Kay dan Reina berangkat bersama seperti biasa.
Dan Reina juga bersikap seperti biasanya, berbeda dengan Kay yang kelihatan
kacau karena masih setengah sadar dari tidurnya. Bagaimana nggak kacau kalau
Reina sudah ‘berpatroli’ di kamarnya dan membangunkannya pagi-pagi.
“Kay, ingat, ya, hari ini kamu
harus menemaniku ke ruang kesenian.” Kata Reina.
“Salah sendiri tidur larut malam.”
Tegur Reina sambil terkekeh, “Eh, siniin deh telinga kamu.”
“Hmm?”
Kay mendekatkan telinganya kearah
Reina. Dan gadis itu mencium pipinya hingga membuat Kay tersadar beberapa detik
kemudian. Cowok itu buru-buru menarik wajahnya sementara Reina terkekeh pelan.
“Reina…”
“Habisnya, kamu masih merem-melek
begitu.” kata Reina, “Makanya tidur, tuh, jangan larut malam.”
Kay hendak membalas lagi, tapi
tidak ada kata-kata yang keluar dari mulutnya dan akhirnya dia hanya
mengacak-acak rambut Reina sampai gadis itu minta ampun.
***
Kay baru saja menyantap bakso pesanannya ketika
Reina datang sambil tersenyum lebar. Gadis itu tidak sendiri. Ada Prita
mengekor di belakangnya.
“Hai, kita berdua gabung di sini,
ya?” kata Reina, dan tanpa menunggu jawaban dari Kay, dia duduk di kursi di
sebelah cowok itu dan menyabotase bakso Kay.
“Reina! Beli sendiri sono!” kata
Kay sambil merebut kembali mangkuk baksonya.
“Iiih… Kay, aku, kan juga lapar.”
Balas Reina sambil mencomot satu pentol dari mangkuk Kay.
Kay hanya mencibir dan memakan
baksonya, sementara Prita hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah dua orang
di hadapannya itu.
“Kalian itu kayak orang lagi
pacaran saja.” kata Prita. “Jangan rebutan makanan begitu, dong.”
“Dia duluan, nih.” kata Kay sambil
melahap sesendok mie ke dalam mulutnya. “Kalau mau bakso, beli sendiri sana.”
“Yee… Kay begitu, ya sekarang? Awas
saja, nanti nggak kubelikan minuman kesukaanmu, lho!” ancam Reina.
“Biar saja.” Kay membalas sambil
meleletkan lidah.
Reina membalas dengan mencubit
pingggang Kay hingga cowok itu meringis. Prita lagi-lagi hanya bisa
menggelengkan kepalanya.
“Oh ya, bagaimana pendaftaran
ekstrakurikuler tadi, Reina? Lancar, kan?” tanya Prita.
“Iya, berjalan lancar.” Jawab Reina
sambil tersenyum, “Aku hanya mengisi formulir pendaftaran, dan disuruh membuat
rekaman video untuk perkenalan anggota baru. Hanya itu saja, kok.”
Prita manggut-manggut.
“Kay, nanti malam, temani aku
mengambil paket yang dikirimkan Kak Rion di jasa pengiriman, ya?” kata Reina.
Reina memang memiliki kakak,
namanya Rion, dan sekarang sedang kuliah di Jepang, menekuni bidang budaya dan
seni music yang sesuai dengan hobinya, menyanyi.
“Lho? Memangnya Kak Rion mengirim
apa padamu?” tanya Kay bingung.
“Aku minta sama Kak Rion kalau aku
mau CD album PENTATONIX yang rilis di sana dan beberapa benda lainnya.” Kata
Reina, “Temani aku, ya, Kay?”
“Apa biasanya aku selalu menolak
permintaanmu?” tanya Kay balik.
Reina menggeleng, kemudian
tersenyum lebar, “Jadi kamu mau menemani aku?”
“Iya, nanti kutemani. Tapi, nanti
sore, ya? Hari ini aku ada jadwal mengajar.”
“Oke.” Reina tersenyum lebar.
“Memangnya lo mengajar privat apa,
Kay?” tanya Prita, yang memang sudah tahu kalau Kay biasa mengajar privat.
“Bahasa Inggris dan Matematika.”
“Kamu bisa Matematika?”
“Kalau iya, memang kenapa?” tanya
Kay balik. “Mau diajari juga?”
“Kalau gratis, boleh dong…” Prita
terkekeh.
