Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Angel's Lullaby - Chapter 11



Haruto membantu Arisa turun dari mobil ketika mereka sudah sampai di depan pagar rumah gadis itu. Arisa membuka pintu pagar dan membiarkan mobil Haruto masuk ke dalam.
“Sebenarnya kamu tidak perlu menemaniku di rumah.” Kata Arisa ketika cowok itu keluar dari mobil dan lagi-lagi menggendongnya.

“Aku sudah janji dengan teman-temanmu untuk menjagamu, dan aku tidak mau ingkar janji.” Balas Haruto, “Biar aku yang membuka pintunya.”
“Memangnya kamu bisa? Sambil menggendongku begini?”
“Jangan remehkan aku.” kata Haruto, dan membuka pintu rumah Arisa dengan mudah—setelah memasukkan kuncinya, tentu saja.
Ketika masuk ke dalam, rumah Arisa tampak sepi, walau samar-samar terdengar suara kotak music yang mengalun, namun tidak tampak keberadaan orang-orang di rumah.
“Ke mana orang-orang di rumahmu?”
“Ken tentu saja ada di sekolah. Kak Yuya ada pekerjaan. Papa dan Mama… mungkin sedang keluar.” kata Arisa, “Haruto, turunkan aku. Aku bisa berjalan sendiri.”
“Tidak mau.” kata Haruto, “Aku akan mengantarkanmu ke kamarmu. Di mana kamarmu?”
Arisa melotot menatap Haruto sementara cowok itu nyengir kepadanya.
“Lantai dua.” Kata Arisa, “Kamar dengan pintu warna putih.”
“Baik, Tuan Putri.” Kata Haruto sambil tetap nyengir lebar.
Haruto menaiki anak tangga menuju lantai dua. Arisa sempat heran bagaimana cowok itu bisa dengan mudahnya menaiki tangga sambil menggendong dirinya.
Haruto melihat pintu berwarna putih seperti yang diucapka Arisa tadi. Dia membuka pintu dan langsung melihat warna biru laut yang menjadi warna dinding kamar yang didominasi oleh warna putih dan ungu itu. Ia lalu mendudukkan Arisa di sisi tempat tidur.
“Kamu penyuka warna biru, ya?” tanya Haruto sambil mengedarkan pandangannya di kamar Arisa.
“Aku suka warna-warna yang menenangkan.” Jawab Arisa sambil merebahkan kepalanya di atas bantal.
“Hmm… memang terlihat dari kepribadianmu.”
“Apa?”
“Tidak apa-apa.” ujar Haruto, “Hei, kamu mau makan sesuatu? Aku bisa membuatkanmu makanan kalau kamu mau makan.”
“Tidak usah. Aku hanya perlu istirahat saja.” balas Arisa, “Kamu kembali saja ke sekolah. Aku tidak apa-apa ditinggal sendiri.”
“Yakin?”
“Memangnya kamu kira aku tidak bisa mengurus diriku sendiri?”
“Tapi aku ingin mencoba sesekali membolos.” Kata Haruto.
“Hah?” Arisa mengerutkan kening, tidak mengerti apa yang dimaksud Haruto.
Haruto duduk di kursi di samping tempat tidur Arisa.
“Terkadang aku ingin sekali membolos. Jadi, kurasa hari ini aku akan membolos.”
“Dasar aneh.” Kata Arisa sambil menggeleng-gelengkan kepalanya.
Haruto tertawa mendengar ucapan Arisa.
“Terima kasih sudah memuji.”
“Itu bukan pujian.” Sahut Arisa, “Lagipula kenapa kamu tiba-tiba ingin membolos?”
“Memangnya aku tidak boleh membolos, ya?”
“Bukannya tidak boleh, Cuma… tunggu, kenapa aku harus peduli padamu?”
“Kamu sendiri yang mulai peduli padaku, kan?”
Arisa hendak membalas lagi, namun dia tidak tahu harus mengatakan apa. Gadis itu hanya menghela nafas dan membelakangi Haruto.
“Lakukan apa yang kamu suka, tapi kalau kamu merasa bosan, silakan pulang.” kata Arisa, lalu memejamkan matanya dan beristirahat.

