Room 282 : "Aria's Journal"

Di sini adalah tempatku menuangkan semua pikiranku, baik itu novel, cerpen, maupun tulisan lainnya. Semoga kalian semua terhibur dan senang membaca semua tulisan yang ada di blog ini. Happy reading!

Farewell Rain - Chapter 4



Kay dan Reina berangkat bersama seperti biasa. Dan Reina juga bersikap seperti biasanya, berbeda dengan Kay yang kelihatan kacau karena masih setengah sadar dari tidurnya. Bagaimana nggak kacau kalau Reina sudah ‘berpatroli’ di kamarnya dan membangunkannya pagi-pagi.
“Kay, ingat, ya, hari ini kamu harus menemaniku ke ruang kesenian.” Kata Reina.
“Iya… aku tahu.” jawab Kay sambil menguap, “Aku masih mengantuk…”
“Salah sendiri tidur larut malam.” Tegur Reina sambil terkekeh, “Eh, siniin deh telinga kamu.”
“Hmm?”
Kay mendekatkan telinganya kearah Reina. Dan gadis itu mencium pipinya hingga membuat Kay tersadar beberapa detik kemudian. Cowok itu buru-buru menarik wajahnya sementara Reina terkekeh pelan.
“Reina…”
“Habisnya, kamu masih merem-melek begitu.” kata Reina, “Makanya tidur, tuh, jangan larut malam.”
Kay hendak membalas lagi, tapi tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya dan akhirnya dia hanya mengacak-acak rambut Reina sampai gadis itu minta ampun.

