Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Hunter Academy ~ Bloodline - Chapter 3



Aku sudah berulang kali mengawasi akademi ini. Akademi para pemburu kami, kaum Shadow. Aku cukup banyak melihat para remaja dilatih di sini. Dan fokusku di sini adalah mengawasi Ilana, gadis yang menjadi target untuk kutemukan, dan kulindungi.
Aku bersandar pada batang pohon di dekat lapangan dengan rumput hijau segar, tempat para murid akademi berkumpul dan berbaris seperti semut yang diperintah. Aku sempat geli melihat hal itu, yang jarang terjadi di tempat tinggalku. Dan… kemudian aku melihatnya. Ilana datang dengan kecepatan yang luar biasa dan membuat rambut hitamnya agak berantakan. Kulihat dia berbicara pada temannya, dan kemudian berteriak-teriak memerintah para murid baru.

Harus kuakui, sebenarnya ini pekerjaan yang membosankan. Tapi, demi pangeran kami, sekaligus teman akrabku, Raven, aku tidak bisa menolaknya. Apalagi kalau ini menyangkut keselamatan kami dan umat manusia.
Dan, kuberitahu, perang sedang berlangsung di sini.
Ponsel di saku mantelku bergetar. Dan aku tidak perlu repot-repot untuk memikirkan siapa yang meneleponku sekarang.
“Ya, Raven,” aku menjawab sambil menatap kearah lapangan hijau, “Aku sedang menjalankan tugasmu di sini.”
Aku tahu, dan karena itulah aku perlu memberitahumu sesuatu,” suara Raven yang terdengar aneh.
“Oke… kuharap itu bukan berita buruk.” Kataku sambil menguap.
Kamu ini terlalu santai, Gabby. Berhentilah untuk menguap dan menganggap semua ini main-main.
“Aku tidak pernah menganggap semua ini main-main, kawan.” Kataku lagi, “Oke, apa beritanya?”
Keadaan semakin buruk. Kamu harus cepat-cepat meyakinkan Ilana agar tidak sampai diburu oleh Verilo.” Katanya, “Verilo mulai bertindak. Dia nyaris membunuh setengah dari orang-orang yang ikut dengan kita.
“Lalu, bagaimana keadaan di sana?”
Baik-baik saja, tapi…
“Apa? Apa yang terjadi, Raven, beritahu aku.”
Raven diam di seberang telepon, dan aku menunggu apa yang akan dikatakannya.
Sekitar 15 orang sudah… tewas, tapi kita bukan lagi manusia, jadi…
“Raven, kali ini kamu yang main-main.” Selaku.
Oh, oh ya, maaf.” lalu jeda lagi, “Bella… dia tewas.
Aku yakin bulu kudukku meremang mendengar Raven menyebut nama itu. Aku langsung terduduk tegak dan berusaha untuk mencerna apa yang baru saja kudengar.
“Maaf, Raven, kamu bilang apa tadi? Bella tewas? Bella-ku?!”
Ya, Gabby. Dia tewas. Dia bertarung melawan anak buah Verilo, Marcius.
“Oh, tidak…” gumamku.
Gabriel, aku turut berduka cita. Tapi, kita tidak boleh menyerah sekarang.” kata Raven, “Ilana adalah satu-satunya harapan kita. Adikku itu akan membalaskan dendam Bella untukmu.
Aku hanya diam, tidak mengatakan apa-apa. Aku memikirkan Bella, sepupu sekaligus tunanganku yang seharusnya kunikahi tidak lama lagi. Bella adalah gadis manis yang cantik, dan dia menjadi salah satu pencetus sumber makanan baru bagi kami bersama Raven, yang menemukan lebih dulu sumber tersebut. Bella adalah… orang kedua yang menerimaku tanpa memerdulikan masa laluku.
Tapi, sekarang dia sudah tidak ada. Tewas, dibunuh. Oleh Verilo dan antek-anteknya. Shadow pengkhianat yang mengkudeta Raven dari tahtanya sebagai pangeran.
Gabby, kau masih di sana?
“Ya. Aku masih di sini.” kataku sambil menghela nafas, “Lalu, di mana kalian…”
Menguburkannya? Kami menguburkannya di dekat kuburan pengawalku, Dorian. Setidaknya, kami sudah melakukan hal yang bisa kami lakukan untuk memberikan penghormatan terakhir… aku minta maaf, Gabriel.
