Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Hunter Academy ~ Bloodline - Chapter 11



Video itu sudah berhenti sejak sepuluh menit yang lalu. Tapi, aku tidak bisa berdiri, atau melakukan apa pun sejak gadis itu, ibuku, menyebutkan nama ayah angkatku sebagai nama dari keturunan orang yang menjadi dalang dari sejarah Shadow dan Hunter. Otakku rasanya beku memikirkannya. Mataku tetap menatap kearah layar monitor, tapi isi pikiranku berkecamuk dan membuat kepalaku terasa sakit.
“Kenapa… kenapa harus dia? Kenapa?” tanyaku pada diri sendiri, “Kenapa harus Ayah? Kena—”

“Ilana,” Gabriel menyentuh bahuku, “Tenangkan dirimu.”
Aku menatapnya dan dia mengerutkan kening khawatir kearahku.
“Aku… aku tidak marah. Aku hanya…”
Aku menghembuskan nafasku dan menutup layar video itu.
Kalau benar Harry Savagers, ayah angkatku adalah keturunan dari Kegnant Faradis, berarti aku harus membunuhnya, atau paling tidak melukainya, agar aku bisa mendapatkan informasi di mana tepatnya ruang bawah tanah yang dimaksud ibuku.
Tapi…
Oke, kuakui aku tidak terlalu menyukai Harry sebagai ayah angkatku. Tapi, tetap saja, dia yang merawatku sejak kecil, dan walaupun kadang aku bersikap kasar dan sedikit kurang ajar padanya, dia tetaplah orangtua yang merawatku. Jika aku membunuhnya… apa yang akan dikatakan Vanessa? Atau, yang harusnya kupikirkan sekarang ini, apa yang akan dikatakan Ayah jika tahu bahwa aku mengetahui ia adalah keturunan dari Kegnant Faradis.
Bingung. Ini semua benar-benar membuatku bingung, pusing, dan tidak tahu harus melakukan apa-apa.
“Ilana, kamu tidak apa-apa?” tanya Gabriel lagi.
“Aku tidak apa-apa.” kataku, “Kurasa… kurasa aku akan beristirahat dulu sekarang. Video yang satu lagi bisa kita lihat nanti.”
Aku berdiri dan berbalik hendak menuju pintu ketika Gabriel menahan tanganku. Aku berbalik kearahnya dan dia melihatku dengan tatapan khawatir. Masih tatapan khawatir yang tadi.
“Kamu yakin kamu baik-baik saja?” tanyanya lagi. “Mengenai apa yang dikatakan dalam video itu, kurasa kamu harus memikirkannya masak-masak. Membunuh Harry itu sama dengan—”
“Menghancurkan kepercayaan orang-orang bahwa aku hanyalah manusia biasa.” kataku pelan, “Aku tahu. Tapi, ini… ini membuatku bingung. Karena itu aku ingin beristirahat sebentar, dan… dan…”
Pandangan mataku mengabur dan sensasi panas di mataku membuatku menutup mataku erat-erat. Aku merasakan airmata mengalir di pipiku. Tapi… itu tidak mungkin airmata, kan? Aku tidak mungkin menangis, karena… karena apa?
Aku bahkan lupa kenapa aku tidak bisa menangis.
“Kalau kamu ingin menangis, menangis saja. Tidak ada yang melihatmu sekarang ini.”
Aku membuka mata dan melihat Gabriel memegang tanganku erat-erat. Kudongakkan kepalaku dan membalas tatapannya yang tampak kebapakan, dan membuatku terkekeh.
“Kata-katamu seperti ucapan orangtua saja.” kataku.
“Aku memang orangtua, kan?” balasnya. “Jika kamu ingin istirahat, silakan. Aku akan menonton video yang satu lagi untukmu. Akan kuceritakan apa yang kulihat dari video dengan nama ayahmu.”
“Terima… kasih.” Aku mengangguk. “Kalau begitu, aku istirahat dulu.”
Dengan perlahan aku melepaskan tanganku yang berada dalam genggamannya. Kemudian keluar dari ruangan itu.
Aku berjalan pelan menuju kamarku. Sembari memikirkan apa yang harus kulakukan ke depannya.