***

Kay baru saja menyantap bakso pesanannya ketika Reina datang sambil tersenyum lebar. Gadis itu tidak sendiri. Ada Prita mengekor di belakangnya.
“Hai, kita berdua gabung di sini, ya?” kata Reina, dan tanpa menunggu jawaban dari Kay, dia duduk di kursi di sebelah cowok itu dan menyabotase bakso Kay.
“Reina! Beli sendiri sono!” kata Kay sambil merebut kembali mangkuk baksonya.
“Iiih… Kay, aku, kan juga lapar.” Balas Reina sambil mencomot satu pentol dari mangkuk Kay.
Kay hanya mencibir dan memakan baksonya, sementara Prita hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah dua orang di hadapannya itu.
“Kalian itu kayak orang lagi pacaran saja.” kata Prita. “Jangan rebutan makanan begitu, dong.”
“Dia duluan, nih.” kata Kay sambil melahap sesendok mie ke dalam mulutnya. “Kalau mau bakso, beli sendiri sana.”
“Yee… Kay begitu, ya sekarang? Awas saja, nanti nggak kubelikan minuman kesukaanmu, lho!” ancam Reina.
“Biar saja.” Kay membalas sambil meleletkan lidah.
Reina membalas dengan mencubit pingggang Kay hingga cowok itu meringis. Prita lagi-lagi hanya bisa menggelengkan kepalanya.
“Oh ya, bagaimana pendaftaran ekstrakurikuler tadi, Reina? Lancar, kan?” tanya Prita.
“Iya, berjalan lancar.” Jawab Reina sambil tersenyum, “Aku hanya mengisi formulir pendaftaran, dan disuruh membuat rekaman video untuk perkenalan anggota baru. Hanya itu saja, kok.”
Prita manggut-manggut.
“Kay, nanti malam, temani aku mengambil paket yang dikirimkan Kak Rion di jasa pengiriman, ya?” kata Reina.
Reina memang memiliki kakak, namanya Rion, dan sekarang sedang kuliah di Jepang, menekuni bidang budaya dan seni music yang sesuai dengan hobinya, menyanyi.
“Lho? Memangnya Kak Rion mengirim apa padamu?” tanya Kay bingung.
“Aku minta sama Kak Rion kalau aku mau CD album PENTATONIX yang rilis di sana dan beberapa benda lainnya.” Kata Reina, “Temani aku, ya, Kay?”
“Apa biasanya aku selalu menolak permintaanmu?” tanya Kay balik.
Reina menggeleng, kemudian tersenyum lebar, “Jadi kamu mau menemani aku?”
“Iya, nanti kutemani. Tapi, nanti sore, ya? Hari ini aku ada jadwal mengajar.”
“Oke.” Reina tersenyum lebar.
“Memangnya lo mengajar privat apa, Kay?” tanya Prita, yang memang sudah tahu kalau Kay biasa mengajar privat.
“Bahasa Inggris dan Matematika.”
“Kamu bisa Matematika?”
“Kalau iya, memang kenapa?” tanya Kay balik. “Mau diajari juga?”
“Kalau gratis, boleh dong…” Prita terkekeh.
“Enak saja. Gue mengajar privat itu untuk uang jajanku per bulan, tahu.” sungut Kay, membuat Reina dan Prita tertawa.
“Tapi, bukannya keluarga lo cukup kaya? Apa lo nggak pernah minta uang saku bulanan dengan orangtua lo?” kata Prita.
Reina terdiam mendengar pertanyaan Prita dan melirik kearah Kay yang menghentikan sesendok penuh pentol bakso yang sedang dalam perjalanan menuju mulutnya.
“Err… Prita, kayaknya lo berlebi—”
“Orangtua gue bercerai dan nyokap gue nggak terlalu peduli dengan gue. Dia lebih mementingkan karirnya dibandingkan mengurus gue.” kata Kay datar, kemudian memakan baksonya pelan-pelan.
“Oh…” Prita manggut-manggut, tidak menyadari kalau pertanyaannya tadi membuat baik Kay maupun Reina sedikit tidak nyaman.
Bel tanda masuk kelas berbunyi nyaring di seluruh penjuru kantin dan sekolah.
“Sudah bel masuk, tuh,” kata Prita, “Rei, ke kelas, yuk!”
“Lo duluan saja, deh. Gue mau ngomong sebentar dengan Kay.”
“Oh, ya sudah deh. Sampai ketemu di kelas, ya?”
Reina mengangguk. Setelah Prita tidak kelihatan lagi, Reina menoleh kearah Kay yang sedang meminum es teh dengan sedotan.
“Mmm… Kay, maaf ya kalau pertanyaan Prita tadi sedikit—”
“Nggak apa-apa, kok. Aku sudah terbiasa.” Kata Kay sambil tersenyum, “Kamu nggak perlu khawatir aku bakal sedih atau apa. Lagipula aku bukan anak kecil lagi.”
Reina menatap Kay yang tersenyum dan menunduk.
“Tapi, tetap saja… aku minta maaf karena Prita menanyakan hal tadi. Aku jadi nggak enak sama kamu.” kata Reina lagi.
“Nggak apa-apa, Reina. Serius deh.” kata Kay menepuk kepala Reina, “Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku baik-baik saja, dan nggak akan kenapa-kenapa. Percaya sama aku.”
Reina menatap Kay lagi, dan kali ini dia mengangguk pelan. Kay menyambutnya dengan tersenyum lebar.
“Sekarang, masuk kelas sana. Nanti sore, aku akan mengantarmu mengambil paket dari Kak Rion.” Kata Kay.
“Kita bareng ke kelas, ya? Kelas kita, kan searah.” Balas Reina.
“Oke, ayo.”
Setelah membayar makanannya, Kay menggenggam tangan Reina. Bersama-sama, mereka berdua berjalan meninggalkan kantin, tanpa tahu ada seseorang yang sedang mengawasi mereka.