“Tidak. tidak apa-apa. Kamu mau mengurus penguburannya pun aku sudah bersyukur.” Kataku, “Terima kasih, Raven.”
Sama-sama. Baiklah, aku tidak akan mengganggu tugasmu lagi. Jika ada sesuatu, segera hubungi aku.
“Baiklah,”
Aku menutup telepon dan menghela nafas sekali lagi. Aku masih memikirkan Bella. Seolah ada bagian dari diriku yang ikut menghilang. Rasanya sakit…
Tidak. Aku tidak boleh begini. Aku sedang dalam tugas. Kataku dalam hati. Kutekan daerah diantara kedua mataku dan mengangguk pelan. Aku harus focus pada tugasku, karena kalau tidak, pikiranku akan terus teralihkan pada Bella.

***

Aku melihat Ilana memasuki gedung asrama untuk para pengajar akademi. Dia kelihatan lelah. Tentu saja, karena dia bekerja lebih keras dari teman-temannya yang lain untuk mengatur para murid baru itu. Aku sedikit kasihan padanya. Wajahnya sedikit pucat saat aku melihatnya menaiki lift.
Aku menatap gedung asrama di hadapanku dan sedikit mengernyit. Cukup tinggi, dengan 45 lantai, dan menurut informasi yang kudapat, kamar Ilana ada di lantai paling atas, kamar yang memiliki balkon yang menghadap langsung kearah matahari terbenam.
Aku melirik ke sekitarku, tidak ada orang. Itu bagus. Aku berjongkok sedikit dan menatap bangunan di hadapanku. Struktur batunya kokoh, dan aku bisa menapakinya dengan kedua kakiku. Oke, aku perlu mengambil ancang-ancang untuk…
Dengan sekali hentak, aku berhasil melompat ke balkon lantai 25. Aku menghentakkan kakiku sekali lagi, dan kali ini aku sampai di balkon lantai teratas. Dan, harus kuakui, balkon lantai teratas ini sangat berbeda dari lantai-lantai di bawahnya. Balkon ini dihiasi bermacam-macam tanaman dan bunga, kebanyakan anggrek dan lavender. Tapi, ada juga bunga mawar putih, merah, dan kuning di sudut lain dan terpisah dari bunga-bunga yang lain. Sebuah kursi panjang lengkap dengan meja berada di dekat kebun bunga mawar kecil itu, dengan sebuah payung besar menaungi.
Aku mendekat menuju pintu kaca yang terhubung ke dalam kamar. Dari balik tirai tipis yang menutupi, aku bisa melihat Ilana sedang berbicara dengan seseorang. Dan menilik dari suara yang kudengar samar-samar, pasti yang sedang berbicara dengannya adalah kepala akademi ini, Henry Savagers, orang yang mengadopsi Ilana.
“Kau benar.” kata Henry Savagers. “Aku ingin mengajakmu makan malam di ruanganku. Sudah lama sekali kita tidak makan malam bersama.”
“Anda bisa makan bersama Vanessa. Ia adalah anak Anda. Saya sedang tidak berselera makan.” Kudengar Ilana membalas.
“Omong kosong. Kudengar dari Natalie kau makan siang untuk porsi tiga orang.” Kata Henry lagi sambil terkekeh. “Tidak ada yang menyangka kamu bernafsu makan besar, melihat dari tubuhmu yang mungil itu.”
“Ikutlah makan malam bersama, Ilana. Vanessa pasti senang kamu ikut bersama kami.”
“Akan kupikirkan. Sekarang, bisakah Anda meninggalkanku untuk berganti baju? Anda tidak mau dikira orangtua mesum oleh petugas keamanan asrama, kan?”
“Selalu bermulut tajam. Seperti biasa,” ujar Henry, bisa kurasakan dia sedang tersenyum pada Ilana. “Aku akan menunggumu di ruang makan di gedung utama. Sampai nanti, Ilana.”
Aku mendengar bunyi pintu yang terbuka kemudian ditutup kembali, disertai helaan nafas yang kemungkinan berasal dari Ilana. Kulihat gadis itu menatap kearah… tunggu. Dia menatap kearahku!?
Buru-buru aku menyembunyikan diri, dan melihatnya mendekat ke jendela sekali lagi. Aku bisa merasakan keberadaannya yang dekat denganku. Dan ternyata dia berdiri di dekatku di balik jendela ini. Sekali lagi, aku mendengarnya menghela nafas. Kudengar langkah kakinya meninggalkan jendela dan aku memutuskan untuk menunggu sebentar sebelum benar-benar menemuinya.
