Malam
harinya, orangtuanya mengatakan pembicaraan mereka dengan Liam dan Haruto tadi
siang pada Yuya dan Kenta saat mereka makan malam. Arisa melihat kakaknya
sedikit terkejut, tapi cepat-cepat menguasai diri, sementara Kenta berseru
kagum padanya.
“Kak
Arisa akan jadi artis? Keren!” ucap Kenta.
“Tapi…
apa kamu akan baik-baik saja?” tanya Yuya, kemudian menatap kedua orangtuanya,
“Papa dan Mama tentu tahu sendiri trauma Arisa masih belum pulih. Kalau dia
harus terjun ke dunia itu lagi…”
“Kami
sudah memikirkannya masak-masak, Yuya.” Ujar ibunya, “Mama yakin, ini jalan
terbaik agar Arisa bisa melepaskan diri dari traumanya. Seseorang yang pernah
mengalami trauma akan sesuatu harus berani untuk menghadapinya suatu hari
nanti, apalagi jika trauma itu cukup menyakitkan.
“Semakin
menyakitkan trauma itu, semakin kita harus melawannya. Itulah tantangan dalam
melenyapkan trauma yang ada pada diri kita.”
Yuya
hanya diam mendengar ucapan ibunya. Dalam hati, ia membenarkan ucapan beliua.
Matanya lalu menatap Arisa yang duduk di sebelahnya.
“Apa
Arisa siap?” tanyanya, ditujukan pada Arisa.
“Arisa
siap, Kak. Mama juga menyakinkan Arisa bahwa Arisa harus menghadapi ketakutan
Arisa sendiri.” jawab Arisa, “Kak Yuya tidak perlu khawatir. Arisa pasti
baik-baik saja.”
Yuya
menatap Arisa dalam-dalam sementara adiknya itu tersenyum tipis.
“Aku
serius, Kak. Aku akan baik-baik saja.” kata Arisa menyadari tatapan tajam
kakaknya.
“Baiklah…”
Yuya mengalah, dan melanjutkan kegiatan makannya.
Keluarga
itu kemudian membahas apa saja yang terjadi hari ini. Kenta menceritakan
pengalamannya mengikuti lomba yang diadakan di sekolahnya, sementara Yuya
menceritakan perkembangan proyek yang sedang dikerjakannya. Hanya Arisa yang
tetap diam dan tenang mendengarkan cerita keluarganya. Gadis itu mendengarkan
dengan tekun, sambil sesekali menanggapi seperlunya. Orangtuanya, maupun kakak
dan adiknya paham betul dengan sifat Arisa yang pendiam itu sehingga mereka
tidak mempermasalahkannya.
Setelah
makan malam selesai, Arisa masuk ke kamarnya dan menghampiri meja belajarnya.
Ketika ia baru saja duduk, seseorang mengetuk pintu kamarnya.
“Ya,
tunggu sebentar.” seru Arisa.
Ia
berjalan menghampiri pintu dan membukanya. Yuya berdiri di samping pintu
kamarnya dan tengah bersandar sambil melipat kedua tangannya di depan dada.
“Kak
Yuya, ada apa?” tanya Arisa.
Yuya
menatap Arisa, “Aku masih tidak percaya kamu mau menerima tawaran untuk kembali
ke dunia entertainment.” Katanya,
“Apa kamu yakin kamu baik-baik saja?”
“Aku
baik-baik saja, kok, Kak…” ujar Arisa, “Kak Yuya tidak perlu khawatir.
Lagipula, mungkin memang sudah saatnya aku menghadapi ketakutanku.”
“Kamu
masih sering bermimpi buruk di malam hari, kan?”
“Iya,
memang… tapi, tidak apa. Aku sudah terbiasa—”
“Dan
beberapa kali kamu terkena serangan yang membuatmu mual dan pingsan?” tanya
Yuya lagi, “Arisa, Kakak rasa, kamu harus memikirkan lagi tentang tawaran itu…
Kakak tidak mau kamu kembali diserang rasa takut itu lagi.”
“Aku
tahu, Kak…” kata Arisa mengangguk, “Sejujurnya, aku masih takut, traumaku belum
sembuh, dan tawaran itu datang secara tiba-tiba.”
“Tapi,
kurasa Mama benar, Kak. Aku sudah lama bersembunyi dari hal yang paling kusuka,
hanya karena trauma itu. Lebih dari 5 tahun aku terus bersembunyi dari
kenyataan, dari masa lalu itu…”
Arisa
memejamkan matanya, tubuhnya mendadak gemetar.
