Aku sudah berulang kali mengawasi akademi ini.
Akademi para pemburu kami, kaum Shadow. Aku cukup banyak melihat para remaja
dilatih di sini. Dan fokusku di sini adalah mengawasi Ilana, gadis yang menjadi
target untuk kutemukan, dan kulindungi.
Aku bersandar pada batang pohon di dekat
lapangan dengan rumput hijau segar, tempat para murid akademi berkumpul dan
berbaris seperti semut yang diperintah. Aku sempat geli melihat hal itu, yang
jarang terjadi di tempat tinggalku. Dan… kemudian aku melihatnya. Ilana datang
dengan kecepatan yang luar biasa dan membuat rambut hitamnya agak berantakan.
Kulihat dia berbicara pada temannya, dan kemudian berteriak-teriak memerintah
para murid baru.
Harus kuakui, sebenarnya ini pekerjaan
yang membosankan. Tapi, demi pangeran kami, sekaligus teman akrabku, Raven, aku
tidak bisa menolaknya. Apalagi kalau ini menyangkut keselamatan kami dan umat
manusia.
Dan, kuberitahu, perang sedang
berlangsung di sini.
Ponsel di saku mantelku bergetar. Dan
aku tidak perlu repot-repot untuk memikirkan siapa yang meneleponku sekarang.
“Ya, Raven,” aku menjawab sambil menatap
kearah lapangan hijau, “Aku sedang menjalankan tugasmu di sini.”
“Aku
tahu, dan karena itulah aku perlu memberitahumu sesuatu,” suara Raven yang
terdengar aneh.
“Oke… kuharap itu bukan berita buruk.”
Kataku sambil menguap.
“Kamu
ini terlalu santai, Gabby. Berhentilah untuk menguap dan menganggap semua ini
main-main.”
“Aku tidak pernah menganggap semua ini
main-main, kawan.” Kataku lagi, “Oke, apa beritanya?”
“Keadaan
semakin buruk. Kamu harus cepat-cepat meyakinkan Ilana agar tidak sampai diburu
oleh Verilo.” Katanya, “Verilo mulai
bertindak. Dia nyaris membunuh setengah dari orang-orang yang ikut dengan kita.”
“Lalu, bagaimana keadaan di sana?”
“Baik-baik
saja, tapi…”
“Apa? Apa yang terjadi, Raven, beritahu
aku.”
Raven diam di seberang telepon, dan aku
menunggu apa yang akan dikatakannya.
“Sekitar
15 orang sudah… tewas, tapi kita bukan lagi manusia, jadi…”
“Raven, kali ini kamu yang main-main.”
Selaku.
“Oh,
oh ya, maaf.” lalu jeda lagi, “Bella…
dia tewas.”
Aku yakin bulu kudukku meremang
mendengar Raven menyebut nama itu. Aku langsung terduduk tegak dan berusaha
untuk mencerna apa yang baru saja kudengar.
“Maaf, Raven, kamu bilang apa tadi?
Bella tewas? Bella-ku?!”
“Ya,
Gabby. Dia tewas. Dia bertarung melawan anak buah Verilo, Marcius.”
“Oh, tidak…” gumamku.
“Gabriel,
aku turut berduka cita. Tapi, kita tidak boleh menyerah sekarang.” kata Raven,
“Ilana adalah satu-satunya harapan kita.
Adikku itu akan membalaskan dendam Bella untukmu.”
Aku hanya diam, tidak mengatakan
apa-apa. Aku memikirkan Bella, sepupu sekaligus tunanganku yang seharusnya
kunikahi tidak lama lagi. Bella adalah gadis manis yang cantik, dan dia menjadi
salah satu pencetus sumber makanan baru bagi kami bersama Raven, yang menemukan
lebih dulu sumber tersebut. Bella adalah… orang kedua yang menerimaku tanpa
memerdulikan masa laluku.
Tapi, sekarang dia sudah tidak ada.
Tewas, dibunuh. Oleh Verilo dan antek-anteknya. Shadow pengkhianat yang
mengkudeta Raven dari tahtanya sebagai pangeran.
“Gabby,
kau masih di sana?”
“Ya. Aku masih di sini.” kataku sambil
menghela nafas, “Lalu, di mana kalian…”
“Menguburkannya?
Kami menguburkannya di dekat kuburan pengawalku, Dorian. Setidaknya, kami sudah
melakukan hal yang bisa kami lakukan untuk memberikan penghormatan terakhir…
aku minta maaf, Gabriel.”