Entah kenapa gadis ini membuatku sedikit penasaran, terutama karena dia sama sekali tidak keluar dari kamarnya sampai waktu makan malam.

***

Malam akhirnya tiba, dan dia benar-benar tidak pergi keluar dari kamarnya. Aku melihat dari balik tirai tipis di jendela bahwa dia belajar, kemudian mandi, lalu tiduran saja di ranjangnya sambil membaca buku. Gadis ini sepertinya benar-benar menolak untuk makan malam bersama ayah angkatnya. Aku tidak tahu apakah dia membenci beliau atau semacamnya, namun aku merasa itu adalah hal yang bagus karena dia tidak pergi untuk makan malam bersama orangtua itu.
Tiba-tiba gerakannya membuka buku terhenti, dan kini dia menatap kearah jendela. Matanya seakan sedang mengunciku. Kurasakan tatapannya menajam, dan dia perlahan berdiri, sambil memegan sebilah pisau.
Oke, dia merasakan kehadiranku. Dan itu baru terjadi sekarang? Aneh sekali.
Ilana perlahan mendekati jendela. Dan dia menatap siluetku agak lama sebelum dia menyibak tirai. Saat itu juga aku bergerak cepat memasuki kamarnya.
Jangan tanya bagaimana, kalau tidak aku tidak akan punya kesempatan untuk mempraktekkan cara aku memasuki kamarnya lagi.
Aku berdiri di belakangnya, dan dia kelihatannya bingung karena tidak menemukan seorangpun di balik jendela.
“Kewaspadaanmu tinggi juga. Aku salut kamu tidak berteriak atau takut melihat seseorang di beranda kamarmu.”
Tubuhnya menegang seketika dan menoleh kearahku. Aku harus menahan tawa geli melihat emosi yang tergambar di wajahnya berubah-ubah. Namun, ketika akhirnya dia mendapatkan kewaspadaannya kembali, dia menghunuskan pisaunya kearahku, lengkap dengan mata dingin coklat gelapnya.
“Sedang apa Shadow sepertimu ada di sini?” katanya dingin, “Darimana kamu masuk kemari?”
“Tidak baik seorang gadis bermain-main dengan senjata.” Aku menyingkirkan pisau itu dari ujung hidungku, “Namaku Gabriel Oyster. Dan, memang, aku seorang Shadow. Shadow yang ditugaskan untuk menemukanmu.”
“Menemukanku? Apa maksudmu?” tanyanya lagi dan kembali menghunuskan pisau.
Astaga… gadis ini suka sekali mengacungkan pisau pada orang yang baru pertama kali di kenalnya, ya? Walau aku adalah Shadow, tapi aku tidak terlalu suka ketika seseorang mengacungkan senjata mereka di depan hidungku…
Tunggu. Konyol sekali pikiranku. Dia ini, kan Huntress, jelas saja dia akan mengacungkan senjatanya kearahku karena aku adalah ‘monster’ yang harus dia basmi.
“Untuk membantu kami melepaskan diri dari kutukan. Dalam ramalan yang diberikan pada kami, kamulah orang yang akan melepaskan kami, kaum Shadow, dari kutukan yang sudah membelenggu kami selama ribuan tahun. Dan hanya keluarga kerajaan yang bisa melepaskan kami dari kutukan itu.” kataku.
“Aku tidak mengerti apa maksudmu, tapi, aku akan membunuhmu karena kamu berani-beraninya masuk ke dalam kamarku.” Katanya, “Bersiaplah.”
Dia mulai menyerangku. Harus kuakui, gerakannya sangat cepat dan cekatan. Dia nyaris mengenaiku beberapa kali, dan aku berhasil menghindari serangannya. Namun, satu serangan luput kuhindari, dan pisaunya yang cukup tajam itu mengenai pipiku. Kurasakan perih ketika logam tajam itu mengenai kulit pipiku dan meninggalkan luka gores yang tidak terlalu dalam, yang aku yakin akan menghilang tidak berbekas tidak lama lagi.
Salah satu keuntungan Shadow adalah, luka kami akan sembuh dan kekuatan kami akan pulih kembali, tidak peduli seberapa parah luka yang kami derita. Intinya, semakin kami terluka dan sembuh kembali, kekuatan kami akan meningkat. Itu hal yang luar biasa, kecuali kalau kelemahan kami diketahui. Itu akan menjadi mimpi buruk.
