Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Farewell Rain - Chapter 5



Reina memandang langit-langit kamarnya dengan tatapan menerawang. Dia masih memikirkan kenapa Kay menanyakan pertanyaan seperti itu padanya.
Kamu… apa tidak ingin berpacaran?
Kenapa Kay menanyakan hal seperti itu, ya? Apa dia dipaksa Stevan untuk menanyakan itu padaku? katanya dalam hati. Tapi dia bilang dia sering ditanya penggemarku tentang diriku, dan dia sudah gerah…

Reina menghembuskan nafas dan memejamkan matanya. Dia tidak mengerti kenapa Kay menanyakan hal semacam itu padanya.
Dia benar-benar tidak mengerti…

***

Kenapa aku harus menanyakan hal sebodoh itu, sih!?
Kay melempar buku di tangannya ke atas meja dan menggeram kesal. Dia masih teringat pertanyaan konyolnya pada Reina saat makan malam tadi. Kay menutup matanya dengan sebelah tangan dan menghembuskan nafas frustasi. Rasa jengkel sudah merasukinya sejak Reina pamit pulang tadi (setelah menghabiskan tiga mangkok es krim coklat simpanan Kay di kulkas) dan semakin membesar sampai sekarang.
“Bodoh, bodoh…” gumamnya pada diri sendiri, “Kenapa aku harus menanyakan itu pada Reina, sih? Bego banget!”
Kay membuka matanya dan matanya langsung tertumbuk pada kotak kayu berwarna coklat tua yang menghiasi sudut meja belajarnya. Ia membuka kotak itu dan menghembuskan nafas lagi. Isi kotak itu adalah foto-foto dan barang kesayangannya sejak kecil, gantungan kunci dengan hiasan yang terbuat dari kaca dan berisi pasir laut. Itu adalah barang paling berharga dari Reina saat dia masih kecil dan disimpannya baik-baik di dalam kotak itu.
Kay mengambil satu foto dan mengamatinya. Foto Reina yang sedang bermain piano di sebuah konser jazz. Selain bisa memainkan music klasik, Reina juga pandai bermain music jazz, menurun dari kakaknya yang juga seorang pemusik, tepatnya pemain flute.
Kay baru saja akan mengambil foto yang lain ketika ponselnya berbunyi.
Cowok itu menatap ponselnya sebentar dan menghela nafas. Tanpa mengangkat telepon yang masuk, ia melanjutkan belajarnya dan memasang earphone yang tersambung dengan MP3 Player ke telinganya.

***

Besok harinya, tidak biasanya Kay bangun pagi bahkan sebelum Reina sempat berpatroli membangunkan cowok itu. Reina memang tidak menanyakan alasan kenapa Kay bangun sepagi itu, tapi ia penasaran. Terutama karena Kay terlihat lebih murung dari biasanya.
“Kay, kamu ada masalah?” tanya Reina setelah mereka masuk ke dalam bus sekolah yang menjemput mereka seperti biasa.
“Tidak ada. Kenapa kamu bertanya begitu?” tanya Kay balik.
“Habisnya, kamu kelihatan lebih murung dari biasanya.” Kata Reina, “Kamu baik-baik saja, kan? Lagi nggak ‘dapet’, kan?”
“Memangnya kamu kira aku cowok jadi-jadian, ya? Pakai tanya aku lagi ‘dapet’ atau nggak?” kata Kay sambil mementil dahi Reina pelan.
Reina hanya tersenyum lebar dan bersandar pada bahu cowok itu. Kay mengelus kepala Reina dan kembali focus pada buku yang sedang dibacanya. Tidak menyadari kalau Reina menatapnya dengan tatapan aneh.
Kenapa Kay mengelus kepalaku seperti tadi? Ada apa dengannya?

