MEET THE NEW MEMBERS OF NISHIZU!
THEY’RE 5 YOUTH WITH THEIR OWN TALENT
JUST CLICK THEIR NAME AND YOU’LL GET THEIR PROFILE,DEMO VIDEO,
AND OF COURSE, THEIR LINKS. SUPPORT THEM TO BE THE BEST OF YOUR CHOICE!
Ø Harry
Ø ReiA
Ø 46Shiku
Ø Lumia
Ø Yuri-nin
DON’T FORGET TO SUBSCRIBE THEIR CHANNEL ON ViDi TO GET UPDATE
OF THEIR VIDEO~!
RANKS OF
THIS MONTH :
Ø Yuri-nin ~ Starry Sky
(7.078.908 viewers)
Ø ReiA ~ Kimi no Kao Misete
(7.067.009 viewers)
Ø 46shiku ~ Noah’s Paradise
(6.900.000 viewers)
Ø Lumia ~ Secret? Great!
(5.982.234 viewers)
Ø Harry ~ Broadway’s Theater
(5.982.233 viewers)
Arisa
menatap halaman website Nishizu yang
diberitahukan oleh Haruto lebih dari 3 bulan lalu, dan dia sempat mengerutkan
melihat nama-nama yang cukup unik itu (yang setelah dia lihat, ternyata adalah
nama alias teman-temannya yang terpilih sebagai Nishizu). Warna-warni cerah
seperti biru, merah, dan kuning menghiasi background
website tersebut, menjadikannya
bernuansa meriah. Mungkin itu adalah satu daya tarik website Nishizu.
“Bagaimana?”
Mina melongokkan kepalanya, ikut menatap ponsel yang digunakan Arisa untuk
mengakses internet.
“Seperti
biasa, Yuri-nin menjadi peringkat pertama.” sahut Debby sambil tersenyum lebar
pada Arisa, “Great job, Arisa! Kamu
benar-benar menarik perhatian para netizen!”
“Biasa
saja.” balas Arisa sambil mematikan layar ponselnya.
“Apanya
yang biasa-biasa saja? Kamu itu sudah terkenal, bahkan sebelum benar-benar
menjadi Nishizu!” kata Tami, “Kalau aku, mungkin sudah senang setengah mati
karena menjadi peringkat pertama berturut-turut selama 3 bulan melakukan pre-debut seperti itu.”
Arisa
hanya memaksakan seulas senyum.
Sekarang
jam istirahat, dan mereka sedang berada di kantin, memaksa Arisa yang mendadak
tidak berselera makan, untuk makan seporsi bento
special yang biasanya dijual pada hari-hari tertentu.
“Tapi,
aku baru tahu, lho, kalau kamu Yuri-nin yang itu,” ujar Tami, “Banyak teman-teman Facebook-ku yang
bertanya-tanya bagaimana bisa Yuri-nin menjadi Nishizu. Eits, jangan menatapku
seolah aku sedang membongkar rahasia, ya! Mereka memang sempat bertanya padaku,
tapi aku tentu saja menjawab tidak tahu.”
“Memangnya
aku menatapmu dengan tatapan menuduh?” tanya Arisa mengangkat sebelah alisnya,
“Tapi, untung saja Nishizu memiliki peraturan agar tidak menampakkan wajah asli
pada public. Jadi akun social mediaku tidak dibanjiri pertanyaan atau hal lain
yang bisa membuatku menutup semua akun itu.”
Debby
dan Tami sama-sama tertawa geli sementara Mina hanya bisa tersenyum.
“Ngomong-ngomong,
aku dengar dari Mina katanya kamu sering diajak Haruto keluar, ya? Katanya kamu
juga ketemu kakak angkatnya yang pianis itu.” kata Debby.
“Maksudnya
Reno Kuriyama? Yang benar, Arisa?” tanya Tami dengan mata melebar.
“Iya…”
Arisa menyuap bento-nya dengan tidak
berselera. Entah kenapa hari ini nafsu makannya menurun drastic.
“Haruto
sering mengajakku bertemu kakaknya. Kebetulan kakaknya itu suka kalau ada yang
mampir ke apartemennya. Kata Haruto, Reno sering bepergian ke luar negeri, jadi
terkadang hanya beberapa bulan saja dia di sini, sekedar bertemu keluarga atau
mengisi acara on air di TV.”
“Tapi,
dia mengajakmu bertemu kakaknya!” kata Tami, “Itu berarti, mungkin…”
“Apa?”