“Enak saja. Gue mengajar privat itu
untuk uang jajanku per bulan, tahu.” sungut Kay, membuat Reina dan Prita tertawa.
“Tapi, bukannya keluarga lo cukup
kaya? Apa lo nggak pernah minta uang saku bulanan dengan orangtua lo?” kata
Prita.
Reina terdiam mendengar pertanyaan
Prita dan melirik kearah Kay yang menghentikan sesendok penuh pentol bakso yang
sedang dalam perjalanan menuju mulutnya.
“Err… Prita, kayaknya lo berlebi—”
“Orangtua gue bercerai dan nyokap
gue nggak terlalu peduli dengan gue. Dia lebih mementingkan karirnya
dibandingkan mengurus gue.” kata Kay datar, kemudian memakan baksonya
pelan-pelan.
“Oh…” Prita manggut-manggut, tidak
menyadari kalau pertanyaannya tadi membuat baik Kay maupun Reina sedikit tidak
nyaman.
Bel tanda masuk kelas berbunyi
nyaring di seluruh penjuru kantin dan sekolah.
“Sudah bel masuk, tuh,” kata Prita,
“Rei, ke kelas, yuk!”
“Lo duluan saja, deh. Gue mau
ngomong sebentar dengan Kay.”
“Oh, ya sudah deh. Sampai ketemu di
kelas, ya?”
Reina mengangguk. Setelah Prita
tidak kelihatan lagi, Reina menoleh kearah Kay yang sedang meminum es teh
dengan sedotan.
“Mmm… Kay, maaf ya kalau pertanyaan
Prita tadi sedikit—”
“Nggak apa-apa, kok. Aku sudah
terbiasa.” Kata Kay sambil tersenyum, “Kamu nggak perlu khawatir aku bakal
sedih atau apa. Lagipula aku bukan anak kecil lagi.”
Reina menatap Kay yang tersenyum
dan menunduk.
“Tapi, tetap saja… aku minta maaf
karena Prita menanyakan hal tadi. Aku jadi nggak enak sama kamu.” kata Reina
lagi.
“Nggak apa-apa, Reina. Serius deh.”
kata Kay menepuk kepala Reina, “Nggak ada yang perlu dikhawatirkan. Aku
baik-baik saja, dan nggak akan kenapa-kenapa. Percaya sama aku.”
Reina menatap Kay lagi, dan kali
ini dia mengangguk pelan. Kay menyambutnya dengan tersenyum lebar.
“Sekarang, masuk kelas sana. Nanti
sore, aku akan mengantarmu mengambil paket dari Kak Rion.” Kata Kay.
“Kita bareng ke kelas, ya? Kelas
kita, kan searah.” Balas Reina.
“Oke, ayo.”
Setelah membayar makanannya, Kay
menggenggam tangan Reina. Bersama-sama, mereka berdua berjalan meninggalkan
kantin, tanpa tahu ada seseorang yang sedang mengawasi mereka.
***
Kay baru saja menyelesaikan mengajar privat ketika
ponslenya tiba-tiba berbunyi. Dia menatap sebentar layar ponselnya yang
berkedip-kedip dengan tulisan “Rumah memanggil…”
“Ya? Ada apa, Bi?”
“Anu, Tuan Kay, Nyonya sudah datang.” kata Bi Ijah takut-takut, “Nyonya bilang… mau bicara sama Tuan Kay.”
Kay hanya menghembuskan nafas berat
dan membereskan buku-bukunya.
“Bilang saja sama Mama, aku nggak
bakal pulang ke rumah sampai malam.” Kata Kay, “Aku ada urusan penting. Kalau
Mama memaksa, bilang saja tunggu sampai aku pulang.”
“B, baik, Tuan Kay…” kata Bi Ijah.
“Bi Ijah nggak perlu takut. Kalau
Mama marah, bilang saja ke Kay. Nanti biar Kay yang urus.” Ujar Kay, “Oh ya,
nanti tolong buatkan aku nasi uduk, ya? Aku sudah lama nggak makan nasi uduk
buatan Bibi. Sama kerupuk udang juga.”
“O, oh iya, Tuan Kay. Nanti Bibi buatkan.”
Kay menutup telepon dan memasukkan
ponselnya ke dalam saku celananya. Setelah pamit pada orangtua murid yang
diajarnya, Kay segera mengambil sepeda yang tadi dipakainya dan pergi ke rumah
Reina. Jarak dari tempat dia mengajar
les privat dengan komplek perumahannya tidak terlalu jauh, dan bisa ditempuh
dengan sepeda. Kay sudah sering menerima tawaran menjadi guru les privat, dan
orang-orang di sekitar komplek perumahannya sering meminta bantuannya. Semua
orang mengenal Kay bukan sebagai putra artis terkenal, Maria Allendra,
orang-orang itu lebih mengenal Kay sebagai Kay, tanpa pernah tahu kalau ia
adalah seorang putra selebriti.