Membunuh Ayah… itu lebih berat daripada tugas memburu Shadow yang bersembunyi di hutan dalam ketika aku masih berusia 12 tahun. Membunuhnya sama saja mencari mati. Aku tahu itu karena aku mengerti dan sangat tahu seperti apa kekuatan ayah angkatku itu.
Bila Vanessa bisa memiliki lisensi sebagai seorang Huntress ketika berusia 10 tahun, maka ayahnya, Harry Savagers, adalah jenius yang bahkan sudah beraksi sejak dia bisa berjalan dan berbicara di usia balita.
Yang jelas, kekuatan Harry Savagers jauh lebih unggul daripada Hunter yang lainnya.
Dan itulah yang membuatku sedikit ragu jika aku memang disuruh untuk membunuhnya.
Ah! Benar-benar memusingkan!
Aku menatap ke depan, pintu kamarku sebentar lagi terlihat, dan aku bisa mengistirahatkan sejenak pikiranku sebelum—
“Ilana,”
Aku berhenti dan melihat Scott menunggu di depanku. Aneh. Sejak kapan dia ada di situ?
“Ada apa?” tanyaku saat sudah sampai di hadapannya.
“Maaf,”
Aku mengerutkan kening bingung, tidak mengerti apa maksudnya. Namun, sedetik kemudian aku tahu kenapa dia berkata begitu.
Scott menggenggam sebuah pisau daging yang tampak sangat tajam, dan dia mengarahkan pisau itu kearahku.
Aku langsung menghindar dari serangan Scott dan mundur ke belakang.
“A, apa—”
“Ini perintah dari Tuan Savagers. Kalau aku tidak membawamu menghadapnya sekarang juga, dia tidak akan memberitahu lokasi di mana keluargaku berada.” kata Scott, “Kumohon maafkan aku, Nona Ilana.”
Dia kembali menyerang. Namun, aku sudah siap. Ketika Scott mengayunkan pisaunya kearahku, dengan cepat aku berkelit dan memukul tepat pada titik saraf di leher belakangnya. Pria itu roboh seketika dan aku mengambil pisaunya.
“Masih terlalu cepat untukmu mengalahkan aku.” kataku, “Aku minta maaf, kau harus tidur di lantai.”
Aku menatap pisau Scott di tanganku, kemudian lorong yang mengarah kearah kamarku.
Apa pun yang sedang  dipikirkan oleh otakku saat ini, yang jelas Ayah pasti mengetahui aku ke akademi dari Vanessa. Dan mungkin…
Menelan ludah, aku menuju kamarku dan berharap apa yang kupikirkan tidak menjadi nyata. Tapi… tapi…
Aku mempercepat langkahku dan masuk ke kamar. Aku menatap sekeliling kamar dan menghampiri lemari pakaian. Kusambar sebuah jaket berwarna hitam dan melirik kearah senjata yang tergantung di dinding. Sebuah bowgun, panah lengkap dengan busurnya, dan…
Ilana…
Aku mengerjapkan mataku mendengar seseorang yang memanggilku. Aku menoleh-noleh, tapi tidak ada seorangpun selain aku di kamar ini. Lalu suara tadi berasal dari… mana?
Ilana… Ilana…
“Siapa itu?” tanyaku.
Kau bisa mendengar suaraku?
“Tentu saja aku bisa. Siapa kamu? Di mana kamu bersembunyi?”
Aku tidak bersembunyi. Aku sedang menuju ke tempatmu berada. suara itu terdengar lagi. Dan… aku tahu ini gila. Tapi, suara itu berasal dari kepalaku sendiri!
“Kamu… bertelepati denganku?”
Bisa dibilang begitu. suara itu menjawab, Dengar, jangan pernah keluar dari tempatmu sekarang. Aku akan menyuruh Gabriel untuk segera pergi ke tempatmu untuk menjagamu sampai aku datang.
“Kamu tahu Gabriel?”
Tentu saja aku tahu dia. Akulah yang mengirimkannya untuk menjagamu.
Kedua alisku langsung terangkat mendengarnya. Seingatku, hanya satu orang yang dikatakan Gabriel mengirimkannya untuk menjagaku.
“Kamu… jangan bilang kamu… Kakak? Kak Raven?”
Gabriel pasti sudah menceritakan tentangku, ya? Kau bahkan tahu namaku, padahal aku bermaksud membuatnya sebagai kejutan.
