Saat dia
menggendongku, aku langsung melingkarkan kedua lenganku di lehernya. Sampai
sekarang aku masih harus mengakui kalau larinya lebih cepat daripada aku, yang
membuatku sedikit frustasi.
Penjagaan
di sekitar akademi sangat ketat. Kami nyaris tidak bisa keluar, dan untungnya,
Gabriel tahu jalan rahasia lain selain yang kutemukan dulu itu. Ketika kami
sudah berada di luar gerbang, aku langsung menyuruhnya menurunkanku.
“Kenapa
aku harus menurunkanmu?”
“Karena
aku bisa berjalan sendiri dan aku lelah menjadi bayi.” Jawabku, “Sekarang
turunkan aku, Gabriel.”
“Tidak.”
dia menggeleng, “Tempat ini masih terjangkau oleh Shadow. Kita harus—”
“Apa?”
aku bertanya ketika dia mendadak terdiam.
Postur
tubuhnya tiba-tiba menegang, dan sebelum aku sempat bertanya, dia melompat
tanpa aba-aba dan membuatku kaget.
“Rupanya
mereka berhasil mengikuti kita.”
“Apa?”
Di
hadapan kami muncul Shadow yang tadi kulihat di ruang rahasia, beserta pria
bernama Verilo. Pria itu tampak mengerikan dengan mantel merahnya. Mungkin
maksud mantel itu dikenakan adalah untuk mempertegas kalau dia adalah seorang
jenderal, tapi bagiku…
…
ya seperti Shadow lainnya, dia terlalu tampan.
“Kita
bertemu lagi, Gabriel.”
“Hai
Verilo. Sedang bermain kejar-kejaran?”
“Sepertinya
kau menemukan sang putri, ya?”
Mata
pria itu menatapku dan aku langsung menggigil. Aku tidak berniat menggigil,
tapi ada sesuatu pada pria—Shadow ini, yang membuatku ingin melarikan diri
saja.
“Tidak
ada urusannya denganmu,” Gabriel mengetatkan pelukannya, “Kalau dia memang sang
putri, lalu kenapa? Kau ingin menangkapnya?”
“Menangkap
bukanlah kata yang tepat.” Verilo tersenyum dan aku melihat giginya yang mirip
seperti gigi… vampire?
“Membunuhnya
adalah kata yang akan kugunakan. Sang putri berdarah manusia itu tidak lebih
baik dari kita, dan keberadaannya menjadi ancaman bagi kelangsungan hidup para
Shadow seperti kita.” kata Verilo, “Kau seharusnya tahu itu, kan? Raja Arslan
bahkan memerintahkan kita untuk membunuhnya.”
“Jangan
mengarang, Verilo. Aku yang lebih dekat dengan Raja Arslan, dan juga Selene
Edelweiss sang Hunter dan manusia abadi pertama.” kata Gabriel lagi, “Aku tidak
akan membiarkanmu menyentuh Ilana seujung jari pun.”
“Tidak
masalah. Aku akan memerintahkan mereka untuk menyerangmu, dan kemudian
menangkap sang putri.”
“Coba
saja,” balas Gabriel. “Pegangan padaku erat-erat. Ini bakal memakan waktu lama.”
Tanpa
disuruh pun aku juga akan melakukannya.
“Tangkap
mereka berdua!!”
Mereka
dengan cepat menghambur kearah kami. Dan Gabriel segea melompat ke udara.
Bersamaan dengan itu, dia melepaskan sesuatu yang kuduga adalah jarum, kearah
mereka, tepat mengenai leher mereka. Aku terkejut melihat mereka langsung
tumbang tanpa sempat melakukan apa-apa.
“Satu
kelemahan lain Shadow yang tidak kalian ketahui: urat leher mereka.” kata
Gabriel, “Jika kau tidak tahu kelemahan fatal mereka, serang saja bagian
leher.”
“Itu
berguna sekali…” kataku sambil mengetatkan pelukanku ketika salah satu Shadow
melompat dan mencoba menyerang kami dari udara.
“Oh,
sial!” Gabriel mengumpat dan menendang Shadow itu hingga jatuh.
“Gabriel,
di belakang!” aku berseru melihat sekelebat bayangan berada tepat di belakang
kami.
Ia
dengan cepat berbalik dan menyerang Shadow itu.
“Ini
akan memakan waktu lama.” katanya, “Kau bisa memegangku lebih erat lagi?”
“Kenapa?”
“Aku
akan mencoba untuk menggunakan kekuatanku yang sebenarnya.” Kata Gabriel.
Pegangan padaku dengan lebih erat.”
Gabriel
mendarat di atas tanah, lalu menatap para Shadow yang mengepung kami. Ia
mengambil nafas dalam-dalam dan menutup kedua matanya. Ketika dia membuka
matanya, aku terkesiap melihat kedua bola mata biru beningnya berubah menjadi
warna merah seperti darah. Bersamaan dengan itu, tanah di sekitar kami bergetar
hebat. Tanah di sekitar kami terbuka lebar dan menelan para Shadow yang
mengelilingi kami ke dalam tanah.
