Reina memandang langit-langit kamarnya dengan
tatapan menerawang. Dia masih memikirkan kenapa Kay menanyakan pertanyaan
seperti itu padanya.
“Kamu… apa tidak ingin berpacaran?”
Kenapa
Kay menanyakan hal seperti itu, ya? Apa dia dipaksa Stevan untuk menanyakan itu
padaku? katanya dalam
hati. Tapi dia bilang dia sering ditanya
penggemarku tentang diriku, dan dia sudah gerah…
Reina menghembuskan nafas dan
memejamkan matanya. Dia tidak mengerti kenapa Kay menanyakan hal semacam itu
padanya.
Dia benar-benar tidak mengerti…
***
Kenapa aku
harus menanyakan hal sebodoh itu, sih!?
Kay melempar buku di tangannya ke
atas meja dan menggeram kesal. Dia masih teringat pertanyaan konyolnya pada
Reina saat makan malam tadi. Kay menutup matanya dengan sebelah tangan dan
menghembuskan nafas frustasi. Rasa jengkel sudah merasukinya sejak Reina pamit
pulang tadi (setelah menghabiskan tiga mangkok es krim coklat simpanan Kay di
kulkas) dan semakin membesar sampai sekarang.
“Bodoh, bodoh…” gumamnya pada diri
sendiri, “Kenapa aku harus menanyakan itu pada Reina, sih? Bego banget!”
Kay membuka matanya dan matanya
langsung tertumbuk pada kotak kayu berwarna coklat tua yang menghiasi sudut
meja belajarnya. Ia membuka kotak itu dan menghembuskan nafas lagi. Isi kotak
itu adalah foto-foto dan barang kesayangannya sejak kecil, gantungan kunci
dengan hiasan yang terbuat dari kaca dan berisi pasir laut. Itu adalah barang
paling berharga dari Reina saat dia masih kecil dan disimpannya baik-baik di
dalam kotak itu.
Kay mengambil satu foto dan
mengamatinya. Foto Reina yang sedang bermain piano di sebuah konser jazz.
Selain bisa memainkan music klasik, Reina juga pandai bermain music jazz,
menurun dari kakaknya yang juga seorang pemusik, tepatnya pemain flute.
Kay baru saja akan mengambil foto
yang lain ketika ponselnya berbunyi.
Cowok itu menatap ponselnya
sebentar dan menghela nafas. Tanpa mengangkat telepon yang masuk, ia
melanjutkan belajarnya dan memasang earphone
yang tersambung dengan MP3 Player ke telinganya.
***
Besok harinya, tidak biasanya Kay bangun pagi
bahkan sebelum Reina sempat berpatroli membangunkan cowok itu. Reina memang
tidak menanyakan alasan kenapa Kay bangun sepagi itu, tapi ia penasaran.
Terutama karena Kay terlihat lebih murung dari biasanya.
“Kay, kamu ada masalah?” tanya
Reina setelah mereka masuk ke dalam bus sekolah yang menjemput mereka seperti
biasa.
“Tidak ada. Kenapa kamu bertanya
begitu?” tanya Kay balik.
“Habisnya, kamu kelihatan lebih
murung dari biasanya.” Kata Reina, “Kamu baik-baik saja, kan? Lagi nggak
‘dapet’, kan?”
“Memangnya kamu kira aku cowok
jadi-jadian, ya? Pakai tanya aku lagi ‘dapet’ atau nggak?” kata Kay sambil
mementil dahi Reina pelan.
Reina hanya tersenyum lebar dan
bersandar pada bahu cowok itu. Kay mengelus kepala Reina dan kembali focus pada
buku yang sedang dibacanya. Tidak menyadari kalau Reina menatapnya dengan
tatapan aneh.
Kenapa
Kay mengelus kepalaku seperti tadi? Ada apa dengannya?
***
Saat jam istirahat, Reina masih tidak tahu
kenapa Kay bersikap seperti itu. Ia bahkan nyaris dihukum guru karena tidak
focus pada pelajaran kimia tadi.
