Baik
Arisa, maupun Haruto sama-sama tidak mengerti kenapa orangtua mereka terlihat
sangat terkejut melihat satu sama lain. Arisa menoleh menatap ayahnya. Ayahnya
juga kelihatan kaget, walau tidak sekaget ibunya.
Dan
lagi, kenapa Liam memanggil ibunya dengan nama Yurina? Nama ibunya, kan, Nina,
bukan Yurina. Apa… mereka punya hubungan di masa lalu?
“Ma…”
“A—Sungguh
suatu kebetulan bertemu dengan Anda lagi, Tuan Liam.” Kata ibunya sedikit
gugup, “Maaaf bila penampilan saya sedikit berantakan. Saya baru saja
memanggang kue, dan—”
“Kemana
saja kau selama ini?” Liam menyela. “Aku sudah mencarimu selama lebih dari
sepuluh tahun. Dan ternyata… astaga… jadi nama Kunisada yang disandang Arisa
benar-benar…”
Arisa
mulai merasakan gelagat aneh. Dia langsung bersembunyi di belakang punggung
ibunya ketika Liam menatapnya dengan tatapan yang aneh, menurut Arisa.
Nina
mengetahui kegelisahan putrinya. Ia memeluk Arisa dengan sebelah tangannya dan
berdeham.
“Saya
tidak kemana-mana. Saya hanya mengikuti pesan terakhir Keiko agar menghilang
dari dunia entertainment, sesuai apa
yang kami sepakati bersama jika terjadi sesuatu pada salah satu dari kami
berdua.” ujar Nina.
“Apa?!”
“Ayah,
ada apa ini sebenarnya?” tanya Haruto yang tidak mengerti kenapa ayahnya
terlihat kaget, senang, dan heran, bercampur jadi satu.
Liam
menatap Haruto, kemudian Arisa yang masih bersembunyi di balik punggung ibunya.
Liam ingin mengatakan sesuatu pada Haruto ketika Nina menyuruh Arisa untuk
pergi ke kamarnya di lantai dua.
“Arisa,
sebaiknya kamu ganti seragam sekolahmu dan langsung makan di dapur.” kata Nina,
“Mama dan Papa… akan berbicara dengan Tuan Liam secara pribadi.”
Arisa
tidak mengerti kenapa ibunya terlihat gugup dan resah. Tapi, dia tahu sebaiknya
tidak mencari tahu. Setelah membungkuk untuk pamit ke lantai dua, gadis itu
langsung berlari menaiki tangga.
Nina
mengawasi Arisa sampai gadis itu sudah berada di kamarnya dan pintunya
tertutup. Ia kemudian menghembuskan nafas dan menatap suaminya. Seakan-akan
telah mengerti, Yutaka Kunisada mengangguk dan menyilakan Liam dan Haruto untuk
duduk kembali.
“Silakan
duduk terlebih dulu.”
Mereka
berempat lalu duduk berhadapan. Liam masih tidak melepaskan tatapannya dari
Nina, dan itu membuat wanita itu sedikit resah.
Yutaka
berdeham, berusaha mencairkan suasana yang meresahkan itu dan menatap Liam.
“Sebelumnya,
kami minta maaf, bila tindakan yang diambil oleh Nina membuat Anda khawatir,
seperti yang saya lihat pada wajah Anda.” Ujarnya, “Tapi, mohon dimengerti,
saat itu, keputusan berada di tangan Keiko, dan Nina hanya mencoba memenuhi
janji sahabatnya untuk yang terakhir kali.”
Liam
diam. Dia menatap Nina yang kelihatan
sedikit resah.
“Saya
juga minta maaf, membuat Anda dan istri Anda kaget.” Kata Liam, “Saya hanya…
saya tidak menyangka akan bertemu dengan Yurina—maaf, Nina, lagi.”
“Ayah,
apa maksudnya ini?” tanya Haruto yang masih tidak mengerti apa yang terjadi.
“Ayah mengenal ibu Arisa? Di mana? Kapan?”
“Haruto,
Nina adalah sahabat almarhumah bibimu, Keiko.” Kata Liam, “Apa kau pernah
mendengar nama Yurina?”
Haruto
mengerutkan kening, “Setahuku, Ayah pernah menyebut nama itu setidaknya
beberapa kali. Dan aku sudah pernah membaca tentang pemilik nama itu. Seorang
model dan juga penulis lagu yang sangat bertalenta. Lagu-lagu yang ditulisnya
sangat menyentuh dan mengagumkan. Tapi, tidak ada yang tahu seperti apa wajah
aslinya, karena setiap kali dia menulis lagu, dia hanya menyertakan sebuah
gambar ilustrasi seorang wanita berambut panjang dan mengenakan topeng biru.
