Haruto
membantu Arisa turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di depan pagar rumah
gadis itu. Arisa membuka pintu pagar dan membiarkan mobil Haruto masuk ke
dalam.
“Sebenarnya
kamu tidak perlu menemaniku di rumah.” Kata Arisa ketika cowok itu keluar dari
mobil dan lagi-lagi menggendongnya.
“Aku
sudah janji dengan teman-temanmu untuk menjagamu, dan aku tidak mau ingkar
janji.” Balas Haruto, “Biar aku yang membuka pintunya.”
“Memangnya
kamu bisa? Sambil menggendongku begini?”
“Jangan
remehkan aku.” kata Haruto, dan membuka pintu rumah Arisa dengan mudah—setelah
memasukkan kuncinya, tentu saja.
Ketika
masuk ke dalam, rumah Arisa tampak sepi, walau samar-samar terdengar suara kotak
music yang mengalun, namun tidak tampak keberadaan orang-orang di rumah.
“Ke
mana orang-orang di rumahmu?”
“Ken
tentu saja ada di sekolah. Kak Yuya ada pekerjaan. Papa dan Mama… mungkin
sedang keluar.” kata Arisa, “Haruto, turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri.”
“Tidak
mau.” kata Haruto, “Aku akan mengantarkanmu ke kamarmu. Di mana kamarmu?”
Arisa
melotot menatap Haruto sementara cowok itu nyengir kepadanya.
“Lantai
dua.” Kata Arisa, “Kamar dengan pintu warna putih.”
“Baik,
Tuan Putri.” Kata Haruto sambil tetap nyengir lebar.
Haruto
menaiki anak tangga menuju lantai dua. Arisa sempat heran bagaimana cowok itu
bisa dengan mudahnya menaiki tangga sambil menggendong dirinya.
Haruto
melihat pintu berwarna putih seperti yang diucapka Arisa tadi. Dia membuka
pintu dan langsung melihat warna biru laut yang menjadi warna dinding kamar
yang didominasi oleh warna putih dan ungu itu. Ia lalu mendudukkan Arisa di
sisi tempat tidur.
“Kamu
penyuka warna biru, ya?” tanya Haruto sambil mengedarkan pandangannya di kamar
Arisa.
“Aku
suka warna-warna yang menenangkan.” Jawab Arisa sambil merebahkan kepalanya di
atas bantal.
“Hmm…
memang terlihat dari kepribadianmu.”
“Apa?”
“Tidak
apa-apa.” ujar Haruto, “Hei, kamu mau makan sesuatu? Aku bisa membuatkanmu
makanan kalau kamu mau makan.”
“Tidak
usah. Aku hanya perlu istirahat saja.” balas Arisa, “Kamu kembali saja ke
sekolah. Aku tidak apa-apa ditinggal sendiri.”
“Yakin?”
“Memangnya
kamu kira aku tidak bisa mengurus diriku sendiri?”
“Tapi
aku ingin mencoba sesekali membolos.” Kata Haruto.
“Hah?”
Arisa mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang dimaksud Haruto.
Haruto
duduk di kursi di samping tempat tidur Arisa.
“Terkadang
aku ingin sekali membolos. Jadi, kurasa hari ini aku akan membolos.”
“Dasar
aneh.” Kata Arisa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Haruto
tertawa mendengar ucapan Arisa.
“Terima
kasih sudah memuji.”
“Itu
bukan pujian.” Sahut Arisa, “Lagipula kenapa kamu tiba-tiba ingin membolos?”
“Memangnya
aku tidak boleh membolos, ya?”
“Bukannya
tidak boleh, Cuma… tunggu, kenapa aku harus peduli padamu?”
“Kamu
sendiri yang mulai peduli padaku, kan?”
Arisa
hendak membalas lagi, namun dia tidak tahu harus mengatakan apa. Gadis itu
hanya menghela nafas dan membelakangi Haruto.
“Lakukan
apa yang kamu suka, tapi kalau kamu merasa bosan, silakan pulang.” kata Arisa,
lalu memejamkan matanya dan beristirahat.
***
Haruto
melihat bahu Arisa bergerak teratur, dan sepertinya gadis itu sudah benar-benar
tidur. Dia hanya terkekeh geli melihat betapa cepatnya Arisa tertidur.
Ia
lalu berdiri dan melihat-lihat kamar Arisa. Cukup banyak lemari di sana,
kebanyakan lemari kaca, yang memuat berbagai macam piala dan penghargaan yang
Haruto lihat berasal dari lomba-lomba yang pernah diikuti Arisa. Kebanyakan dari
piala dan penghargaan itu berasal dari lomba model dan kontes menyanyi yang
pernah diikuti Arisa waktu kecil, sisanya adalah piala lomba akademik.
Apa yang dikatakan
orangtua Arisa benar. kata Haruto dalam hati sambil
menyentuh salah satu lemari, Arisa sangat
berbakat dalam bidang music dan modeling.
