Aku paling benci dengan kegelapan. Aku benci
tempat-tempat gelap, di mana aku merasa mataku buta dan tidak bisa melihat apa
pun. Aku tidak tahu kenapa, tapi sejak dulu aku sangat benci tempat-tempat
gelap… seperti lorong yang kumasuki sekarang ini.
Tapi… aku, kan setengah Shadow, ya?
Ketakutan yang satu ini memang terlalu… memalukan. Namun, aku tidak bisa tidak
membenci kegelapan. Dulu aku pernah terkurung di tempat gelap dan mendengar
suara-suara aneh. Sejak itu, aku paling benci dengan tempat gelap.
Memang, Michael dan Gabriel
menuntunku—Gabriel berjalan di depanku sementara Michael di belakangku. Mereka
berdua memastikan aku tidak tersandung atau terjatuh, karena menurut Michael,
lorong gelap ini adalah jalan rahasia kalau terjadi sesuatu di akademi.
Lorong ini sangat panjang, dan aku
merasa kalau kami semakin turun ke bawah tanah. Dan, kalian tahu? Aku juga
benci ruang bawah tanah.
“Sebentar lagi kita akan sampai.”
Kata Michael, “Belok ke kanan, ada pintu besi di depan kita. Di sanalah tujuan
kita. Ada dua pintu besi di sana dan—”
“Sepertinya aku mengenal lorong
ini.” sahut Gabriel, “Tidak perlu kamu bilang. Aku tahu pintu besi yang mana.”
Gabriel, dengan kemampuan
penglihatan malamnya, membimbing kami kearah kanan. Aku merasakan bunyi besi
yang berdinting di bawah kakiku.
“Tunggu,” Gabriel berhenti dan
sepertinya sedang berjongkok. “Pintu yang sebelah kiri. Michael, kau punya
kuncinya?”
“Kunci?” nada suara Michael
kebingungan, “Kunci apa?”
Aku yakin aku melihat Gabriel
memutar bola matanya dan menekan telapak tangannya di pintu besi itu. Pintu itu
terbuka dengan suara berderit halus yang nyaris tidak terdengar. Aku mengernyit
ketika melihat cahaya berwarna kebiruan langsung menyerbu penglihatanku.
Ruangan di balik pintu besi itu ternyata
adalah sebuah gudang… harta. Banyak benda-benda antic dan tua, dan kuno di
sini. Ada banyak sarang laba-laba, pertanda bahwa tempat ini tidak pernah
dibersihkan selama puluhan—atau mungkin ratusan tahun, mengingat usia akademi
ini sudah lebih dari lima ratus tahun. Aku menatap sumber cahaya biru yang
kulihat. Di setiap sisi ruangan terdapat obor yang berisikan api berwarna biru
terang.
“Ini adalah ruang harta.” Kata
Gabriel, “Temapt di mana kerajaan pada masa lalu menyimpan hasil kekayaan
Negara dan sang Raja.”
“Darimana kau tahu kunci tempat
ini?” tanyaku.
“Aku… tidak tahu.” dia mengerutkan
kening, “Aku tahu kuncinya begitu saja.”
“Dengan apa?”
“Telapak tanganku.” Balasnya.
“Lucu sekali. Telapak tanganmu
adalah kunci? Apa tubuhmu adalah besi yang dibuat menyerupai manusia?” tanya
Michael, yang kedengaran mengejek.
“Kalau tubuhku adalah besi, Shadow
tentu tidak akan bisa membunuhku.” Balas Gabriel tenang, “Aku tahu kunci tempat
ini begitu saja, seolah ada sesuatu yang menyuruhku untuk membuka pintu ruangan
ini dan bersembunyi di sini.”
“Di sini? Tuan Henry sedang
menunggu Ilana di tempat lain, bukan di tempat ini.” kata Michael.
“Aku tahu. Tapi, di sini ada jalan
pintas yang menuju ke semua gedung di akademi ini.” kata Gabriel, “Ikut aku.
Aku tahu di mana tempatnya.”