Dalam dunia model ia juga begitu, mengenakan topeng dan berusaha menutupi
wajahnya dengan rambut panjangnya…
“…
tapi, apa hubungannya dengan Nyonya Nina?” tanya Haruto lagi.
Liam
tersenyum kecil, “Dialah Yurina yang sering kusebut itu.” katanya.
“Nyonya
Nina?” Haruto membelalak kaget, “Bagaimana—Arisa bilang ibunya hanya seorang
ibu rumah tangga biasa… lalu, kenapa?”
“Ada
alasannya, Nak Haruto.” Kata Nina menyahut, “Ada alasan kenapa saya tidak
pernah muncul lagi di dunia entertainment,
terkait janji saya pada almarhumah bibimu, Keiko. Tapi, ya… saya memang Yurina,
model bertopeng biru dan juga si penulis lagu yang menulis hampir semua lagu
yang dinyanyikan oleh Keiko Kuriyama.”
Haruto
menatap takjub Nina. Dia tidak pernah menyangka akan bertemu dengan orang yang
sejak dulu selalu dikaguminya sebagai penulis lagu yang amat indah. Haruto
mengenal nama Yurina ketika ia tidak sengaja mendengarkan file lagu di laptop lama milik Liam. Di sana ada folder khusus yang
hanya menyimpan file-file mengenai
almarhumah bibinya, dan di folder itu jugalah, ia mengetahui nama Yurina.
Liam
tersenyum lagi melihat kekagetan serta kekaguman yang terpancar di wajah Haruto.
Dia lalu menoleh kearah Nina dan suaminya.
“Nina,
kau berhutang penjelasan padaku. Kau tidak tahu seberapa keras usahaku untuk
mencarimu.” Ujar Liam, “Kau juga tidak akan tahu bagaimana sedihnya Kazuto
ketika mengetahui istri dan putri kecilnya meninggal dalam kecelakaan pesawat
12 tahun lalu.”
“Kazuto
mengira putrinya meninggal?” Nina mengerutkan kening. “Bagaimana—astaga, tentu
saja begitu…”
“Apa?”
tanya Liam.
“Ada
sedikit kesalah-pahaman di sini.” ujar Nina, “Dan kesalah-pahaman itu terus
berlanjut hingga sekarang hanya karena masalah dendam.”
“Apa
maksudmu?” tanya Liam, “Apa yang kamu maksud dengan dendam?”
“Kuharap
Anda tidak merasa kaget, marah, atau terkejut ketika mendengar cerita saya.
Tapi, ada sedikit kesalah-pahaman yang ingin saya luruskan. Putri Kazuto masih
hidup, dan kalian baru saja pulang bersamanya tadi.”
Wajah
Liam terlihat sumringah. Perkiraannya ternyata benar.
“Jadi,
Arisa benar-benar…”
Nina
tidak menjawab, namun tersenyum kecil.
“Ayah,
ada apa?” tanya Haruto, “Apa maksud ucapan Nyonya Nina?”
“Haruto,”
kata Liam, “Perkiraan yang sempat melintas di kepalaku tadi ternyata benar.
Bahkan firasatmu bahwa wajah Arisa mengingatkanmu pada seseorang.”
“Arisa
adalah putri bibimu. Dia adalah bayi yang sempat dikabarkan ikut tewas dalam
kecelakaan mobil beruntun di jalan tol 12 tahun yang lalu. Itu artinya, dia
adalah adik Reno, sekaligus tunangan yang akan menjadi istrimu kelak.”
***
Pembicaraan
itu berlangsung lama. Arisa yang sedang makan di dapur hanya samar-samar
mendengar pembicaraan kedua orangtuanya dengan Liam dan Haruto. Dia tidak
berniat mencari tahu. Toh, keputusan mengenai masalah ini ada pada orangtuanya.
Sambil
menyuap nasi ke mulutnya, Arisa kembali memikirkan bagaimana pertimbangan
orangtuanya tentang tawaran Liam. Arisa yakin, kedua orangtuanya menyetujui,
tapi dengan setengah hati. Mereka tentu tidak senang ia kembali terjun ke dunia
entertainment, setelah peristiwa 6
tahun yang lalu…
Mendadak
tubuhnya menggigil. Arisa memeluk dirinya sendiri dan memejamkan matanya. Dia
tidak merasakan ada seseorang di dekatnya, tapi entah kenapa, dia merasakan
perasaan takut yang luar biasa.
“Ya
Tuhan… jangan lagi…” katanya lirih.
Perlahan,
Arisa membuka matanya, dan menghembuskan nafas lega ketika menyadari dia masih
berada di dapur rumahnya.
