“Gabriel…
pamanku?”
Aku
menatap Gabriel, Ayah, dan pria bernama Scott itu bergantian. Tatapanku kembali
pada Gabriel, dan dia kelihatannya sama kagetnya denganku.
“Bagaimana
bisa Gabriel menjadi kakak angkat… Mama?” tanyaku lagi, “Dia Shadow, dia—”
“Kau
lupa kalau dulunya Shadow itu manusia? Mereka menjadi Shadow di saat mereka
sekarat, dengan kata lain, hampir mati.” Kata Ayah, “Gabriel menjadi Shadow
pastilah pada saat penyerangan Verilo dan Tetua Agung dari perkumpulan Shadow.”
Aku
terdiam mendengar jawaban beliau. Mataku menatap kearah Gabriel, yang diam dan
tidak berbicara.
“Tapi…
tapi bagaimana bisa? Kalau dia pamanku, seharusnya aku ingat padanya, kan?
Tapi, kenapa—”
“Kau
mengalami amnesia saat masih kecil.” Ujar Scott, “Di hari di mana kau dan
Gabriel diserang oleh sekelompok Shadow yang memburumu, hari di mana Gabriel
meninggal dan menjadi Shadow.”
“Aku…
hilang ingatan?”
“Ceritanya
cukup panjang, tapi walau kau tidak mengingat Gabriel sama sekali, kau
bertindak seolah telah mengenalnya sangat lama, kan?”
“Eh?”
“Memang…
sejak tadi Ilana terlihat sangat menempel pada Gabriel.” Kata Ayah lagi.
“Eh?
T, tapi… kenapa Ayah tidak pernah mengatakan padaku? Bahwa aku hilang ingatan…”
“Itu
untuk keselamatanmu.” Ujar beliau, kemudian menepuk pundakku, “Beristirahatlah.
Setelah itu, baru kita berbicara.”
“Kalian,
siapkan ruangan untuk Ilana dan juga Gabriel. Dan jangan pisahkan mereka. Aku
ingin mereka berada dalam satu ruangan.”
“Baik!”
“Ayah…”
“Beristirahatlah
dulu, Ilana. Kita akan membicarakannya nanti. Masih banyak orang-orang yang
harus dirawat.” Kata beliau, sebelum akhirnya berbalik dan pergi.
Aku
menatap punggung beliau yang berlalu pergi dengan perasaan tidak menentu.
Seseorang
menepuk punggungku dari belakang. Vanessa sudah selesai dirawat, dan walaupun
beberapa bagian tubuhnya dibalut perban, dia masih mampu tersenyum.
“Ayo.
Aku akan mengantarkanmu ke ruangan di mana kamu bisa beristirahat.” Katanya,
“Kalian juga, Michael, Gabriel.”
***
Beristirahat
sebenarnya menjadi hal yang kubenci. Tapi, entah kenapa, kali ini aku tidak
menolak ketika Vanessa menunjukkan sebuah ruangan yang hangat dan nyaman di
dasar gua dan menyuruhku beristirahat.
“Dan
luka-lukamu juga harus dirawat.” Katanya. “Aku akan mengambil perban dan
obat-obatan untuk merawat lukamu. Tunggu sebentar, oke?”
Aku
mengangguk dan duduk di tepi ranjang kayu yang ada di ruangan ini. Gabriel
duduk di kursi di hadapanku.
“Kemarikan
tanganmu,”
“Hah?”
“Kemarikan
tanganmu, aku ingin melihat seberapa parah luka-lukamu.” Kata Gabriel.
Aku
mengulurkan tanganku yang terluka dan dia menariknya mendekat ke wajahnya.
Segera saja aku merasakan sakit yang luar biasa ketika dia menyentuh pelan luka
di telapak tanganku.
“Racun…”
gumamnya. “ini racun yang biasanya dibuat oleh Verilo. Dia tidak hanya
berprofesi sebagai jenderal, tapi juga pembuat racun yang mematikan.
Luka-lukamu pasti terkontaminasi oleh racun buatannya.
“Racun?”