“Tidak. tidak apa-apa. Kamu mau mengurus
penguburannya pun aku sudah bersyukur.” Kataku, “Terima kasih, Raven.”
“Sama-sama.
Baiklah, aku tidak akan mengganggu tugasmu lagi. Jika ada sesuatu, segera
hubungi aku.”
“Baiklah,”
Aku menutup telepon dan menghela nafas
sekali lagi. Aku masih memikirkan Bella. Seolah ada bagian dari diriku yang
ikut menghilang. Rasanya sakit…
Tidak.
Aku tidak boleh begini. Aku sedang dalam tugas. Kataku dalam hati. Kutekan daerah diantara kedua
mataku dan mengangguk pelan. Aku harus focus pada tugasku, karena kalau tidak,
pikiranku akan terus teralihkan pada Bella.
***
Aku melihat Ilana memasuki gedung asrama untuk para
pengajar akademi. Dia kelihatan lelah. Tentu saja, karena dia bekerja lebih
keras dari teman-temannya yang lain untuk mengatur para murid baru itu. Aku
sedikit kasihan padanya. Wajahnya sedikit pucat saat aku melihatnya menaiki
lift.
Aku menatap gedung asrama di hadapanku
dan sedikit mengernyit. Cukup tinggi, dengan 45 lantai, dan menurut informasi
yang kudapat, kamar Ilana ada di lantai paling atas, kamar yang memiliki balkon
yang menghadap langsung kearah matahari terbenam.
Aku melirik ke sekitarku, tidak ada
orang. Itu bagus. Aku berjongkok sedikit dan menatap bangunan di hadapanku.
Struktur batunya kokoh, dan aku bisa menapakinya dengan kedua kakiku. Oke, aku
perlu mengambil ancang-ancang untuk…
Dengan sekali hentak, aku berhasil
melompat ke balkon lantai 25. Aku menghentakkan kakiku sekali lagi, dan kali
ini aku sampai di balkon lantai teratas. Dan, harus kuakui, balkon lantai
teratas ini sangat berbeda dari lantai-lantai di bawahnya. Balkon ini dihiasi
bermacam-macam tanaman dan bunga, kebanyakan anggrek dan lavender. Tapi, ada
juga bunga mawar putih, merah, dan kuning di sudut lain dan terpisah dari
bunga-bunga yang lain. Sebuah kursi panjang lengkap dengan meja berada di dekat
kebun bunga mawar kecil itu, dengan sebuah payung besar menaungi.
Aku mendekat menuju pintu kaca yang
terhubung ke dalam kamar. Dari balik tirai tipis yang menutupi, aku bisa
melihat Ilana sedang berbicara dengan seseorang. Dan menilik dari suara yang
kudengar samar-samar, pasti yang sedang berbicara dengannya adalah kepala
akademi ini, Henry Savagers, orang yang mengadopsi Ilana.
“Kau benar.” kata Henry Savagers. “Aku
ingin mengajakmu makan malam di ruanganku. Sudah lama sekali kita tidak makan
malam bersama.”
“Anda bisa makan bersama Vanessa. Ia
adalah anak Anda. Saya sedang tidak berselera makan.” Kudengar Ilana membalas.
“Omong kosong. Kudengar dari Natalie kau
makan siang untuk porsi tiga orang.” Kata Henry lagi sambil terkekeh. “Tidak
ada yang menyangka kamu bernafsu makan besar, melihat dari tubuhmu yang mungil
itu.”
“Ikutlah makan malam bersama, Ilana.
Vanessa pasti senang kamu ikut bersama kami.”
“Akan kupikirkan. Sekarang, bisakah Anda
meninggalkanku untuk berganti baju? Anda tidak mau dikira orangtua mesum oleh
petugas keamanan asrama, kan?”
“Selalu bermulut tajam. Seperti biasa,” ujar
Henry, bisa kurasakan dia sedang tersenyum pada Ilana. “Aku akan menunggumu di
ruang makan di gedung utama. Sampai nanti, Ilana.”
Aku mendengar bunyi pintu yang terbuka
kemudian ditutup kembali, disertai helaan nafas yang kemungkinan berasal dari
Ilana. Kulihat gadis itu menatap kearah… tunggu. Dia menatap kearahku!?
Buru-buru aku menyembunyikan diri, dan
melihatnya mendekat ke jendela sekali lagi. Aku bisa merasakan keberadaannya
yang dekat denganku. Dan ternyata dia berdiri di dekatku di balik jendela ini.