Arisa
menatap makanannya yang masih bersisa banyak. Dia mencoba menghabiskan makan
siangnya dan merasa mual. Untuk hal ini, Arisa benar-benar mengutuk trauma yang
dimilikinya membuatnya tidak bisa melanjutkan makan siang.
Dia
mengambil gelas berisi air putih yang ia letakkan di dekat piring dan
meminumnya beberapa teguk. Setelah merasa lebih baik, Arisa menaruh makanannya
yang masih bersisa ke dalam kulkas. Ibunya pasti mengerti dia tidak bisa
menghabiskan makanannya karena serangan trauma yang kadang-kadang melandanya.
“Arisa,”
Arisa
menoleh mendengar suara itu. Ibunya berdiri di depan pintu dapur.
“Mama?
Ada apa?”
“Ayo,
kita ke ruang tamu.” ujar ibunya, “Tuan Liam ingin kamu juga mendengarkan
pembicaraan kami mengenai tawaran kontrak kerja mereka untukmu.”
Arisa
mengangguk dan cepat-cepat menaruh piringnya ke dalam kulkas dan mendekati
ibunya. Ibunya mengangkat sebelah alis menatapnya.
“Kamu
tidak menghabiskan makananmu lagi?” tanya beliau.
“Tadi…
Arisa mendapat serangan lagi.” kata Arisa, “Tidak apa, kan, kalau Arisa menaruh
makanan Arisa di dalam kulkas? Nanti malam, Arisa janji akan menghabiskannya.”
Ibunya
menghela nafas dan mengangguk pelan. Dirangkulnya Arisa dan mereka sama-sama
menuju ruang tamu.
Ayahnya
masih ada di sana, begitu pula Liam dan Haruto. Mereka sepertinya sedang
membicarakan sesuatu yang cukup serius. Arisa berharap yang dibicarakan
bukanlah masa lalunya yang… kelam.
Ibunya
menyuruh Arisa duduk diantara dirinya dan ayahnya. Arisa menurut dan duduk. Dia
menatap ayahnya, dan beliau tersenyum menenangkan Arisa.
“Nah,
mengenai tawaran kontrak yang Anda tawarkan pada Arisa,” kata Yutaka, setelah
istrinya duduk di samping Arisa, “Seperti yang saya ceritakan sebelumnya, ini
semua benar-benar mengejutkan. Alasan kami mengapa Arisa tidak pernah menginjakkan
kaki di dunia entertainment karena…
suatu peristiwa, yang membuat Arisa mengalami trauma,”
Tubuh
Arisa sedikit menegang. Jadi, benar dugaannya, sebelum ia datang tadi,
orangtuanya menceritakan masa lalunya pada Liam dan Haruto. Arisa hanya berharap,
Liam dan Haruto tidak memandangnya dengan sebelah mata, seperti orang-orang
itu…
“Tapi,
semua itu sudah berlalu.” Suara Yutaka membuat Arisa kembali ke alam nyata,
“Kami juga menyadari bakat Arisa yang luar biasa. Dan kami menyembunyikannya
karena tidak ingin trauma Arisa kambuh. Pada saat itu benar-benar masa yang
buruk bagi Arisa, juga bagi kami.”
Yutaka
menepuk kepala Arisa dengan lembut.
“Kalau
Arisa ingin menerima tawaran kontrak itu, kami akan mendukungnya dengan sepenuh
hati.” kata Yutaka, “Apa pun pilihannya, kami akan menerimanya, mendukung,
serta melindunginya jika terjadi sesuatu padanya.
“Arisa,
apa kamu mau menerima kontrak yang ditawarkan Tuan Liam?”
Arisa
mengerjapkan matanya, kaget. Jadi… dia harus memutuskannya sendiri?
“Apa
kamu mau menerima tawaran kami?” tanya Liam.
“Itu…”
Arisa
menunduk, menatap kedua tangannya yang ada di pangkuannya.
“Tapi,
aku tidak tahu kalau nanti…” Arisa menggeleng, “Aku masih takut. Apalagi
peristiwa waktu itu—”
“Bila
kamu ingin melepaskan sisa-sisa traumamu, ikuti kata hatimu.” Bisik ibunya,
“Ketakutanmu itu harus kamu lawan, dan mungkin… sekarang saatnya untuk
melepaskan diri dari bayang-bayang masa lalumu.”
Arisa
mendongak dan menatap ibunya yang balas menatapnya dengan penuh kelembutan.
Kata-kata itu seakan merasuk ke dalam hati Arisa dan membuat kuat gadis itu. Ia
mengangguk tanpa kentara dan menoleh kearah Liam dan Haruto yang menanti
jawabannya.
“Aku…
aku mau mencobanya.”
1 komentar:
Di lanjut,mkin pnsrn n trtma pd masallu arisa yg mbwt dia trauma dn jgn lma~posty
Posting Komentar