Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Farewell Rain - Chapter 18



“Kenapa Mama ada di sini?”
Kay menatap ibunya yang ia yakin sedang menatapnya dari balik kacamata hitam yang dikenakannya.
“Kenapa aku ada di sini? Sudah jelas untuk menemuimu, kan?” kata ibunya, “Bukankah kamu penasaran siapa yang menculik Reina?”

“Aku memang penasaran.” balas Kay, “Dan… Mama pelakunya?”
“Ya. Aku pelakunya. Ada masalah dengan itu?”
“Kenapa Mama menculik Reina? Apa hanya karena aku cucu dari Herlangga Gunawan?” tanya Kay, “Mama ini bodoh atau apa, sih?”
“Jangan mengatai orangtuamu dengan sebutan bodoh, Kay. Itu tidak sopan.” Jawab ibunya. “Aku punya beberapa alasan kenapa aku harus menculik pacarmu itu. Tapi alasan yang paling dasar adalah karena dia mengingatkanku pada wanita yang kubenci.”
Kay mengerutkan kening mendengar ucapan ibunya, tapi dia tidak bertanya lebih jauh dan membiarkan beliau meneruskan ucapannya.
“Dia mengingatkanku pada Helena.”
Helena?
“Dan aku tidak suka jika anak perempuan itu masih hidup, padahal aku sudah membunuhnya bersama dengan wanita itu. Seharusnya anak itu sudah mati bersama ibunya.”
“Bukankah Tante Renata adalah ibu Reina? Kenapa Mama bilang—” kening Kay yang berkerut perlahan memudar dan dia menatap ibunya dengan tatapan tidak percaya, “Reina… bukan anak kandung Tante Renata?”
“Dia memang bukan anak kandung Renata. Sejak dulu Renata tidak pernah bisa memiliki anak.” kata ibunya lagi, “Aku tahu karena dulunya aku adalah teman Renata, dan juga Helena, wanita yang kubenci itu.”
“Dan, kamu tahu, Kay, seharusnya kamu tidak pernah berhubungan dengan gadis itu.”
“Atas dasar apa kamu melarangku?” balas Kay sinis, “Kamu bukan orang yang bisa mengaturku sesuka hatimu.”
“Ah, ya… aku mengerti.” kata ibunya sambil tersenyum kecil, “Jadi, kamu tidak keberatan kalau aku membeberkan satu rahasia yang mungkin akan membuatmu berpikir dua kali tentangku?”
“Apa pun yang kamu katakan tidak akan membuatku tertipu. Sekarang, di mana Reina?”
“Tidak sabaran, rupanya…” ibunya menggeleng-gelengkan kepala, “Kalian, bawa gadis itu kemari.”
“Baik!!”
Orang-orang itu berjalan ke salah satu dermaga. Beberapa saat kemudian, mereka kembali bersama Reina yang berjalan sambil menunduk.
“Reina!”
Reina mendongak dan terkejut melihat Kay. Dia juga melihat Maria di belakang cowok itu dan sedikit takut.
Kay segera berlari menghampiri Reina dan menarik gadis itu kearahnya.
“Kay? Kenapa—”
“Syukurlah kamu tidak apa-apa.” kata Kay, “Sekarang…”
Kay menoleh kearah ibunya. Maria hanya diam ketika Kay menatapnya dengan tatapan tajam.
“Jangan kira aku akan membiarkanmu membawa gadis itu, Kay.” Kata ibunya, “Lepaskan gadis itu, Kay. Biarkan saja dia mati di sini.”
“Ap—”
“Kenapa aku harus mati?” tanya Reina, “Apa karena aku mirip dengan ibu kandungku?”
“Eh?”
Kay menatap Reina dengan kening berkerut. Apa maksudnya Reina mirip dengan ibu kandungnya?
“Reina, apa maksudmu? Tante Renata, kan…”
Reina menggeleng pelan, “Mama bukanlah ibuku yang sebenarnya.” katanya, “Ibuku… ibu kandungku…”
“… dia adalah adikmu, Kay.”
“Apa?” Kay menoleh kearah ibunya.
“Reina adalah adikmu. Adik kembarmu.” Kata ibunya, “Dan ibu kalian berdua adalah Helena Gunawan, anak angkat dari keluarga Gunawan yang merebut Alfatio dariku.”