Kejadian
itu berlangsung cepat. Perlahan tanah kembali menutup dan seolah-olah tidak ada
Shadow diatasnya, dan hanya tinggal Verilo yang tadi berdiri di belakang
bawahannya.
“Kau…
kau menggunakan kekuatan yang sama seperti Arslan.” Gumam pria itu terkejut.
“Bagaimana bisa?”
“Gabriel,
tadi itu…”
“Aku
adalah satu-satunya yang dipercaya untuk menjadi pelindungmu.” Kata Gabriel,
“Karena itu Arslan memberikanku setengah kekuatannya.”
“Ayahku
melakukannya?”
“Tentu
saja. Demi keselamatan putra-putrinya, dia akan melakukan apa pun karena kalian
adalah harta berharga yang ditinggalkan Selene.” Gabriel tersenyum padaku,
“Kamu dan Raven sangat dicintai oleh kedua orangtua kalian.”
Aku
mengerjap dan membalas senyumannya.
“Bagaimana
bisa kau mendapatkan kekuatan Raja Arslan? Ini tidak mungkin!” Verilo terdengar
marah, “Kau… kau mencuri kemampuannya?”
“Aku
tidak pernah mencurinya. Dia sendiri yang mewariskan kekuatannya padaku tepat
sebelum dia meninggal.” Ujar Gabriel, “Dan asal kamu tahu, aku juga mewarisi kelebihannya yang lain.”
“A,
apa?”
Aku
merasakan tubuh Gabriel bergetar, dan kemudian aku terbelalak melihat dari
punggungnya muncul sepasang sayap dengan rentang dua meter, berwarna hitam
pekat seperti sayap burung gagak.
“Itu…”
“Aku
yakin kau pernah melihat sayap seperti ini, Verilo. Arslan dan Selene memiliki
sayap yang sama karena mereka memiliki DNA binatang yang sama yang dimasukkan
ke dalam tubuh mereka.”
Verilo
tampak marah melihatnya. Pria itu menarik pedangnya dan berlari kearah kami.
Gabriel
menggerakkan sayapnya dan melesat ke udara hingga pedang Verilo hanya mengenai
udara kosong tempat kami berada tadi.
“Jangan
pernah menampakkan dirimu lagi di hadapanku, Verilo.” Kata Gabriel, “Kau sudah
melihat sendiri mainan-mainanmu sudah kutenggelamkan ke dasar tanah. Kau masih
kuampuni karena aku yakin Arslan dan Selene tidak akan mau melihatmu kukubur
hidup-hidup.”
“Kembali
kau ke sini, Gabriel!”
“Terus
saja berteriak sepuasmu.” Balas Gabriel. Lalu dia membawaku melesat terbang ke
angkasa. Meninggalkan Verilo yang tengah berteriak dan mencaci-maki pada kami.
***
“Aku
tidak pernah tahu ayahku memiliki sayap.” Kataku saat kami tiba di dekat hutan.
Gabriel
menurunkanku dan seketika itu sayap di belakang punggungnya menghilang. Seperti
masuk kembali ke tubuhnya.
“Itu
sebenarnya adalah rahasia.” katanya, “Arslan tidak pernah menunjukkan sayapnya
pada orang lain kecuali pada ibumu. Kalau kau mau tahu, mereka berdua itu
jarang terlihat sendirian. Ayahmu selalu menemani ibumu bahkan dulu aku sering
menyebut mereka perangko dan lem.”
“Benarkah?”
aku tertawa. “Apakah kedua orangtuaku sangat dekat?”
“Sangat…
dekat.” dia mengangguk, “Sampai peristiwa itu datang.”
Aku
mengerjap dan menunggunya melanjutkan. Tapi, Gabriel tidak mengatakan apa-apa
lagi dan menuntunku ke dalam hutan.
“Gabriel,”
“Apa?”
“Kakakku…
apa dia mirip dengan Ayah?” tanyaku.
“Mirip
sekali. Hanya matanya saja yang mirip Selene.”
“Begitu…”
“Kenapa
kamu bertanya hal itu lagi?”
“Aku
hanya penasaran. Aku tidak pernah bertemu kedua orangtuaku, apalagi kakakku.”
Kataku, “Jadi… aku penasaran seperti apa wajah mereka.”
“Mengenai
itu…”
“Ya?”
“Mungkin
ada hubungannya dengan micro card
yang kita temukan.” Katanya, “Aku merasa pernah melihat micro card itu di suatu tempat.”
Aku
mengambil micro card tadi dari saku celanaku,
“Benda ini? Benarkah?”
