Runa’s Side
Setelah mengajakku ke toko dan membeli rantai
kalung untuk bandul yang diberikannya padaku sebagai kalung pertunangan, Rei
mengajakku pulang. Tangannya terus menggenggam tanganku, bahkan tidak melepaskannya
barang sedetik pun seperti saat kami berangkat tadi.
Kecuali saat kami keluar dari
mobil, tentu saja kami harus melepaskan tangan kami. Karena bagaimana kami bisa
keluar dari mobil kalau kami masih tetap berpegangan tangan?
Mobil yang dikemudikan Rei sampai
di basement apartemen. Kami berdua
keluar dari dalam mobil dan berjalan bersama kearah lift.
“Rei,”
“Ya?”
“Besok… kamu akan mengajakku ke
markas Raven, kan?” kataku, “Apa… apa tidak apa-apa? Maksudku, aku memang ingin
tahu apakah aku benar pewaris Ragnarok, tapi… tapi kalau orang-orang tahu aku Claydoll, mereka akan mencapmu sebagai
seorang pengkhianat karena menyembunyikanku dari eksekusi.”
“Orang-orang tidak akan tahu kamu Claydoll.” Jawabnya. “Aku akan
memastikan hal itu. Kamu jangan terlalu khawatir begitu. Setahuku Claydoll tidak memiliki perasaan
khawatir, tuh.”
Aku mendelik padanya, tahu kalau
dia hanya bercanda. Tapi, tetap saja…
“Aku di bawah pengaruh obat, Rei.
Karena itu aku tidak pernah merasa khawatir.” Kataku, “Dan kurasa hanya aku
saja Claydoll yang diberi obat
terus-menerus. Sudah kubilang kalau Profesor Diva dan semua orang di tempat itu
mengatakan aku istimewa, walau aku tidak tahu kenapa aku disebut demikian…”
Rei menggenggam tanganku dan
membawanya ke bibirnya. Dia mencium singkat punggung tanganku.
“Tidak perlu mengingat hal itu
lagi. Kurasa aku juga sudah mengatakan hal ini berkali-kali.” Ujarnya,
“Sekarang ini kamu adalah Hanae Runa. Bukan Fuyuki atau Claydoll milik Clematis.”
“Aku tahu, tapi… kalau kamu sampai
dicap sebagai pengkhianat hanya karena menyembunyikanku… kurasa aku tidak…
tidak…”
“Tidak perlu khawatir. Toh, mereka
pasti mengerti kenapa aku menyembunyikanmu.”
“Begitukah?”
“Hei… tingkatku lebih tinggi
daripada semua orang yang ada di markas Raven. Aku termasuk anggota penting di
sana.” dia tersenyum lebar. “Lupakan semua tentang itu. Sekarang aku harus
melakukan sesuatu padamu.”
“Melakukan sesuatu padaku?”
“Bukankah sudah kubilang kalau kamu
menjawab ‘iya’ atas pernyataanku, aku akan mengurungmu seharian di kamarku?”
“Tidak mau!!” aku menjawab cepat,
“Aku tidak mau dikurung di kamarmu. Memangnya kamu ingin melakukan apa padaku?”
“Hmmm… apa, ya?” dia menatapku
sambil tersenyum dengan sebelah bibir.
“R, Rei… jangan bercanda, dong.”
kataku.
Rei tertawa, dan saat pintu lift
terbuka, dia menyelipkan kedua lengannya di belakang punggung dan kakiku
kemudian menggendongku. Kedua tanganku secara refleks merangkul lehernya dan
dia kembali tertawa.
“Rei!!!”
“Jangan khawatir… aku tidak akan
melakukan sesuatu yang akan membuatmu malu.” Katanya, “Lagipula, berada di
kamarku adalah hal langka, lho. Leia yang sering menginap di apartemenku saja
tidak pernah kuizinkan masuk ke dalam kamarku kecuali saat aku tidur siang.”
“I, itu kan beda! A, aku…”
“Memang beda. Karena itu, aku ingin
menjadikanmu orang yang pertama kali masuk ke wilayah pribadiku.”
“Y, yang pertama…” pipiku memerah
mendengarnya dan aku segera menyembunyikan wajahku di lekukan lehernya. “Tapi…
aku sudah pernah masuk ke kamarmu saat membangunkanmu saat tidur siang dulu.”