***

“Adik… kembar?”
“Kau mungkin tidak menyadarinya, Kay, tapi Reina memiliki struktur wajah dan mata yang sama denganmu.” kata ibunya sambil menatap benci kearah mereka berdua, “Aku mau mengakuimu sebagai anak juga karena atas suruhan Alfatio. Andai dia tidak menyuruhku merawatmu, aku juga akan membunuhmu, Kay.”
“Ap—Reina… Reina adikku?”
Kay menatap Reina lekat-lekat sementara gadis itu menunduk dalam-dalam.
“Tapi, kenapa…”
“Ibu kandungku—ibu kandung kita, meninggal ketika melahirkan kita berdua.” kata Reina lirih, “Dan kemudian aku dititipkan pada Mama sementara kamu dititipkan pada Tante Maria.”
“Bagaimana kamu bisa yakin?”
“Regina yang menceritakannya padaku.” kata Reina, “Dan Tante Maria yang menceritakannya pada Regina.”
“Intinya,” kata Maria, “Kalian berdua lebih baik mati di sini. Aku sudah bosan mengurusmu, Kay. Dan jika aku membuat kematianmu seperti kecelakaan, uang asuransimu akan jatuh ke tanganku, begitu pula dengan harta warisan Gunawan.”
“Masih saja membicarakan soal harta? Kau benar-benar wanita yang serakah!”
“Terserah kau mau bilang apa.” ujar Maria.
Para penculik itu lalu berdiri mengelilingi Kay dan Reina. Cowok itu memeluk Reina lebih erat dan menatap sekelilingnya.
“Aku ingin memberimu satu kesempatan, Kay,” kata ibunya lagi, “Aku akan membiarkanmu hidup, tapi kamu harus membiarkanku membunuh gadis itu.”
“Aku tidak mau.” balas Kay, “Kalau benar Reina adalah adikku… aku akan melindunginya.”
“Benar-benar memuakkan…” Maria menghembuskan nafas, “Mungkin sebaiknya aku membiarkan kalian berdua mati saja, ya?”
Para penculik yang mengepungnya mengeluarkan tongkat besi dan beberapa ada yang memegang pistol. Kay memperhatikan senjata mereka satu-persatu.
Saatnya harus tepat!
“Lakukan,”
Mereka semua menyerang Kay bersamaan. Kay langsung menghindari serangan tongkat besi yang diarahkan padanya. Cukup mudah menghindari semuanya, namun pandangan Kay terkunci pada mereka yang menggunakan pistol. Kalau menghindari serangan tongkat saja dia bisa melakukannya. Tapi kalau pistol…
… itu tidak mungkin.
“Kay, awas!!”
Kay merunduk dan menendang tongkat besi itu dari pandangannya.
“Tetap berada di dekatku.” kata Kay pada Reina.
“T, tapi mereka bisa membunuhmu.” Kata Reina, menatap pistol yang teracung kearah mereka.
“Tenang saja, aku tidak akan mati semudah itu. Kalau aku mati, untuk apa latihan yang selama ini kujalani?” ujar Kay, “Lagipula aku tidak datang sendiri ke sini.”
“Eh?”
Kay menghindari lagi serangan tongkat besi yang mengarah kearahnya dan kemudian bersiul keras. Awalnya mereka tidak tahu kenapa Kay bersiul, begitupula Reina.
“Untuk apa kamu bersiul, Kay? Mau memanggil burung?” kata Maria sambil tertawa mengejek. “Anak-anak, tembak saja mereka. Lebih cepat mereka mati, lebih cepat juga kalian mendapatkan bayaran kalian.”
“Kalian tidak akan bisa menembak kami.” Ujar Kay, “Coba lihat di belakang kalian.”
Mereka semua melihat ke belakang dan terkejut melihat polisi berdiri di sekeliling mereka sambil mengacungkan pistol.
 “Ciluk ba.” Kata Kay sambil tersenyum, “Maaf saja, Ma. Tapi, aku tidak tahu Mama dan orang-orang suruhan Mama ini bisa sebegitu bodohnya mengira aku datang sendiri kemari.”
“Kay, kau…”
“Lepaskan senjata kalian dan angkat tangan!”
Maria menatap para polisi itu kemudian kearah Kay. Kemarahan terlihat jelas di wajah wanita itu. Bahkan ketika ia diringkus oleh polisi, Maria masih menatap Kay dengan pandangan marah.
“Kau akan menyesal karena sudah membuatku seperti ini, Kay.” Kata ibunya.
“Aku tidak menyesal sama sekali, tuh.” Balas Kay.
Maria menyipitkan matanya mendengar ucapan Kay, namun kemudian dia tertawa keras.
“Sepertinya keberuntungan memang berpihak padaku.” katanya.
“Ap—”
Reina yang berada di samping Kay tiba-tiba limbung hingga Kay harus menahan tubuhnya berlumuran darah.agar tidak terjatuh.
“Reina!”
Kay menahan tubuh Reina dan terkejut melihat darah mengalir dari punggung gadis itu. Ia menoleh ke belakang dan melihat Regina berdiri tidak jauh dari mereka sambil memegang sepucuk pistol. Dan melihat dari selongsong pelurunya yang mengeluarkan asap, dari sanalah asal luka di punggung Reina.
“Wah… tembakanku tepat sekali, ya?” kata Regina sambil tersenyum, “Kay, gadis itu harus mati, seperti kata Tante Maria.”
“Kau—”
Reina melihat wajah Kay yang menatap marah kearah Regina dan menyentuh tangannya. Cowok itu menunduk menatap Reina dan melihat gadis itu meringis pelan. Darah mengalir menembus bajunya dan membuat tangan Kay
“Kay… sakit…”
Kemudian kesadarannya menghilang seiring dengan Kay memanggil-manggil namanya.

0 komentar:

Posting Komentar