Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Farewell Rain - Chapter 8



“Pindah sekolah?”
Kay dan Reina sama-sama mengutarakan keterkejutan mereka.
“Ya. Tuan Herlangga sudah memilihkan sekolah terbaik di Amerika, dan Anda akan berangkat dalam waktu tiga bulan lagi.” kata Aido, “Sebenarnya saya sudah membicarakan hal ini dengan Tuan Herlangga dan ayah Anda. Saya tahu Anda tidak mungkin pindah sekolah dengan begitu mudahnya, tapi…”

“Kenapa aku harus pindah? Apa alasannya masih sama dengan yang kemarin?” sela Kay.
“Sebagian besar, tapi ada beberapa hal kecil lainnya—”
“Apa? Katakan saja!”
‘Kay…” Reina memegang bahu Kay, “Jangan bicara kasar pada yang lebih tua.”
Kay hanya mengedikkan bahu dan menunggu jawaban dari Aido. Dia juga menatap kepala sekolah yang seperti menatapya dengan tatapan kasihan, atau entah tatapan apa. Yang jelas, Kay tidak suka.
“Salah satu masalahnya adalah ibu Anda. Lalu, masalah lain datang dari rival Tuan Herlangga. Beliau ingin Anda bersekolah di Amerika agar Anda bisa lebih focus pada pean Anda sebagai pewaris keluarga Gunawan…”
“Kalau aku menolak?”
“Anda akan dipaksa untuk menerimanya.” Aido menghela nafas, “Saya minta maaf, Tuan Kay. Sebenarnya saya sudah berusaha mencegah, tapi…”
“Tidak perlu minta maaf.” kata Kay, “Kalau memang itu masalahnya, mau bagaimana lagi? Walau sepertinya masih ada alasan lain di balik alasan yang Anda katakan barusan.”
Aido menatap Kay yang tampak datar wajahnya, kemudian Reina yang berdiri di belakang pemuda itu. Pria itu menatap bolak-balik kedua remaja itu dan merasa aneh.
Apa yang aneh?
Pria itu berdeham dan mengangguk, “Saya akan memberitahukannya pada Tuan Herlangga. Kalau begitu, Kepala Sekolah,”
Aido menoleh kearah kepala sekolah yang sejak tadi diam,
“Bisakah Anda mengurus surat kepindahan Tuan Kay dalam waktu tiga bulan lagi?”
“Saya akan mencobanya.” Ujar kepala sekolah, “Tidak mudah untuk membuat seorang siswa pindah dari sekolah ini karena peraturannya yang ketat…”
“Saya mohon Anda mengusahakannya.” Kata Aido.
“Baiklah.”
Aido berdiri diikuti Kay, mereka berdua saling tatap sebelum akhirnya Aido membungkuk pada cowok itu dan pergi.
Reina menatap Aido yang pergi, lalu Kay, yang wajahnya kembali murung seperti waktu itu.

***

Hari ini, entah kenapa para siswa dipulangkan lebih cepat tanpa alasan yang jelas. Hal yang membuat para guru sedikit bingung, tapi disambut penuh sukacita oleh para siswa yang mungkin ingin jalan-jalan, nongkrong, atau sekadar berpacaran (bagi yang punya pacar).
Reina berjalan bersama Kay yang sejak menjemputnya di kelas tidak pernah melepaskan tangannya. Hal yang cukup aneh, biasanya Reina yang melakukan hal seperti itu. Tapi sekarang…
“Hei, ingat tempat kita pertama kali berwisata dengan keluargamu?” tanya Kay tiba-tiba saat mereka sampai di dekat motor sport Kay.
“Tempat wisata pertama? Maksudmu pantai?”
“Ya.” Kay mengangguk, “Dulu kalau kamu ke pantai, kamu pasti selalu girang banget. Kamu juga sering maksa aku buat bikin istana pasir dan lalu menangis karena istananya roboh gara-gara sering kuhancurkan.”
Reina menatap Kay yang tampak berusaha ceria ketika mengatakan hal barusan. Ia lalu mengangguk, demi kembalinya senyum Kay yang disukainya.
Kay tersenyum kecil dan menyerahkan jaket kulit coklat dan helm pada Reina.
“Pakai itu, dan kita akan jalan-jalan.” kata cowok itu. “Ke rumah yang akan kutempati sementara bisa menunggu.”
“Memangnya kita akan ke mana? Pantai?” tanya Reina.
“Pantai, mal, tempat apa pun yang ingin kamu kunjungi.” Ujar Kay, “Kamu ingin ke mana?”
“Kenapa kamu malah tanya balik?”
“Karena aku tidak tahu tempat apa yang paling ingin kukunjungi.” Kay mengedikkan bahu, “Kamu yang pilih tempatnya, dan aku yang akan menjadi ojeknya.”
“Ojek…” Reina tertawa, “Kamu beralih profesi menjadi ojek, ya?”
“Hanya untuk hari ini.” Kay ikut tertawa, walau tawanya juga dipaksakan.
Reina memiringkan kepalanya dan tersenyum, “Ada satu tempat yang sangat ingin kukunjungi,” katanya.

