Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Angel's Lullaby - Chapter 5



Baik Arisa, maupun Haruto sama-sama tidak mengerti kenapa orangtua mereka terlihat sangat terkejut melihat satu sama lain. Arisa menoleh menatap ayahnya. Ayahnya juga kelihatan kaget, walau tidak sekaget ibunya.
Dan lagi, kenapa Liam memanggil ibunya dengan nama Yurina? Nama ibunya, kan, Nina, bukan Yurina. Apa… mereka punya hubungan di masa lalu?

“Ma…”
“A—Sungguh suatu kebetulan bertemu dengan Anda lagi, Tuan Liam.” Kata ibunya sedikit gugup, “Maaaf bila penampilan saya sedikit berantakan. Saya baru saja memanggang kue, dan—”
“Kemana saja kau selama ini?” Liam menyela. “Aku sudah mencarimu selama lebih dari sepuluh tahun. Dan ternyata… astaga… jadi nama Kunisada yang disandang Arisa benar-benar…”
Arisa mulai merasakan gelagat aneh. Dia langsung bersembunyi di belakang punggung ibunya ketika Liam menatapnya dengan tatapan yang aneh, menurut Arisa.
Nina mengetahui kegelisahan putrinya. Ia memeluk Arisa dengan sebelah tangannya dan berdeham.
“Saya tidak kemana-mana. Saya hanya mengikuti pesan terakhir Keiko agar menghilang dari dunia entertainment, sesuai apa yang kami sepakati bersama jika terjadi sesuatu pada salah satu dari kami berdua.” ujar Nina.
“Apa?!”
“Ayah, ada apa ini sebenarnya?” tanya Haruto yang tidak mengerti kenapa ayahnya terlihat kaget, senang, dan heran, bercampur jadi satu.
Liam menatap Haruto, kemudian Arisa yang masih bersembunyi di balik punggung ibunya. Liam ingin mengatakan sesuatu pada Haruto ketika Nina menyuruh Arisa untuk pergi ke kamarnya di lantai dua.
“Arisa, sebaiknya kamu ganti seragam sekolahmu dan langsung makan di dapur.” kata Nina, “Mama dan Papa… akan berbicara dengan Tuan Liam secara pribadi.”
Arisa tidak mengerti kenapa ibunya terlihat gugup dan resah. Tapi, dia tahu sebaiknya tidak mencari tahu. Setelah membungkuk untuk pamit ke lantai dua, gadis itu langsung berlari menaiki tangga.
Nina mengawasi Arisa sampai gadis itu sudah berada di kamarnya dan pintunya tertutup. Ia kemudian menghembuskan nafas dan menatap suaminya. Seakan-akan telah mengerti, Yutaka Kunisada mengangguk dan menyilakan Liam dan Haruto untuk duduk kembali.
“Silakan duduk terlebih dulu.”
Mereka berempat lalu duduk berhadapan. Liam masih tidak melepaskan tatapannya dari Nina, dan itu membuat wanita itu sedikit resah.
Yutaka berdeham, berusaha mencairkan suasana yang meresahkan itu dan menatap Liam.
“Sebelumnya, kami minta maaf, bila tindakan yang diambil oleh Nina membuat Anda khawatir, seperti yang saya lihat pada wajah Anda.” Ujarnya, “Tapi, mohon dimengerti, saat itu, keputusan berada di tangan Keiko, dan Nina hanya mencoba memenuhi janji sahabatnya untuk yang terakhir kali.”
Liam diam.  Dia menatap Nina yang kelihatan sedikit resah.
“Saya juga minta maaf, membuat Anda dan istri Anda kaget.” Kata Liam, “Saya hanya… saya tidak menyangka akan bertemu dengan Yurina—maaf, Nina, lagi.”
“Ayah, apa maksudnya ini?” tanya Haruto yang masih tidak mengerti apa yang terjadi. “Ayah mengenal ibu Arisa? Di mana? Kapan?”
“Haruto, Nina adalah sahabat almarhumah bibimu, Keiko.” Kata Liam, “Apa kau pernah mendengar nama Yurina?”