***

Saat jam istirahat, Reina masih tidak tahu kenapa Kay bersikap seperti itu. Ia bahkan nyaris dihukum guru karena tidak focus pada pelajaran kimia tadi.
“Lo kenapa, Reina? Ada masalah?” tanya Prita yang duduk di sebelahnya.
“Bukan gue yang punya masalah, tapi Kay.” Kata Reina, “Dia kelihatan lebih murung daripada biasanya.”
“Memang biasanya dia murung, kan? Kayak burung yang lagi ngebet kawin?”
“Hush! Sembarangan saja lo!”
Prita hanya terkekeh.
“Rasanya kayak bukan Kay, deh.” kata Reina lagi, “Tadi pagi dia bangun lebih pagi dari biasanya. Lalu tadi waktu di bus, dia mengelus kepala gue.”
“Lho? Bukannya wajar, ya?” kata Prita.
“Bukan… ini malah nggak wajar, Ta.” Ujar Reina, “Elusannya itu nggak seperti… ya pokoknya kayak bukan Kay deh!”
“Gue tetap nggak mengerti.” ujar Prita sambil mengerutkan kening, “Daripada memikirkan hal itu, mendingan kita ke kantin yuk. Gue lapar nih!”

***

Reina dan Prita berjalan menuju kantin. Ketika melewati lapangan basket, mereka berdua melihat teman-teman mereka berkumpul di sisi lapangan sambil berkasak-kusuk.
“Ada apa, sih?” tanya Prita.
“Mana gue tahu.” balas Reina.
“Maaf, ini ada apa ya?” tanya Reina pada salah seorang siswa kelas satu yang dikenalnya.
“Eh, Kak Reina. Ini lho… Kak Stevan mau tanding basket sama Kak Kay.”
“Apa?”
“Apaan, Rei?”
“Kay mau tanding basket dengan Stevan.” Kata Reina.
“Serius?!”
Mereka berdua langsung menerobos kerumunan itu dan berdiri tepat di sisi lapangan basket. Benar apa yang dikatakan anak kelas satu tadi pada Reina. Kay sedang berdiri sambil memegang bola basket di tangannya. Di hadapan cowok itu adalah Stevan, si Ketua Siswa sekaligus kapten basket sekolah.
Apa yang sedang mereka lakukan? Tanding basket dalam rangka apa? tanya Reina dalam hati. Matanya menatap khawatir pada Kay yang kelihatan marah, bukannya murung seperti tadi pagi.