“Jangan bercanda di saat seperti ini, Kak. Di mana kamu sekarang?” tanyaku, “Aku…”
Jangan bicara lagi. Untuk sekarang, jangan keluar dari tempatmu berada sekarang, apa pun yang terjadi!
Aku mendengar nada khawatir dalam suaranya. Dan aku mau tidak mau hanya mengangguk pelan, walau aku yakin dia tidak akan bisa melihatku mengangguk.
“Baiklah…” kataku, “Tapi, kenapa tiba-tiba kamu bisa bertelepati denganku? Kenapa selama ini kamu tidak pernah berbicara padaku seperti ini?”
Itu… aku tidak tahu. Sebenarnya aku sudah tahu aku bisa bertelepati denganmu. Saat kamu masih kecil kita sering bertelepati, tapi setelah itu, aku tidak bisa lagi bicara denganmu. Mungkin karena ada banyak hal yang terjadi, komunikasi kita satu-satunya terputus. Apalagi aku tahu kamu hilang ingatan.
“Kamu tahu dari mana?”
Aku bisa melihat masa depan, seperti Ibu. Karena itulah aku tahu kamu hilang ingatan.
Belum sempat aku membalas, sesuatu—atau seseorang, membekapku dari belakang dengan kain yang dibubuhi obat bius. Aku tidak sempat berontak, dan perlahan kesadaranku menghilang sebelum akhirnya semua yang kulihat ditelan kegelapan.

***

Aku membuka video file yang bertuliskan nama Arslan, raja para Shadow, dan ya… salah satu orang yang dekat denganku selain Selene. Entah kenapa, aku bisa mengingatnya sedikit. Dan seperti yang dikatakan dalam video Selene, aku adalah kakaknya. Kakak kandungnya. Aku juga mengingat hal itu.
Dan asal kamu tahu, itu berarti buruk bagiku.
Aku mulai mengingat kenangan-kenangan yang tidak mengenakkan dan juga janji yang harusnya kutepati pada Selene dan Arslan…
Astaga. Otakku mulai kacau. Aku harus bisa mengesampingkan apa pun yang beresiko mengacaukan pikiranku.
Video file yang kubuka cukup lama menampilkan sebuah gambar yang aku tahu adalah setengah kota yang hancur oleh perbuatan Selene saat dia dikuasai oleh program di dalam otaknya. Suara Arslan terdengar dari video itu, menceritakan bahwa dia mengambil gambar itu secara sembunyi-sembunyi.
Aku menghembuskan nafas dan merasa bahwa video ini memiliki cerita yang sama seperti yang diceritakan Selene di video yang tadi kulihat bersama Ilana. Bagiku, ini membuang waktu, dan aku harus kembali ke sisi Ilana. Perasaanku rasanya tidak enak meninggalkan gadis itu sendirian.
Aku menutup laptop itu dan mencabut micro card dari card reader-nya. Kusimpan benda itu di dalam liontin kalung yang kukenakan dan bergegas keluar, tepat ketika ponselnya bergetar, pertanda ada telepon masuk.
“Ya?”
Gabriel, di mana kamu sekarang?
Suara Raven. Dan ini perasaanku saja atau memang suaranya terdengar mendesak—lebih mendesak dari biasanya?
“Aku mau menemui Ilana. Memangnya kenapa?”
Aku tadi berbicara dengan Ilana dengan telepati, tapi di tengah-tengah pembicaraan, dia menghilang. Aku bisa merasakannya. Dia dalam bahaya.
“Aku sudah sering mendengarmu mengatakan ‘Ilana dalam bahaya’.” Kataku, “Tidak ada apa-apa, Raven. Kamu jangan terlalu cemas.”
Tidak… ini lain. Ini bukan Shadow.” Kata Raven, kubayangkan dia menggelengkan kepalanya, “Ilana tidak bersama Shadow lain. Aku tahu dan aku merasakannya. Dia bersama manusia lain.
“Makin lama aku tidak mengerti arah pembicaraanmu. Apa maksudnya, Raven?”
Aku sudah berada di depan gua tempat para manusia bersembunyi.” Katanya, membuatku kaget setengah mati. “Aku sedang mengintai gua, dan aku melihat seseorang sedang membawa Ilana pergi… dengan menggendongnya.
“Apa?”