“Rupanya aku terlalu meremehkanmu.” Aku mengusap pipiku yang tergores, “Kamu memang seperti yang dikatakan orang-orang, cepat, dan gerakanmu nyaris tidak terlihat bahkan oleh Shadow sepertiku.”
“Kalau kau bisa mengejekku seperti itu, itu artinya mulutmu perlu diajari.” Balasnya, dan tahu-tahu dia memukul perutku dengan telak.
Ouch… pukulannya benar-benar menyakitkan.
Tapi, tiba-tiba aku kehilangan keseimbangan. Tubuhku terbanting ke lantai, dan kurasakan sesuatu menindihku.
Ilana, gadis itu, menindihku dan menempelkan pisaunya di leherku. Tatapan matanya begitu tajam, dan sejenak, aku merasa melihat tatapan Raven di matanya.
Mereka memang benar-benar bersaudara.
“Terlalu dekat,” kataku terbatuk-batuk karena merasa nafasku sesak. “Dan terlalu kuat. Persis seperti yang diceritakan.”
“Aku tidak tahu apa maumu padaku. Tapi, aku tidak akan membiarkanmu keluar hidup-hidup dari sini.” katanya, “Sekarang, bersiaplah untuk—”
“Tunggu dulu. Aku tidak berniat untuk bertarung denganmu.” kataku sambil menepis pisaunya dariku. “Aku ingin membicarakan sesuatu denganmu. Aku yakin kamu mendapat sebuah surat yang menginginkanmu diserahkan atau akan ada peperangan.”
“Kamu tahu hal itu dari mana?” tanyanya dengan raut wajah bingung.
Yah… tentu saja aku tahu karena aku yang disangka mengirimkan surat itu pada Henry Savagers, padahal sebenarnya tidak.
“Tentu saja aku tahu.” aku mencoba tersenyum meskipun badanku sakit karena ditindih olehnya, “Karena itulah aku datang kemari, untuk memperingatkanmu, dan juga meminta bantuanmu.”
“Aku tidak percaya padamu.” katanya, “Lebih baik kubunuh saja kamu sekarang.”
Uh-oh, dia benar-benar akan membunuhku? Gawat! Aku harus mengatakan sesuatu sebelum pisau di tangannya menggorok leherku.
Bukannya aku takut mati, tapi rasa sakit karena merasakan kematian untuk kedua kalinya lebih menyakitkan daripada yang pertama.
“Bagaimana kalau aku juga menceritakan tentang kedua orangtuamu? Dan saudaramu yang masih hidup sampai sekarang dan menjadi tawanan?”
“S, saudara?” dia bertanya lagi dengan wajah bingung.
Oke… aku tahu aku setengah berbohong padanya. Aku berbohong kalau Raven ditawan. Tapi, kalau aku tidak mengatakan begitu, mungkin aku sudah mati untuk kedua kalinya sekarang. Maaf, Raven, aku tidak bermaksud untuk membohongi adikmu ini. Tetapi, aku tidak punya alasan lain.
“Ya.” aku mengangguk. “Saudaramu, dan juga dirimu sedang dalam bahaya besar, yang kalau tidak diselesaikan, bisa membuat dunia ini hancur.”
“Kamu juga tahu tentang… keluargaku? Keluarga kandungku?” tanyanya. Dan kali ini, pisau itu sepenuhnya tidak menempel pada leherku. Syukurlah, rasa dingin dari logam itu menghilang dari kulitku sepenuhnya.
“Aku tentu saja tahu, karena saudaramu sendiri yang memintaku untuk menemuimu.” ujarku, “Dan… kamu mungkin tidak akan percaya, tapi kamu adalah salah satu dari keturunan Selene Edelweiss dan Arslan Beverill yang tersisa.”
Dia mengerutkan kening semakin dalam. Kurasa dia tahu nama Selene Edelweiss. Yeah… tentu saja dia tahu. Itu pengetahuan dasar jika ingin menjadi seorang Hunter.
“Selene Edelweiss… tunggu, bukankah itu nama…”
Aku mengangguk pelan. Dia tahu siapa pemilik nama itu.
“Selene Edelweiss adalah Huntress terkuat, dan Arslan Beverill adalah Shadow tertua yang sudah hidup ribuan tahun sekaligus orang yang menjadi orangtuamu.”