Sekali lagi, aku mendengarnya menghela nafas. Kudengar langkah kakinya
meninggalkan jendela dan aku memutuskan untuk menunggu sebentar sebelum
benar-benar menemuinya.
Entah kenapa gadis ini membuatku sedikit
penasaran, terutama karena dia sama sekali tidak keluar dari kamarnya sampai
waktu makan malam.
***
Malam akhirnya tiba, dan dia benar-benar tidak pergi
keluar dari kamarnya. Aku melihat dari balik tirai tipis di jendela bahwa dia
belajar, kemudian mandi, lalu tiduran saja di ranjangnya sambil membaca buku.
Gadis ini sepertinya benar-benar menolak untuk makan malam bersama ayah
angkatnya. Aku tidak tahu apakah dia membenci beliau atau semacamnya, namun aku
merasa itu adalah hal yang bagus karena dia tidak pergi untuk makan malam
bersama orangtua itu.
Tiba-tiba gerakannya membuka buku
terhenti, dan kini dia menatap kearah jendela. Matanya seakan sedang
mengunciku. Kurasakan tatapannya menajam, dan dia perlahan berdiri, sambil
memegan sebilah pisau.
Oke, dia merasakan kehadiranku. Dan itu
baru terjadi sekarang? Aneh sekali.
Ilana perlahan mendekati jendela. Dan
dia menatap siluetku agak lama sebelum dia menyibak tirai. Saat itu juga aku
bergerak cepat memasuki kamarnya.
Jangan tanya bagaimana, kalau tidak aku
tidak akan punya kesempatan untuk mempraktekkan cara aku memasuki kamarnya
lagi.
Aku berdiri di belakangnya, dan dia
kelihatannya bingung karena tidak menemukan seorangpun di balik jendela.
“Kewaspadaanmu tinggi juga. Aku salut
kamu tidak berteriak atau takut melihat seseorang di beranda kamarmu.”
Tubuhnya menegang seketika dan menoleh
kearahku. Aku harus menahan tawa geli melihat emosi yang tergambar di wajahnya
berubah-ubah. Namun, ketika akhirnya dia mendapatkan kewaspadaannya kembali,
dia menghunuskan pisaunya kearahku, lengkap dengan mata dingin coklat gelapnya.
“Sedang apa Shadow sepertimu ada di
sini?” katanya dingin, “Darimana kamu masuk kemari?”
“Tidak baik seorang gadis bermain-main
dengan senjata.” Aku menyingkirkan pisau itu dari ujung hidungku, “Namaku
Gabriel Oyster. Dan, memang, aku seorang Shadow. Shadow yang ditugaskan untuk
menemukanmu.”
“Menemukanku? Apa maksudmu?” tanyanya
lagi dan kembali menghunuskan pisau.
Astaga… gadis ini suka sekali
mengacungkan pisau pada orang yang baru pertama kali di kenalnya, ya? Walau aku
adalah Shadow, tapi aku tidak terlalu suka ketika seseorang mengacungkan
senjata mereka di depan hidungku…
Tunggu. Konyol sekali pikiranku. Dia
ini, kan Huntress, jelas saja dia akan mengacungkan senjatanya kearahku karena
aku adalah ‘monster’ yang harus dia basmi.
“Untuk membantu kami melepaskan diri
dari kutukan. Dalam ramalan yang diberikan pada kami, kamulah orang yang akan
melepaskan kami, kaum Shadow, dari kutukan yang sudah membelenggu kami selama
ribuan tahun. Dan hanya keluarga kerajaan yang bisa melepaskan kami dari
kutukan itu.” kataku.
“Aku tidak mengerti apa maksudmu, tapi,
aku akan membunuhmu karena kamu berani-beraninya masuk ke dalam kamarku.” Katanya,
“Bersiaplah.”
Dia mulai menyerangku. Harus kuakui,
gerakannya sangat cepat dan cekatan. Dia nyaris mengenaiku beberapa kali, dan aku
berhasil menghindari serangannya. Namun, satu serangan luput kuhindari, dan
pisaunya yang cukup tajam itu mengenai pipiku. Kurasakan perih ketika logam
tajam itu mengenai kulit pipiku dan meninggalkan luka gores yang tidak terlalu
dalam, yang aku yakin akan menghilang tidak berbekas tidak lama lagi.
Salah satu keuntungan Shadow adalah,
luka kami akan sembuh dan kekuatan kami akan pulih kembali, tidak peduli
seberapa parah luka yang kami derita. Intinya, semakin kami terluka dan sembuh
kembali, kekuatan kami akan meningkat. Itu hal yang luar biasa, kecuali kalau
kelemahan kami diketahui. Itu akan menjadi mimpi buruk.
