Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Hunter Academy ~ Bloodline - Chapter 6



Aku paling benci dengan kegelapan. Aku benci tempat-tempat gelap, di mana aku merasa mataku buta dan tidak bisa melihat apa pun. Aku tidak tahu kenapa, tapi sejak dulu aku sangat benci tempat-tempat gelap… seperti lorong yang kumasuki sekarang ini.

Tapi… aku, kan setengah Shadow, ya? Ketakutan yang satu ini memang terlalu… memalukan. Namun, aku tidak bisa tidak membenci kegelapan. Dulu aku pernah terkurung di tempat gelap dan mendengar suara-suara aneh. Sejak itu, aku paling benci dengan tempat gelap.
Memang, Michael dan Gabriel menuntunku—Gabriel berjalan di depanku sementara Michael di belakangku. Mereka berdua memastikan aku tidak tersandung atau terjatuh, karena menurut Michael, lorong gelap ini adalah jalan rahasia kalau terjadi sesuatu di akademi.
Lorong ini sangat panjang, dan aku merasa kalau kami semakin turun ke bawah tanah. Dan, kalian tahu? Aku juga benci ruang bawah tanah.
“Sebentar lagi kita akan sampai.” Kata Michael, “Belok ke kanan, ada pintu besi di depan kita. Di sanalah tujuan kita. Ada dua pintu besi di sana dan—”
“Sepertinya aku mengenal lorong ini.” sahut Gabriel, “Tidak perlu kamu bilang. Aku tahu pintu besi yang mana.”
Gabriel, dengan kemampuan penglihatan malamnya, membimbing kami kearah kanan. Aku merasakan bunyi besi yang berdinting di bawah kakiku.
“Tunggu,” Gabriel berhenti dan sepertinya sedang berjongkok. “Pintu yang sebelah kiri. Michael, kau punya kuncinya?”
“Kunci?” nada suara Michael kebingungan, “Kunci apa?”
Aku yakin aku melihat Gabriel memutar bola matanya dan menekan telapak tangannya di pintu besi itu. Pintu itu terbuka dengan suara berderit halus yang nyaris tidak terdengar. Aku mengernyit ketika melihat cahaya berwarna kebiruan langsung menyerbu penglihatanku.
Ruangan di balik pintu besi itu ternyata adalah sebuah gudang… harta. Banyak benda-benda antic dan tua, dan kuno di sini. Ada banyak sarang laba-laba, pertanda bahwa tempat ini tidak pernah dibersihkan selama puluhan—atau mungkin ratusan tahun, mengingat usia akademi ini sudah lebih dari lima ratus tahun. Aku menatap sumber cahaya biru yang kulihat. Di setiap sisi ruangan terdapat obor yang berisikan api berwarna biru terang.
“Ini adalah ruang harta.” Kata Gabriel, “Temapt di mana kerajaan pada masa lalu menyimpan hasil kekayaan Negara dan sang Raja.”
“Darimana kau tahu kunci tempat ini?” tanyaku.
“Aku… tidak tahu.” dia mengerutkan kening, “Aku tahu kuncinya begitu saja.”
“Dengan apa?”
“Telapak tanganku.” Balasnya.
“Lucu sekali. Telapak tanganmu adalah kunci? Apa tubuhmu adalah besi yang dibuat menyerupai manusia?” tanya Michael, yang kedengaran mengejek.
“Kalau tubuhku adalah besi, Shadow tentu tidak akan bisa membunuhku.” Balas Gabriel tenang, “Aku tahu kunci tempat ini begitu saja, seolah ada sesuatu yang menyuruhku untuk membuka pintu ruangan ini dan bersembunyi di sini.”
“Di sini? Tuan Henry sedang menunggu Ilana di tempat lain, bukan di tempat ini.” kata Michael.
“Aku tahu. Tapi, di sini ada jalan pintas yang menuju ke semua gedung di akademi ini.” kata Gabriel, “Ikut aku. Aku tahu di mana tempatnya.”
