“Pindah sekolah?”
Kay dan Reina sama-sama
mengutarakan keterkejutan mereka.
“Ya. Tuan Herlangga sudah
memilihkan sekolah terbaik di Amerika, dan Anda akan berangkat dalam waktu tiga
bulan lagi.” kata Aido, “Sebenarnya saya sudah membicarakan hal ini dengan Tuan
Herlangga dan ayah Anda. Saya tahu Anda tidak mungkin pindah sekolah dengan
begitu mudahnya, tapi…”
“Kenapa aku harus pindah? Apa
alasannya masih sama dengan yang kemarin?” sela Kay.
“Sebagian besar, tapi ada beberapa
hal kecil lainnya—”
“Apa? Katakan saja!”
‘Kay…” Reina memegang bahu Kay,
“Jangan bicara kasar pada yang lebih tua.”
Kay hanya mengedikkan bahu dan
menunggu jawaban dari Aido. Dia juga menatap kepala sekolah yang seperti
menatapya dengan tatapan kasihan, atau entah tatapan apa. Yang jelas, Kay tidak
suka.
“Salah satu masalahnya adalah ibu
Anda. Lalu, masalah lain datang dari rival Tuan Herlangga. Beliau ingin Anda
bersekolah di Amerika agar Anda bisa lebih focus pada pean Anda sebagai pewaris
keluarga Gunawan…”
“Kalau aku menolak?”
“Anda akan dipaksa untuk
menerimanya.” Aido menghela nafas, “Saya minta maaf, Tuan Kay. Sebenarnya saya
sudah berusaha mencegah, tapi…”
“Tidak perlu minta maaf.” kata Kay,
“Kalau memang itu masalahnya, mau bagaimana lagi? Walau sepertinya masih ada
alasan lain di balik alasan yang Anda katakan barusan.”
Aido menatap Kay yang tampak datar
wajahnya, kemudian Reina yang berdiri di belakang pemuda itu. Pria itu menatap
bolak-balik kedua remaja itu dan merasa aneh.
Apa
yang aneh?
Pria itu berdeham dan mengangguk,
“Saya akan memberitahukannya pada Tuan Herlangga. Kalau begitu, Kepala
Sekolah,”
Aido menoleh kearah kepala sekolah
yang sejak tadi diam,
“Bisakah Anda mengurus surat
kepindahan Tuan Kay dalam waktu tiga bulan lagi?”
“Saya akan mencobanya.” Ujar kepala
sekolah, “Tidak mudah untuk membuat seorang siswa pindah dari sekolah ini
karena peraturannya yang ketat…”
“Saya mohon Anda mengusahakannya.”
Kata Aido.
“Baiklah.”
Aido berdiri diikuti Kay, mereka
berdua saling tatap sebelum akhirnya Aido membungkuk pada cowok itu dan pergi.
Reina menatap Aido yang pergi, lalu
Kay, yang wajahnya kembali murung seperti waktu itu.
***
Hari ini, entah kenapa para siswa dipulangkan
lebih cepat tanpa alasan yang jelas. Hal yang membuat para guru sedikit bingung,
tapi disambut penuh sukacita oleh para siswa yang mungkin ingin jalan-jalan,
nongkrong, atau sekadar berpacaran (bagi yang punya pacar).
Reina berjalan bersama Kay yang
sejak menjemputnya di kelas tidak pernah melepaskan tangannya. Hal yang cukup
aneh, biasanya Reina yang melakukan hal seperti itu. Tapi sekarang…
“Hei, ingat tempat kita pertama
kali berwisata dengan keluargamu?” tanya Kay tiba-tiba saat mereka sampai di
dekat motor sport Kay.
“Tempat wisata pertama? Maksudmu
pantai?”
“Ya.” Kay mengangguk, “Dulu kalau
kamu ke pantai, kamu pasti selalu girang banget. Kamu juga sering maksa aku
buat bikin istana pasir dan lalu menangis karena istananya roboh gara-gara sering
kuhancurkan.”
Reina menatap Kay yang tampak
berusaha ceria ketika mengatakan hal barusan. Ia lalu mengangguk, demi
kembalinya senyum Kay yang disukainya.
