“Kenapa Mama ada di sini?”
Kay menatap ibunya yang ia yakin
sedang menatapnya dari balik kacamata hitam yang dikenakannya.
“Kenapa aku ada di sini? Sudah
jelas untuk menemuimu, kan?” kata ibunya, “Bukankah kamu penasaran siapa yang
menculik Reina?”
“Aku memang penasaran.” balas Kay,
“Dan… Mama pelakunya?”
“Ya. Aku pelakunya. Ada masalah
dengan itu?”
“Kenapa Mama menculik Reina? Apa
hanya karena aku cucu dari Herlangga Gunawan?” tanya Kay, “Mama ini bodoh atau
apa, sih?”
“Jangan mengatai orangtuamu dengan
sebutan bodoh, Kay. Itu tidak sopan.” Jawab ibunya. “Aku punya beberapa alasan
kenapa aku harus menculik pacarmu itu. Tapi alasan yang paling dasar adalah
karena dia mengingatkanku pada wanita yang kubenci.”
Kay mengerutkan kening mendengar
ucapan ibunya, tapi dia tidak bertanya lebih jauh dan membiarkan beliau
meneruskan ucapannya.
“Dia mengingatkanku pada Helena.”
Helena?
“Dan aku tidak suka jika anak
perempuan itu masih hidup, padahal aku sudah membunuhnya bersama dengan wanita
itu. Seharusnya anak itu sudah mati bersama ibunya.”
“Bukankah Tante Renata adalah ibu
Reina? Kenapa Mama bilang—” kening Kay yang berkerut perlahan memudar dan dia
menatap ibunya dengan tatapan tidak percaya, “Reina… bukan anak kandung Tante
Renata?”
“Dia memang bukan anak kandung
Renata. Sejak dulu Renata tidak pernah bisa memiliki anak.” kata ibunya lagi,
“Aku tahu karena dulunya aku adalah teman Renata, dan juga Helena, wanita yang
kubenci itu.”
“Dan, kamu tahu, Kay, seharusnya
kamu tidak pernah berhubungan dengan gadis itu.”
“Atas dasar apa kamu melarangku?”
balas Kay sinis, “Kamu bukan orang yang bisa mengaturku sesuka hatimu.”
“Ah, ya… aku mengerti.” kata ibunya
sambil tersenyum kecil, “Jadi, kamu tidak keberatan kalau aku membeberkan satu
rahasia yang mungkin akan membuatmu berpikir dua kali tentangku?”
“Apa pun yang kamu katakan tidak
akan membuatku tertipu. Sekarang, di mana Reina?”
“Tidak sabaran, rupanya…” ibunya
menggeleng-gelengkan kepala, “Kalian, bawa gadis itu kemari.”
“Baik!!”
Orang-orang itu berjalan ke salah satu
dermaga. Beberapa saat kemudian, mereka kembali bersama Reina yang berjalan
sambil menunduk.
“Reina!”
Reina mendongak dan terkejut
melihat Kay. Dia juga melihat Maria di belakang cowok itu dan sedikit takut.
Kay segera berlari menghampiri
Reina dan menarik gadis itu kearahnya.
“Kay? Kenapa—”
“Syukurlah kamu tidak apa-apa.”
kata Kay, “Sekarang…”
Kay menoleh kearah ibunya. Maria
hanya diam ketika Kay menatapnya dengan tatapan tajam.
“Jangan kira aku akan membiarkanmu
membawa gadis itu, Kay.” Kata ibunya, “Lepaskan gadis itu, Kay. Biarkan saja
dia mati di sini.”
“Ap—”
“Kenapa aku harus mati?” tanya
Reina, “Apa karena aku mirip dengan ibu kandungku?”
“Eh?”
Kay menatap Reina dengan kening
berkerut. Apa maksudnya Reina mirip dengan ibu kandungnya?
“Reina, apa maksudmu? Tante Renata,
kan…”
Reina menggeleng pelan, “Mama
bukanlah ibuku yang sebenarnya.” katanya, “Ibuku… ibu kandungku…”
“… dia adalah adikmu, Kay.”
“Apa?” Kay menoleh kearah ibunya.
“Reina adalah adikmu. Adik
kembarmu.” Kata ibunya, “Dan ibu kalian berdua adalah Helena Gunawan, anak
angkat dari keluarga Gunawan yang merebut Alfatio dariku.”
***
“Adik… kembar?”
“Kau mungkin tidak menyadarinya,
Kay, tapi Reina memiliki struktur wajah dan mata yang sama denganmu.” kata
ibunya sambil menatap benci kearah mereka berdua, “Aku mau mengakuimu sebagai
anak juga karena atas suruhan Alfatio. Andai dia tidak menyuruhku merawatmu,
aku juga akan membunuhmu, Kay.”
“Ap—Reina… Reina adikku?”
Kay menatap Reina lekat-lekat
sementara gadis itu menunduk dalam-dalam.
“Tapi, kenapa…”
“Ibu kandungku—ibu kandung kita,
meninggal ketika melahirkan kita berdua.” kata Reina lirih, “Dan kemudian aku
dititipkan pada Mama sementara kamu dititipkan pada Tante Maria.”