“Orangtuaku adalah Selene Edelweiss?” dia kelihatan bertanya pada dirinya sendiri, “Tapi, bukankah Selene Edelweiss itu…”
“Manusia abadi pertama? Ya. Dia juga yang mendirikan akademi ini ribuan tahun lalu, kalau kamu tidak tahu.” kataku.
“Aku tentu saja tahu.” katanya sambil merengut. “Kamu bilang aku masih punya saudara. Dia ada di mana sekarang?”
Aku mengerutkan kening sebentar, “Aku akan memberitahumu,” kataku, “Asalkan kamu menyingkir dari tubuhku supaya aku bisa duduk dan tidak kesakitan karena berat badanmu menindihku.”
Dia mengerjapkan mata bingung. Kemudian menatap posisi tubuhnya yang memang menindih tubuhku. Kulihat rona merah merambat di pipinya dan dengan cepat dia melepaskanku dari tindihannya.
“Terima kasih.” Kataku sambil duduk tegak dan mengernyit merasakan bahuku agak sakit. Pasti karena aku terbanting tadi.
Aku menoleh menatap Ilana yang balas menatapku dengan tatapan datar. Ya ampun… gadis ini bahkan memiliki tatapan sedatar tembok seperti Raven.
Benar-benar kakak beradik yang sangat mirip.
“Di mana saudaraku? Apa dia adikku? Atau—”
“Kakak.” Kataku, “Usianya lebih tua tiga tahun darimu.”
Dia mengangguk-angguk dan mulutnya membentuk huruf ‘O’. Rambutnya agak bergoyang karena gerakan kepalanya.
“Kamu bilang aku adalah anak dari Selene Edelweiss dan Arslan Beverill. Bagaimana mungkin manusia menikah dengan Shadow?”
“Gampang saja jawabannya. Karena Arslan Beverill tidak pernah memangsa manusia.”
“Hah?”
“Itu… cerita yang cukup panjang.” Kataku, “Aku akan menceritakannya nanti. Tapi, kalau kamu ingin kepastian kalau kamu memang putri Selene dan Arslan, kamu bisa mencarinya di perpustakaan akademi. Aku yakin di sini ada perpustakaan, kan?”
“Tentu saja.” dia menjawab, “Lalu, kakakku ditawan? Kenapa?”
“Karena dia mengikuti jejak ayahnya, tidak memangsa manusia. Para tetua kami tidak menyetujui hal itu karena manusia adalah sumber makanan kami yang paling utama. Dan dia mengikuti jejak Arslan, menemukan sumber makanan baru, dan akhirnya… mulai sembuh.”
“Sembuh? Maksudnya?”
“Kalau kamu mempelajari tentang kami, tentu kamu tahu kalau kami menjadi Shadow karena kami terkena suatu virus yang masih belum diketahui darimana asalnya.” Kataku, “Tapi, ada kemungkinan, ibumu, Selene, adalah orang pertama yang terkena virus itu. Karena itulah dia menjadi abadi, tidak bisa mati.”
“Tapi, dalam sejarah Hunter yang kutahu, Selene Edelweiss meninggal karena dibunuh oleh Shadow.” Katanya, “Bagaimana mungkin sejarah bisa salah?”
Aku memutar bola mataku mendengar kepolosannya. Sungguh, apa dia tidak pernah tahu konspirasi dan… semacamnya? Aku tidak terlalu mengerti istilah-istilah politik, dan tidak berniat untuk mendalaminya.
“Mungkin kamu harus membaca lagi tentang sejarah itu.” kataku, “Tapi, aku benar-benar jujur padamu kalau kamu memang keturunan Selene Edelweiss yang tersisa, bersama kakakmu tentu saja.”
Matanya menunduk menatap tangannya. Dan aku melihat samar-samar bahwa bahunya gemetar. Uh-oh, apa dia menangis?
“Aku… aku masih punya keluarga?” katanya lirih, dia mendongak, dan aku jelas melihat matanya berkaca-kaca, tapi tidak sampai menangis.
“Ya… kamu masih punya keluarga. Harus berapa kali aku mengatakannya padamu?” aku mulai jengkel.
Dia tersenyum dan aku sempat tertegun melihat senyumnya. Benar-benar… manis?