Arisa mengerutkan kening melihat senyum Tami makin melebar.
“Aish!
Masa, kamu tidak mengerti, sih?” kata Debby gemas, “Itu artinya, Haruto berniat
menjadikanmu pacarnya!”
Kali
ini Arisa yakin dia membelalakkan matanya dan menyuarakan kekagetannya dengan
keras.
“Apa!!?”
“Aish…
kencang sekali suaramu.” Keluh Mina, “Pelan-pelan sedikit, dong, Arisa. Kamu
mau semua orang di kantin memandangmu?”
“Tidak.”
Arisa cepat-cepat menampakkan wajah datarnya, “Dan apa maksudmu kalau Haruto
ingin menjadikanku pacarnya? Sikapnya saja seperti Kak Yuya yang lebih
protektif padaku.”
“Hah…
kamu memang tidak terlalu peka pada perasaan orang lain, ya?” kata Debby,
“Begini, Arisa. Walau mungkin kamu tidak menyadari, tapi nyaris semua orang
yang melihatmu dan Haruto berpikiran kalian berdua adalah sepasang kekasih.
Bayangkan saja, dibanding para trainee
perempuan lain yang sama-sama ikut program di Mirai Entertainment denganmu dan
Mina, hanya kamu yang diperhatikan, dan seolah di-‘anak emas’kan.”
“Aku
tidak—” Arisa melenguh dan meminum lemon
tea-nya dengan jengkel, “Kenapa semua orang berpikiran kalau aku dan dia
berpacaran? Kami tidak berpacaran, sama sekali!”
“Tapi…”
“Sudahlah,
Debby, Tami, jangan memaksa Arisa.” Sela Mina, “Lagipula, masih belum terbukti
Haruto akan menjadikan Arisa sebagai kekasihnya, jadi, kita harus bersabar
menunggu hal itu terjadi.”
Tami
dan Debby mengeluh bersamaan, sementara Arisa hanya menatap ketiga temannya,
terutama Mina.
“Itu
pujian atau hinaan, sebenarnya?” katanya pelan.
***
Lisa
menatap ponselnya dengan kesal. Lagi-lagi ia kalah dari Arisa! Bahkan dalam voting yang diadakan oleh Nishizu
sekalipun.
Kenapa harus dia
lagi yang mendapatkan perhatian? Ini benar-benar tidak bisa dibiarkan!
Batin Lisa geram.
Beberapa
teman sekelas yang duduk di dekatnya sibuk membahas tentang website Nishizu. Kebanyakan, mereka
membahas si peringkat pertama dalam situs tersebut, Yuri-nin.
“Aku
tidak menyangka ternyata Yuri-nin bergabung dengan Nishizu!” ujar salah seorang
diantara mereka. “Aku penggemar beratnya sejak pertama kali dia muncul.
Suaranya benar-benar mengagumkan, dan voice
pitch-nya sangat sempurna.”
“Benar!
Kakakku juga penggemar berat Yuri-nin, dan dia sangat senang ketika tahu
Yuri-nin menjadi Nishizu.” Sahut yang lain, “Tapi, Nishizu yang lain juga punya
kualitasnya sendiri. Aku juga suka Nishizu yang bernama Harry. Suaranya
benar-benar seksi!”
“Aku
sudah mendengarkan demo video puluhan
kali, dan tidak pernah bosan. Kau tahu, Starry
Sky dan juga Kimi no Kao Misete
benar-benar menjadi lagu favorituku.”
“Ngomong-ngomong,
demo video itu baru pre-debut mereka, kan? Aku tidak sabar
menungu debut mereka yang sesungguhnya. Pasti lebih keren daripada yang
sekarang.”
“Benar,
benar… aku juga tidak sabar.”
Lisa
memicingkan mata mendengarkan percakapan mereka. Bisa-bisanya mereka berbicara
seperti itu! Mereka benar-benar tidak bisa memilih siapa yang terbaik!
Tapi,
Lisa sadar, mereka tidak tahu dia termasuk 5 Nishizu yang sedang mereka
bicarakan. Namun, tetap saja, Lisa merasa tidak senang. Dia jengkel, kenapa
semua orang lebih memilih Yuri-nin alias Arisa? Ini benar-benar tidak adil!
Aku benar-benar
harus membuat perhitungan dengannya!
