Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

RE - Chapter 15



Runa’s Side
Setelah mengajakku ke toko dan membeli rantai kalung untuk bandul yang diberikannya padaku sebagai kalung pertunangan, Rei mengajakku pulang. Tangannya terus menggenggam tanganku, bahkan tidak melepaskannya barang sedetik pun seperti saat kami berangkat tadi.
Kecuali saat kami keluar dari mobil, tentu saja kami harus melepaskan tangan kami. Karena bagaimana kami bisa keluar dari mobil kalau kami masih tetap berpegangan tangan?

Mobil yang dikemudikan Rei sampai di basement apartemen. Kami berdua keluar dari dalam mobil dan berjalan bersama kearah lift.
“Rei,”
“Ya?”
“Besok… kamu akan mengajakku ke markas Raven, kan?” kataku, “Apa… apa tidak apa-apa? Maksudku, aku memang ingin tahu apakah aku benar pewaris Ragnarok, tapi… tapi kalau orang-orang tahu aku Claydoll, mereka akan mencapmu sebagai seorang pengkhianat karena menyembunyikanku dari eksekusi.”
“Orang-orang tidak akan tahu kamu Claydoll.” Jawabnya. “Aku akan memastikan hal itu. Kamu jangan terlalu khawatir begitu. Setahuku Claydoll tidak memiliki perasaan khawatir, tuh.”
Aku mendelik padanya, tahu kalau dia hanya bercanda. Tapi, tetap saja…
“Aku di bawah pengaruh obat, Rei. Karena itu aku tidak pernah merasa khawatir.” Kataku, “Dan kurasa hanya aku saja Claydoll yang diberi obat terus-menerus. Sudah kubilang kalau Profesor Diva dan semua orang di tempat itu mengatakan aku istimewa, walau aku tidak tahu kenapa aku disebut demikian…”
Rei menggenggam tanganku dan membawanya ke bibirnya. Dia mencium singkat punggung tanganku.
“Tidak perlu mengingat hal itu lagi. Kurasa aku juga sudah mengatakan hal ini berkali-kali.” Ujarnya, “Sekarang ini kamu adalah Hanae Runa. Bukan Fuyuki atau Claydoll milik Clematis.”
“Aku tahu, tapi… kalau kamu sampai dicap sebagai pengkhianat hanya karena menyembunyikanku… kurasa aku tidak… tidak…”
“Tidak perlu khawatir. Toh, mereka pasti mengerti kenapa aku menyembunyikanmu.”
“Begitukah?”
“Hei… tingkatku lebih tinggi daripada semua orang yang ada di markas Raven. Aku termasuk anggota penting di sana.” dia tersenyum lebar. “Lupakan semua tentang itu. Sekarang aku harus melakukan sesuatu padamu.”
“Melakukan sesuatu padaku?”
“Bukankah sudah kubilang kalau kamu menjawab ‘iya’ atas pernyataanku, aku akan mengurungmu seharian di kamarku?”
“Tidak mau!!” aku menjawab cepat, “Aku tidak mau dikurung di kamarmu. Memangnya kamu ingin melakukan apa padaku?”
“Hmmm… apa, ya?” dia menatapku sambil tersenyum dengan sebelah bibir.
“R, Rei… jangan bercanda, dong.” kataku.
Rei tertawa, dan saat pintu lift terbuka, dia menyelipkan kedua lengannya di belakang punggung dan kakiku kemudian menggendongku. Kedua tanganku secara refleks merangkul lehernya dan dia kembali tertawa.
“Rei!!!”
“Jangan khawatir… aku tidak akan melakukan sesuatu yang akan membuatmu malu.” Katanya, “Lagipula, berada di kamarku adalah hal langka, lho. Leia yang sering menginap di apartemenku saja tidak pernah kuizinkan masuk ke dalam kamarku kecuali saat aku tidur siang.”
“I, itu kan beda! A, aku…”
“Memang beda. Karena itu, aku ingin menjadikanmu orang yang pertama kali masuk ke wilayah pribadiku.”
“Y, yang pertama…” pipiku memerah mendengarnya dan aku segera menyembunyikan wajahku di lekukan lehernya. “Tapi… aku sudah pernah masuk ke kamarmu saat membangunkanmu saat tidur siang dulu.”