“Itu beda. Kali ini aku akan
benar-benar membuatmu menjadi yang pertama yang masuk ke kamarku.” Katanya.
“Memangnya ada hal yang baru di
kamarmu?”
“Iya.”
“Apa?”
“Kamu.”
Kudengar dia tertawa, kemudian
dengan entengnya dia membawaku menuju apartemennya ketika pintu lift terbuka beberapa saat kemudian.
***
Runa’s Side
Ini memang kedua kalinya aku masuk ke dalam
kamar Rei, tapi aku tidak tahu harus mengatakan apa karena ternyata… yah,
kamarnya benar-benar di luar dugaanku. Kemarin, warna dindingnya masih berwarna
biru, tapi sepertinya Rei mengganti warna cat kamarnya.
Nyaris semua benda di sini berwarna
hitam, seperti yang terakhir kali kulihat. Mulai dari tempat tidur. meja,
sampai lemari. Semuanya berwarna hitam. Bahkan dindingnya juga dicat warna
hitam.
“Ini hanya perasaanku saja atau
kamarmu memang lebih suram daripada ruangan yang lain?” tanyaku. “Kamu
mengganti warna cat kamarmu?”
“Hm? Selain suka warna biru dan
putih aku juga penyuka warna hitam.” Kata Rei, “Dari dulu aku juga suka warna
hitam. Karena warna hitam tidak membuat mataku sakit, aku memilih warna hitam
untuk mengganti warna cat biru kamarku.”
“Oh…”
Rei merebahkanku di atas tempat
tidurnya dan dia sendiri berbaring di sampingku. Lengannya memelukku dan
dagunya berada tepat di atas kepalaku.
“Sudah lama sekali aku ingin tidur
bareng denganmu,” katanya, “Rasanya seperti kembali ke masa lalu, ya?”
“Aku masih belum bisa mengingatnya
dengan baik.” ujarku, “Aku tidak ingat apakah kita sering tidur berpelukan
seperti ini. Aku belum mendapat kilas balik masa laluku beberapa hari ini.”
“Dulu kita sering tidur berpelukan
seperti sekarang. Waktu kecil, kamu paling takut tidur sendirian di malam hari
apalagi ketika hujan turun disertai petir. Dan karena aku yang paling dekat
denganmu selain ibu panti asuhan, biasanya kamu meyelinap ke dalam selimutku
dan minta ditemani tidur.”
Aku tidak terlalu bisa mengingat
kenangan itu, namun hatiku tahu perkataan Rei benar. Aku hanya tersenyum dan
merapatkan tubuhku padanya. Kehangatan pelukan Rei sangat menenangkan dan
membuatku tidak ingin melepaskan diri dari pelukannya.
“Leia-san akan datang kemari malam ini, kan?” tanyaku. “Katanya dia akan
memasak makan malam untuk kita.”
“Leia memang ibu yang bisa
diandalkan.” Rei tersenyum lebar, “Mungkin sebaiknya aku memberinya hadiah
istimewa di hari ulang tahunnya nanti.”
“Memang harus.” Aku tersenyum.
“Runa,”
“Hm?”
“Kalung itu tampak manis di
lehermu.” Katanya sambil menyentuh kalung yang melingkari leherku, “Pilihanku
benar-benar pas. Rantai kalungnya tidak membuatmu gatal, kan?”
“Aku tidak punya alergi terhadap
perhiasan.” Ujarku.
“Baguslah.” Dia mencium puncak
kepalaku, “Aku kira pilihanku salah. Tapi ternyata tidak.”
“Kalungmu juga bagus.” Aku menatap
kalung dengan bandul yang nyaris sama seperti milikku, hanya saja bandulnya
berwarna putih dan biru yang memang warna kesukaan Rei.
“Dengan begini kita resmi menjadi
kekasih, kan?” dia tersenyum lebar. “Dan karena sekarang kita adalah sepasang
kekasih, boleh dong kalau aku menciummu?”
“Kamu sudah sering main cium
sembarangan. Untuk apa lagi kamu meminta izin?” balasku.
“Siapa tahu…” dia terkekeh.
