Video
itu sudah berhenti sejak sepuluh menit yang lalu. Tapi, aku tidak bisa berdiri,
atau melakukan apa pun sejak gadis itu, ibuku, menyebutkan nama ayah angkatku
sebagai nama dari keturunan orang yang menjadi dalang dari sejarah Shadow dan
Hunter. Otakku rasanya beku memikirkannya. Mataku tetap menatap kearah layar
monitor, tapi isi pikiranku berkecamuk dan membuat kepalaku terasa sakit.
“Kenapa…
kenapa harus dia? Kenapa?” tanyaku pada diri sendiri, “Kenapa harus Ayah?
Kena—”
“Ilana,”
Gabriel menyentuh bahuku, “Tenangkan dirimu.”
Aku
menatapnya dan dia mengerutkan kening khawatir kearahku.
“Aku…
aku tidak marah. Aku hanya…”
Aku
menghembuskan nafasku dan menutup layar video itu.
Kalau
benar Harry Savagers, ayah angkatku adalah keturunan dari Kegnant Faradis,
berarti aku harus membunuhnya, atau paling tidak melukainya, agar aku bisa
mendapatkan informasi di mana tepatnya ruang bawah tanah yang dimaksud ibuku.
Tapi…
Oke,
kuakui aku tidak terlalu menyukai Harry sebagai ayah angkatku. Tapi, tetap
saja, dia yang merawatku sejak kecil, dan walaupun kadang aku bersikap kasar
dan sedikit kurang ajar padanya, dia tetaplah orangtua yang merawatku. Jika aku
membunuhnya… apa yang akan dikatakan Vanessa? Atau, yang harusnya kupikirkan
sekarang ini, apa yang akan dikatakan Ayah jika tahu bahwa aku mengetahui ia
adalah keturunan dari Kegnant Faradis.
Bingung.
Ini semua benar-benar membuatku bingung, pusing, dan tidak tahu harus melakukan
apa-apa.
“Ilana,
kamu tidak apa-apa?” tanya Gabriel lagi.
“Aku
tidak apa-apa.” kataku, “Kurasa… kurasa aku akan beristirahat dulu sekarang.
Video yang satu lagi bisa kita lihat nanti.”
Aku
berdiri dan berbalik hendak menuju pintu ketika Gabriel menahan tanganku. Aku
berbalik kearahnya dan dia melihatku dengan tatapan khawatir. Masih tatapan
khawatir yang tadi.
“Kamu
yakin kamu baik-baik saja?” tanyanya lagi. “Mengenai apa yang dikatakan dalam
video itu, kurasa kamu harus memikirkannya masak-masak. Membunuh Harry itu sama
dengan—”
“Menghancurkan
kepercayaan orang-orang bahwa aku hanyalah manusia biasa.” kataku pelan, “Aku
tahu. Tapi, ini… ini membuatku bingung. Karena itu aku ingin beristirahat
sebentar, dan… dan…”
Pandangan
mataku mengabur dan sensasi panas di mataku membuatku menutup mataku erat-erat.
Aku merasakan airmata mengalir di pipiku. Tapi… itu tidak mungkin airmata, kan?
Aku tidak mungkin menangis, karena… karena apa?
Aku
bahkan lupa kenapa aku tidak bisa menangis.
“Kalau
kamu ingin menangis, menangis saja. Tidak ada yang melihatmu sekarang ini.”
Aku
membuka mata dan melihat Gabriel memegang tanganku erat-erat. Kudongakkan
kepalaku dan membalas tatapannya yang tampak kebapakan, dan membuatku terkekeh.
“Kata-katamu
seperti ucapan orangtua saja.” kataku.
“Aku
memang orangtua, kan?” balasnya. “Jika kamu ingin istirahat, silakan. Aku akan
menonton video yang satu lagi untukmu. Akan kuceritakan apa yang kulihat dari
video dengan nama ayahmu.”
“Terima…
kasih.” Aku mengangguk. “Kalau begitu, aku istirahat dulu.”
Dengan
perlahan aku melepaskan tanganku yang berada dalam genggamannya. Kemudian
keluar dari ruangan itu.
Aku
berjalan pelan menuju kamarku. Sembari memikirkan apa yang harus kulakukan ke
depannya.
Membunuh
Ayah… itu lebih berat daripada tugas memburu Shadow yang bersembunyi di hutan
dalam ketika aku masih berusia 12 tahun. Membunuhnya sama saja mencari mati.