Gabriel menuntun kami ke sebuah
pintu yang terletak di belakang sebuah lemari tua yang dipenuhi oleh
benda-benda berwarna emas. Warnanya memudar karena tertutup debu dan dimakan
usia.
Gabriel menyentuh sisi pintu
berkarat itu dan menendangnya. Ada lorong panjang di balik pintu itu, dan aku
menatapnya dengan kening berkerut.
“Aku benci gelap.” Kataku.
“Aku tahu,” katanya, “Berpegangan
saja padaku.”
Tanpa disuruh pun, aku akan
berpegangan pada tangannya. Asal ada seseorang yang menuntunku, aku tidak
keberatan bila berada di ruang gelap. Bukan berarti aku mau dipegang oleh
cowok, tapi… kalian tahulah maksudku.
Michael berjalan lebih dulu di
depan kami. Gabriel terus menggenggam tanganku dan menuntunku berjalan melewati
lorong gelap itu. Dan… percaya atau tidak, kurasa aku mengenal lorong ini,
bahkan dalam keadaan gelap sekalipun.
Langkah kami terhenti ketika
Gabriel memberikan arahan menuju ke kanan. Tanpa banyak kata, kami menuju arah
yang ditunjuknya. Samar-samar, aku melihat setitik cahaya di depan kami. Titik
itu makin lama makin membesar. Dan ketika berada tepat di depan cahaya itu, aku
yakin aku melongo. Cahaya itu berasal dari cermin-cermin yang disusun
sedemikian rupa di langit-langit yang tinggi di atas kami, membentuk sebuah
ukiran yang menceritakan sesuatu.
Dan walau langit-langitnya sangat
indah, tapi ada beberapa retakan yang disebabkan oleh sesuatu, dan tempat ini
juga kotor. Aku sempat melihat bekas-bekas pepohonan yang mengering, batu bata
yang membentuk jalan sepetak yang kami lalui sekarang. Di dekatku ada sebuah
ceruk lebar dan dalam yang kemungkinan besar dulunya adalah sebuah kolam air
yang indah. Ada sebuah patung malaikat kecil yang menuangkan air di
tengah-tengah ceruk itu.
“Garden of Sinner. Taman Para Pendosa.” Kata Gabriel menatap
langit-langit tinggi itu. “Tempat ini dulunya adalah tempat penyucian para
pendosa atau seseorang yang ingin disucikan dari dosanya di masa lalu.
Ukiran-ukiran itu melambangkan empat elemen yang berada di sekitar manusia,
dengan titik hitam di tengah-tengah sebagai dosa yang ingin dihapus.”
“Di sini juga adalah tempat Selene
Edelweiss mendapatkan keabadiannya.” Kata Michael, “Konon, dia mendapatkan
keabadian dari tumbuhan yang dulunya tumbuh di kolam yang sekarang kering itu.”
“Oh ya?” aku menatap ceruk itu dan
membayangkan tanaman apa yang tumbuh di sana.
“Tapi, keabadiannya sangat rapuh.
Menurut buku yang pernah kubaca, keabadian yang didapatkan Selene Edelweiss
memiliki sebuah syarat yang harus ditunaikan. Dan saat syarat itu tidak
terpenuhi, dia akan berubah menjadi Shadow.”
“Dan dia memenuhi semua syaratnya.”
Kataku, “Aku pernah membaca tentang itu.”
Michael mengangguk.
“Ayo, kita harus bergerak cepat.”
katanya, “Sebentar lagi mungkin kita akan bertemu Tuan Henry.”
Kami kembali berjalan. Gabriel
menuntunku mengikuti Michael, dan dia tidak melepaskan tanganku. Kami menemui
satu pintu besi lagi, kali ini hanya satu, dan lebih panjang dan lebih tua. Aku
mengerutkan kening melihat pintu itu. Aku mendapat perasaan tak asing bahwa aku
mengenal pintu ini.
“Pintu ini…”
“Ada apa, Ilana?” tanya Gabriel.
“Tidak…” aku menggeleng pelan.
“Tapi, pintu ini… aku rasa aku pernah melihatnya sebelumnya.”