“Lo kenapa, Reina? Ada masalah?” tanya
Prita yang duduk di sebelahnya.
“Bukan gue yang punya masalah, tapi
Kay.” Kata Reina, “Dia kelihatan lebih murung daripada biasanya.”
“Memang biasanya dia murung, kan?
Kayak burung yang lagi ngebet kawin?”
“Hush! Sembarangan saja lo!”
Prita hanya terkekeh.
“Rasanya kayak bukan Kay, deh.”
kata Reina lagi, “Tadi pagi dia bangun lebih pagi dari biasanya. Lalu tadi
waktu di bus, dia mengelus kepala gue.”
“Lho? Bukannya wajar, ya?” kata
Prita.
“Bukan… ini malah nggak wajar, Ta.”
Ujar Reina, “Elusannya itu nggak seperti… ya pokoknya kayak bukan Kay deh!”
“Gue tetap nggak mengerti.” ujar
Prita sambil mengerutkan kening, “Daripada memikirkan hal itu, mendingan kita
ke kantin yuk. Gue lapar nih!”
***
Reina dan Prita berjalan menuju kantin. Ketika
melewati lapangan basket, mereka berdua melihat teman-teman mereka berkumpul di
sisi lapangan sambil berkasak-kusuk.
“Ada apa, sih?” tanya Prita.
“Mana gue tahu.” balas Reina.
“Maaf, ini ada apa ya?” tanya Reina
pada salah seorang siswa kelas satu yang dikenalnya.
“Eh, Kak Reina. Ini lho… Kak Stevan
mau tanding basket sama Kak Kay.”
“Apa?”
“Apaan, Rei?”
“Kay mau tanding basket dengan
Stevan.” Kata Reina.
“Serius?!”
Mereka berdua langsung menerobos
kerumunan itu dan berdiri tepat di sisi lapangan basket. Benar apa yang
dikatakan anak kelas satu tadi pada Reina. Kay sedang berdiri sambil memegang
bola basket di tangannya. Di hadapan cowok itu adalah Stevan, si Ketua Siswa
sekaligus kapten basket sekolah.
Apa
yang sedang mereka lakukan? Tanding basket dalam rangka apa? tanya Reina dalam hati. Matanya menatap
khawatir pada Kay yang kelihatan marah, bukannya murung seperti tadi pagi.
***
Kay tahu dirinya bodoh kalau sampai berhadapan
dengan Stevan. Tapi, dia sudah terlanjur basah menantang cowok itu dalam
tanding basket 1 to 1 karena
terpancing emosi atas perkataan Stevan padanya.
Sekarang, di tengah lapangan
basket, mereka bersiap-siap untuk bertanding. Kay sudah lebih dulu memegang
bola dan matanya menatap tajam pada Stevan yang tersenyum meremehkannya.
“Kalau gue menang dalam tanding 1 to 1 ini, apa lo mau menarik kata-kata
lo tadi?” tanya Kay.
“Gue mungkin brengsek di mata lo,
tapi gue bukan orang yang ingkar janji.” Jawab Stevan, “Siapa yang bisa
mendapatkan skor terbanyak dia yang menang, bagaimana?”
Kay mendesis kesal, kemudian tanpa
ancang-ancang, dia langsung men-drible
bola. Stevan berusaha menghalangi jalan Kay, namun ternyata Kay lebih gesit
daripada yang dia duga. Dengan mudah Kay berhasil melewati Stevan dan
menembakkan bolanya ke ring.
“Gue nggak menyangka lo bisa main
basket juga.” Kata Stevan sambil mengambil bola yang menggelinding tepat
kearahnya.
“Don’t judge a book by it’s cover, dude.” Balas Kay.
“Mulai sombong, nih?”
Kali ini giliran Stevan yang
menggiring bolanya ke ring. Kay
mencoba menghalangi Stevan dan berhasil merebut bolanya dengan mudah. Kay, yang
dengan gesit menghindar dari setiap halangan Stevan, berhasil memasukkan bola
kembali hingga sekarang skor mereka 2-0.
