Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Hunter Academy ~ Bloodline - Chapter 9



Saat dia menggendongku, aku langsung melingkarkan kedua lenganku di lehernya. Sampai sekarang aku masih harus mengakui kalau larinya lebih cepat daripada aku, yang membuatku sedikit frustasi.
Penjagaan di sekitar akademi sangat ketat. Kami nyaris tidak bisa keluar, dan untungnya, Gabriel tahu jalan rahasia lain selain yang kutemukan dulu itu. Ketika kami sudah berada di luar gerbang, aku langsung menyuruhnya menurunkanku.

“Kenapa aku harus menurunkanmu?”
“Karena aku bisa berjalan sendiri dan aku lelah menjadi bayi.” Jawabku, “Sekarang turunkan aku, Gabriel.”
“Tidak.” dia menggeleng, “Tempat ini masih terjangkau oleh Shadow. Kita harus—”
“Apa?” aku bertanya ketika dia mendadak terdiam.
Postur tubuhnya tiba-tiba menegang, dan sebelum aku sempat bertanya, dia melompat tanpa aba-aba dan membuatku kaget.
“Rupanya mereka berhasil mengikuti kita.”
“Apa?”
Di hadapan kami muncul Shadow yang tadi kulihat di ruang rahasia, beserta pria bernama Verilo. Pria itu tampak mengerikan dengan mantel merahnya. Mungkin maksud mantel itu dikenakan adalah untuk mempertegas kalau dia adalah seorang jenderal, tapi bagiku…
… ya seperti Shadow lainnya, dia terlalu tampan.
“Kita bertemu lagi, Gabriel.”
“Hai Verilo. Sedang bermain kejar-kejaran?”
“Sepertinya kau menemukan sang putri, ya?”
Mata pria itu menatapku dan aku langsung menggigil. Aku tidak berniat menggigil, tapi ada sesuatu pada pria—Shadow ini, yang membuatku ingin melarikan diri saja.
“Tidak ada urusannya denganmu,” Gabriel mengetatkan pelukannya, “Kalau dia memang sang putri, lalu kenapa? Kau ingin menangkapnya?”
“Menangkap bukanlah kata yang tepat.” Verilo tersenyum dan aku melihat giginya yang mirip seperti gigi… vampire?
“Membunuhnya adalah kata yang akan kugunakan. Sang putri berdarah manusia itu tidak lebih baik dari kita, dan keberadaannya menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup para Shadow seperti kita.” kata Verilo, “Kau seharusnya tahu itu, kan? Raja Arslan bahkan memerintahkan kita untuk membunuhnya.”
“Jangan mengarang, Verilo. Aku yang lebih dekat dengan Raja Arslan, dan juga Selene Edelweiss sang Hunter dan manusia abadi pertama.” kata Gabriel lagi, “Aku tidak akan membiarkanmu menyentuh Ilana seujung jari pun.”
“Tidak masalah. Aku akan memerintahkan mereka untuk menyerangmu, dan kemudian menangkap sang putri.”
“Coba saja,” balas Gabriel. “Pegangan padaku erat-erat. Ini bakal memakan waktu lama.”
Tanpa disuruh pun aku juga akan melakukannya.
“Tangkap mereka berdua!!”
Mereka dengan cepat menghambur kearah kami. Dan Gabriel segea melompat ke udara. Bersamaan dengan itu, dia melepaskan sesuatu yang kuduga adalah jarum, kearah mereka, tepat mengenai leher mereka. Aku terkejut melihat mereka langsung tumbang tanpa sempat melakukan apa-apa.
“Satu kelemahan lain Shadow yang tidak kalian ketahui: urat leher mereka.” kata Gabriel, “Jika kau tidak tahu kelemahan fatal mereka, serang saja bagian leher.”
“Itu berguna sekali…” kataku sambil mengetatkan pelukanku ketika salah satu Shadow melompat dan mencoba menyerang kami dari udara.
“Oh, sial!” Gabriel mengumpat dan menendang Shadow itu hingga jatuh.
“Gabriel, di belakang!” aku berseru melihat sekelebat bayangan berada tepat di belakang kami.
Ia dengan cepat berbalik dan menyerang Shadow itu.
“Ini akan memakan waktu lama.” katanya, “Kau bisa memegangku lebih erat lagi?”
“Kenapa?”
“Aku akan mencoba untuk menggunakan kekuatanku yang sebenarnya.” Kata Gabriel. Pegangan padaku dengan lebih erat.”
Gabriel mendarat di atas tanah, lalu menatap para Shadow yang mengepung kami. Ia mengambil nafas dalam-dalam dan menutup kedua matanya. Ketika dia membuka matanya, aku terkesiap melihat kedua bola mata biru beningnya berubah menjadi warna merah seperti darah. Bersamaan dengan itu, tanah di sekitar kami bergetar hebat. Tanah di sekitar kami terbuka lebar dan menelan para Shadow yang mengelilingi kami ke dalam tanah.
Kejadian itu berlangsung cepat. Perlahan tanah kembali menutup dan seolah-olah tidak ada Shadow diatasnya, dan hanya tinggal Verilo yang tadi berdiri di belakang bawahannya.
“Kau… kau menggunakan kekuatan yang sama seperti Arslan.” Gumam pria itu terkejut. “Bagaimana bisa?”
“Gabriel, tadi itu…”
“Aku adalah satu-satunya yang dipercaya untuk menjadi pelindungmu.” Kata Gabriel, “Karena itu Arslan memberikanku setengah kekuatannya.”
“Ayahku melakukannya?”
“Tentu saja. Demi keselamatan putra-putrinya, dia akan melakukan apa pun karena kalian adalah harta berharga yang ditinggalkan Selene.” Gabriel tersenyum padaku, “Kamu dan Raven sangat dicintai oleh kedua orangtua kalian.”
Aku mengerjap dan membalas senyumannya.
“Bagaimana bisa kau mendapatkan kekuatan Raja Arslan? Ini tidak mungkin!” Verilo terdengar marah, “Kau… kau mencuri kemampuannya?”
“Aku tidak pernah mencurinya. Dia sendiri yang mewariskan kekuatannya padaku tepat sebelum dia meninggal.” Ujar Gabriel, “Dan asal kamu tahu, aku juga mewarisi kelebihannya yang lain.”
“A, apa?”
Aku merasakan tubuh Gabriel bergetar, dan kemudian aku terbelalak melihat dari punggungnya muncul sepasang sayap dengan rentang dua meter, berwarna hitam pekat seperti sayap burung gagak.
“Itu…”
“Aku yakin kau pernah melihat sayap seperti ini, Verilo. Arslan dan Selene memiliki sayap yang sama karena mereka memiliki DNA binatang yang sama yang dimasukkan ke dalam tubuh mereka.”
Verilo tampak marah melihatnya. Pria itu menarik pedangnya dan berlari kearah kami.
Gabriel menggerakkan sayapnya dan melesat ke udara hingga pedang Verilo hanya mengenai udara kosong tempat kami berada tadi.
“Jangan pernah menampakkan dirimu lagi di hadapanku, Verilo.” Kata Gabriel, “Kau sudah melihat sendiri mainan-mainanmu sudah kutenggelamkan ke dasar tanah. Kau masih kuampuni karena aku yakin Arslan dan Selene tidak akan mau melihatmu kukubur hidup-hidup.”
“Kembali kau ke sini, Gabriel!”
“Terus saja berteriak sepuasmu.” Balas Gabriel. Lalu dia membawaku melesat terbang ke angkasa. Meninggalkan Verilo yang tengah berteriak dan mencaci-maki pada kami.