“Itu beda. Kali ini aku akan benar-benar membuatmu menjadi yang pertama yang masuk ke kamarku.” Katanya.
“Memangnya ada hal yang baru di kamarmu?”
“Iya.”
“Apa?”
“Kamu.”
Kudengar dia tertawa, kemudian dengan entengnya dia membawaku menuju apartemennya ketika pintu lift terbuka beberapa saat kemudian.

***
Runa’s Side
Ini memang kedua kalinya aku masuk ke dalam kamar Rei, tapi aku tidak tahu harus mengatakan apa karena ternyata… yah, kamarnya benar-benar di luar dugaanku. Kemarin, warna dindingnya masih berwarna biru, tapi sepertinya Rei mengganti warna cat kamarnya.
Nyaris semua benda di sini berwarna hitam, seperti yang terakhir kali kulihat. Mulai dari tempat tidur. meja, sampai lemari. Semuanya berwarna hitam. Bahkan dindingnya juga dicat warna hitam.
“Ini hanya perasaanku saja atau kamarmu memang lebih suram daripada ruangan yang lain?” tanyaku. “Kamu mengganti warna cat kamarmu?”
“Hm? Selain suka warna biru dan putih aku juga penyuka warna hitam.” Kata Rei, “Dari dulu aku juga suka warna hitam. Karena warna hitam tidak membuat mataku sakit, aku memilih warna hitam untuk mengganti warna cat biru kamarku.”
“Oh…”
Rei merebahkanku di atas tempat tidurnya dan dia sendiri berbaring di sampingku. Lengannya memelukku dan dagunya berada tepat di atas kepalaku.
“Sudah lama sekali aku ingin tidur bareng denganmu,” katanya, “Rasanya seperti kembali ke masa lalu, ya?”
“Aku masih belum bisa mengingatnya dengan baik.” ujarku, “Aku tidak ingat apakah kita sering tidur berpelukan seperti ini. Aku belum mendapat kilas balik masa laluku beberapa hari ini.”
“Dulu kita sering tidur berpelukan seperti sekarang. Waktu kecil, kamu paling takut tidur sendirian di malam hari apalagi ketika hujan turun disertai petir. Dan karena aku yang paling dekat denganmu selain ibu panti asuhan, biasanya kamu meyelinap ke dalam selimutku dan minta ditemani tidur.”
Aku tidak terlalu bisa mengingat kenangan itu, namun hatiku tahu perkataan Rei benar. Aku hanya tersenyum dan merapatkan tubuhku padanya. Kehangatan pelukan Rei sangat menenangkan dan membuatku tidak ingin melepaskan diri dari pelukannya.
“Leia-san akan datang kemari malam ini, kan?” tanyaku. “Katanya dia akan memasak makan malam untuk kita.”
“Leia memang ibu yang bisa diandalkan.” Rei tersenyum lebar, “Mungkin sebaiknya aku memberinya hadiah istimewa di hari ulang tahunnya nanti.”
“Memang harus.” Aku tersenyum.
“Runa,”
“Hm?”
“Kalung itu tampak manis di lehermu.” Katanya sambil menyentuh kalung yang melingkari leherku, “Pilihanku benar-benar pas. Rantai kalungnya tidak membuatmu gatal, kan?”
“Aku tidak punya alergi terhadap perhiasan.” Ujarku.
“Baguslah.” Dia mencium puncak kepalaku, “Aku kira pilihanku salah. Tapi ternyata tidak.”
“Kalungmu juga bagus.” Aku menatap kalung dengan bandul yang nyaris sama seperti milikku, hanya saja bandulnya berwarna putih dan biru yang memang warna kesukaan Rei.
“Dengan begini kita resmi menjadi kekasih, kan?” dia tersenyum lebar. “Dan karena sekarang kita adalah sepasang kekasih, boleh dong kalau aku menciummu?”
“Kamu sudah sering main cium sembarangan. Untuk apa lagi kamu meminta izin?” balasku.
“Siapa tahu…” dia terkekeh.