Kay menghentikan sepedanya di depan
pagar rumah Reina dan melihat gadis itu sedang duduk di teras rumahnya sambil
membaca buku, yang kemungkinan besar novel. Kay tersenyum kecil. Memang
begitulah Reina, tidak pernah terpisahkan dengan buku.
“Hei, gadis kutu buku!”
Reina mengerjap dan memandang ke
depan. Senyumnya melebar ketika dia melihat Kay di depan pagar rumahnya sambil
melambaikan tangan kearahnya. Gadis itu lalu menyimpan novelnya ke dalam tas
dan berlari ke dalam rumah. Kay samar-samar mendengar suara riang Reina yang
pamit pada ibunya di dalam. Beberapa saat kemudian, gadis itu sudah kembali ke
luar dan menghampiri Kay.
“Maaf, baru datang. Sudah lama
menunggu?” tanya Kay.
“Nggak, kok. Aku baru saja membaca
sepuluh halaman saat kamu datang.” kata Reina.
“Sepuluh halaman? Sedikit sekali.”
“Itu karena kamu terlalu cepat
datang.” kata Reina terkekeh, “Makanya, datang itu yang ngaret sedikit, deh…
jadi aku bisa baca novelnya sampai tiga puluh halaman lebih.”
“Kamu ini…” Kay menjitak pelan
kepala Reina dan membiarkan gadis itu naik ke boncengan sepedanya.
“Eh, eh, Kay,”
“Apa?”
“Aku… boleh duduk di depanmu tidak?”
tanya Reina.
“Hah?” Kay menoleh kearah Reina
yang menatapnya polos. “Apa maksudnya, nih? Jangan manja, deh…”
“Hehehe…” Reina terkekeh dan
memeluk pinggang Kay, “Ayo, kita jalan! Tujuan kita, taman!”
“Hah?!”
“Bercanda, bercanda… ayo kita ambil
paket dari kakakku.”
Kay hanya menggeleng-gelengkan
kepala melihat tingkah laku Reina dan mulai mengayuh sepedanya.
***
“Katamu hanya ingin mengambil paket saja…”
keluh Kay sambil mengikuti Reina ke dalam kafe coklat favorit mereka.
“Aku lupa kalau aku ingin membeli
coklat.” Reina nyengir lebar sambil mengacungkan dua jarinya membentuk huruf V,
“Ayolah… hanya sebentar, kok.”
Kay hanya bisa cemberut
mendengarnya. Tapi dia tetap mengikuti Reina.
Gadis itu kelihatan senang saat
masuk ke dalam kafe. Dan mau tidak mau Kay merasa senang juga melihat Reina
kelihatan ceria.
Reina berdiri di depan etalase yang
menunjukkan berbagai macam kue yang terbuat dari coklat.
“Kamu mau yang mana, Kay?”
“Hah?”
“Kue-kue ini…” Reina menunjuk
kearah etalase. “Aku mau membelikanmu sebagai tanda terima kasih karena kamu
mau menemaniku sore ini.”
“Tidak perlu. Aku sedang tidak
ingin makan makanan manis.” jawab Kay.
“Ayolah, Kay. Kamu harus mencoba
kue-kue di kafe ini. Rasanya lebih enak dari yang biasanya.” Bujuk Reina.
“Aku tidak mau…” Kay menggeleng,
“Kamu tidak perlu repot-repot membelikanku sesuatu, Reina.”
“Tapi, aku mau—”
“Kay?”
Mereka berdua menoleh ke asal suara
itu. Mata Reina sedikit melebar ketika melihat seorang gadis berusia tiga tahun
lebih muda darinya dan berpakaian sangat modis. Rambutnya dicat kecokelatan dan
bulu matanya sangat lentik. Reina sempat mengira itu bulu mata palsu, tapi
melihat bulu mata itu melekat kuat di kelopak mata gadis itu, tidak mungkin kan
itu palsu? Pandangannya beralih pada penampilan si gadis. Secara penampilan,
gadis itu kelihatan dewasa dengan dress ketat berwarna hijau yang dipadukan
dengan stocking berwarna pink gelap serta sepatu berhak tinggi yang
kelihatannya bisa saja menancap di kepala seseorang.