Gabriel memberikan tatapan heran
padaku, tapi tidak berkata apa-apa.
Michael membuka pintu itu, dengan
sangat mudah. Ketika kami berjalan melewatinya, aku melihat engsel pintu itu
sudah berkarat dan bisa dihanucurkan dengan mudah.
Anak tangga yang panjang menyapa di
depan kami. Dan mau tidak mau kami harus menaikinya.
“Kenapa di sini juga ada tangga,
sih?” kataku mengeluh. “Kenapa bukan jalan lurus panjang yang biasa saja?”
“Karena dulunya akademi ini adalah
istana milik keluarga Edelweiss.” Jawab Michael dengan nada seolah aku
seharusnya tahu tentang hal itu.
Aku memberinya ekspresi cemberutku
yang paling manis.
“Apakah taman yang tadi kita lewati
adalah taman rahasia Edelweiss?” tanyaku polos.
“Ya. Salah satu taman yang katanya
Selene Edelweiss ikut turun tangan untuk membangunnya.” Ujar Gabriel, “Raven
pernah menceritakan padaku, dia pernah mengungsi kemari saat Tuan Arslan
terbunuh.”
“Arslan?” Michael mengerutkan
kening, “Arslan Beverill? Dia sudah mati?”
“Yah… Shadow yang kalian buru
selama lebih dari lima ratus tahun itu sudah mati delapan belas tahun yang
lalu, bersama Selene Edelweiss.”
“Apa!?”
Kekagetan di wajah Michael
sebenarnya cukup menghibur. Tapi, sayangnya, di dalam kegelapan ini,
kekagetannya di wajahnya jadi tidak terlihat.
“Dia mati sebelum kami sempat
memburunya. Ironis sekali.” Kata Michael sarkastik. Atau aku yang mendengarnya
seperti itu?
Kami menaiki tangga dalam diam, dan
hanya ada suara langkah kaki yang bergema sejauh kami melangkah. Ketika
akhirnya aku melihat setitik cahaya lagi, aku merasakan angin menerpa wajahku.
Dan benar, seperti dugaanku. Ini
benar-benar di luar gedung tadi. Aku menoleh ke belakang dan kaget melihat kami
sudah jauh dari akademi. Aku bisa melihat puncak gedung yang tertinggi, yang
tidak lain adalah gedung utama akademi. Baru kusadari juga kalau tempat kami
berada sekarang adalah sebuah bukit kecil yang terletak cukup jauh dari
akademi.
“Bukit ini…”
“Ayo, Ilana, Tuan Henry sudah
menunggumu.”
Kami kembali berjalan ke dalam
hutan di bukit ini. Namun, baru beberapa langkah, aku merasakan seseorang, atau
banyak orang, mengawasi kami.
“Gabriel, apa kamu merasakan ada
yang mengawasi?” tanyaku pelan.
“Kurasa iya. Aku juga
merasakannya.” Balasnya sambil terus berjalan, “Tapi, kita harus mengikuti
temanmu di depan. Kalau tidak kita akan tersesat.”
“Kau takut tersesat?” tanyaku
heran, “Kukira Shadow tidak pernah takut apa pun.”
Gabriel hanya tersenyum muram,
“Kelemahanku. Takut ketiadaan dan ketidak-pastian.”
“Itu bukan kelemahan Shadow.”
“Memang bukan. Itu kelemahan
hatiku.”
“Ha—”
Kata-kataku terhenti ketika Gabriel
menarikku kearahnya dan menyelamatkanku dari sebuah anak panah yang mungkin
ditujukan menembus kepalaku.
“Sial!”
Gabriel melemparkan bola api dari
tangannya kearah penyerangku, dan Michael bersiap dengan pistolnya. Mereka
berdua memosisikan tubuh mereka di depanku, menamengiku.
Beberapa Shadow turun dari atas
pohon dan berdiri di hadapan kami. Mata mereka haus akan energy manusia. Dan
entah bagaimana, aku bisa merasakan rasa lapar mereka tertuju padaku. Itu
membuatku bergidik ngeri.