Gabriel menuntun kami ke sebuah pintu yang terletak di belakang sebuah lemari tua yang dipenuhi oleh benda-benda berwarna emas. Warnanya memudar karena tertutup debu dan dimakan usia.
Gabriel menyentuh sisi pintu berkarat itu dan menendangnya. Ada lorong panjang di balik pintu itu, dan aku menatapnya dengan kening berkerut.
“Aku benci gelap.” Kataku.
“Aku tahu,” katanya, “Berpegangan saja padaku.”
Tanpa disuruh pun, aku akan berpegangan pada tangannya. Asal ada seseorang yang menuntunku, aku tidak keberatan bila berada di ruang gelap. Bukan berarti aku mau dipegang oleh cowok, tapi… kalian tahulah maksudku.
Michael berjalan lebih dulu di depan kami. Gabriel terus menggenggam tanganku dan menuntunku berjalan melewati lorong gelap itu. Dan… percaya atau tidak, kurasa aku mengenal lorong ini, bahkan dalam keadaan gelap sekalipun.
Langkah kami terhenti ketika Gabriel memberikan arahan menuju ke kanan. Tanpa banyak kata, kami menuju arah yang ditunjuknya. Samar-samar, aku melihat setitik cahaya di depan kami. Titik itu makin lama makin membesar. Dan ketika berada tepat di depan cahaya itu, aku yakin aku melongo. Cahaya itu berasal dari cermin-cermin yang disusun sedemikian rupa di langit-langit yang tinggi di atas kami, membentuk sebuah ukiran yang menceritakan sesuatu.
Dan walau langit-langitnya sangat indah, tapi ada beberapa retakan yang disebabkan oleh sesuatu, dan tempat ini juga kotor. Aku sempat melihat bekas-bekas pepohonan yang mengering, batu bata yang membentuk jalan sepetak yang kami lalui sekarang. Di dekatku ada sebuah ceruk lebar dan dalam yang kemungkinan besar dulunya adalah sebuah kolam air yang indah. Ada sebuah patung malaikat kecil yang menuangkan air di tengah-tengah ceruk itu.
Garden of Sinner. Taman Para Pendosa.” Kata Gabriel menatap langit-langit tinggi itu. “Tempat ini dulunya adalah tempat penyucian para pendosa atau seseorang yang ingin disucikan dari dosanya di masa lalu. Ukiran-ukiran itu melambangkan empat elemen yang berada di sekitar manusia, dengan titik hitam di tengah-tengah sebagai dosa yang ingin dihapus.”
“Di sini juga adalah tempat Selene Edelweiss mendapatkan keabadiannya.” Kata Michael, “Konon, dia mendapatkan keabadian dari tumbuhan yang dulunya tumbuh di kolam yang sekarang kering itu.”
“Oh ya?” aku menatap ceruk itu dan membayangkan tanaman apa yang tumbuh di sana.
“Tapi, keabadiannya sangat rapuh. Menurut buku yang pernah kubaca, keabadian yang didapatkan Selene Edelweiss memiliki sebuah syarat yang harus ditunaikan. Dan saat syarat itu tidak terpenuhi, dia akan berubah menjadi Shadow.”
“Dan dia memenuhi semua syaratnya.” Kataku, “Aku pernah membaca tentang itu.”
Michael mengangguk.
“Ayo, kita harus bergerak cepat.” katanya, “Sebentar lagi mungkin kita akan bertemu Tuan Henry.”
Kami kembali berjalan. Gabriel menuntunku mengikuti Michael, dan dia tidak melepaskan tanganku. Kami menemui satu pintu besi lagi, kali ini hanya satu, dan lebih panjang dan lebih tua. Aku mengerutkan kening melihat pintu itu. Aku mendapat perasaan tak asing bahwa aku mengenal pintu ini.
“Pintu ini…”
“Ada apa, Ilana?” tanya Gabriel.
“Tidak…” aku menggeleng pelan. “Tapi, pintu ini… aku rasa aku pernah melihatnya sebelumnya.”