Tidak. Mungkin lebih tepatnya, menawan. Ya, menawan…
“Tadi… namamu Gabriel Oyster, ya?” katanya, tangannya terulur menyentuh tanganku. “Kamu bisa dipercaya.”
Aku menatap tangannya yang menyentuh tanganku. “Kamu seorang Pembaca Perasaan, ya?” tanyaku sedikit bergurau.
“Entahlah,” dia mengedikkan bahu. Di matanya tidak ada lagi rasa curiga, “Aku selalu bisa merasakan apakah seseorang baik atau tidak hanya dengan menyentuh mereka. Dulu aku sempat berpikiran kemampuanku adalah membaca perasaan orang lain. Tapi, sepertinya bukan itu, mengingat katamu tadi, ibuku adalah Selene Edelweiss.”
Aku mengangguk. Selene Edelweiss, Hunter terkuat sekaligus manusia abadi pertama yang kutahu memiliki banyak kemampuan hebat. Dan Raven mewarisi beberapa kemampuan itu. Sebut saja seperti telekinesis dan kemampuan mengendalikan api.
Ilana berdiri dan dia mengulurkan tangannya. Aku menyambutnya dan ikut berdiri. Dan, wow, aku baru sadar, dia lebih mungil dariku. Matanya sejajar dengan dadaku.
Matanya yang berwarna coklat gelap itu tahu-tahu berubah menjadi biru bening. Persis sama seperti kaum Shadow, memang. Tapi, di wajahnya, mata biru itu tampak pas sekali. Dengan rambut hitamnya, dia tampak seperti boneka. Boneka cantik nan mungil. Tanganku menyentuh sudut matanya dan dia sedikit tersentak.
“Maaf,” aku menarik tanganku, “Matamu sama seperti kaum Shadow. Tapi aku merasa itu adalah mata paling cantik yang belum pernah kulihat sebelumnya.”
Pipinya lagi-lagi merona merah dan mau tidak mau aku tersenyum. Gadis ini gampang sekali tersipu malu. Berbeda sekali dengan sikap yang ditunjukkannya di hadapan orang lain.
“Apa kamu berusaha merayuku?” tanyanya. “Setahuku, hanya ada satu orang yang pernah mengatakan hal yang nyaris sama seperti itu.”
“Aku tidak berusaha merayumu. Dan, aku merasa sedikit sakit hati karena aku menjadi orang kedua yang mengatakan hal itu padamu.”
Dia mengerjap dengan mulut sedikit terbuka. Kelihatan kaget dengan jawabanku barusan. Dan juga, kenapa aku kedengaran menggombal seperti ini? Apa karena dia manis? Menawan?
Oh, yang benar saja. Aku masih memikirkan Bella.
“Y, ya… kuterima pujian itu.” katanya. Kemudian menoleh kearah pintu kamarnya, “Sebaiknya kamu pergi dari sini. Salah seorang petugas keamanan asrama akan segera datang memeriksa kamarku, dan kalau kamu tidak segera pergi, mereka akan menyerangmu. Apalagi kamu… seorang Shadow.”
Ya. Itu benar. Aku akan mati jika aku tidak segera pergi. Aku juga mulai merasakan ada seseorang yang sedang mendekat kemari.
“Oke. Aku akan pergi,” aku mengangguk, “Tapi, jika kamu ingin mendengar cerita tentang keluargamu, kamu bisa memanggilku kapanpun kamu mau.”
“Benarkah? Bagaimana caranya?” tanyanya.
Aku tersenyum dan menyelipkan sejumput rambut hitamnya yang halus ke belakang telinganya.
“Karena aku ditugaskan untuk mengawalmu. Dan aku akan selalu ada di dekatmu walau kamu tidak bisa melihatku ada di mana.”
“Oh ya?” dia bertanya dengan menantang. “Lalu, bagaimana aku bisa memanggilmu kalau kamu saja tidak kelihatan di mataku?”
“Gampang,” aku tersenyum lebar, “Cukup panggil namaku tiga kali dalam hatimu, dan aku akan datang.”
Dia mendengus, setengah geli mendengar jawabanku.
Kami berdua menoleh bersamaan ketika mendengar pintu diketuk.
“Sebaiknya aku pergi.” Aku meraih dan mencium punggung tangannya, “Sampai bertemu lagi.”
Dan aku berbalik, membuka jendela, lalu berlari secepat kilat meninggalkan kamar itu.

0 komentar:

Posting Komentar