Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Hunter Academy ~ Bloodline - Chapter 7



“Gabriel… pamanku?”
Aku menatap Gabriel, Ayah, dan pria bernama Scott itu bergantian. Tatapanku kembali pada Gabriel, dan dia kelihatannya sama kagetnya denganku.
“Bagaimana bisa Gabriel menjadi kakak angkat… Mama?” tanyaku lagi, “Dia Shadow, dia—”

“Kau lupa kalau dulunya Shadow itu manusia? Mereka menjadi Shadow di saat mereka sekarat, dengan kata lain, hampir mati.” Kata Ayah, “Gabriel menjadi Shadow pastilah pada saat penyerangan Verilo dan Tetua Agung dari perkumpulan Shadow.”
Aku terdiam mendengar jawaban beliau. Mataku menatap kearah Gabriel, yang diam dan tidak berbicara.
“Tapi… tapi bagaimana bisa? Kalau dia pamanku, seharusnya aku ingat padanya, kan? Tapi, kenapa—”
“Kau mengalami amnesia saat masih kecil.” Ujar Scott, “Di hari di mana kau dan Gabriel diserang oleh sekelompok Shadow yang memburumu, hari di mana Gabriel meninggal dan menjadi Shadow.”
“Aku… hilang ingatan?”
“Ceritanya cukup panjang, tapi walau kau tidak mengingat Gabriel sama sekali, kau bertindak seolah telah mengenalnya sangat lama, kan?”
“Eh?”
“Memang… sejak tadi Ilana terlihat sangat menempel pada Gabriel.” Kata Ayah lagi.
“Eh? T, tapi… kenapa Ayah tidak pernah mengatakan padaku? Bahwa aku hilang ingatan…”
“Itu untuk keselamatanmu.” Ujar beliau, kemudian menepuk pundakku, “Beristirahatlah. Setelah itu, baru kita berbicara.”
“Kalian, siapkan ruangan untuk Ilana dan juga Gabriel. Dan jangan pisahkan mereka. Aku ingin mereka berada dalam satu ruangan.”
“Baik!”
“Ayah…”
“Beristirahatlah dulu, Ilana. Kita akan membicarakannya nanti. Masih banyak orang-orang yang harus dirawat.” Kata beliau, sebelum akhirnya berbalik dan pergi.
Aku menatap punggung beliau yang berlalu pergi dengan perasaan tidak menentu.
Seseorang menepuk punggungku dari belakang. Vanessa sudah selesai dirawat, dan walaupun beberapa bagian tubuhnya dibalut perban, dia masih mampu tersenyum.
“Ayo. Aku akan mengantarkanmu ke ruangan di mana kamu bisa beristirahat.” Katanya, “Kalian juga, Michael, Gabriel.”