“Ya. Tunggu sebentar,”
Dia
merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan sebuah botol kaca bening yang berisikan
cairan berwarna biru laut. Ia membuka tutup botolnya dan meneteskan cairan itu
ke tanganku. Rasanya panas seperti didekatkan ke tungku api, namun
lama-kelamaan rasa panas itu tergantikan dengan rasa dingin seperti es.
“Ini
sari bunga abadi. Biasanya aku meminum ini ketika rasa lapar menyerangku.”
Katanya, “Sari ini juga berguna untuk menyembuhkan luka-luka pada tubuh
manusia.”
“Sari
bunga abadi… apa nama bunganya?” tanyaku.
“Edelweiss.
Bunga Edelweiss, seperti nama keluarga Selene Edelweiss.”
Aku
mengerjapkan mata mendengarnya, kaget.
“Ibumu
yang mengembangkan bunga-bunga itu dengan darahnya.” Kata Gabriel, “Beliau
mengembangkannya untuk menjadi obat bagi Raven, karena saat itu keturunan
setengah Shadow dianggap lebih rendah daripada Shadow sebenarnya.”
Gabriel
melepas blazer yang kukenakan dan meneteskan sari bunga itu ke atas luka di
pundakku. Matanya tidak menatap ke tubuhku, tapi kearah dinding di belakangku
sehingga aku tidak merasa malu karena dia nyaris saja melepaskan kemeja yang
kukenakan.
“Gabriel,”
“Hm?”
“Ayah
dan Scott bilang, kamu adalah pamanku. Apa itu benar?”
“Aku
tidak tahu. Aku tidak bisa mengingatnya.” Jawabnya.
“Tidak
ingat? Bagaimana bisa?”
“Alasannya
berbeda darimu yang kehilangan ingatan karena luka parah.” katanya sambil
menutup botol sari bunga di tangannya, “Aku kehilangan ingatanku setelah
menjadi Shadow. Hanya sedikit Shadow yang bisa mengingat kehidupannya sebelum
mati, dan itu sangat jarang terjadi.”
“Begitu…”
aku manggut-manggut, “tapi, kalau kamu termasuk dari Shadow yang bisa mengingat
kehidupan sebelum mati, bagaimana?”
Gabriel
tidak menjawab selama beberapa saat, dan aku mulai takut kalau dia marah padaku
karena menanyakan hal yang dianggap cukup… tidak sopan.
“Kalau
aku bisa mengingat kehidupanku sebelum mati,” katanya, “mungkin aku akan
menyesalinya.”
“Kenapa
menyesal?”
Gabriel
tidak menjawab lagi. Dan aku dengan sabar menunggunya menjawab.
“Karena
kalau aku bisa mengingat kehidupan itu, akan ada hal buruk yang akan terus
membayangi kehidupanku yang sekarang.”
Aku
mengerutkan kening, tidak terlalu mengerti maksud dari jawabannya. Namun aku
hanya mengangguk-angguk dan merebahkan kepalaku di atas bantal. Gabriel
menyandarkan punggungnya di punggung kursi dan memejamkan mata. Beberapa saat
kemudian, kudengar suara nafasnya menjadi teratur.
Pintu
kamar dibuka perlahan dan Vanessa masuk ke dalam dengan membawa kotak P3K di
tangannya.
“Dia
tidur?” tanya Vanessa sambil menunjuk Gabriel.
“Entahlah.
Apa Shadow bisa tidur?” tanyaku balik.
Vanessa
menggeleng dan duduk di sebelahku. Aku duduk lagi dan membiarkannya merawat
luka-lukaku, yang ternyata sudah mulai menutup.
“Bagaimana
luka-lukamu bisa mulai sembuh seperti ini?” tanya Vanessa bingung.
“Tadi
Gabriel meneteskan semacam obat ke luka-lukaku.” Kataku, “Katanya itu obat yang
dibuat dari sari bunga langka.”
“Obat?”
Vanessa mengerutkan kening, tapi tidak mengatakan apa-apa setelahnya.
Dengan
cekatan dia membalut luka-lukaku dan menyuruhku berganti pakaian dengan pakaian
yang telah dia siapkan.
“Setelah
ini, kamu harus segera istirahat. Nanti malam, Ayah akan berbicara denganmu.”