Haruto mengerutkan kening, “Setahuku, Ayah pernah menyebut nama itu setidaknya beberapa kali. Dan aku sudah pernah membaca tentang pemilik nama itu. Seorang model dan juga penulis lagu yang sangat bertalenta. Lagu-lagu yang ditulisnya sangat menyentuh dan mengagumkan. Tapi, tidak ada yang tahu seperti apa wajah aslinya, karena setiap kali dia menulis lagu, dia hanya menyertakan sebuah gambar ilustrasi seorang wanita berambut panjang dan mengenakan topeng biru. Dalam dunia model ia juga begitu, mengenakan topeng dan berusaha menutupi wajahnya dengan rambut panjangnya…
“… tapi, apa hubungannya dengan Nyonya Nina?” tanya Haruto lagi.
Liam tersenyum kecil, “Dialah Yurina yang sering kusebut itu.” katanya.
“Nyonya Nina?” Haruto membelalak kaget, “Bagaimana—Arisa bilang ibunya hanya seorang ibu rumah tangga biasa… lalu, kenapa?”
“Ada alasannya, Nak Haruto.” Kata Nina menyahut, “Ada alasan kenapa saya tidak pernah muncul lagi di dunia entertainment, terkait janji saya pada almarhumah bibimu, Keiko. Tapi, ya… saya memang Yurina, model bertopeng biru dan juga si penulis lagu yang menulis hampir semua lagu yang dinyanyikan oleh Keiko Kuriyama.”
Haruto menatap takjub Nina. Dia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan orang yang sejak dulu selalu dikaguminya sebagai penulis lagu yang amat indah. Haruto mengenal nama Yurina ketika ia tidak sengaja mendengarkan file lagu di laptop lama milik Liam. Di sana ada folder khusus yang hanya menyimpan file-file mengenai almarhumah bibinya, dan di folder itu jugalah, ia mengetahui nama Yurina.
Liam tersenyum lagi melihat kekagetan serta kekaguman yang terpancar di wajah Haruto. Dia lalu menoleh kearah Nina dan suaminya.
“Nina, kau berhutang penjelasan padaku. Kau tidak tahu seberapa keras usahaku untuk mencarimu.” Ujar Liam, “Kau juga tidak akan tahu bagaimana sedihnya Kazuto ketika mengetahui istri dan putri kecilnya meninggal dalam kecelakaan pesawat 12 tahun lalu.”
“Kazuto mengira putrinya meninggal?” Nina mengerutkan kening. “Bagaimana—astaga, tentu saja begitu…”
“Apa?” tanya Liam.
“Ada sedikit kesalah-pahaman di sini.” ujar Nina, “Dan kesalah-pahaman itu terus berlanjut hingga sekarang hanya karena masalah dendam.”
“Apa maksudmu?” tanya Liam, “Apa yang kamu maksud dengan dendam?”
“Kuharap Anda tidak merasa kaget, marah, atau terkejut ketika mendengar cerita saya. Tapi, ada sedikit kesalah-pahaman yang ingin saya luruskan. Putri Kazuto masih hidup, dan kalian baru saja pulang bersamanya tadi.”
Wajah Liam terlihat sumringah. Perkiraannya ternyata benar.
“Jadi, Arisa benar-benar…”
Nina tidak menjawab, namun tersenyum kecil.
“Ayah, ada apa?” tanya Haruto, “Apa maksud ucapan Nyonya Nina?”
“Haruto,” kata Liam, “Perkiraan yang sempat melintas di kepalaku tadi ternyata benar. Bahkan firasatmu bahwa wajah Arisa mengingatkanmu pada seseorang.”
“Arisa adalah putri bibimu. Dia adalah bayi yang sempat dikabarkan ikut tewas dalam kecelakaan mobil beruntun di jalan tol 12 tahun yang lalu. Itu artinya, dia adalah adik Reno, sekaligus tunangan yang akan menjadi istrimu kelak.”