“Tapi,
Kak, aku tidak mau selalu terkurung dalam penjara trauma. Penjara itu sudah
lama mengurungku, dan aku ingin keluar dari sana, aku ingin merasakan lagi
rasanya berdiri di depan orang-orang, tanpa takut akan gunjingan dan kata-kata
yang mungkin saja akan menyakitiku. Aku ingin sembuh dari trauma ini.”
Awalnya
Yuya tidak mengerti maksud ucapan Arisa, namun melihat keseriusan serta
kesungguhan di mata gadis itu, Yuya menghela nafas. Berarti Arisa benar-benar
sudah mantap dengan keputusannya. Saat makan malam tadi, ia masih tidak yakin
Arisa menerima tawaran untuk menjadi trainee
di manaejemen milik Liam Kirishima. Terutama karena trauma yang dialami Arisa…
Jangan
tanya bagaimana perasaan Yuya ketika menemukan adiknya meringkuk dengan darah
di sekujur tubuhnya dan sorot mata ketakutan yang memandang nanar pada siapa
pun yang berusaha mendekatinya. Saat itu benar-benar saat yang paling membuat
hati Yuya terasa diiris-iris dengan pisau yang sangat tajam.
“Kakak
lega kamu benar-benar yakin dan tidak takut.” Kata Yuya, “Kakak sempat khawatir
akan keputusanmu, terutama menyangkut traumamu… tapi, sekarang Kakak lega.”
Yuya
bergerak mendekati adiknya dan memeluknya. Arisa balas memeluk Yuya sambil
tersenyum.
Yuya
melepaskan pelukannya dan mencium kening Arisa, “Beristirahatlah. Besok kamu
sekolah, kan? Mau Kakak yang mengantar?”
“Boleh,”
Arisa tersenyum manis. “Terima kasih, Kak.”
Arisa
mencium pipi Yuya dan masuk ke kamar. Yuya menutup pintu kamar Arisa dan
menghembuskan nafas lega. Sekali lagi, ia benar-benar merasa lega. Arisa mau
melepaskan diri dari trauma yang didapatnya 6 tahun yang lalu, dan itu adalah
hal yang benar-benar melegakannya.
Yuya
memang sangat menyayangi Arisa. Sejak Arisa masih kecil, Yuya sangat menjaga
Arisa. Tentu ia juga melakukan hal yang sama pada Kenta, namun, Arisa adalah
anak perempuan. Anak perempuan tentu memerlukan perhatian yang lebih khusus
daripada anak laki-laki. Yuya senang melihat wajah Arisa yang cantik dan
senyumnya yang begitu manis. Tidak ada seorangpun yang tidak terpesona melihat
Arisa. Sejak kecil, adiknya itu selalu mendapatkan perhatian dari orang-orang
di sekitarnya, sampai akhirnya peristiwa itu terjadi…
“Mudah-mudahan
semuanya akan baik-baik saja.” gumamnya, kemudian berjalan ke kamarnya.
***
Pagi
harinya, Arisa bangun dengan perasaan heran. Baru kali ini dia benar-benar
tidak bermimpi buruk sepanjang malam.
Tapi,
Arisa tidak mau mengambil pusing masalah itu sekarang. Ia hampir terlambat, dan
terburu-buru untuk menyiapkan diri.
Ketika
ia baru saja akan mengikat rambutnya menjadi buntut kuda, seseorang mengetuk
pintu.
“Tunggu
sebentar!!”
Arisa
mengikat rambutnya secepat yang ia bisa dan mematut dirinya di cermin, kemudian
membuka pintu.
Kenta
berdiri di depan pintu kamarnya. Senyum lebar tersungging di bibir adiknya itu.
“Ada
apa, Ken?” tanya Arisa.
“Ada
kakak tampan datang menjemput Kak Arisa.” Ujar Kenta, “Kak Yuya dan Mama
sekarang menemaninya di ruang tamu. Kak Yuya menyuruhku untuk memanggil kakak.”
Kakak
tampan? Arisa mengerutkan kening mendengar ucapan Kenta. Siapa yang dimaksud
Kenta dengan ‘Kakak tampan’?
“Err…
ya, sebentar lagi Kakak akan siap. Bilang pada Kak Yuya dan Mama, Kakak akan
segera turun ke bawah.” Kata Arisa.