“Rasanya seperti mimpi, aku bisa
menemukanmu.” Ujarnya, “Sepertinya pencarianku tidak sia-sia. Tapi aku sempat
kaget juga kenapa kita bisa bertemu seperti ini.”
“Apa kamu tidak suka?”
“Aku senang, sangat senang malah.”
Katanya, “Aku malah berharap kita bisa hidup berdua dan tidak ada yang
mengganggu, termasuk Leon dan yang lain.”
“Hmm… itu akan sangat sulit,
mengingat mereka adalah teman dekatmu.” Kataku.
“Memang.” Dia mengangguk, “Kenapa
kita membicarakan hal serius, sih?”
“Entahlah. Bukankah kamu yang tadi
memulai?”
“Benar juga…”
Rei menghembuskan nafas dan
memejamkan matanya.
“Tidur?” tanyaku.
“Ya. Entah kenapa aku selalu
mengantuk dan rasanya ingin selalu tidur jika sudah menyentuh kasur.” Dia
tertawa, “Kamu mau menemaniku tidur, kan?”
“Bagaimana aku bisa menolak kalau
kamu saja sudah memelukku seperti ini?” balasku. “Tidurlah. Kalau sudah sore,
aku akan membangunkanmu.”
“Mm… selamat tidur, ohime-sama.”
Aku mendengar suara nafasnya
terdengar lebih teratur beberapa saat kemudian, dan detik itu juga aku tahu Rei
sudah tertidur pulas. Hal itu sempat membuatku kaget. Rei ternyata memang
seorang tukang tidur rupanya. Buktinya dia bisa jatuh tertidur hanya dalam
hitungan detik!
Aku mengelus rambutnya yang
berwarna keperakan dan tersenyum kecil. Saat seperti ini, Rei tampak polos dan
lebih mirip anak kecil. Kedua tangannya memelukku sangat erat, seolah takut aku
akan meninggalkannya.
“Mendou no otoko da ne…[1]”
kataku sambil tertawa kecil.
Rei bergerak dalam tidurnya dan
kudengar bibirnya menyebut namaku lirih. Hmm… dia pasti sedang bermimpi sesuatu
tentangku. Membayangkannya saja membuatku tersenyum lebar.
Aku mencium pipinya dan
menyandarkan kepalaku di lekukan lehernya. Kubiarkan rasa kantuk yang mulai
datang menghampiri mengambil alih kesadaranku.
***
Rei’s Side
Ketika aku terbangun, kulihat langit di luar
sudah gelap, dan begitu pula kamarku. Sepertinya lagi-lagi aku kebablasan tidur
dan tidak ingat waktu.
Aku menguap dan menoleh ke samping
saat merasakan gerakan di dekatku. Aku tersenyum kecil melihat Runa tertidur
dengan sebagian wajah tertutup oleh helai-helai rambutnya. Kusibakkan rambutnya
dan melihat wajahnya yang tidur dalam damai.
Aku menyalakan lampu tidur di
dekatku dan meletakkan kepala Runa di atas bantal dengan hati-hati. Syukurlah
dia tidak terbangun saat aku memindahkan kepalanya ke atas bantal. Kalau dia
terbangun, mungkin dia akan panic dan merasa ketakutan karena ruangan ini
gelap. Traumanya dengan kegelapan masih belum hilang, begitu pula dengan
pengalaman buruk lain yang dia dapat selama menjadi Claydoll milik Clematis.
Aku meregangkan badanku dan
beranjak dari kasur. Kunyalakan lampu kamar dan melihat kearah jam. Sudah jam 7
malam. Sial. Itu artinya Leia pasti sudah datang dan mungkin sedang memasakkan
sesuatu di dapur.
Kubuka pintu kamar dan aku langsung
mencium aroma masakan yang menggiurkan. Dugaanku tentang Leia sudah datang
ternyata benar, dan menilik dari aromanya, Leia pasti sedang membuat sup jamur
favoritku.
Kulangkahkan kakiku kearah dapur
dan melihat Leia yang sedang berhadapan dengan kompor. Ketika aku masuk ke
dapur, dia menoleh dan tersenyum lebar padaku.
“Ketiduran lagi?” tanyanya.
“Begitulah,” aku mengedikkan bahu
dan menggaruk-garuk kepalaku, “Masak apa?”
