Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Farewell Rain - Chapter 9



Kay yakin dia tersedak minumannya ketika Reina mengatakan itu. Dia menatap Reina lekat-lekat dan melihat pipi gadis itu bersemu merah.
“Kenapa kamu meminta itu?” tanya Kay.

“Y, ya… aku tidak tahu. Aku Cuma ingin…” kata Reina terbata-bata, lalu menggeleng, “Lupakan saja kata-kataku tadi. Aku tidak benar-benar bermaksud meminta hal itu dari kamu.”
Reina meminum es kelapanya untuk menenangkan hatinya yang berdebar kencang dan melirik Kay takut-takut. Cowok itu masih menatapnya, tapi dengan sebelah kening terangkat.
“A, apa?” tanya Reina.
“Kenapa kamu meminta aku menciummu?” tanya Kay balik, “Ini bukan Reina yang biasanya.”
Reina langsung mencelos mendengar pertanyaan itu. Dia berusaha mengatur kata-kata dalam pikirannya untuk menjawab pertanyaan Kay, tapi alih-alih berpikir, dia malah menundukkan wajahnya malu.
“Itu Cuma… aku tidak sengaja mengatakannya. Maafkan aku.” kata Reina.
“Kenapa harus minta maaf? Kamu nggak melakukan kesalahan apa pun, kan?”
“Tapi yang tadi…”
“Aku tidak bisa melakukannya.” Kata Kay, “Aku tidak bisa menciummu. Tidak di sini, tidak di tempat lain dan di waktu apa pun.”
Reina mengangguk pelan mendengar jawaban Kay. Dan mereka sama-sama menikmati minuman mereka.
Setelah membayar, Kay langsung mengajak Reina ke sisi pantai. Cowok itu melepas sepatu dan kaus kakinya, lalu duduk di atas pasir. Reina mengikuti dan duduk di sebelah Kay.
“Cantik, ya?” kata Reina, mencoba memecahkan keheningan yang ada di antara mereka. “Lautnya kayak menyatu dengan langit biru.”
“Hmm…” Kay menggumam.
“Kay,”
“Ya?”
“Kamu… marah?”
“Tidak. Kenapa aku harus marah?”
“Habisnya yang tadi kuminta itu… pasti bikin kamu marah, kan?”
“Aku nggak marah, Reina. Aku Cuma… kaget.” Kata Kay, “Soalnya kamu nggak pernah minta yang seperti itu.”
“Y, ya…”
“Kenapa kamu ingin aku menciummu, aku tidak tahu alasannya. Tapi, aku tidak bisa melakukannya. Seperti kataku tadi.” kata Kay lagi, “Lagipula kalau aku menciummu, itu akan mengubah segalanya.”
“Eh?”
“Kakakmu bakal membunuhku kalau aku sampai mencuri ciuman dari adik kesayangannya.”
Reina mengerjapkan mata mendengarnya, kemudian tertawa.
“Aku serius lho! Kak Rion itu kalau marah lebih mengerikan daripada banteng yang mengamuk!” ujar Kay.
“Hahaha… iya juga, ya?”
Mereka berdua lalu tertawa dan sama-sama menatap laut. Reina sesekali melirik Kay yang tampak melamun dan bibirnya bersenandung lirih menyanyikan sebuah lagu.
Amagoi Uta.” Kata Reina.
“Hah?”
“Lagu yang kamu nyanyikan tadi, Amagoi Uta dari Vocaloid Kagamine Rin, kan?” kata Reina, “Aku baru tahu kamu suka Vocaloid juga.”
“Aku suka semua hal yang berbau Jepang, sama sepertimu, Rei.” balas Kay, “Aku hanya suka lagu-lagu yang seperti itu, terutama karangan produser Vocaloid yang namanya… siapa itu, aku lupa.”
“Hitoshizuku-P?”
“Yup. Itu dia namanya.”
“Itu juga produser vocaloid favoritku.” kata Reina, “Ngomong-ngomong, kesukaan kita banyak yang sama ya, Kay?”
“Iya…” Kay mengangguk, “Sejak kita pertama bertemu sejak kecil, banyak banget kesukaan dan hobi kita yang nyaris sama.”
Reina mengangguk setuju, “Hmm…”
“Apa?”
“Bagaimana kalau aku mengganti permintaanku tadi?” kata Reina, “Aku masih boleh meminta sesuatu darimu, kan?”
“Kamu mau minta apa pun juga bakal aku turuti, kok.” Kay tersenyum. “Memangnya kamu mau minta apa?”
“Buatkan aku sebuah lagu.”
“Hah?”
“Buatkan aku sebuah lagu,” kata Reina lagi, “Lagu apa pun, terserah, yang pasti, sebelum kamu pergi ke Amerika, aku ingin kamu menyanyikan lagu itu di hadapanku. Dulu kamu bilang kamu ingin menjadi penyanyi juga seorang penulis lagu. Nah, aku ingin kamu menulis satu lagu untukku.”
“Itu pemintaan yang berat.” Kata Kay, lalu tertawa, “Tapi sepertinya menarik juga.”
“Iya, kan?” Reina tersenyum lebar, “Jadi, mau menuliskan lagu untukku?”
“Boleh saja.” Kay mengangguk. “Tapi, aku nggak janji kalau lagunya nggak bagus, ya.”
“Tidak masalah.”
Kay manggut-manggut. Dia lalu berdiri dan menepuk-nepuk celananya yang terkena pasir.
“Ayo, kita jalan-jalan ke tempat lain.” kata cowok itu.

