Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Angel's Lullaby - Chapter 10



MEET THE NEW MEMBERS OF NISHIZU!
THEY’RE 5 YOUTH WITH THEIR OWN TALENT
JUST CLICK THEIR NAME AND YOU’LL GET THEIR PROFILE,DEMO VIDEO, AND OF COURSE, THEIR LINKS. SUPPORT THEM TO BE THE BEST OF YOUR CHOICE!


Ø  Harry
Ø  ReiA
Ø  46Shiku
Ø  Lumia
Ø  Yuri-nin

DON’T FORGET TO SUBSCRIBE THEIR CHANNEL ON ViDi TO GET UPDATE OF THEIR VIDEO~!
RANKS OF THIS MONTH :
Ø  Yuri-nin ~ Starry Sky (7.078.908 viewers)
Ø  ReiA ~ Kimi no Kao Misete (7.067.009 viewers)
Ø  46shiku ~ Noah’s Paradise (6.900.000 viewers)
Ø  Lumia ~ Secret? Great! (5.982.234 viewers)
Ø  Harry ~ Broadway’s Theater (5.982.233 viewers)

Arisa menatap halaman website Nishizu yang diberitahukan oleh Haruto lebih dari 3 bulan lalu, dan dia sempat mengerutkan melihat nama-nama yang cukup unik itu (yang setelah dia lihat, ternyata adalah nama alias teman-temannya yang terpilih sebagai Nishizu). Warna-warni cerah seperti biru, merah, dan kuning menghiasi background website tersebut, menjadikannya bernuansa meriah. Mungkin itu adalah satu daya tarik website Nishizu.
“Bagaimana?” Mina melongokkan kepalanya, ikut menatap ponsel yang digunakan Arisa untuk mengakses internet.
“Seperti biasa, Yuri-nin menjadi peringkat pertama.” sahut Debby sambil tersenyum lebar pada Arisa, “Great job, Arisa! Kamu benar-benar menarik perhatian para netizen!”
“Biasa saja.” balas Arisa sambil mematikan layar ponselnya.
“Apanya yang biasa-biasa saja? Kamu itu sudah terkenal, bahkan sebelum benar-benar menjadi Nishizu!” kata Tami, “Kalau aku, mungkin sudah senang setengah mati karena menjadi peringkat pertama berturut-turut selama 3 bulan melakukan pre-debut seperti itu.”
Arisa hanya memaksakan seulas senyum.
Sekarang jam istirahat, dan mereka sedang berada di kantin, memaksa Arisa yang mendadak tidak berselera makan, untuk makan seporsi bento special yang biasanya dijual pada hari-hari tertentu.
“Tapi, aku baru tahu, lho, kalau kamu Yuri-nin yang itu,” ujar Tami, “Banyak teman-teman Facebook-ku yang bertanya-tanya bagaimana bisa Yuri-nin menjadi Nishizu. Eits, jangan menatapku seolah aku sedang membongkar rahasia, ya! Mereka memang sempat bertanya padaku, tapi aku tentu saja menjawab tidak tahu.”
“Memangnya aku menatapmu dengan tatapan menuduh?” tanya Arisa mengangkat sebelah alisnya, “Tapi, untung saja Nishizu memiliki peraturan agar tidak menampakkan wajah asli pada public. Jadi akun social mediaku tidak dibanjiri pertanyaan atau hal lain yang bisa membuatku menutup semua akun itu.”
Debby dan Tami sama-sama tertawa geli sementara Mina hanya bisa tersenyum.
“Ngomong-ngomong, aku dengar dari Mina katanya kamu sering diajak Haruto keluar, ya? Katanya kamu juga ketemu kakak angkatnya yang pianis itu.” kata Debby.
“Maksudnya Reno Kuriyama? Yang benar, Arisa?” tanya Tami dengan mata melebar.
“Iya…” Arisa menyuap bento-nya dengan tidak berselera. Entah kenapa hari ini nafsu makannya menurun drastic.
“Haruto sering mengajakku bertemu kakaknya. Kebetulan kakaknya itu suka kalau ada yang mampir ke apartemennya. Kata Haruto, Reno sering bepergian ke luar negeri, jadi terkadang hanya beberapa bulan saja dia di sini, sekedar bertemu keluarga atau mengisi acara on air di TV.”
“Tapi, dia mengajakmu bertemu kakaknya!” kata Tami, “Itu berarti, mungkin…”
“Apa?” Arisa mengerutkan kening melihat senyum Tami makin melebar.
“Aish! Masa, kamu tidak mengerti, sih?” kata Debby gemas, “Itu artinya, Haruto berniat menjadikanmu pacarnya!”
Kali ini Arisa yakin dia membelalakkan matanya dan menyuarakan kekagetannya dengan keras.
“Apa!!?”
“Aish… kencang sekali suaramu.” Keluh Mina, “Pelan-pelan sedikit, dong, Arisa. Kamu mau semua orang di kantin memandangmu?”
“Tidak.” Arisa cepat-cepat menampakkan wajah datarnya, “Dan apa maksudmu kalau Haruto ingin menjadikanku pacarnya? Sikapnya saja seperti Kak Yuya yang lebih protektif padaku.”
“Hah… kamu memang tidak terlalu peka pada perasaan orang lain, ya?” kata Debby, “Begini, Arisa. Walau mungkin kamu tidak menyadari, tapi nyaris semua orang yang melihatmu dan Haruto berpikiran kalian berdua adalah sepasang kekasih. Bayangkan saja, dibanding para trainee perempuan lain yang sama-sama ikut program di Mirai Entertainment denganmu dan Mina, hanya kamu yang diperhatikan, dan seolah di-‘anak emas’kan.”
“Aku tidak—” Arisa melenguh dan meminum lemon tea-nya dengan jengkel, “Kenapa semua orang berpikiran kalau aku dan dia berpacaran? Kami tidak berpacaran, sama sekali!”
“Tapi…”
“Sudahlah, Debby, Tami, jangan memaksa Arisa.” Sela Mina, “Lagipula, masih belum terbukti Haruto akan menjadikan Arisa sebagai kekasihnya, jadi, kita harus bersabar menunggu hal itu terjadi.”
Tami dan Debby mengeluh bersamaan, sementara Arisa hanya menatap ketiga temannya, terutama Mina.
“Itu pujian atau hinaan, sebenarnya?” katanya pelan.