***

“Aku tidak pernah tahu ayahku memiliki sayap.” Kataku saat kami tiba di dekat hutan.
Gabriel menurunkanku dan seketika itu sayap di belakang punggungnya menghilang. Seperti masuk kembali ke tubuhnya.
“Itu sebenarnya adalah rahasia.” katanya, “Arslan tidak pernah menunjukkan sayapnya pada orang lain kecuali pada ibumu. Kalau kau mau tahu, mereka berdua itu jarang terlihat sendirian. Ayahmu selalu menemani ibumu bahkan dulu aku sering menyebut mereka perangko dan lem.”
“Benarkah?” aku tertawa. “Apakah kedua orangtuaku sangat dekat?”
“Sangat… dekat.” dia mengangguk, “Sampai peristiwa itu datang.”
Aku mengerjap dan menunggunya melanjutkan. Tapi, Gabriel tidak mengatakan apa-apa lagi dan menuntunku ke dalam hutan.
“Gabriel,”
“Apa?”
“Kakakku… apa dia mirip dengan Ayah?” tanyaku.
“Mirip sekali. Hanya matanya saja yang mirip Selene.”
“Begitu…”
“Kenapa kamu bertanya hal itu lagi?”
“Aku hanya penasaran. Aku tidak pernah bertemu kedua orangtuaku, apalagi kakakku.” Kataku, “Jadi… aku penasaran seperti apa wajah mereka.”
“Mengenai itu…”
“Ya?”
“Mungkin ada hubungannya dengan micro card yang kita temukan.” Katanya, “Aku merasa pernah melihat micro card itu di suatu tempat.”
Aku mengambil micro card tadi dari saku celanaku, “Benda ini? Benarkah?”
“Kalau tidak salah di dalam benda itu ada sesuatu yang penting…” Gabriel mengernyitkan dahi, “Kita akan mengetahuinya setelah kita melihat isinya.”
“Dan pertama-tama, kita harus menemukan komputer atau laptop terlebih dulu.”