“Ilana, awas!”
Gabriel mengangkat tubuhku dan
menghindari serangan dari seorang Shadow yang berusaha menikamku dari belakang.
“Jumlah mereka lebih banyak dari
kita.” kata Gabriel, “Sebaiknya kita segera berlari ke dalam hutan.”
“Ide yang bagus.” Sahut Michael,
dan berdua mereka membawaku menjauh dari para Shadow itu, yang mengejar kami.
Kejar-kejaran ini berlangsung cukup
lama, karena para Shadow itu sepertinya tidak kenal kata menyerah. Langit mulai
menghitam di atas kami karena lebatnya hutan mulai terlihat. Dan beberapa
langkah kemudian, matahari tidak bisa menembus dedaunan rimbun dari pepohonan
hutan di sini. Dan sejauh yang kutahu, Shadow bisa melihat di kegelapan seperti
mengenakan kacamata infrared.
“Michael, di mana tempat Kepala
Sekolah berada?” tanyaku.
“Menurut perhitunganku… di sini.”
“Kau tidak tahu di mana tepatnya?”
“Vanessa yang tahu, dan dia sedang
bertarung dengan Shadow tadi, ingat?” kata Michael “kita harus bersembunyi,
atau terus berlari.”
“Oke, baiklah.” kataku kesal
mendengar jawabannya.
Aku memang tahu Michael jauh dari
kata sempurna dalam hal mengingat sesuatu. Bukan berarti dia bodoh atau idiot,
atau bahkan telmi. Tapi, dia punya alasan tersendiri kenapa dia bisa seperti
itu. Dulu dia tidak seperti ini, aku tahu itu.
“Sebaiknya kita berhenti dan
bertarung melawan mereka. Hanya itu satu-satunya cara.” Kata Gabriel.
“Kau ingin kita mati? Ingin Ilana
mati?” tanya Michael, “Jangan bodoh. Kau bilang sendiri jumlah mereka lebih
banyak dari kita!”
“Aku baru ingat cara melawan
mereka.” kata Gabriel tenang, “Ilana, pinjamkan aku pisaumu.”
Aku mengerutkan kening bingung,
tapi tetap memberikan pisauku padanya.
“Terima kasih.” Katanya menerima
pisauku dan berbalik, menghadang para Shadow itu.
***
Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tahu tentang hutan
ini, dan lorong tadi. Saat di taman terbengkalai—Taman Para Pendosa yang kami
lewati tadi, aku merasa hantaman keras sekeras godam menghantam kepalaku.
Seolah aku seharusnya tahu apa yang terjadi di sana.
Tapi, kami harus terus bergerak, dan
sialnya, saat sampai di hutan ini, kami diserang Shadow.
“Ilana, pinjamkan pisaumu padaku.” kataku.
Ilana sempat menatapku bingung selama
sesaat. Tapi, dia menyerahkan pisaunya.
“Terima kasih,” aku berhenti berlari dan
berbalik, tepat ketika seorang Shadow menyerangku.
Dengan cepat aku menebas tenggorokannya,
dan dia menghilang menjadi kumpulan abu. Kuberitahu kalian, jika bertemu Shadow
dan tidak tahu apa kelemahan mereka: Tusuk tepat ke urat lehernya. Karena
disanalah kelemahan lain dari Shadow yang tidak diketahui manusia dan Hunter.
“Gabriel, di sebelah kiri!”
Aku merespon cepat suara Ilana dan
menyerang Shadow yang menyerang dari arah kiri. Sekejap kemudian, aku mulai
luwes untuk bertarung. Mereka semua mati di tanganku—secara teknis, mereka
berubah menjadi kumpulan abu—dan setelah selesai, aku berdiri di antara
kumpulan abu Shadow dan merasakan sakit kepala luar biasa. Jatuh terduduk
sebenarnya bukan kata yang tepat, tapi itulah yang terjadi padaku sekarang.
Aku jatuh terduduk sambil memegangi
dahiku yang berdenyut-denyut seperti sedang ditarik dari berbagai arah. Aku yakin
aku mengerang kesakitan juga.