Lisa
berdiri dengan sengaja membuat kursinya berderak keras dan menarik perhatian
teman-temannya. Tapi, Lisa tidak peduli. Dia hanya ingin melampiaskan
kemarahannya.
***
Arisa
membereskan buku-bukunya ketika jam pulang sekolah tiba. Dia menghembuskan
nafas dengan gembira, dan tertegun sebentar. Dia tidak pernah merasa
benar-benar gembira. Tapi, anehnya, kali ini dia merasa… ringan.
Setelah
berdoa bersama sebelum pulang, Arisa langsung menuju ruang loker sepatu bersama
ketiga temannya. Sambil mengobrol, mereka berganti sepatu khusus dengan sepatu
mereka.
“Arisa,”
Arisa
menoleh dan melihat seorang cowok, mungkin senior dari SMA, menghampirinya.
“Kau
Arisa, kan?” tanya cowok itu lagi.
Arisa
mengangguk pelan, “Ada apa, ya, Kak?” tanyanya.
“Ada
sesuatu yang ingin kuberikan padamu.” Cowok itu mengeluarkan sesuatu dari
tasnya dan menyerahkannya pada Arisa. Sebuah kotak kecil yang dibungkus kertas
berwarna perak.
“Ini
dari seseorang. Aku disuruh menyampaikan ini untukmu.” Kata cowok itu, “Sudah,
ya?”
Arisa
memandang kotak kecil yang dibungkus kertas perak itu dengan kening berkerut.
“Apa
itu, Arisa?” tanya Tami yang berdiri di sebelahnya.
“Entahlah,”
kata Arisa, “Katanya ini dari seseorang…”
“Jangan-jangan
Haruto?” tebak Tami lagi, “Ciee… yang dapat hadiah dari pengagum baru…”
“Apaan,
sih?”
“Ini,
Arisa dapat hadiah dari Haruto.” Kata Tami.
“Masa?
Coba buka, Arisa!” kata Debby.
Arisa
membuka pita yang mengikat kotak itu dan membuka kertas peraknya. Dia tertegun
ketika mendapati sebuah kotak kardus kecil yang kelihatannya cukup untuk memuat
sebuah boneka kecil seukuran kepalan tangannya.
“Cepat
buka, Arisa!” kata Debby lagi.
“Iya,
iya… sabar.”
Arisa
membuka penutup kotaknya dan tiba-tiba saja dia melempar kotak itu ke lantai.
Wajahnya kelihatan ketakutan dan pucat pasi.
“A,
Arisa, kenapa?” tanya Mina kaget.
“I,
itu… kotak itu isinya…”
Mina
mengambil kotak itu dan membukanya. Dia terkejut melihat kepala kucing kecil
yang sudah mati berada di dalamnya. Tami dan Debby yang ikut melihat juga
terkejut.
“Apa
ini? Kepala kucing… darah… astaga…”
“Sama…
ini sama seperti waktu itu…” kata Arisa.
“Eh?”
“Dia…
dia masih ada… di sini…” kata Arisa yang masih ketakutan, “Dia… dia…”
“Arisa?”
Mereka
berempat serempak menoleh dan melihat Haruto berdiri di depan pintu loker.
“H,
Haruto…?”
Tubuh
Arisa tiba-tiba lunglai dan gadis itu jatuh pingsan. Debby dan Tami yang berada
di dekat Arisa cepat-cepat menangkap tubuh gadis itu sebelum menyentuh lantai.
“Arisa,
bangun! Arisa!”
Haruto
mendekati mereka, dan dia melihat wajah Arisa yang pucat.
“Wajahnya
pucat sekali,” gumam Debby.
“Kita
bawa dia ke ruang UKS. Ayo!”
Haruto
segera mengangkat tubuh Arisa dan Debby menunjukkan jalan kearah ruang UKS.
Ketika sampai di sana, tidak ada perawat yang biasa bertugas, dan Haruto
langsung merebahkan tubuh Arisa di salah satu tempat tidur.
“Aku
akan mengambilkan sesuatu untuk membuatnya sadar.” kata Tami, lalu segera
menghampiri kotak obat di meja perawat.
Haruto
menempelkan telapak tangannya di kening Arisa dan merasakan keringat dingin
yang mengalir di sana.
“Apa
yang terjadi padanya? Kenapa dia bisa pingsan?” tanya Haruto.
“Kami
juga tidak tahu,” kata Mina, “tapi tadi setelah dia melihat kepala kucing mati
di kotak…”
“Kepala
kucing mati?”