“Rasanya seperti mimpi, aku bisa menemukanmu.” Ujarnya, “Sepertinya pencarianku tidak sia-sia. Tapi aku sempat kaget juga kenapa kita bisa bertemu seperti ini.”
“Apa kamu tidak suka?”
“Aku senang, sangat senang malah.” Katanya, “Aku malah berharap kita bisa hidup berdua dan tidak ada yang mengganggu, termasuk Leon dan yang lain.”
“Hmm… itu akan sangat sulit, mengingat mereka adalah teman dekatmu.” Kataku.
“Memang.” Dia mengangguk, “Kenapa kita membicarakan hal serius, sih?”
“Entahlah. Bukankah kamu yang tadi memulai?”
“Benar juga…”
Rei menghembuskan nafas dan memejamkan matanya.
“Tidur?” tanyaku.
“Ya. Entah kenapa aku selalu mengantuk dan rasanya ingin selalu tidur jika sudah menyentuh kasur.” Dia tertawa, “Kamu mau menemaniku tidur, kan?”
“Bagaimana aku bisa menolak kalau kamu saja sudah memelukku seperti ini?” balasku. “Tidurlah. Kalau sudah sore, aku akan membangunkanmu.”
“Mm… selamat tidur, ohime-sama.”
Aku mendengar suara nafasnya terdengar lebih teratur beberapa saat kemudian, dan detik itu juga aku tahu Rei sudah tertidur pulas. Hal itu sempat membuatku kaget. Rei ternyata memang seorang tukang tidur rupanya. Buktinya dia bisa jatuh tertidur hanya dalam hitungan detik!
Aku mengelus rambutnya yang berwarna keperakan dan tersenyum kecil. Saat seperti ini, Rei tampak polos dan lebih mirip anak kecil. Kedua tangannya memelukku sangat erat, seolah takut aku akan meninggalkannya.
Mendou no otoko da ne…[1]” kataku sambil tertawa kecil.
Rei bergerak dalam tidurnya dan kudengar bibirnya menyebut namaku lirih. Hmm… dia pasti sedang bermimpi sesuatu tentangku. Membayangkannya saja membuatku tersenyum lebar.
Aku mencium pipinya dan menyandarkan kepalaku di lekukan lehernya. Kubiarkan rasa kantuk yang mulai datang menghampiri mengambil alih kesadaranku.

***
Rei’s Side
Ketika aku terbangun, kulihat langit di luar sudah gelap, dan begitu pula kamarku. Sepertinya lagi-lagi aku kebablasan tidur dan tidak ingat waktu.
Aku menguap dan menoleh ke samping saat merasakan gerakan di dekatku. Aku tersenyum kecil melihat Runa tertidur dengan sebagian wajah tertutup oleh helai-helai rambutnya. Kusibakkan rambutnya dan melihat wajahnya yang tidur dalam damai.
Aku menyalakan lampu tidur di dekatku dan meletakkan kepala Runa di atas bantal dengan hati-hati. Syukurlah dia tidak terbangun saat aku memindahkan kepalanya ke atas bantal. Kalau dia terbangun, mungkin dia akan panic dan merasa ketakutan karena ruangan ini gelap. Traumanya dengan kegelapan masih belum hilang, begitu pula dengan pengalaman buruk lain yang dia dapat selama menjadi Claydoll milik Clematis.
Aku meregangkan badanku dan beranjak dari kasur. Kunyalakan lampu kamar dan melihat kearah jam. Sudah jam 7 malam. Sial. Itu artinya Leia pasti sudah datang dan mungkin sedang memasakkan sesuatu di dapur.
Kubuka pintu kamar dan aku langsung mencium aroma masakan yang menggiurkan. Dugaanku tentang Leia sudah datang ternyata benar, dan menilik dari aromanya, Leia pasti sedang membuat sup jamur favoritku.
Kulangkahkan kakiku kearah dapur dan melihat Leia yang sedang berhadapan dengan kompor. Ketika aku masuk ke dapur, dia menoleh dan tersenyum lebar padaku.
“Ketiduran lagi?” tanyanya.
“Begitulah,” aku mengedikkan bahu dan menggaruk-garuk kepalaku, “Masak apa?”
“Sup jamur kesukaanmu. Aku juga membuat teh. Hari ini udaranya benar-benar dingin.”