“Sup jamur kesukaanmu. Aku juga
membuat teh. Hari ini udaranya benar-benar dingin.”
Aku tersenyum dan memperhatikannya
memasak. Leia sering berperan sebagai ibuku, bahkan ketika aku pertama kali
masuk ke dalam organisasi. Leia adalah anggota yang ditunjuk untuk merawatku
selain Leon dan Alex. Karena itulah aku lebih dekat dengan mereka bertiga
dibanding orang lain sampai-sampai hafal kebiasaan masing-masing.
“Oh ya, di mana Runa-chan?”
“Sedang tidur.” jawabku.
“Tidur? Di kamarmu, kan?”
“Tahu dari mana kamu?”
“Rahasia,” dia tersenyum lebar,
“Lagipula kamu tahu sendiri aku bisa tahu apa saja yang sedang kamu kerjakan
bahkan tanpa kulihat secara langsung.”
Oh ya… kemampuannya. Aku lupa soal
itu.
“Kemampuanmu memprediksikan sesuatu
itu benar-benar menyusahkan.” Kataku, “Sejak kapan sih kamu suka mencari tahu
urusan orang?”
“Kalau itu adalah kamu, sudah tentu
aku akan mencari tahu. Terutama karena kamu bersama Runa yang… kamu tahu,
dulunya Claydoll.”
“Aku tidak mau membicarakannya.”
Ujarku.
“Aku tahu… tapi, setidaknya
beritahu aku, kenapa kamu mau menyembunyikannya di sini, bahkan walau tahu dia
adalah seorang Claydoll.” Kata Leia,
“Alasan yang kalian katakan saat kami berkunjung waktu itu memang masuk akal,
tapi aku merasa masih ada lagi yang kalian, atau malah kamu sembunyikan.”
“Mau menceritakan alasan sebenarnya
padaku?”
Aku menatap Leia lekat-lekat dan
menghela nafas. Sebagai orang yang berperan sebagai pengganti ibuku, Leia tahu
terlalu banyak mengenai kebiasaanku.
“Jadi?” Leia menatapku.
“Menurutmu… apa seseorang seperti
Runa harus dibunuh?” tanyaku.
“Hah?”
“Pertama kali aku menemukan Runa,
dia tidak tampak seperti Claydoll
pada umumnya. Dia tampak lemah, dan sinar matanya menunjukkan dia bukan Claydoll biasa.” kataku, “Runa bilang
selama berada di Clematis, dia selalu diminumkan obat-obatan yang membuatnya
tidak bisa berpikir dan hilang kesadaran hingga dia bisa membunuh seperti yang
biasa dilakukan Claydoll. Dia juga
mengatakan kalau dia disebut istimewa oleh mereka.”
“Istimewa? Apakah ada hubungannya
dengan ucapan Leon waktu itu?”
“Aku tidak tahu, tapi itu harus
diselidiki. Kalau benar Runa adalah pewaris Ragnarok, memang posisiku sebagai
Raven terancam karena menyembunyikan pewaris pemimpin Clematis. Namun, apa kamu
tidak menyadari sesuatu? Kalau benar Runa adalah pewaris Ragnarok, seharusnya
dia diperlakukan seperti… katakanlah, pemimpin yang sebenarnya, dan bukannya
dijadikan Claydoll.”
“Benar juga…” Leia mengangguk.
“Kalau dia memang si pewaris, seharusnya dia diperlakukan seperti layaknya
pewaris pimpinan mereka.”
“Karena itulah, aku merasa aku
berhak menolongnya. Aku memang sangat membenci Claydoll dan Clematis, tapi aku masih punya hati untuk menolong
Runa. Dan juga…”
“Apa?”
“Dia adalah orang yang kucari
selama ini.”
“Orang yang kamu cari?” Leia
mengerutkan kening, “Sepertinya aku ketinggalan sesuatu. Apa maksudmu Runa-chan adalah orang yang kamu cari?”
“Kamu sering melihatku pulang larut
malam setiap habis bertugas di markas, kan?” tanyaku, yang disambut anggukan
kepala dari Leia, “Itu karena aku mencari seseorang, dan orang itu adalah Runa.
Runa adalah teman masa kecilku yang hilang karena diculik oleh Clematis.”