Aku tahu itu karena aku mengerti dan sangat tahu seperti apa kekuatan ayah
angkatku itu.
Bila
Vanessa bisa memiliki lisensi sebagai seorang Huntress ketika berusia 10 tahun,
maka ayahnya, Harry Savagers, adalah jenius yang bahkan sudah beraksi sejak dia
bisa berjalan dan berbicara di usia balita.
Yang
jelas, kekuatan Harry Savagers jauh lebih unggul daripada Hunter yang lainnya.
Dan
itulah yang membuatku sedikit ragu jika aku memang disuruh untuk membunuhnya.
Ah!
Benar-benar memusingkan!
Aku
menatap ke depan, pintu kamarku sebentar lagi terlihat, dan aku bisa
mengistirahatkan sejenak pikiranku sebelum—
“Ilana,”
Aku
berhenti dan melihat Scott menunggu di depanku. Aneh. Sejak kapan dia ada di
situ?
“Ada
apa?” tanyaku saat sudah sampai di hadapannya.
“Maaf,”
Aku
mengerutkan kening bingung, tidak mengerti apa maksudnya. Namun, sedetik
kemudian aku tahu kenapa dia berkata begitu.
Scott
menggenggam sebuah pisau daging yang tampak sangat tajam, dan dia mengarahkan
pisau itu kearahku.
Aku
langsung menghindar dari serangan Scott dan mundur ke belakang.
“A,
apa—”
“Ini
perintah dari Tuan Savagers. Kalau aku tidak membawamu menghadapnya sekarang
juga, dia tidak akan memberitahu lokasi di mana keluargaku berada.” kata Scott,
“Kumohon maafkan aku, Nona Ilana.”
Dia
kembali menyerang. Namun, aku sudah siap. Ketika Scott mengayunkan pisaunya
kearahku, dengan cepat aku berkelit dan memukul tepat pada titik saraf di leher
belakangnya. Pria itu roboh seketika dan aku mengambil pisaunya.
“Masih
terlalu cepat untukmu mengalahkan aku.” kataku, “Aku minta maaf, kau harus
tidur di lantai.”
Aku
menatap pisau Scott di tanganku, kemudian lorong yang mengarah kearah kamarku.
Apa pun yang sedang dipikirkan oleh otakku saat ini, yang jelas
Ayah pasti mengetahui aku ke akademi dari Vanessa. Dan mungkin…
Menelan
ludah, aku menuju kamarku dan berharap apa yang kupikirkan tidak menjadi nyata.
Tapi… tapi…
Aku
mempercepat langkahku dan masuk ke kamar. Aku menatap sekeliling kamar dan
menghampiri lemari pakaian. Kusambar sebuah jaket berwarna hitam dan melirik
kearah senjata yang tergantung di dinding. Sebuah bowgun, panah lengkap dengan busurnya, dan…
Ilana…
Aku
mengerjapkan mataku mendengar seseorang yang memanggilku. Aku menoleh-noleh,
tapi tidak ada seorangpun selain aku di kamar ini. Lalu suara tadi berasal
dari… mana?
Ilana… Ilana…
“Siapa
itu?” tanyaku.
Kau bisa mendengar suaraku?
“Tentu
saja aku bisa. Siapa kamu? Di mana kamu bersembunyi?”
Aku tidak bersembunyi. Aku sedang
menuju ke tempatmu berada. suara itu terdengar lagi. Dan… aku tahu ini gila. Tapi,
suara itu berasal dari kepalaku sendiri!
“Kamu…
bertelepati denganku?”
Bisa dibilang begitu. suara
itu menjawab, Dengar, jangan pernah
keluar dari tempatmu sekarang. Aku akan menyuruh Gabriel untuk segera pergi ke
tempatmu untuk menjagamu sampai aku datang.
“Kamu
tahu Gabriel?”
Tentu saja aku tahu dia. Akulah yang
mengirimkannya untuk menjagamu.
Kedua
alisku langsung terangkat mendengarnya. Seingatku, hanya satu orang yang
dikatakan Gabriel mengirimkannya untuk menjagaku.
“Kamu…
jangan bilang kamu… Kakak? Kak Raven?”
Gabriel pasti sudah menceritakan
tentangku, ya? Kau bahkan tahu namaku, padahal aku bermaksud membuatnya sebagai
kejutan.