“Bagaimana bisa? Lo nggak pernah
ikut olahraga, tapi kenapa—”
Kay mendribel bolanya sambil
menatap Stevan, “Kalau lo mau bersusah payah mencari tahu tentang gue, silakan.
Tapi, pertandingan ini belum selesai, kan?”
Stevan menatap kesal pada Kay dan
berusaha merebut bola dari cowok itu. Namun, ia selalu gagal merebutnya dari
Kay. Entah kenapa Kay selalu berhasil menghindar dari tangannya, dan ia terus
memasukkan bola hingga skornya tertinggal jauh. Suara sorak riuh di pinggir
lapangan menandakan pertandingan berakhir dengan skor akhir 18-8, dengan skor
delapan belas dari Kay.
“Tidak bisa memasukkan satu bola ke
dalam ring… apa lo masih pantas
membanggakan diri menjadi ketua ekskul basket?” kata Kay.
“Lo…”
“Gue nggak jadi membuat lo menarik
kata-kata lo yang tadi.” kata Kay, “Sebagai gantinya, jangan pernah mendekati
Reina kecuali kalau lo benar-benar siap menghadapi gue, dan kakaknya, kalau lo
belum tahu dia punya kakak laki-laki.”
“Kenapa lo bertindak seolah-olah
Reina itu pacar lo? Dia bukan siapa-siapa lo, kan?” kata Stevan.
Kay menatap Stevan, lalu Reina yang
baru disadarinya berdiri di pinggir lapangan.
“Mudah saja,” kata Kay, “Gue adalah
orang yang diberi kepercayaan oleh kakaknya untuk menjaganya, dan gue bakal
menghajar siapa pun yang berniat main-main dengannya.”
Stevan menatap Kay yang berbalik
dan berjalan melewati kerumunan penonton di pinggir lapangan, diikuti oleh
Reina dan Prita.
Kay
Alfatio… dia bukan siswa biasa!
***
“Kay, tunggu!!”
Kay berhenti dan menoleh kearah
Reina yang berlari kearahnya.
“Oh, hai, Rei,” kata Kay sambil
tersenyum.
“Kamu itu apa-apaan, sih? Pakai menantang
Stevan main basket segala!” ujar Reina saat gadis itu sudah berdiri di hadapan
Kay.
“Soalnya dia mengata-ngatai aku,
mana bisa aku diam saja?” balas Kay, “Jangan dibahas lagi, deh. Aku nggak ada
niat untuk membahas soal pertandingan tadi.”
“Tapi, Kay, kamu nggak takut kalau
identitas kamu yang sebenarnya ketahuan?” tanya Reina.
“Nggak bakal ketahuan, kok. Tenang
saja…”
“Memangnya identitas Kay itu
siapa?” tanya Prita yang sejak tadi mengikuti Reina.
“Ah? Eh, itu…”
Reina tampak bingung menjelaskan pada
Prita, terutama karena Kay menatap Reina dan Prita bergantian.
“Kalau kamu mau menjelaskan pada
Prita, nggak masalah.” Kata Kay, “Cukup kalian berdua yang tahu, dan kalau
tersebar, ya biarkan saja. Aku mau ke kantin dulu, mau beli minuman.”
“Eh, tunggu, Kay!”
Tapi, Kay sudah keburu meninggalkan
mereka berdua. Reina memberengut pada Kay dan menghela nafas pasrah.
“Eh, Rei, memangnya apa yang kalian
bicarakan sih, sebenarnya? Gue nggak mengerti sama sekali.” Kata Prita, “Dan
soal… identitas asli Kay? Memangnya kenapa dengan identitasnya?”
“Itu…” Reina menggaruk-garuk
kepalanya, “Lo harus janji dulu jangan kasih tahu ke siapa pun. Lo janji?”
“Iya, deh gue janji.” Kata Prita, “So?”
“Sebenarnya Kay itu…”
0 komentar:
Posting Komentar