Haruto
menelusuri salah satu lemari dan melihat foto Arisa ketika masih kecil dan
sedang memegang sebuah piala sambil tersenyum lebar.
Haruto
mengambil foto itu dan menatapnya. Dalam foto ini Arisa tampak lebih ceria.
Tidak akan ada yang menyangka gadis kecil di dalam foto itu kini berubah 180
derajat hanya karena satu peristiwa.
“…
Nngh…”
Haruto
menoleh ketika mendengar suara dari Arisa. Gadis itu tampak bergerak, gelisah
dalam tidur. Haruto mendekati tempat tidur Arisa dan melihat gadis itu
mengerutkan kening.
“…
bukan… aku… aku tidak… melakukannya…” ucap Arisa dalam tidurnya, “… bukan aku…”
Dia pasti sedang
bermimpi buruk.
Haruto
duduk di samping kepala Arisa. Ia mengelus kepala Arisa dan mencoba menenangkan
gadis itu.
Tengah
Haruto menenangkan Arisa, dia mendengar pintu kamar Arisa terbuka dan Yuya
masuk ke dalam. Sekilas dia melihat alis Yuya terangkat di balik poninya yang
agak berantakan.
“Selamat
siang,” sapa Haruto sopan.
“Selamat
siang juga. Kudengar Arisa pulang dari Mina,” kata Yuya sambil mendekati tempat
tidur Arisa, “dia bermimpi buruk lagi, ya?”
“Sepertinya
begitu…” kata Haruto, “Dari tadi dia mengatakan ‘bukan aku yang melakukannya’.”
Yuya
menghela nafas dan duduk di sisi tempat tidur. Ditatapnya Arisa yang tertidur
dengan kerutan di keningnya.
“Apa…
kamu sudah diceritakan soal kejadian yang menimpa Arisa?” tanya Yuya, “Kejadian
yang membuatnya menutup diri seperti ini?”
“Sudah,
di hari pertama aku dan ayahku bertamu kemari.” jawab Haruto.
“Aku
selalu merasa menjadi kakak paling tidak berguna kalau mengingat kejadian itu.”
ujar Yuya, “Di saat Arisa membutuhkan pertolonganku, aku tidak ada di
sampingnya. Padahal saat itu Arisa benar-benar membutuhkanku, tapi…”
Sekali
lagi Yuya menghela nafas, dan Haruto merasa kasihan melihat sisi Yuya yang satu
ini.
“Tapi
Arisa tidak pernah menyalahkanmu, kan? Berarti dia tidak membencimu.” Kata
Haruto, “Sifat Arisa mirip seperti ibu kandungnya.”
“Begitukah?”
Yuya tersenyum lemah.
“Arisa
bukan gadis yang gampang marah.” Haruto tersenyum, “Dia lebih sering diam dan
cuek, tapi bukan berarti pemarah, kan?”
“Benar
juga…”
Yuya
dan Haruto sama-sama tertawa.
“Oh
ya, kata Arisa, kamu seharusnya berada di kantor, kan? Kenapa tiba-tiba kamu
pulang?” Tanya Haruto.
“Sudah
kubilang, aku khawatir pada Arisa. Kamu sendiri? Apa kamu membolos?”
“Niatnya
sih, begitu…” Haruto nyengir lebar. “Tapi aku akan meminta izin pada guru yang
mengajar di kelasku sekarang kalau aku sedang menemani seseorang.”
“Seseorang?”
Yuya tertawa.
“Hei,
kalau Arisa itu bukan orang, ya masa hantu, sih?”
Yuya
tertawa mendengar jawaban polos itu, sementara Haruto hanya mengerutkan kening
melihat Yuya tertawa.
“Jawabanmu
itu persis seperti yang pernah diucapkan Arisa dulu.” Kata Yuya. “Dia juga
pernah berkata begitu dulu waktu merawat Ken.”
“Benarkah?”
“Yup.”
Yuya mengangguk, “Ah ya, sebaiknya aku membuatkan sesuatu untuk kalian untuk
makan siang nanti. Apa kamu masih akan lama berada di sini?”
Haruto
mengangguk.
“Aku
akan memasakkan makanan favorit Arisa, dan aku minta tolong padamu untuk
menjaganya.”
“Kau
bisa mengandalkanku.”
Yuya
lalu berdiri dan berjalan keluar kamar, sementara Haruto tetap berada di
samping Arisa.
***
Arisa
terbangun ketika mencium wangi makanan kesukaannya. Ketika dia membuka matanya,
dia melihat nampan dengan piring berisi nasi dan juga sup jamur kesukaannya
berada di atas meja di sebelah tempat tidurnya.
Arisa
lalu duduk dan menguap. Dia tidak tahu sudah berapa lama dia tertidur, tapi
tubuhnya sudah terasa lebih segar, dan pikirannya juga tidak semrawut lagi. Ia
duduk di sisi tempat tidur dan menatap nampan diatas meja.