Aku tersenyum dan memperhatikannya memasak. Leia sering berperan sebagai ibuku, bahkan ketika aku pertama kali masuk ke dalam organisasi. Leia adalah anggota yang ditunjuk untuk merawatku selain Leon dan Alex. Karena itulah aku lebih dekat dengan mereka bertiga dibanding orang lain sampai-sampai hafal kebiasaan masing-masing.
“Oh ya, di mana Runa-chan?”
“Sedang tidur.” jawabku.
“Tidur? Di kamarmu, kan?”
“Tahu dari mana kamu?”
“Rahasia,” dia tersenyum lebar, “Lagipula kamu tahu sendiri aku bisa tahu apa saja yang sedang kamu kerjakan bahkan tanpa kulihat secara langsung.”
Oh ya… kemampuannya. Aku lupa soal itu.
“Kemampuanmu memprediksikan sesuatu itu benar-benar menyusahkan.” Kataku, “Sejak kapan sih kamu suka mencari tahu urusan orang?”
“Kalau itu adalah kamu, sudah tentu aku akan mencari tahu. Terutama karena kamu bersama Runa yang… kamu tahu, dulunya Claydoll.”
“Aku tidak mau membicarakannya.” Ujarku.
“Aku tahu… tapi, setidaknya beritahu aku, kenapa kamu mau menyembunyikannya di sini, bahkan walau tahu dia adalah seorang Claydoll.” Kata Leia, “Alasan yang kalian katakan saat kami berkunjung waktu itu memang masuk akal, tapi aku merasa masih ada lagi yang kalian, atau malah kamu sembunyikan.”
“Mau menceritakan alasan sebenarnya padaku?”
Aku menatap Leia lekat-lekat dan menghela nafas. Sebagai orang yang berperan sebagai pengganti ibuku, Leia tahu terlalu banyak mengenai kebiasaanku.
“Jadi?” Leia menatapku.
“Menurutmu… apa seseorang seperti Runa harus dibunuh?” tanyaku.
“Hah?”
“Pertama kali aku menemukan Runa, dia tidak tampak seperti Claydoll pada umumnya. Dia tampak lemah, dan sinar matanya menunjukkan dia bukan Claydoll biasa.” kataku, “Runa bilang selama berada di Clematis, dia selalu diminumkan obat-obatan yang membuatnya tidak bisa berpikir dan hilang kesadaran hingga dia bisa membunuh seperti yang biasa dilakukan Claydoll. Dia juga mengatakan kalau dia disebut istimewa oleh mereka.”
“Istimewa? Apakah ada hubungannya dengan ucapan Leon waktu itu?”
“Aku tidak tahu, tapi itu harus diselidiki. Kalau benar Runa adalah pewaris Ragnarok, memang posisiku sebagai Raven terancam karena menyembunyikan pewaris pemimpin Clematis. Namun, apa kamu tidak menyadari sesuatu? Kalau benar Runa adalah pewaris Ragnarok, seharusnya dia diperlakukan seperti… katakanlah, pemimpin yang sebenarnya, dan bukannya dijadikan Claydoll.”
“Benar juga…” Leia mengangguk. “Kalau dia memang si pewaris, seharusnya dia diperlakukan seperti layaknya pewaris pimpinan mereka.”
“Karena itulah, aku merasa aku berhak menolongnya. Aku memang sangat membenci Claydoll dan Clematis, tapi aku masih punya hati untuk menolong Runa. Dan juga…”
“Apa?”
“Dia adalah orang yang kucari selama ini.”
“Orang yang kamu cari?” Leia mengerutkan kening, “Sepertinya aku ketinggalan sesuatu. Apa maksudmu Runa-chan adalah orang yang kamu cari?”
“Kamu sering melihatku pulang larut malam setiap habis bertugas di markas, kan?” tanyaku, yang disambut anggukan kepala dari Leia, “Itu karena aku mencari seseorang, dan orang itu adalah Runa. Runa adalah teman masa kecilku yang hilang karena diculik oleh Clematis.”
“Runa… apa maksudmu Hanae Runa yang pernah kamu sebut namanya ketika pertama kali kita bertemu?”