“Memangnya
Kakak sedang apa?”
“Berdandan.”
Jawab Arisa asal, “Sudahlah… kamu turun saja ke bawah, Kakak akan berada di
sana 10 menit lagi.”
Kenta
manggut-manggut, kemudian berlari menuruni tangga. Arisa kembali ke dalam
kamarnya dan mengambil sweater coklat yang diletakkannya di atas tempat tidur
dan tas sekolahnya. Ia sudah memakai sepatu dan kaus kaki, dan dia hanya
tinggal sarapan…
Arisa
berjalan menuruni tangga. Ia bisa mendengar suara ibu dan kakaknya sedang
berbincang dengan seseorang. Suara orang itu diredam oleh suara tawa ibunya,
dan Arisa makin tidak bisa menebak siapa sebenarnya yang datang menjemputnya.
Ketika
Arisa sudah turun, ia melihat seseorang duduk membelakanginya. Ibu dan kakaknya
duduk menghadapnya, dan mengetahui kalau ia sudah berada di dekat mereka.
Namun, dari rambutnya yang dipotong lurus dan dicat kecokelatan, Arisa rasa, ia
tahu siapa orang itu.
“Itu
dia Arisa.” Kata ibunya.
Orang
itu menoleh, dan benar seperti dugaan Arisa. Dia adalah Haruto.
“Kenapa
kamu ada di sini?” tanya Arisa.
“Menjemputmu.”
Jawab Haruto polos dan cepat.
“Menjemputku?
Rasanya aku tidak pernah mendengarmu akan menjemputku.” Ujar Arisa lagi.
Ia
memang benar. Kemarin, setelah pembicaraan mengenai wawancara dan kesediaannya
menjadi trainee, tidak ada seorangpun
yang mengatakan bahwa Haruto akan menjemputnya. Bahkan laki-laki itu sendiri
tidak mengatakannya!
“Haruto
sudah mengatakannya pada Mama kemarin malam. Ia menelepon bahwa dia ingin
menjemputmu hari ini.” kata ibunya.
“Apa!?”
Arisa
mendelik pada Haruto dan melihat wajah Haruto yang menatapnya polos, atau
sebenarnya, berpura-pura bersikap polos.
“Aku
tidak mau dijemput dan diantar olehnya. Aku ingin diantar Kak Yuya saja.” kata
Arisa, “Aku tidak suka orang asing yang mengantarku ke sekolah.”
“Tapi,
kan, aku bukan orang asing lagi bagimu.” Kata Haruto.
“Aku
tetap tidak suka.” Kata Arisa.
Ia
kemudian menghampiri kakaknya dan menarik tangannya, “Ayo, Kak, antar aku ke
sekolah.”
Yuya
hanya bisa mengikuti Arisa yang menarik tangannya kuat-kuat.
“Arisa,
kamu tidak sarapan dulu?” tanya ibunya.
“Aku
akan sarapan di kantin sekolah.” Kata Arisa, “Aku berangkat dulu, Ma. Ayo, Kak
Yuya, aku sudah terlambat, nih.”
Ibunya
dan Haruto hanya bisa menatap Arisa yang menarik Yuya masuk ke dalam mobil dan
memperhatikan mobil tersebut berjalan keluar dari garasi dan menuju jalan raya.
“Duh…
Arisa itu,” keluh ibu Arisa. “Maafkan dia, ya, Nak Haruto. Dia tidak biasanya
manja seperti itu.”
“Manja?”
Haruto mengerutkan kening. Baginya, sikap Arisa barusan lebih bisa
dikategorikan sebagai sikap malu ketimbang manja.
Ibu
Arisa tersenyum, “Tidak apa-apa, Nak Haruto. Mungkin lain kali kamu bisa
mencairkan sikap manjanya.” Ujar beliau, “Arisa itu sebenarnya anak baik, hanya
saja karena peristiwa 6 tahun lalu…”
Haruto
sudah mendengarnya kemarin. Alasan kenapa Arisa bersikap dingin pada setiap
orang yang tidak dan belum dikenalnya. Haruto juga mengerti Arisa menamengi
dirinya sendiri dengan perisai sikap dinginnya itu.
“Tidak
masalah, Nyonya. Saya akan berusaha agar Arisa mau menerima saya.” Haruto
tersenyum, “Sebaiknya saya juga berangkat. Saya tidak mau terlambat ke
sekolah.”
“Ya,
ya, tentu—ah, tunggu sebentar.”