“Hai, Gina.”
“Ternyata benar kamu! Kukira aku
salah menyapa orang.” Gadis bernama Gina itu berseru riang sambil memeluk Kay.
Mata Reina membelalak melihat
adegan itu dan menatap Kay bingung sementara cowok itu sendiri kelihatna tidak
enak dipeluk oleh Gina.
“Aku tidak menyangka kita bertemu
di sini. Kata pembantumu di rumah, kamu sedang keluar…” kata Gina.
“Kenapa kamu ke rumah? Kalau kamu
mencari ibuku, beliau selalu tidak ada di rumah kecuali saat makan malam.”
Balas Kay.
“Siapa bilang aku ingin bertemu
dengan ibumu? Aku, kan ingin bertemu denganmu…”
“Kay, dia siapa?” tanya Reina,
memotong ucapan Gina.
Gina melirik kearah Reina dengan
tatapan merendahkan dan tersenyum kecil.
“Ah, dia… Regina Paramitha. Lawan
main ibuku di serial drama yang sekarang sedang dibintanginya. Aku lupa apa
namanya.” Kata Kay, “Gina, ini Reina Novilia. Dia…”
“… pasti temanmu, kan?” sambung
Gina. “Aku yakin dia hanya teman kamu, Kay.”
“Bukan. Aku pacarnya.” Kata Reina,
membuat Gina dan Kay kaget mendengarnya.
Reina sendiri sebenarnya juga kaget
dia bisa mengatakan hal itu. Tapi, dia tidak suka melihat Gina menempel terlalu
dekat dengan Kay. Entah kenapa hatinya terasa sakit melihat Gina memeluk dan
berbicara dengan nada genit seperti itu pada Kay.
Ia berjalan ke sisi Kay dan
memegang tangan cowok itu.
“Aku pacarnya Kay. Senang berkenalan
denganmu, Regina.” Kata Reina sambil tersenyum manis.
Ekspresi pada wajah Regina
benar-benar ingin membuat Reina tertawa saat itu. Wajah Regina kelihatan
seperti ikan yang kehabisan udara. Benar-benar sangat lucu!
Regina kelihatan siap-siap ingin
mengatakan sesuatu, tapi tidak jadi. Dia hanya menatap Reina dan Kay
bolak-balik.
“Kamu tidak pernah bilang kalau
kamu punya pacar, Kay.” Kata Regina akhirnya, “Sejak kapan kalian pacaran? Kata
Tante Maria, Kay tidak pernah punya pacar…”
“Kami baru saja jadian.” Jawab
Reina, “Hari ini sudah tiga bulan kami jadian. Iya, kan Kay?”
“Hah? Eh, iya… hari ini hari jadi
kami.” Kata Kay kaget. “Sudah dulu, ya, Gina. Sampai jumpa lagi.”
Kay langsung mengajak Reina keluar
dari kafe dan membiarkan Regina yang masih menatap mereka dengan tidak percaya.
Sesampainya di luar dan berjalan
cukup jauh dari kafe, Kay tidak bisa menahan diri untuk tidak tertawa
terbahak-bahak. Reina juga ikut tertawa. Terutama setelah melihat reaksi
terakhir di wajah Regina tadi.
“Serius, deh… wajahnya lucu
banget!” kata Reina di sela-sela tawanya, “Itu… benar-benar wow!”
“Iya.” Kay mengangguk setuju,
“Tapi, kenapa kamu malah bilang ke dia kalau kita pacaran?”
“Kamu nggak suka? Kulihat kamu
nggak senang dengan Regina itu.” jawab Reina polos.
“Err…”
Reina tertawa melihat wajah Kay
yang memerah.
“Jangan tertawa deh, Reina.” sungut
Kay sambil cemberut.
“Hahaha… maaf, maaf… habisnya wajah
kamu lucu banget sih, Kay…” kata Reina. “Ya sudah deh, kita pulang saja, yuk!
Nanti di rumah kamu aku pinjam dapur, ya.”
“Buat apa?”
“Kan aku sudah bilang,” Reina
tersenyum lebar, “Sebagai tanda terima kasih. Karena kita tadi nggak jadi beli
kue. Setidaknya, aku akan membuatkanmu kue buatanku sendiri sebagai gantinya.”