Orang itu mengenakan pakaian serba hitam.” Kata Raven, “Aku hanya berharap apa yang kulihat tadi itu tidak benar. Coba kamu cek keadaan Ilana sekarang, Gabriel. Dan jika apa yang kulihat barusan benar…
Aku langsung berlari menuju kamar Ilana. Sempat kulihat Scott terbaring di lantai. Tapi aku tidak punya kesempatan untuk memeriksa keadaannya.
Ketika aku mendekati kamar yang ditempati Ilana, kulihat pintunya sedikit terbuka. Aku langsung menghambur masuk dan tidak menemukan siapa pun di sana. Ilana bahkan tidak terlihat di mana pun.
Aku menatap ponselku dan melihat kalau nama Raven masih tertera di sana, yang menandakan bahwa dia tidak mematikan teleponnya. Kudekatkan benda itu ke telinga kiriku.
Jadi?” tanyanya, seolah sudah tahu aku akan berbicara.
“Ilana menghilang.” Kataku, “Aku akan segera mencarinya. Dan… kamu bilang tadi kamu di depan gua dan melihat seseorang yang membawa Ilana? Aku akan segera keluar, lalu kita mencarinya bersama-sama.”

***

Kepalaku terasa sakit, dan berat. Aku mengerjapkan mata, membiasakan diri pada cahaya remang-remang di sekitarku. Saat aku benar-benar sadar, aku melihat langit-langit dari batu yang tidak beraturan, juga sebuah obor yang terdapat tepat dua meter di hadapanku. Obor itu berisikan api berwarna biru, api yang tidak lazim yang pernah kulihat.
“A, apa ini?”
Di tempatku berbaring sekarang, terdapat kabel-kabel yang tersambung ke hampir seluruh bagian tubuhku, termasuk leherku. Aku mencoba menggerakkan tanganku dan merasakan rasa sakit yang menyengat dan membuatku menjerit kesakitan.
Apa ini? Kenapa—
“Kau sudah bangun rupanya.”
Aku menoleh ke sumber suara dan melihat seseorang yang terbungkus mantel berwarna hitam sedang berjalan kearahku. Sosok itu berhenti tepat di samping tempatku berbaring. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena penerangan yang sangat tidak memadai ini.
“Siapa kamu?” tanyaku, “Apa… apa yang akan kamu lakukan padaku?”
“Membalikkan sejarah.” Katanya, suaranya terdengar familiar. “Aku akan menghancurkan apa yang tersembunyi di tempat ini, dan virus Apocalypse akan kembali tersebar ke seluruh dunia.”
“Virus… Apocalypse?”
“Ah… kau tidak tahu rupanya. Itu malah menguntungkanku.”
Sosok itu mendekati sebuah meja… bukan, sebuah peti besar berwarna hitam (atau coklat, aku tidak tahu). Ia membuka peti itu dan kembali lagi kearahku.
“Saatnya untuk reuni.”
Ia menekan sesuatu di dekat tempatku terbaring dan semua kabel yang tersambung ke seluruh tubuhku terlepas dan membuatku berjengit. Rasa sakitnya sama seperti ditusuk ribuan jarum. Setelahnya, dia membantuku berdiri dan membimbingku menuju peti yang kuperkirakan adalah peti mati untukku.
Oke. Aku tidak pandai bercanda. Tapi… tidak ada salahnya aku berpikir begitu, kan?
“Perhatikan baik-baik apa yang ada di dalam peti itu.” ujar sosok itu sambil menunjuk ke dalam peti.
Aku melihat ke dalam peti dan terkejut melihat isinya.
Sesuatu di dalam peti itu adalah dua orang yang saling berangkulan dan tampak tertidur pulas. Laki-laki dan perempuan tentu saja. Yang perempuan, aku mengenalnya sebagai ibuku, Selene Edelweiss. Penampilan beliau tidak berubah sama sekali bahkan sama seperti yang kulihat di video yang tadi kulihat. Gaun merah yang dikenakannya tertutupi oleh sebuah jas mantel berwarna putih salju yang seakan dibiarkan terbuka dan memperlihat kulitnya yang mulus.