***

Kay baru saja menyelesaikan mengajar privat ketika ponslenya tiba-tiba berbunyi. Dia menatap sebentar layar ponselnya yang berkedip-kedip dengan tulisan “Rumah memanggil…”
“Ya? Ada apa, Bi?”
Anu, Tuan Kay, Nyonya sudah datang.” kata Bi Ijah takut-takut, “Nyonya bilang… mau bicara sama Tuan Kay.
Kay hanya menghembuskan nafas berat dan membereskan buku-bukunya.
“Bilang saja sama Mama, aku nggak bakal pulang ke rumah sampai malam.” Kata Kay, “Aku ada urusan penting. Kalau Mama memaksa, bilang saja tunggu sampai aku pulang.”
B, baik, Tuan Kay…” kata Bi Ijah.
“Bi Ijah nggak perlu takut. Kalau Mama marah, bilang saja ke Kay. Nanti biar Kay yang urus.” Ujar Kay, “Oh ya, nanti tolong buatkan aku nasi uduk, ya? Aku sudah lama nggak makan nasi uduk buatan Bibi. Sama kerupuk udang juga.”
O, oh iya, Tuan Kay. Nanti Bibi buatkan.
Kay menutup telepon dan memasukkan ponselnya ke dalam saku celananya. Setelah pamit pada orangtua murid yang diajarnya, Kay segera mengambil sepeda yang tadi dipakainya dan pergi ke rumah Reina.  Jarak dari tempat dia mengajar les privat dengan komplek perumahannya tidak terlalu jauh, dan bisa ditempuh dengan sepeda. Kay sudah sering menerima tawaran menjadi guru les privat, dan orang-orang di sekitar komplek perumahannya sering meminta bantuannya. Semua orang mengenal Kay bukan sebagai putra artis terkenal, Maria Allendra, orang-orang itu lebih mengenal Kay sebagai Kay, tanpa pernah tahu kalau ia adalah seorang putra selebriti.
Kay menghentikan sepedanya di depan pagar rumah Reina dan melihat gadis itu sedang duduk di teras rumahnya sambil membaca buku, yang kemungkinan besar novel. Kay tersenyum kecil. Memang begitulah Reina, tidak pernah terpisahkan dengan buku.
“Hei, gadis kutu buku!”
Reina mengerjap dan memandang ke depan. Senyumnya melebar ketika dia melihat Kay di depan pagar rumahnya sambil melambaikan tangan kearahnya. Gadis itu lalu menyimpan novelnya ke dalam tas dan berlari ke dalam rumah. Kay samar-samar mendengar suara riang Reina yang pamit pada ibunya di dalam. Beberapa saat kemudian, gadis itu sudah kembali ke luar dan menghampiri Kay.
“Maaf, baru datang. Sudah lama menunggu?” tanya Kay.
“Nggak, kok. Aku baru saja membaca sepuluh halaman saat kamu datang.” kata Reina.
“Sepuluh halaman? Sedikit sekali.”
“Itu karena kamu terlalu cepat datang.” kata Reina terkekeh, “Makanya, datang itu yang ngaret sedikit, deh… jadi aku bisa baca novelnya sampai tiga puluh halaman lebih.”
“Kamu ini…” Kay menjitak pelan kepala Reina dan membiarkan gadis itu naik ke boncengan sepedanya.
“Eh, eh, Kay,”
“Apa?”
“Aku… boleh duduk di depanmu tidak?” tanya Reina.
“Hah?” Kay menoleh kearah Reina yang menatapnya polos. “Apa maksudnya, nih? Jangan manja, deh…”
“Hehehe…” Reina terkekeh dan memeluk pinggang Kay, “Ayo, kita jalan! Tujuan kita, taman!”
“Hah?!”
“Bercanda, bercanda… ayo kita ambil paket dari kakakku.”
Kay hanya menggeleng-gelengkan kepala melihat tingkah laku Reina dan mulai mengayuh sepedanya.