***

Beristirahat sebenarnya menjadi hal yang kubenci. Tapi, entah kenapa, kali ini aku tidak menolak ketika Vanessa menunjukkan sebuah ruangan yang hangat dan nyaman di dasar gua dan menyuruhku beristirahat.
“Dan luka-lukamu juga harus dirawat.” Katanya. “Aku akan mengambil perban dan obat-obatan untuk merawat lukamu. Tunggu sebentar, oke?”
Aku mengangguk dan duduk di tepi ranjang kayu yang ada di ruangan ini. Gabriel duduk di kursi di hadapanku.
“Kemarikan tanganmu,”
“Hah?”
“Kemarikan tanganmu, aku ingin melihat seberapa parah luka-lukamu.” Kata Gabriel.
Aku mengulurkan tanganku yang terluka dan dia menariknya mendekat ke wajahnya. Segera saja aku merasakan sakit yang luar biasa ketika dia menyentuh pelan luka di telapak tanganku.
“Racun…” gumamnya. “ini racun yang biasanya dibuat oleh Verilo. Dia tidak hanya berprofesi sebagai jenderal, tapi juga pembuat racun yang mematikan. Luka-lukamu pasti terkontaminasi oleh racun buatannya.
“Racun?”
“Ya.  Tunggu sebentar,”
Dia merogoh saku mantelnya dan mengeluarkan sebuah botol kaca bening yang berisikan cairan berwarna biru laut. Ia membuka tutup botolnya dan meneteskan cairan itu ke tanganku. Rasanya panas seperti didekatkan ke tungku api, namun lama-kelamaan rasa panas itu tergantikan dengan rasa dingin seperti es.
“Ini sari bunga abadi. Biasanya aku meminum ini ketika rasa lapar menyerangku.” Katanya, “Sari ini juga berguna untuk menyembuhkan luka-luka pada tubuh manusia.”
“Sari bunga abadi… apa nama bunganya?” tanyaku.
“Edelweiss. Bunga Edelweiss, seperti nama keluarga Selene Edelweiss.”
Aku mengerjapkan mata mendengarnya, kaget.
“Ibumu yang mengembangkan bunga-bunga itu dengan darahnya.” Kata Gabriel, “Beliau mengembangkannya untuk menjadi obat bagi Raven, karena saat itu keturunan setengah Shadow dianggap lebih rendah daripada Shadow sebenarnya.”
Gabriel melepas blazer yang kukenakan dan meneteskan sari bunga itu ke atas luka di pundakku. Matanya tidak menatap ke tubuhku, tapi kearah dinding di belakangku sehingga aku tidak merasa malu karena dia nyaris saja melepaskan kemeja yang kukenakan.
“Gabriel,”
“Hm?”
“Ayah dan Scott bilang, kamu adalah pamanku. Apa itu benar?”
“Aku tidak tahu. Aku tidak bisa mengingatnya.” Jawabnya.
“Tidak ingat? Bagaimana bisa?”
“Alasannya berbeda darimu yang kehilangan ingatan karena luka parah.” katanya sambil menutup botol sari bunga di tangannya, “Aku kehilangan ingatanku setelah menjadi Shadow. Hanya sedikit Shadow yang bisa mengingat kehidupannya sebelum mati, dan itu sangat jarang terjadi.”
“Begitu…” aku manggut-manggut, “tapi, kalau kamu termasuk dari Shadow yang bisa mengingat kehidupan sebelum mati, bagaimana?”
Gabriel tidak menjawab selama beberapa saat, dan aku mulai takut kalau dia marah padaku karena menanyakan hal yang dianggap cukup… tidak sopan.
“Kalau aku bisa mengingat kehidupanku sebelum mati,” katanya, “mungkin aku akan menyesalinya.”
“Kenapa menyesal?”
Gabriel tidak menjawab lagi. Dan aku dengan sabar menunggunya menjawab.
“Karena kalau aku bisa mengingat kehidupan itu, akan ada hal buruk yang akan terus membayangi kehidupanku yang sekarang.”
Aku mengerutkan kening, tidak terlalu mengerti maksud dari jawabannya. Namun aku hanya mengangguk-angguk dan merebahkan kepalaku di atas bantal. Gabriel menyandarkan punggungnya di punggung kursi dan memejamkan mata. Beberapa saat kemudian, kudengar suara nafasnya menjadi teratur.
Pintu kamar dibuka perlahan dan Vanessa masuk ke dalam dengan membawa kotak P3K di tangannya.
“Dia tidur?” tanya Vanessa sambil menunjuk Gabriel.
“Entahlah. Apa Shadow bisa tidur?” tanyaku balik.
Vanessa menggeleng dan duduk di sebelahku. Aku duduk lagi dan membiarkannya merawat luka-lukaku, yang ternyata sudah mulai menutup.
“Bagaimana luka-lukamu bisa mulai sembuh seperti ini?” tanya Vanessa bingung.
“Tadi Gabriel meneteskan semacam obat ke luka-lukaku.” Kataku, “Katanya itu obat yang dibuat dari sari bunga langka.”
“Obat?” Vanessa mengerutkan kening, tapi tidak mengatakan apa-apa setelahnya.
Dengan cekatan dia membalut luka-lukaku dan menyuruhku berganti pakaian dengan pakaian yang telah dia siapkan.
“Setelah ini, kamu harus segera istirahat. Nanti malam, Ayah akan berbicara denganmu.”
“Aku tahu.” kataku sambil menghempaskan diriku ke atas kasur. “Aku masih penasaran, kenapa beliau menyimpan rahasia kalau selama ini aku hilang ingatan.”
“Beliau punya alasan tersendiri.” Ujar Vanessa sambil membereskan obat-obatan dan perban ke dalam kotak P3K. “Setelah kamu mendengar cerita beliau nanti, kamu akan mengerti.”
“Kuharap demikian.” Aku membalas sambil mengedikkan bahu.
Vanessa tersenyum dan mencium keningku.
“Beristirahatlah, adik kecil. Kamu pasti lelah.”
Aku hanya diam. Setelah Vanessa keluar, aku kembali merebahkan kepalaku dan memejamkan mata, berharap bisa tidur untuk mengistirahatkan tubuhku.
Dan itu terjadi lima belas menit kemudian.