“Memangnya kamu bisa bikin kue?”
tanya Kay. “Jangan-jangan kuenya nggak enak, lagi…”
“Tenang saja… akhir-akhir ini aku
sering belajar memasak dengan Bi Ijah, pembantu di rumahmu kalau kamu nggak ada
di rumah. Dan Bi Ijah tahu masakan apa yang bisa bikin kamu ketagihan.” Ujar
Reina.
***
“Aku tidak menyangka kamu benar-benar bisa
membuat masakan favoritku.” kata Kay sambil menatap meja makan di hadapannya.
Reina tersenyum lebar dan
menuangkan segelas air putih untuk Kay. Mereka berdua duduk bersebelahan di
depan meja makan yang dihiasi oleh semangkuk besar nasi uduk, gurame
asam-manis, kerupuk udang, dan juga kue lumpur, yang dibuat oleh Reina.
“Tentu saja aku bisa. Lagipula,
untuk apa aku belajar sama Bi Ijah kalau begitu?” kata Reina sambil
mengambilkan Kay sepiring penuh nasi uduk dan kerupuk udang.
“Aku tidak akan mengatakan apa-apa
lagi.” kata Kay sambil tertawa, “Aku akan mencoba kue buatanmu terlebih dulu.
Aku sudah lama tidak makan kue lumpur.”
“Silakan saja, dan bersiaplah untuk
mengatakan kalau aku adalah koki yang hebat.” Ujar Reina.
“Kita lihat saja…” Kay tersenyum
lebar dan mengambil satu kue lumpur lau memakannya.
Reina menanti pendapat Kay yang
mengunyah kue buatannya dengan tidak sabar.
“Bagaimana? Enak tidak?” tanya
Reina.
“Hmm… mau jawaban jujur atau
bohong?” Kay balik bertanya.
“Iih… Kay!! Aku serius nih!” kata
Reina, “Enak atau tidak?”
“Enak, kok. Rasa manisnya aku
suka.” Kata Kay terkekeh, “Wajahnya jangan ditekuk begitu dong. Jelek tahu!”
“Habisnya… kamu bercanda melulu
sih!” Reina memberengut dan memalingkan wajah.
Kay tertawa melihat Reina cemberut
dan mencubit pipi gadis itu. Reina meleletkan lidahnya pada Kay dan mengambil
sepiring nasi uduk untuk dirinya sendiri. Dan Reina sebenarnya tidak
benar-benar marah. Dia hanya kesal saja. Ini pertama kali dia memasak kue
kesukaan Kay, dan dia selalu ingin melakukannya sejak kecil karena dia tahu Kay
suka makan makanan manis dan tradisional seperti kue lumpur.
Mereka berdua makan dalam diam.
Reina melirik sekilas kearah Kay yang makan dengan lahap. Dia masih kepikiran
dengan Regina Paramitha yang tadi mereka temui. Kay kelihatan akrab dengan
Regina, dan begitu juga dengan Regina. Reina tidak tahu mereka kenal di mana,
mungkin benar Regina adalah lawan main ibu Kay, tapi dia tidak pernah melihat
gadis itu sebelumnya.
“Ngg… Kay,”
“Ya?”
“Regina tadi itu… benar-benar lawan
main Tante Maria?” tanya Reina.
“Kamu nggak percaya?”
“Susah percaya dengan omonganmu
yang kadang-kadang nggak nyambung.” Celetuk Reina kesal, “Aku serius, Kay. Dia
kelihatan… akrab sama kamu. Jadi…
ya…”
“Kamu cemburu?” tebak Kay.
“Hah? M, mana mungkin aku cemburu!”
kata Reina keras, “Habisnya, dia kelihatan genit banget sama kamu, terus kamu
juga mau saja dekat-dekat dia. Aku, kan jadi kayak kambing congek tadi.”
Kay mengerjap mendengar ucapan
Reina dan lagi-lagi tertawa.
“Astaga… Reina, aku nggak mungkin
suka dekat-dekat dengan dia.” kata Kay, “Lagipula dia bukan tipeku, kalau kamu
merujuk pada tipe cewek kesukaanku.”
“Y, ya… terus, apa dong? Kalau kamu
nggak suka dekat-dekat dia, kenapa kamu mau saja tadi ditempelin sama dia?”
sungut Reina.
“Begini, ya, Reina cantik,” kata
Kay, “Regina itu lawan main Mama di drama serial TV yang baru tayang
akhir-akhir ini. Aku dikenalkan Mama saat acara makan malam di hotel waktu itu.
Dari awal, dia memang kelihatan banget mengincarku—”
“Tuh, kan… benar! Kamu suka ya
dengan dia?” tanya Reina menyela.