“Rupanya aku terlalu meremehkanmu.” Aku
mengusap pipiku yang tergores, “Kamu memang seperti yang dikatakan orang-orang,
cepat, dan gerakanmu nyaris tidak terlihat bahkan oleh Shadow sepertiku.”
“Kalau kau bisa mengejekku seperti itu,
itu artinya mulutmu perlu diajari.” Balasnya, dan tahu-tahu dia memukul perutku
dengan telak.
Ouch… pukulannya benar-benar
menyakitkan.
Tapi, tiba-tiba aku kehilangan
keseimbangan. Tubuhku terbanting ke lantai, dan kurasakan sesuatu menindihku.
Ilana, gadis itu, menindihku dan
menempelkan pisaunya di leherku. Tatapan matanya begitu tajam, dan sejenak, aku
merasa melihat tatapan Raven di matanya.
Mereka memang benar-benar bersaudara.
“Terlalu dekat,” kataku terbatuk-batuk
karena merasa nafasku sesak. “Dan terlalu kuat. Persis seperti yang
diceritakan.”
“Aku tidak tahu apa maumu padaku. Tapi,
aku tidak akan membiarkanmu keluar hidup-hidup dari sini.” katanya, “Sekarang,
bersiaplah untuk—”
“Tunggu dulu. Aku tidak berniat untuk
bertarung denganmu.” kataku sambil menepis pisaunya dariku. “Aku ingin
membicarakan sesuatu denganmu. Aku yakin kamu mendapat sebuah surat yang
menginginkanmu diserahkan atau akan ada peperangan.”
“Kamu tahu hal itu dari mana?” tanyanya
dengan raut wajah bingung.
Yah… tentu saja aku tahu karena aku yang
disangka mengirimkan surat itu pada Henry Savagers, padahal sebenarnya tidak.
“Tentu saja aku tahu.” aku mencoba
tersenyum meskipun badanku sakit karena ditindih olehnya, “Karena itulah aku
datang kemari, untuk memperingatkanmu, dan juga meminta bantuanmu.”
“Aku tidak percaya padamu.” katanya,
“Lebih baik kubunuh saja kamu sekarang.”
Uh-oh, dia benar-benar akan membunuhku?
Gawat! Aku harus mengatakan sesuatu sebelum pisau di tangannya menggorok
leherku.
Bukannya aku takut mati, tapi rasa sakit
karena merasakan kematian untuk kedua kalinya lebih menyakitkan daripada yang
pertama.
“Bagaimana kalau aku juga menceritakan
tentang kedua orangtuamu? Dan saudaramu yang masih hidup sampai sekarang dan
menjadi tawanan?”
“S, saudara?” dia bertanya lagi dengan
wajah bingung.
Oke… aku tahu aku setengah berbohong
padanya. Aku berbohong kalau Raven ditawan. Tapi, kalau aku tidak mengatakan
begitu, mungkin aku sudah mati untuk kedua kalinya sekarang. Maaf, Raven, aku
tidak bermaksud untuk membohongi adikmu ini. Tetapi, aku tidak punya alasan
lain.
“Ya.” aku mengangguk. “Saudaramu, dan
juga dirimu sedang dalam bahaya besar, yang kalau tidak diselesaikan, bisa
membuat dunia ini hancur.”
“Kamu juga tahu tentang… keluargaku?
Keluarga kandungku?” tanyanya. Dan kali ini, pisau itu sepenuhnya tidak
menempel pada leherku. Syukurlah, rasa dingin dari logam itu menghilang dari
kulitku sepenuhnya.
“Aku tentu saja tahu, karena saudaramu
sendiri yang memintaku untuk menemuimu.” ujarku, “Dan… kamu mungkin tidak akan
percaya, tapi kamu adalah salah satu dari keturunan Selene Edelweiss dan Arslan
Beverill yang tersisa.”
Dia mengerutkan kening semakin dalam.
Kurasa dia tahu nama Selene Edelweiss. Yeah…
tentu saja dia tahu. Itu pengetahuan dasar jika ingin menjadi seorang Hunter.
“Selene Edelweiss… tunggu, bukankah itu
nama…”
Aku mengangguk pelan. Dia tahu siapa
pemilik nama itu.
“Selene Edelweiss adalah Huntress
terkuat, dan Arslan Beverill adalah Shadow tertua yang sudah hidup ribuan tahun
sekaligus orang yang menjadi orangtuamu.”