***

Aku tidak bisa tidur. Secara teknis, Shadow tidak akan pernah bisa tidur. Dan satu kemewahan yang bisa menggantikan rasa lelah dan mengantuk yang dulunya pernah kami rasakan adalah dengan berlatih atau melakukan sesuatu untuk menghabiskan waktu tidur kami. Intinya, kami tidak akan pernah bisa tidur.
Aku menatap Ilana yang tertidur pulas di kasur. Wajahnya sangat tenang dan bibirnya agak terbuka. Kalau ada pria lain di kamar ini, mereka pasti tergoda untuk menciumnya.
Sayangnya aku bukan termasuk pria. Bukan maksudku mengatai diri sendiri banci. Tapi, aku Shadow. Dan aku tidak mungkin menyentuh Ilana. Lagipula dia adik sahabatku. Tentu saja aku tidak bisa menyentuhnya sembarangan.
Bukan berarti aku ingin menyentuhnya. Hanya saja…
Pintu terbuka perlahan dan Harry Savagers masuk ke dalam tanpa suara.
“Ilana tertidur?” tanyanya.
“Seperti yang Anda lihat.” Kataku, “Ada apa Anda kemari?”
“Aku ingin berbicara denganmu,” ujarnya, “tentang kehidupan masa lalumu saat masih menjadi manusia.”
“Masa laluku?”
Ia mendekat kearahku. Tatapannya sangat datar, tapi aku merasakan hawa membunuh yang kental darinya.
“Kita akan berbicara, tapi tidak di sini.” katanya lagi, “Ikut denganku.”
Tanpa berkata-kata, aku berdiri dan memperbaiki letak selimut yang menutupi tubuh Ilana dan mengikutinya. Aku hanya berharap hawa membunuh yang tadi kurasakan hanyalah halusinasi belaka. Karena jika memang benar Harry Savagers ingin membunuhku, dia bisa melakukannya dengan mudah.
Kalian bertanya kenapa?
Itu karena dia memang bisa melakukannya.