“Iya.
Tadi ada cowok yang memberikan kotak kecil pada Arisa. Kami kira itu hadiah
salah satu fans-nya, tapi ternyata isinya kepala kucing mati.” Ujar Mina.
“Takut…”
Mereka
sama-sama menoleh kearah Arisa yang terbaring di tempat tidur. Wajah gadis itu
bahkan lebih pucat dari yang tadi.
“Takut…
tolong… seseorang, tolong aku…” Arisa berkata lagi, “Tolong aku… aku tidak…
bersalah…”
“Arisa?
Arisa, bangun!”
Haruto
menepuk-nepuk pipi Arisa sambil menyebut nama gadis itu, tapi Arisa tidak
kunjung sadar.
Tami
kembali dengan sebuah botol minyak angin kecil di tangannya. Dia memberikan
botol itu pada Haruto yang langsung mendekatkan mulut botol itu ke hidung
Arisa.
Kedua kelopak mata Arisa bergetar dan dia
mengerjap lemah.
“Haru…
to…?”
“Syukurlah
kamu sudah sadar.” kata Haruto menghembuskan nafas lega. “Apa yang terjadi?
Kata temanmu kamu pingsan setelah melihat kepala kucing mati.”
“Kepala…
kucing mati?” Arisa mengerutkan kening, tapi kemudian dia terduduk tegak dan
mulai menjerit.
“A,
Arisa?”
“Bukan
aku!! Bukan aku yang melakukannya!!” jerit Arisa, “Aku tidak bersalah! Aku tidak
tahu apa-apa!!”
“Arisa,
kamu bicara apa?” tanya Mina yang ikut menenangkan Arisa, “Tidak ada yang
menyalahkanmu, Arisa…”
“Bukan
aku yang bersalah! Mereka yang bersalah!!” Arisa masih menjerit histeris, “A,
aku… aku…”
Haruto
meletakkan dua jarinya di leher Arisa dan membuat gadis itu mendongak
kearahnya. Sorot mata gadis itu tampak ketakutan dan nafasnya memburu.
“Arisa,
tenang. Tidak ada yang akan menyalahkanmu.” Kata Haruto. “Kamu akan baik-baik
saja. Aku janji.”
Arisa
mengerjapkan matanya beberapa kali dan kesadaran sepertinya menyerap ke dalam
mata Arisa. Nafas gadis itu juga tidak lagi memburu dan kembali terdengar
teratur. Ketika melihat Arisa benar-benar tenang, Haruto melepaskan jarinya
dari leher Arisa.
“Arisa,
kamu tidak apa-apa, kan?” tanya Debby.
“A,
aku tidak apa-apa…” Arisa menggeleng, “Kurasa… kurasa aku mau pulang saja. Aku
merasa tidak enak badan.”
“Aku
akan mengatakannya pada Miss Gina
yang akan mengajar pelajaran berikutnya.” kata Tami, “Aku akan kembali ke kelas
dan membawakan tasmu. Tunggu di sini.”
Arisa
mengangguk dan dia menatap Debby dan Mina yang menatapnya khawatir.
“Aku
baik-baik saja.” kata Arisa, “Kalian tidak perlu mengkhawatirkanku—ah, ya…
kalian melihatku menjerit tadi, ya?”
Debby
dan Mina sama-sama mengangguk.
“Mungkin
kalian punya pertanyaan kenapa aku menjerit tadi… tapi aku tidak bisa
menjawabnya sekarang.” kata Arisa, “Itu… itu berhubungan dengan masa laluku,
dan aku tidak mau membicarakannya.”
“Kami
bisa mengerti.” kata Debby, “Lagipula, kita sudah berteman sejak lama, jadi aku
tahu kamu tidak akan mau mengatakannya kecuali kalau kamu ingin.”
“Debby…”
“Tidak
apa-apa, Arisa. Kami tidak marah padamu, kok.” Kata Debby lagi, kali ini sambil
tersenyum. “Kalau aku marah padamu, bagaimana mungkin aku bisa tahan berteman
denganmu sejak kita SD?”
“Itu
pujian atau hinaan?” tanya Arisa, “Tapi, terima kasih. Maaf aku tidak bisa
mengatakannya…”
“Tidak
apa-apa, Arisa, bukankah aku sudah bilang tadi?” ujar Debby, “Yang terpenting
adalah kamu harus sehat dulu, baru ceritakan segalanya pada kami.”