“Jangan
bercanda di saat seperti ini, Kak. Di mana kamu sekarang?” tanyaku, “Aku…”
Jangan bicara lagi. Untuk sekarang,
jangan keluar dari tempatmu berada sekarang, apa pun yang terjadi!
Aku
mendengar nada khawatir dalam suaranya. Dan aku mau tidak mau hanya mengangguk
pelan, walau aku yakin dia tidak akan bisa melihatku mengangguk.
“Baiklah…”
kataku, “Tapi, kenapa tiba-tiba kamu bisa bertelepati denganku? Kenapa selama
ini kamu tidak pernah berbicara padaku seperti ini?”
Itu… aku tidak tahu. Sebenarnya aku
sudah tahu aku bisa bertelepati denganmu. Saat kamu masih kecil kita sering
bertelepati, tapi setelah itu, aku tidak bisa lagi bicara denganmu. Mungkin
karena ada banyak hal yang terjadi, komunikasi kita satu-satunya terputus.
Apalagi aku tahu kamu hilang ingatan.
“Kamu
tahu dari mana?”
Aku bisa melihat masa depan, seperti
Ibu. Karena itulah aku tahu kamu hilang ingatan.
Belum
sempat aku membalas, sesuatu—atau seseorang, membekapku dari belakang dengan
kain yang dibubuhi obat bius. Aku tidak sempat berontak, dan perlahan
kesadaranku menghilang sebelum akhirnya semua yang kulihat ditelan kegelapan.
***
Aku membuka video file yang bertuliskan nama Arslan,
raja para Shadow, dan ya… salah satu orang yang dekat denganku selain Selene.
Entah kenapa, aku bisa mengingatnya sedikit. Dan seperti yang dikatakan dalam
video Selene, aku adalah kakaknya. Kakak kandungnya. Aku juga mengingat hal
itu.
Dan asal kamu tahu, itu berarti buruk
bagiku.
Aku mulai mengingat kenangan-kenangan
yang tidak mengenakkan dan juga janji yang harusnya kutepati pada Selene dan
Arslan…
Astaga. Otakku mulai kacau. Aku harus
bisa mengesampingkan apa pun yang beresiko mengacaukan pikiranku.
Video file yang kubuka cukup lama
menampilkan sebuah gambar yang aku tahu adalah setengah kota yang hancur oleh
perbuatan Selene saat dia dikuasai oleh program di dalam otaknya. Suara Arslan
terdengar dari video itu, menceritakan bahwa dia mengambil gambar itu secara
sembunyi-sembunyi.
Aku menghembuskan nafas dan merasa bahwa
video ini memiliki cerita yang sama seperti yang diceritakan Selene di video
yang tadi kulihat bersama Ilana. Bagiku, ini membuang waktu, dan aku harus
kembali ke sisi Ilana. Perasaanku rasanya tidak enak meninggalkan gadis itu
sendirian.
Aku menutup laptop itu dan mencabut micro card dari card reader-nya. Kusimpan benda itu di dalam liontin kalung yang
kukenakan dan bergegas keluar, tepat ketika ponselnya bergetar, pertanda ada
telepon masuk.
“Ya?”
“Gabriel,
di mana kamu sekarang?”
Suara Raven. Dan ini perasaanku saja
atau memang suaranya terdengar mendesak—lebih mendesak dari biasanya?
“Aku mau menemui Ilana. Memangnya
kenapa?”
“Aku
tadi berbicara dengan Ilana dengan telepati, tapi di tengah-tengah pembicaraan,
dia menghilang. Aku bisa merasakannya. Dia dalam bahaya.”
“Aku sudah sering mendengarmu mengatakan
‘Ilana dalam bahaya’.” Kataku, “Tidak ada apa-apa, Raven. Kamu jangan terlalu
cemas.”
“Tidak…
ini lain. Ini bukan Shadow.” Kata Raven, kubayangkan dia menggelengkan
kepalanya, “Ilana tidak bersama Shadow
lain. Aku tahu dan aku merasakannya. Dia bersama manusia lain.”
“Makin lama aku tidak mengerti arah
pembicaraanmu. Apa maksudnya, Raven?”
“Aku
sudah berada di depan gua tempat para manusia bersembunyi.” Katanya,
membuatku kaget setengah mati. “Aku
sedang mengintai gua, dan aku melihat seseorang sedang membawa Ilana pergi…
dengan menggendongnya.”
“Apa?”