***

Lisa menatap ponselnya dengan kesal. Lagi-lagi ia kalah dari Arisa! Bahkan dalam voting yang diadakan oleh Nishizu sekalipun.
Kenapa harus dia lagi yang mendapatkan perhatian? Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan! Batin Lisa geram.
Beberapa teman sekelas yang duduk di dekatnya sibuk membahas tentang website Nishizu. Kebanyakan, mereka membahas si peringkat pertama dalam situs tersebut, Yuri-nin.
“Aku tidak menyangka ternyata Yuri-nin bergabung dengan Nishizu!” ujar salah seorang diantara mereka. “Aku penggemar beratnya sejak pertama kali dia muncul. Suaranya benar-benar mengagumkan, dan voice pitch-nya sangat sempurna.”
“Benar! Kakakku juga penggemar berat Yuri-nin, dan dia sangat senang ketika tahu Yuri-nin menjadi Nishizu.” Sahut yang lain, “Tapi, Nishizu yang lain juga punya kualitasnya sendiri. Aku juga suka Nishizu yang bernama Harry. Suaranya benar-benar seksi!”
“Aku sudah mendengarkan demo video puluhan kali, dan tidak pernah bosan. Kau tahu, Starry Sky dan juga Kimi no Kao Misete benar-benar menjadi lagu favorituku.”
“Ngomong-ngomong, demo video itu baru pre-debut mereka, kan? Aku tidak sabar menungu debut mereka yang sesungguhnya. Pasti lebih keren daripada yang sekarang.”
“Benar, benar… aku juga tidak sabar.”
Lisa memicingkan mata mendengarkan percakapan mereka. Bisa-bisanya mereka berbicara seperti itu! Mereka benar-benar tidak bisa memilih siapa yang terbaik!
Tapi, Lisa sadar, mereka tidak tahu dia termasuk 5 Nishizu yang sedang mereka bicarakan. Namun, tetap saja, Lisa merasa tidak senang. Dia jengkel, kenapa semua orang lebih memilih Yuri-nin alias Arisa? Ini benar-benar tidak adil!
Aku benar-benar harus membuat perhitungan dengannya!
Lisa berdiri dengan sengaja membuat kursinya berderak keras dan menarik perhatian teman-temannya. Tapi, Lisa tidak peduli. Dia hanya ingin melampiaskan kemarahannya.