Gabriel memberikan tatapan heran padaku, tapi tidak berkata apa-apa.
Michael membuka pintu itu, dengan sangat mudah. Ketika kami berjalan melewatinya, aku melihat engsel pintu itu sudah berkarat dan bisa dihanucurkan dengan mudah.
Anak tangga yang panjang menyapa di depan kami. Dan mau tidak mau kami harus menaikinya.
“Kenapa di sini juga ada tangga, sih?” kataku mengeluh. “Kenapa bukan jalan lurus panjang yang biasa saja?”
“Karena dulunya akademi ini adalah istana milik keluarga Edelweiss.” Jawab Michael dengan nada seolah aku seharusnya tahu tentang hal itu.
Aku memberinya ekspresi cemberutku yang paling manis.
“Apakah taman yang tadi kita lewati adalah taman rahasia Edelweiss?” tanyaku polos.
“Ya. Salah satu taman yang katanya Selene Edelweiss ikut turun tangan untuk membangunnya.” Ujar Gabriel, “Raven pernah menceritakan padaku, dia pernah mengungsi kemari saat Tuan Arslan terbunuh.”
“Arslan?” Michael mengerutkan kening, “Arslan Beverill? Dia sudah mati?”
“Yah… Shadow yang kalian buru selama lebih dari lima ratus tahun itu sudah mati delapan belas tahun yang lalu, bersama Selene Edelweiss.”
“Apa!?”
Kekagetan di wajah Michael sebenarnya cukup menghibur. Tapi, sayangnya, di dalam kegelapan ini, kekagetannya di wajahnya jadi tidak terlihat.
“Dia mati sebelum kami sempat memburunya. Ironis sekali.” Kata Michael sarkastik. Atau aku yang mendengarnya seperti itu?
Kami menaiki tangga dalam diam, dan hanya ada suara langkah kaki yang bergema sejauh kami melangkah. Ketika akhirnya aku melihat setitik cahaya lagi, aku merasakan angin menerpa wajahku.
Dan benar, seperti dugaanku. Ini benar-benar di luar gedung tadi. Aku menoleh ke belakang dan kaget melihat kami sudah jauh dari akademi. Aku bisa melihat puncak gedung yang tertinggi, yang tidak lain adalah gedung utama akademi. Baru kusadari juga kalau tempat kami berada sekarang adalah sebuah bukit kecil yang terletak cukup jauh dari akademi.
“Bukit ini…”
“Ayo, Ilana, Tuan Henry sudah menunggumu.”
Kami kembali berjalan ke dalam hutan di bukit ini. Namun, baru beberapa langkah, aku merasakan seseorang, atau banyak orang, mengawasi kami.
“Gabriel, apa kamu merasakan ada yang mengawasi?” tanyaku pelan.
“Kurasa iya. Aku juga merasakannya.” Balasnya sambil terus berjalan, “Tapi, kita harus mengikuti temanmu di depan. Kalau tidak kita akan tersesat.”
“Kau takut tersesat?” tanyaku heran, “Kukira Shadow tidak pernah takut apa pun.”
Gabriel hanya tersenyum muram, “Kelemahanku. Takut ketiadaan dan ketidak-pastian.”
“Itu bukan kelemahan Shadow.”
“Memang bukan. Itu kelemahan hatiku.”
“Ha—”
Kata-kataku terhenti ketika Gabriel menarikku kearahnya dan menyelamatkanku dari sebuah anak panah yang mungkin ditujukan menembus kepalaku.
“Sial!”
Gabriel melemparkan bola api dari tangannya kearah penyerangku, dan Michael bersiap dengan pistolnya. Mereka berdua memosisikan tubuh mereka di depanku, menamengiku.
Beberapa Shadow turun dari atas pohon dan berdiri di hadapan kami. Mata mereka haus akan energy manusia. Dan entah bagaimana, aku bisa merasakan rasa lapar mereka tertuju padaku. Itu membuatku bergidik ngeri.