“Gabriel, kamu tidak apa-apa?”
Kudengar suara Ilana di sampingku dan
tangannya berada di bahuku. Aku berusaha menarik nafas dalam-dalam dan
menghembuskannya keluar sebisaku.
“Tidak… apa-apa.” kataku susah payah,
“Aku hanya… kelelahan. Itu saja.”
“Kamu tidak hanya lelah. Ada darah di
kepalamu.” Katanya cemas.
Benarkah ada darah di kepalaku? Tapi,
aku tidak sempat memikirkannya sekarang, karena Ilana tiba-tiba membalut
kepalaku dengan kain putih yang entah darimana dia dapatkan.
“Aku tidak menyangka Shadow bisa terluka
juga.” Katanya.
“Tidak sesuai harapanmu, ya?” aku
mencoba melucu.
Tapi dia tidak tertawa. Setelah membalut
kepalaku, dia membantuku berdiri.
“Terima kasih. Tapi, seharusnya aku yang
melakukan hal ini, kan?”
“Tidak lucu, Gabriel. Jangan mencoba
melucu di saat-saat seperti ini.” ujarnya, “Michael, berapa lama lagi kita
sampai—”
Kata-katanya terhenti tepat beberapa
bayangan lain—bukan, ini bukan Shadow, melesat dari berbagai arah dan
menodongkan semacam pistol kearah kami. Dan setelah kulihat lebih jelas,
rupanya itu adalah bowgun.
“Tunggu, jangan menembak!” seru Michael,
“Ini aku, Michael Hills! Murid senior tingkat keempat Hunters Academy!”
“Sebutkan kodemu.” Ujar orang yang
berdiri di dekat Michael.
“20223.” Jawab Michael.
Salah seorang diantara mereka membawa
sebuah alat yang lebih mirip stungun.
Dia mendekatkan benda itu pada Michael, lalu mengangguk pada temannya yang tadi
bertanya.
“Dia bukan Shadow.” Kata orang itu, lalu
menoleh kearah Ilana, “Dan Tuan Putri selamat.”
Ilana sedikit mengerutkan kening
mendengar dirinya disebut ‘Tuan Putri’. Tapi, dia tidak mengatakannya dan
mendekatkan dirinya padaku dan bersembunyi di belakang punggungku, seolah-olah
itu adalah kebiasaannya.
Ketika orang itu melihat kearahku, kedua
matanya terbelalak kaget dan bibirnya terbuka.
“K, kau… tidak mungkin!”
“Astaga, ini tidak mungkin! Bukankah dia
seharusnya sudah…”
Kali ini aku yang mengerutkan kening.
Kenapa orang itu kelihatan terkejut melihatku? Mungkinkah… mereka mengenalku?
Aku hendak membuka mulut untuk bertanya
ketika tiba-tiba saja aku diringkus dan dijauhkan dari Ilana. Gadis itu
menjerit kaget dan berusaha menggapaiku, namun dicegah oleh dua orang yang
memegangi kedua tangannya. Orang yang tadi membawa alat seperti stungun mendekat kearahku. Didekatkannya
alat itu padaku dan bunyi bip pendek dan teratur terdengar dari alat itu.
“Shadow. Positif.” Katanya, kemudian
mengangguk-angguk, “Tentu saja dia akan menjadi Shadow setelah mati.”
“Apa maksud kalian?” tanyaku, “Tolong
jauhkan senjata-senjata kalian dariku atau kalian akan menyesal.”
“Dia tidak berbahaya!” seru Ilana, “Dia
melindungiku. Michael juga.”
Orang itu menatap Ilana dan mengangguk
kearah teman-temannya yang menodongkan senjata padaku.
“Turunkan senjata kalian. Dia tidak akan
mencelakai kita.”
Orang-orang yang menodongkan senjata
mereka padaku menurunkan senjata mereka dan kembali ke posisi mereka
masing-masing. Dua orang yang tadi memegangi tangan Ilana juga melepaskan
tangan gadis itu dan membiarkannya menghambur kearahku.