“Kalau
tidak salah di dalam benda itu ada sesuatu yang penting…” Gabriel mengernyitkan
dahi, “Kita akan mengetahuinya setelah kita melihat isinya.”
“Dan
pertama-tama, kita harus menemukan komputer atau laptop terlebih dulu.”
***
“Kalian
dari mana saja?”
Vanessa
berdiri di depan pintu gua sambil berkacak pinggang. Di sebelahnya ada Steven,
tunangannya. Dan aku harus mengakui, Steven tambah ganteng sejak terakhir aku
melihatnya. Dan itu sudah… dua tahun yang lalu? Entahlah, aku lupa.
Tapi,
ngomong-ngomong, jangan kalian kira aku ingin atau coba-coba merebut Steven
dari Vanessa. Yang benar saja. Walau dia mungkin tampan, aku tidak sebodoh itu
untuk tidak melihat kalau pancaran mata Steven pada Vanessa lebih dari sekedar
tunangan. Sikap mereka seperti orang yang sudah menikah saja!
“Kami
dari akademi.” Kataku.
“Akademi!?
Untuk apa kamu ke sana?” tanyanya, “Apa kamu terluka? Apa ada Shadow yang
menyerangmu?”
“Tidak
ada. Tenang saja, Vanessa. Gabriel melindungiku, kok.” Ujarku. “Oh ya, apa kita
punya komputer atau laptop? Aku memerlukannya
sekarang.”
“Untuk
apa?”
“Err…
rahasia. Aku hanya ingin meminjamnya sebentar. Boleh, ya?”
Vanessa
menyipitkan matanya padaku, lalu kemudian mengedikkan bahu, “Ada laptop di kamarku. Kamu bisa memakainya
sepuasmu.”
“Terima
kasih.” Aku tersenyum lebar dan menarik Gabriel untuk ikut denganku.
“Tapi,
Ilana, jangan lupa kamu harus makan, setelah itu mengikuti rapat yang akan
dilaksanakan oleh Ayah dua jam dari sekarang!”
“Aku
mengerti!”
Aku
masuk ke dalam gua dan mencari-cari di mana tepatnya kamar Vanessa. Setelah bertanya
pada beberapa orang, akhirnya aku dan Gabriel sampai di kamar Vanessa, yang…
harus kuakui, tidak terlalu nyaman karena entah bagaimana caranya dia
mendekorasi kamarnya dengan warna pink dan merah hati yang membuatku mengernyit
memandangi warnanya.
Aku
tahu selera Vanessa terkadang aneh. Tapi ini…
“Gadis
itu ternyata cukup ekspresif juga.” Komentar Gabriel sambil bersiul memandangi
dinding kamar yang dipasangi kertas dinding berwarna pink dan merah hati.
“Jangan
berkomentar.” Kataku. Aku menoleh ke sekeliling dan menemukan laptop yang
dimaksud di atas meja kecil di sudut ruangan.
Aku
langsung menghampiri meja itu dan menyalakan laptopnya. Setelah menyala, aku
mencolokkan sebuah card reader yang
sudah kumasukkan micro card di
dalamnya. Aku menggerakkan kursor di layar dan membuka satu-satunya folder yang
ada di dalam micro card tersebut.
“Ini…”
Di
dalam folder itu ada dua buah video file
yang masing-masing memuat nama kedua orangtuaku, Arslan dan Selene.
“Gabriel,
menurutmu yang mana yang harus kubuka lebih dulu?”
“Terserah
kamu.”
Aku
menatap dua video file itu dan
memilih membuka video dengan nama ibuku lebih dulu.
Lama
video itu baru terbuka, dan aku sedikit terkejut melihat seorang gadis berambut
coklat keemasan dan bermata merah menatap balik dari layar monitor. Wajah gadis
itu tampak muda dan usianya mungkin seusiaku. Dia memakai gaun merah tanpa
lengan yang memperlihatkan kulit bahu dan dadanya yang putih. Sebuah jas
panjang berwarna putih tersampir di bahunya. Gadis itu mengerjap dan tersenyum
padaku.
“Ilana,”
Lagi-lagi
aku mengerjap kaget.
“Atau Raven, siapa pun dari kalian berdua
yang membuka video ini dan bingung siapa aku, aku adalah Selene Edelweiss. Atau…
nama asliku Yukina, ibu kalian berdua. Ketika kalian melihat sosokku seperti
ini… mungkin kalian mengira aku sakit, ya?” gadis di dalam monitor itu
tertawa.
“Dalam video ini, aku ingin kalian
mendengarkan sejarah Shadow dan Hunter yang sebenarnya dan tidak pernah
diceritakan. Hunter dan Shadow. Juga alasan kenapa aku mungkin akan dibunuh,
begitupula Arslan. Ini semua sesuai prediksi masa depan yang kudapat dalam
mimpiku.”
0 komentar:
Posting Komentar