“Ilana, awas!”
Gabriel mengangkat tubuhku dan menghindari serangan dari seorang Shadow yang berusaha menikamku dari belakang.
“Jumlah mereka lebih banyak dari kita.” kata Gabriel, “Sebaiknya kita segera berlari ke dalam hutan.”
“Ide yang bagus.” Sahut Michael, dan berdua mereka membawaku menjauh dari para Shadow itu, yang mengejar kami.
Kejar-kejaran ini berlangsung cukup lama, karena para Shadow itu sepertinya tidak kenal kata menyerah. Langit mulai menghitam di atas kami karena lebatnya hutan mulai terlihat. Dan beberapa langkah kemudian, matahari tidak bisa menembus dedaunan rimbun dari pepohonan hutan di sini. Dan sejauh yang kutahu, Shadow bisa melihat di kegelapan seperti mengenakan kacamata infrared.
“Michael, di mana tempat Kepala Sekolah berada?” tanyaku.
“Menurut perhitunganku… di sini.”
“Kau tidak tahu di mana tepatnya?”
“Vanessa yang tahu, dan dia sedang bertarung dengan Shadow tadi, ingat?” kata Michael “kita harus bersembunyi, atau terus berlari.”
“Oke, baiklah.” kataku kesal mendengar jawabannya.
Aku memang tahu Michael jauh dari kata sempurna dalam hal mengingat sesuatu. Bukan berarti dia bodoh atau idiot, atau bahkan telmi. Tapi, dia punya alasan tersendiri kenapa dia bisa seperti itu. Dulu dia tidak seperti ini, aku tahu itu.
“Sebaiknya kita berhenti dan bertarung melawan mereka. Hanya itu satu-satunya cara.” Kata Gabriel.
“Kau ingin kita mati? Ingin Ilana mati?” tanya Michael, “Jangan bodoh. Kau bilang sendiri jumlah mereka lebih banyak dari kita!”
“Aku baru ingat cara melawan mereka.” kata Gabriel tenang, “Ilana, pinjamkan aku pisaumu.”
Aku mengerutkan kening bingung, tapi tetap memberikan pisauku padanya.
“Terima kasih.” Katanya menerima pisauku dan berbalik, menghadang para Shadow itu.

***

Aku tidak tahu kenapa, tapi aku tahu tentang hutan ini, dan lorong tadi. Saat di taman terbengkalai—Taman Para Pendosa yang kami lewati tadi, aku merasa hantaman keras sekeras godam menghantam kepalaku. Seolah aku seharusnya tahu apa yang terjadi di sana.
Tapi, kami harus terus bergerak, dan sialnya, saat sampai di hutan ini, kami diserang Shadow.
“Ilana, pinjamkan pisaumu padaku.” kataku.
Ilana sempat menatapku bingung selama sesaat. Tapi, dia menyerahkan pisaunya.
“Terima kasih,” aku berhenti berlari dan berbalik, tepat ketika seorang Shadow menyerangku.
Dengan cepat aku menebas tenggorokannya, dan dia menghilang menjadi kumpulan abu. Kuberitahu kalian, jika bertemu Shadow dan tidak tahu apa kelemahan mereka: Tusuk tepat ke urat lehernya. Karena disanalah kelemahan lain dari Shadow yang tidak diketahui manusia dan Hunter.
“Gabriel, di sebelah kiri!”
Aku merespon cepat suara Ilana dan menyerang Shadow yang menyerang dari arah kiri. Sekejap kemudian, aku mulai luwes untuk bertarung. Mereka semua mati di tanganku—secara teknis, mereka berubah menjadi kumpulan abu—dan setelah selesai, aku berdiri di antara kumpulan abu Shadow dan merasakan sakit kepala luar biasa. Jatuh terduduk sebenarnya bukan kata yang tepat, tapi itulah yang terjadi padaku sekarang.
Aku jatuh terduduk sambil memegangi dahiku yang berdenyut-denyut seperti sedang ditarik dari berbagai arah. Aku yakin aku mengerang kesakitan juga.