“Hei,”
Arisa
menoleh dan melihat Haruto masuk ke dalam sambil membawa dua gelas air di
tangannya.
“Kamu
masih di sini rupanya,” kata Arisa datar.
“Ucapanmu
dingin sekali.” Balas Haruto sambil tertawa, “Ini Kak Yuya yang membuatkannya
untukmu. Dan ini air jeruk nipis yang baru saja kubuat.”
“Air
jeruk nipis?”
“Rasanya
enak dan segar, terutama kalau dicampur dengan air hangat.” Ujar Haruto, “Makanlah,
setelah ini kamu harus minum obat.”
“Di
mana Kak Yuya?” tanya Arisa.
“Sudah
pergi lagi. Katanya masih ada pekerjaan yang harus dia urus.”
“Oh…”
“Daripada
itu, ayo cepat dimakan makanannya. Nanti keburu dingin.”
Arisa
megnangguk pelan dan mengambil piring nasinya. Untuk beberapa saat, gadis itu
tidak menyentuh sendok di atas piring dan hanya menatap ke depan dengan
pandangan menerawang.
“Arisa,
kamu kenapa?”
“Tidak
apa-apa.” Arisa menggeleng, “Kenapa kamu tidak pergi saja dari sini, sih?”
“Aku
tidak mau.”
“Terserah
sajalah…”
Arisa
mulai memakan makanannya dan diam-diam Haruto menghembuskan nafas lega. Tadi sebelum
pergi, Yuya sudah mengatakan padanya kalau Arisa akan susah makan setelah dia
mendapat ‘serangan’ dan harus dibujuk berkali-kali sebelum akhirnya gadis itu
mau makan.
Tapi,
sepertinya Haruto tidak perlu memaksa Arisa untuk makan.
Cowok
itu lalu duduk di samping Arisa dan menunggui gadis itu sampai selesai makan. Satu
piring nasi dan juga sup jamur habis dimakan oleh Arisa sendirian, dan sekarang
gadis itu sedang meminum air jeruk nipisnya pelan-pelan.
“Enak…”
“Tentu
saja. Biasanya aku membuat minuman ini saat hujan atau sedang tidak enak badan.”
Kata Haruto, “Rasanya segar dan enak, kan?”
“Ya…”
Arisa meneguk air jeruk nipisnya lagi.
“Oh
ya, setelah ini kamu akan melakukan apa?” tanya Arisa, “Kukira kalau kamu
membolos, kamu lebih suka pergi ke studiomu.”
“Memang
biasa begitu… tapi hari ini tidak ada orang di studio. Keiko sedang pergi
menjemput kakaknya yang baru datang dari luar negeri. Asuka dan Viennie mungkin
sedang asyik dengan kegiatan sehari-hari mereka, dan yang lain… well, mereka sibuk.”
Arisa
mengangguk-angguk paham.
“Benar
juga, ya…” kata Haruto tiba-tiba.
“Apanya?”
tanya Arisa.
“Kenapa
kamu tidak ikut aku ke studio saja?” kata Haruto, “Kita bisa membuat beberapa
lagu, dan… mungkin kamu bisa merekam lagu baru yang kuciptakan.”
“Kamu
membuat lagu baru lagi?”
“Ya.
Itu hal wajar yang biasa dilakukan oleh penulis lagu, kan?” ujar Haruto, “Kamu
mau ikut? Setelah dari studio, kita bisa pergi jalan-jalan ke tempat yang kamu
mau.”
“Yang
benar?” tanya Arisa lagi, kali ini ada sedikit binar di matanya.
“Tentu
saja. Kita bisa pergi ke taman bermain atau hanya pergi ke taman bunga, atau…
atau ke tempat manapun yang bisa membuat pikiran tenang.”
Arisa
memiringkan kepalanya dan tersenyum.
“Sepertinya
itu ide yang bagus.” Kata gadis itu, “Kamu keluar saja dulu, sementara aku
berganti baju.”
“Oke.”
Haruto
berjalan kearah pintu, tapi tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menoleh
kearah Arisa.
“Arisa,”
“Hm?”
“Kamu
lebih cocok kalau tersenyum seperti tadi.” kata Haruto, “Wajahmu jadi lebih
manis.”
Arisa
mengerjap mendengar ucapan Haruto. Namun sebelum dia sempat membalas, Haruto
sudah lebih dulu keluar dan menutup pintu.
Arisa
masih merenung karena ucapan Haruto tadi.
Manis? Dia bilang…
aku manis?
Arisa
menghembuskan nafas yang entah sejak kapan ditahannya dan berdiri.
“Tidak
ada yang manis dari seorang yang pernah menyentuh darah.” Kata Arisa lirih, “Aku
tidak manis sama sekali, Haruto…”
0 komentar:
Posting Komentar