***

“Katamu hanya ingin mengambil paket saja…” keluh Kay sambil mengikuti Reina ke dalam kafe coklat favorit mereka.
“Aku lupa kalau aku ingin membeli coklat.” Reina nyengir lebar sambil mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V, “Ayolah… hanya sebentar, kok.”
Kay hanya bisa cemberut mendengarnya. Tapi dia tetap mengikuti Reina.
Gadis itu kelihatan senang saat masuk ke dalam kafe. Dan mau tidak mau Kay merasa senang juga melihat Reina kelihatan ceria.
Reina berdiri di depan etalase yang menunjukkan berbagai macam kue yang terbuat dari coklat.
“Kamu mau yang mana, Kay?”
“Hah?”
“Kue-kue ini…” Reina menunjuk kearah etalase. “Aku mau membelikanmu sebagai tanda terima kasih karena kamu mau menemaniku sore ini.”
“Tidak perlu. Aku sedang tidak ingin makan makanan manis.” jawab Kay.
“Ayolah, Kay. Kamu harus mencoba kue-kue di kafe ini. Rasanya lebih enak dari yang biasanya.” Bujuk Reina.
“Aku tidak mau…” Kay menggeleng, “Kamu tidak perlu repot-repot membelikanku sesuatu, Reina.”
“Tapi, aku mau—”
“Kay?”
Mereka berdua menoleh ke asal suara itu. Mata Reina sedikit melebar ketika melihat seorang gadis berusia tiga tahun lebih muda darinya dan berpakaian sangat modis. Rambutnya dicat kecokelatan dan bulu matanya sangat lentik. Reina sempat mengira itu bulu mata palsu, tapi melihat bulu mata itu melekat kuat di kelopak mata gadis itu, tidak mungkin kan itu palsu? Pandangannya beralih pada penampilan si gadis. Secara penampilan, gadis itu kelihatan dewasa dengan dress ketat berwarna hijau yang dipadukan dengan stocking berwarna pink gelap serta sepatu berhak tinggi yang kelihatannya bisa saja menancap di kepala seseorang.
“Hai, Gina.”
“Ternyata benar kamu! Kukira aku salah menyapa orang.” Gadis bernama Gina itu berseru riang sambil memeluk Kay.
Mata Reina membelalak melihat adegan itu dan menatap Kay bingung sementara cowok itu sendiri kelihatna tidak enak dipeluk oleh Gina.
“Aku tidak menyangka kita bertemu di sini. Kata pembantumu di rumah, kamu sedang keluar…” kata Gina.
“Kenapa kamu ke rumah? Kalau kamu mencari ibuku, beliau selalu tidak ada di rumah kecuali saat makan malam.” Balas Kay.
“Siapa bilang aku ingin bertemu dengan ibumu? Aku, kan ingin bertemu denganmu…”
“Kay, dia siapa?” tanya Reina, memotong ucapan Gina.
Gina melirik kearah Reina dengan tatapan merendahkan dan tersenyum kecil.
“Ah, dia… Regina Paramitha. Lawan main ibuku di serial drama yang sekarang sedang dibintanginya. Aku lupa apa namanya.” Kata Kay, “Gina, ini Reina Novilia. Dia…”
“… pasti temanmu, kan?” sambung Gina. “Aku yakin dia hanya teman kamu, Kay.”
“Bukan. Aku pacarnya.” Kata Reina, membuat Gina dan Kay kaget mendengarnya.
Reina sendiri sebenarnya juga kaget dia bisa mengatakan hal itu. Tapi, dia tidak suka melihat Gina menempel terlalu dekat dengan Kay. Entah kenapa hatinya terasa sakit melihat Gina memeluk dan berbicara dengan nada genit seperti itu pada Kay.
Ia berjalan ke sisi Kay dan memegang tangan cowok itu.
“Aku pacarnya Kay. Senang berkenalan denganmu, Regina.” Kata Reina sambil tersenyum manis.
Ekspresi pada wajah Regina benar-benar ingin membuat Reina tertawa saat itu. Wajah Regina kelihatan seperti ikan yang kehabisan udara. Benar-benar sangat lucu!
Regina kelihatan siap-siap ingin mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Dia hanya menatap Reina dan Kay bolak-balik.
“Kamu tidak pernah bilang kalau kamu punya pacar, Kay.” Kata Regina akhirnya, “Sejak kapan kalian pacaran? Kata Tante Maria, Kay tidak pernah punya pacar…”
“Kami baru saja jadian.” Jawab Reina, “Hari ini sudah tiga bulan kami jadian. Iya, kan Kay?”
“Hah? Eh, iya… hari ini hari jadi kami.” Kata Kay kaget. “Sudah dulu, ya, Gina. Sampai jumpa lagi.”
Kay langsung mengajak Reina keluar dari kafe dan membiarkan Regina yang masih menatap mereka dengan tidak percaya.
Sesampainya di luar dan berjalan cukup jauh dari kafe, Kay tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa terbahak-bahak. Reina juga ikut tertawa. Terutama setelah melihat reaksi terakhir di wajah Regina tadi.
“Serius, deh… wajahnya lucu banget!” kata Reina di sela-sela tawanya, “Itu… benar-benar wow!”
“Iya.” Kay mengangguk setuju, “Tapi, kenapa kamu malah bilang ke dia kalau kita pacaran?”
“Kamu nggak suka? Kulihat kamu nggak senang dengan Regina itu.” jawab Reina polos.
“Err…”
Reina tertawa melihat wajah Kay yang memerah.
“Jangan tertawa deh, Reina.” sungut Kay sambil cemberut.
“Hahaha… maaf, maaf… habisnya wajah kamu lucu banget sih, Kay…” kata Reina. “Ya sudah deh, kita pulang saja, yuk! Nanti di rumah kamu aku pinjam dapur, ya.”
“Buat apa?”
“Kan aku sudah bilang,” Reina tersenyum lebar, “Sebagai tanda terima kasih. Karena kita tadi nggak jadi beli kue. Setidaknya, aku akan membuatkanmu kue buatanku sendiri sebagai gantinya.”
“Memangnya kamu bisa bikin kue?” tanya Kay. “Jangan-jangan kuenya nggak enak, lagi…”
“Tenang saja… akhir-akhir ini aku sering belajar memasak dengan Bi Ijah, pembantu di rumahmu kalau kamu nggak ada di rumah. Dan Bi Ijah tahu masakan apa yang bisa bikin kamu ketagihan.” Ujar Reina.