Kay tersenyum kecil dan menyerahkan
jaket kulit coklat dan helm pada Reina.
“Pakai itu, dan kita akan
jalan-jalan.” kata cowok itu. “Ke rumah yang akan kutempati sementara bisa
menunggu.”
“Memangnya kita akan ke mana?
Pantai?” tanya Reina.
“Pantai, mal, tempat apa pun yang
ingin kamu kunjungi.” Ujar Kay, “Kamu ingin ke mana?”
“Kenapa kamu malah tanya balik?”
“Karena aku tidak tahu tempat apa
yang paling ingin kukunjungi.” Kay mengedikkan bahu, “Kamu yang pilih
tempatnya, dan aku yang akan menjadi ojeknya.”
“Ojek…” Reina tertawa, “Kamu
beralih profesi menjadi ojek, ya?”
“Hanya untuk hari ini.” Kay ikut
tertawa, walau tawanya juga dipaksakan.
Reina memiringkan kepalanya dan
tersenyum, “Ada satu tempat yang sangat ingin kukunjungi,” katanya.
***
“Reina, kalau kamu sekali lagi menggunakan nada
bicara kayak tadi, aku bakal menggelitimu tanpa ampun!” gerutu Kay sambil
mematikan mesin motor dan melepas helmnya.
Reina tertawa dan turun dari
belakang Kay. Ketika melepas helmnya, embusan angin laut membelai pipi dan
rambutnya yang tergerai.
Mereka pergi ke pantai, setelah
membuat Kay penasaran tempat apa yang akan mereka kunjungi. Dan cowok itu
nyaris menggelitinya kalau saja saat itu Kay tidak sedang mengendarai motor.
“Anginnya segar, Kay. Iya, kan?”
kata Reina sambil menoleh kearah Kay.
“Ngomong sekali lagi aku bakal
gelitiki pinggang kamu.” kata Kay masih dongkol, “Bilang saja kalau kamu mau ke
pantai. Jangan sok bikin penasaran kayak tadi, Rei.”
“Hehehe… habisnya, kamu tadi tanya
apa aku ingat tempat kita berwisata pertama kali…” kata Reina mengelak.
Kay memasang wajah gemas dan hendak
menangkap Reina ketika gadis itu dengan gesit menghindar dari jangkauan tangan
Kay.
“Nggak kena…” kata Reina tertawa
sambil meleletkan lidahnya.
“Awas kamu!”
Mereka berdua lalu bermain
kejar-kejaran, tanpa memerdulikan tatapan orang-orang yang tengah ke pantai
saat itu. Beberapa pelanggan di kedai-kedai yang menjual minuman segar juga
ikut menoleh ketika melihat tingkah mereka.
Akhirnya Kay berhasil menangkap
Reina yang masih tertawa-tawa. Cowok itu juga ikut tertawa melihat raut wajah
Reina yang tampak lucu saat tertawa.
“Ah… hentikan! Geli tahu!” kata
Reina ketika menyadari Kay sedang menggelitiki pinggangnya.
“Hukuman karena membuatku
penasaran!” kata Kay.
“Ahahahaha… cukup, Kay, cukup!
Geli!!”
“Itu karena kesalahanmu sendiri.”
ujar Kay sambil melepaskan gelitikannya dari Reina.
Gadis itu mengatur nafasnya yang
terengah-engah karena berlari menghindari Kay dan tertawa tadi. Dia menatap Kay
yang sedikit lebih tinggi darinya itu dan tersenyum lebar, membuat Kay
mengerutkan kening.
“Apa?” tanya cowok itu.
“Aku senang kamu kembali lagi.”
“Hah?”
“Selama beberapa hari ini kamu
selalu murung.” Kata Reina, “Aku nggak suka kalau kamu murung terus. Aku lebih
suka kalau kamu tersenyum dan tampak hidup seperti ini.”
“Tampak hidup… memangnya aku
kelihatan seperti zombie ya?”
“Sedikit…” kata Reina, lalu
tertawa.
Kay menepuk kepala Reina dan
mencium puncak kepala gadis itu, “Terima kasih.” Katanya.