Arisa
menatap Debby dan Mina, kemudian mengangguk pelan.
“Dan
sepertinya Haruto juga tahu kenapa kamu menjerit barusan, tapi tidak mau
mengatakannya.” Kata Mina melirik kearah Haruto.
“Aku
memang tahu, tapi aku sudah berjanji pada kedua orangtua Arisa untuk tidak
mengatakannya.” Ujar Haruto.
“Oke…”
Mina mengangguk-angguk, “Kamu yang akan mengantarkan Arisa ke rumah?”
Haruto
mengangguk.
“Kalau
begitu, pastikan dia makan dan tidur sesampainya di rumah. Dan jangan lupa
suruh dia meminum obatnya. Ibunya pernah mengatakan padaku kalau dia harus
minum obat setiap kali… terkena serangan? Apa yang tadi terjadi pada Arisa
termasuk ‘serangan’ yang dimaksud ibunya?”
“Ya.
Aku sudah diberitahu oleh beliau.” ujar Haruto, “Jangan khawatir. Aku akan
memastikan dia meminum obatnya.”
“Mina,
kadang-kadang kamu seperti ibuku saja.” kata Arisa sambil mengerutkan kening.
“Seseorang
terkadang harus menjadi ibumu karena kamu termasuk anak yang tidak bisa
diatur.” Balas Mina.
“Apa
maksudnya itu?”
“Sudah,
sudah…” Debby terkikik melihat raut wajah Arisa tampak ‘tersiksa’. “Arisa, kamu
harus janji akan menceritakan semuanya pada kami ketika kamu siap. Oke?”
“Ya,”
Arisa mengangguk pelan.
Tami
kembali dengan membawa tas Arisa.
Haruto
membantu Arisa berdiri dan melihat kedua kaki gadis itu gemetar.
“Kamu
bisa berjalan sendiri?” tanya cowok itu.
“Ya.
Memangnya kenapa?”
“Kakimu
gemetar.” kata Haruto, “Tidak ada pilihan lain.”
“Hah?
Eh—tunggu! Kamu ngapain!?”
Haruto
menyelipkan kedua tangannya di punggung dan kaki Arisa dan menggendong gadis
itu. Arisa yang kaget langsung melingkarkan kedua lengannya di leher Haruto.
Pipinya memerah ketika menyadari Haruto menggendongnya seperti pria yang
menggendong pengantinnya.
Ketiga
teman Arisa yang melihatnya langsung terkikik geli. Tami bahkan bersiul
menggoda Arisa hingga membuat pipi gadis itu memerah.
“Aku
bisa jalan sendiri.” kata Arisa. “Tidak perlu kamu gendong segala.”
“Tapi
kakimu gemetaran. Aku tidak mau mengambil resiko kamu terjatuh dan malah
melukai dirimu sendiri.”
“A—”
“Sudahlah,
Arisa. Turuti saja apa kata suamimu.” Ujar Tami sambil tertawa geli.
“Dia
bukan suami—uh… kalian ini benar-benar senang sekali menggodaku!” kata Arisa
sambil memberengut.
Haruto
hanya tertawa melihat wajah Arisa yang memerah.
“Aku
akan mengantarnya pulang. Tolong kalian sampaikan izin pada guru yang akan
mengajar di kelas kalian nanti, ya?” kata Haruto.
“Tentu.”
Kata Mina.
“Nah,
ayo kita pergi, Tuan Putri.” Kata Haruto sambil tersenyum lebar.
“S,
siapa yang kamu sebut Tuan Putri!?”
***
Tanpa
sepengetahuan mereka, seseorang sedang mengawasi. Matanya tidak lepas dari
sosok Haruto yang sedang menggendong Arisa. Sebelah tangannya memegang ponsel
dan sedang menempelkannya di telinga kirinya.
“Bagaimana?” tanya suara di seberang
telepon.
“Hasilnya
luar biasa. Dia ketakutan, bahkan sampai menjerit.”
“Begitu? Berarti dia masih mengingatnya. Peristiwa
yang merenggut kebebasannya…”
“Lalu,
setelah ini apa? Pekerjaanku sudah selesai, kan?”
“Belum. Pekerjaanmu masih belum selesai. Masih
ada yang harus kamu lakukan agar dia mengingat semuanya.”
“Baiklah…”
dia menghela nafas, “Kali ini apa pekerjaanku, Kak?”
0 komentar:
Posting Komentar