“Kami tidak mengatakan bahwa dia
berbahaya, Tuan Putri.” Kata orang itu, “Kami hanya ingin memastikan, apakah
dia benar-benar Shadow atau tidak. Mengingat dia dulunya adalah seorang Hunter
seperti kita.”
“Apa?”
Aku yakin aku menyuarakan kata itu
bersamaan dengan Ilana. Tapi, orang itu tidak menjelaskan lebih jauh. Dia
membantuku berdiri dan menggenggam tanganku.
“Mungkin kau lupa siapa aku, dan kami
semua, orang-orang dari masa lalumu sebelum meninggal,” katanya, “Tapi, senang
bertemu lagi, Gabriel.”
***
Mereka membawa kami ke dalam hutan, ke sebuah gua
besar. Di sana ada lebih banyak orang yang menyandang senjata. Ketika kami
masuk, mereka semua memandang kearahku—tepat kearahku, dan ekspresi mereka
sama. Terkejut, tidak menyangka, atau malah ketakutan. Seorang wanita yang
sedang mengasah pedangnya bahkan sampai terpekik ngeri melihatku.
“Kenapa mereka menatapku seperti itu?”
tanyaku.
“Mungkin karena kau kembali… sebagai
Shadow.” Ujar orang yang tadi, “Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan lagi. Aku Scott. Scott Grey.”
“Oke, Scott, akan kuingat itu.” kataku.
Scott hanya mengedikkan bahu dan
berjalan terus memandu kami lebih dalam ke bagian dalam gua.
Ilana berjalan di sebelahku tanpa
bicara, tapi dia terus menggenggam tanganku. Aku menepuk-nepuk kepalanya untuk
menenangkannnya.
Kami sampai di hadapan seorang pria tua
yang sedang merawat gadis yang lebih tua dari Ilana. Pria itu menoleh kearah
kami, dan seperti semua orang, dia terlihat kaget melihatku berada di sini.
Apakah aku sebegitu terkenalnya saat aku masih hidup sebagai manusia
sampai-sampai mereka bereaksi seperti itu?
“Vanessa!”
Ilana melepaskan tangannya dan
menghambur kearah gadis yang tadi dirawat lukanya. Gadis itu balas memeluk
Ilana dan mereka saling menanyakan keadaan masing-masing. Sementara pria tadi
menghampiriku.
“Aku tebak, kau pasti mengenalku. Iya,
kan?” kataku sebelum dia berbicara.
Pria tua itu menatapku lekat-lekat,
kemudian menghela nafas.
“Kau benar-benar berubah menjadi
Shadow.” Katanya, “Tidak pernah kusangka akan seperti ini.”
Oke. Aku akui, aku bingung dengan
ucapannya. Scott juga mengatakan hal yang sama, orang-orang di sini juga
demikian. Apakah aku sebegitu terkenalnya diantara mereka di masa laluku, ya?
“Ayah, dia…”
Kami berdua menoleh kearah Vanessa, yang
masih memeluk Ilana. Wajah gadis itu cukup cantik, dengan rambut pirang dan
mata hijau cerah seperti kelereng. Matanya menatapku tanpa berkedip.
Pria tadi mengangguk kearah putrinya,
“Ya, ini memang dia.”
Vanessa menutup mulutnya dengan sebelah
tangan, dan matanya berkaca-kaca seperti ingin menangis.
“Kau… kau benar-benar Gabriel? Paman
Gabriel?”
“Paman?” aku mengerutkan kening.
“Gabriel,” Scott berbicara di sebelahku,
“Sebelum kau meninggal dan menjadi Shadow, dulunya kau itu seorang Hunter
pengawal yang ditugaskan untuk melindungi Tuan Putri Ilana.”
“Tuan Putri Ilana? Kalian tahu dia
seorang putri?” tanyaku.
“Tentu saja kami tahu.” ujar pria yang
tadi, “Karena saat kau masih manusia, kau adalah orang kepercayaan Selene
Edelweiss. Kalian sama-sama manusia abadi.”
“Ap—”
0 komentar:
Posting Komentar