“Kamu tidak perlu berterima kasih,
Kay.” Kata Reina, “Aku melakukannya karena…”
Ucapan Reina mendadak terhenti
ketika dia merasakan pandangannya mengabur.
“Reina!”
Kay menahan tubuh gadis itu agar
tidak jatuh dan menatap wajah Reina yang tampak pucat.
“Astaga… aku lupa kamu punya
penyakit anemia parah.” kata Kay, lalu menggendong Reina.
“K, Kay?”
“Kita istirahat dulu. Kamu bawa
obat anemia-mu kan?”
Reina hanya mengangguk dan
menyandarkan kepalanya di lekukan leher Kay.
Cowok itu membawanya ke sebuah
kedai yang menjual es kelapa muda dan minuman lain. Seorang wanita paruh baya
menghampiri mereka.
“Tolong es kelapanya dua. Yang satu
airnya sedikit banyak.” Kata Kay.
Wanita itu mengangguk dan kembali
ke dalam kedai untuk membuat pesanan Kay.
Cowok itu lalu mendudukkan Reina di
sebuah kursi dan memegang dahi gadis itu.
“Wajahmu makin pucat saja.” kata
Kay, “Kamu minum obatnya dulu, deh. Aku bakal ambil pesanan minuman tadi.”
Reina mengangguk dan merogoh tas
sekolahnya. Dia mengeluarkan sebuah botol plastic berwarna biru dan
mengeluarkan dua tablet obat berwarna putih. Ditenggaknya dua tablet itu dengan
cepat. Ketika Kay kembali dengan dua buah gelas besar berisi es kelapa muda
segar, Reina langsung mengambil gelas dengan air yang lebih banyak dan
meminumnya.
“Pelan-pelan saja… nanti darahmu
malah nggak mengalir lancar.” Kata Kay melihat Reina nyaris meminum minumannya
hingga bersisa setengah.
Reina hanya tersenyum lebar dan
memakan daging buah kelapa yang ada di dalam gelasnya. Kay juga ikut menikmati
minumannya. Cowok itu terus mengawasi Reina yang memakan daging kelapa dengan
senyum kecil.
“Apa?” tanya Reina yang baru sadar
kalau dia sedang diperhatikan.
“Aku baru sadar kalau cara makanmu
itu rakus.”
“Hei!!”
Kay tertawa, “Bercanda kali, Rei…”
Reina menggembungkan pipinya dan
kembali meminum es kelapanya. Diliriknya cowok itu lagi-lagi menatapnya.
“Kenapa kamu menatapku terus?”
tanya Reina.
“Nggak… aku Cuma memikikan sesuatu.”
“Memikirkan apa?”
“Kalau aku benar-benar dipindahkan
ke sekolah di Amerika, bagaimana kamu nanti di sini?”
“He?”
“Soalnya kan aku sudah janji sama
Kak Rion kalau aku bakal menjaga kamu selama dia ada di luar negeri.” kata Kay,
“Kalau aku juga ke luar negeri, bagaimana aku bisa menjaga kamu?”
Reina termenung mendengarnya. Memang,
dulu Kay pernah berjanji pada kakaknya, Rion, kalau dia akan menjaga Reina apa
pun yang terjadi. Disamping karena dia punya penyakit anemia, sepertinya ada
alasan lain di balik itu.
“Memangnya… kamu benar-benar ingin
pergi ke Amerika?” tanya Reina.
“Sebenarnya aku nggak mau.” kata
Kay, “Kalau bisa, aku pengen tetap di sini saja. Kalau aku pergi, Bi Ijah nanti
mau mengurus siapa di rumah?”
“Iya, sih…” Reina manggut-manggut.
“Kay,”
“Apa?”
Reina seperti hendak mengatakan
sesuatu. Tapi gadis itu tampak ragu mengatakannya. Kay sendiri tidak memaksa
Reina untuk segera mengatakan apa yang ingin dikatakannya dan hanya menunggu.
“Boleh… aku minta sesuatu dari
kamu?” tanya Reina.
“Memangnya kamu mau minta apa?”
“Cium aku.”
0 komentar:
Posting Komentar