***

Arisa membereskan buku-bukunya ketika jam pulang sekolah tiba. Dia menghembuskan nafas dengan gembira, dan tertegun sebentar. Dia tidak pernah merasa benar-benar gembira. Tapi, anehnya, kali ini dia merasa… ringan.
Setelah berdoa bersama sebelum pulang, Arisa langsung menuju ruang loker sepatu bersama ketiga temannya. Sambil mengobrol, mereka berganti sepatu khusus dengan sepatu mereka.
“Arisa,”
Arisa menoleh dan melihat seorang cowok, mungkin senior dari SMA, menghampirinya.
“Kau Arisa, kan?” tanya cowok itu lagi.
Arisa mengangguk pelan, “Ada apa, ya, Kak?” tanyanya.
“Ada sesuatu yang ingin kuberikan padamu.” Cowok itu mengeluarkan sesuatu dari tasnya dan menyerahkannya pada Arisa. Sebuah kotak kecil yang dibungkus kertas berwarna perak.
“Ini dari seseorang. Aku disuruh menyampaikan ini untukmu.” Kata cowok itu, “Sudah, ya?”
Arisa memandang kotak kecil yang dibungkus kertas perak itu dengan kening berkerut.
“Apa itu, Arisa?” tanya Tami yang berdiri di sebelahnya.
“Entahlah,” kata Arisa, “Katanya ini dari seseorang…”
“Jangan-jangan Haruto?” tebak Tami lagi, “Ciee… yang dapat hadiah dari pengagum baru…”
“Apaan, sih?”
“Ini, Arisa dapat hadiah dari Haruto.” Kata Tami.
“Masa? Coba buka, Arisa!” kata Debby.
Arisa membuka pita yang mengikat kotak itu dan membuka kertas peraknya. Dia tertegun ketika mendapati sebuah kotak kardus kecil yang kelihatannya cukup untuk memuat sebuah boneka kecil seukuran kepalan tangannya.
“Cepat buka, Arisa!” kata Debby lagi.
“Iya, iya… sabar.”
Arisa membuka penutup kotaknya dan tiba-tiba saja dia melempar kotak itu ke lantai. Wajahnya kelihatan ketakutan dan pucat pasi.
“A, Arisa, kenapa?” tanya Mina kaget.
“I, itu… kotak itu isinya…”
Mina mengambil kotak itu dan membukanya. Dia terkejut melihat kepala kucing kecil yang sudah mati berada di dalamnya. Tami dan Debby yang ikut melihat juga terkejut.
“Apa ini? Kepala kucing… darah… astaga…”
“Sama… ini sama seperti waktu itu…” kata Arisa.
“Eh?”
“Dia… dia masih ada… di sini…” kata Arisa yang masih ketakutan, “Dia… dia…”
“Arisa?”
Mereka berempat serempak menoleh dan melihat Haruto berdiri di depan pintu loker.
“H, Haruto…?”
Tubuh Arisa tiba-tiba lunglai dan gadis itu jatuh pingsan. Debby dan Tami yang berada di dekat Arisa cepat-cepat menangkap tubuh gadis itu sebelum menyentuh lantai.
“Arisa, bangun! Arisa!”
Haruto mendekati mereka, dan dia melihat wajah Arisa yang pucat.
“Wajahnya pucat sekali,” gumam Debby.
“Kita bawa dia ke ruang UKS. Ayo!”
Haruto segera mengangkat tubuh Arisa dan Debby menunjukkan jalan kearah ruang UKS. Ketika sampai di sana, tidak ada perawat yang biasa bertugas, dan Haruto langsung merebahkan tubuh Arisa di salah satu tempat tidur.
“Aku akan mengambilkan sesuatu untuk membuatnya sadar.” kata Tami, lalu segera menghampiri kotak obat di meja perawat.
Haruto menempelkan telapak tangannya di kening Arisa dan merasakan keringat dingin yang mengalir di sana.
“Apa yang terjadi padanya? Kenapa dia bisa pingsan?” tanya Haruto.
“Kami juga tidak tahu,” kata Mina, “tapi tadi setelah dia melihat kepala kucing mati di kotak…”
“Kepala kucing mati?”