“Aduh… dengar dulu sampai selesai,
dong. Baru kamu boleh mengambil kesimpulan apa aku suka dengannya.” Kay
tersenyum geli melihat Reina yang kelihatan tidak sabar.
Gadis itu jarang bersikap tidak
sabaran. Hari ini Reina kelihatan aneh dengan sikap tidak sabarannya itu.
Setelah Reina terlihat tidak akan
menyela lagi, Kay melanjutkan ceritanya.
“Regina memang mengincarku. Dia
kelihatan ngebet banget jadiin aku pacarnya. Tapi, aku yang nggak suka. Kenapa?
Karena dia terlalu menor. Kamu nggak lihat dandanannya tadi? Bedak di wajahnya
tebal banget. Terus bajunya terlalu ketat, dan dia… lebih tua dari aku.”
“Hah?! Lebih tua?!”
“Kamu percaya kalau aku bilang umur
Regina itu 26 tahun?” kata Kay menahan tawa. “Please deh, Rei… aku nggak mungkin suka sama tante-tante. Dia juga
sudah pernah menikah, tapi cerai sekitar 2 tahun lalu. Mana mau aku dibilang
berondong yang lagi cari jodoh dengan janda!”
Kali ini, Reina yang tertawa. Dia
tidak menyangka Regina Paramitha usianya lebih tua 8 tahun dari mereka berdua.
Dan kalau diingat-ingat lagi, memang dandanan Regina sangat menor, tebal
banget! Bajunya juga kelihatan lebih kecil satu ukuran dibanding ukuran asli
Regina.
“Nah, sekarnag kamu bisa
menyimpulkan, apa aku mau dengan tante-tante yang mencari berondong buat
dipacarin?” tanya Kay.
“Ah, iya… hehehe… maaf, Kay.
Habisnya, aku kesal sih tadi.” kata Reina. “Dia menempel terus padamu, aku jadi
seperti obat nyamuk.”
Kay tertawa dan memberi Reina satu
kue lumpur. Gadis itu menerimanya dan memakannya dengan lahap.
“Makanya, kamu jangan gampang
kesal. Lain kali, kalau belum tahu apa-apa, jangan bersuara dulu, tunggu
kujelaskan atau seseorang yang akan menjelaskannya padamu.” Kata Kay.
“Iya, Kay sayang…”
“Aku baru tahu kita pacaran. Sejak
kapan?” goda Kay, yang lagi-lagi disambut dengan wajah cemberut Reina yang
semakin lucu.
“Kay!!!”
***
Reina bersandar pada bahu Kay yang sedang asyik
bermain PSP. Gadis itu sesekali tertawa melihat wajah Kay yang memberengut
karena kalah dalam game yang sedang
dimainkannya.
“Reina,”
“Apa?”
“Kamu… apa tidak ingin berpacaran?”
tanya Kay.
“Kenapa kamu menanyakan itu?” tanya
Reina balik. Sedikit bingung dengan pertanyaan cowok itu.
“Err… ya… kamu tahu Stevan, kan?
Yang pernah mengajakmu jalan-jalan itu?”
“Aku tahu. Memangnya kenapa?” tanya
Reina, “Ah! Jangan-jangan kamu mau menjodohkan aku dengannya, ya? Kamu disogok
sama dia, ya? Kay! Kamu kok tega sih!?”
“Aku nggak bilang mau menjodohkan
kamu.” kata Kay, “Dia hanya… sering menanyakan soal kamu ke aku, seperti apa
makanan kesukaanmu, hobi yang kamu suka, dan apa saja kegiatan kamu. Kamu tahu
sendiri kalau aku nggak suka ditanya macam-macam soal seperti itu. Bukan hanya
dia saja, tapi penggemarmu yang lain.”
“Hee…”
“Jangan pasang wajah bego begitu,
deh, Reina.” Kay mementil dahi Reina.
“Iih, Kay jahil, deh!” kata Reina
sambil mementil dahi cowok itu balik.
Reina tertawa dan memakan
makanannya. Sesekali dia melirik kearah Kay yang makan lebih lahap darinya. Ia
hanya tersenyum ketika melihat Kay juga melirik kearahnya.
“Kay, lain kali, aku buatkan nasi
uduk juga, ya? Kamu mau jadi pencicip pertama?” tanya Reina.
“Boleh saja, asal bisa dimakan…”
kata Kay, yang langsung disambut Reina dengan meringis.
0 komentar:
Posting Komentar