“Aku
tahu.” kataku sambil menghempaskan diriku ke atas kasur. “Aku masih penasaran,
kenapa beliau menyimpan rahasia kalau selama ini aku hilang ingatan.”
“Beliau
punya alasan tersendiri.” Ujar Vanessa sambil membereskan obat-obatan dan
perban ke dalam kotak P3K. “Setelah kamu mendengar cerita beliau nanti, kamu
akan mengerti.”
“Kuharap
demikian.” Aku membalas sambil mengedikkan bahu.
Vanessa
tersenyum dan mencium keningku.
“Beristirahatlah,
adik kecil. Kamu pasti lelah.”
Aku
hanya diam. Setelah Vanessa keluar, aku kembali merebahkan kepalaku dan
memejamkan mata, berharap bisa tidur untuk mengistirahatkan tubuhku.
Dan
itu terjadi lima belas menit kemudian.
***
Aku tidak bisa tidur. Secara teknis, Shadow tidak
akan pernah bisa tidur. Dan satu kemewahan yang bisa menggantikan rasa lelah
dan mengantuk yang dulunya pernah kami rasakan adalah dengan berlatih atau
melakukan sesuatu untuk menghabiskan waktu tidur kami. Intinya, kami tidak akan
pernah bisa tidur.
Aku menatap Ilana yang tertidur pulas di
kasur. Wajahnya sangat tenang dan bibirnya agak terbuka. Kalau ada pria lain di
kamar ini, mereka pasti tergoda untuk menciumnya.
Sayangnya aku bukan termasuk pria. Bukan
maksudku mengatai diri sendiri banci. Tapi, aku Shadow. Dan aku tidak mungkin
menyentuh Ilana. Lagipula dia adik sahabatku. Tentu saja aku tidak bisa
menyentuhnya sembarangan.
Bukan berarti aku ingin menyentuhnya.
Hanya saja…
Pintu terbuka perlahan dan Harry
Savagers masuk ke dalam tanpa suara.
“Ilana tertidur?” tanyanya.
“Seperti yang Anda lihat.” Kataku, “Ada
apa Anda kemari?”
“Aku ingin berbicara denganmu,” ujarnya,
“tentang kehidupan masa lalumu saat masih menjadi manusia.”
“Masa laluku?”
Ia mendekat kearahku. Tatapannya sangat
datar, tapi aku merasakan hawa membunuh yang kental darinya.
“Kita akan berbicara, tapi tidak di
sini.” katanya lagi, “Ikut denganku.”
Tanpa berkata-kata, aku berdiri dan
memperbaiki letak selimut yang menutupi tubuh Ilana dan mengikutinya. Aku hanya
berharap hawa membunuh yang tadi kurasakan hanyalah halusinasi belaka. Karena
jika memang benar Harry Savagers ingin membunuhku, dia bisa melakukannya dengan
mudah.
Kalian bertanya kenapa?
Itu karena dia memang bisa melakukannya.
***
Harry membawaku ke sebuah ruangan yang terbuat dari
besi. Aku tidak menduga di dalam gua ini ternyata ada sebuah ruangan yang
sepenuhnya terbuat dari besi. Bahkan barang-barang yang ada di ruangan ini pun
terbuat dari besi. Ini membuatku merasakan perasaan yang tidak nyaman, lebih
daripada yang tadi.
Kalau kalian belum tahu, salah satu
kelemahan kami adalah : Besi. Kami tidak tahan dengan benda-benda yang terbuat dari besi. Sebisa mungkin kami
menghindari benda-benda yang terbuat dari metal tersebut. kulit kami akan
melepuh jika terkena besi dan serasa seperti terbakar.
Harry Savagers duduk di kursinya yang
berada di balik meja dan menatapku.
“Gabriel, kau benar-benar tidak ingat
masa lalumu saat menjadi manusia?”
“Tidak sedikitpun.” Jawabku.
“Berarti apa yang diperkirakan Selene
benar.”
“Hah?”
“Apa kau tidak tahu kalau Selene, selain
seorang Hunter, juga seorang yang bisa melihat masa depan?” katanya, “Ah ya…
aku lupa. Kau lupa masa lalumu.”