“Iya. Tadi ada cowok yang memberikan kotak kecil pada Arisa. Kami kira itu hadiah salah satu fans-nya, tapi ternyata isinya kepala kucing mati.” Ujar Mina.
“Takut…”
Mereka sama-sama menoleh kearah Arisa yang terbaring di tempat tidur. Wajah gadis itu bahkan lebih pucat dari yang tadi.
“Takut… tolong… seseorang, tolong aku…” Arisa berkata lagi, “Tolong aku… aku tidak… bersalah…”
“Arisa? Arisa, bangun!”
Haruto menepuk-nepuk pipi Arisa sambil menyebut nama gadis itu, tapi Arisa tidak kunjung sadar.
Tami kembali dengan sebuah botol minyak angin kecil di tangannya. Dia memberikan botol itu pada Haruto yang langsung mendekatkan mulut botol itu ke hidung Arisa.
 Kedua kelopak mata Arisa bergetar dan dia mengerjap lemah.
“Haru… to…?”
“Syukurlah kamu sudah sadar.” kata Haruto menghembuskan nafas lega. “Apa yang terjadi? Kata temanmu kamu pingsan setelah melihat kepala kucing mati.”
“Kepala… kucing mati?” Arisa mengerutkan kening, tapi kemudian dia terduduk tegak dan mulai menjerit.
“A, Arisa?”
“Bukan aku!! Bukan aku yang melakukannya!!” jerit Arisa, “Aku tidak bersalah! Aku tidak tahu apa-apa!!”
“Arisa, kamu bicara apa?” tanya Mina yang ikut menenangkan Arisa, “Tidak ada yang menyalahkanmu, Arisa…”
“Bukan aku yang bersalah! Mereka yang bersalah!!” Arisa masih menjerit histeris, “A, aku… aku…”
Haruto meletakkan dua jarinya di leher Arisa dan membuat gadis itu mendongak kearahnya. Sorot mata gadis itu tampak ketakutan dan nafasnya memburu.
“Arisa, tenang. Tidak ada yang akan menyalahkanmu.” Kata Haruto. “Kamu akan baik-baik saja. Aku janji.”
Arisa mengerjapkan matanya beberapa kali dan kesadaran sepertinya menyerap ke dalam mata Arisa. Nafas gadis itu juga tidak lagi memburu dan kembali terdengar teratur. Ketika melihat Arisa benar-benar tenang, Haruto melepaskan jarinya dari leher Arisa.
“Arisa, kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Debby.
“A, aku tidak apa-apa…” Arisa menggeleng, “Kurasa… kurasa aku mau pulang saja. Aku merasa tidak enak badan.”
“Aku akan mengatakannya pada Miss Gina yang akan mengajar pelajaran berikutnya.” kata Tami, “Aku akan kembali ke kelas dan membawakan tasmu. Tunggu di sini.”
Arisa mengangguk dan dia menatap Debby dan Mina yang menatapnya khawatir.
“Aku baik-baik saja.” kata Arisa, “Kalian tidak perlu mengkhawatirkanku—ah, ya… kalian melihatku menjerit tadi, ya?”
Debby dan Mina sama-sama mengangguk.
“Mungkin kalian punya pertanyaan kenapa aku menjerit tadi… tapi aku tidak bisa menjawabnya sekarang.” kata Arisa, “Itu… itu berhubungan dengan masa laluku, dan aku tidak mau membicarakannya.”
“Kami bisa mengerti.” kata Debby, “Lagipula, kita sudah berteman sejak lama, jadi aku tahu kamu tidak akan mau mengatakannya kecuali kalau kamu ingin.”
“Debby…”
“Tidak apa-apa, Arisa. Kami tidak marah padamu, kok.” Kata Debby lagi, kali ini sambil tersenyum. “Kalau aku marah padamu, bagaimana mungkin aku bisa tahan berteman denganmu sejak kita SD?”
“Itu pujian atau hinaan?” tanya Arisa, “Tapi, terima kasih. Maaf aku tidak bisa mengatakannya…”
“Tidak apa-apa, Arisa, bukankah aku sudah bilang tadi?” ujar Debby, “Yang terpenting adalah kamu harus sehat dulu, baru ceritakan segalanya pada kami.”
Arisa menatap Debby dan Mina, kemudian mengangguk pelan.