Ibu
Arisa masuk ke dalam dapur, beberapa saat kemudian, beliau datang kembali
sambil membawa sebuah kotak bekal berwarna biru dan juga sebotol air.
“Tolong
berikan ini pada Arisa.” Ujar beliau. “Anak itu suka lupa makan. Bisa-bisa
bukannya pergi ke kantin untuk sarapan, dia malah hanya duduk di kelas dan
melamun.”
Haruto
menerima kotak bekal dan botol air itu.
“Ini…”
“Roti
isi. Arisa suka makan roti kalau pagi, karena kalau pagi, perutnya tidak bisa
mencerna nasi dan makanan berat lainnya,” ibu Arisa tersenyum, “Seperti almarhumah
Keiko.”
Mendengar
nama bibinya disebut, mau tidak mau Haruto juga ikut tersenyum.
“Baiklah,
saya akan memberikan ini pada Arisa ketika tiba di sekolah.” Ujar Haruto, “Saya
berangkat dulu, Nyonya.”
“Hati-hari
di jalan.”
Haruto
mengangguk dan melangkah menuju mobilnya. Diletakkannya kotak bekal dan botol
air itu di atas dasbor mobil dan duduk di kursi pengemudi.
***
“Kenapa
kamu menolak jemputan darinya?” tanya Yuya ketika mereka sudah setengah jalan
menuju sekolah Arisa.
“Sudah
kubilang, aku tidak suka kalau orang asing yang menjemputku.” Kata Arisa.
“Kakak tahu sendiri aku masih… yah, pokoknya aku tidak suka kalau dia
menjemputku.”
Yuya
mengangkat sebelah alisnya. Ditatapnya Arisa lewat cermin kaca di atas dasbor
dan melihat wajah adiknya itu sedikit memerah. Yuya hafal kebiasaan Arisa yang
kalau berbohong pasti wajahnya akan sedikit memerah dan pandangannya sedikit
menerawang. Dari situ, Yuya tahu kalau Arisa berbohong, tapi dia tidak
menanyakan lebih jauh.
“Tapi,
Kakak lihat Haruto itu anak yang baik.” kata Yuya. “Tadi Kakak mengobrol
dengannya, dan anaknya cukup mengerti soal program game.”
Yuya
melirik kearah Arisa. Tidak ada respon dari gadis itu.
“Bukannya
Kakak membela Haruto, tapi, sebaiknya kamu mengubah sedikit sifat pendiammu
itu, Arisa.”
“Eh?”
“Sejak
6 tahun lalu, kamu menamengi dirimu sendiri dengan sikap diammu itu. Bahkan
ketika kamu meminta Kakek Yasawa melatihmu agar lebih kuat… kamu semakin diam
dan mendadak saja menjadi orang yang tidak dikenali lagi sebagai Arisa yang
periang.”
Yuya
menghela nafas, sementara Arisa menatapnya dengan kening berkerut bingung.
“Kakak
tidak mau kamu menamengi dirimu dengan sikap itu lagi. Kakak lebih senang kamu
menampakkan semua emosimu walau sekecil apa pun, seperti saat kamu masih kecil
dulu… Kakak juga dengar dari Mina, katanya kamu sering membuang dan membakar
surat-surat dari fans kamu di
sekolah. Kata-kata yang kamu lontarkan pada orang lain juga terkesan tajam dan
pedas.”
Arisa
hanya diam. Yuya memang sering menanyakan apa saja yang terjadi di sekolah
ketika teman-temannya berkunjung ke rumah. Mina sering berkunjung ke rumahnya
karena rumah mereka hanya berjarak tiga rumah.
“Yah…
aku tidak suka dengan perhatian mereka. Dan aku tidak suka dengan cara mereka
mencoba mendekatiku.” Kata Arisa, “Mereka tidak mengerti apa-apa tentangku, dan
aku tidak mau ada orang lain yang mencoba mengorek kehidupanku…”
“Tapi,
kamu menerima tawaran kontrak itu, dan itu berarti, kamu harus mengubah sifat
diammu.” Sela Yuya.
“Memang
benar…” Arisa menghembuskan nafas, “Aku akan berusaha. Lagipula, aku sudah
bosan juga selalu diam seperti ini.”
Yuya
tersenyum kecil. Dia menepuk kepala Arisa pelan dan membuat rambut Arisa yang
diikat buntut kuda agak bergetar.
“Bagus.