“Gabriel, kamu tidak apa-apa?”
Kudengar suara Ilana di sampingku dan tangannya berada di bahuku. Aku berusaha menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskannya keluar sebisaku.
“Tidak… apa-apa.” kataku susah payah, “Aku hanya… kelelahan. Itu saja.”
“Kamu tidak hanya lelah. Ada darah di kepalamu.” Katanya cemas.
Benarkah ada darah di kepalaku? Tapi, aku tidak sempat memikirkannya sekarang, karena Ilana tiba-tiba membalut kepalaku dengan kain putih yang entah darimana dia dapatkan.
“Aku tidak menyangka Shadow bisa terluka juga.” Katanya.
“Tidak sesuai harapanmu, ya?” aku mencoba melucu.
Tapi dia tidak tertawa. Setelah membalut kepalaku, dia membantuku berdiri.
“Terima kasih. Tapi, seharusnya aku yang melakukan hal ini, kan?”
“Tidak lucu, Gabriel. Jangan mencoba melucu di saat-saat seperti ini.” ujarnya, “Michael, berapa lama lagi kita sampai—”
Kata-katanya terhenti tepat beberapa bayangan lain—bukan, ini bukan Shadow, melesat dari berbagai arah dan menodongkan semacam pistol kearah kami. Dan setelah kulihat lebih jelas, rupanya itu adalah bowgun.
“Tunggu, jangan menembak!” seru Michael, “Ini aku, Michael Hills! Murid senior tingkat keempat Hunters Academy!”
“Sebutkan kodemu.” Ujar orang yang berdiri di dekat Michael.
“20223.” Jawab Michael.
Salah seorang diantara mereka membawa sebuah alat yang lebih mirip stungun. Dia mendekatkan benda itu pada Michael, lalu mengangguk pada temannya yang tadi bertanya.
“Dia bukan Shadow.” Kata orang itu, lalu menoleh kearah Ilana, “Dan Tuan Putri selamat.”
Ilana sedikit mengerutkan kening mendengar dirinya disebut ‘Tuan Putri’. Tapi, dia tidak mengatakannya dan mendekatkan dirinya padaku dan bersembunyi di belakang punggungku, seolah-olah itu adalah kebiasaannya.
Ketika orang itu melihat kearahku, kedua matanya terbelalak kaget dan bibirnya terbuka.
“K, kau… tidak mungkin!”
“Astaga, ini tidak mungkin! Bukankah dia seharusnya sudah…”
Kali ini aku yang mengerutkan kening. Kenapa orang itu kelihatan terkejut melihatku? Mungkinkah… mereka mengenalku?
Aku hendak membuka mulut untuk bertanya ketika tiba-tiba saja aku diringkus dan dijauhkan dari Ilana. Gadis itu menjerit kaget dan berusaha menggapaiku, namun dicegah oleh dua orang yang memegangi kedua tangannya. Orang yang tadi membawa alat seperti stungun mendekat kearahku. Didekatkannya alat itu padaku dan bunyi bip pendek dan teratur terdengar dari alat itu.
“Shadow. Positif.” Katanya, kemudian mengangguk-angguk, “Tentu saja dia akan menjadi Shadow setelah mati.”
“Apa maksud kalian?” tanyaku, “Tolong jauhkan senjata-senjata kalian dariku atau kalian akan menyesal.”
“Dia tidak berbahaya!” seru Ilana, “Dia melindungiku. Michael juga.”
Orang itu menatap Ilana dan mengangguk kearah teman-temannya yang menodongkan senjata padaku.
“Turunkan senjata kalian. Dia tidak akan mencelakai kita.”
Orang-orang yang menodongkan senjata mereka padaku menurunkan senjata mereka dan kembali ke posisi mereka masing-masing. Dua orang yang tadi memegangi tangan Ilana juga melepaskan tangan gadis itu dan membiarkannya menghambur kearahku.