Aku mengerutkan kening mendengarnya, “Apa aku pernah menceritakan tentang hal itu padamu?”
“Tidak. Tapi di masa-masa pertama kamu kurawat setelah pembantaian sepuluh tahun lalu kamu sering bermimpi buruk dan menangis di tengah malam, kan? Saat itu kamu selalu menyebut nama Runa sambil menangis dan menggumamkan sesuatu seperti balas dendam dan sebagainya.”
Aku tidak menyangkal hal itu. Memang saat aku pertama kali dirawat oleh organisasi, aku selalu bermimpi buruk di malam hari, dan mimpi itu tentang pembantaian yang dilakukan Clematis yang merenggut Runa dariku. Aku selalu menangis setelah mendapat mimpi itu dan bersumpah untuk membalas dendam pada Clematis.
Tapi aku tidak menyangka Leia mendengar hal itu.
“Jadi… kamu menolongnya karena dia adalah teman masa kecilmu? Lalu bagaimana dengan doktrin Raven bahwa semua yang menentang keadilan harus ditumpas habis?”
“Aku tidak memikirkan hal itu ketika menolong Runa.” jawabku. “Mungkin… aku bahkan tidak pernah memikirkannya sama sekali ketika bersamanya.”
“Hmm…”
“Apa?”
“Kau jatuh cinta padanya.”
“Kalau iya, memangnya kenapa?”
“Tumben sekali kamu mengaku.” Kata Leia sambil tersenyum kecil. “Jadi, apa yang akan kamu lakukan jika suatu hari ada yang tahu bahwa Runa-chan adalah Claydoll?”
“Aku akan melindunginya. Bahkan jika itu harus menentang Raven.” kataku. “Dan aku tidak akan pilih-pilih jika diantara kalian bertiga akan menyerangku jika saat itu terjadi.”
Leia menatapku dengan tatapan terkejut, tapi kemudian tertawa.
“Astaga… aku tidak pernah menyangka kamu akan mengatakan hal seperti itu.” katanya, “Yah… walau aku sudah menduganya, melihat dari sikapmu yang berbeda 180 derajat pada Runa-chan daripada pada gadis lain.”
“Itu pujian atau hinaan?”
Leia tertawa lebar, “Itu pujian, Rei sayang. Sekarang… sebaiknya kamu mandi dan mengganti pakaianmu. Aku akan membangunkan Runa-chan.”
Leia lalu berdiri dan berjalan ke kamarku, tapi kemudian dia berhenti dan menatap kearahku.
“Rei,”
“Hm?”
“Aku senang kamu akhirnya mau terbuka tentang hal seperti ini.” katanya, “Aku benar-benar merasa seperti ibumu.”
“Benarkah?” aku tersenyum, “Bukankah kamu memang selalu bertindak seperti ibu untukku?”
Matanya menatapku lekat-lekat dan kemudian mengerjap.
“Benarkah?” tanyanya.
“Ya.” aku mengangguk, “Memangnya kamu ingin aku menganggapmu bukan sebagai ibuku setelah sekian lama kamu merawatku?”
Leia tampak termenung mendengar ucapanku. Kepalanya agak menunduk.
“Leia, kamu baik-baik saja?”
“Ya. Aku baik-baik saja.” dia mengangkat kepalanya, “Ya sudah, sana cepat mandi. Badanmu benar-benar bau kasur, tahu!”

***
Runa’s Side
Ketika aku membuka mataku, aku mengerjap melihat cahaya yang ada di atasku. Butuh waktu beberapa saat bagiku untuk membiasakan kedua mataku dengan cahaya yang berasal dari lampu kamar Rei.
Aku meregangkan tubuhku dan beranjak duduk. Dari balik jendela, aku melihat siang sudah berganti malam, dan lampu-lampu di kota mulai menerangi suasana malam hari ini.
“Kamu sudah bangun?”
Aku menoleh dan melihat Leia berjalan menghampiriku sambil tersenyum.
“Leia-san,”
“Tidurmu nyenyak? Apa selama tidur, Rei membuatmu tidak nyaman?” tanyanya sambil duduk di sebelahku.
“Bagaimana kamu tahu Rei tidur bersamaku?”