“Orang
itu mengenakan pakaian serba hitam.” Kata Raven, “Aku hanya berharap apa yang kulihat tadi itu tidak benar. Coba kamu cek
keadaan Ilana sekarang, Gabriel. Dan jika apa yang kulihat barusan benar…”
Aku langsung berlari menuju kamar Ilana.
Sempat kulihat Scott terbaring di lantai. Tapi aku tidak punya kesempatan untuk
memeriksa keadaannya.
Ketika aku mendekati kamar yang
ditempati Ilana, kulihat pintunya sedikit terbuka. Aku langsung menghambur
masuk dan tidak menemukan siapa pun di sana. Ilana bahkan tidak terlihat di
mana pun.
Aku menatap ponselku dan melihat kalau
nama Raven masih tertera di sana, yang menandakan bahwa dia tidak mematikan
teleponnya. Kudekatkan benda itu ke telinga kiriku.
“Jadi?”
tanyanya, seolah sudah tahu aku akan berbicara.
“Ilana menghilang.” Kataku, “Aku akan
segera mencarinya. Dan… kamu bilang tadi kamu di depan gua dan melihat
seseorang yang membawa Ilana? Aku akan segera keluar, lalu kita mencarinya
bersama-sama.”
***
Kepalaku
terasa sakit, dan berat. Aku mengerjapkan mata, membiasakan diri pada cahaya
remang-remang di sekitarku. Saat aku benar-benar sadar, aku melihat
langit-langit dari batu yang tidak beraturan, juga sebuah obor yang terdapat
tepat dua meter di hadapanku. Obor itu berisikan api berwarna biru, api yang
tidak lazim yang pernah kulihat.
“A,
apa ini?”
Di
tempatku berbaring sekarang, terdapat kabel-kabel yang tersambung ke hampir
seluruh bagian tubuhku, termasuk leherku. Aku mencoba menggerakkan tanganku dan
merasakan rasa sakit yang menyengat dan membuatku menjerit kesakitan.
Apa ini? Kenapa—
“Kau
sudah bangun rupanya.”
Aku
menoleh ke sumber suara dan melihat seseorang yang terbungkus mantel berwarna
hitam sedang berjalan kearahku. Sosok itu berhenti tepat di samping tempatku
berbaring. Aku tidak bisa melihat wajahnya karena penerangan yang sangat tidak
memadai ini.
“Siapa
kamu?” tanyaku, “Apa… apa yang akan kamu lakukan padaku?”
“Membalikkan
sejarah.” Katanya, suaranya terdengar familiar. “Aku akan menghancurkan apa
yang tersembunyi di tempat ini, dan virus Apocalypse akan kembali tersebar ke
seluruh dunia.”
“Virus…
Apocalypse?”
“Ah…
kau tidak tahu rupanya. Itu malah menguntungkanku.”
Sosok
itu mendekati sebuah meja… bukan, sebuah peti besar berwarna hitam (atau
coklat, aku tidak tahu). Ia membuka peti itu dan kembali lagi kearahku.
“Saatnya
untuk reuni.”
Ia
menekan sesuatu di dekat tempatku terbaring dan semua kabel yang tersambung ke
seluruh tubuhku terlepas dan membuatku berjengit. Rasa sakitnya sama seperti
ditusuk ribuan jarum. Setelahnya, dia membantuku berdiri dan membimbingku
menuju peti yang kuperkirakan adalah peti mati untukku.
Oke.
Aku tidak pandai bercanda. Tapi… tidak ada salahnya aku berpikir begitu, kan?
“Perhatikan
baik-baik apa yang ada di dalam peti itu.” ujar sosok itu sambil menunjuk ke
dalam peti.
Aku
melihat ke dalam peti dan terkejut melihat isinya.
Sesuatu
di dalam peti itu adalah dua orang yang saling berangkulan dan tampak tertidur
pulas. Laki-laki dan perempuan tentu saja. Yang perempuan, aku mengenalnya
sebagai ibuku, Selene Edelweiss. Penampilan beliau tidak berubah sama sekali
bahkan sama seperti yang kulihat di video yang tadi kulihat. Gaun merah yang
dikenakannya tertutupi oleh sebuah jas mantel berwarna putih salju yang seakan
dibiarkan terbuka dan memperlihat kulitnya yang mulus.
Sementara
yang laki-laki… rambutnya berwarna perak, dan kulitnya putih nyaris pucat.