***

Kay tahu dirinya bodoh kalau sampai berhadapan dengan Stevan. Tapi, dia sudah terlanjur basah menantang cowok itu dalam tanding basket 1 to 1 karena terpancing emosi atas perkataan Stevan padanya.
Sekarang, di tengah lapangan basket, mereka bersiap-siap untuk bertanding. Kay sudah lebih dulu memegang bola dan matanya menatap tajam pada Stevan yang tersenyum meremehkannya.
“Kalau gue menang dalam tanding 1 to 1 ini, apa lo mau menarik kata-kata lo tadi?” tanya Kay.
“Gue mungkin brengsek di mata lo, tapi gue bukan orang yang ingkar janji.” Jawab Stevan, “Siapa yang bisa mendapatkan skor terbanyak dia yang menang, bagaimana?”
Kay mendesis kesal, kemudian tanpa ancang-ancang, dia langsung men-drible bola. Stevan berusaha menghalangi jalan Kay, namun ternyata Kay lebih gesit daripada yang dia duga. Dengan mudah Kay berhasil melewati Stevan dan menembakkan bolanya ke ring.
“Gue nggak menyangka lo bisa main basket juga.” Kata Stevan sambil mengambil bola yang menggelinding tepat kearahnya.
Don’t judge a book by it’s cover, dude.” Balas Kay.
“Mulai sombong, nih?”
Kali ini giliran Stevan yang menggiring bolanya ke ring. Kay mencoba menghalangi Stevan dan berhasil merebut bolanya dengan mudah. Kay, yang dengan gesit menghindar dari setiap halangan Stevan, berhasil memasukkan bola kembali hingga sekarang skor mereka 2-0.
“Bagaimana bisa? Lo nggak pernah ikut olahraga, tapi kenapa—”
Kay mendribel bolanya sambil menatap Stevan, “Kalau lo mau bersusah payah mencari tahu tentang gue, silakan. Tapi, pertandingan ini belum selesai, kan?”
Stevan menatap kesal pada Kay dan berusaha merebut bola dari cowok itu. Namun, ia selalu gagal merebutnya dari Kay. Entah kenapa Kay selalu berhasil menghindar dari tangannya, dan ia terus memasukkan bola hingga skornya tertinggal jauh. Suara sorak riuh di pinggir lapangan menandakan pertandingan berakhir dengan skor akhir 18-8, dengan skor delapan belas dari Kay.
“Tidak bisa memasukkan satu bola ke dalam ring… apa lo masih pantas membanggakan diri menjadi ketua ekskul basket?” kata Kay.
“Lo…”
“Gue nggak jadi membuat lo menarik kata-kata lo yang tadi.” kata Kay, “Sebagai gantinya, jangan pernah mendekati Reina kecuali kalau lo benar-benar siap menghadapi gue, dan kakaknya, kalau lo belum tahu dia punya kakak laki-laki.”
“Kenapa lo bertindak seolah-olah Reina itu pacar lo? Dia bukan siapa-siapa lo, kan?” kata Stevan.
Kay menatap Stevan, lalu Reina yang baru disadarinya berdiri di pinggir lapangan.
“Mudah saja,” kata Kay, “Gue adalah orang yang diberi kepercayaan oleh kakaknya untuk menjaganya, dan gue bakal menghajar siapa pun yang berniat main-main dengannya.”
Stevan menatap Kay yang berbalik dan berjalan melewati kerumunan penonton di pinggir lapangan, diikuti oleh Reina dan Prita.
Kay Alfatio… dia bukan siswa biasa!

***

“Kay, tunggu!!”
Kay berhenti dan menoleh kearah Reina yang berlari kearahnya.
“Oh, hai, Rei,” kata Kay sambil tersenyum.
“Kamu itu apa-apaan, sih? Pakai menantang Stevan main basket segala!” ujar Reina saat gadis itu sudah berdiri di hadapan Kay.
“Soalnya dia mengata-ngatai aku, mana bisa aku diam saja?” balas Kay, “Jangan dibahas lagi, deh. Aku nggak ada niat untuk membahas soal pertandingan tadi.”
“Tapi, Kay, kamu nggak takut kalau identitas kamu yang sebenarnya ketahuan?” tanya Reina.
“Nggak bakal ketahuan, kok. Tenang saja…”
“Memangnya identitas Kay itu siapa?” tanya Prita yang sejak tadi mengikuti Reina.
“Ah? Eh, itu…”
Reina tampak bingung menjelaskan pada Prita, terutama karena Kay menatap Reina dan Prita bergantian.
“Kalau kamu mau menjelaskan pada Prita, nggak masalah.” Kata Kay, “Cukup kalian berdua yang tahu, dan kalau tersebar, ya biarkan saja. Aku mau ke kantin dulu, mau beli minuman.”
“Eh, tunggu, Kay!”
Tapi, Kay sudah keburu meninggalkan mereka berdua. Reina memberengut pada Kay dan menghela nafas pasrah.
“Eh, Rei, memangnya apa yang kalian bicarakan sih, sebenarnya? Gue nggak mengerti sama sekali.” Kata Prita, “Dan soal… identitas asli Kay? Memangnya kenapa dengan identitasnya?”
“Itu…” Reina menggaruk-garuk kepalanya, “Lo harus janji dulu jangan kasih tahu ke siapa pun. Lo janji?”
“Iya, deh gue janji.” Kata Prita, “So?”
“Sebenarnya Kay itu…”

0 komentar:

Posting Komentar