Sementara yang laki-laki… rambutnya berwarna perak, dan kulitnya putih nyaris pucat. Matanya terpejam (tentu saja!) dan pakaiannya, jas mantel berwarna hitam, seolah-olah menjadi kebalikan dari jas mantel yang dikenakan ibuku. Di sekeliling mereka terdapat bunga berwarna biru keperakan yang memancarkan sinar lemah, bahkan kelihatannya, bunga-bunga itu seperti baru nampak dipetik dari kebun seseorang.
“Mereka…”
“Kedua orangtuamu, tentu saja.” ujar sosok bermantel hitam itu. “Dan ketika kamu memberikan darahmu untuk mereka berdua, saat itulah aku akan menghancurkan mereka.”
Aku menoleh kearah sosok itu, “Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi!”
“Kamu akan membiarkan hal itu terjadi.” katanya membalasku. “Aku sudah mengambil darahmu sebanyak yang bisa kamu berikan untuk menghancurkan mereka. Ramalan wanita itu akan berubah, dan semuanya akan kembali seperti yang seharusnya.”
Dia menunjuk beberapa kantong darah yang terisi penuh, “Kau sudah memberikannya, bahkan tanpa kau sadari.” Kudengar sosok itu seperti tersenyum, “Darahmu sudah kutaruh di dalam kantong-kantong itu, dan siap untuk disajikan pada mereka.”
Itukah gunanya kabel-kabel yang tadi menancap di sekujur tubuhku? Orang ini ingin menggunakan darahku untuk membangunkan kedua orangtuaku dan menghancurkan mereka?
“Aku akan melawanmu kalau kau berani melakukannya!” kataku.
“Kamu tahu kamu tidak akan menang melawanku.” Dia terdengar meremehkanku, yang membuatku jengkel setengah mati. “Sekarang saja kamu bahkan tidak sanggup berdiri, kan?”
“Salah besar kalau kamu menganggapku lemah!”
Aku menyerang sosok itu dan ia berhasil berkelit. Ia balas menyerangku dan berhasil menyarangkan sebuah tendangan di perutku hingga membuatku terpental dan menabrak dinding batu di belakangku.
“Akh!”
“Sebaiknya kau diam saja, Ilana. Ini urusan yang harus kuselesaikan sekarang juga.” Ujarnya.
Aku menatapnya penuh kemarahan dan mengangkat tangan kananku, seketika entah darimana puluhan sulur tanaman berwarna hijau cerah mengelilingi peti itu. Ia menatap peti itu, kemudian kearahku.
“Kamu mewarisi kemampuan itu dari ibumu, kan?”
“Aku… tidak akan membiarkannya!” kataku, “Aku tidak akan membiarkanmu membangunkan mereka kemudian menghancurkannya, Ayah.”
Kutatap sosok bermantel hitam itu. Ya. Aku tahu dia adalah ayahku, ayah angkatku, Harry Savagers. Mataku menatapnya penuh kebencian. Kini aku tahu kenapa aku selalu tidak bisa memercayai dan menganggapnya sebagai keluargaku sejak dia mengangkatku sebagai anak.
Well… inilah alasannya.
Ia membuka kerudung mantelnya dan menatapku. Wajah penuh gurat penuaan itu tampak dingin dan tidak seperti biasanya. Matanya yang biasanya memancarkan kehangatan sekarang tidak lagi memancarkan kehangatan itu.
“Sepertinya membiarkanmu hidup adalah penyesalanku yang paling besar sampai saat ini.” katanya mengeluarkan sebuah pisau yang tampak berkilat dari mantelnya.
“Kalau kau membunuhku pun, aku tidak akan membiarkanmu membangunkan kedua orangtuaku dan membunuh mereka.” kataku membalasnya, “Aku akan mempertaruhkan nyawaku untuk itu.”
Aku berdiri dan menggerakkan tangan kananku perlahan. Sulur-sulur tanaman itu mengikat erat di sekeliling peti dan membuatnya tampak tak tertembus. Kuharap demikian, karena aku harus jujur… aku tidak pernah tahu kalau aku bisa mengendalikan tanaman.
Ayah menatapku dengan sebelah alis terangkat, “Sepertinya aku harus mengurumu dulu sebelum membunuh kedua orangtuamu.”
“Aku akan melayanimu dengan senang hati.” aku membalas lagi, “Aku selalu punya alasan untuk tidak mempercayaimu. Dan ini adalah alasan paling kuat yang tertanam dalam benakku. Aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!”

0 komentar:

Posting Komentar