“Orangtuaku adalah Selene Edelweiss?”
dia kelihatan bertanya pada dirinya sendiri, “Tapi, bukankah Selene Edelweiss
itu…”
“Manusia abadi pertama? Ya. Dia juga
yang mendirikan akademi ini ribuan tahun lalu, kalau kamu tidak tahu.” kataku.
“Aku tentu saja tahu.” katanya sambil
merengut. “Kamu bilang aku masih punya saudara. Dia ada di mana sekarang?”
Aku mengerutkan kening sebentar, “Aku
akan memberitahumu,” kataku, “Asalkan kamu menyingkir dari tubuhku supaya aku
bisa duduk dan tidak kesakitan karena berat badanmu menindihku.”
Dia mengerjapkan mata bingung. Kemudian
menatap posisi tubuhnya yang memang
menindih tubuhku. Kulihat rona merah merambat di pipinya dan dengan cepat dia
melepaskanku dari tindihannya.
“Terima kasih.” Kataku sambil duduk
tegak dan mengernyit merasakan bahuku agak sakit. Pasti karena aku terbanting
tadi.
Aku menoleh menatap Ilana yang balas
menatapku dengan tatapan datar. Ya ampun… gadis ini bahkan memiliki tatapan
sedatar tembok seperti Raven.
Benar-benar kakak beradik yang sangat
mirip.
“Di mana saudaraku? Apa dia adikku?
Atau—”
“Kakak.” Kataku, “Usianya lebih tua tiga
tahun darimu.”
Dia mengangguk-angguk dan mulutnya
membentuk huruf ‘O’. Rambutnya agak bergoyang karena gerakan kepalanya.
“Kamu bilang aku adalah anak dari Selene
Edelweiss dan Arslan Beverill. Bagaimana mungkin manusia menikah dengan
Shadow?”
“Gampang saja jawabannya. Karena Arslan
Beverill tidak pernah memangsa manusia.”
“Hah?”
“Itu… cerita yang cukup panjang.”
Kataku, “Aku akan menceritakannya nanti. Tapi, kalau kamu ingin kepastian kalau
kamu memang putri Selene dan Arslan, kamu bisa mencarinya di perpustakaan
akademi. Aku yakin di sini ada perpustakaan, kan?”
“Tentu saja.” dia menjawab, “Lalu,
kakakku ditawan? Kenapa?”
“Karena dia mengikuti jejak ayahnya,
tidak memangsa manusia. Para tetua kami tidak menyetujui hal itu karena manusia
adalah sumber makanan kami yang paling utama. Dan dia mengikuti jejak Arslan,
menemukan sumber makanan baru, dan akhirnya… mulai sembuh.”
“Sembuh? Maksudnya?”
“Kalau kamu mempelajari tentang kami,
tentu kamu tahu kalau kami menjadi Shadow karena kami terkena suatu virus yang masih
belum diketahui darimana asalnya.” Kataku, “Tapi, ada kemungkinan, ibumu,
Selene, adalah orang pertama yang terkena virus itu. Karena itulah dia menjadi
abadi, tidak bisa mati.”
“Tapi, dalam sejarah Hunter yang kutahu,
Selene Edelweiss meninggal karena dibunuh oleh Shadow.” Katanya, “Bagaimana
mungkin sejarah bisa salah?”
Aku memutar bola mataku mendengar
kepolosannya. Sungguh, apa dia tidak pernah tahu konspirasi dan… semacamnya?
Aku tidak terlalu mengerti istilah-istilah politik, dan tidak berniat untuk
mendalaminya.
“Mungkin kamu harus membaca lagi tentang
sejarah itu.” kataku, “Tapi, aku benar-benar jujur padamu kalau kamu memang
keturunan Selene Edelweiss yang tersisa, bersama kakakmu tentu saja.”
Matanya menunduk menatap tangannya. Dan
aku melihat samar-samar bahwa bahunya gemetar. Uh-oh, apa dia menangis?
“Aku… aku masih punya keluarga?” katanya
lirih, dia mendongak, dan aku jelas melihat matanya berkaca-kaca, tapi tidak
sampai menangis.
“Ya… kamu masih punya keluarga. Harus
berapa kali aku mengatakannya padamu?” aku mulai jengkel.
Dia tersenyum dan aku sempat tertegun
melihat senyumnya. Benar-benar… manis?
Tidak. Mungkin lebih tepatnya, menawan.