Aku semakin penasaran kenapa Harry
Savagers terlihat tertekan dan frustasi saat menyebut nama Selene Edelweiss.
Tapi, aku tidak berani bertanya. Aura membunuh yang kurasakan sesaat yang lalu
kembali lagi dan membuatku merinding.
Dan ini adalah pertama kalinya aku
merinding, sebagai Shadow.
“Lalu, apa yang ingin Anda lakukan
padaku sekarang? Anda bilang ingin berbicara…”
“Aku membawamu ke sini karena memang
ingin berbicara denganmu secara pribadi.” Ujarnya, “Tapi, tidak di ruangan
tadi. Ilana punya kemampuan yang luar biasa untuk mengetahui apa yang terjadi
atau yang akan terjadi di sekitarnya sehingga tidak mungkin bagiku untuk
berbicara secara leluasa.”
“Begitu…” aku manggut-manggut. Kemampuan
itu sama dengan kemampuan yang dimiliki Raven.
“Gabriel, mungkin kamu melupakan hal
ini, tapi kamu berutang nyawa padaku.” kata Harry, “Aku pernah menyelamatkan
nyawamu saat dulu diserang sekelompok Shadow yang… hmm, bagaimana
mengatakannya, ya? Barbar, mungkin? Yang pasti, saat itu kamu masih kecil, dan
aku ingat kamu adalah satu-satunya keluarga Selene Edelweiss yang tersisa, karena
mereka semua selain Selene, dibantai sampai habis.”
“Mereka dibantai? Kenapa?”
“Karena mereka dianggap sebagai penyebab
virus yang menjadikan manusia yang telah mati menjadi Shadow. Mereka kemudian
dibantai, dibakar atau dikubur hidup-hidup, dan hal sadis lainnya yang mungkin
bisa kamu pikirkan.” Ujar Harry, “Tapi, Selene berhasil selamat, dan begitu
pula dirimu. Selene mengatakan kalau kamu adalah satu-satunya keturunan
Edelweiss yang tersisa. Dan kamu juga berutang nyawa padaku.”
Aku mengerutkan kening mendengar
ceritanya yang terdengar berputar-putar itu, namun aku mengerti apa maksudnya.
Dia ingin aku membayar utang nyawaku.
Itu cukup mudah dipahami.
“Intinya saja, Harry Savagers. Apa kamu
ingin aku membayar utang nyawaku padamu?”
Dia menatapku sebentar kemudian
mengangguk.
“Gabriel, hal yang ingin kukatakan
padamu adalah…”
***
Aku
terbangun dengan kepala yang seperti ditusuk ribuan jarum kecil. Namun, hanya
sesaat kemudian aku bisa mengatasi rasa sakit kepalaku.
Aku
melihat sekeliling. Gabriel tidak ada. Apa dia berada di luar? Entah kenapa
rasanya aku mulai mengenalnya sedikit demi sedikit. Dan pecahan ingatan yang
kupunya ketika bersamanya, saat masih kecil terkumpul.
Dan
mengingatnya kembali membuat pipiku memanas. Kenapa? Jangan tanya. Aku tidak
akan mau menjawabnya.
Setidaknya
untuk sekarang.
Ketika
aku sedang asyik melamun, pintu tiba-tiba terbuka dan membuatku tersentak
kaget.
Gabriel
masuk dan dia tertegun melihatku sudah bangun(sepertinya).
“Bagaimana
keadaanmu?” tanyanya sambil berjalan mendekatiku.
“Aku
sudah merasa lebih baik.” kataku, “Kamu habis dari mana?”
“Berjalan-jalan
sebentar.” jawabnya pendek, kemudian duduk di kursi yang ada di dekat tempatku
tidur.
Aku
menatapnya bingung. Dia tadi tidak sediam ini. Tapi, kenapa dia kelihatan…
depresi? Apa Shadow bisa depresi juga?
“Kamu
baik-baik saja?” tanyaku.
“Tentu
saja. Kenapa kamu bertanya?”
“Soalnya
kelihatan lebih diam daripada yang tadi.” kataku, “Apa ada sesuatu yang
terjadi? Apa… apa kakakku?”