***

Hari menjelang malam saat mereka berdua sampai di depan gerbang rumah Reina. Gadis itu melompat turun dari motor Kay dan menyerahkan helm yang dipakainya pada cowok itu.
“Ternyata rumah yang akan kamu tinggali tidak jauh dari pantai tadi, ya?” kata Reina.
“Kakek yang memilihkan rumah itu untukku.” Kay mengedikkan bahu, “Menurutnya, angin segar dari laut di pagi hari bagus untuk menenangkan pikiranku yang semrawut.”
“Hee… masa sih?” Reina terkekeh, “Terima kasih ya sudah membawaku jalan-jalan hari ini. Kapan-kapan kita jalan-jalan ke Dufan lagi, ya?”
“Terserah kamu. Asal jangan sekali-sekali memaksaku mencoba permainan yang tadi lagi.” kata Kay bergidik, “Kamu senang banget melihatku menderita dan nyaris muntah-muntah setelah naik permainan Halilintar.”
Reina hanya tertawa melihat wajah Kay yang tampak jijik membayangkan ketika mereka selesai naik wahana permainan Halilintar dan Kay nyaris muntah ketika turun dari kursi.
“Aku janji nggak akan memaksamu naik wahana itu lagi.” kata Reina.
“Bagus deh…” Kay menghembuskan nafas lega.
Mereka berdua lalu terdiam. Reina tidak tahu harus mengatakan apa lagi dan hendak berbicara ketika Kay juga kelihatannya akan berbicara.
“Kay,”
“Reina,”
Mereka berdua mengerjap bersamaan, kemudian tertawa.
“Kamu duluan deh yang ngomong.” Kata Kay.
“Kamu saja, Kay.” Balas Reina.
Lady’s first.” Kata Kay membalas.
“Kok kita jadi kayak anak kecil begini, sih?” Reina tertawa lagi.
“Entahlah.” Kay mengedikkan bahu.
“Oke deh, kalau begitu aku duluan yang ngomong,” kata Reina, “Kalau kamu ke Amerika nanti… jangan lupa untuk menghubungiku, ya? Aku pasti akan kangen mendengar gerutuan kamu di pagi hari saat aku membangunkanmu.”
“Apaan itu?” Kay tertawa, “Aku masih belum dipastikan akan pindah ke Amerika, Rei. Jangan pesimis begitu deh.”
“Tapi kata pria yang tadi siang kita temui itu—”
“Tuan Aido pasti mengusahakan agar aku tetap di sini, sekalipun perintah Kakek itu mutlak.” Ujar Kay, “Dulu saat aku meminta pindah ke daerah sini juga begitu.”
“Kamu yang meminta pindah ke sini?”
“Iya. Aku sempat menyuruh Tuan Aido untuk secara tidak langsung mengarahkan ibuku untuk pindah kemari.” kata Kay, “Waktu kecil, aku pernah diajak kemari sama Ayah, dan aku suka dengan tempat ini sejak pertama kali aku kemari.”
“Heee…”
“Mungkin karena ada kamu di sini juga, aku jadi ingin pindah kemari.” Kay tesenyum. “Mungkin kamu lupa, tapi sebelum kita bertemu waktu kecil, aku sudah pernah melihatmu.”
“Benarkah? Kapan?”
“Itu rahasia, Non… masa aku harus cerita semuanya.”
“Yah, Kay…”
Kay tertawa melihat wajah cemberut Reina.
“Sudah malam. Masuk ke dalam, deh. Ibumu pasti mencarimu.” Kata Kay.
“Aku akan masuk, kok. Setelah kamu nggak kelihatan lagi di ujung jalan.” Reina tertawa.
“Kamu ini…”
Reina menatap Kay yang sedang menyalakan mesin motornya lekat-lekat.
“Kay,”
“Hm?”
Reina mendekat kearah Kay dan mencium pipi cowok itu cukup lama. Kay tidak bereaksi apa-apa dan hanya diam dicium oleh Reina Lalu ketika gadis itu menjauhkan wajahnya dari Kay dengan sedikit tersipu, ia menarik lengan Reina dan mendekatkan bibirnya pada bibir Reina.