Matanya terpejam (tentu saja!) dan pakaiannya, jas mantel berwarna hitam,
seolah-olah menjadi kebalikan dari jas mantel yang dikenakan ibuku. Di
sekeliling mereka terdapat bunga berwarna biru keperakan yang memancarkan sinar
lemah, bahkan kelihatannya, bunga-bunga itu seperti baru nampak dipetik dari
kebun seseorang.
“Mereka…”
“Kedua
orangtuamu, tentu saja.” ujar sosok bermantel hitam itu. “Dan ketika kamu
memberikan darahmu untuk mereka berdua, saat itulah aku akan menghancurkan
mereka.”
Aku
menoleh kearah sosok itu, “Aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi!”
“Kamu
akan membiarkan hal itu terjadi.” katanya membalasku. “Aku sudah mengambil
darahmu sebanyak yang bisa kamu berikan untuk menghancurkan mereka. Ramalan
wanita itu akan berubah, dan semuanya akan kembali seperti yang seharusnya.”
Dia
menunjuk beberapa kantong darah yang terisi penuh, “Kau sudah memberikannya,
bahkan tanpa kau sadari.” Kudengar sosok itu seperti tersenyum, “Darahmu sudah
kutaruh di dalam kantong-kantong itu, dan siap untuk disajikan pada mereka.”
Itukah
gunanya kabel-kabel yang tadi menancap di sekujur tubuhku? Orang ini ingin
menggunakan darahku untuk membangunkan kedua orangtuaku dan menghancurkan
mereka?
“Aku
akan melawanmu kalau kau berani melakukannya!” kataku.
“Kamu
tahu kamu tidak akan menang melawanku.” Dia terdengar meremehkanku, yang
membuatku jengkel setengah mati. “Sekarang saja kamu bahkan tidak sanggup
berdiri, kan?”
“Salah
besar kalau kamu menganggapku lemah!”
Aku
menyerang sosok itu dan ia berhasil berkelit. Ia balas menyerangku dan berhasil
menyarangkan sebuah tendangan di perutku hingga membuatku terpental dan
menabrak dinding batu di belakangku.
“Akh!”
“Sebaiknya
kau diam saja, Ilana. Ini urusan yang harus kuselesaikan sekarang juga.”
Ujarnya.
Aku
menatapnya penuh kemarahan dan mengangkat tangan kananku, seketika entah
darimana puluhan sulur tanaman berwarna hijau cerah mengelilingi peti itu. Ia
menatap peti itu, kemudian kearahku.
“Kamu
mewarisi kemampuan itu dari ibumu, kan?”
“Aku…
tidak akan membiarkannya!” kataku, “Aku tidak akan membiarkanmu membangunkan
mereka kemudian menghancurkannya, Ayah.”
Kutatap
sosok bermantel hitam itu. Ya. Aku tahu dia adalah ayahku, ayah angkatku, Harry
Savagers. Mataku menatapnya penuh kebencian. Kini aku tahu kenapa aku selalu
tidak bisa memercayai dan menganggapnya sebagai keluargaku sejak dia
mengangkatku sebagai anak.
Well… inilah alasannya.
Ia
membuka kerudung mantelnya dan menatapku. Wajah penuh gurat penuaan itu tampak
dingin dan tidak seperti biasanya. Matanya yang biasanya memancarkan kehangatan
sekarang tidak lagi memancarkan kehangatan itu.
“Sepertinya
membiarkanmu hidup adalah penyesalanku yang paling besar sampai saat ini.”
katanya mengeluarkan sebuah pisau yang tampak berkilat dari mantelnya.
“Kalau
kau membunuhku pun, aku tidak akan membiarkanmu membangunkan kedua orangtuaku
dan membunuh mereka.” kataku membalasnya, “Aku akan mempertaruhkan nyawaku
untuk itu.”
Aku
berdiri dan menggerakkan tangan kananku perlahan. Sulur-sulur tanaman itu
mengikat erat di sekeliling peti dan membuatnya tampak tak tertembus. Kuharap
demikian, karena aku harus jujur… aku tidak pernah tahu kalau aku bisa
mengendalikan tanaman.
Ayah
menatapku dengan sebelah alis terangkat, “Sepertinya aku harus mengurumu dulu
sebelum membunuh kedua orangtuamu.”
“Aku
akan melayanimu dengan senang hati.” aku membalas lagi, “Aku selalu punya
alasan untuk tidak mempercayaimu. Dan ini adalah alasan paling kuat yang
tertanam dalam benakku. Aku akan membunuhmu dengan tanganku sendiri!”
0 komentar:
Posting Komentar