Itu baru namanya adik Yuya Kunisada.” ujar Yuya, “Sekarang… kita sudah sampai.
Kamu yakin akan sarapan di kantin sekolah? Jangan-jangan kamu malah duduk
melamun di kelas sampai bel masuk berbunyi?”
“Kakak tahu dari mana?” tanya Arisa heran, tapi
kemudian dia mengerjap, “Pasti Mina yang memberitahu Kakak, ya?”
“Bingo.” Yuya tersenyum lebar. “Kalau
bukan dia, siapa lagi?”
Arisa
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya. Dia lalu mencium pipi kakaknya dan keluar
dari mobil.
“Ingat,
kamu harus sarapan, kalau tidak mau penyakit maag-mu kambuh lagi.” pesan Yuya
ketika membuka kaca jendela mobilnya.
“Iya,
Kak… aku akan ingat, kok.”
Mobil
Yuya lalu pergi meninggalkan Arisa yang berdiri di depan gerbang sekolahnya.
Ketika mobil Yuya benar-benar menghilang dari pandangannya, Arisa menghembuskan
nafas.
Benar
apa yang dikatakan kakaknya kalau ia sudah menyetujui untuk menerima kontrak
menjadi trainee itu, ia harus
mengubah sifat diamnya, kalau tidak itu akan menjadi boomerang fatal ketika ia
kembali terjun ke dunia entertainment.
Namun, hal itu mungkin akan sulit, mengingat sifat diam di dirinya sudah
melekat sejak 6 tahun lalu. Akan sangat sulit untuk mengubahnya lagi.
Arisa
membalikkan badannya dan berjalan pelan menuju gedung sekolahnya. Ia
benar-benar berharap hari ini ia tidak mendapatkan surat-surat dari para
penggemarnya di lokernya.
***
“Ah,
itu dia datang!”
Tami
dan Debby langsung menoleh kearah pintu masuk kelas ketika Mina menunjuk ke
satu arah, tepatnya kearah Arisa yang bersungut-sungut membawa dua kotak kardus
berisi amplop surat dan berbagai macam hadiah lainnya.
“Dapat
hadiah lagi?” goda Debby, melongok ke dalam salah satu kotak kardus yang dibawa
Arisa.
Arisa
hanya mengangguk dan menghempaskan tasnya di atas meja. Ia lalu duduk dan
menghela nafas.
“Apa
mereka tidak bosan, ya, mengirimiku hadiah seperti ini?” tanya Arisa, lebih
pada diri sendiri.
“Yah…
mungkin karena kamu itu sudah terkenal sejak kecil?” timpal Tami, “Oh ya, apa
benar tadi pagi kamu dijemput oleh Haruto?”
Arisa
langsung duduk tegak mendengar pertanyaan Tami. Matanya menyipit, “Darimana
kamu tahu?”
“Mina
yang bilang.” Jawab Tami, “Sebelum berangkat tadi, dia melihat mobil sedan
putih di depan pintu pagar rumahmu. Dan karena Mina ingat jenis mobil yang
dikendarai Liam Kirishima dan Haruto kemarin, dia berasumsi bahwa mobil di
depan rumahmu itu milik Haruto.”
Arisa
menoleh kearah Mina yang nyengir tanpa rasa bersalah padanya.
“Jadi…”
kata Tami, “Benar, nggak, sih, cerita Mina?”
“Iya…”
“Serius!!?”
“Aduh…
kalian jangan teriak-teriak begitu, dong.” sungut Arisa sambil menutup
telinganya, “Telingaku jadi sakit, nih…”
“Kamu
benar dijemput Haruto Kirishima? Iih… enak banget!” ujar Debby.
“Dia
memang datang menjemputku, tapi aku tidak ikut dengannya.” Kata Arisa cepat,
“Aku diantar Kak Yuya.”
“Lho?
Kenapa kamu nggak mau?” tanya Mina.
“Dia
orang asing. Dan aku tidak suka ada orang asing yang menjemputku tiba-tiba di
pagi hari.” jawab Arisa.
“Tapi,
kan, dia bukan orang asing.” Kata Mina, “Dia itu Haruto, lho! Haruto Kirishima
yang itu!”
“Aku
tahu…” ujar Arisa, “Tapi, aku masih belum siap untuk menerima orang lain…”
Arisa
tiba-tiba memejamkan matanya. Mendadak ia teringat lagi peristiwa yang
dialaminya ketika masih kecil. Serangan itu datang begitu saja dan membuatnya
panas-dingin.