***

“Kalian dari mana saja?”
Vanessa berdiri di depan pintu gua sambil berkacak pinggang. Di sebelahnya ada Steven, tunangannya. Dan aku harus mengakui, Steven tambah ganteng sejak terakhir aku melihatnya. Dan itu sudah… dua tahun yang lalu? Entahlah, aku lupa.
Tapi, ngomong-ngomong, jangan kalian kira aku ingin atau coba-coba merebut Steven dari Vanessa. Yang benar saja. Walau dia mungkin tampan, aku tidak sebodoh itu untuk tidak melihat kalau pancaran mata Steven pada Vanessa lebih dari sekedar tunangan. Sikap mereka seperti orang yang sudah menikah saja!
“Kami dari akademi.” Kataku.
“Akademi!? Untuk apa kamu ke sana?” tanyanya, “Apa kamu terluka? Apa ada Shadow yang menyerangmu?”
“Tidak ada. Tenang saja, Vanessa. Gabriel melindungiku, kok.” Ujarku. “Oh ya, apa kita punya komputer atau laptop? Aku memerlukannya sekarang.”
“Untuk apa?”
“Err… rahasia. Aku hanya ingin meminjamnya sebentar. Boleh, ya?”
Vanessa menyipitkan matanya padaku, lalu kemudian mengedikkan bahu, “Ada laptop di kamarku. Kamu bisa memakainya sepuasmu.”
“Terima kasih.” Aku tersenyum lebar dan menarik Gabriel untuk ikut denganku.
“Tapi, Ilana, jangan lupa kamu harus makan, setelah itu mengikuti rapat yang akan dilaksanakan oleh Ayah dua jam dari sekarang!”
“Aku mengerti!”
Aku masuk ke dalam gua dan mencari-cari di mana tepatnya kamar Vanessa. Setelah bertanya pada beberapa orang, akhirnya aku dan Gabriel sampai di kamar Vanessa, yang… harus kuakui, tidak terlalu nyaman karena entah bagaimana caranya dia mendekorasi kamarnya dengan warna pink dan merah hati yang membuatku mengernyit memandangi warnanya.
Aku tahu selera Vanessa terkadang aneh. Tapi ini…
“Gadis itu ternyata cukup ekspresif juga.” Komentar Gabriel sambil bersiul memandangi dinding kamar yang dipasangi kertas dinding berwarna pink dan merah hati.
“Jangan berkomentar.” Kataku. Aku menoleh ke sekeliling dan menemukan laptop yang dimaksud di atas meja kecil di sudut ruangan.
Aku langsung menghampiri meja itu dan menyalakan laptopnya. Setelah menyala, aku mencolokkan sebuah card reader yang sudah kumasukkan micro card di dalamnya. Aku menggerakkan kursor di layar dan membuka satu-satunya folder yang ada di dalam micro card tersebut.
“Ini…”
Di dalam folder itu ada dua buah video file yang masing-masing memuat nama kedua orangtuaku, Arslan dan Selene.
“Gabriel, menurutmu yang mana yang harus kubuka lebih dulu?”
“Terserah kamu.”
Aku menatap dua video file itu dan memilih membuka video dengan nama ibuku lebih dulu.
Lama video itu baru terbuka, dan aku sedikit terkejut melihat seorang gadis berambut coklat keemasan dan bermata merah menatap balik dari layar monitor. Wajah gadis itu tampak muda dan usianya mungkin seusiaku. Dia memakai gaun merah tanpa lengan yang memperlihatkan kulit bahu dan dadanya yang putih. Sebuah jas panjang berwarna putih tersampir di bahunya. Gadis itu mengerjap dan tersenyum padaku.
Ilana,”
Lagi-lagi aku mengerjap kaget.
Atau Raven, siapa pun dari kalian berdua yang membuka video ini dan bingung siapa aku, aku adalah Selene Edelweiss. Atau… nama asliku Yukina, ibu kalian berdua. Ketika kalian melihat sosokku seperti ini… mungkin kalian mengira aku sakit, ya?” gadis di dalam monitor itu tertawa.
Dalam video ini, aku ingin kalian mendengarkan sejarah Shadow dan Hunter yang sebenarnya dan tidak pernah diceritakan. Hunter dan Shadow. Juga alasan kenapa aku mungkin akan dibunuh, begitupula Arslan. Ini semua sesuai prediksi masa depan yang kudapat dalam mimpiku.

0 komentar:

Posting Komentar