“Runa… apa maksudmu Hanae Runa yang
pernah kamu sebut namanya ketika pertama kali kita bertemu?”
Aku mengerutkan kening
mendengarnya, “Apa aku pernah menceritakan tentang hal itu padamu?”
“Tidak. Tapi di masa-masa pertama
kamu kurawat setelah pembantaian sepuluh tahun lalu kamu sering bermimpi buruk
dan menangis di tengah malam, kan? Saat itu kamu selalu menyebut nama Runa
sambil menangis dan menggumamkan sesuatu seperti balas dendam dan sebagainya.”
Aku tidak menyangkal hal itu.
Memang saat aku pertama kali dirawat oleh organisasi, aku selalu bermimpi buruk
di malam hari, dan mimpi itu tentang pembantaian yang dilakukan Clematis yang
merenggut Runa dariku. Aku selalu menangis setelah mendapat mimpi itu dan
bersumpah untuk membalas dendam pada Clematis.
Tapi aku tidak menyangka Leia
mendengar hal itu.
“Jadi… kamu menolongnya karena dia
adalah teman masa kecilmu? Lalu bagaimana dengan doktrin Raven bahwa semua yang
menentang keadilan harus ditumpas habis?”
“Aku tidak memikirkan hal itu
ketika menolong Runa.” jawabku. “Mungkin… aku bahkan tidak pernah memikirkannya
sama sekali ketika bersamanya.”
“Hmm…”
“Apa?”
“Kau jatuh cinta padanya.”
“Kalau iya, memangnya kenapa?”
“Tumben sekali kamu mengaku.” Kata
Leia sambil tersenyum kecil. “Jadi, apa yang akan kamu lakukan jika suatu hari
ada yang tahu bahwa Runa-chan adalah Claydoll?”
“Aku akan melindunginya. Bahkan
jika itu harus menentang Raven.” kataku. “Dan aku tidak akan pilih-pilih jika
diantara kalian bertiga akan menyerangku jika saat itu terjadi.”
Leia menatapku dengan tatapan
terkejut, tapi kemudian tertawa.
“Astaga… aku tidak pernah menyangka
kamu akan mengatakan hal seperti itu.” katanya, “Yah… walau aku sudah
menduganya, melihat dari sikapmu yang berbeda 180 derajat pada Runa-chan daripada pada gadis lain.”
“Itu pujian atau hinaan?”
Leia tertawa lebar, “Itu pujian,
Rei sayang. Sekarang… sebaiknya kamu mandi dan mengganti pakaianmu. Aku akan
membangunkan Runa-chan.”
Leia lalu berdiri dan berjalan ke
kamarku, tapi kemudian dia berhenti dan menatap kearahku.
“Rei,”
“Hm?”
“Aku senang kamu akhirnya mau
terbuka tentang hal seperti ini.” katanya, “Aku benar-benar merasa seperti
ibumu.”
“Benarkah?” aku tersenyum,
“Bukankah kamu memang selalu bertindak seperti ibu untukku?”
Matanya menatapku lekat-lekat dan
kemudian mengerjap.
“Benarkah?” tanyanya.
“Ya.” aku mengangguk, “Memangnya
kamu ingin aku menganggapmu bukan sebagai ibuku setelah sekian lama kamu
merawatku?”
Leia tampak termenung mendengar
ucapanku. Kepalanya agak menunduk.
“Leia, kamu baik-baik saja?”
“Ya. Aku baik-baik saja.” dia
mengangkat kepalanya, “Ya sudah, sana cepat mandi. Badanmu benar-benar bau
kasur, tahu!”
***
Runa’s Side
Ketika aku membuka mataku, aku mengerjap
melihat cahaya yang ada di atasku. Butuh waktu beberapa saat bagiku untuk
membiasakan kedua mataku dengan cahaya yang berasal dari lampu kamar Rei.
Aku meregangkan tubuhku dan
beranjak duduk. Dari balik jendela, aku melihat siang sudah berganti malam, dan
lampu-lampu di kota mulai menerangi suasana malam hari ini.
“Kamu sudah bangun?”
Aku menoleh dan melihat Leia
berjalan menghampiriku sambil tersenyum.
“Leia-san,”
“Tidurmu nyenyak? Apa selama tidur,
Rei membuatmu tidak nyaman?” tanyanya sambil duduk di sebelahku.