***

“Aku tidak menyangka kamu benar-benar bisa membuat masakan favoritku.” kata Kay sambil menatap meja makan di hadapannya.
Reina tersenyum lebar dan menuangkan segelas air putih untuk Kay. Mereka berdua duduk bersebelahan di depan meja makan yang dihiasi oleh semangkuk besar nasi uduk, gurame asam-manis, kerupuk udang, dan juga kue lumpur, yang dibuat oleh Reina.
“Tentu saja aku bisa. Lagipula, untuk apa aku belajar sama Bi Ijah kalau begitu?” kata Reina sambil mengambilkan Kay sepiring penuh nasi uduk dan kerupuk udang.
“Aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi.” kata Kay sambil tertawa, “Aku akan mencoba kue buatanmu terlebih dulu. Aku sudah lama tidak makan kue lumpur.”
“Silakan saja, dan bersiaplah untuk mengatakan kalau aku adalah koki yang hebat.” Ujar Reina.
“Kita lihat saja…” Kay tersenyum lebar dan mengambil satu kue lumpur lau memakannya.
Reina menanti pendapat Kay yang mengunyah kue buatannya dengan tidak sabar.
“Bagaimana? Enak tidak?” tanya Reina.
“Hmm… mau jawaban jujur atau bohong?” Kay balik bertanya.
“Iih… Kay!! Aku serius nih!” kata Reina, “Enak atau tidak?”
“Enak, kok. Rasa manisnya aku suka.” Kata Kay terkekeh, “Wajahnya jangan ditekuk begitu dong. Jelek tahu!”
“Habisnya… kamu bercanda melulu sih!” Reina memberengut dan memalingkan wajah.
Kay tertawa melihat Reina cemberut dan mencubit pipi gadis itu. Reina meleletkan lidahnya pada Kay dan mengambil sepiring nasi uduk untuk dirinya sendiri. Dan Reina sebenarnya tidak benar-benar marah. Dia hanya kesal saja. Ini pertama kali dia memasak kue kesukaan Kay, dan dia selalu ingin melakukannya sejak kecil karena dia tahu Kay suka makan makanan manis dan tradisional seperti kue lumpur.
Mereka berdua makan dalam diam. Reina melirik sekilas kearah Kay yang makan dengan lahap. Dia masih kepikiran dengan Regina Paramitha yang tadi mereka temui. Kay kelihatan akrab dengan Regina, dan begitu juga dengan Regina. Reina tidak tahu mereka kenal di mana, mungkin benar Regina adalah lawan main ibu Kay, tapi dia tidak pernah melihat gadis itu sebelumnya.
“Ngg… Kay,”
“Ya?”
“Regina tadi itu… benar-benar lawan main Tante Maria?” tanya Reina.
“Kamu nggak percaya?”
“Susah percaya dengan omonganmu yang kadang-kadang nggak nyambung.” Celetuk Reina kesal, “Aku serius, Kay. Dia kelihatan… akrab sama kamu. Jadi… ya…”
“Kamu cemburu?” tebak Kay.
“Hah? M, mana mungkin aku cemburu!” kata Reina keras, “Habisnya, dia kelihatan genit banget sama kamu, terus kamu juga mau saja dekat-dekat dia. Aku, kan jadi kayak kambing congek tadi.”
Kay mengerjap mendengar ucapan Reina dan lagi-lagi tertawa.
“Astaga… Reina, aku nggak mungkin suka dekat-dekat dengan dia.” kata Kay, “Lagipula dia bukan tipeku, kalau kamu merujuk pada tipe cewek kesukaanku.”
“Y, ya… terus, apa dong? Kalau kamu nggak suka dekat-dekat dia, kenapa kamu mau saja tadi ditempelin sama dia?” sungut Reina.
“Begini, ya, Reina cantik,” kata Kay, “Regina itu lawan main Mama di drama serial TV yang baru tayang akhir-akhir ini. Aku dikenalkan Mama saat acara makan malam di hotel waktu itu. Dari awal, dia memang kelihatan banget mengincarku—”
“Tuh, kan… benar! Kamu suka ya dengan dia?” tanya Reina menyela.
“Aduh… dengar dulu sampai selesai, dong. Baru kamu boleh mengambil kesimpulan apa aku suka dengannya.” Kay tersenyum geli melihat Reina yang kelihatan tidak sabar.
Gadis itu jarang bersikap tidak sabaran. Hari ini Reina kelihatan aneh dengan sikap tidak sabarannya itu.
Setelah Reina terlihat tidak akan menyela lagi, Kay melanjutkan ceritanya.
“Regina memang mengincarku. Dia kelihatan ngebet banget jadiin aku pacarnya. Tapi, aku yang nggak suka. Kenapa? Karena dia terlalu menor. Kamu nggak lihat dandanannya tadi? Bedak di wajahnya tebal banget. Terus bajunya terlalu ketat, dan dia… lebih tua dari aku.”
“Hah?! Lebih tua?!”
“Kamu percaya kalau aku bilang umur Regina itu 26 tahun?” kata Kay menahan tawa. “Please deh, Rei… aku nggak mungkin suka sama tante-tante. Dia juga sudah pernah menikah, tapi cerai sekitar 2 tahun lalu. Mana mau aku dibilang berondong yang lagi cari jodoh dengan janda!”
Kali ini, Reina yang tertawa. Dia tidak menyangka Regina Paramitha usianya lebih tua 8 tahun dari mereka berdua. Dan kalau diingat-ingat lagi, memang dandanan Regina sangat menor, tebal banget! Bajunya juga kelihatan lebih kecil satu ukuran dibanding ukuran asli Regina.
“Nah, sekarnag kamu bisa menyimpulkan, apa aku mau dengan tante-tante yang mencari berondong buat dipacarin?” tanya Kay.
“Ah, iya… hehehe… maaf, Kay. Habisnya, aku kesal sih tadi.” kata Reina. “Dia menempel terus padamu, aku jadi seperti obat nyamuk.”
Kay tertawa dan memberi Reina satu kue lumpur. Gadis itu menerimanya dan memakannya dengan lahap.
“Makanya, kamu jangan gampang kesal. Lain kali, kalau belum tahu apa-apa, jangan bersuara dulu, tunggu kujelaskan atau seseorang yang akan menjelaskannya padamu.” Kata Kay.
“Iya, Kay sayang…”
“Aku baru tahu kita pacaran. Sejak kapan?” goda Kay, yang lagi-lagi disambut dengan wajah cemberut Reina yang semakin lucu.
“Kay!!!”