“Arisa,
kamu kenapa?” tanya Debby, “Wajahmu pucat. Kamu belum sarapan?”
Arisa
tidak sempat menjawab. Tiba-tiba saja dia merasa mual. Ia cepat berdiri dan
menuju keluar kelas. Teman-temannya yang kaget, langsung mengikuti Arisa.
Mereka mengikuti Arisa sampai ke toilet dan melihat teman mereka itu
muntah-muntah di wastafel.
“Arisa?”
“Arisa,
kamu kenapa!?”
Mina
dan Tami langsung berdiri di sisi Arisa. Mina yang pertama kali menyentuh bahu
Arisa langsung kaget merasakan tubuh Arisa gemetar hebat.
“Arisa,
tubuh kamu gemetar!” kata Mina.
Arisa
menyeka sisa muntahan di mulutnya dan terbatuk-batuk. Nafasnya
tersengal-sengal, dan dia berusaha untuk berdiri tegak.
“Arisa,
kamu baik-baik saja, kan?” tanya Debby.
Arisa
baru akan menjawab ketika pandangannya mengabur dan benda-benda di
sekelilingnya ditelan kegelapan.
“Arisa!!”
Teman-temannya
kaget ketika Arisa jatuh pingsan. Mina dan Debby yang berdiri di dekat Arisa
buru-buru menahan tubuh gadis itu agar tidak terjatuh.
“Arisa?
Arisa?”
Mina
menepuk-nepuk pipi Arisa yang pucat dan putih seperti kertas. Tubuh Arisa masih
gemetar, bahkan sepertinya gemetaran di tubuh Arisa kian terasa.
“Ya
ampun… wajahnya pucat sekali.” Kata Tami, “Kita bawa dia ke ruang UKS. Aku akan
mencari bantuan untuk membawanya ke sana.”
“Iya,
tolong, ya?”
Tami
mengangguk dan berlari ke luar toilet, sementara Mina dan Debby mencoba membangunkan
Arisa.
“Aku
punya minyak kayu putih. Oleskan ke kening dan lehernya.” Kata Debby sambil
mengeluarkan botol kecil minyak kayu putih dari saku roknya.
Mina
dengan cepat membubuhkan minyak kayu putih ke tangannya dan menggosokkannya di
kening dan leher Arisa. Dilihatnya bibir Arisa bergetar dan dia tidak tahu
harus berbuat apa agar Arisa siuman.
“Ja…
ngan…”
“Eh?”
Mina mengerutkan kening, “Debby, apa kamu yang tadi berbicara?”
“Aku
tidak mengatakan apa pun.” Kata Debby.
Pandangan
Mina langsung tertuju pada Arisa. Bibir Arisa bergerak-gerak, dan suara lirih
nyaris seperti bisikan terdengar dari bibirnya.
“Arisa?
Kamu sudah sadar?” tanya Debby.
Mina
mendekatkan telinganya ke bibir Arisa yang bergerak-gerak. Nafas Arisa yang
tersengal-sengal bersahutan dengan suara lirih yang keluar dari bibir Arisa.
“Ja…
ngan...”
“Jangan?”
Mina mengerutkan kening.
“Jangan…
tolong… jangan…”
“Apa
maksudnya ‘jangan’?” tanya Mina tidak mengerti.
“Aku
juga tidak tahu.” kata Debby menggeleng.
Keadaan
Arisa makin parah. Keringat dingin mulai keluar dari kening gadis itu. Mina
segera menyekanya dengan saputangan miliknya.
“Di
mana Tami? Apa dia belum kembali juga?” keluh Debby.
Tepat
ketika Debby selesai mengeluh, Tami muncul di depan pintu toilet dan dia tidak
sendriian. Haruto berdiri di belakang Tami, dan membuat Mina dan Debby
tercengang selama beberapa saat.
“Maaf,
aku lama.” kata Tami, menyerbu masuk. “Sekolah masih sepi, dan aku tidak tahu
pada siapa harus minta tolong. Untung ada Haruto.”
Haruto
menatap kedua gadis yang mengurus Arisa, lalu pada Arisa yang wajahnya pucat
dan putih seperti kertas. Ia cepat-cepat masuk ke dalam toilet, tidak peduli
bahwa yang dimasukinya adalah toilet wanita.
“Dia
tidak apa-apa?” tanya Haruto.