“Tentu saja aku tahu. Pintu kamar Rei terkunci sementara pintu kamarmu tidak. Kamu juga tidak ada di kamarmu, dan hanya ada satu kemungkinan kenapa hal itu terjadi: kamu berada di kamar Rei, dan pastinya sedang tidur siang berdua.” kata Leia sambil tersenyum lebar, “Mungkin sambil berpelukan juga?”
Aku mengerjap mendengar ucapannya dan yakin pipiku memerah. Leia tertawa dan menepuk kepalaku pelan.
“Sepertinya Rei mulai mengurangi sifat dinginnya. Dan itu semua berkat kamu.” katanya.
“Apa… apa selama ini Rei selalu dingin pada semua orang?” tanyaku mengerutkan kening.
“Hmm… kamu tidak akan menyangka kalau dia bahkan sempat tidak mempercayaiku di awal pertemuan kami.” Katanya, “Tapi itu sudah lama sekali. Aku tidak ingin membahasnya dulu sekarang.”
Aku tidak menanyakan apapun lebih jauh. Leia lalu menyuruhku untuk membersihkan diri setelah Rei keluar dari kamar mandi. Dia bahkan menyuruhku memakai dress yang cukup manis untuk membuat Rei… terkesan. Itu istilah Leia.
Rei selesai mandi beberapa menit kemudian dan ikut bergabung di meja makan. Selama makan malam, Leia membicarakan apa saja yang menurutnya menarik dan terkadang membicarakan soal pekerjaan pada Rei. Aku hanya diam mendengarkan pembicaraan mereka sambil sesekali memberikan tanggapan.
Setelah makan malam, tidak biasanya Leia langsung pulang. Dia bilang dia ada urusan dengan teman-temannya yang lain.
Aku kembali ke ruang tamu setelah mengantarkan Leia ke depan pintu. Rei tengah membaca berkas-berkas yang tadi dibawa Leia dengan serius. Aku lalu duduk di sebelahnya dan memperhatikan apa yang sedang dibacanya.
“Itu berkas mengenai apa?”
“Hanya beberapa laporan biasa mengenai penjagaan di setiap perbatasan distrik.” Katanya, “Aku termasuk anggota yang bertanggung jawab menjaga keamanan perbatasan.”
“Oh…” aku manggut-manggut.
Rei menguap dan menyandarkan kepalanya di bahuku, “Pinjam bahumu sebentar, ya.” katanya.
“Kamu mulai mengantuk lagi?” tanyaku, “Bukankah tadi kamu sudah cukup lama tidur siang?”
“Hmm… tidak tahu. Hari ini aku benar-benar kelelahan.” Katanya, “Runa, temani tidur, ya?”
“Sekarang kamu benar-benar seperti anak kecil.” Aku tersenyum geli.
Dia balas tersenyum dan meletakkan berkas-berkas di tangannya keatas meja. Kedua tangannya lalu menggendongku dan membuatku kaget.
“Rei!?”
“Aku benar-benar mengantuk dan ingin tidur secepatnya.” Katanya, “Tentunya kamu harus menemaniku tidur.”
“Tapi kenapa kamu harus menggendongku?”
“Kalau tidak kugendong, takutnya kamu malah tidak memberiku kesempatan untuk membawamu kembali ke kamarku. Bukannya tadi siang aku bilang kalau aku ingin mengurungmu seharian di kamarku?”
“Rei!!”
Dia tertawa dan aku hanya cemberut melihatnya tertawa seperti itu sementara membuat pipiku memerah.
“Setidaknya, bereskan dulu berkas-berkas di meja.” kataku, “Baru kamu bisa tidur.”
“Aku akan membereskannya… nanti.” Rei tersenyum lebar, “Pertama-tama aku harus membawamu ke kamarku terlebih dulu.”
“Aku bisa berjalan sendiri.” balasku.
“Memang. Tapi, aku ingin menggendongmu. Tidak boleh, ya?”
“Err…”
“Kuanggap itu sebagai jawaban ‘iya’.” katanya, lalu menggendongku kembali ke kamarnya.


[1] Pemuda yang menyusahkan…

0 komentar:

Posting Komentar