***

Reina bersandar pada bahu Kay yang sedang asyik bermain PSP. Gadis itu sesekali tertawa melihat wajah Kay yang memberengut karena kalah dalam game yang sedang dimainkannya.
“Reina,”
“Apa?”
“Kamu… apa tidak ingin berpacaran?” tanya Kay.
“Kenapa kamu menanyakan itu?” tanya Reina balik. Sedikit bingung dengan pertanyaan cowok itu.
“Err… ya… kamu tahu Stevan, kan? Yang pernah mengajakmu jalan-jalan itu?”
“Aku tahu. Memangnya kenapa?” tanya Reina, “Ah! Jangan-jangan kamu mau menjodohkan aku dengannya, ya? Kamu disogok sama dia, ya? Kay! Kamu kok tega sih!?”
“Aku nggak bilang mau menjodohkan kamu.” kata Kay, “Dia hanya… sering menanyakan soal kamu ke aku, seperti apa makanan kesukaanmu, hobi yang kamu suka, dan apa saja kegiatan kamu. Kamu tahu sendiri kalau aku nggak suka ditanya macam-macam soal seperti itu. Bukan hanya dia saja, tapi penggemarmu yang lain.”
“Hee…”
“Jangan pasang wajah bego begitu, deh, Reina.” Kay mementil dahi Reina.
“Iih, Kay jahil, deh!” kata Reina sambil mementil dahi cowok itu balik.
Reina tertawa dan memakan makanannya. Sesekali dia melirik kearah Kay yang makan lebih lahap darinya. Ia hanya tersenyum ketika melihat Kay juga melirik kearahnya.
“Kay, lain kali, aku buatkan nasi uduk juga, ya? Kamu mau jadi pencicip pertama?” tanya Reina.
“Boleh saja, asal bisa dimakan…” kata Kay, yang langsung disambut Reina dengan meringis.

0 komentar:

Posting Komentar