“Dia
tiba-tiba pingsan…” kata Mina, pulih dari keterkejutannya. “Dan dia
menggumamkan kata-kata aneh…”
Haruto
menatap Arisa. Keringat dingin mengalir dari kening gadis itu dan membuatnya
tampak menyedihkan. Haruto sudah diberitahu oleh ibu dan kakak Arisa kalau
gadis itu sering mendapat serangan dan pingsan ketika hal itu terjadi.
Haruto
menggendong Arisa. Ditepisnya rambut yang menempel di kening gadis itu karena
keringat.
“Di
mana letak ruang UKS?” tanya Haruto.
Tami
menunjukkan jalan menuju ruang UKS. Mina dan Debby mengikuti. Ketika sampai di
sana, ruangan itu masih sepi. Tidak kelihatan petugas kesehatan yang biasa
berjaga di sana.
Haruto
menghampiri salah satu tempat tidur dan merebahkan Arisa di sana. Mina dengan
cepat berdiri di sisi lain tempat tidur dan menyeka keringat yang mengalir di
dahi Arisa. Debby dan Tami mengambil baskom kecil dan sebuah kain untuk
mengelap keringat di dahi Arisa.
“Dia
masih belum sadar.” kata Mina, “Bagaimana cara kita membangunkannya?”
Seperti
mendengar suara Mina yang sarat akan kekhawatiran, kedua mata Arisa terbuka perlahan.
Ia sempat terkejut dan terduduk tegak.
“Arisa,
kamu akhirnya sadar!” kata Mina lega.
“D,
di mana ini?” tanya Arisa dengan suara bergetar, “Ini… ini bukan di tempat itu,
kan? Ini bukan… bukan…”
Arisa
meringis ketika kepalanya berdenyut sakit. Debby cepat-cepat mengambil sebuah
kain yang sudah dibasahinya dengan air dingin pada Arisa.
“Terima
kasih…”
Arisa
menempelkan kain itu ke keningnya dan mengernyit. Walau tidak kentara, ia
menyentuh sebuah garis kasar yang ada di atas alisnya.
“Kamu
tiba-tiba pingsan dan membuat kami khawatir.” Ujar Mina, “Untunglah kami
mengikutimu ke toilet dan Tami mencari bantuan untuk membawamu kemari, kalau
tidak… mungkin kamu akan terus berkeringat dingin seperti saat kamu pingsan
tadi.”
Arisa
diam. Dia mendengarkan perkataan Mina, namun tidak semuanya didengarkannya.
Pikirannya tertuju pada kenangan buruk yang diingatnya sesaat sebelum ia
berlari keluar.
“…
dan untung saja ada Haruto yang datang untuk membantu.” Kata Tami, “Kamu harus
berterima kasih padanya.”
“Eh?”
Arisa mengerjapkan matanya, “Siapa?”
“Haruto
Kirishima.” Ujar Tami, “Tuh, dia duduk di sebelahmu.”
Arisa
langsung menoleh dan melihat Haruto duduk di sampingnya. Sesaat, mata Arisa
membelalak kaget, namun dia cepat-cepat memasang wajah datar, dan sedikit
kesal.
“Kau
ke sini untuk mengantarkan kotak bekalku, kan?” tanya Arisa.
“Dari
mana kamu tahu?”
Arisa
tidak menjawab. Dia malah memalingkan wajahnya dan menghela nafas.
Teman-temannya kini tahu ia pingsan dalam keadaan menyedihkan. Dia hanya
berharap, tidak ada dari mereka yang tahu apa penyebab dirinya pingsan tadi,
dan tidak berusaha untuk mencari tahu.
Mina
menatap Haruto dan Arisa bergantian, kemudian menoleh pada Tami dan Debby yang
juga bingung dengan suasana yang diciptakan dua orang itu.
“Sudahlah,
sekarang kamu sudah sadar itu tidak masalah.” Kata Mina. “Apa kamu belum
sarapan? Mungkin karena itulah kamu pingsan.”
“Aku
membawakan kotak bekalmu tadi, tapi kutinggalkan di mobil.” ujar Haruto. “Aku
akan segera mengambilkannya. Tolong kalian jaga dia, jangan sampai dia bangun
dari tempat tidur. Dia bisa mual lagi karena bergerak tiba-tiba.”
“A,
ah… baik.” Mina mengangguk.
Arisa
menatap Haruto yang keluar dari ruang UKS. Mengapa laki-laki itu tahu setiap ia
bergerak tiba-tiba setelah bangun dari pingsan dia akan mual?