“Kami tidak mengatakan bahwa dia berbahaya, Tuan Putri.” Kata orang itu, “Kami hanya ingin memastikan, apakah dia benar-benar Shadow atau tidak. Mengingat dia dulunya adalah seorang Hunter seperti kita.”
“Apa?”
Aku yakin aku menyuarakan kata itu bersamaan dengan Ilana. Tapi, orang itu tidak menjelaskan lebih jauh. Dia membantuku berdiri dan menggenggam tanganku.
“Mungkin kau lupa siapa aku, dan kami semua, orang-orang dari masa lalumu sebelum meninggal,” katanya, “Tapi, senang bertemu lagi, Gabriel.”

***

Mereka membawa kami ke dalam hutan, ke sebuah gua besar. Di sana ada lebih banyak orang yang menyandang senjata. Ketika kami masuk, mereka semua memandang kearahku—tepat kearahku, dan ekspresi mereka sama. Terkejut, tidak menyangka, atau malah ketakutan. Seorang wanita yang sedang mengasah pedangnya bahkan sampai terpekik ngeri melihatku.
“Kenapa mereka menatapku seperti itu?” tanyaku.
“Mungkin karena kau kembali… sebagai Shadow.” Ujar orang yang tadi, “Ngomong-ngomong, kita belum berkenalan lagi. Aku Scott. Scott Grey.”
“Oke, Scott, akan kuingat itu.” kataku.
Scott hanya mengedikkan bahu dan berjalan terus memandu kami lebih dalam ke bagian dalam gua.
Ilana berjalan di sebelahku tanpa bicara, tapi dia terus menggenggam tanganku. Aku menepuk-nepuk kepalanya untuk menenangkannnya.
Kami sampai di hadapan seorang pria tua yang sedang merawat gadis yang lebih tua dari Ilana. Pria itu menoleh kearah kami, dan seperti semua orang, dia terlihat kaget melihatku berada di sini. Apakah aku sebegitu terkenalnya saat aku masih hidup sebagai manusia sampai-sampai mereka bereaksi seperti itu?
“Vanessa!”
Ilana melepaskan tangannya dan menghambur kearah gadis yang tadi dirawat lukanya. Gadis itu balas memeluk Ilana dan mereka saling menanyakan keadaan masing-masing. Sementara pria tadi menghampiriku.
“Aku tebak, kau pasti mengenalku. Iya, kan?” kataku sebelum dia berbicara.
Pria tua itu menatapku lekat-lekat, kemudian menghela nafas.
“Kau benar-benar berubah menjadi Shadow.” Katanya, “Tidak pernah kusangka akan seperti ini.”
Oke. Aku akui, aku bingung dengan ucapannya. Scott juga mengatakan hal yang sama, orang-orang di sini juga demikian. Apakah aku sebegitu terkenalnya diantara mereka di masa laluku, ya?
“Ayah, dia…”
Kami berdua menoleh kearah Vanessa, yang masih memeluk Ilana. Wajah gadis itu cukup cantik, dengan rambut pirang dan mata hijau cerah seperti kelereng. Matanya menatapku tanpa berkedip.
Pria tadi mengangguk kearah putrinya, “Ya, ini memang dia.”
Vanessa menutup mulutnya dengan sebelah tangan, dan matanya berkaca-kaca seperti ingin menangis.
“Kau… kau benar-benar Gabriel? Paman Gabriel?”
“Paman?” aku mengerutkan kening.
“Gabriel,” Scott berbicara di sebelahku, “Sebelum kau meninggal dan menjadi Shadow, dulunya kau itu seorang Hunter pengawal yang ditugaskan untuk melindungi Tuan Putri Ilana.”
“Tuan Putri Ilana? Kalian tahu dia seorang putri?” tanyaku.
“Tentu saja kami tahu.” ujar pria yang tadi, “Karena saat kau masih manusia, kau adalah orang kepercayaan Selene Edelweiss. Kalian sama-sama manusia abadi.”
“Ap—”

0 komentar:

Posting Komentar