Ya, menawan…
“Tadi… namamu Gabriel Oyster, ya?”
katanya, tangannya terulur menyentuh tanganku. “Kamu bisa dipercaya.”
Aku menatap tangannya yang menyentuh
tanganku. “Kamu seorang Pembaca Perasaan, ya?” tanyaku sedikit bergurau.
“Entahlah,” dia mengedikkan bahu. Di
matanya tidak ada lagi rasa curiga, “Aku selalu bisa merasakan apakah seseorang
baik atau tidak hanya dengan menyentuh mereka. Dulu aku sempat berpikiran
kemampuanku adalah membaca perasaan orang lain. Tapi, sepertinya bukan itu,
mengingat katamu tadi, ibuku adalah Selene Edelweiss.”
Aku mengangguk. Selene Edelweiss, Hunter
terkuat sekaligus manusia abadi pertama yang kutahu memiliki banyak kemampuan
hebat. Dan Raven mewarisi beberapa kemampuan itu. Sebut saja seperti
telekinesis dan kemampuan mengendalikan api.
Ilana berdiri dan dia mengulurkan
tangannya. Aku menyambutnya dan ikut berdiri. Dan, wow, aku baru sadar, dia
lebih mungil dariku. Matanya sejajar dengan dadaku.
Matanya yang berwarna coklat gelap itu
tahu-tahu berubah menjadi biru bening. Persis sama seperti kaum Shadow, memang.
Tapi, di wajahnya, mata biru itu tampak pas sekali. Dengan rambut hitamnya, dia
tampak seperti boneka. Boneka cantik nan mungil. Tanganku menyentuh sudut
matanya dan dia sedikit tersentak.
“Maaf,” aku menarik tanganku, “Matamu
sama seperti kaum Shadow. Tapi aku merasa itu adalah mata paling cantik yang
belum pernah kulihat sebelumnya.”
Pipinya lagi-lagi merona merah dan mau
tidak mau aku tersenyum. Gadis ini gampang sekali tersipu malu. Berbeda sekali
dengan sikap yang ditunjukkannya di hadapan orang lain.
“Apa kamu berusaha merayuku?” tanyanya.
“Setahuku, hanya ada satu orang yang pernah mengatakan hal yang nyaris sama
seperti itu.”
“Aku tidak berusaha merayumu. Dan, aku
merasa sedikit sakit hati karena aku menjadi orang kedua yang mengatakan hal
itu padamu.”
Dia mengerjap dengan mulut sedikit
terbuka. Kelihatan kaget dengan jawabanku barusan. Dan juga, kenapa aku
kedengaran menggombal seperti ini? Apa karena dia manis? Menawan?
Oh, yang benar saja. Aku masih
memikirkan Bella.
“Y, ya… kuterima pujian itu.” katanya.
Kemudian menoleh kearah pintu kamarnya, “Sebaiknya kamu pergi dari sini. Salah
seorang petugas keamanan asrama akan segera datang memeriksa kamarku, dan kalau
kamu tidak segera pergi, mereka akan menyerangmu. Apalagi kamu… seorang
Shadow.”
Ya. Itu benar. Aku akan mati jika aku
tidak segera pergi. Aku juga mulai merasakan ada seseorang yang sedang mendekat
kemari.
“Oke. Aku akan pergi,” aku mengangguk,
“Tapi, jika kamu ingin mendengar cerita tentang keluargamu, kamu bisa
memanggilku kapanpun kamu mau.”
“Benarkah? Bagaimana caranya?” tanyanya.
Aku tersenyum dan menyelipkan sejumput
rambut hitamnya yang halus ke belakang telinganya.
“Karena aku ditugaskan untuk mengawalmu.
Dan aku akan selalu ada di dekatmu walau kamu tidak bisa melihatku ada di
mana.”
“Oh ya?” dia bertanya dengan menantang.
“Lalu, bagaimana aku bisa memanggilmu kalau kamu saja tidak kelihatan di
mataku?”
“Gampang,” aku tersenyum lebar, “Cukup
panggil namaku tiga kali dalam hatimu, dan aku akan datang.”
Dia mendengus, setengah geli mendengar
jawabanku.
Kami berdua menoleh bersamaan ketika
mendengar pintu diketuk.
“Sebaiknya aku pergi.” Aku meraih dan
mencium punggung tangannya, “Sampai bertemu lagi.”
Dan aku berbalik, membuka jendela, lalu
berlari secepat kilat meninggalkan kamar itu.
0 komentar:
Posting Komentar