Papa dan Mama
pasti sudah memberitahunya… tidak, mungkin Kak Yuya yang memberitahunya saat ia
datang ke rumah tadi. kata Arisa dalam hati.
“Kelihatannya
dia perhatian sekali padamu.” Kata Debby sambil duduk di sebelah Mina.
“Hah?”
“Iya.
Dia perhatian sekali padamu, Arisa.” Kata Debby lagi, “Kamu tidak lihat
bagaimana dia menyikapi sikap dinginmu itu?”
“Kelihatannya
ada lawan yang sepadan untuk sikap dingin Arisa, selain kita tentunya.” Kata
Tami sambil tersenyum lebar.
“Apa
yang kalian bicarakan?” kata Arisa menggeleng-gelengkan kepalanya, “Dia hanya
merasa bertanggung jawab karena membuatku tidak sarapan pagi ini. Lagipula,
Liam Kirishima mengenal Mama.”
“Liam
Kirishima mengenal ibumu?”
“Ya.
Kurasa mereka kenalan lama. Aku tidak terlalu tahu garis besarnya, tapi mereka
berdua saling kenal ketika kupertemukan kemarin.”
“Hmmm…
aneh juga, ya? Apa mungkin ibumu dan Liam Kirishima dulunya adalah mantan
kekasih?” tanya Debby asal.
“Hush!
Kamu ini bicaranya jangan kelewatan.” Tegur Mina.
“Maaf…
tapi, itu, kan, kemungkinan yang terlintas di pikiranku.” Kata Debby.
Mina
hanya menggeleng-gelengkan kepalanya, sementara Arisa hanya tertawa kecil.
Beberapa
saat kemudian, Haruto datang kembali dengan membawa kotak bekal dan botol minum
yang tadi diberikan oleh ibu Arisa saat dia akan pergi.
“Ini,
ibumu menitipkan ini padaku.” katanya sambil menyerahkan dua benda itu pada
Arisa, yang menerimanya dalam diam.
“Kamu
harus makan sekarang, karena sebentar lagi bel masuk akan berbunyi.” kata
Haruto lagi.
“Aku
tahu…” kata Arisa, kemudian menatap Haruto. “Terima kasih sudah mau repot-repot
mengantarkan ini untukku.”
“Sama-
sama.” Kata Haruto sambil tersenyum, “Lagipula kamu dan aku…”
Haruto
buru-buru menutup mulutnya sebelum dia keceplosan bicara. Keempat pasang mata
di hadapannya menatapnya dengan sorot mata tidak mengerti, terutama Arisa.
“Memangnya
kamu dan aku ada hubungan apa?” tanya Arisa bingung.
“Tidak,
tidak ada apa-apa…” Haruto menggeleng. “Sebaiknya kamu cepat makan bekalmu dan
kembali ke kelas. Dan jangan lupa untuk makan siang nanti.”
“Kenapa
kamu terdengar seperti ibuku?”
Haruto
hanya tersenyum lebar sebelum menepuk kepala Arisa pelan. Persis seperti yang
biasa dilakukan oleh Yuya padanya. Dan itu membuat Arisa memberengut.
Sepertinya Haruto sudah mengorek-ngorek informasi tentang kelemahannya dari ibu
dan kakaknya.
Ketika
Haruto keluar dari ruang UKS, ketiga temannya langsung menghujaninya dengan
pertanyaan-pertanyaan yang membuat Arisa kembali pusing.
“Duh…
kalian jangan bertanya padaku, dong. Aku sendiri tidak tahu kenapa dia bisa
tahu segala hal tentangku.” Kata Arisa sambil menutup telinganya.
“Tapi,
dia perhatian—tidak, terlalu perhatian padamu.” Kata Tami, “Apa kamu pernah
bertemu dengannya sebelum dia menemukanmu di taman belakang sekolah kemarin?”
“Aku
tidak pernah bertemu dengannya. Aku juga tidak tahu darimana dia tahu semua
kelemahanku… tapi, pasti karena ibu atau kakakku yang memberitahu dia.” jawab
Arisa, “Sudahlah… tolong, jangan bahas itu lagi. Aku ingin makan sekarang, aku
lapar.”
Arisa
membuka kotak bekalnya dan melihat isi di dalamnya yang cukup banyak.
“Kalian
mau?” tanyanya.
0 komentar:
Posting Komentar