***

Harry membawaku ke sebuah ruangan yang terbuat dari besi. Aku tidak menduga di dalam gua ini ternyata ada sebuah ruangan yang sepenuhnya terbuat dari besi. Bahkan barang-barang yang ada di ruangan ini pun terbuat dari besi. Ini membuatku merasakan perasaan yang tidak nyaman, lebih daripada yang tadi.
Kalau kalian belum tahu, salah satu kelemahan kami adalah : Besi. Kami tidak tahan dengan benda-benda  yang terbuat dari besi. Sebisa mungkin kami menghindari benda-benda yang terbuat dari metal tersebut. kulit kami akan melepuh jika terkena besi dan serasa seperti terbakar.
Harry Savagers duduk di kursinya yang berada di balik meja dan menatapku.
“Gabriel, kau benar-benar tidak ingat masa lalumu saat menjadi manusia?”
“Tidak sedikitpun.” Jawabku.
“Berarti apa yang diperkirakan Selene benar.”
“Hah?”
“Apa kau tidak tahu kalau Selene, selain seorang Hunter, juga seorang yang bisa melihat masa depan?” katanya, “Ah ya… aku lupa. Kau lupa masa lalumu.”
Aku semakin penasaran kenapa Harry Savagers terlihat tertekan dan frustasi saat menyebut nama Selene Edelweiss. Tapi, aku tidak berani bertanya. Aura membunuh yang kurasakan sesaat yang lalu kembali lagi dan membuatku merinding.
Dan ini adalah pertama kalinya aku merinding, sebagai Shadow.
“Lalu, apa yang ingin Anda lakukan padaku sekarang? Anda bilang ingin berbicara…”
“Aku membawamu ke sini karena memang ingin berbicara denganmu secara pribadi.” Ujarnya, “Tapi, tidak di ruangan tadi. Ilana punya kemampuan yang luar biasa untuk mengetahui apa yang terjadi atau yang akan terjadi di sekitarnya sehingga tidak mungkin bagiku untuk berbicara secara leluasa.”
“Begitu…” aku manggut-manggut. Kemampuan itu sama dengan kemampuan yang dimiliki Raven.
“Gabriel, mungkin kamu melupakan hal ini, tapi kamu berutang nyawa padaku.” kata Harry, “Aku pernah menyelamatkan nyawamu saat dulu diserang sekelompok Shadow yang… hmm, bagaimana mengatakannya, ya? Barbar, mungkin? Yang pasti, saat itu kamu masih kecil, dan aku ingat kamu adalah satu-satunya keluarga Selene Edelweiss yang tersisa, karena mereka semua selain Selene, dibantai sampai habis.”
“Mereka dibantai? Kenapa?”
“Karena mereka dianggap sebagai penyebab virus yang menjadikan manusia yang telah mati menjadi Shadow. Mereka kemudian dibantai, dibakar atau dikubur hidup-hidup, dan hal sadis lainnya yang mungkin bisa kamu pikirkan.” Ujar Harry, “Tapi, Selene berhasil selamat, dan begitu pula dirimu. Selene mengatakan kalau kamu adalah satu-satunya keturunan Edelweiss yang tersisa. Dan kamu juga berutang nyawa padaku.”
Aku mengerutkan kening mendengar ceritanya yang terdengar berputar-putar itu, namun aku mengerti apa maksudnya.
Dia ingin aku membayar utang nyawaku. Itu cukup mudah dipahami.
“Intinya saja, Harry Savagers. Apa kamu ingin aku membayar utang nyawaku padamu?”
Dia menatapku sebentar kemudian mengangguk.
“Gabriel, hal yang ingin kukatakan padamu adalah…”