“Bagaimana kamu bisa yakin?”
“Regina yang menceritakannya
padaku.” kata Reina, “Dan Tante Maria yang menceritakannya pada Regina.”
“Intinya,” kata Maria, “Kalian
berdua lebih baik mati di sini. Aku sudah bosan mengurusmu, Kay. Dan jika aku
membuat kematianmu seperti kecelakaan, uang asuransimu akan jatuh ke tanganku,
begitu pula dengan harta warisan Gunawan.”
“Masih saja membicarakan soal
harta? Kau benar-benar wanita yang serakah!”
“Terserah kau mau bilang apa.” ujar
Maria.
Para penculik itu lalu berdiri
mengelilingi Kay dan Reina. Cowok itu memeluk Reina lebih erat dan menatap
sekelilingnya.
“Aku ingin memberimu satu
kesempatan, Kay,” kata ibunya lagi, “Aku akan membiarkanmu hidup, tapi kamu
harus membiarkanku membunuh gadis itu.”
“Aku tidak mau.” balas Kay, “Kalau
benar Reina adalah adikku… aku akan melindunginya.”
“Benar-benar memuakkan…” Maria
menghembuskan nafas, “Mungkin sebaiknya aku membiarkan kalian berdua mati saja,
ya?”
Para penculik yang mengepungnya
mengeluarkan tongkat besi dan beberapa ada yang memegang pistol. Kay
memperhatikan senjata mereka satu-persatu.
Saatnya
harus tepat!
“Lakukan,”
Mereka semua menyerang Kay
bersamaan. Kay langsung menghindari serangan tongkat besi yang diarahkan
padanya. Cukup mudah menghindari semuanya, namun pandangan Kay terkunci pada
mereka yang menggunakan pistol. Kalau menghindari serangan tongkat saja dia
bisa melakukannya. Tapi kalau pistol…
… itu tidak mungkin.
“Kay, awas!!”
Kay merunduk dan menendang tongkat
besi itu dari pandangannya.
“Tetap berada di dekatku.” kata Kay
pada Reina.
“T, tapi mereka bisa membunuhmu.”
Kata Reina, menatap pistol yang teracung kearah mereka.
“Tenang saja, aku tidak akan mati
semudah itu. Kalau aku mati, untuk apa latihan yang selama ini kujalani?” ujar
Kay, “Lagipula aku tidak datang sendiri ke sini.”
“Eh?”
Kay menghindari lagi serangan
tongkat besi yang mengarah kearahnya dan kemudian bersiul keras. Awalnya mereka
tidak tahu kenapa Kay bersiul, begitupula Reina.
“Untuk apa kamu bersiul, Kay? Mau
memanggil burung?” kata Maria sambil tertawa mengejek. “Anak-anak, tembak saja
mereka. Lebih cepat mereka mati, lebih cepat juga kalian mendapatkan bayaran
kalian.”
“Kalian tidak akan bisa menembak
kami.” Ujar Kay, “Coba lihat di belakang kalian.”
Mereka semua melihat ke belakang
dan terkejut melihat polisi berdiri di sekeliling mereka sambil mengacungkan pistol.
“Ciluk ba.” Kata Kay sambil tersenyum, “Maaf
saja, Ma. Tapi, aku tidak tahu Mama dan orang-orang suruhan Mama ini bisa
sebegitu bodohnya mengira aku datang sendiri kemari.”
“Kay, kau…”
“Lepaskan senjata kalian dan angkat
tangan!”
Maria menatap para polisi itu
kemudian kearah Kay. Kemarahan terlihat jelas di wajah wanita itu. Bahkan
ketika ia diringkus oleh polisi, Maria masih menatap Kay dengan pandangan
marah.
“Kau akan menyesal karena sudah
membuatku seperti ini, Kay.” Kata ibunya.
“Aku tidak menyesal sama sekali,
tuh.” Balas Kay.
Maria menyipitkan matanya mendengar
ucapan Kay, namun kemudian dia tertawa keras.
“Sepertinya keberuntungan memang
berpihak padaku.” katanya.
“Ap—”
Reina yang berada di samping Kay
tiba-tiba limbung hingga Kay harus menahan tubuhnya berlumuran darah.agar tidak
terjatuh.
“Reina!”
Kay menahan tubuh Reina dan
terkejut melihat darah mengalir dari punggung gadis itu. Ia menoleh ke belakang
dan melihat Regina berdiri tidak jauh dari mereka sambil memegang sepucuk
pistol. Dan melihat dari selongsong pelurunya yang mengeluarkan asap, dari
sanalah asal luka di punggung Reina.
“Wah… tembakanku tepat sekali, ya?”
kata Regina sambil tersenyum, “Kay, gadis itu harus mati, seperti kata Tante
Maria.”
“Kau—”
Reina melihat wajah Kay yang
menatap marah kearah Regina dan menyentuh tangannya. Cowok itu menunduk menatap
Reina dan melihat gadis itu meringis pelan. Darah mengalir menembus bajunya dan
membuat tangan Kay
“Kay… sakit…”
Kemudian kesadarannya menghilang
seiring dengan Kay memanggil-manggil namanya.
0 komentar:
Posting Komentar