***

“Reina, kalau kamu sekali lagi menggunakan nada bicara kayak tadi, aku bakal menggelitimu tanpa ampun!” gerutu Kay sambil mematikan mesin motor dan melepas helmnya.
Reina tertawa dan turun dari belakang Kay. Ketika melepas helmnya, embusan angin laut membelai pipi dan rambutnya yang tergerai.
Mereka pergi ke pantai, setelah membuat Kay penasaran tempat apa yang akan mereka kunjungi. Dan cowok itu nyaris menggelitinya kalau saja saat itu Kay tidak sedang mengendarai motor.
“Anginnya segar, Kay. Iya, kan?” kata Reina sambil menoleh kearah Kay.
“Ngomong sekali lagi aku bakal gelitiki pinggang kamu.” kata Kay masih dongkol, “Bilang saja kalau kamu mau ke pantai. Jangan sok bikin penasaran kayak tadi, Rei.”
“Hehehe… habisnya, kamu tadi tanya apa aku ingat tempat kita berwisata pertama kali…” kata Reina mengelak.
Kay memasang wajah gemas dan hendak menangkap Reina ketika gadis itu dengan gesit menghindar dari jangkauan tangan Kay.
“Nggak kena…” kata Reina tertawa sambil meleletkan lidahnya.
“Awas kamu!”
Mereka berdua lalu bermain kejar-kejaran, tanpa memerdulikan tatapan orang-orang yang tengah ke pantai saat itu. Beberapa pelanggan di kedai-kedai yang menjual minuman segar juga ikut menoleh ketika melihat tingkah mereka.
Akhirnya Kay berhasil menangkap Reina yang masih tertawa-tawa. Cowok itu juga ikut tertawa melihat raut wajah Reina yang tampak lucu saat tertawa.
“Ah… hentikan! Geli tahu!” kata Reina ketika menyadari Kay sedang menggelitiki pinggangnya.
“Hukuman karena membuatku penasaran!” kata Kay.
“Ahahahaha… cukup, Kay, cukup! Geli!!”
“Itu karena kesalahanmu sendiri.” ujar Kay sambil melepaskan gelitikannya dari Reina.
Gadis itu mengatur nafasnya yang terengah-engah karena berlari menghindari Kay dan tertawa tadi. Dia menatap Kay yang sedikit lebih tinggi darinya itu dan tersenyum lebar, membuat Kay mengerutkan kening.
“Apa?” tanya cowok itu.
“Aku senang kamu kembali lagi.”
“Hah?”
“Selama beberapa hari ini kamu selalu murung.” Kata Reina, “Aku nggak suka kalau kamu murung terus. Aku lebih suka kalau kamu tersenyum dan tampak hidup seperti ini.”
“Tampak hidup… memangnya aku kelihatan seperti zombie ya?”
“Sedikit…” kata Reina, lalu tertawa.
Kay menepuk kepala Reina dan mencium puncak kepala gadis itu, “Terima kasih.” Katanya.
“Kamu tidak perlu berterima kasih, Kay.” Kata Reina, “Aku melakukannya karena…”
Ucapan Reina mendadak terhenti ketika dia merasakan pandangannya mengabur.
“Reina!”
Kay menahan tubuh gadis itu agar tidak jatuh dan menatap wajah Reina yang tampak pucat.
“Astaga… aku lupa kamu punya penyakit anemia parah.” kata Kay, lalu menggendong Reina.
“K, Kay?”
“Kita istirahat dulu. Kamu bawa obat anemia-mu kan?”