***

Aku terbangun dengan kepala yang seperti ditusuk ribuan jarum kecil. Namun, hanya sesaat kemudian aku bisa mengatasi rasa sakit kepalaku.
Aku melihat sekeliling. Gabriel tidak ada. Apa dia berada di luar? Entah kenapa rasanya aku mulai mengenalnya sedikit demi sedikit. Dan pecahan ingatan yang kupunya ketika bersamanya, saat masih kecil terkumpul.
Dan mengingatnya kembali membuat pipiku memanas. Kenapa? Jangan tanya. Aku tidak akan mau menjawabnya.
Setidaknya untuk sekarang.
Ketika aku sedang asyik melamun, pintu tiba-tiba terbuka dan membuatku tersentak kaget.
Gabriel masuk dan dia tertegun melihatku sudah bangun(sepertinya).
“Bagaimana keadaanmu?” tanyanya sambil berjalan mendekatiku.
“Aku sudah merasa lebih baik.” kataku, “Kamu habis dari mana?”
“Berjalan-jalan sebentar.” jawabnya pendek, kemudian duduk di kursi yang ada di dekat tempatku tidur.
Aku menatapnya bingung. Dia tadi tidak sediam ini. Tapi, kenapa dia kelihatan… depresi? Apa Shadow bisa depresi juga?
“Kamu baik-baik saja?” tanyaku.
“Tentu saja. Kenapa kamu bertanya?”
“Soalnya kelihatan lebih diam daripada yang tadi.” kataku, “Apa ada sesuatu yang terjadi? Apa… apa kakakku?”
“Apa? Tidak… Raven baik-baik saja, kok.” Dia terkekeh, “Kukira kalau kamu seperti ini kamu lebih manis.”
“Hah?”
“Raut wajahmu yang kelihatan khawatir itu,” katanya, “Lebih manis, daripada raut wajah diam dan datar yang sering kamu tunjukkan.”
“Ap—kamu sedang berusaha menggodaku?” tanyaku tergagap.
Aku yakin wajahku memerah. Serius.
“Tidak. Tapi, kalau kamu menganggap itu sebagai godaan, terserah saja.”
Aku memberengut padanya dan berbaring membelakanginya. Kudengar suara tawanya makin keras, dan itu membuatku makin kesal.
“Apanya yang lucu?” tanyaku tanpa berbalik.
“Kamu.” katanya, “Lucu sekali melihatmu malu.”
“Sialan kamu!”
Aku bangun dengan gerakan cepat dan bermaksud memukulnya. Tapi, dia menghindar lebih cepat dan tinjuku hanya berhasil mengenai udara kosong di atas kursi tempatnya duduk tadi.
“Untuk ukuran gadis yang baru saja merasa lebih baik setelah beristirahat, lumayan juga.” Katanya, masih terkekeh.
“Aku tidak butuh komentarmu.” Kataku sambil berusaha memukulnya lagi.
Pukulanku kali ini berhasil mengenainya, dan entah dia sengaja atau tidak, dia terbanting ke tempat tidur (dan tentu saja, sambil tertawa). Aku merengut padanya dan memukul-mukul dadanya. Melampiaskan kekesalanku.
“Hei, hei… hentikan itu… kamu membuatku makin ingin tertawa saja.”
“Tertawa saja terus sampai mati!”
“Aku, kan memang sudah mati.” Katanya, membuatku menghentikan aktivitas memukulku dan menatapnya.
“Apa?”
“Kamu… apa tidak pernah menyesal ketika kamu akan mati waktu itu?” tanyaku, “Saat kamu mati, perasaan apa pun yang ada di dalam diri manusia akan bereaksi pada virus yang masuk ke dalam tubuh dan menjadikannya Shadow. Apa kamu tidak pernah punya penyesalan seperti kenapa kamu harus menjadi Shadow setelah kamu mati?”
Dia menatapku dengan tatapan tertegun, tapi kemudian tertawa lagi, kali ini terbahak-bahak. Dan aku bersumpah, kalau tawanya itu sedikit… sarkatis.
“Pertanyaan itu, aku juga mendengarnya dari Raven.” Katanya di sela-sela tawa, “Dia selalu menanyakan hal itu, dan mengacaukan konsentrasiku saat aku memimpin orang-orang kami yang selamat dari perburuan Tetua Tertinggi.”
“Kakakku juga menanyakan hal yang sama?”
“Ya. Dan asal kamu tahu, kalian berdua sangat mirip.” Dia tersenyum, “Mata ungu jernihmu juga mirip dengannya. Matamu bersinar dan memancarkan api ungu dari neraka yang siap menelan apapun yang masuk ke dalamnya.”
“Kenapa harus api neraka, sih?” aku meringis dan duduk di sebelahnya. “Tidak ada perumpamaan yang lebih manis, ya?”
“Tidak. Itu lebih cocok untukmu.” Katanya sambil duduk.
Aku hanya melenguh dan mendiamkannya. Lama kami diam, dan aku mendengar suara bergerak dari Gabriel.
“Mau ke mana?” tanyaku saat melihatnya berdiri dan menuju pintu.
“Aku mau keluar.” katanya, “Mau ikut?”
“Memangnya boleh?”
“Kenapa harus ada yang melarangm?” tanyanya balik. “Ayolah, kita berjalan-jalan di luar. Kurasa setelah seharian tidur, kamu pasti ingin melihat keadaan di luar, kan?”
“Seharian? Memangnya aku tidur berapa lama?”
“Seminggu penuh.”
“Apa!?”

0 komentar:

Posting Komentar