repot-repot mengantarkan ini untukku.”
“Sama- sama.” Kata Haruto sambil tersenyum, “Lagipula kamu dan aku…”
Haruto buru-buru menutup mulutnya sebelum dia keceplosan bicara. Keempat pasang mata di hadapannya menatapnya dengan sorot mata tidak mengerti, terutama Arisa.
“Memangnya kamu dan aku ada hubungan apa?” tanya Arisa bingung.
“Tidak, tidak ada apa-apa…” Haruto menggeleng. “Sebaiknya kamu cepat makan bekalmu dan kembali ke kelas. Dan jangan lupa untuk makan siang nanti.”
“Kenapa kamu terdengar seperti ibuku?”
Haruto hanya tersenyum lebar sebelum menepuk kepala Arisa pelan. Persis seperti yang biasa dilakukan oleh Yuya padanya. Dan itu membuat Arisa memberengut. Sepertinya Haruto sudah mengorek-ngorek informasi tentang kelemahannya dari ibu dan kakaknya.
Ketika Haruto keluar dari ruang UKS, ketiga temannya langsung menghujaninya dengan pertanyaan-pertanyaan yang membuat Arisa kembali pusing.
“Duh… kalian jangan bertanya padaku, dong. Aku sendiri tidak tahu kenapa dia bisa tahu segala hal tentangku.” Kata Arisa sambil menutup telinganya.
“Tapi, dia perhatian—tidak, terlalu perhatian padamu.” Kata Tami, “Apa kamu pernah bertemu dengannya sebelum dia menemukanmu di taman belakang sekolah kemarin?”
“Aku tidak pernah bertemu dengannya. Aku juga tidak tahu darimana dia tahu semua kelemahanku… tapi, pasti karena ibu atau kakakku yang memberitahu dia.” jawab Arisa, “Sudahlah… tolong, jangan bahas itu lagi. Aku ingin makan sekarang, aku lapar.”
Arisa membuka kotak bekalnya dan melihat isi di dalamnya yang cukup banyak.
“Kalian mau?” tanyanya.

0 komentar:

Posting Komentar