***

Haruto melihat bahu Arisa bergerak teratur, dan sepertinya gadis itu sudah benar-benar tidur. Dia hanya terkekeh geli melihat betapa cepatnya Arisa tertidur.
Ia lalu berdiri dan melihat-lihat kamar Arisa. Cukup banyak lemari di sana, kebanyakan lemari kaca, yang memuat berbagai macam piala dan penghargaan yang Haruto lihat berasal dari lomba-lomba yang pernah diikuti Arisa. Kebanyakan dari piala dan penghargaan itu berasal dari lomba model dan kontes menyanyi yang pernah diikuti Arisa waktu kecil, sisanya adalah piala lomba akademik.
Apa yang dikatakan orangtua Arisa benar. kata Haruto dalam hati sambil menyentuh salah satu lemari, Arisa sangat berbakat dalam bidang  music dan modeling.
Haruto menelusuri salah satu lemari dan melihat foto Arisa ketika masih kecil dan sedang memegang sebuah piala sambil tersenyum lebar.
Haruto mengambil foto itu dan menatapnya. Dalam foto ini Arisa tampak lebih ceria. Tidak akan ada yang menyangka gadis kecil di dalam foto itu kini berubah 180 derajat hanya karena satu peristiwa.
“… Nngh…”
Haruto menoleh ketika mendengar suara dari Arisa. Gadis itu tampak bergerak, gelisah dalam tidur. Haruto mendekati tempat tidur Arisa dan melihat gadis itu mengerutkan kening.
“… bukan… aku… aku tidak… melakukannya…” ucap Arisa dalam tidurnya, “… bukan aku…”
Dia pasti sedang bermimpi buruk.
Haruto duduk di samping kepala Arisa. Ia mengelus kepala Arisa dan mencoba menenangkan gadis itu.
Tengah Haruto menenangkan Arisa, dia mendengar pintu kamar Arisa terbuka dan Yuya masuk ke dalam. Sekilas dia melihat alis Yuya terangkat di balik poninya yang agak berantakan.
“Selamat siang,” sapa Haruto sopan.
“Selamat siang juga. Kudengar Arisa pulang dari Mina,” kata Yuya sambil mendekati tempat tidur Arisa, “dia bermimpi buruk lagi, ya?”
“Sepertinya begitu…” kata Haruto, “Dari tadi dia mengatakan ‘bukan aku yang melakukannya’.”
Yuya menghela nafas dan duduk di sisi tempat tidur. Ditatapnya Arisa yang tertidur dengan kerutan di keningnya.
“Apa… kamu sudah diceritakan soal kejadian yang menimpa Arisa?” tanya Yuya, “Kejadian yang membuatnya menutup diri seperti ini?”
“Sudah, di hari pertama aku dan ayahku bertamu kemari.” jawab Haruto.
“Aku selalu merasa menjadi kakak paling tidak berguna kalau mengingat kejadian itu.” ujar Yuya, “Di saat Arisa membutuhkan pertolonganku, aku tidak ada di sampingnya. Padahal saat itu Arisa benar-benar membutuhkanku, tapi…”
Sekali lagi Yuya menghela nafas, dan Haruto merasa kasihan melihat sisi Yuya yang satu ini.
“Tapi Arisa tidak pernah menyalahkanmu, kan? Berarti dia tidak membencimu.” Kata Haruto, “Sifat Arisa mirip seperti ibu kandungnya.”
“Begitukah?” Yuya tersenyum lemah.
“Arisa bukan gadis yang gampang marah.” Haruto tersenyum, “Dia lebih sering diam dan cuek, tapi bukan berarti pemarah, kan?”
“Benar juga…”
Yuya dan Haruto sama-sama tertawa.
“Oh ya, kata Arisa, kamu seharusnya berada di kantor, kan? Kenapa tiba-tiba kamu pulang?” Tanya Haruto.
“Sudah kubilang, aku khawatir pada Arisa. Kamu sendiri? Apa kamu membolos?”
“Niatnya sih, begitu…” Haruto nyengir lebar. “Tapi aku akan meminta izin pada guru yang mengajar di kelasku sekarang kalau aku sedang menemani seseorang.”
“Seseorang?” Yuya tertawa.
“Hei, kalau Arisa itu bukan orang, ya masa hantu, sih?”
Yuya tertawa mendengar jawaban polos itu, sementara Haruto hanya mengerutkan kening melihat Yuya tertawa.
“Jawabanmu itu persis seperti yang pernah diucapkan Arisa dulu.” Kata Yuya. “Dia juga pernah berkata begitu dulu waktu merawat Ken.”
“Benarkah?”
“Yup.” Yuya mengangguk, “Ah ya, sebaiknya aku membuatkan sesuatu untuk kalian untuk makan siang nanti. Apa kamu masih akan lama berada di sini?”
Haruto mengangguk.
“Aku akan memasakkan makanan favorit Arisa, dan aku minta tolong padamu untuk menjaganya.”
“Kau bisa mengandalkanku.”
Yuya lalu berdiri dan berjalan keluar kamar, sementara Haruto tetap berada di samping Arisa.