“Apa?
Tidak… Raven baik-baik saja, kok.” Dia terkekeh, “Kukira kalau kamu seperti ini
kamu lebih manis.”
“Hah?”
“Raut
wajahmu yang kelihatan khawatir itu,” katanya, “Lebih manis, daripada raut
wajah diam dan datar yang sering kamu tunjukkan.”
“Ap—kamu
sedang berusaha menggodaku?” tanyaku tergagap.
Aku
yakin wajahku memerah. Serius.
“Tidak.
Tapi, kalau kamu menganggap itu sebagai godaan, terserah saja.”
Aku
memberengut padanya dan berbaring membelakanginya. Kudengar suara tawanya makin
keras, dan itu membuatku makin kesal.
“Apanya
yang lucu?” tanyaku tanpa berbalik.
“Kamu.”
katanya, “Lucu sekali melihatmu malu.”
“Sialan
kamu!”
Aku
bangun dengan gerakan cepat dan bermaksud memukulnya. Tapi, dia menghindar
lebih cepat dan tinjuku hanya berhasil mengenai udara kosong di atas kursi
tempatnya duduk tadi.
“Untuk
ukuran gadis yang baru saja merasa lebih baik setelah beristirahat, lumayan
juga.” Katanya, masih terkekeh.
“Aku
tidak butuh komentarmu.” Kataku sambil berusaha memukulnya lagi.
Pukulanku
kali ini berhasil mengenainya, dan entah dia sengaja atau tidak, dia terbanting
ke tempat tidur (dan tentu saja, sambil tertawa). Aku merengut padanya dan
memukul-mukul dadanya. Melampiaskan kekesalanku.
“Hei,
hei… hentikan itu… kamu membuatku makin ingin tertawa saja.”
“Tertawa
saja terus sampai mati!”
“Aku,
kan memang sudah mati.” Katanya,
membuatku menghentikan aktivitas memukulku dan menatapnya.
“Apa?”
“Kamu…
apa tidak pernah menyesal ketika kamu akan mati waktu itu?” tanyaku, “Saat kamu
mati, perasaan apa pun yang ada di dalam diri manusia akan bereaksi pada virus
yang masuk ke dalam tubuh dan menjadikannya Shadow. Apa kamu tidak pernah punya
penyesalan seperti kenapa kamu harus menjadi Shadow setelah kamu mati?”
Dia
menatapku dengan tatapan tertegun, tapi kemudian tertawa lagi, kali ini
terbahak-bahak. Dan aku bersumpah, kalau tawanya itu sedikit… sarkatis.
“Pertanyaan
itu, aku juga mendengarnya dari Raven.” Katanya di sela-sela tawa, “Dia selalu
menanyakan hal itu, dan mengacaukan konsentrasiku saat aku memimpin orang-orang
kami yang selamat dari perburuan Tetua Tertinggi.”
“Kakakku
juga menanyakan hal yang sama?”
“Ya.
Dan asal kamu tahu, kalian berdua sangat mirip.” Dia tersenyum, “Mata ungu
jernihmu juga mirip dengannya. Matamu bersinar dan memancarkan api ungu dari
neraka yang siap menelan apapun yang masuk ke dalamnya.”
“Kenapa
harus api neraka, sih?” aku meringis dan duduk di sebelahnya. “Tidak ada
perumpamaan yang lebih manis, ya?”
“Tidak.
Itu lebih cocok untukmu.” Katanya sambil duduk.
Aku
hanya melenguh dan mendiamkannya. Lama kami diam, dan aku mendengar suara
bergerak dari Gabriel.
“Mau
ke mana?” tanyaku saat melihatnya berdiri dan menuju pintu.
“Aku
mau keluar.” katanya, “Mau ikut?”
“Memangnya
boleh?”
“Kenapa
harus ada yang melarangm?” tanyanya balik. “Ayolah, kita berjalan-jalan di
luar. Kurasa setelah seharian tidur, kamu pasti ingin melihat keadaan di luar,
kan?”
“Seharian?
Memangnya aku tidur berapa lama?”
“Seminggu
penuh.”
“Apa!?”
0 komentar:
Posting Komentar