***

Pembicaraan itu berlangsung lama. Arisa yang sedang makan di dapur hanya samar-samar mendengar pembicaraan kedua orangtuanya dengan Liam dan Haruto. Dia tidak berniat mencari tahu. Toh, keputusan mengenai masalah ini ada pada orangtuanya.
Sambil menyuap nasi ke mulutnya, Arisa kembali memikirkan bagaimana pertimbangan orangtuanya tentang tawaran Liam. Arisa yakin, kedua orangtuanya menyetujui, tapi dengan setengah hati. Mereka tentu tidak senang ia kembali terjun ke dunia entertainment, setelah peristiwa 6 tahun yang lalu…
Mendadak tubuhnya menggigil. Arisa memeluk dirinya sendiri dan memejamkan matanya. Dia tidak merasakan ada seseorang di dekatnya, tapi entah kenapa, dia merasakan perasaan takut yang luar biasa.
“Ya Tuhan… jangan lagi…” katanya lirih.
Perlahan, Arisa membuka matanya, dan menghembuskan nafas lega ketika menyadari dia masih berada di dapur rumahnya.
Arisa menatap makanannya yang masih bersisa banyak. Dia mencoba menghabiskan makan siangnya dan merasa mual. Untuk hal ini, Arisa benar-benar mengutuk trauma yang dimilikinya membuatnya tidak bisa melanjutkan makan siang.
Dia mengambil gelas berisi air putih yang ia letakkan di dekat piring dan meminumnya beberapa teguk. Setelah merasa lebih baik, Arisa menaruh makanannya yang masih bersisa ke dalam kulkas. Ibunya pasti mengerti dia tidak bisa menghabiskan makanannya karena serangan trauma yang kadang-kadang melandanya.
“Arisa,”
Arisa menoleh mendengar suara itu. Ibunya berdiri di depan pintu dapur.
“Mama? Ada apa?”
“Ayo, kita ke ruang tamu.” ujar ibunya, “Tuan Liam ingin kamu juga mendengarkan pembicaraan kami mengenai tawaran kontrak kerja mereka untukmu.”
Arisa mengangguk dan cepat-cepat menaruh piringnya ke dalam kulkas dan mendekati ibunya. Ibunya mengangkat sebelah alis menatapnya.
“Kamu tidak menghabiskan makananmu lagi?” tanya beliau.
“Tadi… Arisa mendapat serangan lagi.” kata Arisa, “Tidak apa, kan, kalau Arisa menaruh makanan Arisa di dalam kulkas? Nanti malam, Arisa janji akan menghabiskannya.”
Ibunya menghela nafas dan mengangguk pelan. Dirangkulnya Arisa dan mereka sama-sama menuju ruang tamu.
Ayahnya masih ada di sana, begitu pula Liam dan Haruto. Mereka sepertinya sedang membicarakan sesuatu yang cukup serius. Arisa berharap yang dibicarakan bukanlah masa lalunya yang… kelam.
Ibunya menyuruh Arisa duduk diantara dirinya dan ayahnya. Arisa menurut dan duduk. Dia menatap ayahnya, dan beliau tersenyum menenangkan Arisa.
“Nah, mengenai tawaran kontrak yang Anda tawarkan pada Arisa,” kata Yutaka, setelah istrinya duduk di samping Arisa, “Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, ini semua benar-benar mengejutkan. Alasan kami mengapa Arisa tidak pernah menginjakkan kaki di dunia entertainment karena… suatu peristiwa, yang membuat Arisa mengalami trauma,”
Tubuh Arisa sedikit menegang. Jadi, benar dugaannya, sebelum ia datang tadi, orangtuanya menceritakan masa lalunya pada Liam dan Haruto. Arisa hanya berharap, Liam dan Haruto tidak memandangnya dengan sebelah mata, seperti orang-orang itu…
“Tapi, semua itu sudah berlalu.” Suara Yutaka membuat Arisa kembali ke alam nyata, “Kami juga menyadari bakat Arisa yang luar biasa. Dan kami menyembunyikannya karena tidak ingin trauma Arisa kambuh. Pada saat itu benar-benar masa yang buruk bagi Arisa, juga bagi kami.”
Yutaka menepuk kepala Arisa dengan lembut.
“Kalau Arisa ingin menerima tawaran kontrak itu, kami akan mendukungnya dengan sepenuh hati.” kata Yutaka, “Apa pun pilihannya, kami akan menerimanya, mendukung, serta melindunginya jika terjadi sesuatu padanya.
“Arisa, apa kamu mau menerima kontrak yang ditawarkan Tuan Liam?”
Arisa mengerjapkan matanya, kaget. Jadi… dia harus memutuskannya sendiri?
“Apa kamu mau menerima tawaran kami?” tanya Liam.
“Itu…”
Arisa menunduk, menatap kedua tangannya yang ada di pangkuannya.
“Tapi, aku tidak tahu kalau nanti…” Arisa menggeleng, “Aku masih takut. Apalagi peristiwa waktu itu—”
“Bila kamu ingin melepaskan sisa-sisa traumamu, ikuti kata hatimu.” Bisik ibunya, “Ketakutanmu itu harus kamu lawan, dan mungkin… sekarang saatnya untuk melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalumu.”
Arisa mendongak dan menatap ibunya yang balas menatapnya dengan penuh kelembutan. Kata-kata itu seakan merasuk ke dalam hati Arisa dan membuat kuat gadis itu. Ia mengangguk tanpa kentara dan menoleh kearah Liam dan Haruto yang menanti jawabannya.
“Aku… aku mau mencobanya.”

1 komentar:

Di lanjut,mkin pnsrn n trtma pd masallu arisa yg mbwt dia trauma dn jgn lma~posty

 

Posting Komentar