“Bagaimana kamu tahu Rei tidur
bersamaku?”
“Tentu saja aku tahu. Pintu kamar
Rei terkunci sementara pintu kamarmu tidak. Kamu juga tidak ada di kamarmu, dan
hanya ada satu kemungkinan kenapa hal itu terjadi: kamu berada di kamar Rei,
dan pastinya sedang tidur siang berdua.” kata Leia sambil tersenyum lebar,
“Mungkin sambil berpelukan juga?”
Aku mengerjap mendengar ucapannya
dan yakin pipiku memerah. Leia tertawa dan menepuk kepalaku pelan.
“Sepertinya Rei mulai mengurangi
sifat dinginnya. Dan itu semua berkat kamu.” katanya.
“Apa… apa selama ini Rei selalu
dingin pada semua orang?” tanyaku mengerutkan kening.
“Hmm… kamu tidak akan menyangka
kalau dia bahkan sempat tidak mempercayaiku di awal pertemuan kami.” Katanya,
“Tapi itu sudah lama sekali. Aku tidak ingin membahasnya dulu sekarang.”
Aku tidak menanyakan apapun lebih
jauh. Leia lalu menyuruhku untuk membersihkan diri setelah Rei keluar dari
kamar mandi. Dia bahkan menyuruhku memakai dress
yang cukup manis untuk membuat Rei… terkesan. Itu istilah Leia.
Rei selesai mandi beberapa menit
kemudian dan ikut bergabung di meja makan. Selama makan malam, Leia
membicarakan apa saja yang menurutnya menarik dan terkadang membicarakan soal
pekerjaan pada Rei. Aku hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka sambil
sesekali memberikan tanggapan.
Setelah makan malam, tidak biasanya
Leia langsung pulang. Dia bilang dia ada urusan dengan teman-temannya yang
lain.
Aku kembali ke ruang tamu setelah
mengantarkan Leia ke depan pintu. Rei tengah membaca berkas-berkas yang tadi
dibawa Leia dengan serius. Aku lalu duduk di sebelahnya dan memperhatikan apa
yang sedang dibacanya.
“Itu berkas mengenai apa?”
“Hanya beberapa laporan biasa
mengenai penjagaan di setiap perbatasan distrik.” Katanya, “Aku termasuk
anggota yang bertanggung jawab menjaga keamanan perbatasan.”
“Oh…” aku manggut-manggut.
Rei menguap dan menyandarkan
kepalanya di bahuku, “Pinjam bahumu sebentar, ya.” katanya.
“Kamu mulai mengantuk lagi?”
tanyaku, “Bukankah tadi kamu sudah cukup lama tidur siang?”
“Hmm… tidak tahu. Hari ini aku
benar-benar kelelahan.” Katanya, “Runa, temani tidur, ya?”
“Sekarang kamu benar-benar seperti
anak kecil.” Aku tersenyum geli.
Dia balas tersenyum dan meletakkan
berkas-berkas di tangannya keatas meja. Kedua tangannya lalu menggendongku dan
membuatku kaget.
“Rei!?”
“Aku benar-benar mengantuk dan
ingin tidur secepatnya.” Katanya, “Tentunya kamu harus menemaniku tidur.”
“Tapi kenapa kamu harus
menggendongku?”
“Kalau tidak kugendong, takutnya
kamu malah tidak memberiku kesempatan untuk membawamu kembali ke kamarku.
Bukannya tadi siang aku bilang kalau aku ingin mengurungmu seharian di
kamarku?”
“Rei!!”
Dia tertawa dan aku hanya cemberut
melihatnya tertawa seperti itu sementara membuat pipiku memerah.
“Setidaknya, bereskan dulu
berkas-berkas di meja.” kataku, “Baru kamu bisa tidur.”
“Aku akan membereskannya… nanti.”
Rei tersenyum lebar, “Pertama-tama aku harus membawamu ke kamarku terlebih
dulu.”
“Aku bisa berjalan sendiri.”
balasku.
“Memang. Tapi, aku ingin
menggendongmu. Tidak boleh, ya?”
“Err…”
“Kuanggap itu sebagai jawaban
‘iya’.” katanya, lalu menggendongku kembali ke kamarnya.
0 komentar:
Posting Komentar