Reina hanya mengangguk dan menyandarkan kepalanya di lekukan leher Kay.
Cowok itu membawanya ke sebuah kedai yang menjual es kelapa muda dan minuman lain. Seorang wanita paruh baya menghampiri mereka.
“Tolong es kelapanya dua. Yang satu airnya sedikit banyak.” Kata Kay.
Wanita itu mengangguk dan kembali ke dalam kedai untuk membuat pesanan Kay.
Cowok itu lalu mendudukkan Reina di sebuah kursi dan memegang dahi gadis itu.
“Wajahmu makin pucat saja.” kata Kay, “Kamu minum obatnya dulu, deh. Aku bakal ambil pesanan minuman tadi.”
Reina mengangguk dan merogoh tas sekolahnya. Dia mengeluarkan sebuah botol plastic berwarna biru dan mengeluarkan dua tablet obat berwarna putih. Ditenggaknya dua tablet itu dengan cepat. Ketika Kay kembali dengan dua buah gelas besar berisi es kelapa muda segar, Reina langsung mengambil gelas dengan air yang lebih banyak dan meminumnya.
“Pelan-pelan saja… nanti darahmu malah nggak mengalir lancar.” Kata Kay melihat Reina nyaris meminum minumannya hingga bersisa setengah.
Reina hanya tersenyum lebar dan memakan daging buah kelapa yang ada di dalam gelasnya. Kay juga ikut menikmati minumannya. Cowok itu terus mengawasi Reina yang memakan daging kelapa dengan senyum kecil.
“Apa?” tanya Reina yang baru sadar kalau dia sedang diperhatikan.
“Aku baru sadar kalau cara makanmu itu rakus.”
“Hei!!”
Kay tertawa, “Bercanda kali, Rei…”
Reina menggembungkan pipinya dan kembali meminum es kelapanya. Diliriknya cowok itu lagi-lagi menatapnya.
“Kenapa kamu menatapku terus?” tanya Reina.
“Nggak… aku Cuma memikikan sesuatu.”
“Memikirkan apa?”
“Kalau aku benar-benar dipindahkan ke sekolah di Amerika, bagaimana kamu nanti di sini?”
“He?”
“Soalnya kan aku sudah janji sama Kak Rion kalau aku bakal menjaga kamu selama dia ada di luar negeri.” kata Kay, “Kalau aku juga ke luar negeri, bagaimana aku bisa menjaga kamu?”
Reina termenung mendengarnya. Memang, dulu Kay pernah berjanji pada kakaknya, Rion, kalau dia akan menjaga Reina apa pun yang terjadi. Disamping karena dia punya penyakit anemia, sepertinya ada alasan lain di balik itu.
“Memangnya… kamu benar-benar ingin pergi ke Amerika?” tanya Reina.
“Sebenarnya aku nggak mau.” kata Kay, “Kalau bisa, aku pengen tetap di sini saja. Kalau aku pergi, Bi Ijah nanti mau mengurus siapa di rumah?”
“Iya, sih…” Reina manggut-manggut.
“Kay,”
“Apa?”
Reina seperti hendak mengatakan sesuatu. Tapi gadis itu tampak ragu mengatakannya. Kay sendiri tidak memaksa Reina untuk segera mengatakan apa yang ingin dikatakannya dan hanya menunggu.
“Boleh… aku minta sesuatu dari kamu?” tanya Reina.
“Memangnya kamu mau minta apa?”
“Cium aku.”

0 komentar:

Posting Komentar