“Dan sepertinya Haruto juga tahu kenapa kamu menjerit barusan, tapi tidak mau mengatakannya.” Kata Mina melirik kearah Haruto.
“Aku memang tahu, tapi aku sudah berjanji pada kedua orangtua Arisa untuk tidak mengatakannya.” Ujar Haruto.
“Oke…” Mina mengangguk-angguk, “Kamu yang akan mengantarkan Arisa ke rumah?”
Haruto mengangguk.
“Kalau begitu, pastikan dia makan dan tidur sesampainya di rumah. Dan jangan lupa suruh dia meminum obatnya. Ibunya pernah mengatakan padaku kalau dia harus minum obat setiap kali… terkena serangan? Apa yang tadi terjadi pada Arisa termasuk ‘serangan’ yang dimaksud ibunya?”
“Ya. Aku sudah diberitahu oleh beliau.” ujar Haruto, “Jangan khawatir. Aku akan memastikan dia meminum obatnya.”
“Mina, kadang-kadang kamu seperti ibuku saja.” kata Arisa sambil mengerutkan kening.
“Seseorang terkadang harus menjadi ibumu karena kamu termasuk anak yang tidak bisa diatur.” Balas Mina.
“Apa maksudnya itu?”
“Sudah, sudah…” Debby terkikik melihat raut wajah Arisa tampak ‘tersiksa’. “Arisa, kamu harus janji akan menceritakan semuanya pada kami ketika kamu siap. Oke?”
“Ya,” Arisa mengangguk pelan.
Tami kembali dengan membawa tas Arisa.
Haruto membantu Arisa berdiri dan melihat kedua kaki gadis itu gemetar.
“Kamu bisa berjalan sendiri?” tanya cowok itu.
“Ya. Memangnya kenapa?”
“Kakimu gemetar.” kata Haruto, “Tidak ada pilihan lain.”
“Hah? Eh—tunggu! Kamu ngapain!?”
Haruto menyelipkan kedua tangannya di punggung dan kaki Arisa dan menggendong gadis itu. Arisa yang kaget langsung melingkarkan kedua lengannya di leher Haruto. Pipinya memerah ketika menyadari Haruto menggendongnya seperti pria yang menggendong pengantinnya.
Ketiga teman Arisa yang melihatnya langsung terkikik geli. Tami bahkan bersiul menggoda Arisa hingga membuat pipi gadis itu memerah.
“Aku bisa jalan sendiri.” kata Arisa. “Tidak perlu kamu gendong segala.”
“Tapi kakimu gemetaran. Aku tidak mau mengambil resiko kamu terjatuh dan malah melukai dirimu sendiri.”
“A—”
“Sudahlah, Arisa. Turuti saja apa kata suamimu.” Ujar Tami sambil tertawa geli.
“Dia bukan suami—uh… kalian ini benar-benar senang sekali menggodaku!” kata Arisa sambil memberengut.
Haruto hanya tertawa melihat wajah Arisa yang memerah.
“Aku akan mengantarnya pulang. Tolong kalian sampaikan izin pada guru yang akan mengajar di kelas kalian nanti, ya?” kata Haruto.
“Tentu.” Kata Mina.
“Nah, ayo kita pergi, Tuan Putri.” Kata Haruto sambil tersenyum lebar.
“S, siapa yang kamu sebut Tuan Putri!?”

***

Tanpa sepengetahuan mereka, seseorang sedang mengawasi. Matanya tidak lepas dari sosok Haruto yang sedang menggendong Arisa. Sebelah tangannya memegang ponsel dan sedang menempelkannya di telinga kirinya.
Bagaimana?” tanya suara di seberang telepon.
“Hasilnya luar biasa. Dia ketakutan, bahkan sampai menjerit.”
Begitu? Berarti dia masih mengingatnya. Peristiwa yang merenggut kebebasannya…
“Lalu, setelah ini apa? Pekerjaanku sudah selesai, kan?”
Belum. Pekerjaanmu masih belum selesai. Masih ada yang harus kamu lakukan agar dia mengingat semuanya.
“Baiklah…” dia menghela nafas, “Kali ini apa pekerjaanku, Kak?”

0 komentar:

Posting Komentar