***

Arisa terbangun ketika mencium wangi makanan kesukaannya. Ketika dia membuka matanya, dia melihat nampan dengan piring berisi nasi dan juga sup jamur kesukaannya berada di atas meja di sebelah tempat tidurnya.
Arisa lalu duduk dan menguap. Dia tidak tahu sudah berapa lama dia tertidur, tapi tubuhnya sudah terasa lebih segar, dan pikirannya juga tidak semrawut lagi. Ia duduk di sisi tempat tidur dan menatap nampan diatas meja.
“Hei,”
Arisa menoleh dan melihat Haruto masuk ke dalam sambil membawa dua gelas air di tangannya.
“Kamu masih di sini rupanya,” kata Arisa datar.
“Ucapanmu dingin sekali.” Balas Haruto sambil tertawa, “Ini Kak Yuya yang membuatkannya untukmu. Dan ini air jeruk nipis yang baru saja kubuat.”
“Air jeruk nipis?”
“Rasanya enak dan segar, terutama kalau dicampur dengan air hangat.” Ujar Haruto, “Makanlah, setelah ini kamu harus minum obat.”
“Di mana Kak Yuya?” tanya Arisa.
“Sudah pergi lagi. Katanya masih ada pekerjaan yang harus dia urus.”
“Oh…”
“Daripada itu, ayo cepat dimakan makanannya. Nanti keburu dingin.”
Arisa megnangguk pelan dan mengambil piring nasinya. Untuk beberapa saat, gadis itu tidak menyentuh sendok di atas piring dan hanya menatap ke depan dengan pandangan menerawang.
“Arisa, kamu kenapa?”
“Tidak apa-apa.” Arisa menggeleng, “Kenapa kamu tidak pergi saja dari sini, sih?”
“Aku tidak mau.”
“Terserah sajalah…”
Arisa mulai memakan makanannya dan diam-diam Haruto menghembuskan nafas lega. Tadi sebelum pergi, Yuya sudah mengatakan padanya kalau Arisa akan susah makan setelah dia mendapat ‘serangan’ dan harus dibujuk berkali-kali sebelum akhirnya gadis itu mau makan.
Tapi, sepertinya Haruto tidak perlu memaksa Arisa untuk makan.
Cowok itu lalu duduk di samping Arisa dan menunggui gadis itu sampai selesai makan. Satu piring nasi dan juga sup jamur habis dimakan oleh Arisa sendirian, dan sekarang gadis itu sedang meminum air jeruk nipisnya pelan-pelan.
“Enak…”
“Tentu saja. Biasanya aku membuat minuman ini saat hujan atau sedang tidak enak badan.” Kata Haruto, “Rasanya segar dan enak, kan?”
“Ya…” Arisa meneguk air jeruk nipisnya lagi.
“Oh ya, setelah ini kamu akan melakukan apa?” tanya Arisa, “Kukira kalau kamu membolos, kamu lebih suka pergi ke studiomu.”
“Memang biasa begitu… tapi hari ini tidak ada orang di studio. Keiko sedang pergi menjemput kakaknya yang baru datang dari luar negeri. Asuka dan Viennie mungkin sedang asyik dengan kegiatan sehari-hari mereka, dan yang lain… well, mereka sibuk.”
Arisa mengangguk-angguk paham.
“Benar juga, ya…” kata Haruto tiba-tiba.
“Apanya?” tanya Arisa.
“Kenapa kamu tidak ikut aku ke studio saja?” kata Haruto, “Kita bisa membuat beberapa lagu, dan… mungkin kamu bisa merekam lagu baru yang kuciptakan.”
“Kamu membuat lagu baru lagi?”
“Ya. Itu hal wajar yang biasa dilakukan oleh penulis lagu, kan?” ujar Haruto, “Kamu mau ikut? Setelah dari studio, kita bisa pergi jalan-jalan ke tempat yang kamu mau.”
“Yang benar?” tanya Arisa lagi, kali ini ada sedikit binar di matanya.
“Tentu saja. Kita bisa pergi ke taman bermain atau hanya pergi ke taman bunga, atau… atau ke tempat manapun yang bisa membuat pikiran tenang.”
Arisa memiringkan kepalanya dan tersenyum.
“Sepertinya itu ide yang bagus.” Kata gadis itu, “Kamu keluar saja dulu, sementara aku berganti baju.”
“Oke.”
Haruto berjalan kearah pintu, tapi tiba-tiba menghentikan langkahnya dan menoleh kearah Arisa.
“Arisa,”
“Hm?”
“Kamu lebih cocok kalau tersenyum seperti tadi.” kata Haruto, “Wajahmu jadi lebih manis.”
Arisa mengerjap mendengar ucapan Haruto. Namun sebelum dia sempat membalas, Haruto sudah lebih dulu keluar dan menutup pintu.
Arisa masih merenung karena ucapan Haruto tadi.
Manis? Dia bilang… aku manis?
Arisa menghembuskan nafas yang entah sejak kapan ditahannya dan berdiri.
“Tidak ada yang manis dari seorang yang pernah menyentuh darah.” Kata Arisa lirih, “Aku tidak manis sama sekali, Haruto…”

0 komentar:

Posting Komentar