***

Reina membelalak kaget ketika tiba-tiba saja Kay menarik lengannya dan bibir cowok itu sudah berada di atas bibirnya. Reaksi pertama Reina adalah kaget, lalu bingung, dan kemudian tersadar, tepat ketika Kay melepaskan bibirnya dari milik Reina. Gadis itu mengerjap bingung sekaligus merasa malu. Pipi gadis itu bahkan bersemu merah sekali.
“Reina,”
“Y, ya?”
“Boleh aku jujur…” Kay menggenggam tangan Reina yang masih dipegangnya, “… kalau aku suka kamu?”
“Apa?”
Kay memalingkan wajah dengan salah tingkah. Wajah cowok itu juga tampak bersemu merah.
“Ya… aku suka kamu.” kata Kay, “Atau mungkin yang lebih tepat, aku sudah suka padamu sejak pertama kali kita bertemu.”
Reina mengerjapkan matanya dan alisnya terangkat, kaget sekaligus merasakan jantungnya berdebar kencang.
“Kamu… suka padaku sejak kita… masih kecil?” tanya Reina.
“Kurasa.” Jawab Kay, “Tapi, aku tahu kalau kamu mungkin tidak suka padaku. Jadi… anggap saja ciuman tadi tidak pernah terjadi.”
Kay melepas tangan Reina dan buru-buru mengenakan helmnya. Gadis itu cepat-cepat mencegah Kay pergi.
“T, tunggu, Kay!”
Kay menoleh kearah Reina, “Ada apa?”
“Kenapa kamu menyuruhku melupakan ciuman barusan?” kata Reina, “Aku tidak mungkin bisa lupa, Kay.”
“Soalnya…”
“Kenapa kamu nggak tanya dulu apa jawabanku?” kata Reina lagi. “Kamu bilang… kamu suka aku, kan? Masa cowok langsung kabur setelah nembak cewek?”
“Ya itu, kan…”
“Aku juga suka kamu, kok.” Kata Reina tersenyum manis. “Selama ini aku selalu mencoba mengatakannya padamu secara tidak langsung. Tapi kamunya yang malah nggak peka.”
“Apa?”
Kay mematikan mesin motor dan membuka helmnya. Dia lalu turun dari motornya dan berdiri di hadapan Reina. Masih menatap gadis itu lekat-lekat.
“Kamu tadi bilang apa? Kamu juga…”
“Iya. Aku juga sama kamu, Kay.” Kata Reina lagi. “Aku suka kamu sudah sejak lama… juga.”
Kay mengerjapkan matanya dan menatap Reina, “Kamu serius? Ini… nggak bohong, kan?”
“Kalau aku bohong, kenapa selama ini aku mau membangunkanmu tiap pagi dan menemanimu bahkan di saat kamu nggak butuh?” kata Reina, “Kay, aku juga suka sama kamu.”
“Ya Tuhan…” Kay langsung memeluk Reina, “Ya Tuhan, Reina…”
Kay memeluk Reina dengan erat dan membuat gadis itu nyaris tidak bisa bernafas. Tapi, Reina tidak protes. Gadis itu justru balas memeluk Kay dan menghirup aroma parfum Kay yang beraroma mint dan jeruk.
Ketika Kay melepaskan pelukannya, mereka berdua sama-sama tersenyum.
“Jadi… kita resmi berpacaran?” tanya Reina.
Definitely.” Balas Kay sambil tersenyum lebar, “Belum pernah aku merasa sesenang ini sebelumnya.”
Reina juga ikut tersenyum lebar melihat senyuman Kay.
“Bagaimana kalau besok kita jalan-jalan lagi setelah pulang sekolah?” tanya Kay. “Kita bakal pergi ke tempat yang kamu suka, dan merayakan hari jadi kita.”
“Kedengarannya menyenangkan.” Reina mengangguk. “Aku setuju.”
“Bagus.” Kay menunduk dan mencium kening Reina, “Sampai jumpa besok… My Princess.”
“Sampai jumpa juga, My Prince.”
Kay lalu kembali menaiki motornya dan memakai helm. Cowok itu melambai pada Reina sebelum akhirnya menyalakan mesin dan melesat meninggalkan rumah Reina.
Gadis itu menatap Kay yang menghilang di ujung jalan dan menyentuh kening, lalu bibirnya yang dicium oleh Kay. Reina tersenyum dan tersipu-sipu mengingat ungkapan cinta cowok itu padanya.
Dengan masih tersipu-sipu, ia masuk ke dalam rumahnya. Dia tidak sabar menceritakan hal ini pada ibunya, atau kakaknya.

0 komentar:

Posting Komentar